
12 - Miss Lawyer’s FAKE Husband : Menikahi Supir Berondong
Kini, wajah Yusuf terlihat persis remaja. Pria itu jelas sekali merasa malu karena tertangkap basah sedang mengerjakan hal di luar kebiasaan. Dia menghindari tatapan mata Wita sambil menjawab pelan. “Tugas kuliah, Mbak.”
“Kuliah?”
“Iya, Mbak,” jawab Yusuf singkat sambil menggosok tengkuk belakangnya. Kebiasaan pria itu setiap kali merasa gugup.
Tentu saja jawaban itu tidak dapat memuaskan rasa ingin tahu Wita. Dia menoleh ke arah tumpukan buku yang tersusun bertingkat tersebut dan...
Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.
Selimut abu-abu tanpa motif yang membalut tubuh Wita dari ujung kepala hingga kaki kembali bergerak saat gadis itu menggeliat untuk ke sekian kali akibat debar jantungnya yang tidak kunjung melambat sejak kejadian memalukan itu.
Wita bego! Bego! Bego!
Makian dalam hati lagi-lagi dia lontarkan. Bayangan Yusuf yang masih terus mencuri pandang ke arah gadis itu meski sudah berjam-jam lewat dari musibah di kamar mandi membuat Wita meradang.
Dasar laki-laki mesum! Gadis itu menggigit guling yang ikut bersembunyi di dalam selimut. Awas aja kalo dia berani macam-macam!
Kini, waktu sudah hampir memasuki pukul dua belas malam. Namun, kejadian traumatis tadi membuat mata Wita bahkan tidak dapat menutup barang sedetik pun.
Ingatan lain ketika dia harus lari terbirit-birit ke kamar tidur mendobel kaos basah berbalut handuk yang diberikan Yusuf melalui sela pintu kamar mandi, yang terbuka secukupnya, membuat gadis itu membenamkan wajah ke permukaan ranjang sambil mengeluarkan sumpah serapah dalam hati.
Dasar Wita bego! Kenapa enggak mati aja sekalian?! Dasar bego! Bego! Bego!
Gumaman ala bayi tiba-tiba masuk ke pendengaran Wita dan membuat dirinya menyembulkan sedikit kepala keluar untuk memeriksa keadaan. Keisha tidak terlihat sedang berdiri di dalam boks ranjangnya. Bayi nakal itu tidur begitu saja setelah sukses mewarnai sofa putih sang ibu dengan bubur instan perdana buatannya.
Mungkin aku salah dengar, pikir Wita dengan kening mengerut bingung. Kepala gadis itu hendak kembali masuk ke dalam selimut sebelum gumaman lain terdengar.
Apa Keisha mengigau?
Wita akhirnya menyibak kain berbulu dari dirinya dan melangkah turun. Jarak ranjang queen size yang cukup mendominasi ruangan membuat boks Keisha hanya berjarak tiga langkah dari sisi kanannya.
Langkah Wita terhenti ketika jemari tangannya telah menyentuh tepian boks bayi. Mata gadis itu sedikit melebar ketika melihat pose yang diperagakan oleh putri angkatnya. Keisha yang memakai jumper merah gelap, dengan wajah sepolos malaikat, membentangkan kedua kaki dan tangan hingga terlihat seperti bintang laut.
Astaga! Lucu sekali!
Bibir Wita melengkung sempurna. Gadis itu tidak dapat menahan diri untuk mengelus pipi tembam putrinya yang memiliki gurat-gurat halus merah muda. Persis seperti Kak Ayu.
Sepasang mata mungil yang sebelumnya tertutup rapat bergerak pelan sebelum tiba-tiba terbuka lebar. Tubuh gadis berpiama cokelat dengan motif hati itu seketika membeku. Ibu dan anak saling bersitatap selama beberapa detik sebelum sang bayi terduduk dan mengulurkan kedua tangan ke arah Wita.
“Dong,” ucap Keisha bersemangat. Bayi itu terlihat terlalu bugar untuk diminta kembali tidur.
Wita bego! maki Wita. Harusnya jangan dekat-dekat boks sampai besok siang! Dasar bego! Bego! Bego!
Keisha menanti perintahnya dituruti. Namun, sang ibu masih juga tidak bergerak dari posisi semula.
“Dong.” Keisha mengulang kata yang sepertinya berarti gendong. Alis Wita bertaut, menunjukkan keberatan sebelum dia menggelengkan kepala.
“Masih malam, Keisha harus bobo lagi.”
