𝐄𝐧𝐦𝐞𝐬𝐡𝐞𝐝 (𝐂𝐡𝐚𝐩𝐭𝐞𝐫 𝟏-𝟏𝟏) 𝐆𝐑𝐀𝐓𝐈𝐒!

0
0
Deskripsi

Cintanya seperti jerat yang perlahan mengencang, menyiksa tanpa ampun. Henry si pria yang tidak pernah peduli dengan perasaan lawan main. Dia suka melihat korbannya terjebak, lupa diri, dan hancur dalam permainannya.  

Tapi kali ini, Henry mungkin bertemu dengan seseorang yang bisa membuatnya bertanya, apakah ini masih permainan, atau justru dia yang terjebak dalam jerat cintanya sendiri?

Chapter 1

 

Henry Griffin

“Ah!” Payudara Isla bergoyang cantik selagi dia mendesah dan naik turun di atas tubuhku. Membuat kejantananku terjepit erat di dalam dirinya.

Kuperhatikan dia tanpa mau menyentuhnya. Lagipula, dia itu perawan bodoh. Lebih buruknya lagi, pengkhianat. Dia kekasih sahabatku, dia berkencan dengan Rudi tapi langsung jatuh ke dalam jebakanku ketika cuma satu kali aku merayunya.

“Henry!”

Aku tersentak, mendorong Isla tanpa sengaja karena terkejut.

“Buka pintunya, Henry!” Gedoran di pintu makin kuat.

Itu Primrose Holden. Kakak iparku yang berisik.

“Nanti!” Aku berteriak sambil memunguti pakaian Isla yang berserakan di lantai, lalu melempar ke arah si gadis telanjang ketakutan. “Cepat pakai.”

“Henry—ya, ampun!” Prim sudah membuka pintu karena aku memang tidak menguncinya. Dan melihatku telanjang, tapi spontan balik badan. “Kau keterlaluan! Kenapa kau melakukannya di rumahku?”

Ah, berisik! “Ini bukan rumahmu. Ini rumah kakakku.”

“Cepat berpakaian dan antar gadis itu pulang.” Prim masih saja memunggungiku.

Kuberi isyarat pada Isla agar segera berpakaian, lalu berkata pada Prim. “Tidak bisakah kau membuatkanku segelas jus kranberi?”

“Aku bukan pesuruhmu. Berhentilah bersikap tak sopan padaku.” Dia pergi. Cara ampuh mengusirnya memang harus segala sesuatu yang menyangkut harga dirinya.

Sekembaliku mengantarkan Isla sampai perempuan itu masuk ke taksi pesanan, kulihat sudah ada segelas jus kranberi di atas meja makan.

“Duduklah. Kita perlu bicara.” Prim muncul dengan segelas jus yang sama. Dia sudah berdandan, mungkin akan pergi ke toko. Kata Ryan—kakakku—Prim memiliki toko bunga di pinggir kota, dekat pantai.

“Kau menyogokku dengan segelas jus kranberi?” Aku duduk di hadapannya. Memegangi gelas dan memperhatikan kalau lipstiknya sedikit tidak beraturan.

“Kenapa? Apa yang kau lihat?”

“Tunggu dan tahan sebentar.” Buru-buru aku berdiri, lalu mendekat padanya. Bibirku mencium bibirnya dan yang kudapat tentu saja tamparan.

“Henry!” Wajah Prim memerah. Kuat dugaanku, karena dia malu, bukan marah. “Kau memang sangat tidak sopan. Aku ini Kakak iparmu. Istri kakakmu. Kenapa—”

“Memang apa salahnya? Aku cuma menghilangkan lipstik tidak rapi dari bibirmu, agar kau tidak perlu repot lagi menghapusnya.”

Dada Prim naik turun. Harga dirinya hancur, mungkin. Padahal sudah hampir dua pekan aku menumpang tinggal di sini, tapi sepertinya dia belum terbiasa dengan keberadaanku dan sikap kurang ajarku yang tidak bisa menganggapnya sebagai wanita suci.

“Terima kasih untuk jusnya.” Kuletakkan gelas kosong di atas meja. Membiarkannya menatapku dengan tatapan penuh dendam yang mungkin akan dibalasnya secepat mungkin. Akhirnya, dia tidak mencegahku, padahal katanya tadi ada yang ingin dibicarakan.

Satu jam setelahnya, aku keluar kamar. Prim sudah tidak ada. Dia pasti langsung pergi setelah menuliskan pesan dengan huruf-huruf besar dan ditempelkan di atas tutup mesin cuci.

LETAKKAN CELANA DALAM KOTORMU DI TEMPAT LAIN! JANGAN DIGABUNG DENGAN CELANA DALAMKU, MENGERTI?

“Hahaha!” Sambil terus tertawa, aku membawa kertas itu dan menempelkan pesannya di depan pintu kamar Prim. Ryan tidak akan tahu, sebab dia biasanya pulang tengah malam di hari-hari lembur seperti sekarang ini. Ada banyak perhiasaan yang perlu diawasi kedatangannya oleh Ryan hingga benar-benar masuk dalam keamanan berlapis di ruang penyimpanan.

Kubiarkan celana dalamku tetap berada di tempat yang sama dengan milik Prim. Aku tidak peduli, meski nanti dia akan menyumpahiku sekalipun.

Sore jam empat, aku keluar rumah setelah Rudi mengatakan bahwa dia ingin bicara denganku. Pasti ada kaitannya dengan Isla Moon. Jauh-jauh dia datang dari rumahnya ke kota ini. Sekitar lima jam perjalanan.

“Aku ingin melamar Isla,” katanya dan aku melongo.

“Melamar?”

Rudi Hickory mengangguk-angguk. “Semua sudah kusiapkan. Cuma perlu membeli bunga dan memilih cincin.”

“Katamu, kau ingin bicara denganku. Jadi, ini?”

Lagi, dengan cinta yang berhasil membutakan matanya, dia mengangguk. “Aku tidak pintar memilih yang benar-benar disukai oleh wanita.”

“Okay. Kita bisa minta kakak iparku memilihkan bunga yang tepat untuk melamar.” Padahal aku pun tidak suka membuang-buang uang untuk wanita yang pernah kukencani.

“Dan cincin di toko perhiasan kakakmu.” Dia tersenyum senang.

Ah, ya. Kami semua pedagang. Ryan memiliki toko perhiasan sendiri. Sebenarnya, itu warisan dari kedua orang tuaku. Ayah lebih dulu pergi, lalu ibu menyusul tiga tahun lalu. Ryan mengajakku turut mengembangkan ‘Griffin Jewelry’ tapi aku kurang tertarik. Usahaku bergerak di bidang pakaian dan segala pernak-pernik pria. Cabang kedua baru dibuka sepekan lalu di pusat kota ini. Itulah sebabnya untuk sementara aku menumpang di rumah mereka. Lagipula, Ryan yang bersikeras agar aku tinggal bersamanya.

‘Prim sepertinya frustrasi karena sudah lebih setahun menikah, kami belum memiliki anak’ dan kupikir, alasan Ryan memintaku menetap sementara di sini, bukan untuk mencoba menghamili istrinya, tapi agar suasana rumah mereka kembali ‘hidup’ karena ada aku yang suka sekali berbuat ulah.

Alasan macam apa itu? Konyol! Untuk itulah aku sungguh bertingkah sesuka hatiku atas kesadaran Ryan yang jelas tahu bahwa adiknya mendatangkan energi penuh semangat untuk mereka.

“Apa terlalu cepat?”

Aku menoleh selagi menyetir mobil milik Rudi. Sedari tadi kami memang diam karena tampaknya dia gugup. “Menurutku, ya. Kau masih sangat muda, Rud. Usia kita bahkan belum tiga puluh tahun.”

Rudi terbahak-bahak. Apa itu lucu?

“Aku tidak peduli soal usia menikah, Hen. Yang kutanya, apa tidak terlalu cepat? Karena hubungan kami masih belum genap setahun.”

Oh, entahlah kalau soal itu. “Tidak jadi masalah. Yang penting, kau percaya padanya.”

“Tentu saja aku percaya padanya. Untuk itulah aku menyusulnya kemari.”

“Dia di sini?” Pura-pura terkejut bukan jaminan hatiku aman dari rasa tidak nyaman.

“Ya. Ada beberapa penelitian yang harus dia lakukan di sini.”

Penelitian apa? Dia terus naik turun di atas tubuhku. Mengulum kejantananku dengan giat dan begitu berhasrat saat aku mengoyak keperawanannya. “Kau akan langsung melamarnya di sini?”

“Yap. Mohon doamu. Semoga lamaranku tidak ditolak.”

Aku yang tidak pernah berdoa, akan khusus melakukannya untukmu agar kau ditolak. Isla sungguh pengkhianat, Rud. “Dengan senang hati.”

Tidak kutemukan sosok Prim di toko bunganya saat kami tiba. Aku tidak bertanya pada para karyawan Prim, tapi langsung menyelinap masuk ke ruang kerja kakak ipar saat mereka semua sibuk. Rudi sudah kuberitahu bahwa aku akan ke toilet.

Ruang kerja Prim sempit. Padahal pun dia tidak butuh—

“Mendesahlah, Sayang.”

Ah, aku sudah didahului oleh Ryan. Itu suara mereka. Sedang asik bercinta dengan bunyi seks samar-samar. Aku bukan tidak terima, tapi Rudi butuh bantuan saat ini. Ya, sedikit tidak terima. Sulit mengakuinya.

“Prim!” Kuketuk pintu dengan sopan, seolah aku tidak tahu apa-apa. Terdengar bunyi benda jatuh ke lantai. Entah suara apa itu, pokoknya mereka pasti sedang panik di dalam.

“Henry?” Ryan memastikan.

“Oh, kau di dalam?”

“Ya. Aku—apa yang kau butuhkan?”

Aku tidak menjawab, malah pergi begitu saja. Kacau! Suasana hatiku langsung tidak karuan.

“Rud, aku harus keluar sebentar. Kau mau kopi kaleng?” Berusaha menekan perasaan tidak nyaman, kutanyakan hal itu padanya sebagai alasan untuk keluar toko.

“Boleh. Jangan yang dingin.”

“Okay.” Pergi keluar, kuambil ponsel dan mengirim pesan selagi mataku melihat tempat yang tepat.

Aku: Mau melanjutkan seks yang terganggu tadi pagi? Ayo, bertemu di hotel The Queen. Aku cuma bersedia  menunggumu selama lima menit.

 

Chapter 2

 

Henry Griffin

Isla kuminta mengulum kejantananku, tanpa berniat kumasuki dirinya. Tidak ada persediaan kondom di saku belakang celanaku. Aku tidak mau ambil risiko apa pun pada bakal calon istri sahabatku.

Aku pun cuma memasukkan jariku dan menjilat atau sesekali menghisap vaginanya, meski dia terus protes yang tidak kutanggapi.

“Akh! Henry, ayo masuk. Cepat masuklah,” rengeknya dengan mendesak-desak diriku. Ini sudah kesekian kali.

Kesabaranku yang sehalus benang langsung putus. Kubekap mulutnya yang berisik itu dengan telapak tanganku. “Kau terlalu berisik. Diamlah. Bercinta tidak harus menyatukan milikmu dan milikku.”

“Kenapa?” Warna merah wajahnya perlahan memudar saat tanganku terlepas dari mulutnya.

Masih tanya kenapa? Perempuan tolol! “Tidak ada alasan. Aku hanya sedang tidak ingin memasukkan kejantananku ke vaginamu.”

“Tapi ... kenapa? Bukankah—”

“Jangan tanyakan itu lagi. Ada hal lain yang harus kau dengar dariku.”

Mulut Isla terbuka tanpa suara yang keluar. Mirip ikan yang terdampar ke daratan. Membuka menutup mulut untuk mengambil napas. “Apa itu?”

“Kau harus menerima lamaran Rudi.”

“Lamar—apa?”

“Dia akan melamarmu hari ini.” Aku turun dari ranjang hotel. Memakai celanaku kembali. Sudah cukup pelampiasannya.

Isla masih tercengang seperti sapi ompong. Kudatangi dan kusampal mulutnya yang terbuka itu menggunakan celana dalamnya. Pink, beraroma melati.

“Ummph! Hei, Henry!” Sumpah serapahnya berkelanjutan.

Aku tidak peduli, cuma berniat pergi karena ponselku terus berdering. Rudi pasti kehilangan jejakku. Mungkin kebingungan menungguku di toko bunga Prim.

“Ah, ya.” Aku berbalik. Ada yang harus kuucapkan padanya. “Ini terakhir kali kita bertemu. Setelah ini, perbaikilah hubunganmu dengan Rudi.”

“Apa maksudmu, Henry?”

