2 - Miss Lawyer’s FAKE Husband

0
0
Deskripsi

"Yusuf, apa kamu punya pacar?"



 

"Eh?" Yusuf melongo. Dari cara pria itu menatap majikannya, kemungkinan besar dia mengira Wita sedang berhalusinasi akibat efek obat. 



 

Namun, Wita tidak peduli. Dia tidak lagi memiliki waktu untuk mencari laki-laki yang tepat untuk dilamarnya dan pria di depannya tidaklah terlalu buruk. 



 

"Istri? Tunangan? Mantan istri? Anak haram?" berondong Wita tanpa jeda. 


 

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Di tengah hiruk pikuk Kota Jakarta yang terkenal akan kemacetannya, Wita menghabiskan waktu dengan memeriksa kontak yang tersimpan pada gawainya. Dua ribu tiga puluh empat nomor, di mana sembilan ratus dua dia percaya sebagai kaum laki-laki, dan tiga puluh sembilan di antaranya lajang. Namun, hampir satu jam berlalu dan gadis itu belum juga berhasil menemukan calon suami yang bisa dinikahi secara instan.  


 

Beda agama, perokok, playboy kardus, duda lima anak, pengangguran, bau badan, tukang morot ..... "Argh! Kenapa susah banget sih?!" Pekikan Wita sontak membuat Yusuf mengerem mendadak mobil yang sedang disetirnya dan menyebabkan kening gadis itu langsung mencium televisi kecil yang terpasang di sandaran kursi pengemudi.


 

"Aduh! Yusuf! Kenapa kamu ngerem mendadak?!" omel Wita sambil memijat pangkal hidungnya yang terasa ngilu.


 

"Ma-maaf, Mbak. Tadi Mbak jerit mendadak, saya jadi kaget. Mbak, enggak kenapa-kenapa?" tanya pria itu sambil memutar kepala, menatap majikannya. Namun, belum juga Wita menjawab, mata Yusuf mendadak melebar. Sang supir langsung membuka sabuk pengaman dan keluar dari mobil kemudian membuka pintu penumpang.


 

"Eh, kenapa? Kamu ngapain?" Wita memasang wajah kebingungan ketika si supir yang biasanya sopan, mendadak memaksa duduk di sebelahnya sehingga dia harus bergeser agar tubuh mereka tidak bersentuhan.


 

"I-itu, Mbak," jawab Yusuf tidak jelas. Pria itu dengan kecepatan tinggi menarik dua lembar tisu, memilinnya, kemudian menoleh ke arah majikannya dengan ekspresi pucat pasi. "Hi-hidung Mbak berdarah."


 

"Eh?" Wita mengangkat tangannya yang sedari tadi menutupi hidung dan dia memang menemukan bercak darah di tepi jari kelingkingnya.


 

"Mbak, angkat kepalanya, biar saya sumbat pakai tisu hidungnya," perintah Yusuf dengan nada sangat khawatir. "Darahnya agak banyak, apa perlu ke rumah sakit? Nanti potong gaji saya saja, Mbak."


 

Wita menurut. Dia memang masih merasa agak ngilu, tetapi tidak terlalu sakit. Wajah Yusuf sangat dekat ketika sang supir sedang mencoba menyumbat aliran darah dari hidungnya dan sebuah kesadaran mengetuk gadis itu.


 

Dia tidak terganggu dengan aroma tubuh Yusuf. Setelah diingat-ingat, supirnya ini memang tidak merokok dan sepertinya cukup menjaga kebersihan badan. Wita diam-diam melirik, mengamati pria itu. Wajahnya memang tidak jelek, satu agama, sopan, memang lebih muda ..., tapi itu bukan hal penting .....


 

Ketukan pada pintu dan dehaman rendah mengejutkan keduanya. Wita dan Yusuf langsung menoleh hanya untuk menemukan seorang polisi berkacamata hitam, sedang bersedekap dan mengamati mereka dengan wajah masam. "Bu, Pak, tolong jangan pacaran di sini. Mobil kalian selain menghalangi jalan, juga jadi tontonan orang-orang, sangat tidak pantas."


 

"Siapa yang pacaran?! Aduh!" Wita mengernyit kesakitan dan kembali mendongak untuk menghambat aliran darah yang bisa saja kembali mengucur. Hidung sialan!


 

"Pak, Bapak salah paham, kami enggak ngapa-ngapain." Yusuf ikut membantah. "Hidung Mbak Wita berdarah, jadi saya coba sumbat. Kami mau ke rumah sakit."


 

Alis kanan sang polisi terangkat naik, mungkin tidak percaya atau memang hanya sekadar ingin mencari masalah. Wita sebetulnya bisa melontarkan deretan protes kepada pria berseragam cokelat itu. Namun, kepalanya kini malah terasa pening dan dia lebih memilih untuk menutup mata.


 

"Maaf, ya, Pak." Suara Yusuf yang berusaha menenangkan sang petugas terdengar sayup-sayup pada pendengaran Wita. Betul juga, dia pun kurang tidur .... Semalam ada tiga kasus baru yang dia baca sampai subuh .... 


 

Ah, Keisha .... anak itu juga butuh ranjang bayi, botol susu, .....


 

"Pak, itu istrinya kenapa?"


 

Istri? Siapa istri? Istri siapa?


 

"Eh, Mbak?! Aduh, Pak! Tolong bantu! Pingsan! Mbak!"


 

Oh, iya .... sebelumnya harus ke capil .....


 

Kesadaran Wita hilang total dan gadis itu tidak lagi mendengar kegaduhan yang terjadi di sekitarnya. 


 

*****


 

Suara mesin berdetak stabil samar-samar masuk ke dalam pendengaran Wita. Gadis itu secara perlahan membuka mata dan mendapati langit-langit ruangan yang dicat putih. Dia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba mengorek ingatan terakhirnya.


 

"Mbak sudah bangun?" Suara familer Yusuf membuat Wita menoleh ke sisi kanan. Supirnya itu terlihat sedang duduk di sebuah kursi plastik tanpa sandaran dan membalas tatapannya dengan ekspresi lega. 


 

"Ini di mana?" tanya Wita lemah. Gadis itu mencoba menggerakkan tangan kirinya yang terasa sedikit kebas dan langsung menyadari bahwa sebuah selang infus tertanam pada punggung tangannya. Dia mendongak dan menyadari bahwa sudah setengah kantong habis terpakai.


 

"Di UGD Rumah Sakit, Mbak. Untung Pak Roni langsung bantu antar ke sini," jawab Yusuf. Wita bahkan dapat melihat gurat letih pada wajah supirnya itu. Apa dia pingsan cukup lama? Dan, siapa Pak Roni?


 

Wita ingin bertanya, tetapi dia merasa terlalu letih bahkan hanya untuk membuka mulut saja. Gadis itu akhirnya memutuskan tidak berkata apa-apa.


 

"Kita lagi nunggu kamar. Saya sudah pesankan ruang VIP. Tadi kata dokter, gula darah Mbak drop, kurang makan dan stres." Penjelasan panjang lebar dari Yusuf membuat kening Wita berkerut kebingungan. Sejak kapan bocah bau kencur itu jadi banyak bicara dan berani memutuskan sesuatu tanpa bertanya dulu kepadanya?


 

Bocah? Ah, bukannya dia sudah dua puluh lima tahun? Tidak pantas disebut bocah, bukan?


 

"Mbak?" Panggilan Yusuf membuyarkan percakapan imajinasi Wita. Gadis itu kembali menatap wajah supirnya dengan pandangan bertanya-tanya.


 

"Makan dulu, ya," ucap pria itu sambil menarik meja beroda yang berada di dekatnya. Dia lalu berdiri sambil menarik lepas plastik bening yang menutupi baki berisi nasi, sup, ayam rebus, dan puding.


 

Wangi sup ayam itu membuat Wita kembali bertanya-tanya, kapan terakhir kali dia makan? Sepertinya sudah lama sekali .... 


 

"Eh, mau saya bantu duduk?" 


 

Pada hari-hari lainnya, kemungkinan besar Wita akan melotot tajam ke arah supirnya yang telah menyebabkan dirinya masuk ke rumah sakit. Namun, hari ini berbeda. Bagaimanapun juga, hari ini dia akhirnya bisa bertemu dengan darah daging kakaknya, jadi kalau dia menampilkan sedikit kelemahan, itu bukanlah sebuah dosa, 'kan? 


 

Wita mengangguk kecil dan memakai lengan supirnya sebagai penopang agar posisi kepala dan punggungnya bisa lebih terangkat. Yusuf dengan cekatan juga langsung mengatur posisi bantal sehingga gadis itu merasa nyaman.


 

Wita menyuap nasinya dengan sangat perlahan. Pada kunyahan pertama, dia harus mengakui bahwa pingsannya dia bukan diakibatkan karena hidungnya yang berdarah, tetapi akibat dia lupa makan. Satu piring nasi beserta lauknya habis tanpa sisa, sebelum gadis itu akhirnya merasa lebih bertenaga.  


 

Helaan napas puas lepas dari bibir gadis itu sebelum dia menoleh ke arah supirnya yang sedari tadi berdiri salah tingkah di dekatnya. "Bilang ke pihak admin kalau saya batal menginap."


 

"Eh, bagaimana, Mbak?" tanya Yusuf dengan nada terkejut. 


 

"Saya sudah tidak apa-apa," jawab Wita singkat. "Dan, seandainya saya memutuskan menginap, memangnya gaji kamu cukup untuk bayarnya?"


 

Wajah Yusuf memucat seketika. Namun, pria itu sepertinya sudah memikirkan matang-matang keputusan yang dia ambil selagi majikannya pingsan, karena meski terlihat ketakutan, dia tidak juga beranjak dari situ. 


 

"Saya sudah tanya biayanya, Mbak. Tadi kata dokter paling lama Mbak harus rawat inap tiga hari." Yusuf berkata dengan suara agak tersendat-sendat, jelas pria itu tahu berapa biaya per hari sebuah kamar VIP di rumah sakit. "Sa-saya, sa-saya bisa bayarinnya, Mbak, ta-tapi saya kasbon gaji dua bulan ...."


 

Wita tidak lagi dapat menahan tawa. Dia terkekeh geli hingga membuat supirnya langsung terdiam kebingungan. 


 

"Yusuf, apa kamu punya pacar?"


 

"Eh?" Yusuf melongo. Dari cara pria itu menatap majikannya, kemungkinan besar dia mengira Wita sedang berhalusinasi akibat efek obat. 


 

Namun, Wita tidak peduli. Dia tidak lagi memiliki waktu untuk mencari laki-laki yang tepat untuk dilamarnya dan pria di depannya tidaklah terlalu buruk. 


 

"Istri? Tunangan? Mantan istri? Anak haram?" berondong Wita tanpa jeda. 


 

Meski dengan tampang bingung, Yusuf tetap merespons dengan menggelengkan kepala. Mereka saling bertatapan, sebelum pria itu berkata lambat-lambat. "Mbak, saya panggil dokter, ya? Saya khawatir Mbak demam."


 

Namun, Wita malah kembali tertawa. Entah mengapa gadis itu memang merasa sangat rileks. "Lima belas juta per bulan ...."


 

"Apa, Mbak?" Mata Yusuf kini benar-benar menunjukkan rasa khawatir saat melihat tingkah majikannya yang berbeda dari biasanya.


 

"Bayaranmu," jawab Wita tanpa malu-malu. "Besok kamu siapkan berkas-berkas yang dibutuhkan. Kita akan menikah lusa dan tiga hari lagi kamu pindah tinggal di apartemen saya sampai saya memutuskan untuk menceraikan kamu."


 

"Dokter!" Raungan Yusuf mengejutkan Wita juga seluruh penghuni di UGD. Pria itu berlari keluar bangsal dengan wajah sepucat mayat sambil terus berteriak, "Dokter! Tolong periksa majikan saya! Sekarang!"


 

Sialan, maki Wita dalam hati. Ini pertama kalinya dia melamar seseorang dan lihatlah, dia malah dianggap gila. Laki-laki memang brengsek!


 

Wita mengucapkan rentetan sumpah serapah ketika selusin perawat dan dokter menggeradak masuk dan melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap kesehatan mental juga fisiknya.  


 7 Oktober 2023

Wulan Benitobonita / Luna S. Winterheart

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 3 - Miss Lawyer’s FAKE Husband : Menikahi Supir Berondong
1
0
Lima juta rupiah! Wita mengumpat sambil meremas kwitansi bayaran rumah sakit hingga menjadi gumpalan kertas. Dia harus menghabiskan dua belas jam penuh untuk mengambil darah, pemeriksaan otak, jantung, bahkan urine!  Ekor mata gadis itu kembali menangkap bayangan Yusuf yang mengintip untuk kesekian kalinya dari spion mobil. Sopirnya terlihat merasa sangat bersalah terlebih ketika pihak rumah sakit menyatakan bahwa majikannya memiliki kesadaran penuh dan tidak dalam keadaan linglung ketika menyatakan lamaran.  “Apa?!” tanya Wita ketus setelah dia tidak tahan lagi untuk menutup mulutnya. Sekarang waktu tinggal dua hari untuk mencari laki-laki yang bersedia menikah dengannya. Dasar Wita bego! Bego! Bego! Masa, satu laki-laki pun enggak ada?!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan