
Saka bingung saat Kael tiba-tiba datang membawa makanan, tapi Taksa justru menyuruhnya membuangnya. Ketegangan meningkat saat Taksa ditawari ayah untuk masuk akademi militer, sementara Saka hanya diam, terperangkap antara masa lalu dan masa depan yang terasa semakin dekat. Taksa mengajak Saka keluar, namun ia memilih menyendiri, sampai akhirnya pesan Taksa membuatnya mempertanyakan apa yang sebenarnya diinginkannya.
"Saka, ini ada yang cari."
Saka yang sedang menulis di bukunya mengangkat kepala. "Siapa? Kak Taksa? Biasanya dia nyelonong masuk sendiri."
Ia berjalan mendekati pintu kelas, tetapi langkahnya terhenti sesaat ketika melihat sosok yang berdiri di sana. Bukan Taksa—melainkan Kael.
Saka mencoba tersenyum, meskipun ada sedikit keraguan di hatinya. "O-oh, Kak Kael… Kenapa ya, Kak?" tanyanya hati-hati.
Dari semua orang yang ia kenal, Kael adalah satu-satunya yang tidak pernah membentaknya, tidak pernah memukulnya, dan juga tidak terlalu peduli padanya. Mereka hanya terpaut satu tahun, tetapi hubungan mereka lebih sering diisi dengan diam dan interaksi seadanya.
Tanpa banyak bicara, Kael menyodorkan sebuah bungkusan makanan kepadanya. Lalu, tanpa sepatah kata pun, ia berbalik dan pergi begitu saja. Saka mengerutkan kening, lebih bingung dengan bagaimana Kael bisa menerobos masuk ke kawasan sekolahnya daripada fakta bahwa dia baru saja diberi makanan.
Perlahan, ia membuka bungkusan itu—sebongkah nasi padang dengan aroma yang begitu menggoda. Perutnya langsung berbunyi pelan.
“ Kebetulan sekali…”
Hari ini, di jam istirahat kedua, ia memang tidak pergi ke kantin karena tidak punya uang. Namun, rasa senangnya bercampur dengan sedikit kewaspadaan. Ia menatap makanan itu dengan seksama.
Siapa tahu ini jebakan?
Saka masih ingat dengan jelas kejadian sebelumnya—saat ia keracunan karena menerima makanan dari seseorang yang ternyata sudah hampir basi. Akibatnya, ia harus dilarikan ke rumah sakit. Saat itu, Taksa marah besar dan langsung menyalahkan si pemberi, Baga. Tapi, perdebatan panjang terjadi karena Halilintar dan Galen malah membela Baga.
Menghela napas, Saka menimbang-nimbang. Baru saja ia hendak kembali ke kelas, tiba-tiba Taksa sudah berdiri di belakangnya dengan ekspresi datar.
"Kael?" tanyanya singkat.
Saka mengangguk pelan.
"Buang saja. Paling disuruh Hali. Nanti bisa-bisa kamu keracunan lagi," ujar Taksa sambil merangkul adiknya. Tanpa memberi kesempatan bagi Saka untuk membantah, ia langsung menyeretnya paksa menuju kantin.
Sementara itu, dari balik pohon di seberang kelas Saka—di luar area sekolah—Kael menggerutu pelan sambil mengamati lewat teropongnya.
"Ck, padahal nggak beracun… Kak Baga sih dulu pernah kasih bingkisan basi," gumamnya kesal, ekspresinya sedikit masam saat melihat Taksa membuang makanan yang ia berikan ke tong sampah.
###
Malam itu, Pak Dhendra dan Bu Nahdra baru saja kembali ke rumah setelah menyelesaikan urusan mereka masing-masing—Bu Nahdra baru pulang dari perjalanan dinas, sementara Pak Dhendra baru saja menyelesaikan investigasi sebuah kasus. Suasana rumah terasa lebih hidup dari biasanya dengan makan malam besar yang dihadiri seluruh anggota keluarga.
Saka hanya diam, fokus menikmati makanannya, sementara kakak-kakaknya sibuk bercerita dan berdiskusi satu sama lain.
"Lalu Kak Baga nggak sengaja bikin kacau kelas kimia. Kebetulan banget, kelasku sama kelas Kak Baga digabung," cerita Kael dengan antusias.
"Bunda, jangan dengarkan Kael. Aku nggak ngapa-ngapain, kok!" protes Baga, buru-buru membela diri.
Di sisi lain meja makan...
"Lalu?" tanya Dhendra, matanya tajam memperhatikan Galen.
"Ya, ternyata pelakunya orang terdekat korban. Lagi-lagi karena masalah utang piutang," jawab Galen, nada suaranya datar tapi penuh keyakinan.
"Tapi yah, aku dengar sekarang sedang ada teror, ya? Katanya pelakunya belum ketemu sama kepolisian. Bahkan tentara sampai turun tangan? Bener nggak, Yah?" Halilintar menimpali, nada suaranya penuh rasa ingin tahu.
Saka memilih untuk tidak menanggapi. Taksa pun demikian, lebih menikmati makan malamnya dibanding ikut campur dalam obrolan serius. Namun, perhatian Bu Nahdra justru tertuju padanya.
"Taksa, Nak."
Taksa, yang masih lahap menyantap makanannya, mengangkat wajahnya. "Ya, Bunda?"
"Bagaimana persiapan kuliahmu? Kamu sempat mengulang, jadi nggak seangkatan sama Hali dan Galen, kan?" tanya Bu Nahdra lembut.
"Aku masih mempertahankan posisiku. Niatnya ambil jalur SNBP," jawab Taksa santai.
"Baguslah. Kalau jurusan kuliahmu bagaimana?"
Taksa mengunyah sebentar sebelum menjawab, "Aku masih menimbang-nimbang… semuanya terlihat menarik."
Saat itu, Dhendra sedikit berdeham, membuat suasana di meja makan mendadak lebih hening.
"Ayah mau memberi tawaran," ucapnya.
Taksa menegakkan punggungnya, menunggu kalimat selanjutnya.
"Bagaimana kalau setelah lulus SMA, kamu kembali ke akademi militer dan menjadi polisi?"
Sejenak, seluruh percakapan di meja makan terhenti. Mata-mata yang tadinya sibuk dengan makanan atau obrolan masing-masing kini beralih ke Taksa.
Taksa tidak langsung menjawab. Ia mengambil gelasnya, meneguk airnya perlahan sebelum akhirnya menanggapi. "Tawaran yang menarik, Yah… tapi aku masih bingung. Akan kupikirkan lagi."
Dhendra mengangguk, menerima jawaban tersebut. "Baiklah, Ayah akan tunggu jawabanmu."
Halilintar dan Galen saling pandang sebelum menoleh ke Taksa dengan ekspresi tidak percaya.
"Kenapa kamu nggak langsung mengiyakan tawaran Ayah? Kamu bisa kembali masuk kepolisian, lho!" bisik Galen, nada suaranya sedikit mendesak. Halilintar mengangguk setuju.
Taksa hanya menanggapi mereka seadanya, sementara anggota keluarga yang lain sudah kembali pada kesibukan masing-masing.
Di sisi lain meja, Saka tetap mempertahankan ekspresinya yang datar, seakan tidak terpengaruh dengan percakapan yang baru saja terjadi. Begitu ia selesai makan, ia segera beranjak dari meja makan dengan alasan ada ulangan keesokan paginya.
Sesampainya di kamar, Saka langsung membuka pintu balkon. Angin malam yang sejuk menerpa wajahnya saat ia termenung menatap langit.
"Kak Taksa diminta kembali… Ya, tidak masalah. Toh aku juga nggak kenapa-kenapa," gumamnya pelan.
Dari tadi, di meja makan, ia hanya diam. Tak ada satu pun yang mengajaknya bicara selain sapaan singkat dari Ayah dan Bunda ketika mereka baru tiba. Setelah itu, kakak-kakaknya langsung mengambil alih percakapan, seperti biasa.
Saka menunduk, jemarinya mencengkeram pagar balkon.
"Aku sangat ingin menjadi tim forensik… Apa ada minat lain yang bisa mengalihkan aku?"
Tok, tok, tok!
"Saka… Udah tidur? Ini aku, Taksa."
Saka menoleh ke arah pintu. Ia menghela napas, memperbaiki ekspresi wajahnya sebelum berjalan dan membukanya.
"Ya, ada apa, Kak? Aku sedang belajar," ucapnya datar.
Taksa tersenyum begitu melihat adik bungsunya muncul. "Ayah dan Bunda ngajak kita semua ke pasar malam. Nggak jauh dari rumah. Mau ikut?"
