
Tak hanya dikhianati, Ruby kena tipu oleh sahabat dan tunangannya. Rainbow Entertainment yang sudah dia rintis hingga bisa menembus pasar hiburan musik di Asia jatuh ke tangan sahabat dan tunangannya. Tak sepeser keuntungan Ruby dapatkan.
Ruby menenangkan diri di Bandung. Nasib mempertemukannya dengan Dito Pramono, pemilik Sun Entertainment, agensi musik ternama di London dan tengah melakukan ekspansi pasar di Asia. Orang tua Dito ingin Dito segera menikah agar ada yang merawat Dito. Apalagi, Dito...
BAB 1
“Sudah kamu hubungi lagi belum?” Risa menatap kesal Ruby.
“Iya, Ma. Udah aku kasih tahu kok dari seminggu lalu. Tadi pagi juga udah,” jawab Ruby dengan wajah lelahnya.
Risa mendengus kesal. “Pria macam apa sih dia itu?! Katanya mau menikahmu? Tapi, tidak mau berdekatan dengan keluarga kita sama sekali! Mengecewakan!” omel Risa. “Sibuk! Sibuk! Mama sama papamu ini juga sibuk! Kakakmu juga sibuk!”
Ruby nyaris membuka mulutnya. Namun, sebuah tepukan di bahu kirinya membuatnya mengurungkan niat.
Wajah Ruby menoleh ke kiri. Tampak papanya menatapnya dengan pandangan memohon.
“Sekarang ulang tahun mamamu. Coba kamu keluar dan hubungi Simon ya?” pinta Brian dengan lembut.
“Iya, Pa,” sahut Ruby mengalah.
Dengan langkah gontai, Ruby keluar dari ruangan pesta. Sebuah keberuntungan bagi Ruby karena mamanya ingin merayakan ulang tahun secara privasi di rumah mereka yang ada di Tokyo. Jika perayaan pesta ini terbuka untuk umum, pasti sangat memalukan sekali.
Ruby mendesah. Dia menghentikan langkah tepat di depan mobilnya yang berwarna merah muda metalik itu.
“Apa aku susul saja ke apartemennya ya? Dia kan bilang sebulan ini di Tokyo,” Ruby mengecek jam tangannya. “Masih pukul 7 malam. Cukuplah satu jam buat balik ke sini dan bawa Simon.”
Ruby meyakinkan dirinya sendiri. Dia segera membuka pintu mobilnya dan masuk ke dalam.
Dipasangnya seat belt di tubuhnya. Tangannya bergerak cekatan memutar kunci mobil. Tak berapa lama, mesin mobil menyala.
Seorang diri Ruby menyetir ke apartemen milik Simon. “Pasti Simon ketiduran. Dia kalau sibuk kan lupa diri,” celoteh Ruby sendirian selama menyetir. “Sayangnya, mama susah buat ngertiin kondisi Simon.”
Ruby sesekali memukul setir mobil saat berhenti di lampu merah. Dia tahu benar betapa Risa sangat tidak suka dengan Simon. Bahkan, mamanya itu tampak setengah hati menerima Simon sebagai tunangan Ruby.
Akan tetapi, Ruby sudah mengenal Simon sejak zaman kuliah. Simon memang bukan dari keluarga kaya raya seperti Ruby. Namun, Simon adalah sosok pekerja keras, baik, dan cerdas.
Dari nol, Simon menemani dan mendukung Ruby mendirikan Rainbow Entertainment saat masa kuliah di Jepang. Rainbow Entertainment berkembang dengan pesat. Beberapa girl group, boy group, hingga aktor dan aktrisnya memiliki fans cukup besar. Terbilang semua ini adalah sebuah prestasi gemilang dalam hidup Ruby. Apalagi, Ruby memang sangat ingin memiliki perusahaan hiburan yang dikelola secara mandiri tanpa bantuan orang tuanya.
Karena itulah, meski Risa masih tidak menyukai Simon, Ruby tetap mencoba bertahan. “Aku harus bawa Simon malam ini di hadapan mama. Biar mama tahu kalau Simon memang baik dan peduli sama keluarga,” tekad Ruby.
Ruby menambah kecepatan mobilnya. Dia melaju cepat melalui jalan alternatif agar lebih cepat tiba di apartemen Simon.
Sekitar setengah jam, Ruby sudah tiba di apartemen milik Simon. Sebuah apartemen yang Ruby hadiahkan untuk Simon sebagai hadiah ulang tahun Simon tiga bulan lalu.
Ruby berpikir dirinya dan Simon akan segera menikah. Jadi, tak masalah memberikan hadiah apartemen pada tunangannya itu.
Sesederhana itu pola pikir Ruby. Sayangnya, kesederhanaan pemikiran perempuan jelita berusia 27 tahun itu harus sirna.
Tepat ketika masuk ke dalam apartemen, Ruby mendengar suara desahan yang cukup kencang. Tak hanya desahan pria tapi juga wanita.
“Suara apa ini? Simon lagi nonton film?” terka Ruby sambil melangkah ragu.
Hati Ruby menjadi was-was. Pikirannya mendadak kacau saat menemukan sebuah rok, blouse putih, dan bra di lantai dekat kamar Simon.
Bola mata Ruby membeliak lebar. Dia menunduk dan memunguti semuanya satu per satu. “Pu-punya siapa ini?!” desis Ruby terbata.
Bingkaian hati Ruby mulai retak perlahan. Bola matanya memanas mencium aroma parfum manis khas perempuan dari pakaian tersebut.
Pandangan Ruby menatap ke arah pintu kamar Simon yang sedikit terbuka. Suara desahan itu semakin terdengar jelas. Sangat jelas dan membuatnya yakin bahwa itu adalah suara Simon dan seorang perempuan.
Dengan langkah tersendat, Ruby mendekat. Hingga akhirnya, dia berdiri mematung tepat di antara celah ruang pintu yang terbuka. Dari sana, dia bisa melihat dengan jelas, Simon dengan memadu kasih bersama dengan Nina. Ya, Nina, sahabat Ruby sejak kuliah.
Ruby membeliak tak percaya. Air matanya langsung luruh begitu saja membasahi pipinya.
“Kamu yakin nggak mau pergi ke pesta ulang tahun mamanya Ruby?” tanya Nina. Perempuan itu menciumi leher dan dada Simon yang telanjang itu.
“Nggaklah. Enakan di sini. Bareng kamu,” balas Simon. “Lagian mama Ruby galak. Siapa coba yang mau jadi menantunya?”
Tawa Simon tergelak. Nina ikut terkekeh dan menjelek-jelekkan Risa. “Ya, Ruby juga galak kan? Samalah. Buah jatuh nggak jauh dari pohonnya,” timpal Nina. “Mendingan kamu cepetan putus sama Ruby. Hm?”
Nina memagut dan melumat bibir Simon dengan penuh antusias. Simon pun membalasnya dengan penuh hasrat.
Ruby menyaksikan itu semua. Dia mengeluarkan ponselnya dan merekam semua itu selama beberapa menit.
Usai menyimpan video itu, Ruby memasukkan ponselnya ke dalam tas. Dia menghapus lelehan air matanya. “Nggak apa-apa! Kamu kuat Ruby!” ucap Ruby menyemangati diri sendiri.
Dia menghirup dan menghela napas dalam-dalam. Mencoba menyingkirkan semua kecemburuannya pada Simon dan Nina. Ya, mereka tidak pantas untuk mendapatkan rasa cemburuku, batin Ruby menenangkan dirinya.
Setelah yakin, Ruby langsung mendorong kuat-kuat pintu kamar Simon. BRAK!
Simon dan Nina terkaget. Mereka berhenti berciuman dan menoleh ke arah pintu. Bola mata Simon dan Nina langsung membeliak lebar. Kaget dan tak menyana bahwa Ruby sudah ada di sana.
Ruby menatap mereka dengan tajam. Dia melipat kedua tangannya dan membusungkan dada dengan sombongnya. Dia tak ada niatan untuk terlihat lemah di depan Simon dan Nina sama sekali.
“Ruby! Ruby!” Simon langsung mendorong Nina dari atas tubuhnya.
“Simon!” Nina menarik dan memeluk lengan Simon. “Ingat kamu itu punyaku!” desis Nina berbisik di telinga Simon.
Simon tampak linglung. Dia menatap Ruby dan Nina secara bergantian.
“Jadi, ini alasanmu tidak mau datang di acara ulang tahun mamaku? Kamu lebih memilih jalang ini ketimbang aku dan keluargaku?” ucap Ruby dengan tatapan tajamnya.
“Ruby, aku—“
“Simon dan aku sudah berpacaran Ruby,” timpal Nina.
“Nina!” Simon menatap kaget Nina.
“Apa?! Kan memang gitu kenyataannya, Simon! Kita harus jujur sama Ruby. Nggak mungkin kan kita sembunyi-sembunyi terus?” balas Nina geram.
Nina menoleh ke Ruby. “Ruby, kamu putus aja sama Simon. Demi aku ya? Kan aku sahabat terbaikmu?” pinta Nina merengek.
Ruby tertawa sinis. “Sahabat terbaik katamu? Sahabat terbajingan kamu itu!” balas Ruby.
Pandangan Ruby menatap tajam Simon. “Oke, sekarang kamu pilih Simon, aku atau Nina? Kita selesaikan semua ini sekarang!”
Simon masih terdiam. Tak menjawab pertanyaan Ruby sama sekali.
“Oke, sepertinya aku udah tahu apa jawabanmu,” putus Ruby setelah 3 menit berlalu. “Kalian tunggu saja pembalasan dariku!”
Ruby membalik badan semampainya ke arah pintu. Dengan langkah tegas dia keluar dari kamar Simon. Meninggalkan tunangan dan sahabatnya yang brengsek itu.
“Awas! Akan kubalas semua kelakuan buruk kalian!” tekad Ruby dengan hati membara.
BAB 2
Keesokan harinya, Ruby bangun sekitaran pukul 11 pagi. Saat mengecek ponselnya, ada banyak panggilan tak terjawab dari Simon.
Dia berdecak. Memilih melemparkan ponselnya ke kasur.
Sayangnya ponselnya kembali berbunyi. Ekor mata Ruby melirik. Telepon dari Simon kembali masuk. Ruby segera mengangkatnya.
“Apa?!” tanya Ruby judes.
“Ruby soal semalam,” ujar Simon terbata.
“Kamu sudah memilih Nina kan?” timpal Ruby.
“Aku ingin bertemu denganmu,” balas Simon.
“Baguslah. Kita akhiri semuanya. Bawa pengacara perusahaan. Malam ini kita ketemu. Alamatnya aku yang tentukan,” Ruby memungkasi teleponnya.
Dia termangu. Kelebatan bayangan Simon dan Nina kembali muncul di benaknya. Membuat hatinya nyeri lagi. Sakit sekali.
Air mata Ruby kembali meluncur secara otomatis. Dia berusaha menyekanya secepatnya. Sayangnya, air matanya jatuh lebih cepat dari gerakan jemarinya.
Ruby membanting tubuhnya kembali ke kasur. Dia tertelungkup dan menangis di dalam bantal. Sesekali dia meneriaki dan memukuli bantalnya.
Hampir satu jam Ruby seperti itu. Hingga akhirnya, terdengar suara ketukan pintu dari luar.
“Ruby! Ruby! Ini Papa!” teriak Brian dari luar. “Kamu udah bangun belum? Papa bawain kamu sarapan!”
Ruby masih terdiam. Terdengar lagi suara teriakan Brian memanggilnya.
“Ruby! Tolong bukain pintu dong? Papa mau bicara sama kamu, Sayang?” pinta Brian. Pria itu masih konsisten berteriak memanggil nama Ruby.
Ruby segera bangun. Dia menyeka air matanya. “Bentar, Pa. Aku cuci muka dulu,” balas Ruby dengan suara seraknya.
Buru-buru Ruby berlari ke kamar mandi. Dia segera mencuci muka dan menggosok gigi. Diceknya matanya di depan kaca. “Sembab banget sih! Ngeselin!” omel Ruby pada dirinya sendiri.
Dia segera meraih handuk mini. Digunakannya handuk itu untuk menutupi bagian bawah matanya agar tak terlihat sembab di depan Brian.
Ruby membukakan pintu. “Masuk, Pa,” Ruby mempersilakan Brian masuk ke kamar.
“Sarapan dulu. Tadi malem kamu kemaleman pulangnya. Belum makan malam kan?” Brian melangkah ke dalam. Dia menaruh sarapan berupa bubur abalon dan susu hangat. Ada potongan buah menyegarkan juga di sana.
“Makasih, Pa,” ucap Ruby pelan.
Brian menatap Ruby. Dia menelisik wajah putri bungsunya itu. “Kamu lagi ada masalah sama Simon?” tebak Brian tepat sasaran.
Bola mata Ruby membeliak lebar. Dia segera menggelengkan kepala. “Ng-nggak, Pa! Kami baik-baik aja,” jawab Ruby secepat kilat.
“Beneran?”
“Iya, Pa. Bener! Nanti sore mau ketemuan. Dinner bareng,” tutur Ruby.
“Oke. Kalau ada masalah, cerita ya? Papa selalu ada buatmu, Sayang,” Brian mengusap-usap punggung anak perempuannya itu. Dia mengecup lembut kening Ruby.
“Soal semalam, jangan diambil hati ya? Mama cuma kecewa. Besok kamu coba ajak Simon ke sini. Ikutan sarapan atau dinner bareng. Sekalian bawa hadiah ulang tahun. Biar mama nggak marah lagi,” terang Brian.
“Ah, iya, Pa,” sahut Ruby kaku.
“Udah ya? Papa mau temenin mamamu dulu. Biar nggak makin buruk mood-nya,” pamit Brian. “Kabari Papa kalau ada masalah.”
“Iya.”
Ruby menghela napas panjang sambil duduk berjongkok saat Brian keluar dari kamarnya. Dia menatap pintu kamarnya yang sudah tertutup kembali. Ada rasa tak enak di dalam hatinya.
“Harusnya aku nggak bohong sama Papa,” desis Ruby bersalah. “Tapi mulutku langsung bohong di luar kendali. Bodoh banget sih aku ini!”
Ruby kembali menutup wajahnya dengan handuk. Tangisnya meluncur kembali. Mengeluarkan semua emosi dan rasa sakit bertubi akibat pengkhianatan Simon dan Nina.
Tak pernah sekalipun terbersit pikiran bahwa Nina akan mengkhianatinya seperti ini. Mereka sudah berteman sejak kuliah. Ruby memang terkadang galak pada Nina. Namun, dia tulus berteman dengan Nina.
Nina yang tadinya hanya seorang youtuber biasa, dia bantu membuat konten dan promosi. Dia menjadikan Nina seorang bintang di dunia maya hingga akhirnya Nina menjadi seorang penyanyi ternama di Asia.
Kini Nina malah menusuknya. Mengambil Simon dan tidur di ranjang bersama.
“AAAA!” teriak Ruby frustasi tiap teringat kejadian semalam.
But, life must go on. Ruby segera berdandan. Dia mengambil pakaian terbaik di lemarinya. Berdandan secantik mungkin.
Dikenakannya sebuah kacamata modis berwarna merah muda. “Aku nggak boleh kelihatan seperti orang patah hati!” tekad Ruby.
Dia mengirim lokasi dinner ke Simon. Setelah itu, dia berangkat duluan ke restoran tersebut.
Sesampainya di restoran, hati Ruby kembali berdenyut sakit. Simon tak hanya mengajak pengacara perusahaan. Pria itu juga mengajak Nina.
Yang terburuk adalah Nina tampak sangat ganjen. Memeluk erat lengan Simon tanpa tahu malu.
“Bitch!” desis Ruby dengan pandangan tajamnya.
Ruby melengang dan duduk di kursi kosong. Dia sengaja menyilangkan kaki kanannya di atas kaki kirinya. Kedua tangannya dia taruh di depan dadanya dan membusungkannya dengan arogan sekaligus elegan.
“Ruby, mau pesan makanan dulu?” tawar Simon gugup. Pria itu berusaha melepaskan tangannya dari pelukan Nina. Namun, Nina tetap memeluknya dengan erat.
“Tidak usah. Langsung saja ke inti masalahnya,” ucap Ruby. “Aku mau urusan perusahaan tetap diurus dengan profesional meskipun kita sudah putus.”
“Baiklah,” ucap Simon.
Ruby memicingkan pandangan heran. Simon memang gugup. Akan tetapi, pria itu tampak tenang ketika Ruby mengungkit perkara perusahaan. Aneh sekali, batin Ruby curiga.
“Serahkan dokumennya ke Ruby,” suruh Simon pada pengacara.
Pengacara menyerahkan dokumen ke Ruby. Segera Ruby menerima dan membacanya.
DEG!
Jantung Ruby serasa seperti ditusuk sembilu melihat laporan dokumen tersebut. Dia membeliakkan bola matanya lebar.
“Apa-apaan ini?!” pekik Ruby marah. “Kenapa tidak ada namaku sebagai pemilik saham perusahaan?!”
“Memang kamu tidak pernah terdaftar sebagai pemilik saham Ruby,” timpal Simon.
Ruby menggebrak meja. “Mana mungkin?! Semua uangku masuk ke perusahaan! Harusnya ada namaku!” teriak Ruby marah. “Kamu menipuku ya?!”
Simon tidak membalas. Pengacara memberikan lembaran dokumen baru ke Ruby.
“Apa ini?!” bentak Ruby kasar.
“Ini berkas serah terima saham milik Anda ke Pak Simon, Bu,” ucap si pengacara dengan santun.
“Apa?!” Ruby segera mengeceknya. Dia membaca hati-hati semua dokumen itu. Benar saja. Ada tanda tangan dirinya di atas materai dan cap jempol tangannya.
“Kapan aku—?” Ruby terkesiap. Dia teringat sesuatu. Saat pesta pertunangan, dia sempat mabuk dan tanda tangan dokumen dari Simon. Ada cap jempolnya juga.
“Kau! Penipu!” teriak Ruby marah.
Simon hanya mengedikkan kedua bahunya saja. “Kamu menandatanganinya sendiri, Ruby. Kamu yang bilang bahwa kita akan jadi suami istri. Sudah selayaknya aku mengelola semua hartamu,” terang Simon santai. “Sekarang kita putus dan Rainbow Entertainment resmi jadi milikku. Terima kasih atas semuanya, Ruby.”
Ruby mencengkeram erat dokumen di tangannya hingga menjadi bulatan bola. Dia melemparkannya ke arah Simon dengan keras. “Jadi ini balasanmu atas semua kebaikanku padamu?” suara Ruby gemetar hebat.