Hei, langit, tolong beri dia pencerahan! “Kau masih tanya maksudku? Begini, Isla. Kau dan aku tidak akan pernah melakukan seks dalam bentuk apa pun lagi setelah ini. Dan kau harusnya tahu bahwa sejak awal, aku cuma bermain-main denganmu. Hanya mengujimu. Kau tidak lolos. Pendapat jujurku, kau itu tidak pantas untuk Rudi, tapi karena dia terlalu menyukaimu dan rupanya serius denganmu, aku cuma bisa mendukungnya. Jadi, jangan coba-coba menyakitinya. Kau mengerti?”

Haa ... kenapa jadi sepanjang itu aku bicara? Kubanting pintu akhirnya tanpa menunggu reaksi Isla yang bisa berupa bantahan atau penjelasan. Cuma kudengar dia memanggil-manggil namaku, tapi tidak mengejarku. Berjalan cepat melewati lobi, ada hal lain yang mungkin seharusnya tidak kulihat, tapi baguslah justru tampak jelas di depan mataku. Kakakku Ryan, ada di sana bersama seorang wanita.

Dia bukan bos perusahaan besar yang punya kepentingan bertemu atau rapat dengan klien di hotel. Dia cuma seorang pengusaha yang—okay, mari buat ini jadi lebih menyenangkan dan menguntungkan untukku. Aku tahu bahwa Ryan tidak sebaik dugaan Primrose Holden yang mengira kakakku itu akan setia sampai mati.

Mendiang ayahku saja sebenarnya tidak sesetia itu pada ibu, tapi karena ibuku wanita keras, garang dan tidak bisa ditipu, sekali ayah mencoba untuk selingkuh, ibu siap dengan risiko hidup bersama pria yang tidak memiliki ‘batang’ selamanya, karena dia berani ‘mematahkan batang’ ayah dengan caranya sendiri jika ayah sungguh berani melanjutkan niatnya itu. Hahaha. Ibuku memang hebat!

“Kak!” Menggunakan sebuta ‘sopan’ aku memanggil sambil mendatanginya. Bukan untuk mendapatkan perhatian wanita cantik di sisinya, tapi memang bertujuan agar tahu maksudnya datang ke hotel bersama si ‘montok’ berwajah menang cantik dari Prim itu.

Ryan menarikku sedikit menjauh dari si cantik. Lalu kulihat Isla muncul tidak jauh dari tempatku saat ini. Dia sedang berjalan terburu-buru melewati lobi, sehingga cepat kutarik Ryan agar kami tepat bersembunyi di balik pilar.

“Kau ini kenapa?” Ryan membentakku.

“Kau yang kenapa!” balas bentak dengan mata memastikan bahwa Isla sudah benar-benar meninggalkan The Queen.

“Jangan beritahu Prim aku ada di sini.”

Nah, ini dia! “Memangnya kau mau apa datang ke sini?”

Ryan berdecak, “Bercinta. Memangnya ada yang lain?”

“Waah, kau gila? Bernyali sekali kau melakukannya di hotel dekat Prim Flower?” Karena jarak toko bunga Prim memang hanya dua puluh langkah lambat dari hotel The Queen.

“Aku pun heran.” Dia mengernyit. “Mungkin karena keinginanku untuk segera memiliki anak.”

“Hei, bukannya Prim yang begitu menginginkan anak?”

“Aku juga.” Suaranya memelan. Dia berbalik sejenak untuk memberi isyarat agar wanita montok cantik seksi dan bling-bling itu menunggunya sejenak. “Aku hanya tidak memperlihatkannya di depan Prim.”

“Dengan wanita murahan?” Sebenarnya, tidak tampak murahan sama sekali. Wanita itu—

“Enak saja kau bicara. Dia pemilik PP.”

“Hah? Pretty Petals maksudmu?” Aku langsung mengarah ke sana. Itu brand fashion terkenal di negara ini. Hanya saja pemiliknya jarang muncul di media, yang terlihat mewakili tentu anak buah kepercayaannya. Si bos bernama Kira Orpheus, kalau tidak salah ingat.

Ryan mengangguk dengan seringaian puas. “Dia dan aku sepakat ingin memiliki anak diam-diam bersama. Dia sepertiku, sudah menikah. Namun suaminya berkomitmen sejak awal untuk tidak ada anak dalam kehidupan rumah tangga mereka.”

“Kau gila,” desisku. Meski ide mereka tidak buruk juga. Kreatif malah. “Apa ini ‘lembur’-mu itu?”

“Hei, dengar.” Ryan tidak peduli pada tuduhanku. Dia mencengkeram kaosku di bagian dada. “Kau boleh melakukan apa pun yang kau mau, asal jangan katakan rencanaku ini pada Prim.”

Si kodok yang dicium tuan putri. Ryan cocok dengan sebutan itu. Beruntungnya dia. “Kuartikan apa pun yang kumau berarti bebas tidak terbatas, Ryan.”

Ryan menggaruk-garuk alis kanannya. “Yah, sebenarnya ... sebenarnya aku tidak bisa memberimu kebebasan tanpa batas—”

“Aku suka bermain licik, Ryan. Apa yang kulihat sekarang ini, bisa kulebih-lebihkan saat kuceritakan pada Prim. Kau buang waktu jika coba membatasi gerakku. Bukannya wanita bernama Kira itu datang dari jauh?” Kutunjuk si ‘montok’ menggunakan dagu, lalu balas menyeringai pada Ryan. “Jangan buang waktu. Cepat katakan yang mau kau perjelas.”

Ryan berpikir. Telunjuk diketuk-ketuk di pahanya. Dia terburu-buru, aku tahu. Lagipula, enak saja dia. Menang terlalu banyak dariku. Setelah tadi bercinta dengan Prim di Prim Flower, sekarang malah sudah siap memasuki lubang baru.

“Jangan di depanku. Terserah kau bagaimana caranya, pokoknya jangan di hadapanku. Bersikaplah normal dan wajar saat kita semua sedang bersama. Seolah tidak ada hal yang telah kau lakukan. Pahami itu, Henry.”

Setidaknya kami sama. Sebanding. Aku tidak suka selalu kalah darinya.

“Okay. Kita bicara lagi nanti. Aku juga buru-buru, Kak!” Melambai sambil lalu, kupakai lagi sapaan sopan sialan itu karena ada si Kira Orpheus yang memantau kami dengan anggun sejak tadi.

Aku sampai di Prim Flower dengan berlari-lari ringan. Rudi dan Prim ada di depan toko. Duduk menggenggam kaleng soda di tangan masing-masing.

“Rudi, maaf.” Aku terengah. “Sudah selesai?”

“Sudah. Kau dari mana saja? Beli kopi di negara tetangga?” sindirnya dalam suasana hati yang tampak bagus, senang dan bahagia. Terpancar jelas di wajahnya.

Aku memang tidak membeli kopi. Tertawa, lalu menjawab. “Tadi bertemu teman di depan sana. Terlalu lama bicara sampai aku lupa. Jadi, bunga apa yang akan kau berikan pada kekasihmu?”

Sepertinya Rudi makin senang karena pertanyaanku. “Itu dia.”

Aku menoleh. Melihat arah telunjuk Rudi. Sebuah mobil bak terbuka yang biasa membawa barang, kini diisi dengan berbagai jenis bunga. Penuh.

“Hah?”

 

 

Chapter 3

 

Primrose Holden

“Prim, kau tidak pulang?”

Aku menoleh selagi tangan tetap memindahkan vas-vas yang kosong di belakang. Nora Campbell. Wanita berusia empat puluhan awal. Berambut ikal, sedikit gemuk. Dia kuberi tanggung jawab penuh di sini. Termasuk mengatur karyawan yang lain.

“Nanti.” Sebab Ryan pun menghabiskan malam sebelum larut di tokonya.

“Tapi adikmu menunggu.”

Adik? Sena tidak mungkin berkunjung tanpa pemberitahuan. “Ad—”

“Maksudku, dia yang tadi datang bersama pria muda yang membeli banyak bunga. Dia mengaku sebagai adikmu.”

Astaga, Henry! Bocah sialan itu untuk apa kembali ke sini? Semua pekerja di Prim Flower, tidak mengenal siapa Sena—adik kandungku—apalagi Henry.

“Jadi, dia bukan adikmu?” Nora mulai serius. Rautnya bingung.

“Adik ipar, adikku juga, ‘kan?” Kuletakkan vas terakhir di tumpukannya, lalu menuju wastafel.

“Oh, adik ipar? Dia sama sekali tidak mirip dengan suamimu.”

Memang, terutama tingkahnya yang mirip setan. “Aku pikir juga begitu, Nor.” Kukibaskan tangan, lalu mematikan keran. “Sebaiknya aku pulang sekarang. Jangan lupa berikan bonus pada Andy. Istrinya baru saja melahirkan pagi tadi.”

Nora mengiyakan, lalu memekik antusias memanggil karyawan lain untuk membagi kabar gembira yang kusampaikan.

Hamil, melahirkan. Kapan giliranku?

Menghindari kegembiraan mereka di depan, aku keluar lewat pintu belakang. Melihat Henry sedang membungkuk ke setiap bunga-bunga yang ada di hadapannya. Persis di depan toko.

“Untuk apa kau ke sini?” Perasaanku sungguh tidak nyaman melihat wajahnya. Terutama ... bibirnya. Bibir yang sangat tidak sopan mencium bibirku seolah itu bukan apa-apa. Jika bukan adik suamiku, sudah kulaporkan dia ke polisi. Keterlaluan, kurang ajar!

“Prim? Hei?”

Oh, rupanya aku sungguh melamunkan tentang kejadian di rumah tadi. “Kenapa tidak pulang saja sendiri?”

Dia menggaruk alisnya. Ryan pun sering bertindak serupa.

“Padahal sudah kujawab tadi. Rudi dan aku ada di sekitar sini. Dia harus putar balik jika mengantarku pulang, jadi kupikir sebaiknya aku menumpang mobilmu saja.”

Sebenarnya, selalu ada taksi yang bisa dia pesan dengan mudah. Namun kurasa, dia benar-benar lebih suka cari masalah dan cari perhatian. Ryan pernah menceritakan padaku bahwa Henry memang sedikit dikesampingkan, karena perhatian ayah dan ibu mereka berpusat pada Ryan yang adalah putra sulung sekaligus pewaris bisnis kecil keluarga.

Jangan heran jika tingkah Henry kusandingkan dengan setan. Mereka mirip. Ada banyak pengaruh buruk dalam dirinya, padahal masih setengah bulan dia ada di sini untuk tinggal bersama kami, namun aku sudah bisa menebak sisi negatifnya yang lain.

Sejak awal, ketika aku berkencan selama empat bulan dengan Ryan, lalu memutuskan untuk menikah, jarang sekali suamiku itu menceritakan perihal Henry. Dia hanya pernah menyebut nama sang adik tiga kali selama kami bersama dan satu kali menceritakan soal pilih kasih itu padaku. Diungkapkan sebelum Henry datang ke rumah kami, baru-baru ini.

Aku tidak mengenal siapa ayahnya Ryan dan bagaimana ibunya. Itu alasan paling dasar bagi keluargaku sempat menolak pernikahanku dengan Ryan. Namun perlahan, mereka mengerti bahwa bukanlah keinginan Ryan untuk tidak memiliki kedua orang tua lagi. Mereka meninggal dunia, bukan menelantarkan anak.

Lalu pemikiran kedua, soal harta. Keluargaku tidak terlalu peduli bagaimana Ryan dan adiknya akan mengelola bisnis perhiasaan peninggalan keluarga. Sungguh, ibu dan ayahku cuma ingin aku menikahi pria dengan asal usul yang jelas. Yang tidak akan menyulitkan kehidupanku dan keturunanku kelak di masa depan.

“Biar aku yang menyetir.” Henry merampas kunci mobil yang baru kukeluarkan.

Lihat? Dia sungguh kurangajar. Sena yang adik kandungku, bahkan kami dari kaum yang sama, tidak pernah setidaksopan itu padaku. King malah lebih ‘dingin’ seakan aku tidak bisa menyentuhnya. Interaksi di antara kami pun jarang terjadi. Kedua adikku benar-benar beradab.

“Kembalikan. Biar aku saja.” Kuambil kunci mobilku dari tangannya, selagi dia baru akan membuka pintu.

“Hei, jangan sungkan. Biar aku saja.” Tertawa, dia kembali merebut kunci mobil dari genggamanku.

Raut wajahku sudah menunjukkan ketidaksukaan, tapi kurasa dia memang sengaja mengabaikan semua isyarat dariku yang jelas bisa dia lihat.

Kulirik ke arah toko bungaku. Semua karyawan ada di dalam, sibuk merapikan sebelum tutup. Mereka tidak melihat tingkah kekanakan kami di area parkir yang jaraknya lebih dua puluh meter dari Prim Flower.

Henry sudah duduk di balik kemudi. Semakin mengesalkan melihat raut wajahnya yang menyeringai seolah dia menang dariku. Membungkuk, kucabut kunci mobil, tidak—

“Hei!” Panik, bagaimana tidak panik? Henry menarik pinggangku hingga aku terduduk di atas pangkuannya. Bocah setan! Kutampar lengannya yang terulur melewatiku untuk berada di kemudi. Secara tidak langsung menahanku agar tidak menghindar. “Kau keterlaluan, Henry. Lepaskan aku.”

Dia terkekeh. Aku tidak mau melihat wajahnya yang ada tepat di belakangku saat ini. Napasnya itu terasa di tengkuk dan rambutku. Bocah setan, setaaan!

“Kau yang keterlaluan. Apa susahnya bagimu untuk membiarkanku menyetir sampai rumah?”

Benar. Aku yang bodoh bertingkah kekanakan. Andai kubiarkan saja dia melakukan apa yang dia mau, mungkin tidak akan seperti ini akhirnya.

“Okay, lepaskan.” Suaraku memelan. Lain kali harus hati-hati atau aku yang akan kesulitan.

Kedua lengan Henry terangkat tanda menyerah. Aku menggeser diriku perlahan, tapi dia malah menarikku ke samping.

“Untuk apa lagi kau memutar? Lewati saja ini.” Dia semudah itu mengangkatku dan memindahkan tepat di kursi sebelah pengemudi.

Bagusnya, aku mengenakan celana panjang hari ini. Isi dalamku tidak perlu terumbar secara gratis. Pada adik ipar pula.

Aku lelah ya, Tuhan. “Segera pulang. Lewat belokan kanan, lalu lurus, setelahnya kanan lagi.”

“Jalan pintas?”

“Bukan. Arah biasanya sedang ada perbaikan jalan.”

“Kata siapa? Aku dan Rudi melewatinya tadi.”

“Kapan kau lewat sana?”

“Emm ... beberapa jam lalu.”

“Satu jam yang lalu jalannya ditutup. Sopir pengantar bunga yang memberitahuku.”

Tidak kupedulikan lagi ‘oh’-nya yang panjang. Segera menyandarkan kepala sambil memijat kening, memalingkan wajah, melihat apa yang bisa kupandang di luar jendela.

Hilang sudah wibawaku sebagai seorang kakak ipar. Padahal, aku berharap setidaknya bisa bersikap sewajarnya, disegani bahkan dihormati seperti dua adikku—King dan Sena—yang selalu bisa bertingkah begitu di depanku.

“Prim, kita ada di mana?”

Rasanya ada suara asing yang memanggil-manggilku dalam tidur. Terdengar jauh dan—

“Prim, kita tersesat.”

Mataku terbuka lebar secara spontan, kala mendengar kata ‘tersesat’ lalu menatap Henry yang tampak bingung. Namun mataku menyipit curiga ketika dia tertawa pelan.

“Hei, maaf mengganggu tidurmu. Tapi kita sungguh tersesat. Lihatlah.” Dia menurunkan kaca jendela di sisinya. Aku tidak buta. Aku tahu di luar sana remang, samar pencahayaan.

Bocah setan!

 

Chapter 4

 

Primrose Holden

Sebenarnya, aku juga bukan penduduk asli kota ini. Semenjak menikah dengan Ryan, kami memutuskan pindah karena di tempat inilah aku menemukan sebuah bangunan yang dijual murah dan sesuai standarku untuk menyulapnya menjadi toko bunga.

Bahkan Ryan rela pulang pergi selama satu jam perjalanan dari Griffin Jewelry ke kota ini agar hanya dia saja yang merasakan hal melelahkan itu, jangan diriku.

Perjalanan dari rumah kami ke Prim Flower juga tidak terlalu dekat. Lewat jalan yang sedang perbaikan itu bisa memakan waktu lima belas menit, sementara arah yang kuberitahu pada Henry tadi sedikit lebih lama. Kurang lebih dua puluh dua menit. Tapi kalau sudah begini, aku sungguh tidak tahu harus ke arah mana.

Kukeluarkan ponselku. Cara yang paling mungkin dan mudah tentu saja peta. Sampai berkeringat dingin, aku tetap tidak memahami setiap garis-garis tidak jelas yang bagiku rumit, beserta nama semua tempat di titik-titik tertentu yang juga tidak kuhafal keseluruhannya.

“Kau bisa membaca petanya?”

Pertanyaan Henry terasa melukai harga diriku, walau dia tidak bernada menghina. Entah kenapa, aku begitu anti pada bocah setan satu ini. Satu kalimatnya saja selalu terdengar salah di telingaku.

“Prim?”

Ck! “Aku juga warga baru di kota ini. Melihat peta—”

“Berikan padaku,” selanya sekaligus menyambar ponselku. Dia diam menatap layar, lalu menoleh padaku. “Kita hanya perlu keluar melalui arah kiri dari sini.”

Hoo ... secara tidak langsung, senyumnya barusan menghinaku. Dia sudah pasti tahu jika aku buta arah. Tidak pintar membaca peta. Harga diriku sekarang rata dengan tanah.

“Eh?” Dia kebingungan.

“Kenapa?”

“Kau lupa mengisi bahan bakar, ya?” Itu tuduhan.

“Mana mungkin ....” Coba kuingat, kemarin dan tadi—ah, iya. Karena terburu-buru, aku melewatkan pom bensin saat perjalanan menuju ke Prim Flower pagi tadi.

“Kita bermalam di sini?” Henry terkekeh.

“Jangan bercanda. Carilah nomor pelayanan pom bensin terdekat.” Kutunjuk ponselku yang masih berada dalam genggamannya.

Henry berhenti tertawa. Mulai fokus, sementara aku mengamati sekitar. Wah, sebagian gelap, meski ada cahaya remang di kejauhan. Sekarang lebih terasa mencekam dibandingkan sebelumnya. Entah terbawa perasaan tidak nyaman atau justru ketakutan, aku merasakan hawa dingin yang membuat merinding.

“Tidak ada. Di sekitar sini tidak ada pom bensin yang melayani pesan antar.” Henry membuatku terkejut dengan suaranya yang frustrasi. “Perlu kutelepon kakak?”

“Jangan.” Aku mengambil kembali ponselku darinya. “Ryan masih mengurus barang masuk dan perlu memastikan keamanan perhiasaan sampai ke brankas. Dia bisa khawatir kalau tahu.” Sebab suamiku memang begitu. Terburu-buru pulang, apalagi sampai harus mengebut adalah hal yang sangat tidak kuinginkan dilakukan olehnya karena diriku.

“Lalu? Siapa yang bisa kita mintai tolong? Temanku sudah pasti sedang dalam perjalanan pulang saat ini. Dia tidak mungkin putar balik. Aku juga tidak punya siapa pun yang kukenal di sini, selain kalian.”

Penjelasan Henry semakin membuatku sakit kepala.

Apa mungkin Nora bersedia membelikan bensin dan membawakannya kemari? Tidak, tidak. Nora sudah sangat kelelahan karena mengurus segalanya di toko seharian. Dia selalu datang lebih pagi dari yang lain dan pulang paling akhir. Sangat tidak bernurani memintanya keluar rumah lagi bahkan mungkin selagi dia sedang makan malam saat ini.

Andy? Lebih tidak mungkin. Sopir pengantar bunga itu bahkan pulang malam hari ini, padahal seharusnya dia ada setiap saat di ruangan sang istri yang baru saja melahirkan bayi pertama mereka pagi tadi.

Karyawanku yang lain? Rata-rata mereka semua tinggal cukup jauh dari Prim Flower. Tidak ada satu pun di antara mereka yang memiliki kendaraan pribadi. Dan aku tidak akan menyusahkan mereka hanya karena kelalaianku.

“Kau pergilah. Cari bantuan.”

Henry menatapku dengan kening mengernyit. “Meninggalkanmu sendirian di sini?”

“Lalu? Aku yang pergi dan kau yang tinggal?” Spontan aku bicara sampai tarik urat. Mengesalkan setiap kali harus bicara pada Henry si adik ipar setan!

“Jika perlu mencari bantuan, kita pergi berdua. Kalau harus tetap tinggal, itu artinya kau dan aku di sini bersama.”

Bocah setan ini ada benarnya memang. Yang mungkin dia takutkan adalah terjadinya perampokan saat salah satu di antara kami sedang sendirian. Di sekitar sini juga tidak terlihat ada rumah penduduk. Setelah kuperhatikan lagi, sepertinya hanya ada lapangan tidak terpakai di depan sana, sejauh dua puluh meter dari tempat mobilku berhenti.

Aku harus bagaimana?

“Kehilangan satu mobil tidak akan membuatmu terlalu merugi. Pikirkan kemungkinan terburuk lain dan bandingkan.”

Kutatap Henry dan berusaha untuk tidak marah saat dia malah terkekeh. Berani-beraninya dia menasihatiku seolah yang kupedulikan hanya satu unit mobil, bukannya nyawa di badan.

“Ayo, pergi.” Kuputuskan itu agar tidak semakin kesal karena dia kembali tertawa pertanda menang. Kupastikan mobil telah terkunci dengan benar, meski nantinya—mungkin—dibawa lari pencuri, setidaknya aku sudah berusaha memberi perlindungan terbaik sebisaku. Mobil ini juga sebenarnya sudah lumayan tua.

Kulewati Henry begitu saja dan berjalan lebih dulu, walau aku tahu sejak tadi dia menungguku memastikan keamanan mobil, lalu kini malah kutinggalkan dia di sana.

“Prim, ke kiri.”

Langkahku terhenti. Rupanya aku berjalan ke kanan. Malu? Tidak. Aku tidak perlu merasakan hal seperti itu pada bocah seperti Henry. Ngomong-ngomong, dia seusia dengan Sena. Mereka sama-sama dua puluh empat tahun. Namun kurasa, adik perempuanku itu jauh lebih dewasa dibandingkan dirinya.

“Kau buta arah?” Dia tertawa.

“Diam.” Aku melangkah hati-hati karena di sini remang. Cahaya cuma berasal dari lampu jalan yang setiap tiangnya berjarak cukup berjauhan. Dan jumlahnya juga tidak banyak. Terdapat kerikil yang membuatku hampir terperosok.

“Pegangan padaku.” Dia menawarkan diri dengan mengulurkan lengan.

“Aku tidak buta, Henry.”

“Okay. Tapi kuberitahu, apa salahnya kau menerima bantuan dariku? Aku adikmu juga, ‘kan? Atau kau tidak mau menganggapku ....”

Kutarik lengannya dan kupegangi tidak erat. “Sudah? Sebaiknya kau tutup mulut, Henry. Kita harus tiba ....” Astaga! Nyaring sekali bunyi dari perutku.

Henry terbahak-bahak. Dia mengambil tanganku dan menggenggamnya meski kucoba untuk menghempaskannya.

“Pantas kau marah-marah sejak tadi. Kau lapar, Prim.”

Aku diam tanpa tanggapan. Mencoba melepaskan genggaman erat tangan Henry dariku walau tanpa bentakan.

“Aku menggenggammu erat supaya kau tidak jatuh. Kau pasti lemas karena lapar, Kakak ipar. Jadi, tenanglah. Menurut peta, setelah belokan ke kanan dan lurus sejauh lima puluh meter, kita akan menemukan restoran kecil.”

Sungguh kacau hari ini. Tidak ingin kudetailkan bagaimana mengesalkannya kujalani waktuku sejak pagi.

“Mau naik ke punggungku?”

Mataku mengerjap karena tawarannya. Ingin membentaknya, tapi aku ingat seharusnya aku tidak perlu terlalu terbawa perasaan. Niat Henry karena dia menganggapku kakak dan seharusnya kuperlakukan dia dengan maksud serupa. Adik. Meski bukan saudara kandung, adik Ryan, adikku juga, ‘kan?

“Asal kau tidak protes soal berat badanku.” Kakiku memang lemas, efek lapar, gelisah dan sedikit ketakutan.

Henry tertawa sambil berjongkok memunggungi di depanku. “Tidak akan. Naiklah.”

 

 

Chapter 5

 

Henry Griffin

 

 

 

Kubawa Prim dalam gendongan punggung sampai masuk melewati pintu restoran. Kudengar dia memekik pelan dan berbisik di dekat telingaku.

 

“Henry, turunkan aku. Jangan membuatku malu.”

 

“Oh, aku lupa. Kau terlalu ringan, sampai tidak terasa.” Tentu saja bohong.

 

Dan balasan dari Prim adalah mencubit pelan kulit perutku. “Berhenti bicara omong kosong. Ayo, cari tempat duduk.”

 

Restoran kecil yang kutemukan ini rupanya sedikit klasik dengan banyak tampilan ‘tua’ yang dipertahankan. Mayoritas tamunya malah para pria. Aku tidak tahu kenapa begitu, tapi kurasa cuma kebetulan saja. Dilihat dari penampilan mereka, tampaknya para pekerja kantoran yang belum pulang ke rumah.

 

Tatapan mata beberapa dari mereka spontan liar melihat makhluk berwujud wanita di sisiku yang berkulit putih, berambut hitam lebat dan panjang serta ... apakah Prim seksi? Emm ... lumayan.

 

Pemilik restoran yang langsung menyapa kami. Mereka suami istri yang sudah berusia mungkin lebih setengah abad, tapi nampak cekatan dan terbiasa ketika melayani tamu. Prim rupanya tidak melewatkan kesempatan saat si istri pemilik tempat sedang memindahkan makanan pesanan kami dari nampan ke atas meja.

 

“Oh, begitu? Aduh, kasihan sekali kalian.” Wanita itu sungguh tulus prihatin. “Kami cuma punya sepeda motor tua di garasi. Kalau kalian mau, pakailah untuk mencari pom bensin terdekat.”

 

Tawaran yang bagus. “Tentu aku sangat berterima kasih atas kebaikan hati Anda, Nyonya. Akan kupinjam  sebentar.”

 

Kelegaan terlihat di wajah kakak iparku. Dia ikut mengucapkan banyak terima kasih pada si wanita pemilik restoran, lalu basa-basi sebentar sebelum akhirnya wanita itu pamit ke belakang.

 

“Kau di sini saja. Biar aku yang pergi.”

 

Prim melotot. Jangan berharap bahwa dia akan berubah tidak jadi membenciku. Dia kembali seperti biasa setelah perutnya kenyang.

 

“Tidak mau. Aku ikut denganmu.”

 

“Udara di luar dingin. Di sini lebih hangat dan aman.”

 

“Kau mengingkari ucapanmu sendiri?”

“Ucapanku yang mana?”

“Jika perlu mencari bantuan, kita pergi berdua. Kalau harus tetap tinggal, itu artinya kau dan aku di sini bersama.”

Hahaha. Dia mengulang sama persis dengan yang pernah kukatakan. Ingatannya bagus sekali. “Ah, iya rupanya yang itu.”

 

“Aku memegang kata-katamu, Henry. Jadi, ayo.” Prim berdiri setelah meneguk habis sisa setengah gelas air.

 

Kami dibiarkan mengambil sendiri sepeda motornya di garasi. Dan ... benar. Ini barang tua yang meski tampak tidak meyakinkan, tapi masih bisa berjalan dengan baik.

 

“Pegangan, Prim.” Kuingatkan dia saat kulihat tangannya malah terjulur memegangi handle besi di jok bagian belakang.

“Sudah.” Dia sedang berpura-pura. Dasar ipar sok jual mahal.

“Berpegangan padaku kalau kau mau ikut.”

“Berani sekali kau mengancamku.” Matanya siap meloncat keluar selagi dia bicara dengan penuh nada kesal.

“Begini ya, Kakak ipar. Kau bisa terjengkang ke belakang, selagi sepeda motornya kulajukan sedikit kencang. Kita sedang dalam keadaan darurat, bukan sekadar aku memboncengmu karena ingin.”

Bibirnya yang penuh dan tebal itu mengerucut kesal. “Iya, iya. Cepat jalan.” Kedua lengan yang akhirnya melingkar di tubuhku.

“Lebih erat, Prim. Di depan nanti ada tanjakan.”

“Kau tahu dari mana?”

“Aku bisa membaca peta. Tidak seperti—”

“Iya, iya. Ini sudah erat. Cepat jalan.” Pelukannya malah seakan dieratkan dengan tujuan agar yang didekap kesulitan bernapas.

Daripada berakhir jalan di tempat, aku mengalah dengan membiarkannya sengaja memelukku terlalu erat sampai terasa sesak.

“Henry, pelan ... sedikit.” Suaranya bergetar. Dia kedinginan.

Kuturuti maunya. Sebenarnya kecepatan sepeda motor tua ini tidak kencang sama sekali, tapi memang angin malam di musim ini terasa lebih dingin.

“Kita berhenti dulu?”

“Apa pom bensinya masih jauh?” Dia balik bertanya.

“Kurang lebih tiga ratus meter lagi.”

“Lanjutkan saja.”

Kami sampai di pom bensin paling dekat yang ternyata cukup jauh juga dari restoran tempat kami singgah tadi. Selagi membeli bahan bakar yang diperlukan, kulihat Prim menjauh dariku untuk menjawab panggilan telepon.

Ryan. Pasti kakakku yang menghubungi. Mungkin dia sudah sampai di rumah, tapi tidak menemukan istrinya di mana pun.

“Sudah?” Dia menghampiriku lebih dulu.

“Sudah. Apa kau perlu ke toilet?” Fokusku kini pada raut wajah Prim yang tampak murung.

“Tidak. Ayo, pulang.” Suaranya pun selaras dengan raut wajahnya yang murung, lemas seolah tidak bertenaga.

Suasana perjalanan pulang lebih hening karena aku tidak punya alasan untuk memperingatinya soal apa pun. Dia memeluk tubuhku tidak terlalu erat, tidak juga longgar. Tidak ada keluhan seperti tadi. Prim benar-benar diam sampai kami tiba di restoran kembali.

Mengembalikan sepeda motor ke garasi, aku tidak lupa mengisi bahan bakar benda yang kupinjam ini tadi, sampai penuh di pom bensin. Tanda terima kasih karena sudah ditolong sampai sejauh ini.

Saat mengembalikan kunci sepeda motor pada pemilik restoran, wanita itu mengatakan bahwa Prim sudah membayar semua pesanan yang kami makan. Jadi aku segera menyusulnya yang sudah menungguku di teras restoran.

Tapi aku tidak ingin mengganggunya. Jadi kubiarkan dia berjalan lebih dulu, sementara aku memperhatikannya di belakang. Malam makin sunyi di sini. Perjalanan dari restoran ke kawasan mobil Prim ditinggalkan lumayan jauh.

“Prim!” Aku baru sadar saat dia terjatuh. Jalanan ini memang dipenuhi kerikil. Wajar dia tersandung. Kantung plastik yang kutenteng berisi bensin kuletakkan begitu saja di tanah dan memeriksa Prim yang rupanya terisak-isak.

“Sesakit itu?”

Dia menggeleng. Tidak mau bangun dari posisinya yang duduk dengan lutut berdarah. Dia mengenakan celana panjang, tapi noda darah timbul di sana.

Aku tidak permisi pada Prim saat kuangkat tubuhnya agar berada dalam gendonganku dan ajaib ... dia tidak protes sama sekali, apalagi sampai membentakku.

Mungkin karena terlalu menghayati tangisannya, dia bahkan sampai memeluk leherku saat kubawa dia menuju ke mobil. Kendaraannya masih di tempat semula. Mungkin pencuri tengah lalai malam ini.

“Mana kuncinya?”

Tangisan Prim berhenti. Dia memintaku menurunkannya dari gendongan, lalu tampak panik mencari keberadaan kunci mobilnya.

Tidak mau bertanya, aku pergi mengambil kantung plastik berisi bensin yang kutinggalkan di jalanan berkerikil tadi. Biarkan saja dia coba mengingat dan mencari kunci mobilnya tanpa perlu kutambah kepanikan lain padanya.

“Henry.”

Aku terkejut karena tidak menyadari keberadaannya yang rupanya mendatangiku ke sini.

“Kenapa?” Kuperhatikan kalau saat ini dia sedang menahan tangis.

“Kuncinya ... Kunci mobilnya tidak ada.”

Mampus! “Kau lupa meletakkannya di mana?”

Prim menundukkan kepala. Bahunya berguncang. Dia sudah menangis sekarang. Percuma juga ditahan.

Aku bisa memesan taksi sekarang, tapi tidak kulakukan. Ponselku sudah kumatikan sejak memutuskan untuk mendatanginya ke Prim Flower.

“Kuncinya ....” Akhirnya dia buka suara. Dalam pandangannya yang tertunduk, dia sudah mengusap air matanya.

“Kubantu mencarinya. Di mana?” Hanya akal-akalanku supaya bisa membuatnya merasa tidak terbebani.

“Sejak tadi tidak kupindahkan dari kantung celanaku. Saat menerima panggilan telepon dari Ryan, aku terburu-buru ketika mengambil ponsel itu di saku yang sama. Kuperkirakan kuncinya terjatuh di pom bensin.” Meski sudah stabil, tapi suara Prim masih bergetar.

 

 

Chapter 6

 

 

Primrose Holden

 

Aku tidak ingin dikasihani, tapi kondisiku saat ini memang menyedihkan. Henry bersikap layaknya tidak tahu apa pun. Memang pasti dia tidak tahu apa yang telah kudengar di seberang sana dalam panggilan telepon dengan Ryan, tapi setidaknya dia jelas paham bahwa sesuatu telah terjadi padaku.

“Kakimu terluka, Prim.”

Aku bahkan lupa kalau lututku berdarah. “Kuncinya.” Pikiranku berkelana. Suara desah manja seorang wanita di seberang sana kembali mengulang di benakku. Aku yakin itu bukan sekadar halusinasiku yang pencemburu.

“Mau bagaimana lagi. Berikan ponselmu. Kita panggil taksi. Ponselku mati.” Henry menadahkan telapak tangannya di hadapanku.

Kubiarkan dia berbuat apa pun. Dia melakukan panggilan setelah mengetik atau apalah di ponselku yang bahkan biasanya jarang tersentuh oleh Ryan. Aku langsung berjongkok sambil menahan perih. Sungguh, rasa sakitnya tidak seberapa. Bukan rasa sakit ini yang kukeluhkan.

“Prim, Ryan menelepon.” Henry berbalik mencariku yang tepat berada di belakangnya. “Hei, kau kenapa? Terlalu sakit?” Dia ikut berjongkok, ponselku masih berdengung dalam genggamannya. Raut yang cemas.

“Kau sudah pesan taksinya?” Tidak kujawab yang kurasa tidak perlu.

“Sudah. Sampai dalam dua puluh lima menit.” Dia menyodorkan ponsel bergetar itu padaku. “Panggilan kedua.”

Kuambil, tanpa sandiwara, langsung kutolak panggilan Ryan dan mematikan fungsi benda itu. Henry jelas melihat aksiku barusan, tapi apa peduliku? Dia pasti maklum kalau pasangan suami istri biasa seperti ini. Pertengkaran yang umum terjadi.

“Sebaiknya kau duduk saja. Jangan berjongkok begitu.”

Aku setuju. Langsung kudaratkan bokong di tanah sedikit berkerikil. Meluruskan kedua kaki. Menahan air mata agar tidak menetes dengan cara mendongak. Langit sungguh gelap. Jangankan bintang, bulan pun tidak tampak. Ke mana mereka—“Waa!” Aku terlonjak, meremas apa yang ada saat kilatan cahaya muncul di atas awan.

Yang kuremas—Astaga! Pangkal paha adik iparku. Aku memalingkan wajah dari tatapannya yang mengernyit padaku. Buru-buru tanganku sibuk meraba saku untuk mencari ponsel.

“Hei, sebaiknya kau tidak menyalakan ponsel di saat begini.”

Refleks kuurungkan niat. Dia benar. Sekarang bukan saat yang tepat, meski aku salah tingkah tidak tahu harus berbuat apa karena telah keliru meremas pangkal pahanya tadi.

“Gerimis.” Terdengar Henry bergumam. Aku menoleh dan melihatnya yang tetap duduk dengan menadahkan telapak tangan ke udara. Kepala mendongak menatap langit malam yang gelap.

Gerimis awalnya, namun entah kami yang lambat bergegas, hujan langsung turun dengan deras.

“Cepat naik.” Henry langsung berjongkok memunggungi di depanku. “Cepat, Prim!”

Tersentak karena bentakannya dan dengan tubuh yang sudah setengah basah, aku menurut. Melompat pelan ke punggung Henry. Membiarkannya membawaku entah ke mana. Aku tidak menolak memang. Sama seperti tadi.

Aku teringat King, adikku. Henry tidak ubahnya adik laki-laki bagiku, bukan?

“Kita berteduh di sini,” katanya. Tepat di bawah pohon yang tidak terlalu melindungi yang bernaung di bawahnya. Tetesan air sesekali mengenai puncak kepala dan pundakku.

Aku berniat turun, tapi rupanya Henry menahanku. “Kakimu masih belum diobati.”

“Tidak parah, Henry.” Aku bersikeras. Heran kenapa tubuh sekurus Henry bisa sekuat ini. Menahanku agar tidak turun dari gendongannya.

“Tapi perih, ‘kan?”

“Sedi—aaa!” Kupeluk erat leher Henry karena petir yang tiba-tiba bergemuruh. Kusembunyikan wajahku di tengkuknya. Dia terkekeh saat aku sadar perbuatanku sungguh memalukan.

“Taksinya sampai.” Disela tawanya, dagu Henry menunjuk ke arah taksi yang berjalan memasuki lokasi berkerikil tidak jauh dari tempat kami berteduh.

“Henry!” kedua lenganku yang bebas, panik memeluk lehernya karena tiba-tiba saja dibawa lari menerobos hujan.

Henry menurunkanku, namun memegangi tanganku dan membuka pintu, lalu mendorongku masuk lebih dulu. Kami basah. Aku sudah tidak bisa lagi mengibaskan air dari rambutku, sebab kini sudah hampir sepenuhnya layu menempel di kepalaku.

Henry menatapku, lalu buang muka. Sambil menggigil melihat keluar jendela, dia berdehem dengan tujuan yang kuartikan sebagai teguran untukku. Aku memeriksa keseluruhan diriku. Bra-ku tercetak sempurna karena tekstur blus yang kukenakan akan memperlihatkannya begitu selagi basah. Sekarang ini aku enggan meneriakinya sebagai bocah setan—walau cuma dalam hati dan pikiran—karena beberapa kebaikannya jelas menunjukkan dia tidak seburuk itu.

Perasaanku mendadak menjadi tidak karuan. Ketika sejenak kupikirkan tentang Henry, tentu saja langsung mengarah pada seseorang yang berhubungan paling dekat dengannya, Ryan. Suami yang kuyakin telah berbuat salah di belakangku.

Selingkuh? Mungkin masih bisa kumaafkan jika dia bersedia menangis berlutut memohon ampun sambil berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Tapi ... sesuatu yang lebih menyakitkan dari ‘mendua’ langsung menyerangku dengan jelas. Tolong jangan, Ryan! Jangan!

“Prim?”

Aku terlonjak. Henry menyikut lenganku, tidak menatapku. Kenapa? Oh, ah aku melihat ke kiri dan kanan karena baru sadar kalau mobilnya sudah berhenti di depan pagar rumahku.

“Turun duluan.” Meski seenaknya dia memerintah, tapi aku salut pada diriku yang terus mengalah padanya sejak tadi.

Hujan masih turun. Tidak sederas tadi, tapi tetap membuat basah yang sudah basah dan menggigil yang bertambah parah.

Tidak berlari, aku berjalan menikmati setiap rinai hujan yang menusuk tubuhku, hingga dinginnya terasa sampai ke tulang. Tiba-tiba Henry di sisiku entah sejak kapan. Menyeretku agar cepat sampai ke rumah.

Aneh. Aku tidak marah, membentak atau mengomelinya. Bahkan biasanya pikiranku ikut berteriak, tapi tidak ada yang kudengar selain suara Henry.

“Prim, cepat buka pintunya.”

Tanganku gemetar karena kedinginan. Sambaran dari Henry pun sama dinginnya, malah nyaris tangan itu terlalu dingin. Dia tidak sabar sampai akhirnya pintu terbuka karena kuncinya telah direbut dengan kalimat gerutuannya yang tidak jelas.

“Hei, Prim, mau sampai kapan kau berdiri di situ? Cepat masuk.” Dia sampai harus menarik tanganku agar tidak mematung seperti kehilangan jiwa utuh entah ke mana.

Ryan. Ryan penyebabnya. Kakak dari pria yang barusan meletakkan handuk kecil di kepalaku, sampai menutupi wajahku. Segala macam bayangan prasangka buruk tentang Ryan dan wanita lain menghantuiku sejak tadi dan sekuat tenaga kutahan dengan tidak memikirkannya terang-terangan di benakku.

Henry dan omongannya kuabaikan. Cepat, tergesa melangkah menuju kamarku. Kuharap Ryan sudah sampai di rumah. Sedang tidur atau sibuk dengan ponselnya untuk menghubungiku.

Takut. Tanganku tertahan di gagang pintu. Ada ketakutan besar yang mendadak menghantamku lagi. Bagaimana ini?

“... menghubungiku.”

Kuambil handuk di kepalaku dan kugenggam saat menoleh, menemukan Henry di sisiku dengan ponsel di tangannya.

“Ada apa?”

“Ryan bertanya padaku tentang keberadaanmu. Jawablah teleponnya. Dia khawatir.” Henry menyodorkan ponselnya padaku.

Tubuhku gemetar menyadari bahwa suamiku tidak ada di rumah, tidak berada di kamar kami. Ryan benar-benar mencemaskanku, tapi tidak pulang untuk menjelaskan kecurigaanku padanya.

“Katakan aku sudah tidur.” Meski bergetar saat mengucapkannya, kurasa Henry paham bahwa tubuhku gemetar karena menggigil kedinginan.

Entah apa yang Henry katakan sebagai jawaban, aku sudah masuk, menutup pintu dan menguncinya. Berpura-pura mengisi pikiran dengan berbagai hal tentang Prim Flower. Mengganti pemasok, meminta Nora menambahkan metode pembayaran nontunai yang belum lengkap, oh, ya mobil pengantar bunga belum di service bulan ini—Ryan pasti selingkuh!

Akhirnya, aku menangis selagi mandi. Terisak-isak mengasihani diri yang terlalu bodoh karena ketakutan yang tidak pasti. Oh, bukan. Bukan itu. Lebih tepatnya aku tidak akan bisa menerima kenyataan jika ternyata benar dugaanku terbukti.

Kenapa tidak kucari tahu sendiri? Kenapa harus takut pada kenyataannya nanti? Terlalu bodoh untuk menerka-nerkanya sendiri, bukan?

 

Chapter 7

 

 

Henry Griffin

 

Prim terbaring di lantai yang dingin, saat aku berlalu menuju dapur dan harus kembali untuk memastikan sekali lagi bahwa apa yang sekilas kulihat itu ternyata benar. Benar kakak iparku tergeletak pingsan di dekat pintu keluar.

 

Karena Prim mengunci pintu kamarnya, aku tidak bisa membawa wanita ini ke kamar pribadinya. Jadi, ya ... aku membaringkannya di tempat tidurku.

 

Tidak apa, ‘kan?

 

Yang bisa kulakukan ... menghubungi Ryan yang tidak kunjung menjawab panggilanku, apalagi pesanku.

 

Aku: Kau di mana? Cepat pulang. Istrimu pingsan.

 

Percuma memang. Sebab apa? Karena setelahnya panggilanku cuma terhubung dengan pesan suara yang memberitahu bahwa Ryan sedang tidak dapat dihubungi. Si berengsek itu pasti sedang bersama Kira pemilik PP. Menghabiskan tiap jam melakukan seks untuk membuat anak.

 

Kudekati Prim yang tampaknya mulai mengeluarkan keringat. Dia pasti akan terserang demam setelah ini. Tubuhnya lebih dari sekadar hangat.

 

Aku tidak punya kenalan dokter di daerah sini untuk dipanggil ke rumah. Di luar masih hujan. Rasanya terlalu rumit menelepon taksi dan membawa Prim ke rumah sakit.

 

Kotak obatlah yang akhirnya kuacak-acak isinya untuk mencari keberadaan obat penurun demam. Bahkan kemudian aku bersedia mengompresnya sampai hampir tengah malam.

 

Tadi, Prim sempat sadar semenit cuma untuk bertanya aku sedang apa ketika membangunkannya agar segera meminum obat penurun demam.

 

Aku nyaris terbahak saat wajah bingung memerahnya itu menatap sekeliling. Entah sadar atau tidak bahwa saat ini dia tengah berada di kamar adik iparnya, yang jelas aku siap menghadapi kemarahannya besok pagi.

 

Jam satu dini hari saat kuperiksa bahwa tidak ada balasan pesan dari Ryan, aku menyerah untuk peduli. Sejak awal dia mengaku menginginkan anak. Rupanya dia seserius itu. Mungkin baginya tidak masalah siapa yang mampu memberikannya keturunan, sehingga Prim menjadi nomor dua.

 

Aku baru memadamkan penerangan utama dan menggantinya dengan lampu tidur, ketika mendengar Prim mengigau. Dia bukan memanggil nama Ryan, tapi ....

 

“Tidak pulang ... wanita lain ... aku ... aku tidak—”

 

“Prim.” Kupanggil dia perlahan sambil menepuk pelan pipinya yang mulai menghangat, tidak sepanas tadi.

 

Kedua matanya terbuka dengan cepat. Dia terkejut atau mungkin terbangun dari mimpi buruk, tapi tangannya spontan mencengkeram lenganku.

 

“Henry?” Dia bingung, mengernyit. Ada keringat di keningnya.

 

“Ya, ini aku. Apa kau bermimpi buruk?”

 

Dia melepas cengkeramannya padaku, lalu menggeleng pelan. Mungkin tidak ingat atau bisa jadi sengaja menyembunyikan faktanya. Menghindari timbul pertanyaan yang tidak ingin dijawab.

 

“Kalau begitu aku keluar sekarang. Kau bisa tidur di sini malam ini.” Aku tidak berharap apa pun, tapi tatapan Prim sungguh membuatku ragu.

 

“Ini kan kamarmu. Seharusnya aku yang keluar.” Menyibak selimut, dia bersiap bangkit tanpa ada pencegahan dariku. Salahnya sendiri yang kemudian kembali berbaring sambil memijat kening.

 

“Kepalaku,” katanya.

“Sudahlah. Berbaring saja. Biar aku yang menjelaskannya pada Ryan nanti.”

“Henry.” Prim mencegahku bukan cuma lewat panggilan, tapi juga sambil menarik pergelangan tanganku yang sudah berdiri di sisi ranjang.

 

Bukan tidak mengejutkan bagiku, hanya saja ... mungkin dia tengah dalam situasi di mana khayalan dan kenyataan beda-beda tipis. “Ya? Ada yang kau butuhkan?”

 

Meragu, seperti dia telah salah dalam bertindak, pegangannya padaku terlepas. Terdiam, tapi kutunggu sejenak karena kupikir mungkin dia butuh waktu.

“Kakakmu ... maksudku ... apa kita bisa pergi ke Griffin Jewelry?”

“Selarut ini dengan keadaanmu yang demam?” Kupikir wajar, tapi kurasa dia istri yang bodoh. Seharusnya peka terhadap segala kemungkinan. Atau cintanya pada Ryan membuat buta mata dan tuli telinga.

“Tidak mungkin, ya?”

“Tidak. Butuh waktu satu jam, bahkan bisa lebih untuk menuju ke sana. Ryan pasti lembur seperti biasanya.” Laranganku sepertinya berpengaruh. Prim diam dengan tatapan fokus ke langit-langit kamar.

“Aku ... gelisah.” Dia bergumam, tapi telingaku bisa mendengar keluhannya dengan jelas.

“Kau butuh teman.” Spontanitas. Aku terkekeh pelan.

Aneh karena dia ikut tertawa. Tawa terpaksa. Mungkin untuk menyamarkan kegundahannya. Dia coba mengikuti alurku.

“Kau benar. Aku butuh teman.” Dia menatapku setelah langit-langit kamar mungkin tidak lagi menyenangkan untuk dipandang.

“Boleh aku duduk—”

“Kau bisa berbaring di sisiku,” selanya cepat. Menepuk pelan permukaan kasur dengan ekspresi datar. Sepertinya dia sadar saat memintaku melakukannya.

Peduli setan. Kesempatan memang bisa saja datang lain kali, namun aku tidak berniat menunggu celah tidak pasti itu kembali. Perlahan, seolah tidak terlalu berminat, aku bergerak untuk berbaring sambil berkata. “Kau yakin?”

Prim mengubah posisi berbaring menyamping. Mungkin agar kami bisa saling tatap saat bicara. “Tentu saja. Akan kuanggap sedang berbaring di sisi King.”

“Mantan kekasihmu?” Aku sudah berbaring dalam posisi yang sama. Memang biasa saja menurutku. Hanya berbaring. Namun tempat dan waktunya sangatlah tepat.

“Adik laki-lakiku.”

“Kau punya adik?”

Dia mengangguk. “Dua malah. King putra kedua dan Sena si putri bungsu.”

“Oh, aku tidak ingat.”

“Tentu saja tidak. Kau tidak ada di pesta pernikahan kami karena entah sedang apa kau di luar negeri.”

Ah, melarikan diri waktu itu! “Ryan sudah menjelaskannya, bukan?”

Prim mencibir. Sempat-sempatnya dia begitu. “Kau membuat Ryan terlihat seperti pengantin pria tanpa keluarga. Seharusnya ...” Dia berhenti, memejamkan mata sedetik, lalu tersenyum sedih, “sudahlah. Lupakan saja.”

“Lututmu bagaimana?” Meski begitu, mataku menatap wajahnya, bukan lututnya.

“Oh ...” Dia menunduk sekilas, “sudah kububuhi obat sesudah mandi tadi.”

Mari buat dia melupakan kesedihannya, terutama Ryan. Meski cuma malam ini saja. “Mobilmu bagaimana?”

“Biar kuminta Ryan—atau kau saja?”

Ternyata, dia sendiri yang sengaja menghindari pembicaraan apa pun tentang Ryan.

“Okay. Besok pagi biar aku yang mengurusnya.” Kulipat tangan di depan dada dalam posisi berbaring menyamping begini, seolah memberi peringatan agar tidak disentuh. Terbalik dari apa yang diinginkan oleh hatiku.

Kami diam. Hening dalam tatapan mata satu sama lain. Kupikir Prim akan menangis lagi, tapi rupanya dia cuma menghela napas.

“Menurutmu, apa sulit untuk menjadi setia?” Tahu-tahu dia sudah ikut-ikutan bersedekap. Mungkin kedinginan. Padahal pendingin ruangan sudah kumatikan saat tadi membawanya masuk ke kamarku.

“Tergantung.”

“Semua pria begitu?” Dia menuduh, padahal masih bisa mempertanyakan jawabanku barusan.

Aku tertawa singkat. “Sembilan dari sepuluh orang pria memilih tidak setia karena berbagai alasan.”

Prim menjadi gelisah. Entah apa yang sudah dia cerna dari omonganku yang asal jawab itu. “Aku tidak butuh alasan.”

Aku teringat sesuatu. “Tapi kau mempertanyakan alasanku kenapa mencium bibirmu pagi tadi.”

Ekspresi spontan berubah. Mata melotot dan tangan terjulur. Dia meninju perutku.

“Aww! Apa ini balasan dari kebaikanku merawatmu tadi?”

“Kau mengingatkanku pada kejadian memalukan itu lagi.” Mata Prim masih melotot padaku, tapi mengerjap-ngerjap lucu. “Aku serius, Henry. Kau tidak boleh begitu padaku. Aku ini—”

Kupeluk dia erat-erat karena tahu bahwa dia akan meronta-ronta. “Anggap saja ini bentuk penghiburan.”

“Enak saja bicaramu,” ketusnya sambil mencubit punggungku, tapi tidak mencoba melepaskan pelukanku.

“Menangislah, Prim.” Kulihat dia menggelengkan kepala. “Tidak apa. Jangan merasa malu. Sesekali kau perlu menangis.”

Dia mendengus. “Tidak perlu. Tidak ada yang perlu kutangisi.” Namun di kata terakhir, suaranya sudah berubah menjadi serak. Dan ... kini dia menangis.

 

Chapter 8

 

Primrose Holden

Tangisanku berhenti. Isakannya belum. Cenderung bertahan dan membuat malu. Ah, sudahlah. Henry terlanjur mengetahui beberapa kelemahanku. Tidak perlu kusebutkan, kalian pasti tahu.

Sekarang aku sedang menyerut ingus. Dibantu Henry dengan membiarkan kaosnya jadi sasaran. Kan ... dia kembali mendapatkan sisi memalukan tanpa harga diri yang tersisa dari diriku. Sebelumnya juga begitu.

“Ingusku ....” Kesusahan aku menahan agar cairan bening yang mengalir dari hidung tidak mengalir lagi, tapi Henry sigap mengangkat tepi kaosnya untuk dijadikan lap sehingga memperlihatkan perut ratanya yang aduhai—ehem, tidak. Bukan begitu maksudku.

“Sudah.” Dia menurunkan kaosnya, tersenyum padaku sekilas. “Boleh kupeluk lagi?”

“Kau butuh izin juga rupanya,” sindirku sambil menyerut habis sisa ingus.

“Berarti boleh.” Henry langsung memeluk. Hangat, meski dadanya tidak tepat jika dikatakan bidang, namun tetap terasa nyaman.

“Aku tidak melihat kau menguap.” Tadi rasanya tidak canggung. Yang kali ini sedikit ....

“Sekarang aku sedang menguap di balik punggungmu,” balasnya sambil tertawa.

“Mana, mana? Aku tidak—oh!” Eh! Karena terlalu ingin melihat dia berbohong atau tidak, wajah kami menjadi sangat dekat sebab gerakan yang bersamaan terjadi di antara kami. “Mundur sedikit, Henry.”

“Tidak.” Dia bertahan. Memelukku erat, membiarkan jarak kami yang cukup dekat satu sama lain. Saling tatap. Napas kami bergantian terembus menerpa kulit wajah.

“Henry, jangan begini.” Aku mencoba mundur, dia makin maju.

“Kau ingin meneriakiku lagi?” Dia tersenyum manis.

Oh, aku baru tahu kalau dia setampan—ah, tidak. Bukan begitu maksudku. “Untuk malam ini tidak. Karena kau telah merawat dan menghiburku, aku akan memaafkan kelakuan tidak sopanmu ini, Adik ipar.”

Dia terbahak. Semakin dilihat—ehem ehem! Tidak, tidak! Ini efek dari keinginan membalas rasa kesalku pada Ryan sehingga timbul perasaan-perasaan aneh yang aku sendiri malu mengakuinya.

Mana mungkin. Ini cuma penghiburan. Jika Ryan bisa berduaan dengan wanita lain, kenapa aku tidak? Lagipula, pria lain yang bersamaku saat ini adalah adik iparku. Setahuku, Ryan tidak pernah memiliki kecemburuan apa pun terhadap adiknya.

Aku ... aku hanya ingin tahu seperti apa rasanya mendapatkan sentuhan dari pria lain. Selayaknya Ryan yang pasti ... pasti lebih dari sekadar—

“Kalau begitu, beri aku hadiah.”

“Hadiah?” Aku terkejut. Sedari tadi rupanya diperhatikan.

“Yap.”

“Kalau begitu katakan.” Jantungku berdebar. Bukan, bukan karena tatapan Henry, tapi emm, tapi ... apa kalau bukan itu?

“Cium aku.”

Mataku berkedip-kedip dan mulutku menganga. Kenapa harus seterkejut itu? Apa aku kecewa? Yang dia minta cuma itu?

“Tidak boleh, ya? Atau cium kening—”

Aku sudah mencium bibir Henry. Sekilas tentunya. Malah ekspresi adik iparku ini menggemaskan sekali kala matanya mengerjap.

“Curang,” protesnya. Kupikir dia akan merengek seperti bocah kecil, rupanya malah mencium bibirku dengan gerakan lambat dan lembut.

Ah, aku ... ini ... hmm, tunggu! Kudorong Henry sambil mengusap pelan bibirku. “Henry ... a-aku—”

“Ini akan jadi rahasia kita, kalau kau meragukanku. Bukan cuma dia yang bisa bermain di belakangmu. Kau sendiri paham soal itu, Prim.”

Masih kucerna sedikit demi sedikit ... sampai satu kalimat yang nyaris tidak terpikirkan keluar dari mulutku. “Hanya ada satu cinta dalam hidupku.”

Uups! Apa yang telah kukatakan? Aku berucap seolah-olah Henry sedang mengajakku berselingkuh. Menegaskan padanya bahwa aku tidak akan tergoda, tapi bersedia menciumnya lebih dulu sebagai hadiah.

“Aku mengerti, Prim. Maksudku, kau bisa bersikap seolah tidak pernah terjadi apa pun setelah kau beranjak pergi dari kamar ini besok pagi,” jelasnya.

Ah, begitu. Benar juga. Akan sangat tidak nyaman jika sampai apa yang telah terjadi malam ini dibicarakan lagi esok hari. Setidaknya, Henry tidak mau kami menjadi canggung satu sama lain.

“Cuma penghiburan, Prim. Kau tahu maksudku, ‘kan?”

“Belum tentu ....” Apa? Belum tentu Ryan selingkuh, begitu?

“Hmm ... memang ada kemungkinan dia tidak bermain di belakangmu. Namun di dalam hatimu, kau lebih tahu soal itu, Prim.” Henry tersenyum, seolah memaklumi. Entah benar atau tidak, tidak harus langsung dipercaya.

Dia Henry, yang sehari lalu—bukan, bahkan baru beberapa jam lalu masihlah kuanggap si bocah setan! Mana boleh aku terbujuk oleh segala omongan manisnya yang berujung pahit. Bisa saja dia cuma menjebakku, lalu mempermalukan dan mengadukanku pada kakaknya besok. Mengungkap apa yang telah terjadi malam ini. Niatku memberinya hadiah karena telah menghiburku, malah berbuntut kesialan nantinya, jika aku tidak berhati-hati.

Sejauh ini yang kulihat, justru tingkah Henry tidak lebih baik dari Ryan. Kalau pada Henry aku menangkap basah secara langsung bagaimana dia telanjang dengan seorang wanita di dalam kamar pagi tadi, namun tidak begitu pada Ryan yang cuma kudengar suara wanita mendesah di satu udara seberang dari panggilan telepon yang berlangsung. Aku ... aku tidak boleh gegabah.

“Kurasa, aku terlalu terbawa perasaan cemburu. Aku yakin kakakmu tidak mungkin berbuat curang di belakangku.”

Henry sudah tertawa, bahkan sebelum kalimatku selesai. Dia cuma mengangkat kedua pundak seakan menertawai pilihanku yang mempercayai kakaknya sampai detik ini.

Biar saja. Tertawalah sepuasmu. Kita tidak punya bukti, Henry. Sekarang saatnya bangun dari jerat ranjang dan pemiliknya, sebelum aku menginginkan hal lain yang tidak bisa kuatasi akibatnya nanti. “Lepaskan, Henry. Aku harus kembali ke kamarku.”

Henry mengangkat kedua tangan ke udara, lepas dari tubuhku. Dia cengar cengir yang membuatku makin kesal dan menyesal setiap mengingat momen berduaan di ranjangnya tadi.

“Sampai besok, Kakak ipar.”

Aku menoleh untuk melihatnya. Ragu-ragu membuka pintu, karena rasanya Henry seperti merencanakan sesuatu yang bahkan tidak bisa kutebak.

Paginya, aku menguap karena semalam sekembaliku dari kamar Henry, mataku sama sekali tidak bisa terpejam. Segala perasaan was-was menghantuiku. Gila sekali pemikiranku yang berhalusinasi kalau Henry mendatangiku di kamar, lalu memperkosaku dan ... dan aku menikmatinya. Hoo ... aku sudah gila!

“Sayang?”

Ryan! Segera kutinggalkan begitu saja salad sayur yang sedang kusiapkan untuk sarapan pagi ini. Cepat kusambut Ryan yang rupanya sudah sampai di ruang tengah.

“Kau pasti punya alasan kenapa pulang pagi,” kataku, pura-pura manis.

Ryan tertawa. Tidak terlihat merasa bersalah sama sekali padaku. Tentu saja begitu. Dia mengira sudah menang karena aku tidak memiliki bukti apa pun tentang ‘perselingkuhan’-nya.

“Kau lebih menakutkan bila tidak marah-marah karena aku yang pulang pagi.” Dia bergerak menuju ke kamar kami. Santai sekali, seperti biasa.

Kususul Ryan ke kamar. Sekilas melihat pintu kamar Henry terbuka dan pria itu keluar dari sana dengan tampilan segar, tampan—ehem, ehem. Sudah, sudah. Tidak perlu bersikap norak. Biasanya juga aku tidak pernah memperhatikan si bocah se—si adik ipar maksudku.

“Prim!”

“Ya?” Aku langsung berhenti saat Henry memanggilku. Entah kenapa. Spontan saja.

Dia tiba di depanku dengan senyum khasnya itu, lalu menyodorkan telapak tangan—mampus! Itu antingku!

“Tertinggal di atas kasurku. Mau kubantu memasangkannya kembali?”

 

Chapter 9

 

Henry Griffin

 

“Aku bisa sendiri.” Prim mengambil antingnya dari telapak tanganku. Jelas terbaca bagaimana kegusaran dan rasa cemas di wajahnya. Dia masih memikirkan perasaan Ryan. Takut kakakku itu berburuk sangka padanya. Dia akan menyesal karena hal itu nanti, pasti.

 

Mengingat bahwa Prim sempat mengatakan, lebih ke ‘menegaskan’ padaku bahwa hanya ada satu cinta dalam hidupnya, aku pun refleks bersumpah dalam hati ‘Akan kubuat kau tergila-gila padaku’ tanpa ragu-ragu.

 

“Sampai nanti, Prim.” Dengan senyum ramah aku melambai dan melangkah pergi. Tekadku sudah penuh di dalam hati.

Jika selama aku menumpang tinggal di sini dia pasti sudah menilai buruk tentang diriku, maka sekaranglah saatnya kuubah cara pandang Prim terhadapku. Tunggu saja, Prim! Nanti, kau harus melihat betapa luar biasanya aku sebagai adik ipar sekaligus pria yang pasti menarik hatimu. Aku janji!

Aku keluar rumah memang untuk memeriksa cabang toko milikku di pusat kota, sekaligus bertemu Rudi. Sahabatku itu bersikeras lagi bertemu denganku setelah lamarannya diterima. Tidak bosan-bosannya menemuiku di sini padahal jaraknya cukup jauh. Pulang pergi yang bukan masalah bagi seseorang yang sedang kasmaran.

Seperempat toko sudah terisi. Akan lebih baik jika dalam dua minggu semua selesai dan tempat ini bisa beroperasi dengan lancar sesuai rencana awal.

“Hen!”

Saat berbalik karena mendengar suara Rudi, aku mengernyit tak jadi tersenyum. Isla di sisi Rudi terlihat memasang wajah genit. Membuatku mual dan menyesal pernah bercinta dengan pengkhianat seperti dirinya. Sayangnya, Rudi sudah jatuh sejatuh-jatuhnya. Sulit menariknya kembali pada kenyataan.

“Isla ingin berterima kasih padamu soal bunga-bunganya.”

“Itu idemu, juga uangmu. Kenapa berterima kasih padaku?” Aku protes pada Rudi. Mengabaikan tatapan lekat Isla terhadap tubuhku.

Rudi menatap Isla sambil tersenyum. “Katakan pada Henry, Sayang.”

Isla tersenyum manis yang baru kusadari sekarang bahwa dia memiliki dua lesung pipi. “Ada kartu ucapan di setiap tangkai bunganya. Di sana tertulis berbagai kalimat motivasi dan romantis.”

Oh, itu ....

“Kakak iparmu yang meletakkan setiap kartu ucapan di sana. Itu pasti kau yang memintanya, ‘kan?”

“Tidak, Rudi. Aku tidak meminta apa pun pada kakak iparku. Sepertinya itu memang salah satu bentuk pelayanannya terhadap pelanggan.” Aku menatap Isla yang terlalu percaya diri bahwa aku bersedia susah payah menarik hatinya, meski itu untuk Rudi.

“Oh, begitu. Pantas saja aku sempat ragu. Kau tidak mungkin seromantis itu,” kata Rudi dengan terbahak.

Benar. Aku bukan pria romantis. Seks lebih penting dari sekadar sikap memuja lawan jenis. Bagiku, definisinya seperti itu.

“Padahal aku menerima lamaran Rudi, karena tersentuh saat membaca kalimat-kalimat yang tertulis di setiap tangkai bunga yang kuterima.” Isla menatapku penuh arti.

Entah apa tujuannya, aku sungguh menyesal pernah menidurinya dua—apa tiga kali? Serius, aku tidak ingat. Perasaan jijik yang membuatku ingin mual. Biasanya aku tidak pernah seperti ini dengan wanita mana pun.

Mungkin karena dia berhubungan langsung dengan orang terdekatku, sahabatku. Tidak seperti mantan kekasihku yang sudah-sudah. Ketika hubungan selesai, segalanya pun putus begitu saja.

Isla berbeda. Meski muak sekalipun, aku akan terus berinteraksi dengannya, sebab dia siap dan segera menikahi sahabatku.

“Akan kusampaikan rasa terima kasihmu padanya nanti.” Untuk memutus pembicaraan ini, aku berniat—

Suara mengejutkan tiba-tiba terdengar. Mirip sebuah hantaman keras. Dari sini, tokoku keseluruhannya berdinding kaca, kulihat sebuah mobil tiba-tiba menabrak tiang lampu hias rendah di luar sana. Segera, aku dan bahkan semua yang ada di sekitarku bergegas keluar untuk melihat lebih dekat apa yang terjadi.

Seorang wanita keluar dari mobil dengan sempoyongan. Dia mengenakan kaos kumal antara krem atau putih, celana denim yang warnanya memudar, serta sebelah kaki yang telanjang sementara yang satunya masih terbungkus oleh sepatu. Apa dia mabuk? Terlihat begitu muda dan pucat. Rambut hitam sebahunya berantakan.

Dia mengatakan pada semua orang bahwa dirinya baik-baik saja, tapi hampir jatuh jika Isla tidak memegangi lengannya.

“Boleh kubawa dia ke dalam?” Pertanyaan Isla membuatku terpaksa mengangguk. Perempuan yang dipegangi oleh Isla malah tidak fokus karena pandangannya ke sana kemari. Benar-benar seperti orang mabuk. Namun saat Isla membawanya melewatiku, tidak tercium aroma alkohol sama sekali.

Bukan mabuk, lalu apa?

Rudi memberitahuku kalau pemilik toko sebelah telah menghubungi polisi. Dia juga menjelaskan bahwa sudah saatnya dia dan calon istrinya pergi karena mereka harus mengurus beberapa hal tentang pernikahan.

Terpaksalah kubiarkan wanita itu berbaring di sofa ruang kerjaku. Tubuhnya kurus, tapi tidak terlalu tinggi. Dia benar-benar lusuh untuk ukuran seorang pengemudi mobil mewah.

Aku tidak mau berurusan dengan polisi, sehingga beberapa karyawan toko telah lebih dulu memberi kesaksian mereka tanpa melibatkanku. Dengan memberitahu bahwa pengemudi sedang diantarkan ke rumah sakit.

Wanita ini sepertinya harus dipaksa bangun atau aku yang akan kesulitan nantinya karena ikut terseret dengan memberi keterangan palsu. Atau tuduhan lainnya yang bisa memberatkanku.

Menurut yang sudah kupastikan, walau tidak menyentuhnya sama sekali, fisiknya tampak baik-baik saja. Tidak ada luka atau memar. Benar-benar mulus.

Sekarang sudah ada gelas dalam genggaman. Berisi air tidak penuh. Tidak berniat kusiramkan semua, hanya memercikkan sedikit air. Ah, kacau! Dia tidak terbangun juga. Terganggu saja tidak. Apa yang kuharapkan?

Kucipratkan kali kedua air dari kelima jari-jariku. Kernyitan di kening dan kepala yang bergerak.

“Ibuu!” Dia menjerit histeris, melompat dari posisinya yang entah kapan bangkitnya, tiba-tiba sudah terduduk di lantai. “Tolong aku, Bu! Tolong!” Menutup kedua telinga, bergantian memeluk lutut.

Aku canggung dibuatnya, karena sikap spontanitasnya di luar prediksiku. Memang wajar dia seterkejut itu, namun rasanya aku tidak siap menerima kepanikannya yang tiba-tiba.

Aku menatapnya, dia pun begitu. Perlahan saat aku ingin bicara—

“Maaf ... aku minta maaf.” Suaranya berubah formal. Dia menjadi secanggung diriku.

“Kau tidak baik-baik saja.” Aku berlutut di sisinya, selagi dia mundur sampai terjebak tepian sofa. “Kau kenapa? Aku tidak berniat menyakitimu.”

“A-aku tahu. Aku tahu kau tidak akan menyakitiku. Hanya ... sulit—maksudku, aku sedang kesulitan.” Dia tergagap, bahkan gemetar.

“Apa kau butuh sesuatu?” Mungkin dia lapar. Gemetarnya tidak biasa. “Mau minum atau makan sesuatu?”

“Segelas air saja.” Dia mengangguk, menghindari bertatap mata denganku. Menatap kedua lututnya yang masih tertekuk.

Buru-buru kupanggilkan salah satu karyawanku dan memintanya membawakan segelas air. Sambil menunggu, kulirik wanita itu. Dia mulai bangkit dari tempatnya. Memilih duduk di sofa dalam kecanggungan.

“Bos, apa perlu kupesankan sarapan untukmu?” Itu pertanyaan karyawanku yang mengantarkan segelas air.

“Tidak. Nanti saja. Pesankan taksi sekarang.”

“Kau mau pergi ke mana, Bos? Ada pertemuan—”

“Rumah sakit. Perempuan itu sekarat.”

 

Chapter 10

 

Henry Griffin

 

Dia menolak dibawa ke rumah sakit. Tidak banyak bicara, tapi yang jelas berniat pergi ke kantor polisi seorang diri.

Sebenarnya, bagus sekali jika dia bersikap begitu. Artinya, aku tidak perlu terseret apalagi sampai ikut-ikutan menjadi saksi nantinya. Namun tubuh dan otakku memang tidak bisa bekerjasama. Aku heran sejak kapan rasa kemanusiaanku lebih unggul dari keinginan mementingkan urusan diri sendiri?

“Hei, bukan bermaksud ikut campur. Tapi menurutku, kau tampak tidak baik-baik saja.”

“Memang,” sahutnya pelan. Dia mendesah dan aku yakin sedang tidak salah melihat, bibirnya bergetar.

“Kau tidak lapar?” Bukan basi-basi. Aku memang prihatin. Melihat tampang dan penampilannya, dia seperti baru saja mengalami—hei, tunggu!

“Aku tidak la—”

“Kau bisa ceritakan semuanya pada polisi. Jika kau takut, aku akan menemanimu.” Entah dari mana datangnya usulan terburu-buru itu, aku tampaknya telah membuat wanita itu tercengang akan penawaranku. Dia seperti tahu apa yang kupikirkan.

“K-kau ... kau tahu apa yang terjadi padaku?”

“Tidak sepenuhnya tahu. Aku, maaf ... aku hanya menduganya melihat dari kondisimu—maksudku, aku cuma pernah berada di situasi di mana salah satu kerabatnya sahabatku mengalami kejadian tidak mengenakkan itu.” Aku tidak bohong. Sepupu Rudi—aku lupa namanya—pernah mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari mantan kekasihnya.

Dilecehkan!

Dia memeluk tubuhnya sendiri dengan erat. Tampak menggigil, tatapan tidak fokus. “... tersentuh.”

“Apa katamu?” Aku menatapnya. Dia sungguh bergumam tidak jelas dan cuma itu yang bisa ditangkap oleh telingaku.

“A-aku ... aku tidak ... tidak mau ke kantor polisi. Aku tidak sanggup.”

Itu tidak salah. Wajar begitu. Sepupu Rudi bahkan sampai berteriak-teriak setiap kali melihat pria tinggi mengenakan topi hitam atau apa pun yang bisa digunakan untuk mengikat tangan. Trauma gadis itu sungguh parah. Cukup lama baru dapat kembali menjalani hidup dengan normal.

“Okay. Tidak masalah. Tetaplah di sini.” Kurasa, dia pun tidak nyaman ada aku di dekatnya. Aku seorang pria. Dan orang asing baginya.

“Tunggu!”

Belum juga dua langkah. Aku menoleh. “Ya?”

“Apa boleh aku meminjam ponselmu?”

“Tentu.” Kukeluarkan benda yang dia maksud dari saku celanaku. “Nah, pakailah.”

Dia menerima ponselku. Komat-kamit sendirian seperti sedang mengulang hafalan. Aku menunggu dengan pergi ke mejaku. Melihat-lihat laporan para karyawan tentang beberapa barang lama yang tidak diminati agar segera dilakukan diskon besar-besaran selama sebulan penuh.

“Kak? Ini benar Kakak? Primrose kakakku?” Dia terpekik, menutup mulut dengan telapak tangan lalu berpaling ke sana kemari sampai menemukanku di sini. Wanita itu menatapku.

Hah? Apa? Primrose? Primrose yang mana? Banyak Prim di dunia ini. Kudatangi dia yang mematung. Mengambil ponselku yang masih menempel di telinganya dan melihat di layar bahwa benar Prim yang kutulis di kontakku sebagai ‘Primrose’ membuatnya begitu heboh.

“Henry? Kenapa Sena bersamamu? Ada apa?” Prim panik di seberang. Sebentar. Biar kucerna sendiri. Kulirik wanita bernama Sena yang rupanya sedang menarik-narik pelan ujung kaosku. Dia memberi isyarat berupa gelengan. Kuartikan itu sebagai jawaban yang harus kuberikan pada Prim.

“Henry? Kau apakan adikku, hm?” Prim segalak biasanya. Benar. Dia punya dua adik. Ini si putri bungsu, kan? Sekebetulan itu?

“Dia ... dia mengalami kecelakaan ringan di depan tokoku. Nanti saja penjelasannya. Akan kubawa dia pulang ke rumah.”

“Apa? Kecelakaan? Jadi kalian di rumah sakit? Kirimkan alamatnya padaku.”

“Kami sedang dalam perjalanan pulang ke rumah, Prim. Dia baik-baik saja.”

“Aku tidak percaya padamu. Berikan ponselmu padanya.”

Kuberikan saja tanpa berkata-kata. Harusnya kesal pada Prim, tapi melihat adik dari kakak iparku yang raut wajahnya pucat karena ketakutan, membuatku merasa kasihan sehingga rasa marahku menguap begitu saja.

Sena namanya, ‘kan? Dia menerima ponselku dan mengangguk canggung padaku.

“Halo, Kak?” Dia terus meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja dan mungkin membuat kebohongan lain agar Prim tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Atau bisa jadi memang itulah kenyataannya. Aku hanya tidak tahu karena belum mendengar keseluruhan ceritanya.

Aku meminta salah satu karyawanku untuk mengurus mobil Prim yang kami tinggalkan semalam lalu itu sejak pagi tadi. Dan sekarang kendaraannya sudah ada di depan toko.

Aku tidak mempertanyakan apa pun pada Sena karena kurasa dia lebih suka menahan omongan. Dia tampak terkejut melihat mobil kakaknya ada padaku, namun tidak mengajukan pertanyaan apa pun. Kurasa, dia lebih pendiam dibandingkan dengan kakaknya. Tapi ... mungkin saja itu efek dari peristiwa tidak menyenangkan yang telah dia alami.

Selama perjalanan pun dia tetap diam. Aku juga melakukan hal yang sama. Memahami fakta bahwa dia adalah adik kandung dari kakak iparku, sungguh sangat mengejutkan. Kenapa bisa-bisanya kami terhubung?

“Masuk dan duduklah di mana saja kau merasa nyaman. Kurasa kau sudah tahu bahwa ini rumah kakakmu dan kakakku.” Dan baru ini kurasa dia menatapku begitu lekat.

“Kupikir, kau itu selingkuhannya kakakku.”

Antara ingin kutanggapi dengan serius atau bercanda, tapi kupilih bicara fakta saja. “Apa aku terlihat seperti orang ketiga?”

“Tidak. Maaf.” Dia menggeleng, lalu melangkah masuk ke dalam rumah.

“Kenapa kau bisa berpikir begitu?” Kususul dia setelah menutup pintu.

“Dari cara bicaramu.” Dia bahkan menjawabku tanpa menatapku. Terus melangkah seolah tempat ini tak asing baginya.

“Cara bicaraku?”

“Ya. Cara bicaramu terlalu santai untuk seorang adik ipar terhadap kakak iparnya.”

Wah, dia sesuatu sekali. Menarik. Jauh lebih menarik dari Prim, bukan? Sedarah tak menjamin kemiripan fisik dan sifat. Mereka berdua ini contohnya. Bahkan sekarang aku penasaran pada adik Prim yang lain. Seorang laki-laki. Pasti lebih manipulatif dari yang bisa kuduga.

“Kami ... lumayan akrab.” Ah, apa boleh aku sejujur itu? Saling menghibur dalam satu ranjang sambil berpelukan itu termasuk akrab, ‘kan?

Dia berhenti di ambang pintu ruang keluarga. Menatapku lekat. “Kau dan kakakku?”

“Kenapa? Kau dan Prim tidak akrab?” Aku balik bertanya. Memang tidak sepantasnya aku memperpanjang hal ini, tapi sejak awal melihatnya yang sudah salah mengartikan hubunganku dengan kakaknya, membuatku ingin tahu sejauh apa dia berpikir tentang kami.

Dia menatapku tanpa reaksi apa pun. Mungkin sulit memahami semua ekspresinya karena aku tidak mengenalnya secara pribadi. Hanya saja dugaanku mungkin benar bahwa wanita ini sulit dimengerti. Ada sisi berbeda dalam dirinya. Sulit menjelaskannya, namun aku tidak berniat lebih jauh.

“Aku menghormatinya. Kakak adalah panutan bagiku. Dia tidak mungkin berakrab ria denganmu yang cuma adik iparnya. Apa kau ... menyukai kakakku?”

Aku siap dengan segala prasangka karena melihatnya sudah mencurigaiku sejak awal. Jadi, aku cuma tersenyum sambil bercanda. “Ya. Aku menyukai kakakmu. Apa itu masalah bagimu?”

Chapter 11

 

Primrose Holden
 


 

“Hahaha! Aku bercanda,” kata Henry. Ketika aku baru saja menemukan dia dan adikku di ruang keluarga.
 


 

Tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, tapi Sena pun melakukan hal serupa. Adikku itu juga tertawa. “Ya, sama. Aku juga bercanda.”
 


 

Lalu keduanya serentak menoleh ke arahku. Dan bagiku, mereka seperti menyembunyikan sesuatu. Sejak kapan Sena semudah itu akrab dengan orang asing?
 


 

“Kak, maaf datang tanpa pemberitahuan.” Sena mendekat. Canggung yang selalu dia perlihatkan setiap kali sadar bahwa telah melakukan kesalahan. 
 


 

“Kau baik-baik saja?” Kurasa memang dia sedang dalam masalah. Tampilannya benar-benar seperti bukan Sena Holden adikku. Berantakan dan kumal. “Kecelakaan yang seperti apa?”
 


 

Sena melirik Henry. Apa ada kaitannya antara Sena dan Henry? Ah, mana mungkin. 
 


 

“Itu ... aku tidak sengaja menabrak tiang di depan toko Henry.”
 


 

“Tiang? Jadi kau sungguh tidak apa-apa?” Aku memegangi lengannya, memutar tubuhnya dan memperhatikan setiap tempat di kulitnya yang terlihat. “Bagian dalam di balik pakaianmu, mungkin?”
 


 

“Aman, Kak. Semua baik-baik saja. Airbag berfungsi dengan benar.” Adikku tersenyum, bahkan ke arah Henry.
 


 

Apa-apaan mereka ini? 
 


“Kau perlu ke rumah sakit.”

“Sudah,” angguknya cepat. Bahkan melirik Henry.

“Kau yakin?” Sungguh aku tidak paham kenapa Sena bersikap berbeda dari biasanya. Apa Henry memberi pengaruh buruk padanya?

“Aku yakin. Aku sungguh tidak apa-apa. Aku sengaja menghubungi Kakak karena memang ingin meminta izin bermalam di sini.”

Dan seperti apa pun kegiatan Sena yang memungkinkannya berkunjung ke kota ini, dia selalu menolak untuk lebih dari sekadar singgah beberapa jam di rumah ini. Dia cuma akan duduk, mengobrol basa-basi singkat dan istirahat sejenak di kamar tamu, lalu sebelum jam makan malam sudah pergi lagi dengan alasan kalau temannya telah memesankan kamar hotel.

“Menginaplah sesukamu. Masih ada satu kamar kosong.” Hanya itu yang terucap, walau dalam benakku, segala pertanyaan bermunculan. Sepertinya tidak di sini. Tidak di depan Henry. Aku perlu ruang hanya berdua saja dengan adikku untuk menuntaskan segala rasa ingin tahuku.

Namun sekali lagi. “Jadi dokter sungguh mengizinkanmu pulang tanpa resep obat—”

“Kak, aku cuma menabrak tiang yang bahkan ukurannya hanya setengah dari tiang listrik.”

“Mobilnya?” Kali ini kuperhatikan Sena tidak melirik ke arah Henry.

“Cuma kerusakan kecil di bagian depan. Itu mobil salah satu rekanku. Dia yang akan mengambilnya ke kantor polisi. Dia sudah menghubungiku tadi.”

Aku mengalah akhirnya. Menahan diri untuk tidak banyak bertanya di depan Henry. Namun satu hal yang pasti sangat kucurigai adalah tentang Sena yang pendiam, sulit berinterkasi dengan orang asing, malah terlihat akrab pada Henry yang bahkan baru ditemuinya hari ini.

Baru? Atau ... mereka pernah bertemu entah di mana sebelumnya?

“Kutunjukkan kamarnya?” Henry menawarkan. Dari nada bicaranya saja sudah membuatku curiga. Adik iparku ini begitu ramah, lembut dan sopan pada Sena.

Tidak hanya itu, Sena bahkan menanggapi tawaran serius itu dengan tawa seolah Henry sedang melontarka lelucon.

“Aku sudah tahu. Aku pernah singgah beberapa kali ke sini, meski belum pernah menginap.”

Henry tersenyum seakan Sena wanita yang tengah dipujanya. “Baiklah. Kalau butuh sesuatu, aku tidak segan membantu.”

Di sini, aku seperti sosok tidak terlihat. Mereka sibuk bicara berdua meski akhirnya berpamitan padaku untuk masuk ke kamar masing-masing.

“Kau tidak kembali ke toko?” Aku bertanya pada Henry,  karena biasanya dia memang tidak ada di rumah di waktu seperti ini. Lalu aku bisa menggunakan keluangan itu untuk menanyai Sena tentang apa pun yang perlu kuketahui.

“Tidak.” Henry menggeleng, tanpa penjelasan sedikit pun. Dia mengangguk sopan padaku sebagai pertanda dia akan pergi dan itu membuatku mual. Apa-apaan dia?

“Kak, ponselmu berdering.”

“Oh, iya.” Jadinya aku salah tingkah karena sempat fokus hanya pada Henry. Sena tidak mungkin menangkap basah diriku yang memalukan seperti itu, bukan?

Ryan. Bahkan lupa kalau kami sedang—lebih tepatnya aku—mempertahankan harga diri untuk tetap diam menunggu dia menjelaskan tentang suara desahan wanita malam itu. Hubungan kami sama sekali tidak ada kemajuan. Maksudku, tidak ada yang bersedia mengalah.

“Sayang, aku akan melakukan perjalanan keluar kota selama dua hari untuk memastikan pengiriman emas yang tiba-tiba terhenti karena tersangkut di perbatasan.”

“Kenapa mendadak sekali?” Di sini, aku cuma sendirian. Sena dan Henry sudah pergi ke kamar mereka, baru saja.

“Pemberitahuannya juga tiba-tiba. Pemerintahan kota setempat mencurigai adanya pengiriman barang ilegal melewati perbatasan mereka. Emas yang akan dikirim ke Griffin Jewelry juga ikut tertahan.”

Itu bukan cuma akal-akalanmu saja, ‘kan, Ryan? “Jadi kau harus menginap?” Kudengar embusan napas lelahnya di seberang. Jantungku berdebar tidak biasa seolah membuktikan bahwa ada yang salah dengan suamiku.

“Aku tahu kau masih marah padaku, bahkan terus mencurigaiku. Tidak masalah. Jika kau mau ikut, silakan. Kutunggu kau di toko agar kita bisa berangkat menggunakan kereta malam.”

Dan entah kenapa aku malah mengatakan. “Tidak. Kau pergilah. Tadi aku cuma bertanya. Bukan berarti aku mencurigaimu. Seseorang selalu punya prasangka dalam hatinya. Bukan hanya aku, tapi kau pun sama saja.”

“Sayang, tolong jangan memancing pertengkaran.”

“Aku hanya mengatakan apa yang kurasakan. Apa itu kau anggap sebagai pancingan untuk mengajakmu bertengkar?” Suaraku meninggi. Entah kenapa mencurigai Ryan sudah menjadi makananku setiap saat sejak beberapa waktu belakangan ini.

“Baiklah baik. Aku salah karena telah menuduhmu seperti itu, tapi Prim ... ada dokumen yang harus kupersiapkan untuk menunjukkan bukti pada pihak berwenang di perbatasan. Apa kita bisa membahas tentang ini nanti ketika aku kembali?”

“Okay. Pergilah dan hati-hati.” Walau dalam hati terus bermunculan segala tuduhan yang seharusnya bertubi kulontarkan, tapi aku menyudahi panggilan dengan perasaan hambar.

Sebaiknya aku kembali ke Prim Flower. Nora membutuhkanku. Dua karyawan yang lain mendadak cuti sakit dan yang satunya lagi menjenguk sang ibu yang sakit keras di kampung halaman.

Namun mendadak ingat kalau Sena mungkin saja belum makan siang. Aku berpapasan dengan Henry ketika akan menuju ke kamar tempat adikku berada. Dia bahkan tidak menyapaku apalagi sekadar menarik perhatianku untuk bertingkah menyebalkan seperti biasanya. Dia itu kenapa?

Dia sudah menghilang begitu saja ketika mulutku bergerak ingin memanggil namanya. Benar-benar seperti bukan Henry Griffin yang biasa kukenal.

Perasaanku tiba-tiba jadi tidak karuan. Kesal karena Ryan, kini ditambah dengan kelakuan tidak biasa adiknya. Kubatalkan niat mengunjungi Sena di kamarnya, lalu pergi ke dapur untuk memastikan apa yang kira-kira bisa kusiapkan agar nanti bisa disimpan sampai makan malam dan tidak repot-repot memasak lagi.

“Ikan salmon untuk makan malam.”

Terlonjak dan terkejut, aku menoleh. Menemukan bungkusan yang terlihat berat di atas meja bersama Henry yang berdiri di sana.

“Perlu kubantu?” Dia bertanya selagi tersenyum.

Aku segera tersadar bahwa sejak tadi selain terkejut, sempat tercengang menatap wajah tampan—ehem! Maksudku, entah apa yang kulihat dari dirinya sehingga bisa kuartikan rupawan.
 

Dia, adik iparku. Berdiri di sana tanpa berbuat apa pun, cuma tersenyum padaku, tapi berhasil membuat sesuatu yang terlarang merasakannya, malah berkedut nakal di bawah sana.


 


Hai, hai. Ada sedikit informasi buat kalian. Sama seperti novelku sebelumnya, setiap chapter yang terkandung unsur dewasa tidak akan aku publish di Wattpad. Jadi ... chapter 12 hanya ada di KaryaKarsa ya? Silakan klik link di bio untuk langsung menuju ke akun KaryaKarsaku. Kalian bisa baca di sana berbayar, tapi harganya masih sangat masuk akal. Okay? Terima kasih! 🖤
 


 

Note: Cerita ini bakal tetap update di Wattpad sampai tamat. Hanya khusus adegan 21+ saja yang aku publish di sana, sisanya tetap di sini. 
 


 


 


 


 


 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 𝐄𝐧𝐦𝐞𝐬𝐡𝐞𝐝 (𝐂𝐡𝐚𝐩𝐭𝐞𝐫 12-16)
0
0
Henry setuju untuk … bersama Prim?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan