
Setelah dua hari berlalu, Zarra masih belum bisa melupakan kejadian memalukan tersebut. Zarra bingung, disatu sisi dia tidak perlu merasa bersalah mengingat yang memulai adalah pemuda itu dengan sengaja muncul secara tiba-tiba dari balik dinding. Disisi lain Zarra merasa perlu untuk meminta maaf karena telah memberikan pukulan menyakitkan pada orang asing hanya karena terkejut. Zarra mengacak-ngacak rambutnya frustasi, menyesal telah melakukan tindakan refleks tersebut.
"Kau seharusnya meminta maaf, bukannya kabur seperti itu," omel Gita untuk yang kesekian kalinya.
Zarra tahu itu, dia sadar harus meminta maaf, tapi jangankan meminta maaf, untuk bertemu kembali saja Zarra merasa berat. Malu dan takut menyatu menjadi satu dan Zarra tidak sanggup untuk menghadapi keduanya secara bersamaan. Bagaimana jika pemuda itu marah kepadanya? Zarra tidak bisa membayangkan konsekuensi yang akan dirinya terima.
Gita melambaikan tangannya kala Zarra telah tiba di ruangan ujiannya. Ada perasaan tidak rela ketika sahabatnya itu perlahan-lahan menjauhinya, hatinya semakin tidak karuan seperti dua hari belakangan yang dilanda resah gelisah karena alasan yang sama. Setelah menghela nafas berat dengan bahu yang menurun pasrah, Zarra berbalik dan secara sekilas dia membaca kertas yang tertempel di pintu ruang ujian tersebut, Ruang 05, kelas IPA 1.
Sistem ruangan ujian di sekolah mereka terbilang cukup unik. Didalam satu ruangan ujian, terdapat tiga tingkatan kelas sekaligus. Kelas 10,11, dan 12 disatukan menjadi satu. Misalnya kelas 10 IPA 1 dari nomor absen 1-10 akan disatukan pula dengan kelas 11 IPA 1 serta 12 IPA 1 sebanyak 10 orang juga hingga dalam satu ruangan berjumlah 30 murid. Bukan hanya kelas IPA, kelas IPS pun diterapkan seperti itu juga. Karena sistem yang seperti itulah mengapa badan Zarra kini dibuat panas dingin. Kepalanya terus memikirkan kemungkinan beberapa orang yang ada diruangan ini pasti mengetahui atau menonton secara langsung kejadian dua hari yang lalu itu.
Zarra meringis, setelah menggelengkan kepala Zarra pun memantapkan langkah untuk memasuki ruangan ujiannya. Karena namanya berawalan huruf A, Azarra, otomatis dirinya ditempatkan diarea depan.
Untuk memantapkan pencariannya, dilihatnya kembali nomor ujiannya, 008. Zarra mengangguk lalu membaca satu persatu nomor yang tertempel di atas meja dan benar saja, Zarra ditempatkan di barisan depan dan beruntung posisinya sedikit jauh dari meja pengawas. Syukurlah.
Langsung saja Zarra menduduki bangkunya lalu mengeluarkan peralatan ujian seperti pensil, penghapus, dan papan ujian. Sambil menunggu bel masuk berbunyi, Zarra membaca ulang catatan yang telah dia foto di ponselnya. Sesekali ia bergumam sambil memejamkan mata demi mengingat hal-hal penting yang mungkin akan keluar. Saat merasakan kehadiran seseorang yang akan menjadi teman sebangkunya, Zarra hanya melirik sebentar lalu kembali menghapal. Untuk saat ini, Zarra berhasil melupakan kecemasannya dan fokus pada ujian.
Sampai dimana bahunya tiba-tiba ditepuk oleh seseorang dibelakangnya. Zarra lantas menoleh dan menemukan teman sekelasnya, Gema.
"Ada peruncing?" tanya Gema.
Zarra menganggukkan kepalanya, segera dia mengambil peruncing miliknya dari dalam tas lalu menyodorkan benda tersebut pada Gema. Setelahnya Zarra memutarkan badannya kedepan dan kembali mengulang materi.
Saat bel berbunyi, beberapa saat kemudian guru pengawas pun memasuki ruangan. Setelah menyuruh seluruh murid untuk menyimpan buku, ponsel dan benda lain yang bisa melakukan kecurangan, lembar jawaban serta lembar soal pun akhirnya dibagikan.
Zarra berbalik kebelakang lagi agar bisa menyodorkan lembaran-lembaran tersebut kepada Gema sambil meminta kembali peruncing pensil miliknya. Namun bukannya wajah Gema, malah wajah pemuda lain yang hadir di penglihatannya. Zarra mengernyit sesaat sebelum kelopak matanya membola lebar saat akhirnya mengenali wajah tersebut.
Matanya mengerjap beberapa kali demi memastikan penglihatannya ini salah atau benar. Jika pun harapannya adalah matanya ini salah lihat, tetapi sayangnya yang ada di matanya saat ini memang pemuda yang teramat dirinya hindari, pemuda kantin yang telah dirinya tampar. Badannya menegang seketika, kepalanya seakan buntu tiba-tiba. Perasaan campur aduknya kembali.
'Kenapa mereka bertukar bangku begitu,' pikir Zarra saat sadar bahwa Gema kini duduk disebelah pemuda itu.
Secepat kilat Zarra kembali membalikkan badan kedepan. Tangannya langsung tergenggam satu sama lain, apalagi setelah Zarra menyadari bahwa pemuda itu tengah tersenyum lebar kepadanya seolah-olah memberitahunya bahwa dia tidak lupa dan mengenali Zarra.
Mencoba mengabaikan, Zarra lekas memulai ujiannya dengan kepala yang memikirkan banyak hal. Dia mencoba fokus dengan susah payah. Namun sepertinya pemuda dibelakangnya tidak berniat untuk membiarkan Zarra tenang. Karena setelah itu dia menepuk pelan bahu Zarra bermaksud untuk memanggilnya kembali. Zarra inginnya tidak berbalik tapi karena tepukan itu tidak kunjung berhenti, mau tidak mau Zarra harus menoleh setelah melihat pengawas yang sedang sibuk menulis sesuatu.
Mata Zarra langsung terfokus pasa pensil yang tersodor kepadanya, pensil baru yang belum di raut. Zarra memberikan tatapan bertanya-tanya kepada pemuda tersebut.
"Ayo tukaran pensil," bisik pemuda itu padanya.
Zarra melihat pensilnya sendiri lalu diliriknya lagi pensil pemuda tersebut. "Pensil ku sudah berkali-kali di raut," bisik Zarra balik sambil terheran-heran. Entah apa yang pemuda itu rencanakan. Jika ingin mencari pensil yang bagus, kedua pensil milik mereka memiliki merek yang sama dan sudah pasti kualitasnya pun sama. Perbedaanya hanya pada ukurannya saja, punya Zarra sudah beberapa kali di raut sedangkan milik pemuda itu masih baru.
Pemuda itu menggelengkan kepalanya. "Tidak masalah, aku hanya ingin pensilmu."
Tanpa sadar Zarra mengernyitkan dahinya. "Tidak mau," katanya lalu berbalik. Walaupun Zarra akan untung mendapatkan pensil baru, dia tetap tidak bisa menerima permintaan pemuda itu. Apalagi dia adalah orang yang memiliki sangkut paut dengan kejadian memalukan kemarin.
Kali ini bukan tepukan yang diterimanya, Zarra malah merasakan pensil baru tersebut tengah mendorong-dorong pelan bahunya dan itu sangat mengganggu konsentrasinya. Zarra dibuat menahan emosi ditengah ujian ini. Dia mendengar suara bisikan lagi setelahnya.
"Aku akan melakukan ini terus menerus jika kau tidak ingin bertukar pensil denganku."
'Pemuda aneh,' batinnya merasa ada yang salah dengan pemikiran pemuda tersebut.
Akhirnya demi ketenangan jiwa dan raganya, Zarra memutuskan untuk menerima permintaan aneh tersebut. Dengan gerakan cepat Zarra mengambil pensil baru itu dan meletakkan pensil miliknya keatas meja pemuda tersebut. Saat ingin meminta peruncing pensil pada Gema, gerakan Zarra terhenti ketika melihat pensil baru tersebut entah sejak kapan sudah diraut secara sempurna. Akhirnya Zarra mengurungkan niatnya untuk menoleh pada Gema. Zarra juga tidak tahu ekskresi apa yang pemuda itu tunjukkan setelahnya, karena Zarra hanya ingin dirinya kembali fokus pada ujian. Untungnya pemuda itu tidak lagi menganggunya sampai ujian pertamanya ini berakhir.
Tbc
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
