KONTRAK CINTA EKSKLUSIF- BAB 6-10

1
0
Deskripsi

Tak hanya dikhianati, Ruby kena tipu oleh sahabat dan tunangannya. Rainbow Entertainment yang sudah dia rintis hingga bisa menembus pasar hiburan musik di Asia jatuh ke tangan sahabat dan tunangannya. Tak sepeser keuntungan Ruby dapatkan.

Ruby menenangkan diri di Bandung. Nasib mempertemukannya dengan Dito Pramono, pemilik Sun Entertainment, agensi musik ternama di London dan tengah melakukan ekspansi pasar di Asia. Orang tua Dito ingin Dito segera menikah agar ada yang merawat Dito. Apalagi, Dito...

BAB 6

“Papa ngapain ke—“

“Ruby!” Brian merangkul Ruby dengan erat. “Syukurlah kamu sehat-sehat saja. Papa takut kamu kenapa-kenapa.”

Ruby tercekat. Perasaannya jadi campur aduk sekarang. “Papa ....”

“Papa ke sini sendirian kok. Kamu nggak usah khawatir,” ucap Brian seolah-olah paham isi pikiran Ruby.

“Aku cuma nggak pengen ketemu mama aja sekarang,” cicit Ruby pelan. “Tapi, aku baik-baik aja kok. Papa nggak usah khawatir.”

“Tetap saja Papa khawatir,” balas Brian. “Kamu anak perempuan satu-satunya Papa. Kalau kamu nggak ada, Papa nggak punya gantinya.”

“Papa.”

Mau tak mau, air mata Ruby kembali tumpah. Dia menangis dalam pelukan Brian. 

“It’s okay. Everything will be okay, By,” Brian menepuk-nepuk punggung anak bungsunya itu. 

Ruby menangis cukup lama dalam pelukan Brian. Dia tahu seharusnya dirinya tak menangis seperti ini di depan papanya. Namun, dia tak bisa membohongi perasaannya. 

Brian membimbing Ruby masuk ke kamar tamu. Di sana, dia menemani anak perempuannya hingga berhenti menangis. 

“Papa tahu sekarang pasti sangat berat bagimu,” ucap Brian saat Ruby sudah berhenti menangis. 

“Aku malu, Pa. Bodoh banget aku. Persis kayak yang mama bilang,” balas Ruby sambil memeluk erat lengan Brian. 

“Cinta memang gitu, Sayang. Secerdas apapun seseorang, kalau udah jatuh cinta ya bisa mendadak bodoh. Karena yang bekerja saat jatuh cinta itu bukan otak tapi perasaan,” terang Brian. “It’s okay ya? Semua orang punya kebodohannya masing-masing. Yang penting jangan jatuh di lubang yang sama untuk yang kedua kalinya.”

“Iya, Pa. Makasih ya udah mau mahamin aku,” Ruby menatap penuh syukur pada Brian. Ya, setidaknya Brian memiliki sifat yang jauh lebih sabar dan pengertian dibandingkan Risa. 

“Sekarang Papa pengen kamu percaya sama Papa dan mau terima bantuan Papa ya?” tutur Brian kemudian.

“Bantuan apa, Pa? Aku bakal usaha sendiri kok dari nol,” ucap Ruby.

“Usahamu bakal berat kalau nggak Papa bantu. Mau ya? Papa udah siapin ini untukmu,” Brian mengeluarkan dompetnya. Dia mengambil black card dan menyerahkannya kepada Ruby.

“Password-nya tanggal ulang tahunmu. Isinya cukup untuk melakukan apa yang kamu inginkan. Termasuk membeli Rainbow Entertainment lagi.”

Ruby menggelengkan kepala. Dia mengembalikan black card itu pada Brian. “Makasih, Pa. Tapi, aku bakal tepati ucapanku ke mama. Aku bakal berjuang dengan usahaku sendiri,” ujar Ruby konsisten.

“Papa cuma pengen bantu kamu, Sayang.”

“Kedatangan Papa saat ini udah sangat berarti buatku, Pa. Aku sayang Papa. Makasih ya, Pa,” Ruby merangkul Brian dengan hangat. 

Brian hanya bisa menghembuskan napas pasrah. Anaknya sudah bertekad bulat. “Kontak Papa kalau emang kamu butuh bantuan ya? Jangan malu. Papa punya simpanan aset yang nggak diketahui mamamu kok. Kamu bisa pakai itu semua,” pesan Brian. 

Ruby mengangguk. Tak berusaha mengungkit apapun. Tentu karena dia yakin bakal bisa berusaha dengan kemampuannya sendiri.

Keesokan harinya, Ruby memulai usahanya dengan menghubungi Fernan. “Selamat pagi, Fernan. Ini aku Ruby Pelangi Golden. Yang kemarin menolong bosmu,” ucap Ruby memperkenalkan diri.

“Oh, iya. Kebetulan sekali. Bosku sudah siuman dan mulai membaik. Dia ingin menyampaikan terima kasih padamu. Apa kamu bisa memberikan nomor rekeningmu?” tanya Fernan. 

“Ah, aku nggak butuh uang,” tolak Ruby. “Tapi, aku ingin mendaftar kerja di Sun Entertainment. Apakah boleh?”

“Mendaftar kerja?” Fernan terkejut mendengar balasan Ruby.

“Benar. Aku ingin bekerja sebagai artis di Sun Entertainment. Saat ini aku sudah selesai kuliah dan ingin memulai karirku lagi. Aku sudah kirim resume dan CV-ku ke emailmu sesuai kartu nama yang kamu berikan padaku. Bisa nggak kamu lobikan soal ini pada Bosmu?” terang Ruby to the point.

“Ah, baiklah. Nanti akan kucoba untuk membicarakannya dengan Bosku.”

“Berapa hari aku bisa mendapatkan jawabannya?” tanya Ruby kemudian. “Kalau bisa, aku ingin jawaban yang cepat.”

“Ah, begini saja. Tunggu sampai tiga hari. Nanti akan kukabari lagi,” ucap Fernan memberikan jeda waktu. 

