
Suara mesin terdengar saat Fonda menekan mesin. Air sungai pun memercik, membuat gelombang halus, seakan ada sesuatu yang berenang di bawah sana.
“D-dokter Anda belum melepaskan rantai tangannya,” ucap Ruben. Namun, Fonda mengabaikan pria itu dan malah menyeringai kala dia mendapati mata Cindaku menyipit, menunjukkan gusar.
Moncong cokelat penuh taring itu muncul terlebih dulu ke permukaan sebelum tubuh sepanjang 6.17 meter menyusul, berjalan cepat dengan keempat kaki, mendekati Cindaku yang masih...
Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.
Pencipta Wulan Benitobonita / Luna S. Winterheart
“Saya ingin berbicara dengannya,” ucap Fonda setelah melabrak masuk ruang Direktur Utama Genma Surabaya. Mata wanita itu berkilat marah kala mengamati pria gemuk yang duduk santai pada kursinya.
“Maaf, Dokter Fonda. Saya tidak tahu siapa yang Anda maksud.”
Jawaban penuh kepalsuan dari Hendra membuat wajah Fonda mengerut. Dia tidak memiliki banyak waktu untuk bermain-main. Masa depan putrinya dipertaruhkan dan wanita itu lebih rela mati dibandingkan melihat darah dagingnya berubah menjadi monster.
“Dokter Hendra, apa Anda lupa bahwa saat ini hanya saya yang dapat mengendalikan Cindaku?” Nada suara Fonda berubah menjadi dingin. Dia memiringkan kepala dan melanjutkan, “Saya dengar Selasa ini akan ada pertandingan akbar. Menurut Anda, apa yang akan terjadi apabila dokter yang seharusnya memantau latihan Cindaku mengalami sakit hingga harus beristirahat selama beberapa hari?”
Hendra terkekeh ringan. Pria itu menegakkan punggung sebelum berkata, “Itu akan jadi masalah.”
“Jadi?” Fonda mengetatkan rahang saat menunggu jawaban.
“Saya hanya bisa menyampaikan pesan, hanya itu.” Hendra mengangkat kedua tangan, tanda menyerah. “Selanjutnya tergantung dia. Suami Anda—”
“Mantan suami,” koreksi Fonda. “Dia adalah orang tidak waras dan tidak memiliki hak atas putri kami.”
Hendra spontan terbatuk saat mendengar jawaban kasar dari Fonda. “Dokter Fonda, mengatakan bahwa salah satu direktur Genma sebagai orang tidak waras adalah tuduhan yang serius. Namun, saya tidak berminat ikut campur dengan urusan keluarga kalian.”
Hendra mendongak hingga mereka saling bersitatap sebelum pria itu melanjutkan, “Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, saya sangat memperhatikan kesejahteraan para bawahan saya. Saya akan memberikan pesan itu secara pribadi.”
“Tidak ada operasi,” ucap Fonda dengan suara sedikit bergetar. “Tidak ada yang boleh menyentuh anak itu.”
“Ini akan sulit, terlebih ayah biologisnya sudah memberikan i—”
“Tidak ada operasi.” Fonda memotong ucapan Hendra, menunjukkan tidak ada tawar menawar.
“Atau?” tanya Hendra dengan ekspresi penasaran.
Bibir Fonda pun melengkung sinis. “Atau, saya akan menembak kepala saya sendiri dan Anda dipersilakan mencari dokter pengganti.”
“He died. She died. They died. We died.”
Dan, dia sudah siap untuk mati.
*****
Aroma jeruk mengisi ruangan yang ditempati Cindaku dan Fonda. Wanita itu bersenandung pelan sambil membalik halaman buku yang dia baca. Mitologi Bunyip.
Fonda melirik sejenak ke arah Cindaku yang duduk di tempat biasa. Kening makhluk itu terlihat mengerut saat mengendus udara.
Bibir merah Fonda pun melengkung samar. Dia telah meminta bagian rumah tangga menyiapkan sabun dan sampo serupa dengan milik Cindaku untuk dirinya sendiri. Kini makhluk itu tampak kebingungan karena mereka berbagi aroma yang sama.
“Tidak marah-marah seperti biasanya?”
Sindiran Fonda membuat Cindaku menggeram pelan sebelum membuang muka. Wanita itu pun kembali membalik kertas sambil berkata, “Selasa ini kamu akan kedatangan penantang dari Australia. Bunyip. Apa kamu tahu tentang dia?”
Cindaku tidak merespons. Makhluk itu mengabaikan Fonda dengan melihat ke arah lain.
Akan tetapi, Fonda tidak peduli dan tetap melanjutkan ucapannya. “Dia adalah makhluk air. Mereka akan memakai rawa sebagai latar, berhati-hatilah dengan pelukan dan cakarnya.”
Cindaku mendengkus meremehkan, membuat Fonda kembali melirik ke arahnya. Poni putih menutupi sebagian wajah makhluk itu dan membuat rantai hitam pada leher semakin kentara.
“Sepertinya kelemahannya pada bagian perut dan mata, seperti buaya,” lanjut Fonda dengan mata kembali pada gambar yang terlukis pada kertas. “Dia mengaum dan terkadang berkaok sebelum melahap lawannya. Dia besar dan cepat.”
Tidak ada reaksi dari Cindaku. Makhluk itu malah tampak bosan dan menguap secara terang-terangan.
Sudah waktunya berlatih dengan buaya.
Fonda menutup buku yang dia baca saat mendapati Cindaku menggaruk punggung. Dia kemudian mengembuskan napas panjang. “Nagata ….”
Siapa sangka panggilan itu refleks membuat kepala Cindaku menoleh ke arah Fonda. Wanita itu tersenyum tulus sebelum berkata, “Saya harap kamu selamat dalam pertandingan nanti.”
*****
“Bunawan, provinsi Agusan del Sur, Filipina.”
Cindaku dengan tangan terborgol berdiri di atas bebatuan yang berada di atas sungai yang diapit oleh pedesaan. Mata biru makhluk itu menatap ke arah Fonda berada, meski dia tidak dapat melihatnya secara langsung.
“D-dia akan langsung mencoba memecahkan kubah,” ucap Ruben gugup. “D-dia tahu posisi kita.”
“Sepertinya begitu.” Pernyataan Fonda membuat wajah Ruben pun semakin pucat. Namun, wanita itu dengan santai melanjutkan, “Cindaku butuh berlatih melawan Bunyip dan makhluk virtual terdekat yang kita miliki adalah ini.”
“Buaya Lolong.”
Suara mesin terdengar saat Fonda menekan mesin. Air sungai pun memercik, membuat gelombang halus, seakan ada sesuatu yang berenang di bawah sana.
“D-dokter Anda belum melepaskan rantai tangannya,” ucap Ruben. Namun, Fonda mengabaikan pria itu dan malah menyeringai kala dia mendapati mata Cindaku menyipit, menunjukkan gusar.
Moncong cokelat penuh taring itu muncul terlebih dulu ke permukaan sebelum tubuh sepanjang 6.17 meter menyusul, berjalan cepat dengan keempat kaki, mendekati Cindaku yang masih mematung di pijakan yang tidak terlalu luas.
“Dokter Fonda, buka borgolnya!”
Sayang, teriakan Ruben tidak berpengaruh. Wanita itu menggerakkan buaya virtualnya dengan cepat, berusaha menggapai Cindaku yang melompat mundur.
Cindaku lagi-lagi menoleh ke arah lokasi Fonda dan mengeluarkan geraman, tentu ingin borgol itu dilepaskan. Namun, Fonda mengabaikannya. Dia membuat buaya terbesar di dunia itu terus bergerak dengan rahang terbuka lebar.
Jadi, dia tidak berdaya dengan tangan terborgol.
Fonda tersenyum geli saat lompatan mundur terakhir Cindaku membuatnya terjatuh ke dalam sungai. Wanita itu seketika menekan tombol membuka rantai sebelum memutar penampilan visual dalam kubah, merotasi hingga 270 derajat.
Cindaku berenang cepat ke seberang untuk keluar dari sungai. Makhluk yang basah kuyup itu baru saja berhasil bernapas di tepian saat Buaya Lolong mulai berenang mendekat untuk mengejarnya.
“Dengan begini, Cindaku tidak sempat melempar borgol, bukan?” jelas Fonda kepada Ruben yang terbengong.
Kepala Cindaku berputar, mencari posisi Fonda yang berada di luar kubah, sebelum berlari menjauhi tepian sungai. Tidak ada pepohonan. Tidak ada apa pun yang memisahkan dia dengan Buaya Lolong kecuali bebatuan dan aliran sungai deras.
Akan tetapi, Reptil seberat 1.075 kilogram itu sudah keluar dari air dan kembali mengejar lawannya. Cindaku mengaum marah ketika usaha dia mencari dinding kubah lagi-lagi terganggu.
Dia berlari untuk menjauh, tetapi Fonda tanpa sungkan menekan tombol visual, membuat Cindaku sontak terjatuh ke dalam sungai dan lagi-lagi dikejar Lolong yang berenang dengan cepat.
Penampilan visual dalam kubah kini berubah menjadi pertarungan dalam sungai. Cindaku tidak lagi berupaya melarikan diri. Makhluk yang mulai kesal itu pun mengelak sebelum mencakar lawannya.
Getaran ringan dirasakan tangan kiri Fonda saat darah mengalir keluar dari luka lecet di sisi kanan tubuh Lolong. Namun, wanita itu tetap melanjutkan serangan. Dia menggerakkan buaya raksasa dengan lincah, mengejar Cindaku yang kini berenang ke atas untuk mengambil udara.
Fonda tidak memberikan waktu Cindaku untuk beristirahat, apalagi berpikir mencari tepian kubah. Wanita itu terus membuat Lolong menyusul lawannya yang baru saja naik ke permukaan.
Gambar pemandangan seketika berubah menjadi daratan. Cindaku tampak bernapas tersengal-sengal dengan tubuh basah kuyup, memasang kuda-kuda menunggu kedatangan Lolong.
Cindaku melompat tinggi saat jarak mereka semakin dekat. Dia mendarat pada punggung Lolong, memukul moncong yang terbuka dengan siku, sebelum menusuk kedua mata buaya itu dengan cakar.
Gerakan Lolong menjadi tidak terkontrol, dikarenakan binatang virtual itu bertindak seolah-olah menjadi buta, bersamaan dengan suara mesin. “Kendali otomatis diaktifkan.”
Fonda mendengkus saat dia tidak lagi dapat menggerakkan monster itu. Dia melepaskan sarung tangan dan menunggu hingga Cindaku berhasil menyelesaikan latihannya.
Beberapa menit kemudian, Cindaku kembali ke dalam lift dengan ekspresi geram, basah dan kesal, membuat wanita itu menyerigai lebar sambil berkata puas. “Cindaku siap untuk pertandingan Selasa ini.”
Pembaca yang baik hati, tolong tekan tanda hati^^
13 April 2024
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
