PURA-PURA JADI SUPERSTAR- BAB 1-10 (GRATIS)

1
0
Deskripsi

Jordie baru saja dipecat dari pekerjaan impiannya sebagai seorang pilot. Di saat yang sama, pacarnya, Aster, meminta keseriusan Jordie untuk melamar. 
Tentu saja hal ini membuat beban Jordie bertumpuk. Bagaimana mungkin seorang pengangguran seperti dirinya melamar dan menikahi seorang perempuan? Apalagi, kekasihnya adalah seorang influencer ternama di Indonesia. 
Di saat kebingungan itulah, Jordie mendapat tawaran dari sebuah manajemen artis ternama di Indonesia. Michael, Manajer seorang artis muda...

BAB 1

Jordie berkeringat dingin saat masuk ke dalam ruang HRD di maskapai swasta tempat dia bekerja. Hari ini adalah hari penentuan perpanjangan kontrak kerjanya. Dia sudah bekerja satu tahun sebagai pilot di maskapai itu.

Memang status Jordie masih karyawan kontrak. Namun, hatinya berharap bahwa akan ada keajaiban terkait perpanjangan kontrak kerja dan penetapannya sebagai pilot tetap di maskapai itu.

“Sore, Pak,” Jordie menjabat tangan Kepala HRD maskapainya. Di sana juga ada mentor timnya selama menjadi pilot.

“Silakan duduk,” Kepala HRD mempersilakan Jordie duduk.

Jordie duduk. Telapak tangannya terasa basah. Ada kecemasan dalam hatinya jika kontraknya tidak akan diperpanjang.

Kecemasan Jordie beralasan. Semuanya karena banyak teman-teman satu angkatannya yang diputus kontrak karena alasan efisiensi tenaga kerja di masa pandemi. Sudah beberapa tahun pandemi berjalan. Meski aktivitas penerbangan sudah mulai meningkat, tapi stabilitasnya secara bisnis memang masih dipertanyakan.

Beberapa maskapai sudah ada yang gulung tikar. Maskapai tempat Jordie bekerja terhitung masih bagus karena bisa survive di masa pandemi. Namun, jumlah pengurangan tenaga kerja di maskapai selalu dilakukan secara berkala.

“Jordie, ini keputusan kami untuk kontrak kerjamu,” Kepala HRD memberikan amplop putih pada Jordie.

Jordie menerimanya. Belum sempat Jordie membacanya, Kepala HRD sudah melanjutkan wicaranya.

“Kami minta maaf padamu karena tidak bisa memperpanjang masa kerjamu di sini,” tutur Kepala HRD menerangkan keputusan yang diambil perusahaan atas nasib Jordie. “Kinerjamu bagus. Kamu termasuk salah satu pilot muda berbakat kami. Namun, perusahaan kami memang masih dalam masa berbenah diri dan harus melakukan pengetatan budget. Karena itulah, kami memutuskan untuk memberhentikanmu.”

Pandangan Jordie tercengang menatap keputusan Kepala HRD maskapainya yang menyedihkan itu. Kecemasannya berubah jadi kenyataan. Dia tergabung dalam 100 karyawan maskapai yang akhirnya diputus kontrak kerjanya.

“Ini adalah keputusan final,” lanjut Kepala HRD. “Sekali lagi kami mohon maaf atas keputusan ini. Semoga di lain kesempatan, kita masih bisa bekerja sama.”

Jordie menganggukkan kepala kaku. Perasaannya hancur karena dia diputus kontrak kerjanya.

Langkah Jordie gontai saat memasuki kontrakannya. Dia sama sekali tak bersemangat dan langsung mengurung diri di kamar.

“Die! Jordie!” Hakim, teman Jordie yang senasib dengan Jordie, menerobos masuk ke dalam kamar. Dia mendekati Jordie yang tengah bersedih hati karena pemutusan kontrak kerja.

“Jordie, jangan sedih kamu,” tutur Hakim menghibur Jordie. “Aku juga kena pecat kok.”

“Argh, tapi bulan depan, aku berjanji datang ke rumah orang tua Aster buat ngelamar dia!” timpal Jordie kesal sekaligus sedih.

“Ya udah. Dilamar aja. Kan kalian udah pacaran dari SMA. Udah saling kenal sejak kecil. Kan kamu juga disekolahin sama orang tua Aster, kan? Kalau dikomunikasikan, mereka bakal paham kayaknya,” terang Hakim menyemangati Jordie.

“Nggak bisa, Kim,” balas Jordie. “Aku sudah banyak berutang budi pada keluarga Aster. Kalau aku ngelamar Aster dengan kondisi pengangguran begini, mau ditaruh mana mukaku?!”

Jordie menghela napas gelisah. “Apalagi, Aster kan lagi terkenal banget. Dia influencer kuliner kesukaan anak muda. Kamu bayangin aja berapa banyak gaji dia tiap bulannya. Pengangguran kayak aku nggak pantes banget bersanding sama dia.”

Hakim berdecak. “Terus apa rencanamu? Mau batalin rencanamu ngelamar Aster? Kamu nggak pertimbangin gimana perasaan Aster nantinya?” cerocos Hakim memberikan perspektif lain pada Jordie.

“Aku nggak bakal batalin rencana lamaran itu,” ucap Jordie. “Aku hanya akan menundanya. Aku bakal fokus cari pekerjaan yang stabil.”

“Kamu mau lamar jadi pilot lagi? Yakin bakal ada maskapai yang mau terima?”

Jordie menatap kesal Hakim. “Kamu kok nggak memotivasiku sih, Kim?” protes Jordie.

“Aku hanya ingin kamu realistis aja,” ujar Hakim. “Kamu tahu sendiri kan? Sebelum ada pandemi, udah banyak ribuan pilot nganggur. Ini karena jumlah orang yang mengambil pendidikan pilot jauh lebih banyak dari lowongan kerja pilot yang dibutuhkan. Ditambah lagi, sekarang masih masa pandemi. Kamu yakin beneran bisa kerja jadi pilot lagi?”

“Kalau belum dicoba kan nggak mungkin tahu gimana hasilnya,” timpal Jordie tetap menyimpan asa dalam hatinya. “Aku mau usaha dulu, Kim. Aku yakin usahaku sekarang belum maksimal. Aku bakal usaha lebih baik dari sekarang.”

“Oke deh,” ucap Hakim. “Kabari aku kalau kamu butuh bantuan.”

Jordie menatap Hakim penasaran. “Kamu sendiri mau ngapain habis ini?” tanya Jordie ingin tahu.

“Aku ada rencana mau bikin usaha geprekan ayam,” jawab Hakim ringan. “Tabunganku masih bisa dipakai buat sewa rumah dan aku mau jualan di sana. Aku rasa itu pilihan realistis buat sekarang. Bisnis kuliner kan nggak akan mati karena semua orang butuh makanan.”

Hakim tersenyum simpul menatap Jordie. “Rencanaku sebenarnya aku pengen ajak kamu join bisnis ini. Seenggaknya kalau bisnis kita sukses, kamu kan bisa buka cabang di Bandung. Kalaupun kamu menikah, kamu masih bisa mengandalkan bisnis geprek ayam itu buat jadi penghasilan utamamu. Tapi, kayaknya bisnis geprek ayam bukan pilihan menarik buatmu.”

Hakim menghela napas berat. Dia melangkah keluar kamar Jordie dan menutup pintu kembali dengan rapat.

Jordie termenung memandangi Hakim. Entah mengapa, hatinya merasa bersalah karena sudah berdebat dengan Hakim tadi. Padahal, Hakim membawa rencana yang cukup bagus untuk mereka jalankan setelah ini.

Buru-buru Jordie berlari keluar dari kamarnya. Dia mengejar Hakim. “Kim! Hakim!” teriak Jordie.

“Woi!” balas Hakim. “Aku nonton TV di ruang tengah!”

Jordie menyusul Hakim ke sana. Tampak Hakim duduk di sofa lusuh berwarna cokelat dan tengah menyalakan televisi.

Jordie duduk di sisi Hakim. Dia menepuk bahu Hakim. “Kim, aku nggak bermaksud bilang kalau pekerjaan selain pilot itu adalah pekerjaan yang buruk,” ucap Jordie. “Aku hanya ingin mencoba mendaftar lagi ke beberapa maskapai. Siapa tahu aku bisa kembali jadi pilot. Soalnya Aster sangat menyukai pria dengan profesi pilot. Aku pengen jadi pria yang diidamkan Aster.”

“Hei, santailah. Aku paham kok itu. Lagian, kita udah temenan dari SMA, kan? Kamu udah cerita soal ini berulang kali padaku,” balas Hakim.

“Aku bakal coba selama tiga bulan,” ungkap Jordie menerangkan rencananya. “Kalau selama tiga bulan ini aku nggak dapat balasan dari sama sekali dari maskapai-maskapai yang aku daftari, aku bakal ikut bisnis kulinermu. Bisa, kan?”

Jordie menatap penuh harap pada Hakim. Dia tetap ingin memperjuangkan semuanya dalam kehidupannya. Meskipun, Jordie sangat tahu bahwa kondisi di masa pandemi seperti ini sangatlah sulit bagi semua orang.

“Oke,” jawab Hakim dengan senyum lebar di wajahnya. “Warung geprek ayamku selalu terbuka untukmu. Tapi, kamu harus investasi yang banyak ya?”

Tawa Jordie terdengar. “Oke,” jawab Jordie penuh semangat.

Jordie menyimpan banyak asa dalam hatinya. Dia terus membuat surat lamaran sebagai seorang pilot dengan harapan akan ada maskapai yang mau menerimanya.


BAB 2

Setiap hari Jordie memeriksa email di ponselnya. Selama tiga bulan dia melakukan hal itu. Namun, yang dia terima hanyalah email penolakan.

Ponsel Jordie berdering. Dia buru-buru mengangkatnya. Siapa tahu yang menghubunginya adalah pihak maskapai.

“Jordie!” teriak Aster dengan bahagia. “Kamu lagi sibuk apa? Kenapa jarang sekali angkat teleponku? Kamu juga nggak balas pesanku?”

Jordie gugup. Dia salah angkat. Ternyata, itu adalah telepon dari manajemen tempat Aster bernaung. Aster sengaja meneleponnya dengan nomor itu.

“Ah, ha-hai, Aster,” jawab Jordie terbata. “Apa kabarmu? Sehat, kan? Aku lihat siaran live youtube-mu seminggu lalu.”

“Aku nggak sepenuhnya sehat,” rengek Aster merajuk sedih. “Hatiku sakit tahu. Kamu nggak dateng ke rumahku buat ngelamarku. Padahal, kamu kan udah janji padaku buat lamar aku. Terus, sekarang kamu jarang mau telepon atau chat aku. Sekalinya aku telepon atau chat kamu, kamu jarang ngebales. Kamu suka sama cewek lain ya?”

Jordie termangu. Dia tak menyangka Aster akan berpikiran sejauh ini.

“Aster, aku menyukaimu. Mana mungkin aku berselingkuh,” balas Jordie secepat kilat.

“Kalau gitu, kenapa kamu jarang hubungi aku? Kita kan LDR. Tapi, komunikasi kita malah terhambat begini. Aku takut kalau kamu mulai nggak suka sama aku lagi,” cicit Aster mengungkapkan isi hatinya pada Jordie. “Aku sering lihat kalau banyak pramugari cantik. Pilot cantik juga banyak. Siapa tahu kamu suka salah satu rekan kerjamu.”

“Nggak, Aster! Aku nggak suka siapapun selain kamu!”

“Beneran? Yakin? Nggak bohong?” selidik Aster kembali meragu.

“Iya, aku nggak bohong kok,” jawab Jordie semeyakinkan mungkin.

“Kalau gitu, kamu mau nggak ke rumahku weekend ini?” tanya Aster. “Aku pengen kamu ketemu sama Ayah dan Bundaku. Bilang ke mereka kalau kamu mau serius nikah sama aku. Aku capek kita harus backstreet terus.”

Jordie terdiam. Dia memang memutuskan pacaran backstreet karena takut fans Aster akan meninggalkan Aster. Semua ide ini pun berasal dari Jordie. Aster hanya mengikuti apa yang diinginkan oleh Jordie.

“Jordie, aku pengen kita nikah. Kalau nikah kan orang-orang bakal tahu kalau aku ini milikmu. Mau, kan?” desak Aster penuh harap. “Aku capek dideketin banyak cowok. Akhir-akhir ini ada cowok yang nyebelin. Aku kesel banget!”

Jordie masih tak bisa berkata-kata. Tentu saja dia marah pada para pria yang mendekati Aster. Namun, dia masih pengangguran sekarang. Melamar Aster dengan kondisi pengangguran seperti ini malah justru akan membawa Aster dalam petaka lain. Jordie tidak memiliki niatan untuk membuat Aster hidup sengsara. Dia ingin Aster hidup bahagia dan berkecukupan.

“Aster, aku akan ke rumahmu kok,” ucap Jordie setelah dia diam cukup lama. “Aku akan melamarmu. Yang sabar ya?”

“Weekend ini berarti bisa kan ke Bandung?” tanya Aster kembali ke pertanyaan semulanya.

“Ah? Apa? Halo? Halo? Aster, suaramu nggak kedengaran,” Jordie pura-pura kehilangan sinyal. Dia memutuskan telepon.

Dia terduduk lemas di kasurnya. Hatinya marah pada dirinya sendiri karena terpaksa berbohong pada Aster.

Sebuah pesan dari Aster muncul di ponselnya. Jordie membacanya dengan hati tergerus.

Aster: Jordie, aku tunggu kamu weekend ini di rumah! Kalau kamu nggak dateng, berarti kamu beneran selingkuh. Kita putus!

Tangan Jordie gemetar memegangi ponselnya. Aster sangat marah padanya hingga mengancam ingin putus.

Namun, dia bisa apa? Dia hanyalah seorang pengangguran sekarang. Mana berani dia melamar Aster. Kepalanya berdenyut pusing memikirkan semua ini.

Tok... tok... tok....

Terdengar suara ketukan pintu kamar. Jordie turun dari atas kasurnya. Dia melangkah keluar. Tampak Hakim datang sambil menunjukkan bungkusan plastik warna hitam padanya.

“Makan malam,” ucap Hakim dengan senyuman lebar.

“Nggak nafsu makan aku,” balas Jordie lesu.

“Kenapa? Ditolak lagi? Udahlah, kerja sama aku aja. Bikin geprekan ayam. Udah mulai laris kok,” Hakim melangkah masuk ke dalam kamar Jordie. Dia duduk lesehan di atas tikar dekat kasur Jordie berada.

Jordie duduk di depan Hakim. Dia melihat Hakim membagikan sisa geprekan ayam dari warung usahanya.

“Kalau kamu jualan geprek ayam, kamu kan udah nggak nganggur lagi. Asal mau usaha, Aster pasti mau kok nerima lamaranmu,” celoteh Hakim dengan pikiran optimis.

Jordie menghela napas panjang. Ucapan Hakim benar. Dia harus segera bekerja agar memiliki modal untuk melamar Aster. Setidaknya, dia bisa membelikan cincin untuk melamar Aster.

“Oke deh,” putus Jordie.

“Oke deh apaan?” tanya Hakim bingung.

“Ya, oke. Aku mau kerja bareng kamu,” jawab Jordie. “Ajarin aku ya gimana caranya?”

“Seriusan?” bola mata Hakim membulat lebar.

Jordie mengangguk penuh keyakinan. “Aku mau coba. Siapa tahu rejekiku ada di sana,” ucap Jordie dengan tekad penuh.

“Asik!” seru Hakim riang. “Gitu dong, Die! Sambil kerja bikin geprekan ayam, kamu kan bisa sambil kirim lamaran kerja. Kalau keterima, kan bisa punya dua sumber penghasilan.”

Jordie tersenyum lebar. Dia mencoba mengambil peruntungan ini. “Eh, tapi, besok sore, temenin aku cari cincin ya?” ajak Jordie.

“Cincin?”

“Aster ngancam mau putus kalau weekend ini aku nggak ke Bandung dan ngelamar dia. Aku butuh cincin sepasang buat dikasih ke dia kan?”

“Owalah, gampang. Bisa diatur,” kekeh Hakim. “Ini makan dulu. Kita rayakan malam ini sebagai malam baikmu.”

“Iya,” Jordie mengambil piring berisi bungkusan geprekan ayam. Dia menikmati makan malamnya dengan teman setianya itu.

Keesokan harinya, Jordie mulai bekerja di warung geprekan ayam milik Hakim. Seperti kata Hakim, cukup banyak orang yang datang untuk makan ke warung geprekan yang berkonsep rumah itu.

Jordie membantu dengan mencatat dan mengantarkan menu pesanan pembeli. Dia berperilaku sopan dan ramah. Meski sudah memakai masker, paras tampan Jordie tak tertutupi sepenuhnya. Beberapa pelanggan perempuan minta foto bersama Jordie.

Jordie pun menurutinya. Dia foto bersama para pembeli agar mereka kembali makan di warung geprekan ayam lagi.

“Jordie, baru kerja sehari udah populer aja kamu,” Hakim menepuk lengan Jordie. Dia mengajak Jordie makan siang pukul 3 sore. Mumpung warung sedang sepi.

“Iya. Aku nggak nyangka aja,” balas Jordie. “Mereka suka foto-foto gitu ya?”

“Itu karena kamu ganteng sih,” timpal Hakim. “Kamu kan termasuk lima besar pilot terganteng di maskapai kita.”

“Apa gunanya ganteng kalau akhirnya di-PHK juga kan?” kekeh Jordie getir. Dia menertawakan nasib buruknya itu.

“Santai. Nanti ada rejeki penggantinya kok,” ucap Hakim optimis.

“Permisi,” sapa seseorang menyela percakapan Jordie dan Hakim.

Secara serentak, Jordie dan Hakim menoleh ke si pemilik suara. Tampak seorang pria berusia 38 tahun dengan dandanan rapi berjas dan berdasi.

“Oh, iya, ada apa?” tanya Jordie sigap. “Mau pesan?”

“Ah, iya. Tapi, saya juga mau bicara dengan Anda,” tutur pria itu pada Jordie.

“Saya? Ada perlu apa?” Jordie terkaget sekaligus bingung. Dia sama sekali tak mengenal pria itu.

Pria berkumis itu tersenyum lebar. Dia menunjukkan layar ponselnya. Di sana, ada sebuah akun sosmed berisi foto Jordie bersama salah seorang pembeli. “Ini benar Anda bukan?” tanya pria itu lagi.

“Be-benar. Ini saya. Apa saya melakukan sesuatu yang salah?” balas Jordie cemas.

“Tentu saja tidak,” pria itu lagi-lagi tersenyum lebar. “Saya malah ingin bicara dengan Anda dan menawarkan sebuah pekerjaan dengan gaji besar! Mau, kan?”

 

BAB 3

“Pekerjaan apa itu?” Jordie semakin kaget. Di saat susah dapat pekerjaan seperti ini, tiba-tiba dia ditawari pekerjaan dengan gaji besar. Tentu saja ini sangat mengejutkan sekaligus mencurigakan.

“Ini nggak penipuan kan, Pak?” tanya Jordie kemudian. “Saya ini orang miskin. Percuma kalau Bapak mau nipu saya.”

“Iya, Pak. Dia ini cuma pelayan di warung geprekan ini,” imbuh Hakim. Dia berusaha melindungi Jordie.

Pria itu merogoh saku celananya. Dia mengeluarkan kartu dompetnya dan mengambil kartu nama dari dalam sana. Diangsurkannya kartu namanya itu pada Jordie. “Lihat dulu itu,” tutur pria itu.

Jordie menerimanya. Hakim ikut melongok dan membaca kartu nama itu. Tertulis nama pria itu adalah Michael Purba, seorang manajer di perusahan Lion Entertainment.

“Lion Entertainment? Ini kan agensi artis-artis terkenal?!” Hakim syok usai membaca detail di kartu nama itu.

Pria itu tersenyum dengan penuh percaya diri. Dia mengulurkan tangan lalu menjabat Jordie dan Hakim. “Perkenalkan, saya Michael Purba. Manajer senior di Lion Entertainment,” tutur Michael dengan sopan dan meyakinkan.

“Wah, jangan-jangan Anda sedang melakukan scouting talent ya?” tebak Hakim heboh. “Oh iya, saya Hakim. Ini teman saya, Jordie namanya.”

Michael mengangguk paham. Dia menatap Jordie dan Hakim dengan serius. “Saya ingin menjelaskan penawaran kerja itu tapi apa bisa berbincang di tempat lain? Ke kantor saya,” ajak Michael.

“Bisa. Bisa!” sahut Hakim heboh.

“Eh, tapi kan kita masih makan,” timpal Jordie.

“Makannya nanti aja. Rejekimu ini. Siapa tahu bisa jadi artis,” Hakim mendorong Jordie untuk mengikuti Michael.

Mereka pun bersiap. Lantas, mereka mengikuti langkah Michael masuk ke dalam mobil.

Jordie dan Hakim sama-sama terpukau saat Michael sungguhan mengajak mereka ke kantor Lion Entertainment. Perusahaan itu memiliki gedung tingkat 20. Sangat mewah dan mereka bisa berpapasan dengan beberapa artis.

“Mari silakan masuk,” Michael mempersilakan Jordie dan Hakim masuk ke dalam ruang kerjanya.

Jordie dan Hakim masuk ke sana. Mereka duduk di sofa berwarna hitam elegan dengan karpet bulu lembut di bagian bawah sofanya.

“Silakan dipilih minumnya,” Michael menunjukkan botol minuman aneka macam di atas meja.

Hakim tersenyum dan mengangguk. Dia mengambil dua botol minum untuk dirinya dan Jordie.

“Pak Michael, sebenarnya pekerjaan seperti apa yang ingin Anda tawarkan pada saya?” tanya Jordie serius. “Apa benar Bapak ingin saya menjadi artis di Lion Entertainment? Tapi, saya tidak memiliki bakat apapun.”

“Soal bakat itu mudah. Bisa dikembangkan seiring berjalannya waktu,” balas Michael. “Yang terpenting adalah apa kamu mau bekerja sama denganku?”

“Selama tidak merugikan, tentu saja saya mau,” jawab Jordie mantap.

“Oke. Sebenarnya aku ini manajer dari seorang artis muda bernama Reynold Fernandez. Tahu kan kalian siapa dia?” tanya Michael.

Jordie dan Hakim saling tukar pandang. Mereka sama-sama menggelengkan kepala.

Michael menghidupkan tabletnya. Dia menunjukkan foto-foto Reynold Fernandez pada Jordie dan Hakim.

Bola mata Jordie dan Hakim membulat lebar. Mulut mereka ternganga lebar saat menyadari betapa miripnya Jordie dengan Reynold. Paras mereka nyaris seperti pinang dibelah dua!

“Wajah kalian sangat mirip. Wajahmu Jordie, seperti copycat dari Reynold,” tutur Michael. “Aku ingin kamu menggantikan Reynold menjadi artis selama satu tahun ini.”

“Kenapa harus digantikan?” tanya Jordie bingung. “Apa ada masalah? Reynold di mana memangnya?”

“Ini rahasia. Aku harap kalian bisa menjaga rahasia ini dengan baik,” ucap Michael. Pria itu bangun dari duduknya. Dia mengambil dua lembar berkas dan memberikannya pada Jordie dan Hakim. “Tanda tangani itu dulu. Baru kita lanjutkan percakapan ini.”

Jordie sama sekali tak mengerti. Terlebih lagi, isi formulir itu menyatakan untuk menjaga rahasia atas semua percakapan yang terjadi di ruangan ini. Bola mata Jordie membulat lebar saat tahu denda yang akan dilayangkan jika percakapan ini bocor. Denda sebesar 2 milyar!

“I-ini dendanya apa nggak kebesaran?” tanya Jordie terbata.

“Memang itu harga yang pantas untuk menjaga rahasia besar ini,” balas Michael. “Tanda tangani jika kamu masih ingin menerima pekerjaan ini.”

Jordie menelan ludah. Dia memiliki firasat buruk akan hal ini. Namun, bayangan Aster kembali muncul di benaknya. Dengan iming-iming gaji besar, tentu saja dia tak sanggup untuk mengabaikan tawaran ini.

“Baiklah,” Jordie menandatanganinya. “Hakim, kamu mau tanda tangan juga?”

“Iya. Aku akan menjadi saksi pendampingmu,” jawab Hakim dengan sangat setia kawan.

Jordie tersenyum lega. Hakim selalu setia dan baik sebagai seorang sahabat.

Mereka berdua sama-sama tanda tangan. Setelah itu, mereka memberikannya pada Michael.

“Terima kasih atas sikap kooperatif kalian,” ucap Michael. “Di sini, aku akan mengungkapkan sebuah rahasia besar tentang Reynold Fernandez.”

Michael terdiam sesaat. “Reynold Fernandez dinyatakan mati seminggu lalu di sebuah vila di pelosok desa. Dia mati karena overdosis,” ungkap Michael.

“Ma-mati? Overdosis?” Jordie syok mendengarnya. “Berarti citra Reynold di publik nggak sepenuhnya positif?”

“Benar!” jawab Michael tanpa ragu. “Tapi, bakat Reynold ini sangatlah luar biasa. Dia ahli akting, menghibur orang, dan pandai musik. Semua karyanya adalah mahakarya. Dia dipuja oleh jutaan fans dalam waktu singkat.”

Michael menghela napas berat. Wajahnya berduka. “Sayangnya, dia harus mati mengenaskan. Padahal, kontrak kerja dengan berbagai brand nasional dan internasional sudah ditandatangani semuanya. Nilai kontraknya sampai milyaran rupiah. Ini sangat merugikan perusahaan dari segi bisnis,” jelas Michael. “Sampai saat ini kami masih merahasiakan kematian Reynold dan mencoba mencari alternatifnya. Makanya, saat tadi aku melihat fotomu di komunitas fans Reynold, aku langsung bergegas menemuimu, Jordie.”

Tangan Michael meraih dan menggenggam erat jemari tangan Jordie. “Kamu adalah harapan kami, Jordie,” ucap Michael memohon.”Tolong jadilah Reynold selama satu tahun ini. Kami bisa menjamin kesejahteraanmu. Semua yang kamu inginkan bisa kami wujudkan. Kami akan membayarmu sebesar satu milyar jika kamu mau melakukannya.”

Jordie terkesiap kaget. Satu milyar katanya?!

Uang itu sangatlah besar bagi seorang pengangguran yang kini menjadi pelayan di warung geprek ayam. Uang yang sangat cukup untuk melamar dan menikah Aster. Sisanya, Jordie bisa menyimpannya sebagai tabungan dan aset bisnis. Ini adalah sebuah tawaran fantastis!

“Bagaimana? Kamu mau kan?” tanya Michael sekali lagi.

Hakim mendekati Jordie. Dia berbisik di telinga Jordie. “Terima aja! Ini kesempatan emas! Aku mau kok jadi asistenmu. Buruan Jordie, ini kesempatan bagus! Ingat Aster! Dia pengen kamu lamar dan nikahi,” cerocos Hakim semakin memanas-manasi Jordie untuk menerima tawaran itu.

Jordie menghirup dan menghembuskan napas panjang. Dia mengangguk setuju. “Baiklah. Aku mau menggantikan Reynold selama satu tahun ini,” tutur Jordie sepakat. “Tapi hanya satu tahun ya? Aku tidak mau jadi artis seumur hidupku.”

“Oke,” Michael tersenyum puas. Dia segera mengambilkan surat perjanjian kontrak kerja di atas mejanya. Sejak mendapat kabar bahwa ada pria yang mirip dengan Reynold, Michael sudah menyiapkan kontrak kerja eksklusif itu.