“Aku boleh meneleponmu kan kalau belum ada kabar setelah tiga hari berselang?” 

“Boleh.”

“Oke, terima kasih. Semoga Bosmu sehat ya?” doa Ruby.

“Iya. Akan kusampaikan nanti. Terima kasih.”

Ruby tersenyum senang di dalam kamar. “Semoga aja berjalan lancar,” pekik Ruby penuh harap.

Suara ketukan pintu terdengar. “By! Ayo keluar sarapan!” teriak Davin dari luar. 

“Iya,” sahut Ruby. 

Dia bergegas membuka pintu. Tampak Davin menggendong anaknya. “Aduh, imut banget sih anakmu. Beda banget dibandingin kamu,” kekeh Ruby. Dia mencium pipi gembul anak laki-laki Davin yang masih berusia 1 tahun.

“Dia imut kayak Sana,” balas Davin. 

“Untung ya Sana imut. Cukup kamu aja yang amit-amit, Vin.”

“Udah ah. Ayo sarapan. Semalam kamu belum makan kan?” 

Ruby terdiam. Kepalanya mengangguk perlahan. Dia tak sadar hampir dua hari ini dia belum menelan makanan berat. 

“By, patah hati boleh aja. Tapi, inget makan,” oceh Davin.

“Beneran nggak inget kok. Bukan disengaja. Aku sibuk,” balas Ruby sambil melangkah ke ruang makan. Kini dia sadar perutnya keroncongan.

“Sibuk apaan?”

“Siapin resume sama CV. Daftar kerja,” balas Ruby. Dia duduk di ruang makan. Sepi. Hanya ada mereka.

“Mana Sana?” Ruby bingung karena tak menemui istri Davin di ruang makan. Pun, Brian tak ada di sana. “Papaku udah balik?”

“Sana lagi nemuin orang tuanya. Katanya, kakaknya ada di Bandung dan masuk rumah sakit,” jelas Davin. “Paman Brian lagi ngunjungi perusahaan di Bandung. Ngecek aja sekalian ketemuan sama ayahku.”

Ruby mengangguk. Dia mengambil pisang dua buah dan menghabiskannya. 

“Minum, By,” Davin mengambilkan gelas susu untuk sepupunya itu. 

“Thanks,” Ruby menerima dan menenggaknya hingga habis.

“Ini semua kamu habisin ya? Aku mau urus anakku dulu. Jam 9 biasanya udah harus tidur lagi,” terang Davin sebelum meninggalkan Ruby di ruang makan sendirian.

Ruby mengangguk saja. Mulutnya terlalu penuh makanan dan sulit menjawab pertanyaan Davin. 

Dalam waktu singkat, Ruby menghabiskan semua makanan di atas meja. Saat kembali ke kamar tamu, dia masih membawa apel dan jeruk. 

Ponsel Ruby ternyata berdering. Dia segera berlari ke kasur dan mengambil ponselnya. “Wah! Fernan udah telepon balik!” senyuman lebar Ruby mengembang. “Jangan-jangan bawa kabar gembira nih.”

Dengan hati riang, Ruby langsung menjawab telepon itu. “Halo, Fernan. Ada apa? Udah ada jawaban dari Bosmu?” tanya Ruby penuh harap.

“Iya. Tadi resume-mu langsung dibaca oleh Bosku karena kamu sudah menolong dia,” jawab Fernan.

“Lalu, gimana? Apa aku bisa masuk perusahaanmu? Atau, ada tahapan yang harus aku lewati? Seperti wawancara atau nunjukin bakat?” cerocos Ruby tak sabaran.

“Tidak perlu.”

“Tidak perlu? Langsung masuk kerja maksudnya? Diterima?” 

“Begini Ruby. Sebenarnya bakat dan prestasimu memang sangat luar biasa. Namun, Bosku memiliki pertimbangan lain dan memutuskan untuk menolakmu,” jelas Fernan. “Maaf ya? Nanti kami kirim penjelasannya ke emailmu.”

Ruby termangu mendengar penolakan tersebut. Dia langsung mematikan teleponnya.

“Kenapa aku ditolak?!” Ruby berdecak kesal. Rasanya dia baru saja mendapatkan penghinaan. 

Sebuah email masuk ke ponsel. Ruby mendengar notifikasi dan membukanya. Email penolakan dari Sun Entertainment. Segera dia membacanya.

“Tidak bisa menerima karena Anda memiliki banyak skandal dengan perusahaan sebelumnya,” Ruby tercekat membaca email penolakan tersebut. 

“Jadi ini alasannya menolakku?! Wah! Keterlaluan!” Ruby memukul kasurnya. “Dia nggak tahu siapa aku ya? Berani-beraninya nolak aku!”

Ruby langsung bangkit dari duduknya. Dia tak terima dengan penolakan tersebut dan berencana menyusul Bos Sun Entertainment ke rumah sakit.

BAB 7

“Uhuk! Uhuk!” Dito terbatuk-batuk saat menikmati salad buahnya. 

“Bos, minum ini,” Fernan langsung mengambilkan segelas air untuk Dito.

Dito menerima dan menenggaknya. Dia berdeham beberapa kali agar tenggorokannya tidak terasa tersumbat lagi. 

“Bos, hati-hati kalau makan,” ucap Fernan.

“Iya,” jawab Dito. “Sudah kamu urusi kan soal pendaftaran tadi?”

“Sudah, Bos,” Fernan mengangguk. “Tapi, kenapa Bos bersikeras untuk menolaknya? Ruby banyak bakat. Fans-nya masih banyak kok meski dia terlibat skandal dengan perusahaan sebelumnya. Attitude-nya juga oke sebenarnya.”

“Sekali skandal tetap skandal,” balas Dito. “Meski banyak bakat dan fans, kita tak bisa membuat citra perusahaan buruk dengan menerima artis yang memiliki skandal. Lebih baik membesarkan seorang pemula yang bersih track record-nya.”

“Lagipula, dia sudah tidak lagi muda. Perbandingan kerugian karena efek skandalnya dengan income yang bisa dia hasilkan untuk perusahaan kita masih menjadi tanda tanya. Aku tidak mau asal-asalan merekrut orang. Apalagi, di perusahaan cabang yang akan kita kembangkan di pasar Asia ini.”

“Tapi siapa tahu dia bisa booming nantinya? Seperti Irene Red Velvet? Kan dia debut di usia yang terhitung tua juga kan? Tapi, berhasil, Bos,” celetuk Fernan.

Dito memicing tajam menatap Fernan. Segera Fernan menunduk. “Iya, Bos. Maaf,” Fernan langsung mengambil gelas di tangan Dito. “Aku bersihkan ini dulu dan lanjut bekerja.”

Buru-buru Fernan mengambil tas dan ponselnya. Dia bergegas keluar dari ruang tersebut sebelum terkena omelan Dito lebih lama.

Dito menghembuskan napas. Dia mencoba mengontrol dirinya agar tidak mudah emosi. 

Tangannya mengusap-usap dada kirinya. “Jangan sampai kambuh lagi,” harap Dito. 

Dia mengambil tabletnya lagi. Mereviu kembali pekerjaan kantornya yang masih bisa dilakukannya di atas kasur. 

Tak berapa lama, pintu kembali terbuka. Dito menoleh. Dia melihat orang tua dan adik perempuannya datang. 

“Dito!” Dara langsung berlari dan memeluk Dito. “Gimana? Udah baikan? Kenapa nggak kabarin Ibu sih kalau udah di Bandung?”

Dito terkesiap sesaat. Pasti Fernan yang melaporkan ini ke orang tuaku, batin Dito. 

“Dito, harusnya kamu menginap bareng Ayah sama Ibu. Kenapa kamu malah nginap di hotel? Sendirian lagi,” oceh Stevan sedikit kesal. Dia mendengus menatap anak sulungnya itu.

“Bisa menginap di rumahku juga, Kak. Kak Davin kan temen baik Kakak. Pasti nggak masalah kalau nginap di rumah kami,” imbuh Sana.

“Aku ada pekerjaan. Kalau menginap bersama kalian, nanti akan mengganggu,” kilah Dito memberikan alasan. 

Dara mendesah sedih. “Sebenarnya nggak masalah kamu menginap di hotel. Yang penting ada orang yang mendampingimu,” ucap Dara nelangsa. “Andai saja kamu menikah. Setidaknya ada istrimu yang bisa merawatmu.”

“Bu, aku belum ingin menikah. Kita sudah membahas soal ini sebelumnya,” balas Dito. 

Dara menatap prihatin Dito. Dia meraih tangan anak sulungnya dan menggenggamnya dengan erat. “Kamu masih sakit hati karena ditinggal Jessy?” tanya Dara. 

“Nggak, Bu. Kok sampai ke sana obrolannya,” timpal Dito. Dia mencoba tersenyum santai. “Kami kan udah putus lama. Udah nggak saling cinta lagi.”

“Yakin?” Dara masih menatap curiga Dito. 

Kepala Dito mengangguk. “Yakin, Bu. Ibu nggak usah khawatirin aku soal itu. Mending Ibu fokus ngerayain anniversary pernikahan dengan Ayah,” Dito mengalihkan topik pembicaraan. “Kita ke Bandung buat rayain ini kan?”

“Tapi, usulan Ibumu memang harus kamu pikirkan Dito,” ucap Stevan. Pria itu akhirnya ikut angkat bicara. “Percayalah, pekerjaanmu akan semakin mudah jika kamu memiliki seorang pendamping. Dia bisa menemani dan menjadi pendengar yang baik jika kamu ada masalah.”

“Nah, benar ucapan Ayahmu ini, Dit. Mau ya Ibu carikan jodoh gitu?” tawar Dara kemudian. “Ibu ada beberapa kenalan. Siapa tahu kan kalian cocok.”

“Ibu, Ayah, cukup ya? Aku benar-benar tidak ingin menikah sekarang,” tegas Dito. “Tapi, bukan berarti aku tidak akan menikah selamanya.”

Dara kembali memasang wajah muramnya lagi. “Ibu pengen kamu menikah sekarang tapi,” timpal Dara. “Ibu nggak sanggup lihat kamu mendadak pingsan sendirian kayak gini, Dit. Gimana kalau tiba-tiba kamu pingsan di kamar rumah atau apartemenmu? Tidak ada yang menolongmu? Ibu beneran nggak sanggup bayangin itu semua.”

Dara mulai menangis. Perempuan berambut panjang itu menangis cukup kencang.

“Ibu, jangan nangis dong,” pinta Sana sedih. 

“Gimana Ibu nggak nangis? Ibu bisa kehilangan Kakakmu sewaktu-waktu,” balas Dara sambil terus menangis. 

“Bu, aku masih hidup kok. Tenang ya?” pinta Dito.

“Nggak! Ibu nggak bisa tenang kalau kamu belum menikah!” tegas Dara meradang. “Ibu nggak tahan lagi sama semua ini.”

Ruby yang baru tiba di depan kamar rawat Dito memutuskan untuk berhenti. Dia menguping dari sana. Mendengarkan permasalahan yang terjadi di dalam.

“Bu, nikahnya nggak sekarang ya? Kan masih bisa tahun depan?” bujuk Dito. 

“Kak Dito udah punya pacar belum sih?” celetuk Sana tiba-tiba.

“Kenapa tanya soal pacar?” balas Dito bingung. 

“Kalau punya, dibawa aja ke acara anniversary Ayah dan Ibu. Seenggaknya, Ibu bisa lebih lega kalau lihat Kak Dito dateng sama pacar,” jelas Sana.

Dito terdiam. Semenjak putus dengan mantannya, Jessy; dia belum pernah mencoba untuk berpacaran lagi. Dia masih enggan menjalin hubungan asmara dan memilih fokus bekerja membesarkan Sun Entertainment.

Ruby mengulas senyuman licik. “Oh, dia butuh pacar rupanya,” decak Ruby. Sebuah ide terbersit di benaknya.

Dengan manisnya, Ruby mengetuk-ngetuk pintu kamar. “Permisi,” ucap Ruby semanis mungkin. 

Dara berhenti menangis. Dia menoleh ke arah Ruby. Begitu pula, Dito, Stevan, dan Sana. 

Ruby mengulas senyuman manisnya. “Permisi, saya mau bertemu dengan Dito,” Ruby menundukkan tubuhnya sebagai tanda mengucapkan salam. Lantas, dia melenggang dengan elegan menghampiri Dito. 

“Cantik sekali,” celetuk Dara memuji penampilan Ruby.

Tentu saja Ruby semakin lebar memasang senyumannya. Dia sangat tahu keunggulan dirinya. Penampilan cantik dan anggun. Penampilan yang selalu membuat orang lain terpukau saat pertama kali bertemu. 

Dengan sopan Ruby menjabat tangan Stevan dan Dara. “Ruby Pelangi Golden. Bisa panggil saya Ruby,” tutur Ruby memperkenalkan diri.

“Kak Ruby?” desis Sana kaget. “Kakak kenal Kak Dito?” tanya Sana kemudian.

Ruby mengangguk. “Iya, Sana. Tentu saja kami saling mengenal. Kami kan sudah berpacaran,” terang Ruby dengan senyuman penuh percaya dirinya. “Aku ini pacarnya Dito.”

BAB 8

Dara langsung bangun dari duduknya. Perempuan itu melepaskan genggaman tangannya dari tangan Dito. Dia tersenyum lebar melangkah menghampiri Ruby.

Ruby terus memasang senyuman manisnya. Dia bisa melihat orang tua Dito tengah memandangi dirinya dari ujung kepala dengan ujung kaki. 

“Cantik sekali! Beneran kamu pacarnya Dito?” Dara merangkul Ruby dengan lembut dan penuh sayang. “Panggil aku Ibu ya?”

“Iya, Tante. Em, maksud saya Ibu,” balas Ruby malu-malu. 

“Bu, dia ini—“ ucap Dito tertahan. 

“Ssst, Ibu lagi ngobrol sama pacarmu. Diam dulu,” potong Dara. Dia tak suka perbincangannya dengan Ruby diinterupsi oleh Dito. 

“Asli mana? Cantik sekali. Mirip artis. Kerja di perusahaannya Dito? Artis asuhannya Dito?” cerocos Dara ingin tahu.

“Bu, Kak Ruby ini masih saudaranya Kak Davin,” beritahu Sana.

Dara terkesiap kaget sesaat. Dia menatap Sana kaget. “Saudara kandung? Bukannya Davin cuma tiga bersaudara?” tanya Dara bingung.

“Saudara sepupu,” ucap Ruby. “Saya sepupunya Davin. Papa saya itu kakak laki-lakinya ayahnya Davin.”

“Oh, begitu rupanya,” Dara mengangguk-angguk paham. 

“Berarti sama pintarnya dengan Davin ya?” celetuk Stevan ikut dalam obrolan. 

“Wah, kalau Davin memang cerdas, Om. Saya nggak secerdas Davin. Bisanya cuma nyanyi, modeling, sama akting,” jelas Ruby. 

“Berarti kerja bareng Dito dong sekarang? Makanya kamu nemenin Dito sampai di Bandung kan?” tebak Dara riang. 

Ruby melirik dengan senyuman menantangnya ke arah Dito. “Sekarang sedang mencoba mendaftar di perusahaan Dito. Tapi, sepertinya persyaratan dari Dito cukup tinggi, Bu. Aku kurang layak deh,” tutur Ruby setengah sendu.

Dito hanya bisa berdecak kesal memandangi Ruby. Dia ingin sekali menghentikan akting Ruby saat ini. Namun, kedua orang tuanya masih sibuk meladeni Ruby. Bahkan, terjebak dalam akting Ruby yang benar-benar meyakinkan itu.

“Wah, sayang sekali. Cantik begini padahal,” Dara mengusap lembut pipi tirus Ruby. Dia menoleh pada Dito. “Dit, diterima dong? Cantik gini pacarmu. Biar bisa dampingin kamu di kantor terus,” suruh Dara.

“Benar itu. Kalian sama-sama ahli di satu bidang. Pasti cepet nyambung dan saling mengerti satu sama lain dengan mudah,” imbuh Stevan.

Ruby mengulas senyuman manisnya lagi. “Sekarang saya sedang berusaha untuk melakukan yang terbaik demi Dito,” jawab Ruby. 

“Oh, manis sekali!” Dara menggandeng Ruby. “Sini duduk sama Ibu di sofa aja. Ngobrol berdua dulu ya?”

“Iya,” Ruby mengikuti langkah Dara. Dia duduk di sofa yang ada di ruang perawatan Dito.

Dito menatap kesal sekaligus ilfeel ke Ruby. Namun, tatapan itu tak membuat Ruby bergeming sama sekali. Justru sebaliknya, Ruby malah membalas dengan senyuman licik nan menawannya.

Dito mendengus. Dia segera turun dari kasur. Melangkah menghampiri Ruby dan Dara.

“Dit, pelan-pelan,” Stevan membantu Dito melangkah. 

“Iya nih, Kak Dito. Takut ya?” goda Sana sambil tertawa kecil. 

Dito memilih diam. Dia segera menyusul dan duduk di sisi Dara. Tentu agar bisa mengontrol topik obrolan. 

“Aku nggak nyangka lho Kak Ruby malah udah pacaran sama Kak Dito,” celetuk Sana. 

“Kenapa gitu, Sana?” tanya Stevan dan Dara nyaris bersamaan.

“Soalnya kata Kak Davin, Kak Ruby abis putus sama tunangannya,” jawab Sana dengan polosnya.

“Eh? Putus sama tunangan?” Dara dan Stevan menatap prihatin Ruby. 

“Hm, iya. Putus. Tapi, waktu ketemu Dito dan ngobrol bareng, rasanya kayak ada kesempatan baru. Jadi, saya mutusin ikut Dito ke Bandung. Mencoba bersama,” ucap Ruby. 

“Kami nggak pacaran, Bu,” timpal Dito secepat mungkin. Dia yakin ini waktu tepat untuk melakukan skakmat. “Dia hanya ngaku-ngaku aja jadi pacarku.”

“Lhoh? Gimana sih? Jadi bingung Ibu,” ucap Dara kebingungan.

Ruby menunjukkan senyuman getirnya. “Iya. Secara official kami memang belum pacaran, Bu. Tapi, saya yakin bisa jadi pacar yang baik untuk Dito. Buktinya, saya yang ngurus Dito waktu pingsan di hotel,” ucap Ruby.

“Wah, gitu rupanya,” Dara mengangguk paham. “Berarti udah tidur sekamar dong ya?” 

Dara tersenyum penuh maksud. “Aduh, kalau udah sekamar, mending jangan pacaran lagi. Iya kan, Yah?” Dara menoleh ke suaminya.

“Ah, benar itu. Lebih baik langsung menikah saja. Biar bisa saling membantu dan melengkapi satu sama lain ya,” timpal Stevan secepat kilat.

“Ibu, aku belum pengen nikah,” tolak Dito.

“Ibu setuju kamu nikah sama Ruby,” balas Dara. Perempuan itu memilih abai pada ucapan Dito. 

“Ruby kan saudara sepupunya Davin. Pasti anaknya baik dan pekerja keras. Mirip Davin. Bisa dipercaya lagi,” tutur Dara. “Menikah saja ya kalian berdua? Jangan pacar-pacaran. Nggak bagus. Nikah aja.”

Ruby tersentak kaget. Niatnya tentu saja hanya ingin menjadi pacar pura-pura Dito. Kenapa malah sekarang disuruh nikah sama Dito?!

“Um, itu, saya nurut keinginan Dito aja,” balas Ruby secepat kilat. Dia panik juga mendengar gagasan Dara. “Kalau emang masih pengen pacaran, saya bersedia kok jadi pacarnya Dito.”

Dara menggelengkan kepala. “Nggak boleh. Kalian nikah aja,” putus Dara. Pandangan Dara menatap lekat Dito.

“Dito, anniversary ini Ibu mau kado darimu,” pinta Dara. “Kamu harus nikah sama Ruby. Itu kadonya.”

“Bu, nikah nggak bisa secepat ini dong,” timpal Dito tak setuju.

“Bisa. Ibu ada firasat kalian berdua ini cocok,” Dara bangun dari duduknya dan mengenakan tasnya. “Ruby ini sepupu Davin. Pasti bisa jadi pasangan hidup sempurna buatmu,” Dara melemparkan senyuman manis pada Dito. 

Setelah itu, Dara mengajak Stevan dan Sana pulang. Meninggalkan Dito hanya berdua dengan Ruby.

Dito mendesah berat. Pandangannya menatap kesal ke arah Ruby. “Apa-apaan sih kamu itu?! Asal masuk, nggak pakai izin, asal ngaku-ngaku! Apa sebegini jeleknya attitude-mu itu? Pantas saja kamu ditinggal tunanganmu!” oceh Dito pada Ruby. 

Sesaat hati Ruby tertohok mendengar omelan Dito. “Ini nggak ada hubungannya dengan attitude atau tunanganku!” balas Ruby tak mau mengalah. “Aku hanya berusaha mencari cara agar aku bisa kamu terima di perusahaanmu!”

“Cara? Cara murahan seperti ini? Nggak elegan sama sekali!” 

Ruby berdecak. Dia tak mengira mulut Dito setajam ini. “Terserah apa katamu,” ucap Ruby. “Tapi, orang tuamu menyukaiku. Kamu perlu ingat itu!”

“Ingat? Kamu mau mengancamku?” timpal Dito dengan pandangan penuh curiga.

Ruby menggoyangkan jari telunjuk tangan kanannya di depan Dito. “Bukan mengancam. Aku hanya ingin membuat kontrak cinta eksklusif denganmu,” tutur Ruby. 

“Aku akan jadi pacarmu atau tunanganmu agar orang tuamu senang. Tapi, kamu harus terima aku jadi salah satu idola di perusahaanmu. Buat aku jadi idola terhebat di sana,” Ruby mengajukan syarat. 

“Kamu—!”

“Aku tunggu keputusanmu sekitar dua atau tiga hari lagi. Kalau mau mencariku, cukup ke rumah Davin dan Sana. Sementara waktu, aku akan tinggal di sana,” Ruby mengeluarkan kartu namanya. Dia menempelkannya tepat di dada Dito.

“Ini buat jaga-jaga. Siapa tahu kamu ingin menghubungiku lebih cepat,” Ruby mengulas senyuman manisnya.

Dia bangun dari posisi duduknya. Lantas, melengangkan keluar dari ruangan itu. Meninggalkan Dito yang meremas kartu namanya.

“Kontrak cinta eksklusif katanya? Omong kosong!” Dito menghempaskan kartu nama Ruby di lantai.

BAB 9

Sore harinya, Dito memanggil Fernan untuk membahas perkara Ruby. “Aku nggak tahu dia itu sepupunya Davin,” oceh Dito. 

“Kan itu salah Bos juga. Selalu menolak ikut acara kumpul-kumpul keluarga,” timpal Fernan.

“Diam kamu! Tidak perlu mengkritisi pilihan hidupku,” balas Dito galak. 

“Aku hanya mencoba memberikan penjelasan, Bos. Kalau saja Bos lebih aktif ikut acara keluarga, pasti masalah seperti ini bisa dihindari.”

Dito hanya menatap Fernan sekilas. “Pikirkan cara agar aku bisa menolak perempuan gila itu!” suruh Dito.

“Lhoh? Kenapa ditolak?” tanya Fernan bingung.

“Aku tidak mau menikah. Buat apa meladeni perempuan gila itu?” ucap Dito sarkas. “Tidak ada untungnya menerima dia. Perusahaan kita hanya boleh menerima talent yang berbakat dan bersih skandal.”

“Hm, sebenarnya perusahaan kita bisa diuntungkan juga oleh Ruby, Bos,” ujar Fernan berseberangan dengan Dito.

“Karena dia punya fans cukup besar?” timpal Dito sinis. “Dia sudah lama off sebagai artis. Sebagian fans-nya pasti sudah kabur atau melupakannya.”

“Bukan. Bukan karena itu, Bos,” balas Fernan cepat-cepat. 

“Lalu karena apa?” Dito mengernyitkan keningnya. 

“Memang Ruby terlibat skandal penyebaran video tak senonoh dan beberapa kasus dengan perusahaan lamanya. Namun, dia ini korban,” tutur Fernan. 

“Menjadikan seorang korban sebuah skandal sebagai idola ternama bisa menjadi strategi marketing perusahaan kita. Ditambah memang faktor Ruby itu cantik, awet muda, dan banyak fans-nya.”

Dito terdiam. Mencoba mencerna ucapan asistennya itu.

“Kita kan ekspansi ke pasar Asia, Bos. Kultur gosip, artis jadi korban, itu semua bisa meningkatkan jumlah fans. Aku bisa buat rancangan marketingnya jangka lima tahun jika Bos setuju dengan usulanku ini,” imbuh Fernan.

“Kamu dibayar berapa oleh perempuan gila itu? Sampai bisa bicara seperti ini?” balas Dito. Pandangannya masih menyiratkan kecurigaan.

“Nggaklah, Bos. Ini semua pendapatku pribadi. Gini-gini kan aku lulusan magister management pemasaran di London. Aku beneran serius waktu tadi bilang soal bikin rancangan bisnisnya,” jelas Fernan menggebu-gebu. 

“Aku sedang mencoba menggabungkan analisis budaya, pandangan masyarakat, dan dampaknya ke bisnis perusahaan kita nantinya.”

“Jadi, kamu suruh aku tanggepin tawaran perempuan gila itu?” Dito menatap serius Fernan.

“Nggak ada salahnya sih, Bos. Kan cuma kontrak. Asal ada hitam di atas putih. Udah cukup,” ujar Fernan setuju. “Lagipula, orang tua Bos kan menyukai Ruby. Nggak ada salahnya kan Bos nyenengin hati orang tua, Bos? Pas anniversary lagi.”

“Tapi, ibuku pengen aku nikah,” balas Dito dengan dengusan beratnya. 

“Bilang aja masih pengen pacaran. Soalnya Ruby kan artis baru. Harus menjalani kontrak pegawai perusahaan. Tidak boleh menikah selama 5 tahun? Gimana? Aman kan?” Fernan tersenyum lebar. 

“Otakmu bagus juga ya buat hal-hal semacam ini?” celetuk Dito.

“Aku nggak tahu itu pujian atau sindiran. But, I take it as a compliment,” sahut Fernan santai. 

“Ya sudahlah. Atur pertemuan dengan perempuan gila itu besok. Aku mau istirahat. Hari ini terlalu melelahkan untukku,” putus Dito mengakhiri rapat internalnya bersama dengan Fernan.

“Oke, Bos,” sahut Fernan. 

Di sisi lain, Ruby tengah menikmati waktu sorenya di kamarnya. Dia mengeluarkan pakaiannya dari koper yang baru saja dia ambil dari hotel siang tadi.

“Kak Ruby, aku bawain camilan,” Sana masuk ke dalam kamar Ruby yang terbuka setengah pintunya.

“Oh, makasih ya, Sana. Minta tolong ditaruh di meja aja,” pinta Ruby. 

Sana melakukan apa yang diucapkan oleh Ruby. Lantas, dia menghampiri Ruby. Membantu Ruby menata pakaian.

“Eh, nggak usah, Sana. Aku bisa lakuin sendiri,” tolak Ruby. Dia mencoba menyingkirkan tangan Sana dari pakaiannya.

“Kan Kak Ruby bakal jadi Kakakku,” balas Sana lembut. 

Ruby tersenyum menatap Sana. Wajahnya lembut dan manis. Sekilas memang mirip seperti ibunya Davin. Mungkin karena itu, Davin jatuh hati pada Sana. 

“Kak Ruby, Kak Dito itu orangnya dingin. Kak Ruby jangan terlalu diambil hati ya? Kalau misal Kak Dito dikit ngomongnya?” pinta Sana.

“Gampang. Aku sebenarnya suka laki-laki yang nggak terlalu banyak bicara. Yang penting buktinya ada aja,” balas ruby santai.

“Baguslah! Aku lega dengernya,” Sana tersenyum riang. “Moga-moga pas anniversary nanti, Kak Dito dan Kak Ruby langsung lamaran. Seneng banget deh kalau emang beneran gitu.”

Ruby ingin menimpali ucapan Sana. Namun, ponselnya berdering. 

“Sana, aku mau terima telepon dulu. Sepertinya ada telepon penting,” ucap Ruby.

“Oh, ya udah. Aku sekalian pamitan. Mau mandiin anakku dulu,” Sana segera bangun dari duduknya. Perempuan manis itu berlari kecil keluar dan menutup pintu kamar Ruby.

Ruby menatap layar ponselnya. Ada nama Fernan di sana. Dia tersenyum dan mengangkat telepon itu.

“Halo, Fernan. Apa ada kabar gembira untukku?” tanya Ruby saat menyapa.

“Wah, sepertinya kamu punya sixth sense ya,” timpal Fernan setengah bercanda.

Ruby tertawa kecil. “Gimana? Kenapa meneleponku? Dito setuju dengan tawaranku?” tanya Ruby ingin tahu.

“Aku belum bisa memastikan apa Bosku setuju atau tidak. Tapi, besok dia mengajak kamu ketemuan. Kamu punya waktu luang jam berapa besok? Akan aku aturkan jadwal pertemuan kalian.”

“Pagi juga nggak masalah. Ketemu di rumah sakit aja. Ruang rawat Dito cukup luas kok,” tutur Ruby.

“Oke. Besok sekitar pukul 10 pagi ya?” 

“Iya,” Ruby menutup ponselnya.

“YES!” teriak Ruby senang. Dia melompat-lompat girang. “Kan, siapa coba yang bisa menolak pesonaku ini?” Ruby menyibakkan rambut panjang indahnya ke belakang layaknya model shampoo. 

“Hm, aku harus pilih baju yang bagus buat ketemuan besok. Sekalian maskeran ah,” Ruby tersenyum riang. Tak sabar untuk bertemu Dito besok.

Keesokan harinya, tepat saat pertemuan, Ruby tampil secantik mungkin. Dia memang hanya mengenakan celana jeans biru dongker dan kemeja putih. Namun, pesonanya tak terbantahkan. Saat melengang dalam langkahnya, semua pandangan orang sekitar menoleh ke arahnya. 

“Wow!” celetuk Fernan terkagum saat Ruby melangkah masuk ke dalam ruang rawat Dito.

Dito memukul dahi Fernan dengan pulpen di tangannya. “Diam!”

“Aduh,” Fernan mendesis kesakitan. Dia mengusap-usap keningnya. Namun, pandangannya kembali menatap ke arah Ruby. 

“Pagi semuanya,” sapa Ruby. Dia menaruh paper bag di atas meja. “Ini ada sedikit puding dan jus sehat untuk kalian.”

“Wah, makasih ya,” Fernan langsung mengambilnya. Pria itu menaruh makanan yang dibawa Ruby di atas meja. 

Ruby langsung duduk di depan Dito. Dia memberikan senyuman tipis ke Dito. “Aku dengar kamu sudah berubah pikiran. Mau menerimaku sebagai artismu,” ucap Ruby langsung pada inti percakapan.

“Jangan terlalu bersemangat,” balas Dito datar. 

“Kalau kamu tidak mau menerimaku sebagai artismu, aku tidak mau di sini terlalu lama,” Ruby sengaja menutup hidungnya. “Bau obat membuatku gampang mual.”

“Kamu harus terbiasa dengan bau obat jika mau tanda tangan Kontrak Cinta Eksklusif denganku, Perempuan Gila Menyebalkan!” timpal Dito.

BAB 10

Ekor mata Ruby melirik ke Dito. “Apa kamu bilang tadi? Aku nggak denger deh,” balas Ruby dengan nada polos namun menyebalkan.

Dito berdeham. Dia menoleh ke Fernan.

Fernan segera mengeluarkan secarik kertas dan pulpen. Dia menyerahkannya pada Ruby.

“Tolong tulis apa yang kamu inginkan dari kontrak tersebut,” tutur Fernan.

“Kamu saja yang tulis. Aku nggak banyak permintaan kok,” ucap Ruby. 

“Oke. Seperti apa permintaanmu yang nggak terlalu banyak itu?” timpal Dito.

“Aku hanya mau jadi talent berbakat dan terkenal di Sun Entertainment dalam waktu satu tahun. Berikan padaku semua proyek. Girl group, solo, akting, dan model iklan. Akan kusukseskan semuanya untuk perusahaanmu. Keuntungan kita bagi 50 banding 50. Biaya operasionalku bisa dipotong dari keuntunganku jika kamu nggak mau rugi,” jelas Ruby. 

“Aku hanya mau jadi spotlight. Mendapatkan banyak cinta dan dukungan. Uang juga sih.”

“Oke. Tapi, aku mau keuntungan 60 persen untukku. Biaya operasional bisa dibagi dua,” balas Dito. 

“Oke. Yang penting, beri aku proyek-proyek terbaik Sun Entertainment,” tekan Ruby. “Nanti aku beri bantuan seperti pelatihan trainee dan strategi marketing yang oke. Aku pernah membesarkan Rainbow Entertainment. Aku yakin kamu tahu soal itu.”

“Semua orang bahkan tahu bagaimana dirimu membuat Rainbow Entertainment nyaris gulung tikar,” timpal Dito.

Ruby berdecak. “Ya, intinya, aku bakal berusaha menjadi yang terbaik. Kamu tidak perlu mengkhawatirkanku,” tutur Ruby. 

“Fernan, catat semuanya,” suruh Dito.

“Iya, Bos,” sahut Fernan. Pria itu sibuk mencatat semua yang diinginkan Ruby.

“Kamu sendiri bagaimana? Kamu ingin aku jadi pacarmu? Atau, tunanganmu? Tapi, aku nggak mau kita menikah. Pernikahan terlalu mengikat. Hubungan kita bakal rumit ke depannya kalau harus terikat pernikahan,” terang Ruby.

“Aku juga tidak ada pikiran untuk menikahimu,” balas Dito. “Kamu cukup berperan jadi pacarku saja saat anniversary orang tuaku. Kalau ditanya soal pernikahan, jawab saja kamu masih ingin berkarir karena tahun ini adalah tahun emasmu. Sayang jika dilewatkan.”

“Oke. Akan kubuat alasan semeyakinkan mungkin soal itu,” Ruby menganggukkan kepala. 

“Berarti keputusan di antara kita sudah deal kan?” Dito menatap Ruby lekat.

“Hm, sebenarnya ada beberapa hal yang harus kita lakukan biar terlihat lebih meyakinkan,” ucap Ruby.

“Seperti?” 

“Membeli barang-barang couple, foto-foto bersama. Setidaknya, wallpaper ponselmu itu diisi oleh foto kita berdua,” Ruby menunjuk layar ponsel Dito yang berwarna gelap.

“Benar juga itu, Bos. Kalian kan pacaran. Harus terlihat meyakinkan,” imbuh Fernan setuju.

“Tapi, aku tidak ingin mempublikasikan hubungan ini,” tolak Dito. “Hubungan ini hanya diketahui sebatas keluargaku saja.”

Ruby memijat keningnya. “Bukan itu maksudku. Aku pun tidak mau media tahu soal hubungan kita. Aku maunya hubungan yang rahasia. Publik cukup tahu kalau hubungan kita hanya sebatas bos dan karyawannya saja,” jelas Ruby.

“Lalu? Kenapa mau foto bersama? Dinner berdua?” Dito menatap heran Ruby.

“Itu buat bukti ke orang tuamu. Siapa tahu mereka tanya kebiasaan kita apa dan yang lainnya,” tutur Ruby menerangkan.

Dito mengangguk. “Ya itu bisa dilakukan menyusul. Yang jelas, kita fokus pada perayaan anniversary orang tuaku weekend ini,” ucap Dito. 

“Oke. kapan acaranya? Orang tuamu suka kegiatan apa? Aku harus bersikap dan berbusana seperti apa? Tolong berikan aku catatan do and don’t-nya,” pinta Ruby. “Dan, nggak ada kontak fisik kalau nggak dibutuhkan.”

“Iya. Aku juga tahu diri. Untuk apa menyentuh perempuan gila sepertimu. Penyakit gila kan bisa menular,” cibir Dito sinis. 

“Terserah. Meski aku gila, kamu membutuhkanku,” ucap Ruby penuh percaya diri. Dia berusaha untuk tidak memedulikan semua hinaan Dito padanya.

“Oke. Nanti aku kirimkan semuanya,” Dito mengeluarkan lembar berisi materai. “Sekarang kita tanda tangani surat perjanjian ini.”

“Fine,” Ruby membaca surat perjanjian mereka. Keputusan untuk pura-pura menjadi tunangan selama 1 tahun.

Dia menandatanganinya setelah membaca dengan jelas. “Kirimi aku kopiannya,” Ruby bangun dari duduknya. Dia melangkah keluar ruang perawatan Dito.

Dito hanya melihat kepergian Ruby cukup lama. Bahkan, setelah sosok Ruby menghilang, dia masih melihat ke arah pintu.

“Bos? Bos?” Fernan melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Dito.

Dito berdecak. Dia menyingkirkan tangan Fernan. “Kenapa sih?!” geram Dito. 

“Wah, Bos terpesona sama Ruby ya?” tebak Fernan disertai kekehan tawa.

“Konsep macam apa itu,” balas Dito. 

“Terus kenapa lihat Ruby sampai kayak gitu?” goda Fernan. “Ya, dia emang cantik kan? Dengar-dengar mamanya dulu juga artis terkenal di Jepang. Dia termasuk masih blasteran Indonesia Jepang. Makanya, manis dan cantik wajahnya. Sempurna!”

“Hentikan pikiran kotormu itu,” tegur Dito. “Bereskan semuanya dan siapkan kado untuk anniversary orang tuaku di Maribaya weekend ini.”

“Oke, Bos.”

Sementara itu, Ruby memilih langsung kembali ke rumah Davin. Dia menghampiri Sana yang tengah nonton TV. 

“Sana, mau puding buah? Aku beli nih. Ada buah alpukat juga,” Ruby memberikan belanjaannya ke Sana. 

“Wah, makasih banyak, Kak. Harusnya nggak usah kayak gini sih,” Sana menerimanya dengan wajah senang.

“Aku kan nginep di sini lama. Seenggaknya aku harus tahu diri,” balas Ruby.

“Tenang, Kak. Anggap rumah sendiri. Kak Ruby kan calon istrinya Kak Dito. Denger itu aja aku udah seneng. Akhirnya ada orang yang bakal merhatiin Kak Dito,” celoteh Sana.

Ruby mengulas senyum. “Ya udah. Aku ke kamar dulu ya,” pamit Ruby.

Dia melangkah ke kamar tamu. Di sana, dia mengunci pintu kamar dan berganti pakaian santai. 

Setelah itu, Ruby mengecek ponselnya. Dia mendapatkan beberapa chat dari kawan lamanya tentang pernikahan Simon dan Nina. Bahkan, ada yang memberikan link berita dan gosip seputar pernikahan dua pengkhianat dan hobi drama itu.

Ruby menggeram kesal. Matanya terasa panas melihat pernikahan Simon dan Nina. Pun, hatinya kembali terasa sakit. 

“Dasar orang-orang brengsek! Kalian kira kalau menikah, publik bakal simpati sama kalian?” oceh Ruby berapi-api. 

“Awas aja ya! Satu tahun lagi, bakal aku rebut Rainbow Entertainment dari kalian. Bakal kubuat kalian sengsara dan kembali jadi miskin seperti awal kita kenalan!” 

Ruby memukuli bantalnya. Bagaimanapun, dia tak bisa membohongi perasaannya bahwa dia sangat ingin balas dendam dan menghancurkan Simon dan Nina. 

Di saat itulah, suara ponsel Ruby berdering. Ada email masuk dari sebuah pengadilan.

“Eh?” Ruby terkesiap sesaat. 

Dia membukanya. Bola mata Ruby membeliak lebar melihat isi email dari pengadilan untuk dirinya.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya KONTRAK CINTA EKSKLUSIF- BAB 11-15
0
0
Tak hanya dikhianati, Ruby kena tipu oleh sahabat dan tunangannya. Rainbow Entertainment yang sudah dia rintis hingga bisa menembus pasar hiburan musik di Asia jatuh ke tangan sahabat dan tunangannya. Tak sepeser keuntungan Ruby dapatkan.Ruby menenangkan diri di Bandung. Nasib mempertemukannya dengan Dito Pramono, pemilik Sun Entertainment, agensi musik ternama di London dan tengah melakukan ekspansi pasar di Asia. Orang tua Dito ingin Dito segera menikah agar ada yang merawat Dito. Apalagi, Dito menderita penyakit jantung.Ruby mengaku sebagai pacar Dito. Dia menawarkan kontrak eksklusif pada Dito. Aku akan jadi pacarmu. Izinkan aku jadi salah satu idola hebat di perusahaanmu, tawar Ruby dengan penuh percaya diri.Penasaran? Langsung baca dan ikuti kisah mereka ya. Cover by hasuu_na47 Silakan DM IG-ku @bonanzalalala jika ingin berkomunikasi.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan