15 - Aaric’s Bride : Pengantin sang Vampir - Fantasia Romansa

0
0
Deskripsi

"Bitch!" seru laki-laki terakhir yang menggunakan kalung emas, mengarahkan tinju ke wajah Evelyn. Namun, gadis itu mengelak, memasang kuda-kuda lalu menendang perut pemuda itu.

Belum sempat Evelyn berputar untuk menyerang laki-laki terakhir, dia merasa sakit luar biasa pada kepala bagian belakang. Jatuh berlutut, gadis itu memegang kepalanya, mengerang kesakitan.

Kedua matanya yang berair, melihat ke arah pemuda beranting yang menyeringai mengayun-ayunkan pipa besi ke arahnya.

"Gadis nakal perlu dihukum," gumam laki-laki itu terkekeh mengamati gadis yang merintih.

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia. 


Evelyn melangkah semakin cepat saat melihat taktiknya berhasil, langkah kaki pria yang menguntitnya terdengar jelas. Berbelok masuk ke dalam gang yang cukup gelap untuk menangkap basah pria itu, tanpa sadar dia menabrak salah seorang pemuda berambut cepak yang tengah berdiri.

"Wow, hati-hati,"  ucap pemuda itu mengangkat kedua tangan lalu mundur selangkah.

Terkejut, gadis itu mendongak ke arah lawan bicaranya dan berkata, "Ma-maaf."

"Hei, lihat, gadis itu." Terdengar suara sengau dari sisi dinding sebelah kanan.

Evelyn mengedarkan pandangan, tiga orang pemuda berpenampilan aneh sedang duduk pada tumpukan kotak-kotak kayu, menyeringai ke arahnya, beberapa kaleng bir bekas berserakan di sekitar mereka.

Pria cepak itu, tersenyum memamerkan gigi, kedua matanya meneliti tubuh Evelyn dengan rakus. "Tidak apa-apa, bagaimana kalau kita berkenalan? Siapa namamu, cantik?"

Merasa firasat bahaya, gadis itu melangkah mundur. Namun, ketiga kawanan pemuda itu sudah berjalan mengelilinginya.

"Minggir!" bentak Evelyn, berniat kembali ke jalan utama.

Tertawa kecil, pemuda beranting yang menghalangi jalan, berkata, "Galaknya."

Evelyn mendengar pemuda cepak di belakangnya mendekat, sebelum laki-laki itu sempat menyentuhnya, dia segera memutar tubuh lalu menendang lawan menggunakan kaki bagian samping hingga pemuda itu terdorong jatuh.

"Bitch!" seru laki-laki terakhir yang menggunakan kalung emas, mengarahkan tinju ke wajah Evelyn. Namun, gadis itu mengelak, memasang kuda-kuda lalu menendang perut pemuda itu.

Belum sempat Evelyn berputar untuk menyerang laki-laki terakhir, dia merasa sakit luar biasa pada kepala bagian belakang. Jatuh berlutut, gadis itu memegang kepalanya, mengerang kesakitan.

Kedua matanya yang berair, melihat ke arah pemuda beranting yang menyeringai mengayun-ayunkan pipa besi ke arahnya.

"Gadis nakal perlu dihukum," gumam laki-laki itu terkekeh mengamati gadis yang merintih.

*****

Napas Aaric memburu, dia mencium bau darah, seseorang terluka. Kedua mata merahnya yang disamarkan oleh lensa kontak berkilat marah ketika melihat empat orang pemuda mengerumuni Evelyn yang tidak berdaya.

Meraung keras, pria itu melesat lalu menghantam tubuh pemuda yang membawa pipa besi hingga punggung pemuda itu menabrak dinding bata.

Mencekik leher korbannya dengan tangan kanan, Aaric menoleh ke arah tiga laki-laki lainnya, pria itu menggeram, menunjukkan taring.

Gemetar melihat makhluk yang menyerang teman mereka, ketiga pemuda itu mundur hendak melarikan diri. Namun, Aaric tidak berniat melepaskan mereka.