Sayang sekali, si bayi memiliki jadwal yang berbeda. Keisha malah berdiri sambil bertopang pada jeruji kayu dan mulai merambat mendekati kedua tangan Wita yang masih bersandar pada sisi boks.
“Dong.” Lagi-lagi Keisha menjulurkan kedua lengannya ke arah Wita dengan harapan dikeluarkan dari penjara empuk itu.
Gelengan lain merupakan respons yang didapat si bayi. Wita bersikukuh terhadap keputusannya. “Enggak, ini masih malam. Keisha harus bobo lagi.”
Ekspresi keras kepala Wita kini juga terlihat pada wajah Keisha. Kening bayi lima belas bulan itu mengerut dan bibir mungilnya tercebik. Dia lagi-lagi mengulurkan kedua lengannya yang sempat turun dan kini berseru dengan nada yang lebih keras. “Dong!”
“Enggak! Keisha masih harus tidur!” balas Wita tidak mau kalah. Disiplin merupakan kunci kesuksesan seseorang dan dia ingin membesarkan keponakannya itu dengan sebaik mungkin. “Keisha bobo, besok baru main lagi.”
Ibu dan anak itu kembali bersitatap sebelum Keisha tiba-tiba menaikkan kaki kanan dan berusaha memanjat penghalang boks yang hanya setinggi dada.
“Astaga! Keisha! Turunin kakinya!” omel Wita ketika ujung tumit putri angkatnya itu sukses keluar dari kurungan dan kini menggantung di udara.
Akan tetapi, bukannya menurut, bayi yang bersemangat itu malah berusaha semakin keras dengan menegakkan punggung hingga bisa mendorong kaki lebih panjang keluar sebelum akhirnya tersangkut dengan posisi seperti melayang dan kaki kiri menjinjit tinggi.
Rengek kesal dan mungkin kesakitan meledak seketika. Wita yang tidak tega langsung mengendong bayi itu dan mengomelinya. “Itu karena kamu nakal! Tante udah bilang turunin kakinya!”
“Ba!” ucap Keisha di sela-sela raungannya. Air mata mulai meleleh turun dari kedua mata bayi itu.
“Udah, udah Tante gendong, ‘kan? Berhenti nangisnya …..”
Namun, bayi itu malah berontak, ingin keluar dari dekapan sang ibu. “Ba …, Ba ….”
“Aduh, Keisha! Tante enggak ngerti arti Ba!” Wita membawa putrinya itu ke atas ranjangnya sendiri lalu duduk sambil tetap memangku Keisha yang kini berusaha mendorong tubuhnya. “Berhenti menggeliat!”
“Ba!”
Jeritan lain dari sang bayi membuat Wita menyerah. Dia melepaskan kedua lengan yang mendekap punggung Keisha sehingga putrinya merangkak menjauhinya.
Tangis Keisha secara ajaib berhenti begitu saja. Bayi itu melihat sekeliling sebelum tatapannya terhenti ke arah Berry yang tergeletak tidak berdaya di dekat mereka.
“Eh, jangan!” seru Wita ketika Keisha merangkak riang ke arah teman tidur gadis itu. Dia langsung mengangkat boneka kesayangannya tinggi-tinggi ke udara dan menatap bayinya dengan horor. “Nanti rusak.”
Sayangnya, Keisha memang tidak pernah mendengar perintah dari sang ibu. Bayi itu kini malah mendongak dan mengamati Berry dengan kedua mata besarnya sebelum dia berdiri kemudian menunjuk ke arah boneka tersebut.
“Tu ….”
“Enggak!” tolak Wita sambil menggeleng. “Nanti rusak kamu mainin.”
“Tu!” Tunjuk Keisha dengan nada yang lebih keras.
Akan tetapi, Wita malah berdiri kemudian meletakkan Berry, si beruang madu, di atas meja rias kayu yang berada di dekat jendela. “Enggak, Keisha, kan, sudah punya bebek dan sapi. Ini punya Tante.”
Mata Keisha tetap mengawasi calon teman barunya. Bayi itu tanpa ragu langsung merambat turun dan merangkak mendekati kaki meja kemudian kembali berdiri. “Tu!”
“Aduh! Enggak, Keisha! Kita ambil bonekamu saja, ya! Ayo, sini!”
Wita merunduk untuk menggendong bayinya. Dia membuka pintu kamar yang sengaja dikunci sebelumnya, lalu berjalan keluar sambil bergumam, “Nanti langsung bobo, oke?”
Keisha tidak menjawab. Bayi itu malah sibuk memutar-mutar kepala, mengamati langit-langit rumah barunya.
Lampu ruang tamu masih menyala dan membuat mata Wita berkilat heran. Apa Yusuf lupa matiin lampu?
Tadi Wita memang langsung masuk ke kamar sambil menggendong Keisha yang tertidur. Dia meninggalkan Yusuf beserta kain lap basah dan kursi kotor untuk dibersihkan. Buang-buang listrik aja.
Suasana ruang tamu sangat hening. Namun, langkah gadis itu terhenti ketika dia melihat sosok yang dikritiknya dalam hati, sedang duduk di kursi makan dan tampak sibuk menulis sesuatu pada sebuah buku. Dua buku lain yang berukuran lebih tebal, terbuka lebar di dekat pria itu.
“Mo!” Seruan Keisha membuat Yusuf menoleh. Penampilannya yang hanya memakai celana bola biru muda dan kaos gombrong hitam, membuat dia terlihat jauh lebih muda dari biasanya.
“Eh, Mbak belum tidur?” tanya Yusuf dengan nada terkejut. Pria itu langsung berdiri dan menutup buku-bukunya.
Wita melepaskan Keisha ke atas lantai, membiarkan bayi itu merangkak ke arah boneka sapi yang berdiri di dekat sofa, sedangkan dia berjalan mendekati supirnya dan bertanya dengan ekspresi curiga. “Kamu lagi apa?”
Pandangan Wita langsung menangkap judul buku bersampul merah yang bertuliskan KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA warna emas. Lipatan pada dahi gadis itu bertambah banyak karena semakin bingung. Itu bukan bukuku, ‘kan?
“Oh, aku lagi ngerjain tugas, Mbak.” Kedua pipi Yusuf sedikit memerah saat pria itu terburu-buru menumpuk buku-buku miliknya dan menunduk dalam-dalam.
Moo - Moo.
“Mo!” pekik ceria Keisha membuat gadis itu menoleh sejenak ke arah putri angkatnya dan menemukan si bayi sudah sibuk menghantamkan boneka malang itu ke atas karpet.
Aku harus nyembunyiin Berry, simpul Wita secara cepat. Namun, rasa penasaran lain membuat gadis itu kembali melihat ke suaminya dan bertanya lebih detail.
“Tugas apa?”
Apa dia dapat kerjaan tambahan dari orang kantor? Kok, aku enggak tahu?
Kini, wajah Yusuf terlihat persis remaja. Pria itu jelas sekali merasa malu karena tertangkap basah sedang mengerjakan hal di luar kebiasaan. Dia menghindari tatapan mata Wita sambil menjawab pelan. “Tugas kuliah, Mbak.”
“Kuliah?”
“Iya, Mbak,” jawab Yusuf singkat sambil menggosok tengkuk belakangnya. Kebiasaan pria itu setiap kali merasa gugup.
Tentu saja jawaban itu tidak dapat memuaskan rasa ingin tahu Wita. Dia menoleh ke arah tumpukan buku yang tersusun bertingkat tersebut dan berhasil membaca judul lainnya, “Delik-Delik Khusus di Luar KUHP”.
“Kamu ambil jurusan Hukum Pidana?”
Kini, bukti nyata yang tidak dapat disangkal lagi terlihat jelas pada wajah Yusuf yang merah padam. Jakun pria itu bahkan bergerak saat menelan ludah sebelum bergumam pelan. “Iya, Mbak ….”
Wita terdiam ketika mencoba mencerna bukti-bukti baru yang dia dapatkan. Supirnya ternyata seorang mahasiswa hukum yang cekatan merawat seorang bayi.
Aneh dan enggak wajar.
Suara ribut sapi dan bebek yang kini beradu memecah keheningan. Keisha menjerit riang sebelum suara kerincingan dari mainan gelang ikut memeriahkan suasana.
Akan tetapi, Wita kali ini tidak berniat menoleh untuk memeriksa keadaan putri angkatnya. Tingkah malu-malu Yusuf membuat insting gadis itu merasakan ada hal lain yang belum dia ketahui.
“Kenapa?” tanya Wita pada akhirnya.
Yusuf yang sedari tadi menunduk dan bergerak gelisah kemudian mengangkat kepala. Pria itu terlihat sedikit kesulitan untuk membuka mulut, meski pada akhirnya dia menjawab dengan nada sangat halus. “Sebab aku pengen jadi pengacara hebat seperti, Mbak.”
11 Oktober 2023
Wulan Benitobonita / Luna S. Winterheart
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