“Ruby, aku hanya mencoba yang terbaik. Lagipula, apa masalahnya kehilangan sebuah perusahaan bagi orang kaya sepertimu? Mama dan papamu orang hebat. Harta kalian melimpah. Anggap saja kamu sedang bersedekah padaku,” balas Simon tanpa tahu malu sedikit pun.
“Bersedekah katamu?” Ruby bangun dari duduknya. Dia melangkah mendekati Simon.
Simon tampak gugup. Pria itu mencoba bangun dan menghindar. Namun, Ruby sudah melayangkan sebuah tamparan keras di pipi pria itu.
“Ruby!” teriak Nina kaget. “Kamu menyakiti Simon!”
“Orang bersedekah pun harus dapat kepuasan kan?” ucap Ruby. Dia menatap ke arah Nina dan melangkah mendekatinya.
“Mau apa kamu?!” teriak Nina ketakutan.
Ruby melemparkan senyuman mengejek. “Kenapa? Takut kutampar juga?”
“A-apa kamu bilang?!” balas Nina gugup. Suaranya melengking tapi ketakutan.
“Akan kubuktikan bahwa kalian itu bukan apa-apa tanpa diriku!” Ruby menampar Nina juga sebelum dia pergi keluar dari restoran.
Dengan langkah terseok, Ruby menangis dan berjalan masuk ke dalam mobilnya di parkiran. Tak hanya hatinya yang hancur. Karirnya pun hancur.
Rainbow Entertainment yang dia rintis sejak kuliah kini sudah tidak jadi miliknya lagi. “Akh! Kenapa aku sebodoh ini?!” teriak Ruby meratapi dirinya.
Ponsel Ruby berdering. Ada telepon dari papanya.
Ruby menolaknya. Dia membuka galerinya. Masih tersimpan video tak senonoh Simon dan Nina di sana.
“Aku hancur, kalian harus ikut hancur juga,” ujar Ruby dengan suara gemetaran penuh amarah. Dia segera mencari nomor wartawan yang dikenalnya dan menghubunginya satu per satu.
“Sebarkan video itu sekarang juga,” perintah Ruby pada para wartawan kenalannya.
BAB 3
“Ruby! Ruby!”
Terdengar suara Risa mengetuk pintu kamar Ruby. Suaranya sangat keras. Membuat Ruby terbangun dari tidurnya.
Sudah dua hari semenjak Ruby menyebarkan video tak senonoh Simon dan Nina. Sudah dua hari pula dia mengurung diri di dalam kamar. Tak keluar dan menunjukkan wajah pada siapapun.
“RUBY! Denger nggak sih dipanggil sama Mama?!” teriak Risa keras.
“Iya, Ma!” sahut Ruby.
Mau tak mau, Ruby bangun dari tidurnya. Dia membanting bantalnya. “Huh! Ngapain sih Mama harus cari aku sekarang?!” oceh Ruby seorang diri. Dia melangkah malas dan membukakan pintu untuk Risa.
“Ruby, kamu nggak kenapa-kenapa kan?” Risa langsung menerobos masuk ke dalam kamar. Perempuan paruh baya itu langsung memeluk tubuh ramping Ruby dengan erat.
“Mama kenapa sih?” tanya Ruby kikuk. Dia tak menyangka akan mendapatkan sebuah pelukan erat dan hangat dari Risa. Padahal, dia mengira mamanya akan memarahinya habis-habisan.
“Mama udah tahu soal skandal Simon sama Nina. Beritanya sudah tersebar ke seantero dunia,” terang Risa simpatik.
Risa menatap kasihan Ruby. Dia mengusap-usap pipi Ruby yang tirus itu. “Udah makan belum? Ayo mandi dan makan. Kita ngobrol bareng di ruang tengah. Ada papa dan kakakmu juga.”
Ruby menganggukkan kepala. “Tunggu setengah jam lagi ya, Ma? Aku siap-siap dulu,” ucap Ruby.
“Iya.”
Ruby segera mengambil baju dan masuk kamar mandi. Dia membersihkan diri dan berdandan wangi.
Memang luka di hatinya masih menganga saat ini. Namun, melihat bagaimana sikap mamanya barusan membuat Ruby lebih semangat.
Benar, masih ada mama, papa, dan kakak. Aku nggak boleh menyerah! Ruby menyemangati dirinya sendiri saat menatap wajah ayunya yang lesu di depan cermin.
Ruby bergegas menyelesaikan pulasan di wajahnya. Langkah mungilnya lantas bergerak cepat ke ruang tengah. Menyusul mama, papa, dan kakak laki-lakinya.
“By, sini, Sayang,” panggil Brian.
Ruby duduk di sisi Brian dan merangkulnya. “Papa,” ucap Ruby manja. Ciri khas dirinya sejak masih kecil.
“Kakak sudah lihat beritanya, By. Apa perlu Kakak kirimkan orang untuk menghajar Simon?” tawar Rafa. Pria itu tampak menahan amarahnya.
“Nggak usah,” tolak Ruby. “Kan udah kesebar video memalukan mereka. Pasti sekarang saham perusahaan bakal anjlok gara-gara video itu.”
“Saham perusahaan anjlok kok kamu malah seneng gitu?” timpal Risa keheranan. “Rainbow kan perusahaanmu juga, By.”
Ruby menoleh ke Risa. Kepalanya menggeleng. “Udah nggak, Ma. Rainbow Entertainment bukan punyaku lagi,” jawab Ruby lemah. Hatinya terasa sakit. Mengingat dirinya berusaha keras mengonsep Rainbow Entertainment sepenuh hati bagaikan mengasuh seorang anak.
“Apa?! Nggak punyamu lagi?!” Risa terbelalak tak percaya dengan jawaban putri tercintanya itu. “Apa maksudmu? Kamu kan yang diriin Rainbow sesuai dengan keinginanmu.”
Air mata Ruby menggenang. Nyaris terjatuh sehingga dia perlu mendongak menatap langit-langit rumah.
“Ini kesalahanku. Aku terlalu percaya pada Simon dan salah tanda tangan dokumen. Semua saham dan asetku di Rainbow Entertainment sudah direbut Simon. Semuanya resmi jadi milik Simon,” tutur Ruby terbata. Dia mencoba menahan dirinya agar tidak terlalu emosional. Dia merasa malu jika harus menangis pilu di depan keluarganya.
“Tapi, aku akan merebutnya lagi nanti,” tekad Ruby kemudian.
“Mau Papa pinjami uang? Papa bisa beli saham di sana untukmu,” tawar Brian.
Ruby menggelengkan kepala. “Nggak, Pa. Makasih tapi aku mau berusaha dengan kerja kerasku sendiri. Aku nggak bakal pakai uang siapapun buat rebut Rainbow Entertainment dari tangan Simon,” terang Ruby mantap.
“Dengan apa? Memangnya tabunganmu sisa berapa? Semua uangmu pasti sudah ludes kan di Rainbow Entertainment?” potong Risa dengan nada kesal.
“Ma, kan udah bilang kalau aku bakal usaha!” balas Ruby.
“Usaha seperti apa? Kamu mau kerja? Jadi model? Artis? Idol? Sama kayak waktu kamu SMA dulu?” Risa menatap serius anak bungsunya itu. “Ruby, sekarang kamu sudah 27 tahun. Bekerja sebagai manajer artis pun gajinya nggak besar. Mau memulai karir sebagai artis di usia seperti ini sama saja seperti bermain judi. Tidak jelas apakah akan sesukses saat kamu muda dulu.”
“Mama kok gitu?!” Ruby memicingkan pandangan kesal ke Risa. “Mama harusnya dukung aku dong. Kok malah bikin aku minder gini sih?”
“Mama mencoba mengajakmu berpikir realistis Ruby,” ucap Risa. “Gini aja deh. Mending kamu pakai uang Mama buat ambil Rainbow Entertainment lagi. Pengacara Mama bisa urus semuanya seminggu ini. Abis itu, kamu ikut acara perjodohan. Mama bakal jodohin kamu sama salah satu anak kolega Mama.”
“MAMA!” pekik Ruby emosional. Dia tak menyangka Risa akan berpikir sejauh itu. “Ngapain pakai acara jodoh-jodohin aku segala? Aku ini masih muda. Aku yakin kok bisa sukses meski harus merintis dari nol.”
“Nggak, By. Mama nggak mau kamu salah jodoh lagi,” tegas Risa. “Lihat gimana seleramu itu? Si-Monkey itu malah cuma jadi lintah darat di hidupmu. Tukang selingkuh lagi. Kamu sama aja sia-siain masa muda selama 5 tahun dengan orang salah. Rugi besar kamu itu.”
“Tapi aku nggak mau dijodohin Mama!” balas Ruby. “Aku mau temuin jodohku sendiri!”
Pandangan Ruby menoleh ke Rafa. “Mending Mama jodohin Kak Rafa tuh. Kak Rafa kan udah 35 tahun tuh. Udah waktunya nikah. Kenapa malah aku yang sekarang dipaksa nikah?” oceh Ruby membandingkan dirinya dengan sang kakak.
“Kakakmu sibuk kerja. Bantu perusahaan Papa. Lagian Kak Rafa kan laki-laki dan sudah mapan. Gampang buat cari jodoh,” terang Risa. “Kamu ini yang harus ditata dan diarahin. Gagal tunangan, nggak bisa cari jodoh yang bener, kena tipu lagi.”
“Pokoknya aku nggak mau dijodohin!” tolak Ruby keras kepala. “Aku mau kerja habis ini. Mama nggak usah capek-capek urusin aku. Aku juga masih punya tabungan kok.”
“Ruby, kamu itu tanggung jawab Mama. Anak Mama. Sekarang kamu turuti nasihat Mama!” desak Risa. Perempuan itu sama sekali tak mempedulikan keluh kesah Ruby.
“Nggak mau Mama!” balas Ruby semakin kencang.
“Sayang, udah dong. Masa’ berantem gini sih? Kan niatnya mau hibur Ruby tadi,” sela Brian menengahi istri dan anak perempuannya yang sering selisih pendapat itu.
Risa menatap kesal Brian. “Kamu belain Ruby terus. Jadinya gini kan?” omel Risa. “Sekarang aku yang bikin keputusan! Nggak ada yang boleh interupsi!”
“Tapi, Ruby nggak mau dijodohin, Sayang. Biarin aja Ruby usaha dulu. Nggak ada salahnya mencoba lagi,” tutur Brian lembut.
“Usaha apa? Usaha sia-sia lagi? Ketemu cowok brengsek lagi? Patah hati lagi? Non sense!” balas Risa. Pandangan Risa menatap tegas dan galak ke Ruby.
“Ruby, ini kesempatanmu terakhir. Kalau kamu nggak mau ikutin semua rencana Mama, mulai saat ini Mama bakal hentiin semua dana ke tabunganmu. Papa dan Kak Rafa juga nggak boleh bantu kamu. Usaha sendiri kamu! Biar sekalian rasain gimana jadi orang nggak bisa apa-apa!” ucap Risa mengancam.
Ruby mendengus. “Oke. Aku bakal kerja dan usaha sendiri. Bangkit sendiri! Nggak bakal butuh bantuan dari Mama!” balas Ruby menantang Risa. Dia bangun dari duduknya lantas melangkah keluar dari ruang tengah. Meninggalkan mamanya yang masih marah dengan keputusannya yang dianggap tak rasional itu.
BAB 4
Ruby merapikan barangnya. Dia langsung mengambil tiket ke Indonesia hari itu juga.
“Sayang, kenapa buru-buru? Pulang ke Jakarta sama Papa aja ya?” bujuk Brian. Dia mencoba meredakan amarah Ruby dulu.
“Nggak, Pa. Aku nggak balik ke Jakarta kok,” balas Ruby.
“Terus mau ke mana? Kamu jangan buat Papa cemas begini. Papa masih bisa bantu kamu kok,” terang Brian. “Yang tenang ya? Kan udah dewasa.”
“Ini bukan soal dewasa atau ketenangan, Pa. Ini soal harga diriku. Aku nggak suka diremehin orang lain!” timpal Ruby tegas.
“Mamamu nggak pernah ngeremehin kamu, By. Dia hanya khawatir padamu. Cuma cara penyampaiannya—“
“Papa, cukup,” pinta Ruby. “Aku nggak bisa bersabar lagi kali ini. Aku mau berusaha dengan caraku sendiri. Papa nggak perlu khawatirin aku. Oke?”
Ruby menarik kopernya. Dia melangkah masuk ke dalam taksi online yang sudah dia pesan. Meninggalkan rumah mamanya yang ada di Tokyo itu.
“Haneda Airport,” ucap Ruby pada si sopir.
Setelah itu, dia membuka ponselnya. Mengecek berita bisnis dan entertainment.
Deretan baris kalimat dalam bahasa Inggris muncul dalam layar ponsel Ruby. Berita tentang Simon dan Nina masih terus diulik. Saham Rainbow Entertainment pun terus terjun bebas. Beberapa artis kesayangan di Rainbow Entertainment memikirkan untuk keluar.
Ruby hanya bisa tersenyum getir. Rainbow Entertainment yang dulu dia sayangi sepenuh hati kini mulai hancur.
Tangan Ruby memasang headset di telinganya. Dia memilih berhenti membaca berita tersebut. Termasuk berhenti melihat berita pro dan kontra tentang dirinya.
“RUBY!” teriak seseorang saat Ruby sudah berada di airport.
Ruby menoleh. Tampak Simon dan Nina berlari ke arahnya. Di belakang mereka, ada kerumunan 7 orang wartawan mendekat.
“Ruby, tolong maafkan kami?” pinta Simon memohon. Dia meraih tangan Ruby dan menggenggamnya dengan erat.
“Aku dan Nina sebenarnya sudah menikah. Kami tidak memiliki kesalahan apapun. Kenapa kamu tega menyebarkan video seperti itu tentang kami?” celoteh Simon keras. Dia menunjukkan wajah sedih dan air matanya.
“Ruby, seharusnya kamu tidak sekejam ini pada kami berdua? Kan kami sudah menikah. Kamu kan yang sebenarnya perusak hubungan di antara kami?” imbuh Nina. Suaranya melengking merana.
“Ruby, jangan mendendam seperti ini. Kita lakukan konferensi pers bersama ya? Selesaikan dengan jalur damai,” rengek Simon memelas.
Mata Ruby menatap sinis Simon. Dia menampik tangan Simon. “Minggir! Ganggu aku kalian itu!” balas Ruby galak. Dia tak peduli dengan kerumunan wartawan itu. Paling juga wartawan sewaan Simon, batin Ruby menebak.
“Ruby, hatimu keras dan jahat. Kamu sama sekali tidak kasihan padaku? Kita berdua kan sahabat?” ucap Nina.
Nina meraih tangan Ruby dan mencoba memeluknya. Seketika itu, Ruby mendorong Nina dengan kasar.
“Jangan dekat-dekatin aku! Sahabat mana yang mencuri tunangan sahabatnya sendiri?” timpal Ruby.
“Ruby! Aku dan Simon sudah menikah. Pernikahan rahasia. Kamu dong yang berusaha mencuri Simon dariku?” kilah Nina.
“Aku udah nggak butuh Simon!” tegas Ruby. “Pergi sana!”
Ruby menarik kopernya. Nina mencoba berlari dan meraih tangan Ruby. Namun, sekali lagi, Ruby mendorongnya kembali.
“AKH!” Nina jatuh ke lantai.
“Nina!” Simon berlari dan membantu Nina bangun.
“Ruby, jahat sekali kamu,” tangis Nina di lantai.
Ruby hanya menoleh sekilas. Pandangannya masih memicing sebal pada Nina dan Simon.
“Ruby, kamu memang berhati dingin!” Simon menatap kecewa Ruby.
“Whatever!” balas Ruby sebelum pergi meninggalkan Simon dan Nina yang masih memainkan sandiwara sabun di depan para wartawan.
Ruby memilih buru-buru masuk dalam pesawat. Melanjutkan perjalanan pulang ke Indonesia.
Hate to see you with someone new.
I'll put a curse on her and you.
Ain't no looking back, now you're dead and gone.
My love is gone too.
Ruby mendengarkan lagu Gone milik Rose Blackpink selama perjalanan dari Tokyo ke Indonesia. Dia mencoba menenangkan diri di pesawat. Memikirkan hal-hal menyenangkan yang bisa dia lakukan saat sampai di Indonesia nanti.
Tujuan Ruby kali ini adalah Bandung. Di sana, dia bisa bertemu dengan saudara sepupunya. Selain itu, dia juga bisa kabur dari Risa.
Ruby menghela napas panjang dan berat. Dia kembali teringat drama Simon dan Nina di airport tadi.
“Benar-benar memalukan,” decak Ruby kesal.
Dia sama sekali tak menyangka Simon akan serendah itu. Dia kecewa dan sedih karena orang yang dia cintai sekaligus kagumi ternyata sama buruknya dengan tipe orang yang dia benci selama ini.
Ruby sangat membenci orang-orang yang menganggapnya hanya mengandalkan kekayaan orang tua. Memang dirinya terlahir di keluarga yang kaya raya. Papanya pimpinan perusahaan bodyguard ternama di Indonesia. Mamanya juga seorang CEO perusahaan media dan periklanan di Jepang. Semua itu membuat dirinya selalu menjadi orang yang dikagumi sekaligus disegani oleh orang lain.
Ruby menggenggam erat jemari tangannya. “Kali ini aku bakal berjuang sendiri,” ucap Ruby menyemangati dirinya sendiri. “Tanpa cinta. Tanpa laki-laki. Pokoknya aku harus bisa bangkit sendiri.”
Pesawat mendarat di bandara saat pukul 3 dini hari. Dia naik pesawat berikutnya dari Jakarta ke Bandung. Sesampainya di Bandung, dia memilih menginap di hotel yang ada di sekitaran Alun-Alun Bandung.
Sesampainya di kamar hotel, Ruby langsung tepar. Dia tertidur lama. Saat terbangun, waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore.
“Astaga! Aku jet lag!” Ruby menepuk jidatnya.
Buru-buru dia mandi dan berganti pakaian. Ponselnya berdering. Ada telepon dari sepupunya, Davin.
“By, di mana sekarang?” tanya Davin saat Ruby mengangkat teleponnya.
“Bandung,” jawab Ruby.
“Kok pas sih. Ayo mampir ke rumahku,” ajak Davin.
“Hm, kok mencurigakan. Kamu disuruh papaku ya?” selidik Ruby curiga.
“Hm, setengahnya benar. Tapi, aku ada berita bagus untukmu. Sini buruan ke rumahku. Sekalian makan malam,” suruh Davin.
“Berita bagus apa dulu?”
“Aku dengar dari Paman Brian kalau kamu pengen kerja kan?” tutur Davin.
“Iya. Semacam itu. Tapi, aku maunya di industri musik,” terang Ruby jujur.
“Kamu tahu kan istriku? Sana?”
“Tahulah. Kamu kira aku ini apaan?” dengus Ruby kesal.
Davin tertawa kecil. “Santai. Aku cuma becanda. Jangan emosi juga padaku.”
“Iya deh. Buruan mau bilang apa tadi. Istrimu kenapa memangnya?” cerocos Ruby. Entah mengapa dia jadi penasaran juga.
“Kakak Sana namanya Dito. Dia song writer dan CEO Sun Entertainment. Industri musik di London. Lagi ekspansi ke Asia. Kalau kamu mau daftar, aku coba lobikan lewat istriku. Mau nggak?” tawar Davin.
Ruby langsung merekah bahagia wajahnya. “Mau!” sahut Ruby tanpa ragu.
“Sini ya? Ke rumahku. Makan malam. Nginep juga nggak masalah. Sekalian jagain anakku,” kekeh Davin.
“Bodo amat,” balas Ruby seraya mematikan telepon.
Dia segera bersiap. Berdandan rapi dan cantik sebelum keluar dari hotel.
Sialnya, saat memeriksa tasnya, dia tak menemukan dompetnya. “Duh! Ketinggalan di kamar deh,” decak Ruby. Dia menepuk jidatnya dan berputar balik ke arah lift.
Dia berlari buru-buru karena lift sudah akan tertutup. Untungnya, orang yang ada di di dalam lift itu mau menekan tombol buka.
“Makasih,” ucap Ruby pada pria bertubuh tinggi dan berwajah manis itu.
Pria itu hanya mengangguk. Pintu lift tertutup kembali. Ruby menekan angka lantai kamarnya.
Pandangan Ruby lurus ke depan. Dia sama sekali tak melirik pria berwajah manis tadi. Bahkan, Ruby langsung melangkah keluar lift saat dirinya sudah tiba di lantai yang dituju.
Tepat ketika dia melangkah keluar, terdengar suara jatuh. Ruby menoleh. Pria manis itu terjatuh tak sadarkan diri. Gawatnya, pria itu sendirian saja. Tak ada seseorang pun di dalam lift itu.
Tanpa pikir panjang, Ruby langsung berlari kembali masuk ke dalam lift. Dia membantu pria yang napasnya terengah-engah itu.
“Hei, kamu kenapa? Sakit? Ada obat yang harus diminum?” tanya Ruby panik.
Alih-alih menjawab, pria itu malah menutup matanya. Tak sadarkan diri dalam pelukan Ruby.
BAB 5
“Aduh! Kok pingsan sih?! mana di lift lagi pingsannya!” Ruby mengecek hembusan napas pria itu dengan menyentuh hidungnya.
“Masih bisa napas,” Ruby menghela napas lega. “Aduh, gimana ya ini.”
Ruby menenangkan dirinya dulu. Perlahan dia bangun dan memapah Dito.
“Ugh, tinggi sekali badannya. Untung nggak gede,” oceh Ruby sambil membenarkan posisi pria itu agar lebih mudah untuk dipapah.
Ruby menekan tombol lantai dasar. Lift turun ke bawah.
Sesampainya di sana, Ruby membawa Dito keluar. Dia memanggil karyawan hotel.
“Tolong panggilkan ambulans! Orang ini sakit,” pinta Ruby.
“Iya, Bu,” sahut karyawan hotel.
Pihak hotel segera meneleponkan ambulans. Ruby ikut masuk ke dalam ambulans itu. Mau tak mau, dia harus menemani pria itu sampai mendapatkan pengobatan di rumah sakit.
Tak terasa, Ruby di rumah sakit sampai pukul 8 malam. Ponselnya berdering berulang kali. Saat melihat, ada telepon masuk dari Davin.
“By, di mana kamu? Kok nggak dateng-dateng sih?” tanya Davin setengah cemas. “Nggak ada masalah kan?”
“Aku di rumah sakit,” jawab Ruby.
“Rumah sakit?! Sakit apa? Kamu nggak bunuh diri kan gara-gara patah hati?” cerca Davin panik.
“Nggaklah!” balas Ruby secepat kilat. “Aku sakit hati tapi nggak gila.”
“Terus ngapain di rumah sakit? Di rumah sakit mana? Aku jemput ya?”
“Tadi ada orang pingsan di lift hotel. Aku cuma nolong aja. Nggak ada masalah urgen kok,” jelas Ruby.
“Aku jemput ya?” tawar Davin lagi.
“Nggak usah. Sejam lagi aku ke rumahmu. Asistennya udah mau ke sini kok,” terang Ruby.
“Oke. Hati-hati,” ucap Davin sebelum menyudahi teleponnya.
Setelah itu, Ruby menemui asisten pria tadi. “Bosmu tadi terkena serangan jantung mendadak. Tapi, udah ditangani dokter. Katanya, terlalu capek. Banyak begadang,” tutur Ruby saat bertemu si asisten pria itu.
“Terima kasih atas bantuannya,” si asisten mengeluarkan sebuah kartu nama. “Nanti tolong hubungi ke sini ya? Biar saya ganti rugi semua biaya pengobatannya.”
Ruby menerimanya. Fernan Kishimoto nama orang itu. “Namamu familiar,” celetuk Ruby.
“Benarkah?” balas Fernan. Pria itu menatap Ruby sesaat. “Wajahmu juga familiar. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
Ruby terdiam sesaat. Mata rubahnya memicing sipit memperhatikan Fernan. “Entahlah,” ucap Ruby kemudian.
“Nama Anda siapa tadi?” tanya Fernan.
“Ruby. Ruby Pelangi Golden,” jawab Ruby.
“Ruby, Ruby, Ruby,” Fernan mengernyitkan keningnya. “Ah! Ruby yang jadi pemeran utama di dorama Dear My Sunshine itu?”
“Iya. Benar,” sahut Ruby. “Kamu nonton dorama itu?”
Fernan mengulas senyuman. “Aku kan ikut dalam proyek pembuatan OST dorama itu,” ucap Fernan. “Waktu itu kamu lagi terkenal. Sukses jadi idol, model, dan artis muda pendatang baru kan?”
Ruby tersipu malu. Ternyata masih ada saja yang mengingat dirinya. “Benar. Tapi, itu sudah lama. Sekarang udah redup. Udah banyak yang jauh lebih bersinar dibanding aku,” balas Ruby.
“Kenapa berhenti? Padahal, fans base-mu sangat bagus waktu itu.”
“Aku ingin fokus kuliah,” jawab Ruby.
“Wah, ini reuni yang tak terduga. Senang bisa bertemu Anda,” Fernan mengulurkan tangannya ke Ruby.
Ruby mengangguk dan membalas menjabatnya. “Aku juga senang,” ucap Ruby.
Ponsel Ruby kembali berdering. Dia mengecek. Telepon dari Davin masuk lagi.
“Maaf, aku harus pulang. Nanti aku hubungi lagi,” pamit Ruby.
“Iya. Terima kasih ya?” Fernan menganggukkan kepala sopan.
Ruby melambaikan tangannya. Langkahnya berlari menjauh.
“Halo, Vin. Ada apa lagi?” tanya Ruby.
“Aku jemput ya? Ini udah di jalan aku. Share location-mu ya,” suruh Davin.
“Iya.”
Ruby akhirnya mengirimkan lokasinya ke Davin. Setengah jam kemudian, Davin datang menjemputnya.
“Nginep di mana sih? Beneran nggak lagi sakit kan kamu?” tanya Davin dengan wajah was-was.
“Hotel. Nggak kok. Nih lihat kalau nggak percaya,” Ruby menunjukkan kedua pergelangan tangannya. “Nggak ada luka sayat. Akalku masih berfungsi dengan baik.”
“Good. Boleh patah hati, tapi jangan sampai bodoh,” ucap Davin sebelum mengemudi.
Ruby mengangguk saja. Sepanjang perjalanan, Ruby mengecek kartu nama dari Fernan.
“Agensi musik Sun Entertainment?” Ruby mengernyitkan kening. Dia merasa pernah mendengar nama agensi tersebut. Tapi, lupa di mana.
Segera dia mengambil ponselnya. Dia berselancar di internet dan mencari tahu tentang Sun Entertainment.
“Industri musik yang tengah ekspansi ke Asia Timur dan Tenggara. Sedang mencari talenta muda berbakat untuk berjuang bersama,” tutur Ruby membaca profil perusahaan Sun Entertainment.
“Kenapa, By?” tanya Davin. “Baca apaan sih? Sampai perlu dieja? Kayak nggak bisa baca aja.”
“Enak aja,” balas Ruby nyolot.
Davin terkekeh. “Kamu masih hobi ngegas aja, By. Mantanmu udah kamu gas kan?”
“Udah aku sebar video menjijikkannya,” balas Ruby. Dia pun menceritakan semua yang dia alami terkait Simon dan Nina pada Davin.
Davin mengangguk dan mendengarkannya sambil menyetir santai. “Perlu aku hajar nggak mantanmu itu?” tanya Davin usai Ruby mencurahkan isi hatinya.
“Pertanyaanmu mirip banget sama Kak Rafa,” celetuk Ruby.
“Pria brengsek kayak gitu harus dihajar sampai mampus, By.”
“Nggak usah. Hidupnya udah tersiksa sekarang. Mana kemarin dia ngedrama banget waktu di Haneda Airport.”
“Ngedrama gimana? Dia nggak nyakitin kamu kan?” interogasi Davin.
“Nggak sih. Tapi, dia bawa wartawan gitu. Terus, ngaku udah nikah sama Nina,” ujar Ruby lesu. “Arh, sebel deh! Brengsek kok nggak ada abisnya.”
Ruby meraih tisu di dashboard mobil. Dia menghapus air matanya yang akhirnya menitik.
“Mau mampir ke kafe?” tanya Davin.
“Nggak, Vin. Nggak usah,” tolak Ruby. “Kayaknya aku emang bakal terus nangis gini kalau keinget soal Simon sama Nina. Patah hati emang kayaknya harus gini ya?”
“Iya. Kan mau sebrengsek apapun dia, kamu pernah cinta dan punya ekspektasi tinggi ke dia. Wajar kamu sakit hati dan kecewa. Antara ekspektasi dan realita nggak bisa sejalan,” tutur Davin.
“Bener. Aku bener-bener bodoh,” Ruby kembali menangis dan menyeka air matanya.
Davin menghentikan mobil di lampu merah. Dia mengusap-usap kepala Ruby. “Take your time, By. Jangan paksain diri,” ucap Davin menghibur sepupunya itu.
Ruby mengangguk. Dia masih menangis dan ditemani tisu.
Davin menyalakan radio. Ada lagu-lagu romansa terdengar di sana. Sialnya, lagu-lagunya semuanya mellow. Membuat hati Ruby semakin kelabu.
“Matiin aja deh,” Ruby menekan tombol off. Tak ingin larut terlalu lama dengan lagu berirama sendu itu.
“Biar kamu puas nangisnya, By,” timpal Davin.
“Gila!” balas Ruby galak.
Davin tertawa kecil. Membiarkan Ruby memaki dan memarahinya.
Tak berapa lama, mereka tiba di rumah Davin. Sebuah rumah yang memiliki halaman luas. Ada kolam ikan dan ayunan di rumah depan.
“Masuk duluan, By. Aku mau parkir mobil di garasi,” suruh Davin.
“Oke,” sahut Ruby.
Sudah lama dia tak berkunjung di Bandung. Jarang main di rumah Davin semenjak Davin menikah.
Padahal, Davin adalah sepupu sekaligus teman bermainnya sejak bayi. Tak jarang Ruby memalaki Davin dengan meminta hadiah-hadiah yang mahal. Tentu karena Davin itu sangat cerdas dan selalu menang lomba MIPA sampai tingkat internasional. Uangnya banyak dan ditabung semuanya.
Ruby mengulas senyum simpul. Cukup menghibur membayangkan masa lalunya dengan Davin itu.
“Kak Ruby,” sapa Sana dengan senyuman manis.
“Ah, hai, Sana,” balas Ruby. Dia menghampiri Sana dan memeluknya.
“Kakak baik-baik aja? Katanya di rumah sakit tadi,” tutur Sana.
“Sehat kok. Cuma nolong orang,” jawab Ruby.
“Ayo masuk dulu, Kak. Udah ditunggu sama Paman Brian,” ucap Sana.
“Eh?” Ruby berhenti melangkah.
“Apa kamu bilang tadi? Paman Brian?” jantung Ruby berdetak tak nyaman. “Ada mamaku juga di sini?”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
