
Penyihir yang disebut namanya bergegas mendekat. Mata mereka yang secokelat tanah, saling berseborok sebelum dia menyapa dengan nada ramah. "Kak James. Apa yang bisa kubantu?"
"Mereka lemah," ucap James tanpa basa-basi. "Seorang manusia saja dapat membunuh keenamnya dalam waktu kurang dari satu jam. Tambah latihan mereka."
Ekspresi Mark seketika memucat. Dia melirik sejenak ke arah adik-adik tiri mereka yang sudah bergelimpangan dengan luka bakar di beberapa tempat sebelum bergumam pelan. "Mereka masih terlalu kecil …."
Karya ini dilindungi oleh Undang Undang Hak Cipta no. 28 Tahun 2014. Bagi pelanggar akan diproses sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.
Secercah cahaya pagi hari menyinari deretan bendera berwarna hitam dengan simbol bintang lima titik di dalam lingkaran yang berwarna merah darah, terpancang di jalan menuju Istana Puerro. Bangunan megah bertingkat yang dikelilingi halaman sangat luas itu masih tampak sangat gagah walau sudah berganti kepemimpinan.
Berbeda dengan era sebelumnya, di mana setiap sudut istana dijaga oleh para tentara berzirah yang memakai lambang kepala singa dengan latar biru, kini, di bawah kekuasaan Raja Ainsworth, tempat itu dipenuhi oleh para penyihir berambut merah berbagai usia dengan jubah panjang berwarna hijau gelap, memakai simbol serupa dengan bendera mereka. Di antara mereka, terlihat seorang pria berkisar dua puluh tiga tahun dengan bekas luka cakaran pada pipi kirinya, berjalan melintasi lapangan tanpa rumput yang terletak di tengah bangunan berbentuk U tersebut.
Dia berhenti sejenak kala melihat enam orang penyihir berusia sekitar sepuluh hingga dua belas tahun, laki-laki dan perempuan, sedang melakukan sparing berpasang-pasangan. Mereka berusaha saling menjatuhkan. Rapalan mantra dan cahaya sihir berkelebat silih berganti yang kemudian disusul dengan jerit kesakitan.
James mendengkus pelan kala melihat kemampuan adik-adik tirinya yang masih jauh dari kata cukup. Dia sepertinya harus menambah latihan mereka. Pria itu melirik ke arah pemuda berkisar enam belas tahun yang sedari tadi mengawasi latihan, kemudian berseru memanggilnya. "Mark!"
Penyihir yang disebut namanya bergegas mendekat. Mata mereka yang secokelat tanah, saling berseborok sebelum dia menyapa dengan nada ramah. "Kak James. Apa yang bisa kubantu?"
"Mereka lemah," ucap James tanpa basa-basi. "Seorang manusia saja dapat membunuh keenamnya dalam waktu kurang dari satu jam. Tambah latihan mereka."
Ekspresi Mark seketika memucat. Dia melirik sejenak ke arah adik-adik tiri mereka yang sudah bergelimpangan dengan luka bakar di beberapa tempat sebelum bergumam pelan. "Mereka masih terlalu kecil …."
"Kematian tidak memilih usia," balas James sambil melanjutkan langkahnya. "Tambah latihan mereka hingga senja atau kau akan kehilangan mereka."
"Baik, Kak," ucap Mark. Dia menundukkan kepala sejenak, sebagai tanda hormat. Pemuda itu membiarkan kakak tertuanya berlalu terlebih dahulu sebelum dia kembali ke tempat latihan dan memberi perintah. "Bangkit berdiri! Siapa bilang latihan sudah selesai! Ulangi lagi!"
*****
Lorong terbelah tiga, ke sisi selatan, barat, juga timur saat James memasuki istana. Pria itu mengabaikan dua orang manusia berjanggut, berompi putih dengan pedang menyerupai sabit, yang menjaga lorong ke daerah timur ataupun kedua adiknya yang mengawasi pintu ke bagian barat dan memutuskan untuk berjalan lurus ke pintu raksasa yang berada di hadapannya dan membiarkan dua orang penjaga lainnya membukakan benda berat itu.
James mengerang dalam hati. Semakin banyak tentara impor yang berjaga di dalam istana ….
Namun, James terus menapaki lantai berlapis kilauan emas itu, mengabaikan hiasan-hiasan gantung yang menampilkan berbagai lukisan mengenai iblis juga penyiksaan para manusia, di sepanjang sisi kanan juga kiri dinding.
Tiba-tiba sosok seorang perempuan berumur di awal empat puluhan melintas sambil membawa nampan berisi makanan. Wanita itu terlihat sedang hamil tua. Dia memakai gaun sederhana, hitam dengan celemek putih yang terikat pada pinggang. Gurat-gurat letih menodai kulitnya yang pucat, sedangkan beberapa helai rambutnya yang pirang mencuat keluar dari kerudung putih khas pelayan yang menutupi sebagian kepalanya.
Mata James melebar kala dia mengenali pelayan yang berpapasan dengannya. Pria itu melangkah lebih cepat sambil berkata, "Ibu, biar kubantu."
Namun, pelayan itu tidak menjawab. Dia menatap James dengan pandangan penuh kebencian sebelum membalikkan tubuh kemudian bergegas masuk ke ruang makan khusus raja di sisi kiri untuk meninggalkan putranya yang seketika mematung.
James menatap pintu yang tertutup keras di hadapannya dengan sendu. Namun, dalam hitungan detik dia mengganti kembali ekspresinya menjadi dingin dan berjalan menuju sebuah pintu raksasa bercat merah yang menjadi tujuan awal pria itu.
James berhenti sejenak di depan pintu untuk merapikan jaket yang dia kenakan, kemudian pria itu mengangkat tinggi kepalanya sebelum membuka pintu menuju aula istana dengan kedua tangannya.
*****
Sebuah karpet merah megah tergelar dari pintu masuk hingga menuju sisi podium, tempat di mana kursi emas kebesaran Raja Ainsworth berada. Dengan mahkota emas juga jubah semerah darah yang menutupi pakaian serba hitamnya, penyihir tua berjanggut putih lebat itu terlihat …. salah tempat.
Raja Ainsworth lebih mirip seperti sesosok mayat yang dipaksakan untuk terus hidup. Kerutan-kerutan pada sekujur kulit pucatnya yang membalut tubuh pria tua yang kini sedang menyeringai dengan ekspresi seorang psikopat, menambah efek tidak manusiawi pada sang penguasa Kerajaan Puerro.
"James! Akhirnya kau datang! Kemarilah!"
Sapaan Raja Ainsworth seketika membuyarkan lamunan James. Dia segera melangkah menyusuri karpet untuk mendekat, sedangkan sudut matanya melirik sejenak ke arah pria berkisar empat puluh tahunan yang sedari tadi berdiri di dekat singgasana.
Laki-laki berambut merah itu memakai jubah hitam berlengan panjang yang menjuntai hingga lutut untuk menutupi pakaian cokelatnya. Sebuah kristal merah berpedar pada puncak tongkat panjang yang dia genggam. Dan, sebuah topeng hitam yang terbuat dari kain, menutupi hampir seluruh wajah, kecuali bagian bibir, sang penasihat Kerajaan Puerro.
Papa ….
Namun, James tidak menyapa Clayton, sang ayah. Pandangan pria itu kini beralih ke laki-laki tua berkacamata yang duduk di kursi kayu. Rasa kesal langsung mengisi hatinya. Si tua Federick ….
Entah mengapa, James tidak pernah menyukai laki-laki beruban itu. Mungkin karena janggutnya berbentuk seperti kambing dan kilat licik dari mata birunya, atau mungkin juga karena dialah penyebab semakin banyaknya manusia asing yang berada dalam istana.
James berlutut di depan tangga tiga tingkat untuk menuju podium dan menundukkan kepala. "Yang Mulia, saya kembali."
"Katakan, apakah persiapan upacara telah selesai?"
Aroma amis darah dan bau bangkai secara samar tercium dari tubuh Raja Ainsworth. James berusaha untuk tidak mengerutkan hidungnya kala dia menjawab, " Lima tonggak pengorbanan manusia telah dipersiapkan secara tersembunyi sesuai dengan titik lima bintang sihir yang tersebar di hutan sekeliling Ibu Kota Puerro. Kita tinggal menunggu para gadis."
"Itu berita bagus." Suara parau Federick yang kental dengan logat asing, membalas ucapan James. "Menurut pengamatan saya, ukuran bulan akan mencapai titik optimal dua minggu lagi. Kami para ilmuwan di Negara Claxis, memercayai bahwa ada hubungan positif antara kegilaan pada otak manusia dengan posisi bulan …, begitu pula dengan unsur-unsur magis yang tidak dapat kami jelaskan menurut ilmu pengetahuan.
Sang raja memukul sandaran tangan pada kursinya sambil tergelak. "Itu benar …. Setiap seratus tahun sekali, negara ini akan mengalami fenomena supermoon, di mana bulan menjadi lebih besar hingga mencapai tiga kali dari ukuran normal dan memancarkan cahaya semerah darah. Pada saat itu, kekuatan sihirku pun akan mencapai maksimal dan aku dapat meregenerasi kulit tuaku ini."
"Saya sangat tertarik untuk melihat keajaiban itu, Yang Mulia," balas Federick sebelum keduanya kembali tertawa.
James sama seperti ayahnya, mereka sama sekali tidak berkomentar. Pria itu tetap menunduk, menatap bayangannya sendiri yang terpantul dari lantai emas yang menutupi seluruh permukaan istana.
"Bagaimana dengan pengumpulan pajak?" Pertanyaan lain dari Raja Ainsworth membuat James kembali mendongak.
James mencuri pandang kepada ayahnya, meminta persetujuan untuk menjawab yang dibalas anggukan kecil. "Kelompok tujuh yang bertugas mengumpulkan pajak belum kembali sejak kemarin …."
"Apa maksudmu belum kembali?!" Raut wajah Raja Ainsworth seketika berubah murka. Dia bangkit berdiri sambil mengentakkan kaki. "Apa kalian berniat berkhianat?!"
"Yang Mulia!" Clayton segera berlutut di sebelah putranya yang bahkan belum sempat berkata-kata. Pria bertopeng itu ikut menunduk kala berujar, "Tidak mungkin kami berniat melakukan kebodohan seperti itu."
"Benarkah?" Suara Raja Ainsworth berubah menjadi tenang. Dia mengamati ayah dan anak yang bersujud di depannya sejenak sebelum tiba-tiba menyeringai. "Ah, ya …. Aku dapat membunuh para pelayan itu …. Aku akan menguliti dan menyula mereka hidup-hidup …."
Tubuh James seketika gemetar akibat amarah mengisi hatinya. Pelayan-pelayan itu … bukan hanya sekadar manusia yang bekerja di istana, tetapi mereka juga adalah gundik dari penasihat Kerajaan Puerro, yang berarti para ibu dari semua penyihir yang berada di sini.
"Yang Mulia …." Federick tiba-tiba berlutut di sebelah James. Pria pucat berpakaian serba putih itu menunduk dan melanjutkan perkataannya. "Bagaimana bisa kami saja yang membantu pengumpulan pajak? Tentu para penyihir sudah terlalu repot mempersiapkan acara spesial tahun ini."
"Federick, berdirilah," perintah Raja Ainsworth dengan nada yang lebih ramah. "Kau telah datang dari Negara Claxis, bersedia bersekutu dengan kami, dan bahkan membawa bala bantuan untuk mengamankan negara ini dari para pemberontak …. Jasamu sudah lebih dari cukup."
Jasa apa?! Para bandit yang dibawa oleh laki-laki asing itu kerjanya hanya bersenang-senang dan merusak! Tetap saja para penyihir yang harus bekera keras!
James hampir mengeluarkan kalimat keberatan. Namun, jari Clayton yang menyentuh sekilas tangan kirinya yang terkepal menyentuh lantai, membuat dia menahan diri.
"Yang Mulia, biarkan saya yang mengurus semuanya," bujuk Clayton sambil menengadahkan kepala. "Mereka mungkin terlambat karena hujan …."
Raut wajah Raja Ainsworth kembali berubah menjadi murka sebelum membentak pria itu. "Aku tidak mau mendengar alasan! Apabila aku belum mendapatkan upetiku hingga minggu depan, maka akan ada satu pelayan yang akan mati! Kalian dengar itu?!"
"Kami mengerti." Clayton merunduk lebih dalam lagi. "Izinkan saya mengurusnya sekarang …."
"Pergilah! Jangan tunjukkan wajah tidak berguna kalian hingga kalian berhasil mendapatkan uangku!"
Ayah dan anak itu bangkit. Mereka memberi hormat dengan menundukkan kepala, lalu berjalan mundur sebelum ucapan Raja Ainsworth membuat keduanya berhenti sejenak.
"Ingat, Perayaan Bulan Darah akan berlangsung dua minggu lagi. Jangan sampai ada yang menggagalkan acara ini."
"Baik, Yang Mulia," ucap keduanya serempak sebelum berbalik dan keluar dari ruangan itu.
*****
Ketukan ujung tongkat terdengar berirama kala Clayton--dengan James berjalan mengiringi--melangkah menuju bagian barat istana, di mana ruang kerja miliknya berada. Mereka berpapasan dengan beberapa pelayan perempuan yang segera menundukkan kepala kemudian menyingkir. Sama seperti biasa, sebagian besar dari gundik sang penasihat istana dalam keadaan mengandung.
James tidak dapat menahan diri untuk melirik. Tidak ada reaksi apa pun dari Clayton. Sang ayah bahkan tidak berniat menoleh atau membalas penghormatan yang diberikan para wanita itu, sangat berbeda dengan perlakuannya kepada anak-anak mereka.
Clayton berhenti di depan pintu kayu satu daun dan membukanya. Dia masuk terlebih dahulu sebelum James ikut menyusul.
Aroma menyengat obat-obatan tercium dari barisan botol-botol ramuan yang berada di atas meja, sudut ruangan. Namun, keduanya seperti sudah terbiasa dengan bau menusuk tersebut. Clayton terus melangkah menuju meja kayu penuh buku yang berada di tengah ruangan dan diikuti oleh James, setelah pria yang lebih muda itu menutup pintu.
Pandangan James masih menatap beberapa rak kayu penuh buku-buku tebal kala bentakan dari sang ayah terdengar. "Bukankah aku sudah mengatakan bahwa kau harus mengontrol emosimu?!"
James seketika menoleh. Dia mendapati ayahnya sudah meletakkan tongkat sihirnya di sisi meja dan kini berdiri di dekat kursi kerja kayunya, dengan tatapan kesal.
"Raja sialan itu memanfaatkan kita!" balas James ikut meninggikan suara. "Dia bahkan tidak memedulikan nasib para penyihir yang diutus keluar ista-"
"Diam!" Suara keras terdengar kala Clayton memukul meja miliknya. Tubuh pria itu bahkan terlihat bergetar akibat menahan amarah dan membuat James seketika menundukkan kepala.
Hening beberapa saat. Sebelum helaan napas panjang dari Clayton terdengar. "James, kau bertanggung jawab akan keselamatan adik-adikmu …."
"Aku tidak sanggup! Bagamana caranya aku melakukannya apabila si gila itu menganakemaskan manusia dari negeri asing dan terus mengirim para penyihir ke luar istana?!" Emosi James kembali membuncah. Dia kini membalas tatapan ayahnya dengan lebih berani dan berseru nyaring. "Sudah berapa banyak yang tewas?! Sudah be-"
"Maka berlatihlah lebih giat!" Clayton balas berteriak. Mereka saling mendelik, sebelum pria itu duduk di kursi dengan kasar. Butuh waktu cukup lama untuk keduanya menenangkan diri, hingga akhirnya dia berhasil melanjutkan perkataannya dengan nada yang lebih tenang. "Kelompok tujuh belum kembali …."
James tidak menjawab. Mereka sama-sama tahu apa artinya itu. Ras Gwyllgi, sang penghuni Hutan Kabur, manusia bermata emas yang dapat berubah wujud menjadi anjing hitam raksasa, kembali telah membunuh keturunan Clayton.
"Aku tidak mengerti …." James bergumam pelan. "Mereka seharusnya merupakan sekutu kita …."
"Keadaan berubah," ucap Clayton singkat. "Mereka kini merupakan ancaman untuk kita."
Sinar matahari yang menembus kaca jendela ruangan membuat bekas luka bakar pada wajah Clayton yang tidak tertutup sepenuhnya, terlihat di tepi topeng hitam yang hanya menutupi hingga ujung hidung. James berusaha tidak memandangnya. Dia tahu bahwa sang ayah membenci orang-orang yang mengungkit penyebab luka itu.
Helaan napas panjang kembali terdengar dari Clayton kala dia memberikan perintah. "James, pergi dan selidikilah di mana keempat adikmu menghilang. Bawa pulang setoran pajak milik raja kita. Dan, apabila kau berselisih jalan dengan ras Gwyllgi, bunuh mereka. Mereka yang telah mengingkari perjanjian damai dan sudah waktunya kita balas menyerang."
"Aku akan membawa Mark," ucap James. Dia berbalik dan berjalan pergi. Namun, Clayton bangkit berdiri kemudian memanggilnya.
"James …."
Pria yang lebih muda itu berbalik dan menemukan ekspresi gundah dari ayahnya. Clayton terlihat cukup kesulitan untuk bicara sebelum akhirnya dia berhasil mengungkapkan keinginannya.
"Lilian …. Apabila kau berhasil menemukannya, bawa dia pulang."
Sebuah pengertian dirasakan oleh James. Lilian ..., anak dari Jean, satu-satunya perempuan yang dicintai oleh ayahnya. Meski Clayton mengasihi semua anak-anaknya. Namun, mata pria tersebut selalu menjadi lebih lembut kala memandang adiknya yang satu itu.
"Tentu," ucap James tanpa banyak berpikir. "Hidup atau mati, aku akan membawanya pulang."
"Terima kasih …." Suara Clayton terdengar sedikit bergetar. Namun, pria itu tetap berdiri tegak dengan kepala mendongak, menatap putra sulungnya.
James mengangguk kecil sebelum dia kembali memutar kaki, kemudian keluar dari ruangan.
16 Maret 2022
Benitobonita
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
