
Hari Pertama Sekolah.
"Mama sama Papa nggak marah, kan, aku pakai uang untuk belikan orang sepatu? Aku nggak bilang itu pinjaman meski dia bilang akan balikin uangku tapi aku nggak yakin dia bisa balikin," kata Fajar ketika mereka sarapan dengan perasaan tidak enak pada orang tuanya.
Mia tersenyum kepada putra sulungnya. "Jumlah yang besar tapi kalau keadaannya begitu..."
Apa yang terjadi kemarin memang cukup mengejutkan, Mia sendiri ketika pertama mendengarnya sampai tak tahu harus merespon bagaimana....
"Aamiin Ya Rabb," seru Mia dan Rahil serempak lalu terkekeh.
"Sudah, ayo, sarapan, biar nggak telat," perintah Rahil mengingatkan kedua putranya.
"Siap," jawab Fajar dan Zefa serentak.
Mereka pun segera menghabiskan sarapannya, kemudian berangkat sekolah dengan diantarkan oleh Rahil.
"Have fun, kalian," ucap Rahil sebelum pergi meninggalkan kedua putranya di depan gerbang sekolah.
Fajar dan Zefa melambai sebelum melangkah memasuki gerbang sekolah.
"Yo, kalian!" Tiba-tiba seorang gadis menyeruak di antara keduanya seraya menepuk bahu masing-masing.
"Dih, Mbak Caca. Jalan masih lebar juga," protes Zefa dengan bibir mengerucut.
"Dih, Zefa. Pagi-pagi ngomel kayak soang, entar gantengmu luntur. Kalau ada yang sulit, kenapa cari yang mudah?" sahut Caca, sahabat Bianca sedari PAUD yang selalu satu sekolah juga hingga SMA ini. Ia paling suka menggoda Zefa.
"Dih, mana ada seorang Huzefa Izyan Aditya gantengnya bisa luntur?" kata Zefa jemawa.
"Dih, kata Grandpa ditonjok juga luntur, iya, kan, Yip? Mau coba?" Caca tak mau kalah. "Bianca tak ada, masih ada Satya sebagai penggantinya."
Zefa langsung mendengkus. Di antara semua anak cucu keturunan grandpanya, memang cuma kakaknya Bianca dan sepupunya Satya yang sedari kecil punya pukulan maut. "Mana ada orang baku hantam pakai stuntman?"
Fajar yang ada bersama mereka hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Ada nama adik perempuannya disebut, ia jadi merasa rindu. Jika ada Bianca, pasti lebih ramai dan ricuh.
"Ada, dong."
"Nggak ada "
"Ada."
"Nggak ada."
Begitu terus hingga mereka bertiga sampai di kelas masing-masing. Kebetulan hanya Fajar yang berbeda kelas. Lagi-lagi, jika Bianca masih ada, ia yang satu kelas, sedangkan Zefa sekelas dengan Caca.
"Jar," panggil Diana, teman sekelas yang duduknya jauh di sudut lain tepat ketika Fajar duduk di bangkunya.
Fajar mendongak. "Kenapa, Di?"
"Caca sama Zefa pacaran?"
"Astagfirullah. Kok ngomong gitu?" tanya Fajar kaget mengingat seluruh angkatannya tahu bahwa Zefa adiknya dan usianya jauh di bawah mereka. Bisa sekolah satu angkatan karena Zefa loncat kelas ketika SD. Normalnya Zefa masihlah SMP. Begitupun riwayatnya bisa satu angkatan dengan Bianca.
"Ya, akrab gitu."
Fajar menatap Diana. "Kamu suka Zefa?" tembaknya seketika. "Lupakan. Masih kecil. Dia dapat tinggi aja."
"Siapa yang suka? Tanya aja kok. Kalau Mas Abhi sih iya. Apa kabar dia?"
"Alhamdulillah baik."
"Kuliah di mana?"
"AAU."
Kedua alis Diana mencuat. "AAU? Apaan? Nggak pernah dengar kampus itu?"
"Akademi Angkatan Udara," jawab Fajar kalem.
Kali ini kedua mata Diana melebar. "Jadi tentara gitu?"
Fajar mengangguk.
"Wah, keren. Minta kontaknya dong? Akun medsosnya dikunci. Masa aku udah follow nggak ditanggapi juga," pinta Diana setengah merajuk.
"Nggak bisa."
"Pelit! Eh, kamu dapat salam dari Jena," katanya sebelum pergi.
"Hah?"
🌞🌞🌞
Sebelum pelajaran pertama dimulai, guru kelas memperkenalkan murid baru. Kedua alis Fajar terangkat ketika melihat Senja berdiri di depan kelas dan memperkenalkan diri. Tentu ia sudah tahu gadis itu mendaftar ke sekolahnya dan benar adanya, hanya saja ia tidak menyangka bahwa mereka berdua akan satu kelas.
"Kamu duduk di sebelah Fajar, ketua kelas ini. Fajar, tolong angkat tangannya," perintah sang guru.
Ketika Fajar mengangkat tangannya, tampak Senja terkejut sekaligus lega bisa satu kelas dengannya. Kemudian Senja pun berjalan menuju bangku kosong bekas tempat Bianca dulu.
"Ternyata sekelas. Terima kasih, ya?" ucap Senja tulus.
Fajar mengangguk sambil tersenyum. "Sama-sama." Berkata begitu, dengan cepat ia melirik ke arah sepatu yang dipakai Senja, yang ia belikan kemarin.
Tak ada yang keduanya bicarakan dan kelas pun dimulai.
"Jar!" panggil Luki pelan seraya menjejakkan sebelah kakinya hingga menyentuh kaki Fajar dari bawah meja.
Fajar menoleh ke belakang. "Apa?"
"Kenal?" tanya Luki sambil memberi isyarat gerakan kepala ke arah Senja.
Fajar mengangguk.
"Saudara?"
"Bukan."
Luki mendekatkan kepalanya ke punggung Fajar. "Hati-hati banyak yang cemburu nanti. Bianca aja banyak yang cemburu cuma dia terlalu polos untuk tahu dia dicemburui." Berkata begitu, ia terkekeh.
"Halah, ada-ada aja." Fajar menggelengkan kepalanya. Ia pun fokus lagi ke penjelasan guru di depan.
Sementara itu, Senja, di mejanya entah merasakan dag dig dug. Ia tak bisa memungkiri bahwa ia senang bisa satu kelas dengan orang yang dikenalnya meskipun belum lama. Sebab, dengan begitu ia tidak merasa sendirian. Tetapi, di sisi lain, entah mengapa aura Fajar terasa cukup kuat dan itu membuatnya sedikit minder.
Selama jam pelajaran, Senja tak bisa berkonsentrasi penuh pada pelajaran yang diberikan. Pikirannya melayang pada Fajar yang menurutnya bagai malaikat tak bersayap karena bersedia mengulurkan tangan tanpa syarat pada orang yang baru dikenal. Membantunya banyak hal, mulai dari sepatu, buku tulis dan pinjaman buku pelajaran milik sepupunya. Bahkan Garin memberikan seragam sekolahnya dulu. Pikirnya, ternyata ada sosok sesempurna itu bahkan keluarganya seperti keluar dari dongeng.
Antara belajar dan melamun, tanpa terasa sudah waktunya istirahat.
"Mau ke kantin?" tanya Fajar seraya beranjak dari kursinya sambil membawa bekal makanan.
Senja mengangguk ragu. "Boleh."
"Ayok, bareng," ajak Fajar yang berjalan keluar diikuti oleh Senja.
Tentu saja hal itu menjadi perhatian seluruh kelas. Biasanya murid perempuan yang akan mengajak sesama murid perempuan sekalipun ketua kelasnya laki-laki. Ketika Senja merasakan tatapan-tatapan ingin tahu, Fajar tampak biasa saja.
Sesampainya di kelas sebelah, Fajar berhenti dulu yang tentu saja diikuti oleh Senja.
"Kita tunggu adikku dulu," kata Fajar.
"Oh, oke." Senja mengangguk.
Tak lama keluarlah Zefa bersama Caca.
"Ini Caca dan adikku, Zefa." Fajar memperkenalkan keduanya. "Ini Senja."
Melihat sosok Fajar sudah membuatnya kagum, melihat foto dua sepupunya yang laki-laki sudah membuatnya terkejut dan kini ditambah Zefa, yang katanya adiknya itu. Ia sudah tak bisa berkata apa-apa lagi.
"Senja." Ia mengulurkan tangannya pada Zefa.
"Zefa," ucapnya seraya menangkupkan kedua tangannya lalu mengangkat kedua alisnya bertanya pada Fajar. "Ini yang... kemarin?"
Fajar mengangguk.
"Hai, aku Caca," sahutnya sembari menggenggam tangan Senja yang terlanjur terjulur. Ia tersenyum lebar yang dibalas oleh Senja dengan senyuman canggung. "Ke kantin, kan?"
Keempatnya pun melangkah bersama menuju kantin.
"Kalau belum ada teman, tiap jam istirahat bisa ke kantin sama aku. Kita jajan bareng kalau kamu nggak bawa bekal. Kalau Ayip sama Zefa sih selalu bawa bekal," kata Caca seraya melingkarkan tangannya pada lengan Senja.
"Oh. Oke." Senja mengangguk. Ia lega Caca tipe yang supel sehingga rasa canggungnya sedikit memudar. "Eh, Ayip siapa?"
"Ayip?" ulang Caca sesaat bingung. "oh, Fajar. Aku memanggilnya Ayip sejak jaman PAUD dulu."
"Kalian sudah berteman dari PAUD?" Tanpa sadar Senja memekik kecil.
Caca mengangguk. "Eh, iya."
"Wah, jarang ada, lho, yang begitu," komentar Senja takjub.
Caca mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh. Lalu ia pun bercerita dan bertanya banyak hal padanya dalam perjalanan ke kantin, sesekali Zefa menyahut. Dan sesampainya di kantin, Senja diseret oleh Caca untuk memilih makanan dan minuman. Sedangkan Fajar dan Zefa mencari tempat duduk.
🌞🌞🌞
Sidoarjo, 11-07-2023
Assalamu'alaikum, yuhuuuu apa kabar. Ayip datang lagi kali ini bersama Adek Zefa dan Caca. Ada yang kangen?
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