Segera Michael menyerahkan kontrak kerja eksklusif itu pada Jordie. Dengan teliti Jordie membacanya dan membubuhkan tanda tangannya di sana. Tanda bahwa dia sepakat secara hukum menggantikan Reynold selama satu tahun penuh.

 BAB 4

Michael tersenyum lebar. Dia puas karena berhasil menjalin kerjasama dengan Jordie tanpa adanya kerumitan.

“Pak, Pak Michael,” ucap Hakim menyela momen sakral penandatanganan kontrak kerja ini.

“Iya, ada apa?” balas Michael. Dia menoleh dan tersenyum tipis pada Hakim. “Apa ada sesuatu yang ingin ditanyakan lagi?”

“Oh, ini terkait manajer Jordie. Apa boleh saya yang langsung menjadi manajernya?” tanya Hakim. Dia menyenggol Jordie dan mengode Jordie dengan lirikan matanya. “Selama ini Jordie kan teman saya sejak SMA. Kami saling kenal dan tahu satu sama lain secara personal. Jadi, saya rasa saya itu paling tahu dan layak buat jadi manajer Jordie. Ya, kan, Jordie?”

Hakim mengedipkan mata kanannya ke Jordie. Tanda bahwa Jordie harus mengabulkan permintaannya.

“Iya, benar,” jawab Jordie. “Tapi, bukannya Pak Michael sekarang yang jadi manajerku ya?”

Jordie menatap polos Hakim dan Michael. Hakim menepuk jidatnya karena Jordie terlalu lugu. Saking lugunya, Jordie sulit diajak kongkalikong oleh Hakim.

Tawa Michael terdengar. Dia menepuk pahanya. “Ya, sebenarnya memang ucapan Jordie tidak salah. Saya ini manajernya Jordie karena di awal, Reynold itu kan di bawah bimbingan saya,” jelas Michael. “Tapi, kalau kamu yakin dan mampu mendampingi Jordie, aku akan menyerahkan tugas pendampingan Jordie padamu. Nanti urusan kontrak kerja dengan brand, aku yang mengurus secara legalnya. Bagaimana?”

“Ah, siap!” sahut Hakim dengan penuh semangat. Dia tersenyum lebar dan menunjukkan dua jempolnya pada Michael.

“Oke. Sekarang kita lanjut ke tahap berikutnya,” ucap Michael.

“Tahap berikutnya? Tahap apa lagi, Pak?” tanya Jordie tak mengerti.

Jordie kira dia hanya perlu tanda tangan dan langsung pulang ke warung geprekan ayam. Lumayan jika masih bisa buka warung geprekan nanti malam. Dia juga berencana untuk mampir ke toko emas dan membeli cincin untuk dihadiahkan pada Aster.

“Kita harus membuat rekening terbaru untukmu bersama kartu debit dan kreditnya. Setelah itu, kamu harus pindah ke apartemen Reynold,” terang Michael.

“Harus hari ini?” balas Jordie terkaget. “Apa tidak bisa besok saja?”

“Kamu sudah tanda tangan kontrak kerja dengan saya. Artinya, mulai sekarang kamu adalah Reynold. Identitasmu sebagai Jordie sudah menguap sampai kontrak perjanjian kita berakhir tahun depan,” jelas Michael. Dia bangkit dari duduknya. “Ayo ikut aku. Ada banyak hal yang harus kamu lakukan sekarang. Jangan sia-siakan waktumu. Menjadi Reynold tak semudah yang kamu pikirkan.”

Jordie bingung. Michael ternyata tipe orang yang efisien soal waktu. Pria itu ingin Jordie secepatnya menyesuaikan diri menjadi seorang Reynold.

Tentu saja ini adalah hal yang membingungkan. Namun, mau dikata apa, ini sudah menjadi pilihan hidup Jordie satu tahun ke depan. Demi bisa melamar Aster, dia akan melakukan segalanya meski harus masuk ke dalam kawah Candradimuka.

Jordie mengikuti Michael ke bank bersama dengan Hakim. Di sana, Jordie mengurus rekening terbarunya untuk mendapatkan gaji dan tips dari pihak perusahaan. Setelah itu, Michael mengajak Jordie dan Hakim ke apartemen milik Reynold.

“Ini apartemen Reynold. Saya punya tahu kodenya karena saya manajernya,” tutur Michael. “Kamu jangan ganti-ganti password-nya. Ingat ya? Password ini hanya boleh diketahui oleh kalian berdua. Jangan sampai ada orang lain yang masuk ke sini selain kalian. Tabu dan haram. Mengerti?”

“Mengerti!” jawab Jordie secepat kilat.

Michael mengulas senyuman lebar. “Bagus. Sekarang kita tur ke dalam apartemen Reynold,” Michael mengajak Jordie dan Hakim berkeliling di apartemen Reynold.

Apartemen itu tentu saja sangat luas. Reynold membeli apartemen itu dengan harga milyaran. Ada banyak ruang hingga jacuzzi dan gym di dalam apartemen itu. Bahkan, ada ruang khusus meditasi, akting, hingga bernyanyi.

“Sangat tertata rapi ya,” celetuk Jordie berkomentar.

Hakim mengusap sisi meja yang sama sekali tak berdebu. “Sangat bersih juga,” imbuh Hakim.

Setiap hari akan ada orang yang datang membersihkan kamar ini. Dia adalah orang dari pengelola apartemen dan bisa dipercaya. Kebersihan dan kenyamanan terjamin di sini karena Reynold adalah tipe orang yang tergolong rewel,” jelas Michael.

“Berarti aku harus selalu tinggal di sini?” tanya Jordie memastikan.

“Benar. Mulai hari ini kamu harus sudah tinggal di sini,” ucap Michael.

“Pakaian dan barang-barangku bagaimana?” balas Jordie. “Aku perlu packing.”

“Tidak perlu. Di sini sudah lengkap,” Michael mengajak Jordie dan Hakim ke ruangan khusus wardrobe milik Reynold.

Ruangan itu sangat luas dan bersekat. Ada rak-rak kaca berisi koleksi jam tangan hingga cincin dan kacamata mahal Reynold. Di bagian lemari dipisah sesuai jenis pakaian hingga pernak-pernik lainnya.

“Semuanya masih baru. Reynold selalu dapat banyak endorse dari berbagai fashion hingga kosmetik. Karena itulah, Reynold hanya memakai satu jenis outfit selama satu minggu. Setelah itu, dia akan membuangnya dan ganti dengan outfit lainnya,” terang Michael. “Kamu tinggal pilih yang tersisa di sini. Nanti tiap dua atau tiga hari sekali, akan ada outfit terbaru yang datang dan dipajang di sini.”

Jordie dan Hakim hanya bisa melongo melihat semua itu. Mereka benar-benar merasa seperti berkunjung ke mall elit. Bedanya, semua yang ada di hadapan mereka saat ini adalah resmi menjadi milik Jordie.

“Kalau misalnya rusak bagaimana?” tanya Jordie. Dia melihat salah satu sepatu dengan merek mahal. Setidaknya harga sepatu itu sekitaran 10 juta untuk satu pasang. “Apa aku harus menggantinya?”

“Kalau harus ganti rugi, berarti bakal rugi dong? Jordie hanya dapat gaji satu milyar saja dalam satu tahun,” imbuh Hakim membela Jordie. Kini dia berubah menjadi mode pelit dan teliti seperti ibu-ibu yang berbelanja di pasar. “Sepertinya kita harus memperbaiki perjanjian kontrak kerjasama jika Jordie mengalami kerugian.”

“Oh, tenang saja,” balas Michael dengan santai. “Semua ini bebas kalian gunakan. Termasuk makanan dan minuman yang ada di kulkas. Semuanya adalah fasilitas untuk kalian. Utamanya untuk Jordie karena Jordie yang berperan sebagai Reynold. Yang penting adalah kalian melakukan semua ini sesuai prosedur dan nanti akan ada jadwal latihan akting, vokal, memainkan alat musik, hingga modeling. Makanya, aku meminta Jordie tetap di sini mulai hari ini agar mudah untuk koordinasi.”

Jordie mengangguk paham. Kini dia paham alasan Michael.

Sesaat Jordie teringat akan ancaman Aster. Jika dia tidak ke Bandung weekend ini, Aster akan memutuskan hubungan asmara di antara mereka. Setidaknya Jordie ingin menemui Aster walau hanya sekali.

“Apakah aku bisa menemui pacarku di Bandung?” tanya Jordie. “Pacarku sedang marah padaku dan dia memintaku ke Bandung weekend ini. Aku bisa menggunakan pesawat ke Bandung dan menemui pacarku satu jam saja. Setelah itu, aku akan kembali.”

Michael menggelengkan kepala. Dia menolak rencana Jordie itu. “Tidak boleh,” ucap Michael menolak permintaan Jordie. “Sekarang kamu bukan Jordie, tapi kamu adalah Reynold. Pahami ucapanku ini baik-baik dan bekerjalah sesuai dengan rencana yang sudah kamu setujui itu.”

“Aku hanya ingin berbaikan dengan pacarku?” pinta Jordie. “Ini tidak akan lama.”

“Begini saja. Berikan alamat rumah pacarmu. Saya akan membelikan barang-barang mewah dan perhiasan untuk pacarmu. Saya rasa itu cukup untuk membuat hati pacarmu bahagia,” terang Michael menjelaskan rencananya.

“Tapi, dia ingin bertatap muka denganku secara langsung. Yang dia butuhkan adalah kehadiranku. Dia bukan tipe perempuan matre,” jelas Jordie. Dia cemas jika Aster akan tetap marah padanya karena dia tak bisa menemui Aster di Bandung weekend ini.

“Tidak. Tidak. Ini sudah keputusan saya selaku manajermu,” Michael melihat jam tangannya. “Sudah jam segini. Saya tunggu kiriman alamat pacarmu ya?”

Michael memberikan kartu nama yang berisi nomor pribadinya. Dia lantas berpamitan keluar dari apartemen. “Jangan keluar dari apartemen dan menemui sembarangan orang,” pesan Michael sebelum pergi.

Jordie mengangguk lemah. Dia melangkah masuk ke dalam dan menutup pintu.

“Jordie, oh, Reynold! Hidupmu benar-benar hebat!” seru Hakim heboh. “Aku sudah berkeliling ke ruangan lainnya. Sempurna. Benar-benar seperti seorang superstar hidupmu ini, Jordie!”

Jordie menghela napas susah. Dia melangkah gontai dan duduk di kursi ruang makan. Dia meantap sekitaran apartemen yang sangat luas dan berisi barang-barang mahal. Seharusnya dia bersyukur tapi hatinya malah menjadi hampa sekarang.

“Jordie, kenapa wajahmu murung? Ayolah. Semangat! Ini rejeki nomplok! Kita harus berpesta malam ini sambil mencoba wine dan pakaian bermerek mahal itu,” kekeh Hakim riang. Dia sudah tak sabar menikmati semua kehidupan mewah Jordie sebagai seorang Reynold.

“Hakim, aku pengen ketemu sama Aster,” ucap Jordie.

“Kan tadi Michael sudah bilang kalau dia melarangmu pergi kemanapun. Mulai hari kamu adalah Reynold, sang superstar muda yang digandrungi banyak perempuan. Semuanya tak lagi sama Jordie,” terang Hakim mengingatkan posisi Jordie saat ini.

“Aku tahu tapi Aster mengancam akan putus dariku kalau aku tidak ke Bandung weekend ini,” tutur Jordie bimbang. “Aku harus menemui Aster. Mana hapemu?”

“Hape? Kamu mau ngapain?” Hakim merogoh saku celana jeansnya dan memberikan ponselnya pada Jordie.

“Aku mau pesan tiket pesawat. Aku mau tetap pergi ke Bandung weekend ini,” ucap Jordie. Dia menerima ponsel Hakim dan mulai membuka aplikasi pemesanan tiket pesawat.

“Kamu yakin? Nanti Michael marah dan mendendamu,” tutur Hakim ragu. Dia mencoba meraih kembali ponselnya. Namun, Jordie dengan sigap menyembunyikannya.

“Nggak akan. Yang penting kamu mau kerjasama membantuku,” ujar Jordie. Sebuah ide sudah terlintas di benaknya.

“Membantumu? Gimana caranya?” Hakim menatap bingung sekaligus penasaran ke arah Jordie.

“Kamu bilang saja kalau aku sakit dan butuh istirahat seharian pas hari Sabtu besok. Pokoknya seharian karena aku alergi susu atau keracunan kerang rebus. Buatlah alasan selogis mungkin,” jelas Jordie menerangkan rencananya. “Kamu cukup berkata begitu pada Michael di Sabtu pagi atau saat subuh. Biar semua jadwalku dibatalkan oleh Micahel dan aku bisa pergi ke Bandung.”

Hakim terdiam sesaat. Dia mencerna baik-baik ucapan Jordie padanya.

“Kamu yakin ini bakal berhasil?” tanya Hakim. Dia masih ragu dan takut. “Kalau nanti ketahuan dan didenda gimana? Dendanya dua milyar lho, Jordie. Dapet duit darimana kita?”

“Sudah kubilang nggak akan ketahuan asal kamu menjalankan semua ucapanku,” tutur Jordie. “Udah diem. Jangan berisik. Aku mau pesan tiket pesawat dan cincin buat Aster.”

“Eh, bentar. Kamu bayarnya pakai akun siapa? Itu yang dihape isinya m-banking-ku tahu!” balas Hakim tersadar.

“Sekalian pinjem duit,” kekeh Jordie. “Nanti aku ganti deh.”

“Dua kali lipat ya? Berbunga pokoknya,” terang Hakim tak mau rugi.

“Iya, santai,” jawab Jordie singkat.

Pandangan Jordie fokus pada pemesanan tiket pesawat dan cincin untuk Aster. Setelah itu, dia mengetik pesan untuk Aster.