Saka menimbang-nimbang. "Aku… entahlah."
"Ayolah, aku tahu kamu nggak punya PR atau ujian harian untuk besok," bujuk Taksa.
"Aku mau-mau saja, Kak… Tapi, yah, kamu tahu sendiri. Aku di rumah saja."
Taksa terdiam sesaat, lalu menepuk pundak adiknya pelan. "Nanti mainnya sama aku saja. Mereka nggak usah diajak."
Dari lantai bawah, terdengar suara Bu Nahdra. "Taksa, Nak, bagaimana? Adikmu mau ikut?"
Taksa kembali menatap Saka, berharap ia mengubah keputusannya. "Tuh, Bunda nungguin jawabanmu tuh. Yuk ikut."
Namun, Saka hanya menggeleng. "Nggak, aku nggak ikut, Kak. Selamat bersenang-senang."
Ia langsung menutup pintu.
"Tunggu—"
"Taksa, kalau adikmu nggak mau, jangan paksa dia. Ayo turun, yang lain sudah siap nih. Lalu Saka, Bunda belikan oleh-oleh, ya? Kamu hati-hati jaga rumah," seru Bu Nahdra lagi.
Taksa menatap pintu kamar adiknya yang tertutup rapat, lalu menghela napas panjang sebelum akhirnya pergi.
Di balik pintu, Saka hanya berdiri diam. Setelah beberapa saat, ia berjalan menuju meja, mengambil laptop, dan menyalakannya. Mencoba menghibur diri dengan cara yang biasa ia lakukan—sendirian.
###
"Kak, kenapa kamu tiba-tiba datang ke kelasku?"
Saka memijat pelipisnya, merasa sedikit pusing. Baru saja ia selesai belajar matematika, kini ia harus menghadapi kakak keduanya yang tiba-tiba muncul dengan ekspresi penuh semangat.
"Festival sekolah katanya mundur, kan? Itu hasil rapat kemarin," kata Taksa tanpa basa-basi. "Iya, karena kekurangan dana. Lalu kenapa?" Saka menatap kakaknya dengan curiga.
Taksa tersenyum lebar. "Bilang ke yang lain kalau aku mau jadi bagian panitia!"
Saka mengerutkan kening. "Kalau itu, kenapa tidak disampaikan di rapat? Lagipula, peranmu di teater tidak terganggu? Katanya kelas IPS-mu mau menampilkan drama sejarah di panggung kreativitas".
Taksa melambaikan tangan dengan santai. " Ahh, bilang langsung ke Ketua OSIS itu ibarat hidup dan mati! Aku nggak bisa!"
Saka menatap kakaknya dengan ekspresi datar. " Lebay."
" Ayolah! Aku janji akan membuat festival sekolah kita paling fenomenal di Indonesia!!" seru Taksa penuh percaya diri. " Kak Taksa, tolong jangan teriak-teriak." Sebuah suara protes muncul dari salah satu teman sekelas Saka.
Saka kembali memijat pelipisnya, benar-benar tidak percaya dengan kelakuan kakaknya ini. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya menyerah. "Terserah. Tanggung sendiri risikonya nanti," ujarnya datar.
Setelah bel pulang sekolah berbunyi, suasana sekolah masih cukup ramai. Namun, di dalam ruang OSIS, situasinya jauh lebih panas daripada biasanya.
"Taksa Ragas Adidantara! Yang benar saja!"
Suara lantang Irisa, siswi dengan jepit rambut berbentuk buah ceri, memenuhi ruangan. Wajahnya memerah karena emosi yang tak terbendung. Taksa, yang duduk santai di kursinya, hanya mengangkat bahu. "Loh, apa aku salah? Tenaga bantuan panitia kayak aku masa ditolak?"
"Kamu tuh ngomongnya dadakan! Padahal lanyard panitia sudah hampir selesai!!" seru Irisa kesal.
Semua ini gara-gara pesan yang dikirim Saka di grup OSIS sebelumnya, yang langsung membuat Irisa naik darah. Sebagai ketua pelaksana Festival Sekolah, ia yang paling sibuk mengurus persiapan, dan kini Taksa datang membawa masalah baru. Beberapa anggota OSIS yang hadir hanya tersenyum canggung, menyaksikan perdebatan sengit di depan mereka.
Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka, dan seorang siswa melangkah masuk dengan senyum santai. "Maaf saya terlambat. Sudah sampai mana pembahasannya?"
"Ketua!" seru Irisa, matanya berbinar seketika.
Taksa melirik sinis. "Dih, kalau ketua datang langsung pencitraan."
Siswa yang baru datang itu adalah Eun-ho, Ketua OSIS sekolah sekaligus murid blasteran Indonesia-Korea. Selain memegang posisi ketua, ia juga salah satu teman dekat Taksa.
Eun-ho terkekeh sambil melambaikan tangan. "Hahaha, sudah-sudah. Selamat sore semuanya."
Namun, sebelum Eun-ho sempat duduk, Irisa langsung kembali mengadu. "Ketua! Taksa memaksa ikut jadi panitia padahal lanyard sudah hampir selesai!"
Taksa hanya menatapnya santai. "Ya terus?"
"Kamu diam, Taksa! Aku sedang melapor ke Eun-ho!" bentak Irisa, menatapnya tajam. Eun-ho mengalihkan perhatiannya dari perdebatan Irisa dan Taksa, lalu mengarahkan tatapannya pada Saka, seolah meminta penjelasan. Tanpa mempedulikan keributan yang masih berlangsung, Saka berdiri dengan tenang untuk melapor.
"Sebelumnya saya minta maaf karena pesan saya di grup membuat perdebatan dalam forum. Seperti yang sudah dijelaskan oleh Kak Taksa, dia tiba-tiba ingin menjadi bagian panitia, padahal sebelumnya menolak saat ditawarkan," ujar Saka dengan nada datar.
"Tuh, dengerin!" potong Irisa, melipat tangan di dada, sementara Taksa hanya mengklikkan lidahnya. "Tsk."
Eun-ho menghela napas. "Alasannya karena apa? Teman-teman panitia, apakah ada yang berhalangan hadir jadi memilih untuk mundur dari kepanitiaan?" tanyanya, menelusuri wajah para siswa di ruangan itu.
Namun, tidak ada satu pun yang menjawab. Semua hanya saling berpandangan, tak ada yang ingin terlibat dalam masalah ini.
Setelah beberapa detik keheningan, Eun-ho akhirnya menatap Taksa dengan ekspresi lebih serius. "Aku minta maaf sebesar-besarnya, Taksa. Kita tidak bisa tiba-tiba membuatmu menjadi panitia kecuali ada anggota yang benar-benar berhalangan atau memilih mundur."
“Ayolah, Eun-ho…” rengek Taksa.
“Sekali lagi, maaf, tidak bisa,” Eun-ho menegaskan.
Irisa tersenyum penuh kemenangan, sementara Taksa menggerutu pelan. Saka hanya bisa menghela napas dan memijat pelipisnya. Ya, ini semua gara-gara Taksa yang merebut ponselnya dan mengirim pesan di grup OSIS tanpa izin.
“Ketua, maaf menyela. Apakah rapat ini hanya untuk membahas hal ini saja? Tidak ada hal lain yang lebih penting?” Bendahara OSIS, Jehan, akhirnya bersuara setelah sejak tadi diam. “Kita semua dipanggil ke sini hanya untuk mendengar perdebatan tidak jelas ini?”
“Maaf, Jehan. Ini rapat panitia, bukan rapat OSIS. Aku tidak memiliki wewenang penuh di sini, aku hanya sebagai penengah,” jawab Eun-ho dengan tenang.
“Berarti Irisa sudah menyalahgunakan jabatannya.” Jehan menatap Irisa tajam. “Memangnya seberapa penting masalah ini sampai harus mengadakan rapat dadakan seperti ini?”
Irisa jelas tersinggung. Suasana ruangan menjadi semakin panas. Saka memperhatikan situasi tanpa berkomentar, sementara Taksa mulai menatap Jehan dengan waspada.
“Ini namanya kekanak-kanakan,” gerutu Jehan.
“Huh?! Apa salahnya mengadakan rapat untuk membahas sesuatu yang penting?” balas Irisa, tak mau kalah.
“Itu urusan pribadimu dengan Taksa. Bisa dibicarakan berdua saja, tidak perlu membuat forum sebesar ini,” kata Jehan dengan nada sinis.
“Jehan, Irisa, mohon tenang,” potong Eun-ho, mencoba meredakan ketegangan.
Jehan menatap Eun-ho tajam. “Eun-ho, apa untungnya kita memilih dia sebagai ketua pelaksana? Karena dia teman masa kecilmu?”
Ruangan mendadak sunyi.
Eun-ho terdiam sejenak sebelum mengembuskan napas pelan. “Jehan, tolong jaga ucapanmu. Ini tidak ada hubungannya dengan hubunganku dengan Irisa.”
“Kamu menyebalkan,” desis Irisa.
“Kamu—” Jehan hendak membalas, tapi Taksa dengan sigap menariknya untuk duduk kembali. “Sabar, sabar. Jangan bawa masalah pribadi ke dalam forum. Lihat, yang lain juga sudah tidak nyaman.”
Jehan menepis tangan Taksa, tapi tetap duduk. Irisa pun akhirnya memilih diam. Eun-ho mengatur napasnya, lalu berbicara kembali, “Baik, cukup sampai di sini. Apakah ada tambahan dari panitia lain?”
Tiba-tiba, sebuah tangan mungil terangkat. Seorang siswi berkacamata maju sedikit agar terlihat oleh semua orang. “Maaf… anu, kalau ketua panitia berkenan dan disetujui oleh Ketua OSIS, divisi media sebenarnya masih membutuhkan tambahan tenaga. Hanya lima orang rasanya tidak cukup.” Suaranya pelan, tapi jelas.
“Namamu siapa?” tanya Irisa.
Jehan hanya mendecak. “Tsk, nggak becus,” gumamnya.
Taksa menoleh ke arah Jehan dengan tatapan peringatan. “Jehan…”
“Nama saya Zetta, Ketua Divisi Media, dari kelas 11 IPA 2,” jawab siswi itu dengan sopan.
Eun-ho mengangguk. “Baiklah, boleh.”
“Setuju,” kata Irisa, diikuti Jehan yang mengangguk malas-malasan.
Taksa terdiam, merasa sedikit bingung. Saka hanya mengangguk pelan, menganggap keputusan ini lebih masuk akal daripada membiarkan Taksa tiba-tiba menjadi panitia tanpa posisi jelas.
“Jadi aku gabung divisi media?” tanya Taksa.
“Masih mau protes?” balas Eun-ho dengan senyum menantang.
Taksa menghela napas. “Gak jadi. Aku terima. Terima kasih, Zetta.” Ia menoleh ke siswi berkacamata itu dengan ekspresi setengah pasrah.
Zetta tersenyum kecil, sementara Eun-ho berdiri dan berjalan keluar tanpa pamit. Irisa mengikutinya dengan ekspresi tidak puas.
“Eh?! Eun-ho, memangnya boleh pergi begitu saja?” protes Irisa.
“Eun-ho! Jawab aku!”
Para siswa lainnya ikut bubar karena rapat sudah selesai. Saka menghela napas lega, lalu melirik Jehan yang pergi dengan wajah kesal. Setelahnya, matanya tertuju pada Taksa, yang kini sedang berbicara dengan Zetta tentang tugas di divisi media.
Saat perjalanan pulang, Taksa mengeluarkan semua unek-uneknya, sementara Saka berjalan di sebelahnya sambil menuntun sepeda, mendengarkan dengan sabar.
“Jehan sama Irisa kegatelan banget sama Eun-ho. Idih, nggak lihat kondisi, apa?” keluh Taksa.
“Jehan itu seangkatan denganku, sementara Kak Irisa seangkatan dengan Kakak. Beda satu tahun. Wajar,” jawab Saka santai.
“Tetap saja ngeselin. Aku kaget loh tiba-tiba ada rapat dadakan. Kasihan Eun-ho juga, padahal dia ada les hari ini. Wakil ketua OSIS kita masih sakit sih,” lanjut Taksa.
“Jadi kita harus menyalahkan Kak Kenzo, begitu?” sindir Saka.
“Gak gitu juga maksudku,” bantah Taksa cepat.
Saka melirik kakaknya dengan tatapan menggoda. “Btw, Kak, menurut Kakak… Kak Zetta itu gimana?”
“Maksudnya?” Taksa menoleh curiga.
“Cocok sama Kakak.”
Muka Taksa langsung memerah, lalu ia mencubit pipi Saka. “Bercandanya jangan kayak gitu!”
Saka hanya tertawa puas.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