Melempar tubuh yang menggelepar akibat kesulitan bernapas ke arah dinding hingga terdengar suara retak, Aaric menerjang pemuda lainnya hingga jatuh rebah ke atas tanah lalu memuntir leher laki-laki itu hingga patah.

*****

Evelyn berbaring dengan perut menempel di atas tanah, kepalanya terasa pusing akibat hantaman benda tumpul, dari pandangannya yang kabur dan kurangnya pencahayaan, dia melihat penguntitnya menyerang orang-orang yang menyakiti dia.

Tidak berapa lama gadis itu merasakan pria itu menggendong tubuhnya lalu melangkah menjauhi keempat pemuda yang tidak lagi bergerak di atas tanah.

Suara erangan kesakitan kembali keluar dari bibir Evelyn saat tubuhnya berayun.

*****

Tubuh Aaric gemetar menahan amarah, membunuh keempat pemuda itu belum dapat menenangkan hatinya. Gadis yang dia jaga selama ini, terluka hanya karena kecerobohannya sesaat.

Suara erangan Evelyn membuat pria itu tersadar dari khayalannya memutilasi tubuh-tubuh yang telah tidak bernyawa. Menatap sekeliling, dia memutuskan untuk melompati dinding dari satu tempat ke tempat lain hingga tiba pada apartemen mereka.

*****

Evelyn menutup kedua mata saat pria itu membawanya, merasa lemah dan tidak dapat melawan. Tubuh pria itu terasa hangat, dulu, dia pernah merasakan kehangatan seperti ini, sahabat masa kecilnya pernah memeluknya erat saat dia terluka.

Tanpa sadar, Evelyn merapatkan tubuh lebih dekat pada dada pria itu sebelum jatuh tertidur.

*****

Aaric membuka kamar milik Evelyn dan meletakkan gadis itu terbaring miring di atas ranjang lalu mengamati kepala Evelyn yang terluka. 

Pria itu kembali menggeram, menemukan benjolan dan sedikit darah yang mengalir keluar. Namun, aroma manis dari cairan merah yang terlihat juga amat memikat. 

Menelan ludah, Aaric memalingkan wajah, keinginan menjilat dan mencicipi darah gadis itu tiba-tiba muncul begitu saja.

Beranjak mengambil kain dan semangkok air, dia menahan napas lalu perlahan membersihkan luka pada kepala gadis itu, berulang kali Aaric terpaksa menghentikan kegiatannya karena rasa dahaga ingin merasakan darah muncul menggoda dirinya.

Akhirnya Aaric berhasil menyelesaikan tugasnya dengan menempelkan kain kasa yang telah dia tetesi dengan obat antiseptik pada kepala gadis itu dan mengikatnya dengan perban.

Aroma darah dan tubuh Evelyn sangat mengganggu dirinya, membuat dirinya bereaksi tidak wajar. Keinginan menusukkan taring pada kulit dan menyentuh tubuh gadis itu membuat jantungnya berdebar cepat.

Kedua mata pria itu menatap ke arah bibir Evelyn yang lembut, perlahan, dia menggunakan ibu jari untuk membelai bibir hangat gadis itu. Menarik napas dan menelan ludah, Aaric menggunakan jemarinya untuk merapikan rambut Evelyn sehingga leher jenjang putih gading gadis itu terlihat olehnya.

Menunduk, pria itu mengecup lalu menjilat kulit Evelyn, kedua taringnya telah melekat siap untuk menggigit hingga erangan tidak sadar gadis itu menghentikannya.

Terhentak, pria itu berdiri, napasnya tersengal menyadari kesalahan yang hampir dia lakukan.

"Sial!" Aaric menjambak rambutnya lalu melangkah mundur menjauhi Evelyn yang masih tertidur lalu memutuskan keluar kamar sebelum dia kembali melakukan hal yang akan dia sesali.