“Aster, weekend ini aku bakal ke rumahmu. Tunggu aku ya? Aku akan melamarmu,” Jordie tersenyum lebar usai mengetik pesan itu dan mengirimkannya pada Aster. Hati Jordie berdebar karena sebentar lagi dia akan bertemu dengan pujaan hati tercintanya itu.

BAB 5

Malam harinya, Jordie menelepon Aster. Dia duduk di balkon sambil menikmati angin malam.

Lokasi apartemen ini sangatlah indah. Karena berada di lantai yang cukup tinggi, Jordie bisa menyaksikan pemandangan kerlap-kerlip lampu kota dari ketinggian.

Dia mengulas senyuman sambil menunggu Aster menjawab panggilan video darinya. Dia berharap suatu saat nanti bisa menyaksikan pemandangan seperti ini bersama dengan Aster.

“Halo,” jawab Aster. Wajahnya cemberut tapi masih menyiratkan kebahagiaan. Ya, Aster senang akhirnya Jordie mau meneleponnya.

Semenjak Jordie jarang menghubunginya, Aster merasa dirinya tengah di-ghosting oleh Jordie. Sebagai seorang perempuan, dia cemas jika mendadak ditinggalkan Jordie. Karena itulah, dia terkesan mengejar-ngejar Jordie selama tiga bulan terakhir ini.

“Aster Cintaku,” balas Jordie dengan senyuman lebarnya. “Aku rindu kamu.”

Jordie tidak berbohong jika dia merindukan Aster. Hatinya selalu gelisah dan bersalah karena selama ini jarang menghubungi Aster. “Kamu sedang apa, Sayang?”

“Baru selesai cek video buat unggahan mingguan di akun instagramku,” jawab Aster. “Tumben telepon aku. Kukira kamu udah nggak peduli lagi sama aku.”

“Jangan bicara gitu dong. Aku beneran sibuk kok,” ujar Jordie.

“Sibuk sama gebetan baru?” ucap Aster setengah menuduh.

Jordie menatap sedih Aster. Dia bisa mengerti perasaan cemburu Aster mengingat selama tiga bulan ini dia memang mengurangi komunikasi dengan Aster. Namun, Jordie melakukannya karena sedang fokus menata kehidupannya yang tengah berantakan.

“Aster, sudah kukatakan padamu kalau aku hanya mencintaimu,” terang Jordie.

“Kalau gitu lamar aku,” cicit Aster merajuk. “Kita kelamaan pacaran Jordie. Udah waktunya nikah, kan? Pacaran terlalu lama itu nggak bagus. Bisa putus malah.”

“Kamu jangan mikir putus dong,” balas Jordie lembut. “Kita bisa saling mencintai sampai usia kita menua. Nggak boleh putus. Ya?”

“Ke Bandung tapi,” pinta Aster. Dia konsisten mengutarakan syarat agar hubungan mereka tetap lanjut. “Aku pengen kita nikah dan bisa hidup bahagia bersama. Aku bosan dideketin cowok-cowok lain terus. Kamu nggak pernah mau muncul di publik juga. Aku tuh kayak punya pacar rasa jomlo tapi.”

Aster mengeluarkan semua keluhan di dalam hatinya. Jordie tersenyum dalam diam. Dia mendengarkan semua ucapan Aster hingga tak terasa satu jam telah berlalu.

“Jordie, kamu ngantuk ya? Kok nggak ngomong apapun sih?” tanya Aster heran. Dia baru sadar bahwa sedari tadi yang ngomong terus adalah dia. Jordie hanya diam sambil sesekali menganggukkan kepala atau minta maaf.

“Nggak. Aku dengerin kamu,” tutur Jordie lembut. “Aku seneng denger semua celotehanmu.”

“Kamu kira aku burung beo?” timpal Aster masih sedikit jutek.

Tawa kecil Jordie terdengar. Dia senang karena Aster masih mau bicara padanya. Artinya, Aster memang tidak marah padanya.

“Aku ke Bandung weekend ini,” ujar Jordie. “Tunggu aku ya?”

“Serius? Beneran mau ke Bandung?” bola mata Aster membelalak lebar. Dia kira Jordie hanya sekadar menenangkan hatinya saja tadi.

“Aku sudah beli cincin. Nggak mahal. Tapi, aku harap cukup buat jadi cincin lamaran kita,” ungkap Jordie dengan jujur.

Aster tersenyum senang. “Nggak apa-apa, Jordie. Kan yang penting itu niatannya, bukan berapa jumlahnya. Aku nggak minta banyak kok. Cukup keseriusanmu aja,” terang Aster dengan hati tulusnya.

Inilah sisi yang Jordie sukai dari Aster. Kekasihnya itu tidak terlalu banyak meminta dan mandiri. Selama ini Aster tak pernah meminta hadiah ataupun traktiran dari Jordie. Bahkan, Asterlah yang berinisiatif memberikan hadiah atau mentraktir Jordie.

Namun, karena Jordie sudah beranjak dewasa, Jordie merasa dia tak bisa bergantung pada Aster. Dia seorang laki-laki dan memiliki harga diri. Karena itulah, Jordie berusaha menata hidup dan karirnya dengan rapi agar bisa menjadi laki-laki tepat untuk Aster.

“Udah nggak marah kan berarti?” balas Jordie. Dia ingin mendengar ucapan Aster bahwa Aster sudah memaafkannya.

“Buruan dateng ke rumahku ya? Bunda sama Ayahku udah kangen sama kamu. Yang lainnya juga,” tutur Aster.

“Oke. Nanti aku masakin kerak telor deh,” ujar Jordie.

“Dih, nggak usah masak. Biar pembantu aja yang masak. Aku pengen ajak kamu liburan di vila di Lembang juga,” terang Aster.

“Eh? Liburan di vila?” Jordie terkaget mendengarnya. Dia kira Aster hanya butuh kedatangannya untuk momen lamaran saja. Ternyata, Aster malah mengajak Jordie pergi ke vila keluarga di Lembang.

“Iya, Jordie. Kamu kalau ke Bandung kan bisa sampai satu minggu. Sekalian gitu kita liburan. Mau ya?” ajak Aster dengan penuh semangat.

“Ah, itu, Aster, sebenarnya—“

Telepon terputus. Jordie bingung menatap ponselnya yang mati karena kehabisan daya. “Argh! Sial!” teriak Jordie penuh kekesalan.

“Kenapa, Die?” tegur Hakim. Kebetulan Hakim baru dari dapur dan mengambil sebotol jus dan makanan di kulkas.

Jordie menoleh ke hakim. Dia menghela napas resah. “Aster malah ngajak aku liburan ke vila, gimana nih?” balas Jordie kacau. “Kan aku nggak bisa lama-lama di Bandung.”

“Waduh, perkara sulit ini,” ucap Hakim ikut bimbang. “Ayo, Die. Bahas di depan TV aja.”

“Iya,” Jordie mengikuti langkah Hakim. Mereka duduk di sofa depan televisi layar datar yang berukuran jumbo dan tergantung di dinding itu.

Hakim mengambil remote TV. Dia menurunkan volume dan menggantinya dengan acara kartun agar bisa fokus mengobrol dengan Jordie.

“Gimana sebenarnya? Tadi kamu telepon Aster?” tanya Hakim. Dia ingin tahu detailnya.

Jordie mengangguk. Dia menceritakan detail percakapannya dengan Aster barusan. Kepalanya menggeleng tak percaya.

“Aster kira aku bisa liburan lama di Bandung. Padahal, aku ke Bandung aja penuh perjuangan,” terang Jordie.

“Kan udah kubilang. Mending nurut sama Pak Michael. Kamu sih susah dikasih tempe!” timpal Hakim kesal.

“Argh, jangan nambah runyam, Kim. Aku harus bisa yakinin Aster kalau aku cuma bisa sebentar di Bandung. Aku nggak mau ikutan ke vila,” tutur Jordie.

“Kalau mau sih bikin surat tugas palsu, Die,” usul Hakim.

“Heh, ngawur. Kan kita udah nggak kerja di kantor penerbangan lagi. Kalau nanti Aster beneran nyari gimana?” balas Jordie tak setuju. Dia ingin ide lain yang tidak membahayakan. Dia tak mau terjerat kasus pemalsuan.

“Halah, siapa sih yang terlalu senggang sampai ngecek ke kantor? Aster nggak kayak gitu deh kayaknya,” ucap Hakim. “Kamu kirimnya sepotong aja. Biar nggak kelihatan pakai kop surat kantor.”

Hakim bangun dari duduknya. Dia menoleh ke segala arah.

“Mau ngapain kamu?” tanya Jordie heran.

“Cari laptop sama printer,” tutur Hakim.

“Oh, aku lihat tadi. Deket ruang latihan rekaman,” terang Jordie. Dia ikut bangun dari duduknya dan melangkah ke ruangan rekaman.

Di bagian luar ruang rekaman, ada sebuah meja dengan laptop, komputer, printer, hingga speaker. Sepertinya, pemilik lawasnya memang terbiasa melakukan kerja di dekat ruangan rekaman.

“Wah, wah, emang beneran superstar ya,” komentar Hakim.

Jordie duduk di depan komputer dan menyalakannya. “Jangan banyak bicara, Kim. Di sini tuh apartemennya orang yang udah meninggal lho,” tutur Jordie mengingatkan Hakim.

Sesaat Hakim langsung mengusap-usap lengannya. “Duh, merinding. Jangan ngomong gituanlah, Die,” ucap Hakim takut. “Kalau nanti muncul penampakan gimana?”

“Emangnya kamu nggak mikir soal penampakan tadi? Kan udah jelas kalau Pak Michael bilang Reynold itu udah mati DO gara-gara kebanyakan pakai sabu-sabu,” jelas Jordie.

“Ya, mana mikir sampai ke situ, Die. Kan isi apartemen ini terlalu memukau. Ya, lebih banyak mikir senengnya,” terang Hakim jujur. “Kan meski kita pilot, hidup kita belum beneran sukses. Kita baru kerja bentar. Gaji juga masih pas-pasan kalau buat tinggal di Jakarta.”

“Iya juga sih,” Jordie membuka file microsoft words. Lantas, dia mulai membuat surat tugas palsu seperti yang tadi diusulkan oleh Hakim.

Suasana jadi hening. Jordie serius saat bekerja.

Hakim menyenggol-nyenggol lengan Jordie. Membuat Jordie jadi terganggu.

“Apaan sih? Jangan ganggu, Kim!” tegur Jordie. Dia sedang konsentrasi sekarang.

“Kamu nggak denger sesuatu, Die?” ucap Hakim setengah berbisik.

“Denger apa?” balas Jordie. “Nggak denger apa-apa aku.”

Jordie buru-buru menyelesaikan surat tugas palsu itu. Lantas, dia menyalakan printer dan mencetak surat itu.

“Kayak ada suara air ngalir gitu,” ucap Hakim.

“Kamu kali lupa matiin air,” timpal Jordie. “Nggak usah mode alay ya? Nggak ada setan. Kalaupun ada setan, aku juga nggak takut. Soalnya aku butuh uang. Setan biarin aja di pojokan. Nggak usah ganggu hidup orang hidup.”

Hakim memukul punggung Jordie. “Nggak gitu konsepnya,” tutur Hakim. “Yuk, Die. Cek-cek dulu abis ini. Serem nih denger suara air ngalir.”

Hakim terus membujuk Jordie. Dia tak berani pergi keliling apartemen sendirian usai Jordie mengatakan bahwa pemilik apartemen sudah meninggal.

“Bentar. Ini aku selesaiin cetakannya dan matiin semuanya,” balas Jordie. “Lebih ngeri kebakaran, daripada kebanjiran.”

“Ngeri ada setan,” Hakim kembali mengusap-usap lengannya karena ketakutan.

Jordie menggelengkan kepala. Dia kadang sering heran dengan tingkah laku Hakim. Di satu sisi, Hakim itu orangnya sangat baik dan bisa dewasa. Namun, pada saat-saat tertentu, Hakim juga bisa begitu kekanakan dan rewel seperti bocah.

Tangan Jordie mencabut semua kabel. Dia memastikan tidak ada saluran yang tertancap ke lubang listrik. Setelah itu, dia memotret surat tugas palsu itu dan mengirimkannya kepada Aster.

“Aster, maaf ya? Aku ada tugas dadakan ini. Penerbangan ke Papua. Aku di Bandung cuma bentar,” Jordie mengirimkan pesan itu pada Aster.

Setelahnya, Jordie menemani Hakim keliling apartemen. Mereka menyalakan lampu dan mengecek apakah ada sisi yang mengalami kebocoran pipa air.

Hingga akhirnya, mereka tiba di kamar mandi di dalam kamar. Jordie masuk duluan ke dalam dan mengecek. Hakim menunggu di luar karena takut tiba-tiba muncul hantu wanita berambut panjang seperti kuntilanak.

“Kim, sini deh,” panggil Jordie.

“Apa? Takut nih. Kasih tahu dulu ada apa?” balas Hakim. Dia mengintip ke dalam kamar mandi. Perasaannya sudah diliputi rasa ngeri karena takut hantu.

“Kamu ya yang nyalain kran air hangat di bathup sini?” tanya Jordie. “Ini udah kepenuhan airnya. Bikin nggak hemat listrik tahu.”

Hakim terdiam. Dia mengingat-ingat apa yang baru saja dia lakukan. Ternyata, dia tadi ke ruang tengah untuk menonton TV sambil menunggu bathup kamar mandi terisi air hangat. Dia memang berniat untuk berendam dengan bath bomb biar seperti orang kaya.

“Ah, bener-bener! Itu aku,” Hakim masuk ke dalam kamar mandi. Dia tertawa cengengesan dan menatap malu Jordie.

Jordie menghela napas mafhum. Dia sudah terbiasa dengan tingkah Hakim yang memang super penakut itu.

Tangan Jordie bergerak mematikan kran air. “Udah sana buruan mandi. Abis itu, aku juga mau mandi,” ucap Jordie.

“Nggak mandi bareng aja, Die?” tawar Hakim dengan wajah yang masih menyiratkan ketakutan.

“Aku pukul nih kamu lama-lama,” Jordie menunjukkan kepala tangan kanannya. “Udah tua juga. Homo!”

“Dih, enak aja! Aku masih normal ya? Cewek cantik juga lebih legit ketimbang sama batang kayak kamu!” timpal Hakim senewen.

“Makanya mandi sana. Jangan ribut mulu,” balas Jordie jutek. Dia menutup pintu kamar mandi dari luar dan membiarkan Hakim menyelesaikan mandinya.

Jordie memilih mengisi daya ponselnya. Tadi ponselnya sempat bisa dia hidupkan. Namun, sekarang ponselnya kembali mati.

Dia menatap ponselnya yang memang sudah tua dan harus segera diganti dengan yang baru karena baterainya seringkali bermasalah. Namun, Jordie belum ada keinginan untuk menggantinya karena ada kenang-kenangan indah di dalam ponsel itu. Ya, ponsel itu adalah hadiah dari Aster. Aster membelinya untuk Jordie dengan uang kerja dari menjadi seorang youtuber.

Jordie senang dan berjanji akan selalu menjaganya. Karena itulah, sampai sekarang, Jordie tetap menggunakannya.

Senyuman Jordie merekah. Dia tersenyum mengingat masa lalunya bersama Aster. Hari-harinya selalu indah setiap kali dia bersama Aster. Jordie selalu berpikir bahwa Aster adalah berkah terbaik dalam hidupnya.

“AAA!” terdengar teriakan Hakim dari kamar mandi.

Jordie terkaget dan segera bangun dari duduknya di tepian kasur. Dia berlari ke arah kamar mandi. “Ada apa, Kim?” balas Jordie cemas.

BAB 6

Tanpa banyak kata, Jordie langsung menerobos masuk ke dalam kamar mandi. Dia melihat Hakim jatuh terduduk menghadap ke arah rak kamar mandi yang digantung rapi di dinding.

“Kenapa, Kim?” Jordie mendekat. Dia membantu Hakim yang hanya mengenakan handuk dan kaos hitam.

“I-itu, Die. Tadi jatuh dari rak,” Hakim menunjuk ke arah rambut warna hitam yang ada di lantai. Suara Hakim gemetaran karena takut.

Jordie mendekati rambut warna hitam itu. Dia mengambilnya tanpa ragu untuk mengecek. “Ini itu wig, Kim,” ucap Jordie. Lantas, dia terkekeh jenaka. “Heh, ada-ada aja sih. Masa’ takut sama wig hitam. Bocil lu!”

“Bukan gitu, Die. Tadi tuh benda itu jatuh pas aku buka rak buat cari alat cukur,” terang Hakim. “Emangnya kamu nggak bakal kaget kalau lihat kayak gitu?”

“Nggak seheboh kamu kali,” balas Jordie. “Halah, kamu itu penakut banget. Nggak hantu di sini. Nggak usah paranoid. Nanti susah tidur kamu.”

Hakim berdecak kesal. Dia tetap merasa seram dengan apartemen yang penghuninya sudah meninggal itu.

“Die, kita harus cari dukun deh,” tutur Hakim. Dia membuka lemari dan menggunakan celana selutut yang ada di lemari.

“Dukun apaan? Kamu aja pakai pakaian orang mati,” ucap Jordie. Dia mengomentari penampilan Hakim yang dibalut oleh baju rumahan milik Reynold.

“Ya kan katanya nggak pernah dipakai. Jadi ya nggak apa-apa kan dipakai. Biar nggak mubadzir,” Hakim mencoba membela diri. Dia mengusap rambut basahnya dengan handuk.

“Banyak pembelaan kamu,” Jordie mengambil pakaian di dalam lemari dan melangkah masuk ke kamar mandi.

“Die, buka pintu kamar mandi aja,” teriak Hakim.

“Gile! Mau ngintip? Ogah!” tolak Jordie mentah-mentah.

“Aku takut.”

“Masa bodoh,” Jordie buru-buru menutup pintu dan menguncinya rapat. Lantas, dia segera mandi agar bisa cepat tidur.

Keesokan harinya, Jordie menemani Hakim kembali ke tempat geprekan ayam. Mereka pergi saat pukul 4 pagi. Ketika jalanan masih tidak terlalu ramai.

Di sana, mereka kerja bakti menata rumah yang disewa Hakim untuk usaha geprek. Semua barang-barang yang belum dirapikan mereka cuci.

Jordie membuang sampah di tong depan rumah geprekan. Dia menyapu halaman hingga bersih. Lantas, dia kembali menghampiri Hakim yang sudah selesai membuat sarapan mereka di dapur.

“Sarapan sekalian deh. Laper, kan?” Hakim menata meja. Ada ayam goreng krispi digeprek dengan sambal tomat. Dua gelas kosong dan satu teko jeruk dingin.

“Mantap,” Jordie duduk dan segera mengambil sepiring nasi dari magic com. Dia makan menikmati masakan Hakim.

“Die, kayaknya aku harus rekrut lebih banyak orang deh,” tutur Hakim memberitahu Jordie. “Kamu tahu kan. Aku bakal terus di sampingmu buat bantu kamu. Siapa tahu kamu lupa identitasmu.”

Jordie mengangguk. Dia paham usulan Hakim. “Aku nggak keberatan. Kan udah kubilang kalau aku bakal investasi di sini juga. Lakuin aja, Kim. Kalau terkenal, langsung bikin cabang di Bandung. Biar tahun depan, aku juga bisa rintis usaha di sana buat hidupin Aster,” terang Jordie.

“Yakin masih mau usaha geprekan?” timpal Hakim memastikan.

“Kan aku cuma satu tahun nyamar jadi Reynold. Habis itu aku mau beli rumah mungil buat tinggal sama Aster. Moga aja ya Aster suka. Soalnya rumah lamaku kan disita pemerintah gara-gara kasus korupsi Papaku,” kenang Jordie. Wajahnya tampak sedih membayangkan masa lalunya yang benar-benar suram.

“Nggak usah diingat-ingat. Kamu udah cerita soal itu ratusan kali ke aku,” tutur Hakim sungkan. Dia tak suka suasana yang terlalu melodrama seperti ini. “Lagipula, orang tua Aster kan emang udah mau angkat kamu jadi anak. Buktinya kamu dibiayain sampai segede gini dan mereka nggak pernah minta sepeser pun uang darimu, kan?”

Kepala Jordie mengangguk. “Gara-gara itu sebenarnya. Aku beneran sungkan kalau aku tak mampu membahagiakan Aster,” ujar Jordie. Dia menghela napas resah. “Makanya, semua kesempatan bakal aku coba deh. Yang untungnya paling banyak, ya itu yang bakal aku lakuin.”

“Tetep jadi artis?” kekeh Hakim. “Duitnya gede lho. Mukamu juga sudah terverifikasi tampan dan populer. Kan nggak semua orang tampan punya bakat jadi orang populer.”

“Nggak ah. Aku mau kerjaan yang lebih nyata,” Jordie menerawang. “Kalau bisa sih, aku pengen balik jadi pilot lagi. Soalnya Aster suka profesi pilot. Aku pengen jadi kebanggaan Aster.”

“Dih, nunggu perusahaan penerbangan stabil dulu,” tandas Hakim. “Kalau aku sih bakal tetep jadi artis, Die. Awalnya bikin konten promosi geprekan di Bandung. Terus sama-samain mukamu kayak Reynold. Paling nih abis itu kamu diundang ke TV. Jadi laris deh.”

“Halu banget sih otakmu, Kim,” tawa Jordie mencelos keluar. “Mending buruan bikin bikin pengumuman cari pegawai aja.”

“Nah, itu, Die,” ucap Hakim. “Boleh nggak kamu ikut ngiklanin? Bilang gitu ini usahamu sebagai seorang Reynold. Biar makin ramai.”

“Eh, nggak boleh deh, Kim. Nanti Pak Michael marah,” terang Jordie. Dia cemas jika Michael akan mencabut kontrak karena dia terlalu banyak keinginan tak perlu. “Kalau mau, kamu aja yang bilang. Kalau oke, beneran aku bantu.”

Hakim menghela napas resah. “Nggak bisa deh. Kayaknya nggak mungkin disetujuin,” tutur Hakim resah.

“Ya udah sih, Kim. Mending nih kalau aku udah ada nama, aku makan siang di tempatmu. Lebih natural nggak sih?” ucap Jordie memberikan ide.

“Ah, bener juga. Oke deh,” Hakim mengangguk setuju.

Mereka pun segera menyelesaikan sarapan. Lantas, mereka membersihkan sisa cucian piring kotor dan pulang.

Jordie terkaget melihat Michael sudah di apartemen. Tampak Michael bersama dengan dua orang perempuan dengan dandanan menor.

“Pak Michael,” sapa Jordie canggung. Dia merasa tak enak karena melanggar perintah dari manajernya itu.

“Sini duduk,” panggil Michael. “Mereka ini pelatih vokalmu, Reynold.”

Jordie duduk bersama dengan Hakim. Dia meantap Michael yang memanggilnya “Reynold”. Artinya sekarang dia harus berperan sebagai Reynold.

“Pelatih vokal?” timpal Jordie.

“Ah, Reynold. Karena terlalu banyak liburan ya? Kamu jadi lupa aku,” sapa seorang perempuan berambut merah muda. “Aku Setya.”

“Aku Dewi,” imbuh gadis satunya dengan rambut warna pirang.

Keduanya sama-sama cantik. Namun, terkesan seksi dengan pakaian yang serba ketat. Hati Jordie jadi berdegup tak tenang. Dia takut jika Reynold punya skandal dengan salah satu di antara mereka. Mengingat tingkah laku Reynold tak bagus.

Sementara itu, Hakim sudah menatap kedua perempuan itu dengan pandangan kagum. Karena Hakim masih jomlo, dia senang saja melihat penampakan perempuan-perempuan cantik. tak jarang, dulu dia suka menggoda para pramugari saat masih menjadi pilot.

“Sekarang kan sudah selesai cutinya. Reynold, kamu harus mulai latihan vokal dan instrumen alat musik ya?” tutur Michael. “Latihan dilakukan dari pagi pukul delapan sampai malam pukul sembilan.”

“Lama amat,” celetuk Hakim. Dia tak mengira jika latihan menjadi seorang superstar sangatlah sulit.

“Sebentar lagi Reynold akan mengeluarkan album berikutnya. Dia harus latihan lebih intensif,” tutur Michael memberikan penjelasan. “Hakim, nanti kamu siapkan apapun yang dibutuhkan Reynold ya?”

“Oh, iya, Pak. Siap,” sahut Hakim dengan tegas.

Michael menoleh ke Jordie. Dia mengeluarkan dua buah dokumen dari tas ranselnya dan mengangsurkannya pada Jordie.

“Ini file warna biru isinya latihan untuk album terbarumu,” terang Michael. “Ini adalah naskah drama delapan episode yang harus kamu bintangi.”

“Drama?” Jordie menerimanya dengan wajah kaget.

“Iya. Nanti bakal ada pelatih akting untukmu. Tapi, dia bakal datang weekend ini ke sini. Kamu sementara ini fokus latihan untuk album terbarumu saja,” jelas Michael.

Jordie mengangguk. Tumpukan pekerjaan sudah datang di hadapannya. Mau tak mau, dia harus bisa mengatasi semua tantangan ini meskipun dia tak tahu apakah dia bisa melalui semuanya dengan mudah.

Jordie pun bergegas bersiap. Dia mandi dan ganti baju. Baru kemudian, dia ke ruang latihan vokal.

Sejujurnya Jordie adalah orang yang buta nada. Dia suka musik tapi tidak spesifik. Hanya sekadar suka mendengarkan di kala menyetir atau sedang capek. Makanya, dia tak terlalu paham tentang penyanyi terkenal atau artis baru yang digandrungi para pemuda.

Karena itulah, saat Jordie latihan menyanyi selama satu jam di bawah bimbingan Setya dan Dewi, dia hanya bisa membuat keduanya mengusap dada dan memijat kening. Dua perempuan seksi dan berdandan menor itu menatap heran Jordie.

“Rey, biasanya kamu nggak seburuk ini deh,” ucap Setya.

“Apa kamu sengaja seperti ini untuk menggoda kami?” imbuh Dewi dengan pandangan curiga. “Ini tidak lucu lho. Kami suka kamu bekerja dengan keras dan menawan seperti biasanya.”

Jordie jadi grogi. Dia tidak ada maksud apapun. Dia memang tak paham tentang cara bernyanyi.

Hakim menyadari kekurangan Jordie. Dia mendekati Dewi dan Setya. “Di antara kalian yang khusus vokal siapa?” tanya Hakim.

“Aku,” jawab Dewi. “Ada apa?”

“Reynold sedang batuk. Dia tak enak badan sebenarnya karena liburan. Makanya tidak fokus,” terang Hakim. “Apa kamu bisa mengajari yang dasar-dasar saja? Sama memberikan contoh vokal dari dekat?”

“Oh, begitu,” ucap Dewi. “Bilang dong kalau sakit. Kita bisa latihan santai dan mempelajari dari dasar.”

Dewi mengulas senyuman simpul. Dia bangun dari duduknya dan masuk ke dalam ruangan rekaman.

Di sana, Dewi duduk di sisi Jordie. Dia mengajari Jordie dari bagian paling dasar.

Hakim duduk di sisi Setya. Dia menemani Setya mengobrol dan mengomentari performa Jordie.

Tak berapa lama, makan siang pun tiba. Hakim memasakkan mereka nasi kare daging dan jus. Ada juga potongan buah segar dan rujak.

“Wah, seleramu jadi sedikit berubah ya, Reynold,” komentar Setya.

“Sebenarnya banyak perubahan dari diri Reynold kurasa,” timpal Dewi sambil menikmati kare dagingnya.

“A-apa yang berubah?” timpal Jordie cemas. Dia takut jika dirinya ketahuan di hari pertama berinteraksi dengan orang-orang. Ditambah lagi, Michael tidak ada di apartemen akrena tadi buru-buru pamit untuk meeting dengan klien yang ingin mengendorse Reynold.

“Kamu jadi gampang kikuk,” kekeh Dewi.

Sedari tadi Dewi berusaha merayu Jordie dengan skinship. Sebenarnya sesekali Reynold pernah berciuman atau tidur bersama Dewi usai latihan vokal.

Tentu saja Dewi tak menolaknya. Reynold tampan, perkasa, dan pandai bercinta di atas ranjang. Setidaknya meski tak berstatus sebagai kekasih, Dewi tetap mendapatkan kenikmatan dari tubuh Reynold.

Namun, kali ini Dewi heran karena Reynold yang ada di hadapannya tidak bersikap menggoda atau menanggapi kodenya.

“Mungkin efek kamu sakit kali ya,” pungkas Dewi menyimpulkan. Lagi-lagi dia mengedipkan mata kirinya pada Jordie.

Tentu saja Jordie merinding mendapatkan godaan seperti itu dari Dewi. Dia tak suka perempuan seperti Dewi. Terlalu berani dalam bayangan Jordie.

Jordie menundukkan pandangan. Dia mengambil makanan dan mengunyahnya. Tak mau lagi menanggapi Dewi. Mengingat dia sudah memiliki Aster sebagai pendamping hatinya.

Saat makan siang selesai, Jordie menggantikan Hakim mencuci piring. Tentu saja Hakim mau-mau saja. Apalagi, dia sedang terlibat percakapan seru dengan Setya.

Jordie pun membawa semua alat makan kotor ke dapur. Dia menyalakan kran dan mulai mencucinya.

Dari belakang, seseorang memeluk Jordie. Tubuh Jordie langsung berjingkat kaget karena dia bisa merasakan ada benda empuk dan kenyal menempel di punggungnya.

Saat menoleh, Jordie kaget karena Dewi sudah memeluknya. Dia menelan ludahnya. Tampak Dewi tersenyum menggoda Jordie.

“Rey, mau ke kamarmu bentar nggak?” Dewi menciumi leher Jordie. “Quickie yuk?”

BAB 7

Jordie merinding demam secara mendadak gara-gara ulah Dewi. Dia langsung mendorong Dewi menjauh dari dirinya. Suara batuk-batuk terdengar dari mulutnya.

“Aku sedang tidak enak badan. Tolong jangan ganggu aku,” tolak Jordie tegas dan dingin. Tangannya bergerak mematikan kran air.

“Eh, tapi—“

Jordie tak memedulikan reaksi Dewi. Dia mendorong Dewi keluar dari dapur. Lantas, dia berlari melesat ke dalam kamar dan menutupnya.

“Rey! Reynold!” teriak Dewi kencang.

Perempuan itu tetap melangkah mengejar Jordie. Bahkan, dia tak peduli jika ada Hakim dan Setya di apartemen itu. Tangan Dewi tetap mengetuk-ngetuk pintu kamar Jordie dengan niatan membukanya.

Hakim dan Setya yang berada di ruang tengah terkaget mendengarkan teriakan Dewi. Buru-buru mereka berlari ke arah Dewi berada. Mereka tercengang melihat Dewi tampak berusaha keras masuk ke dalam kamar Jordie.

Hakim berlari menghampiri Dewi. Dia menarik Dewi dan membentaknya. “Kamu kenapa melakukan tindakan yang merusak properti seperti ini?” amuk Hakim. Dia menatap tajam Dewi.

Dewi mendengkus. Dia melipat kedua tangannya di depan dada. Pandangannya menatap arogan kesal ke arah Hakim.

“Aku hanya ingin bicara dengan Reynold,” ucap Dewi. Dia menyibakkan rambutnya ke belakang.

“Kalian bertengkar?” tebak Hakim. Kali ini nada bicara Hakim lebih tenang. “Aku manajer Reynold di sini. Kalian memang pelatih vokal dan musik Reynold. Tapi, aku akan menindak tegas kalian jika kalian melakukan sesuatu yang buruk pada Reynold. Mengerti?”

“Ah, sepertinya kita harus sudahi topik ini,” potong Setya. Dia tersenyum canggung ke arah Hakim. “Maaf ya karena kami sudah membuat keributan di sini. Tolong jangan putus hubungan kerjasama ini. Kami akan berusaha bekerja lebih baik lagi dari yang sekarang.”

Tangan Setya menarik sedikit kasar tangan Dewi. “Ayo, Dew. Kita balik aja. Rey kayaknya butuh waktu buat istirahat,” tutur Setya. Dia buru-buru menarik Dewi dan mengambil barang-barang yang ada di ruang latihan.

Hakim mengekori dua perempuan bertubuh seksi dan berpakaian minim itu. Memang sesaat Hakim sedikit tertarik dengan mereka. Namun, melihat perwatakan dua perempuan itu, Hakim mulai berpikir untuk menjaga jarak.

“Kalian ke sini lagi besok saja,” ucap Hakim saat berada di depan apartemen. “Reynold memang sedang butuh waktu istirahat. Dia lelah secara psikis karena pekerjaan yang overload. Seharusnya kalian bisa membuat Reynold lebih nyaman saat berlatih.”

“Iya, aku paham soal itu kok,” ujar Setya dengan senyuman manisnya. Jemari lentiknya mencolek manja lengan Hakim. “Jangan marah ya? Kita kan sudah kontrak kerjasama cukup lama. Kami janji akan memperbaiki semua ini dengan baik.”

“Ya, ini tergantung dari kinerja kalian kok,” tutur Hakim menggantung. Setidaknya dia harus jual mahal sebagai manajer demi menjaga wibawa. “Aku akan terus memantau pelatihan dari kalian selama satu minggu ini. Jika kalian tidak bisa bekerja dengan baik, secara otomatis, aku akan mengajukan komplain ke Pak Michael.”

Hakim menyunggingkan senyuman mengancam. “Kalian tahu kan ada banyak pelatih musik yang lebih profesional dibanding kalian. Kami tidak terlalu peduli dengan harga karena Reynold memiliki budget besar untuk ini.”

“Ah, iya, iya. Maafkan kami. Kami sungguh-sungguh minta maaf,” Setya menunduk beberapa kali. Dia juga mengajak Dewi ikut menunduk di hadapan Hakim.

Hakim mengangguk-angguk dengan senyuman bahagia. Setidaknya dia bisa melindungi Jordie dari orang-orang yang berpotensi untuk mencelakai Jordie.

“Pulanglah sana,” Hakim menutup pintu apartemen.

Dia melangkah menghampiri kamar Jordie dan mengetuk pintu kamar. “Die! Ini aku! Hakim!” teriak Hakim dari luar. “Aku sudah usir mereka. Semuanya aman.”

Tak berapa lama pintu kamar terbuka. Jordie menatap muram Hakim.

“Kehidupan ini nggak cocok untukku,” ujar Jordie seraya melangkah lesu ke mini sofa yang ada di kamar itu.

Hakim ikut masuk ke dalam ruang kamar itu. Dia rebahan di kasur empuk milik Reynold asli yang sudah mati itu.

“Mau bagaimanapun, kamu sudah sepakat dan tanda tangan, Die,” tutur Hakim realistis. “Kamu harus berjuang untuk berubah. Setidaknya kamu harus belajar cara menolak perempuan jika sedang didekati.”

“Gimana memangnya?” tanya Jordie polos.

Sedari dulu, Jordie memang minder. Dia hanyalah anak angkat di keluarga Aster sejak dirinya berusia lima tahun. Dia berusaha menjadi yang terbaik agar tak mengecewakan orang tua Aster yang sudah berbaik hati mau memungutnya. Karena itulah, Jordie sebenarnya tak memiliki cukup pengalaman tentang perempuan. Apalagi, pikirannya hanya dipenuhi oleh pesona Aster yang cantik dan baik hati.

“Kamu bisa saja bilang kalau kamu tidak menyukainya dengan gamblang atau bentak saja,” usul Hakim.

“Aku sudah mendorong Dewi menjauh tadi,” tutur Jordie dengan wajah lugunya.

“Tapi, kamu kabur, kan?” Hakim menatap datar Jordie. “Die, perempuan sama laki-laki buaya itu ya sama aja. Mereka nggak bakal berhenti mengejar kecuali kita konsisten menghadapi dan menolak mereka.”

Jordie menghela napas susah. Semua ini berat baginya karena kepribadian Reynold ternyata lebih buruk dari dugaannya.

“Sepertinya Reynold memang memiliki hubungan khusus dengan Dewi.”

“Bahkan, Setya,” imbuh Hakim.

“Kamu tahu itu semua?” Jordie syok menatap sahabatnya itu. Hakim benar-benar terlihat profesional sekarang.

“Well, aku tadi memang sedikit tergoda oleh Setya. Tapi, Setya selalu membahas tentang Reynold. Aku bisa melihat bahwa Setya menyukai Reynold dan kalau Reynold itu buaya, pastilah Reynold sudah pernah pakai Setya,” terang Hakim.

“Astaga! Benar-benar gila! Dua-duanya dipakai,” Jordie lagi-lagi hanya bisa menghela napas.

Kehidupan sang superstar itu tak segemerlap yang tersorot layar kamera. Bahkan, kehidupannya sangat gelap dan buruk.

Jordie teringat sesuatu. Dia segera bangun dari duduknya dan ke kamar mandi.

“Ngapain, Die?” tanya Hakim penasaran.

“Wig ini,” Jordie menunjukkan wig yang ada di rak dinding kamar mandi. “Apa ini punya Dewi atau Setya ya?”

“Entahlah. Memangnya mau kamu apain?” balas Hakim heran.

“Buang,” jawab Jordie pendek. “Ayo kita sidak semua tempat di apartemen ini. Kalau kita temukan hal-hal berbau pakaian perempuan, kita buang saja.”

“Kamu yakin mau lakuin hal itu, Die?” Hakim menggaruk-garuk kepalanya.

“Memangnya kenapa?” balas Jordie.

“Ya, kan kita bukan pemilik asli tempat ini,” tutur Hakim.

“Kita sudah dapat izin dari Pak Michael,” ujar Jordie. “Aku sangat tidak nyaman dengan kepribadian Almarhum Reynold tapi aku sudah berjanji akan berperan sebagai dirinya.”

“Lalu?”

“Aku mau ruwatan dia!” sahut Jordie dengan kemantapan.

“Hah? Ruwatan?” Hakim melotot kaget menatap Jordie.

Jordie mengangguk penuh percaya diri. “Aku akan mengumpulkan barang-barang semacam aksesoris dan pakaian perempuan yang ada di sini dan aku akan merapikannya. Kita bisa membuangnya agar tempat ini sungguhan bersih,” jelas Jordie. “Aku akan pelan-pelan mengubah citra Reynold sebagai seorang pria yang bermartabat.”

“Apa kamu tidak terlalu berlebihan, Die? Nanti kalau ada kondom di sini gimana?” timpal Hakim setengah bercanda. “Kayaknya kita juga perlu deh simpen kondom. Kamu juga. siapa tahu kebablasan kalau sama Aster.”

Jordie mengernyitkan keningnya. “Nggak mungkin,” balas Jordie secepat kilat. “Asterku perempuan baik-baik. Dia sempurna. Dia nggak mungkin seperti itu.”

Langkah Jordie menghampiri Hakim. Dia memukul pantat Hakim dengan menggunakan wig di tangannya. “Ayo bangun, Kim! Kita bersih-bersih ala kita,” ajak Jordie penuh semangat. Ya, walaupun dia sudah berada di dunia hiburan yang gelap, namun dia tetap ingin bertahan menjadi diri sendiri.

“Aku nggak akan mengecewakan orang-orang terdekatku meski harus bekerja sebagai Reynold yang penuh kebusukan,” tekad Jordi menguatkan mentalnya.

BAB 8

“Wah, gila sih,” ujar Hakim tak percaya.

Pandangannya masih menatap nanar barang-barang tak terduga hasil bersih-bersih apartemen milik Reynold. Di antara semua kerapian apartemen itu, ada tempat rahasia bagi Reynold untuk menyembunyikan barang-barang haramnya secara rapi. Bahkan, masih ada sisa serbuk narkotika yang dibungkus rapi dan disimpan di dalam kotak mainan catur.

“Kita harus buang ini secepatnya,” ucap Jordie. “Barang-barang seperti berbahaya dan akan menimbulkan kerusuhan kalau sampai ketahuan pihak berwajib.”

Jujur saja Jordie cemas dengan kondisi apartemen ini. Dia saat ini sedang berperan menggantikan Reynold yang sudah mati. Sayangnya, track record Reynold memang lebih buruk dari yang Jordie kira.

“Mau kita buang ke tempat sampah?” usul Hakim. “Buangnya pas malam hari aja.”

“Jangan dibuang,” larang Jordie. “Sekarang kan canggih. Kalau ada yang nemu terus dibawa ke kantor polisi gimana? Sidik jari kita pasti bakal kena.”

Jordie memandangi sisa koleksi barang haram Reynold yang berhasil dia temukan. Dia mengambil semuanya dan membawa ke kamar mandi.

“Mau kamu apain, Die?” Hakim mengekori Jordie dari belakang. Pandangannya terus memperhatikan gerak-gerik Jordie.

Tampak Jordie mengambil masker. Dia membagikan masker itu pada Hakim.

“Pakai. Takutnya nanti kehirup,” suruh Jordie. Dia juga membagi sarung tangan plastik.

Hakim mengangguk patuh. Dia mengikuti perintah Jordie karena merasa ucapan Jordie memang logis.

Setelah itu, Jordie memulai aksinya. Dia mengambil plastik berisi bubuk narkotika itu. Dia membuang bubuk itu ke dalam toilet dan mencampurkannya dengan karbol pembersih toilet. Baru kemudian, dia menekan tombol flush.

Ada beberapa cairan yang Jordie rasa untuk disuntikkan ke tubuh. Dia juga membuangnya di toilet dengan campuran karbol pembersih toilet.

“Sekarang yang tersisa yang modelan dedaunan buat rokok ini, Die,” Hakim menunjukkan sisa koleksi Reynold. “Masa’ mau dibakar?”

“Kalau dibakar, nanti kehirup sama kita. Malah kita jadi pecandu nanti,” balas Jordie.

“Iya sih. Terus mau dibuang ke toilet juga?” timpal Hakim. “Emang sih buang di toilet paling aman. Soalnya bakal kecampur sama kotoran di septitank.”

Jordie mengangguk. “Kita remas-remas dulu sampai bentuk terkecil biar nggak bikin saluran pipa menuju septitank-nya mampet,” terang Jordie.

Mereka berdua pun bekerja sama untuk memusnahkan semuanya. Kini sisanya hanyalah plastik-plastik yang menjadi wadahnya.

“Kita cuci semua ini. Nanti tengah malam aku buang,” ucap Jordie.

“Kamu sendirian?” Hakim menatap cemas Jordie.

“Ah, nggak masalah. Kan cuma bungkus. Kita cuci pakai karbol,” Jordie menyenggol lengan Hakim. “Sekalian aku jalan-jalan cari makanan habis itu.”

“Aku ikutan deh, Die. Nggak enak kalau kamu doang yang pergi,” balas Hakim.

“Kamu di sini aja. Jaga-jaga kalau ada Pak Michael. Siapa tahu kan sidak malam,” terang Jordie.

Hakim menggelengkan kepala. “Gimanapun aku ini manajermu. Kita lakukan semuanya bersama-sama,” ucap Hakim penuh keyakinan. Bagaimanapun, dirinya bukanlah siapa-siapa jika tanpa Jordie.

Kepala Jordie mengangguk. Dia menyetujui ucapan Hakim dan membiarkan Hakim menemaninya untuk membuang sampah pembungkus barang haram itu.

Sekitaran pukul 10 malam, Jordie dan Hakim pergi keluar. Mereka menggunakan sweater ber-hoodie dan melangkah santai masuk ke dalam lift.

Mereka tak banyak bicara. Paling sesekali Hakim berceloteh tentang makanan pinggiran yang ingin dia beli.

“Biasanya deket supermarket situ ada orang jualan nasgor enak banget,” celoteh Hakim.

Jordie mengangguk saja. Dia hanya menimpali sesekali saja karena dia masih membalas chat dari Aster. Tentu saja dia sedang berusaha menenangkan Aster yang masih agak marah karena Jordie menolak menginap di vila bersama.

Pintu lift terbuka. Jordie dan Hakim melangkah keluar lift dan bergerak menuju tempat pembuangan sampah. Di sanalah, mereka memutuskan membuang semua barang-barang Reynold yang bisa menimbulkan citra negatif untuk Jordie.

“Ah, akhirnya selesai juga bersih-bersihnya,” Hakim merentangkan kedua tangannya ke langit-langit.

“Ayo cari nasgor. Habis itu kita makan di apartemen saja,” ajak Jordie cepat-cepat.

Dia sudah melangkah menuju pintu keluar tempat pembuangan sampah. Namun, langkahnya terhalangi oleh dua orang pria bertubuh besar dan menggunakan masker mulut berwarna biru.

“Maaf, saya mau lewat,” ujar Jordie.

“Kita harus bicara,” balas salah satu dari pria itu.

Jordie bingung. Dia mendongak menatap ke arah pria itu. “Maaf, apa kita saling mengenal?” tanya Jordie.

“Hei, ada apa? Memangnya temanku ada masalah dengan kalian?” imbuh Hakim. Dia ikut bersuara karena sepertinya dua orang pria di hadapan mereka saat ini sangatlah berbahaya.

“Kamu tidak ingat seharusnya seminggu lalu, kamu membayarku,” ucap pria itu.

“Bayar? Buat apa?” balas Jordie dengan polosnya. Jordie masih berpikir bahwa dirinya adalah seorang Jordie, bukan seorang Reynold.

“Rey, tiap bulan biasanya lancar transaksi kita. Kamu tidak ingat itu?” timpal pria satunya yang berkepala gundul.

Seketika itu, Jordie menyadari bahwa dua pria menyeramkan itu adalah kenalan Reynold. Namun, siapa? Pak Michael tidak pernah menceritakan perihal dua orang pria itu pada Jordie.

“Ah, jangan-jangan kartu ATM-mu disita manajermu lagi ya?” tebak pria berkepala gundul itu. “Pantas saja kamu nggak ada kabar. Padahal, barang pesananmu sudah siap.”

“Pesanan yang mana?” tanya Jordie. Dia ingin tahu pesanan apa yang dimaksud oleh dua orang pria itu.

“LSD,” jawab pria gundul itu.

Jordie terdiam. Dia memiliki firasat bahwa itu adalah jenis narkotika yang baru saja dia bersihkan dari seluruh sudut ruangan apartemen Reynold.

“Gimana? Ambil nggak?” balas pria gundul itu. Dia mulai menyalakan rokoknya dan mengepulkan asap ke arah Jordie. “Katamu kamu butuh buat inspirasi album terbarumu setelah cuti, kan?”

Pria gundul itu melirik ke arah Hakim. “Siapa dia? Aman, kan?” tanya pria gundul itu penuh curiga. “Nggak biasanya kamu bawa cecunguk beginian kalau ketemuan denganku.”

“Aman. Dia wakilnya Michael. Orangku,” jawab Jordie. Dia melangkah maju ke depan Hakim. Dia bisa merasakan tubuh Hakim sedikit gemetar. Pastilah bertemu dengan penyalur narkoba seperti ini menjadi hal menakutkan untuk Hakim.

“Jadi, bagaimana? Ambil?” tanya pria gundul itu lagi. “Waktuku tidak banyak.”

“Next time,” balas Jordie. Dia mencoba mengulur waktu dengan sempurna. “Uangku dan kartuku disita Michael.”

Jordie mencoba santai dan bersikap seperti Reynold. Dia memang belum pernah bertemu dengan Reynold. Namun, dia bisa membayangkan seperti apa sosok Reynold saat slengekan dan berhadapan dengan orang-orang berbahaya seperti ini.

Pria gundul itu meludah tepat di depan Jordie. “Argh! Tiga kali lipat harga berikutnya,” pungkas pria gundul itu. “Kalau mangkir lagi, aku nggak bakal kasih barang ke kamu lagi.”

Rokok yang masih sisa setengah itu dibuang. Dia mengepulkan asap rokok tepat di wajah Jordie.

Jordie langsung mundur dan menahan napas. Dia takut jika asap itu mengandung sesuatu berbahan narkotika.

“Hubungi aku saja untuk pertemuan berikutnya,” balas Jordie. “Ada Michael di tempatku sekarang.”

Jordie menarik Hakim. Dia melangkah duluan membelah blokade dari dua pria menyeramkan itu.

Pikiran Jordie kosong sekarang. Dia hanya berjalan cepat dan membawa Hakim masuk kembali ke lift apartemen. Lantas, dia buru-buru menekan tombol lift menuju lantai di mana apartemennya berada.

“Hah! Gila!” Jordie langsung lunglai lemas saat lift sudah bergerak naik ke atas.

“Beneran ya artis ini,” decak Hakim. Dia sama lemasnya seperti Jordie. Bahkan, saking lemasnya, dia tak bisa bicara apapun.

“Mau gimana lagi. Memang gitu kelakuannya,” balas Jordie. “Argh, aku mulai menyesali keputusanku. Ini jauh lebih berat dibanding menerbangkan sebuah pesawat.”

Jordie dan Hakim sama-sama terdiam. Pikiran mereka sama-sama kalut sekarang.

Pintu lift terbuka. Jordie melangkah duluan keluar dan Hakim mengekor dari belakang. Nafsu makan mereka sudah hilang dan mereka hanya ingin segera masuk ke dalam kamar agar bisa berbaring santai.

Nyatanya, permasalahan sepertinya belum bisa terselesaikan. Jordie melihat ada dua orang polisi intel tengah menanti di depan pintu apartemennya.

BAB 9

“Anda Pak Reynold. Benar begitu?” sapa salah satu polisi intel.

“Iya, benar,” jawab Jordie.

Ekor mata Jordie melirik ke arah saku celana pria di depannya. Dia melihat ada pistol listrik menyembul dari sana.

“Ada perlu apa ya, Pak?” tanya Jordie kemudian.

Dia menunjukkan wajah polos dengan senyuman ringan. Meski tahu bahwa dirinya dicurigai, Jordie mencoba tetap tenang. Apalagi, dia tak melakukan hal buruk apapun.

“Tidak. Kami hanya ingin melakukan patroli keamanan,” terang si polisi intel itu. “Ada kabar santer bahwa daerah ini sering terjadi pembobolan pintu.”

“Oh, saya malah baru tahu,” ujar Jordie. Dia melangkah mendekati pintu apartemennya dan membukanya. “Mari, Pak. Silakan masuk.”

Jordie sengaja bersikap ramah pada intel itu. Semuanya dia lakukan dengan tujuan agar dirinya tak dicurigai lebih dalam.

Si intel akhirnya ikut masuk ke dalam. Mereka duduk di sofa ruang tamu sesuai dengan ucapan Jordie.

“Mau minum apa, Pak?” tanya Jordie. “Biar asisten manajer saya yang menyiapkan.”

Dua intel itu menatap ke arah Hakim. Mereka memang memiliki data soal Reynold dan orang-orang di sekitar Reynold. Namun, data tentang Hakim sama sekali tidak ada.

“Saya yang siapkan. Mau kopi atau teh anget?” tanya Hakim lebih detail. “Bilang saja. Saya di sini bertugas mendampingi Reynold sesuai instruksi perusahaan.”

“Ah, karyawan baru ya,” celetuk salah seorang intel itu.

“Benar,” jawab Hakim.

“Kami hanya ingin memeriksa pintu dan jendela saja. Jika sudah aman, kami akan langsung berpamitan,” balas intel itu.

“Boleh. Silakan. Silakan,” Jordie memberikan kesempatan bagi dua orang intel itu untuk berkeliling.

Hakim menarik lengan Jordie dan mengajaknya menjauh. Dia menatap Jordie gelisah.

“Die, ini gila,” desis Hakim setengah panik. “Kenapa kamu kasih izin mereka buat periksa apartemen kita?”

“Biar mereka percaya sama kita. Jadi, mereka nggak perlu ke sini lagi,” terang Jordie. “Percaya aja sama aku. Aku tahu apa yang aku lakukan.”

Jordie menepuk-nepuk kedua bahu Hakim. Lantas, dia membalikkan badan dan melangkah menghampiri dua polisi intel itu.

Mau tak mau, Hakim harus tetap mengekor. Mereka pun berakhir keliling apartemen luas dan mewah itu bersama dua orang intel itu.

“Bagaimana, Pak? Aman, kan?” tanya Jordie. Dia menyunggingkan senyuman penuh percaya dirinya.

“Ya, benar. Aman,” jawab si intel.

“Syukurlah,” ujar Jordie lega. “Setidaknya kami bisa tidur dengan nyenyak.”

Jordie mengantarkan dua intel itu keluar dari apartemen. Dia tersenyum sopan. “Pak, nanti kalau misal mau ada pemeriksaan, Bapak bisa langsung kabari kontak asisten manajer saya,” terang Jordie. Dia mendorong Hakim ke depan. “Kim, kasih kontakmu.”

“Iya,” Hakim membagikan nomornya pada dua intel itu.

Usai berbasa-basi sejenak, intel tersebut pergi. Jordie langsung mengajak Hakim ke dalam dan mengunci pintu dengan rapat.

“Wah, gila!” seru Hakim seraya membanting diri di sofa. Dia menengadahkan kepala ke atap sambil memijat-mijat kepalanya yang pening.

Jordie mengambilkan minum untuk dirinya dan Hakim. Dia membagi air dingin itu dan menenangkan diri sambil minum sejenak.

“Untung ya siang tadi kita udah beneran beres-beres rumah,” ucap Hakim usai menenggak setengah isi botol mineral bermerek itu. “Kalau nggak, kita udah masuk penjara kali ya.”

Kepala Jordie mengangguk. Dia pun masih terkejut tapi berusaha tetap tenang.

“Masalah kita masih menumpuk banyak ke depan sepertinya,” terang Jordie. “Reynold benar-benar tukang bikin onar. Hidupnya dia bergelimang harta sekaligus masalah.”

“Benar juga. Soal orang di tempat pembuangan sampah tadi gimana?” tanya Hakim.

“Entahlah. Kita sepertinya tidak bisa bergerak sendiri. Kita harus memberitahu Pak Michael agar dia nanti yang menanganinya,” tutur Jordie. “Untungnya kita tadi beneran cuma bawa uang buat makan dan membatasi interaksi dengan mereka.”

“Tetap saja ini hal yang gawat, Die,” decak Hakim. Dia mengerang nelangsa. “Nggak seharusnya aku dukung kamu buat jadi Reynold kalau tahu kayak gini masalahnya.”

“Kita juga nggak mungkin mundur lagi,” ucap Jordie. “Aku sudah terlanjur tanda tangan dan akan semakin runyam kalau aku mundur. Aku nggak mau bikin masalah karena Aster pasti akan semakin sedih kalau tahu hidupku hancur seperti ini.”

Hakim menatap kasihan Jordie. Dia pikir dia sudah mendukung Jordie memasuki lautan harta dan kebahagiaan. Nyatanya, di dalam lautan itu tersembunyi banyak bangkai busuk dan makhluk mengerikan sebagai bagian cobaan.

“Besok mau coba meeting sama Pak Michael?” tanya Hakim. “Akan kutelepon dia kalau kamu setuju.”

Kepala Jordie mengangguk. “Iya, telpon saja,” ujar Jordie. “Sebentar lagi aku bakal ke Bandung. Aku nggak mau terlibat masalah aneh saat berada di Bandung.”

“Oke,” sahut Hakim.

Jordie mempercayakan urusan komunikasi dengan Pak Michael pada Hakim. Sementara itu, dia memilih memasak pasta di dapur sambil memikirkan cara agar dirinya bisa terlepas dari jejaring narkoba itu.

Pastinya pengedar narkoba yang tadi menemui Jordie karena Reynold sudah berlangganan sebelumnya. Menghindar terus bukanlah sebuah cara yang efektif. Satu-satunya cara memang bekerja sama dengan polisi untuk menangkap pengedar itu.

“Benar, aku nggak bisa terus menghindari masalah. Aku harus membicarakan ini pada Pak Michael besok,” tekad Jordie usai membuat keputusan.

Keesokan harinya, saat jam makan siang, Pak Michael datang ke apartemen sesuai dengan undangan Hakim. Pria itu membawakan makan siang untuk dinikmati bersama sambil rapat santai di balkon apartemen yang berukuran luas.

“Berarti pengedar narkoba itu akan menemuimu lagi?” timpal Pak Michael usai mendengarkan semua kronologis kejadian cerita yang dialami oleh Jordie.

Kepala Jordie bergerak mengangguk. “Aku tidak mungkin terus-menerus menghindar,” ujar Jordie. “Satu-satunya cara adalah melaporkannya pada pihak polisi tepat ketika mereka menghampiriku sesuai dengan jadwal perjanjian. Jika tidak, mereka akan terus ke sini dan mencariku. Kamu pasti tahu kan bagaimana pergerakan bandar dan pengedar narkoba jika sudah memiliki target sasaran?”

“Tapi, akan sangat berisiko jika melibatkan pihak kepolisian. Mereka akan tahu kalau Reynold pernah bertransaksi beberapa kali dengan para pengedar itu. Kamu akan mendapatkan keburukan dari dosa-dosa Reynold di masa lalu. Hal terburuknya adalah kamu akan dipenjara,” jelas Pak Michael. Pria itu menatap cemas Jordie. “Jujur saja, aku tidak mau kehilanganmu, Jordie. Kamu memang masih belum memiliki bakat entertain tapi perilakumu bagus dan pekerja keras. Aku yakin kamu bisa lebih sukses dibanding Reynold.”

Jordie terdiam. Ucapan Michael memang benar. Dia tahu Michael pasti memiliki pertimbangan besar dan akurat karena Michael sudah profesional sebagai seorang manajer artis. Meski begitu, dia tetap merasa tak nyaman jika harus berurusan dengan pengedar narkoba.

“Aku juga bisa masuk penjara jika ketahuan bertemu dengan pengedar itu oleh polisi,” terang Jordie. “Lebih baik jika kita bekerja sama dengan polisi. Katakan saja kalau ada pengedar narkoba yang mengejar-ngejarku dan memaksaku membeli narkoba. Bukankah semua artis pasti mengalami hal seperti itu?”

“Sebagian,” ujar Pak Michael. Dia tak mengelak perihal fakta tersebut. “Ada juga yang memang mencari tahu karena iseng dan ingin mencoba karena narkoba memang dianggap sebagai sarana cepat untuk mencapai tahap tertinggi kreativitas bagi para seniman.”

“Katakanlah aku sedang dikejar-kejar. Kamu harus meyakinkan polisi melakukan itu,” tutur Jordie. “Aku akan membuat janji dengan pengedar itu malam ini. Kamu datanglah bersama polisi untuk menangkap mereka. Jika termuat media, nama Reynold pasti akan melejit karena sudah membantu polisi menangkap pengedar narkoba. Benar, kan?”

BAB 10

Michael menoleh ke arah Hakim. Dia menepuk tangan Hakim yang malah sibuk menikmati makanan.

Hakim tergeragap kaget. “Gimana, Pak?” tanya Hakim spontan.

“Bujuk temanmu agar tidak melakukan hal aneh,” ujar Michael. Dia masih tak bisa menerima ide gila Jordie yang terlalu riskan itu.

Hakim mengambil gelas minumnya dan meneguknya. Dia menatap Michael dengan pandangan pasrah. “Percayalah padaku, Pak. Semalam aku sudah membujuk Jordie,” tutur Hakim. “Dia sama sekali tidak peduli dengan ucapanku. Makanya, aku memanggilmu ke sini.”

Michael menghela napas resah. Ternyata Jordie memang tak bisa dia kendalikan sepenuhnya meskipun kepribadian Jordie dia akui bagus.

“Jordie, meski aku menyetujui ide gilamu, aku tidak bisa memberikanmu izin sekarang,” terang Michael. “Aku harus berkoordinasi dengan pihak kepolisian dan itu butuh waktu satu minggu paling cepat. Ya, kamu tahu kan kalau aku harus memikirkan kemungkinan-kemungkinan negatif dari masalah ini. Tapi, aku benar-benar berterima kasih padamu karena kamu mau bersikap sangat jujur padaku soal ini.”

Kepala Jordie mengangguk. Dia pun paham dengan maksud ucapan Michael sepenuhnya.

“Terima kasih sudah mau menerima usulanku,” ucap Jordie. Dia terdiam sesaat dan teringat akan sesuatu. “Oh, iya, apa aku bisa ganti pelatih vokal dan musikku?”

“Kenapa? Kamu tidak suka mereka?” balas Michael. Kali ini obrolan sudah menjadi santai. Tak setegang tadi saat membasah tentang pengedar narkoba.

“Aku pikir Dewi dan Setya terlalu ganjen,” tutur Jordie jujur. “Aku kan nggak ada keahlian di bidang ini. Aku ingin belajar semaksimal mungkin yang aku bisa. Jujur aja nih, aku beneran terganggu sama perilaku Dewi dan Setya.”

Michael terdiam sesaat. Dia memang pernah mendengar selentingan gosip tentang Reynold yang suka berhubungan dengan Dewi dan Setya di luar jam kerja. Namun, itu hanya menjadi gosip sehingga Michael memutuskan untuk mengabaikannya.

“Memangnya ganjen sampai seperti apa?” tanya Michael. Dia ingin mendengar detailnya untuk membuat pertimbangan alasan pemutusan kontrak kerja Dewi dan Setya. “Jika memang alasannya berat dan ada dasar jelas, aku bisa mengalihkan Dewi dan Setya untuk artis lainnya. Nanti kamu akan aku carikan pelatih lain yang lebih profesional lagi.”

Sesaat pipi Jordie sedikit bersemu merah. Pasalnya, dia memang sedikit malu jika harus menceritakan perihal tindakan Dewi yang mengajaknya bercinta di siang bolong.

Namun, Jordie tak bisa terus menyimpan rahasia ini. Apalagi, dia memang ingin ganti pelatih yang lebih profesional. Dia pun menceritakan kronologisnya.

Michael mengangguk paham. “Aku sungguh-sungguh tidak tahu soal ini sebenarnya tapi aku carikan saja pelatih baru agar kamu bisa bekerja masimal,” sanggup Michael. “Sebentar lagi, kamu akan comeback dalam mini album dan ikut bermain peran dalam sebuah series. Pekerjaanmu banyak dan kamu harus melakukan semuanya dengan baik sesuai kontrak kita.”

Jordie menyunggingkan sneyuman lebarnya. “Makasih, Pak,” ujar Jordie lega.

Mereka melanjutkan makan siang sambil mengobrolkan rencana pekerjaan dua minggu ke depan. Michael menambahkan beberapa detail baru dan memberikan sebuah dokumen. Setelah itu, dia pamit untuk pulang karena ada beberapa pekerjaan yang harus dia lakukan.

Hakim menepuk-nepuk bahu Jordie saat Jordie menutup kembali pintu apartemennya. Dia berdecak menatap sahabatnya itu.

“Kamu beneran gila, Die,” ujar Hakim. Bagaimanapun, Hakim masih tak menyangka Jordie akan seprofesional ini saat bekerja.

“Kamu udah ngatain aku gila dari kemarin malam,” terang Jordie. Dia menatap ke arah jam tangannya.

“Ya, mau gimana lagi. Kamu pengen nangkap pengedar narkoba dan minta Pak Michael mecat Dewi dan Setya,” decak Hakim. Dia menghela napas sedih. “Aku nggak bisa ngegebet Setya nih.”

“Halah, kamu itu ada-ada aja. Ngegebet tuh cewek yang bener. Jangan ngegebet yang modelan gitu. Kalau mendadak kena penyakit kelamin, gimana?” cerocos Jordie. Dia menasihati Hakim yang masih mudah tergoda dengan perempuan cantik tapi tak memiliki pandangan ke depan secara jernih.

“Ya, kan kita sebenarnya masih muda, Die. Nggak perlu terlalu serius waktu pacaran sama cewek,” kekeh Hakim. "Lagian, aku kan berpetualang biar bisa dapetin perempuan terbaik. Nasibku nggak sebagus kamu, Die. Kamu dari umur lima tahun udah ketemu Aster dan tahu persis kalau Aster itu sempurna.”

Jordie tak bisa mengelak ucapan Hakim. Dia memang sadar bahwa dirinya beruntung karena diangkat sebagai anak adopsi di keluarga Aster. Dia tahu secara utuh sifat Aster dan keluarganya. Ditambah lagi, Aster memang berasal dari keluarga kaya raya yang hidup sederhana dan tidak mengagungkan kekayaan yang dimiliki.

“Cuma aku bisa aja ditolak sama orang tuanya Aster,” tutur Jordie resah. “Aku harus siapin diri dengan baik. Aku nggak mau ditolak orang tua Aster.”

Jordie kembali fokus mempelajari pekerjaan barunya. Hingga akhirnya, tiba waktunya dia menemui Aster sesuai dengan janjinya.

Tepat saat petang hari, dia mengambil tas pakaian yang sudah dia siapkan dan segera berganti. Tak lupa dia memakai kacamata hitam dan masker penutup mulut.

“Gimana? Udah oke, kan?” tanya Jordie pada Hakim.

“Beneran nih kamu mau ke Bandung?” Hakim menatap ragu ke arah Jordie.

Kepala Jordie mengangguk. “Tiket travel-nya udah dapet. Kalau naik kendaraan umum, bakal ada orang yang tahu siapa aku. Paling aman naik mobil travel,” terang Jordie.

“Kalau mobil travel, mending aku anterin kamu pakai mobil,” timpal Hakim. Sebenarnya Hakim ingin ikutan pergi ke Bandung bersama Jordie. Setidaknya, dia bisa jalan-jalan dan makan gratis di sana karena Aster memang sangat loyal pada Jordie.

“Kamu jaga di sini aja. Kalau Pak Michael ngecek, bisa gawat,” terang Jordie mengingatkan.

“Eh, iya, bener juga,” celetuk Hakim tersadar.

Jordie pun berpamitan dengan Hakim. Dia memesan taksi online menuju shelter travel. Di sana, dia naik ke dalam mobil travel dan memilih tidur sepanjang perjalanannya.

Sekitaran pukul 11 malam, Jordie sudah tiba di Bandung. Dia memesan ojek dan berkendara menuju rumah mungil di samping rumah orang tua Aster.

Saat dia sudah masuk SMA, orang tua Aster memang sengaja memindahkan Jordie di rumah terpisah dari rumah utama. Alasannya sederhana, Jordie berada di masa puber. Aster dan dua saudari kembarnya juga sama-sama puber. Orang tua Aster tak mau terjadi hal negatif di antara Jordie dan tiga saudari kembar itu. karenanya, tempat tinggal Jordie dipisah dan ada pembatasan waktu saat mereka bertatap muka tiap harinya.

“Loh, Jordie, kan?” sapa seseorang.

Jordie tersenyum. Dia melihat tukang kebun di rumah Aster yang kini menjadi penghuni rumah kecil itu.

“Pak Yana,” sapa Jordie. Dia melangkah dan meraih jemari tangan pria tua itu.

“Owalah, ke sini kok nggak kabar-kabar,” balas pria itu. Dia merangkul Jordie dan memeluknya dengan erat. “Gimana kabarmu? Katanya udah jadi sopir pesawat ya?”

Tawa Pak Yana terdengar akrab. Pria itu sudah berkeluarga tapi saat hari kerja, dia memang menginap di sana dan ambil di kala weekend.

“Alhamdulillah, Pak,” jawab Jordie canggung. Ada rasa sedih bercampur malu dalam hati Jordie karena dia harus berbohong pada semua orang. Namun, mau bagaimana lagi. nasib yang membuatnya harus bertingkah laku seperti ini.

“Ayo masuk. Udah makan belum? Kamarmu nggak ada yang pakai kok. Tiap hari, Bapak bersihkan,” terang Pak Yana. Dia membimbing Jordie masuk ke dalam rumah mungil itu.

Jordie melangkah mengikuti pria tua itu. Dia masuk ke dalam kamarnya yang memang bersih.

Di sana, dia menaruh tasnya di meja yang biasanya menjadi meja belajarnya. Lantas, dia berbaring tidur di kasur.

Lambat laun rasa kantuk menyerang matanya. Tak terasa matanya terpejam dan nyawanya melayang ke dunia mimpi.

Jordie terbangun saat dia merasakan sesuatu menyentuh pipinya. Rasanya lembut dan menenangkan.

Perlahan kelopak matanya terbuka. Dia melihat ada bayangan wajah seorang perempuan tepat di hadapan wajahnya. Sesaat Jordie masih mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya perlahan dan akhirnya bola matanya terbuka dan membulat lebar saat tahu siapa perempuan yang ada di hadapannya itu.




 


 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya PERFECT MARRIAGE- BAB 101-105
0
0
Ikuti kisah manis pernikahan Zidan dan Rumi dalam novel PERFECT MARRIAGE!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan