
cinta/cin·ta/ a 1 suka sekali; sayang benar. 2 kasih sekali; terpikat (antara laki-laki dan perempuan): sebenarnya dia tidak -- kepada lelaki itu, tetapi hanya menginginkan hartanya; 3 ingin sekali; berharap sekali; rindu. 4 kl susah hati (khawatir); risau.
Ada yang bilang kalau kita bisa memilih kepada siapa kita akan jatuh cinta. Karena setiap orang punya perasaan dan punya kuasa untuk mengatur apa yang dirasakannya. Ada juga yang bilang kalau kita tidak bisa memilih kepada siapa kita akan jatuh...
Part 1
“Kak Fajar, bisa gantiin aku bentar?” tanya adik tingkatku. “Mau ke toilet.”
“Jangan lama-lama,” kataku.
“Iya siap,” jawabnya lalu berjalan menjauh.
Aku duduk di salah satu meja di dekat gerbang utama kampus. Ada empat meja di sini. Masing-masing dijaga oleh satu mahasiswa yang menjadi panitia penyambutan mahasiswa baru. Setiap orang memegang kertas berisi sekitar 100 nama mahasiswa. Setiap maba akan mengabsen terlebih dahulu sebelum duduk di lapangan parkir utama. Aku bukan lagi mahasiswa, tapi aku beruntung terpilih menjadi alumni yang diikutsertakan dalam kepanitiaan sebagai anggota supervisi. Pertama karena sejak tingkat dua aku selalu menjadi panitia penyambutan. Kedua karena aku memang tidak ada kerjaan.
Aku memakai setelan yang sama dengan adik tingkatku. Sepatu kets, celana putih katun, kaos biru dongker panitia dibalik jas almamater dengan warna senada. Aku duduk di kursi dan meraih pulpen. Memulai tugasku untuk menghabiskan antrian yang sudah panjang hingga ke trotoar jalan.
Satu persatu mahasiswa membubuhkan tanda tangan di kertas sesuai dengan absennya. Di kertas absen juga tertera nomor kelompok mereka. Sebelum kelas dimulai tentu saja ada masa perkenalan. Meski namanya diganti-ganti, aku tetap lebih suka menyebutnya masa ospek.
“Kelompok tiga ya. Sebelah kanan,” kataku ke mahasiswa yang baru saja mengabsen. “Oke next.”
“Permisi kak,” sapanya.
“Siapa namanya?” kataku sambil menghitung kasar berapa nama yang belum datang.
“Senja, kak.”
“Huruf S di...” kataku sambil menoleh dan kalimatku menggantung begitu saja.
Aku menatapnya dengan mulut yang terbuka. Aku mengenali wajah itu. Matanya, hidungnya, bibirnya, rahangnya. Satu-satunya perbedaan yang tidak pernah aku lihat sebelumnya adalah rambutnya. Lebih tipis dan lebih panjang dari yang kukenal.
Rasanya aku tidak berkedip seolah waktu terhenti sementara. Tubuhku membeku untuk beberapa detik karena merasa kaget dengan apa yang aku lihat. Perempuan yang ada di depanku tentu saja tidak aku kenal. Dia juga pasti tidak mengenaliku. Tapi wajahnya sangat tidak asing untukku.
“Kak,” panggilnya dan membuatku kembali sadar.
“Huruf S di meja sana,” kataku sambil menunjuk ke meja di sebelah.
“Maaf kak, huruf M. Mahardika Senja Dewata.”
“Oh, Mahar,” kataku lalu menujuk ke deretan huruf M. “Sebelah sini.”
Dia tersenyum lalu membungkuk dan menggoreskan tinta pulpen di atas kertas. Dia melihat angka kelompoknya lalu melihat ke arah lapanngan dan terlihat mencari di mana dia bisa duduk.
“Kelompok empat ya?” kataku. “Sebelah kanan.”
“Makasih kak,” katanya lalu pergi.
Aku memandang punggungnya yang masih mematung beberapa langkah dariku. Dia tampak mencari-cari meski papan angka empat terlihat jelas dari sini. Dari belakang, aku tidak mengenalinya sama sekali. Meski dari depan, aku merasa begitu mengenalnya. Tapi aku bisa menjamin, aku akan mengenal dia sebaik aku mengenal kakaknya.
“Eh Mahar,” panggilku dan dia menoleh dengan canggung. “Adiknya Kenta ya?”
“Iya kak,” jawabnya dan tampak bingung. “Kok tahu?”
“Kayak pinang dibelah-belah,” jawabku.
“Dibelah dua kak,” kata Senja sambil menahan tawa.
“Iya itulah maksudnya.”
“Kakak kenal kak Kenta di mana?”
“Temen dari SMP.”
“Oh,” kata Senja sambil mengangguk-ngangguk.
“Fajar,” kataku dan dia tampak bingung. “Maksud aku, namaku Fajar.”
“Hai Kak Fajar. Aku permisi ke sana kak.”
“Oh iya, hati-hati ya.”
Dia menangguk lalu berjalan ke arah tempat duduk kelompoknya. Aku membiarkan mahasiswa baru di belakang Senja mencari namanya sendiri dan menandatangi lembar absen tanpa bantuanku. Sementara aku memandangi Senja yang berjalan ke parkiran utama. Aku masih tidak berhenti tersenyum. Bahkan setelah aku bersumpah dalam hati kalau aku akan melabrak Kenta.
Aku bertemu dengan Kenta untuk pertama kalinya saat sama-sama terlambat di hari pertama masuk sekolah di SMP. Sebenarnya tiga orang yang terlambat. Aku, Kenta dan Maryana. Kami dimarahi oleh kakak kelas lalu diminta untuk menghadap ke wali kelas. Kami bertiga kaget saat masing-masing menyebutkan di kelas mana kami ditempatkan karena ternyata kami sekelas.. Dan acara hukuman kami berubah menjadi acara perkenalan yang sampai saat ini masih bisa kuingat dengan jelas.
Kami tidak hanya sekelas di kelas satu SMP. Tapi juga kelas dua dan kelas tiga. Meski saat kelas tiga, ayah Kenta harus menghadap ke bagian akademik dan memberikan sogokan padanya agar Kenta bisa pindah kelas dan kami bisa tetap sekelas. Tidak berhenti di situ, kami sama-sama melanjutkan ke sekolah menengah farmasi yang seragam utamanya bukan putih abu tapi putih biru langit.
Saat kuliah, Kenta memutuskan untuk berpisah jalan. Dia melanjutkan kuliah ke jurusan Management Bisnis sedangkan aku dan Maryana tetap di jalur farmasi. Tapi sepertinya orang tua Kenta tidak terima kalau anaknya pindah jurusan. Dan sepertinya Senja yang diminta untuk melanjutkan profesi yang tidak jadi diambil oleh kakaknya.
Sepuluh tahun mengenal Kenta, aku tidak pernah melihat adiknya. Aku sering main ke rumahnya. Tapi saat Kenta melangkah ke dalam, dia selalu berteriak kalau teman-temannya datang dan adiknya tidak boleh menganggu dan lebih baik dia ada di kamarnya saja. Di rumahnya tidak ada satupun foto yang dipajang. Baik foto sendiri maupun foto keluarga. Dan lagi Kenta juga tidak pernah membicarakan tentang adiknya. Seperti apa wajahnya atau seberapa manjanya dia. Kenta hanya bilang dia punya adik perempuan. Sudah itu saja.
“Kalau gue ceritain, entar lo bakal naksir,” itu adalah kalimat yang selalu Kenta ucapkan kalau ada yang bertanya tentang adiknya.
Perlu waktu satu dekade untuk mendapatkan bukti kalau apa yang dikatakan Kenta ada benarnya. Aku tidak tahu apa yang menarik perhatianku. Karena kenyataannya mereka seperti anak kembar. Aku seperti melihat Kenta dalam versi rambut gondrong yang tidak sampai menyentuh bahu. Bedanya rambut Kenta tebal dan rambut adiknya tipis. Jika aku jatuh cinta pada wajahnya, seharusnya aku sudah cinta pada wajah itu sejak pertama kali aku berkenalan dengan Kenta.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