Kedua matanya tanpa sengaja melihat ke arah pintu ruang lukis yang kurang tertutup rapat, rasa penasaran pun timbul, melangkah dan mendorong perlahan pintu itu, dia masuk ke dalamnya.

Kedua mata pria itu melebar melihat lukisan dirinya berjajar, tergantung pada dinding ruangan. Berjalan lebih jauh, dia mendekati salah satu lukisan lalu mengamatinya. 

Evelyn mengingat dirinya dengan baik, struktur tulang, bahkan warna kulit, terlukiskan dengan baik oleh gadis itu. Namun, tidak dengan matanya, dalam goresan cat minyak yang terpampang di hadapannya, terlihat seorang pria yang tengah menatap balik dirinya dengan penuh kelembutan. 

Suatu hal yang tidak pernah dia lakukan, dia adalah monster penghisap darah, makhluk menjijikkan, dia bukan pria di dalam lukisan itu. Kenangan gadis itu bercampur oleh khayalan seorang anak kecil yang menginginkan kasih sayang.

Mematung, Aaric mengamati satu per satu lukisan yang menunjukkan kerinduan gadis itu terhadap dirinya.

*****

Mengerjapkan mata yang berkunang-kunang, Evelyn mendapati dirinya berada di dalam kamarnya sendiri. Kepala gadis itu masih terasa sakit dan kupingnya berdenging.

Menaikkan tangan, menyentuh kepala, dia merasakan balutan perban. Seseorang telah berbaik hati menolong dan mengobati dia. Ingatan gadis itu kembali akan kejadian sebelumnya. Si penguntit berubah menjadi seorang pahlawan.

Bangkit perlahan, gadis itu menjejakkan kaki yang telah tidak menggunakan alas pada lantai yang dingin. Mengatur napas lalu memejamkan mata sejenak, dia berdiri, rasa pusing tidak terlalu mengganggunya. 

Memutuskan untuk mencari si penyelamat, dia berjalan pelan menuju ke luar kamar.

*****

Aaric memasukan kedua tangan ke dalam kantong, mengutuk dirinya yang terlalu lama menghabiskan waktu di ruang lukis, dia memutar tubuh, hendak pergi meninggalkan gadis itu.

Gerakan Aaric terhenti saat aroma lembut mawar tercium olehnya dan kedua mata pria itu melebar saat pintu terbuka dan Evelyn menemukan dirinya.

*****

Gadis itu melangkah keluar dan perhatiannya terpusat pada ruang lukis, bayangan seseorang terlihat dari sela pintu yang tidak tertutup.

Berjalan perlahan, Evelyn mendorong pintu itu sehingga terbuka lebih lebar. Kedua mata biru gadis itu terbelalak melihat pria yang selalu mengisi mimpi-mimpinya, berdiri menatapnya terkejut.

Tubuh gadis itu gemetar, tidak tahu apakah yang terlihat olehnya merupakan halusinasi atau kenyataan. Menggunakan tangan kanan, Evelyn memegang pintu sebagai penopang tubuhnya.

"Aaric?" bisik Evelyn dengan bibir gemetar, menatap lekat pria di depannya. Pria itu sama persis seperti ingatannya, tidak bertambah tua sedikitpun, hanya kedua matanya tidak berwarna merah seperti kenangan gadis itu.

Aaric tidak menjawab, hanya berdiri mematung, mengawasi gadis itu.

"Aaric? Benarkah itu kau?" Kembali Evelyn bertanya, mengerjapkan kedua mata yang mulai basah akibat rasa rindu.

Namun pria itu sama sekali bergeming.

Khawatir terjebak di dalam halusinasi, Evelyn melangkah berusaha menggapai pria itu. Namun, rasa pusing kembali menyerangnya sehingga tubuhnya menjadi oleng.

"Hati-hati!" seru Aaric, menopang tubuh Evelyn.

Kedua mata Evelyn melebar. Dia mengenali suara itu! Paman Steward! Mendongak, dia menemukan Aaric memerhatikannya dengan raut wajah khawatir.

"Pa-Paman Steward?" tanya Evelyn kebingungan. Sepertinya luka di kepala membuat pikirannya kacau.

Aaric mengumpat, mengutuk kecerdasan gadis itu, dan dirinya sendiri yang tidak cukup cepat meninggalkan ruangan.

Evelyn mengerjapkan mata beberapa kali,  meraih lengan pria itu dia berkata, "A-apa ada yang salah dengan otakku?"

Menelan ludah, pria itu akhirnya memutuskan menjawab, "Mungkin kau hanya bermimpi."

"Mimpi?"

Aaric menahan napas, aroma gadis itu semakin kuat, membuat dirinya tidak dapat berpikir jernih. 

"Kubantu kau kembali ke kamar," kata Aaric, membungkuk, menggendong gadis itu.

Evelyn tidak melawan, tubuh pria itu hangat, dan samar-samar tercium aroma yang menyenangkan dari tubuhnya.

Membaringkan gadis itu kembali di ranjang, Aaric membungkuk lalu berbisik pada telinga kanan gadis itu. "Pejamkan matamu dan beristirahatlah."

"A-apakah kau akan tetap ada saatku terbangun?" 

Aaric tersenyum lembut, teringat perkataan yang sama pernah diucapkan gadis itu, sembilan tahun yang lalu, saat dia meminta Evelyn kecil untuk tidur. 

Mengulang jawaban yang sama seperti yang dulu dia ucapkan. Aaric berkata, "Kau tahu bahwa aku tidak bisa terus di sini, tetapi aku berjanji akan kembali."

Tiba-tiba jemari Evelyn mencengkeram lengan pria itu. "Tidak! Jangan pergi!" Kedua mata birunya kembali meneteskan air mata, "jangan pergi."

Aaric terhenyak, tidak menyangka gadis itu mengasihinya dengan amat sangat.

Menelan gumpalan besar pada tenggorokannya, dia menjawab, "Aku tidak akan pergi, tidurlah."

"Janji?" tanya gadis itu berbisik, jemarinya masih menahan kuat lengan Aaric.

Aaric tidak menjawab, dia tidak ingin memberikan janji yang tidak mungkin dia tepati.

"Tidurlah, aku akan menemanimu di sini," ucap pria itu akhirnya.

Tersenyum, Evelyn menutup mata, membiarkan rasa letihnya mengambil alih kesadaran yang dia miliki.

*****

Aaric berdiri, menatap Evelyn yang tertidur nyenyak, berbagai perasaan berkecamuk dalam hatinya. Namun, satu hal yang pasti, dia harus menjaga jarak. Masa depan gadis itu masih panjang dan cerah, dia tidak ingin merusaknya.

Membelai pipi lembut gadis yang dia lindungi selama ini, Aaric mengecup kening Evelyn lalu berbisik, "Selamat tinggal."

Setelah itu, Aaric pergi, meninggalkan Evelyn yang masih terlelap.


30 September 2023

Wulan Benitobonita / Luna S. Winterheart

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 16 - Aaric’s Bride : Pengantin sang Vampir - Fantasi Romansa
0
0
Apakah Tuan Steward telah mengabari Nona tentang hal penting?"Hal penting? Satu-satunya pesan yang diterima Evelyn selama satu tahun terakhir adalah kata tidak dan itu sepertinya bukan hal yang dimaksud oleh pria yang sedang berbicara.Tidak apa-apa, tolong tunggu pesan masuk dari saya.Terima kasih, Paman. Evelyn menutup telepon dengan riang.Gadis itu meraba perlahan bagian kepala yang masih diperban, masih terasa benjol. Namun, sudah tidak terlalu sakit saat disentuh. Mungkin aku lebih baik memeriksakan diri ke dokter sebelum pergi membeli hadiah, pikir Evelyn. Teringat tatapan ngeri dari wanita yang berada di front office yang di arahkan kepada kepalanya.
Komentar dinonaktifkan
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan