1 - Bayang Bayang Janji Sunyi

2
0
Deskripsi

Aku memarkirkan motor di depan teras tempat tinggalku, rumah berlantai dua di dalam komplek perumahan di daerah Jakarta Timur. Mataku menangkap mobil sedan putih milik mas Adam, saudara laki-lakiku. Mengerutkan dahi, aku melepas helm dan beranjak dari motor. Tumben, Mas Adam enggak masuk kantor, pikirku heran.

Melepaskan sepatu sebelum membuka pintu rumah yang tidak terkunci, aku melihat sepasang sepatu asing milik perempuan berada di atas rak sepatu. Apa ada tamu? tanyaku dalam hati.

"Bu, David pulang...

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.
 

IG @Benitobonita / Luna S. Winterheart
 

Aku memarkirkan motor di depan teras tempat tinggalku, rumah berlantai dua di dalam komplek perumahan di daerah Jakarta Timur. Mataku menangkap mobil sedan putih milik mas Adam, saudara laki-lakiku. Mengerutkan dahi, aku melepas helm dan beranjak dari motor. Tumben, Mas Adam enggak masuk kantor, pikirku heran.

Melepaskan sepatu sebelum membuka pintu rumah yang tidak terkunci, aku melihat sepasang sepatu asing milik perempuan berada di atas rak sepatu. Apa ada tamu? tanyaku dalam hati.

"Bu, David pulang nih," ucapku memanggul tas berisi buku kuliah.

Pemandangan yang ada mengejutkanku, seorang perempuan cantik mengenakan kebaya, tengah duduk di sofa hitam rumah tamu kami dan tersenyum kepadaku.

Mematung di depan pintu, aku hanya memerhatikan gadis itu. Rambut hitam panjangnya tersanggul rapi, kulit putihnya terlihat kontras dengan kebaya hitam yang dipakainya. "Kamu pasti David," sapa dirinya memamerkan lesung di pipi.

Aku menahan napas, senyumnya manis sekali, bahkan aku dapat merasakan debaran jantungku.

"David, ngapain bengong di situ? Masuk sini." Aku tersentak mendengar suara mas Adam dari sisi kiriku.

Menoleh ke arahnya, aku melihat masku  memakai batik cokelat dan celana bahan hitam. "Rapi banget, Mas, mau ke mana?"

"Masuk dulu, ini Nina teman dekat Mas." Mas Adam tersenyum lebar, berjalan mendekati tamu kami.

Aku mengejapkan mata, familiar dengan nama tersebut. "Oh, ini Mbak Nina yang sering Mas ceritain, loh!" ucapku terkejut. Sejak dua tahun lalu mas Adam memang sering sekali cerita tentang seorang mahasiswi baru jurusan s1 managemen yang dikenalnya tanpa sengaja saat dia sedang mengerjakan tesis di perpustakaan.

Perempuan itu tertawa renyah, suaranya enak didengar. "Jangan panggil Mbak, umur kita cuma beda dua tahun."

Aku masuk menutup pintu lalu duduk di sofa yang berseberangan dengannya. "Enggak enak dong, Mbak, gimana pun aku lebih muda," ucapku melanjutkan pembicaraan kami.

Mas Adam duduk di sebelahnya. "Kami baru pulang acara wisuda, sekalian ngenalin ke Ibu dan Bapak, biar enggak mubazir make up nya," ucapnya menggoda Nina.

Kami bersenda gurau hingga akhirnya ibu dan bapak datang untuk bergabung dengan kami. Gadis itu amat ramah dan pintar mengambil hati kami. Tidak lama dari pertemuan pertama kami, mas Adam mengungkapkan niat untuk memperistrinya.

Kami setuju akan keputusan mas Adam, bulan Oktober 2009, aku resmi memiliki kakak ipar. Pernikahan memakai adat jawa, melihat mereka bersanding di pelaminan bagai melihat lukisan. Mas Adam sama sepertiku, berkulit cokelat dengan tinggi seratus tujuh puluh, terlihat elok berada di sisi mbak Nina yang pucuk kepalanya hanya mencapai hidung suaminya.

Mas Adam membeli rumah tidak jauh dari tempat tinggal kami, alasannya agar mudah untuk bertemu ibu dan bapak. Aku sendiri senang dengan keputusan itu, Mbakyu Nina pandai memasak, karena memutuskan tidak bekerja, mbakyu sering membantu ibu untuk menyiapkan makan malam, bahkan hampir setiap malam kami makan bersama.

Tanggal 10 Juli 2011, aku resmi memperoleh panggilan pak lik. Seorang bayi mungil terbungkus kain merah muda menangis menyambut kedatanganku. Hatiku terasa hangat saat mengendong keponakan pertamaku.

Mbakyu Nina walau terlihat letih akibat proses melahirkan normal yang harus dia lalui selama delapan jam. Namun, wajahnya berbinar bahagia menatap putri mereka.

Tersenyum, menimang keponakanku, aku pun berharap akan dapat memperoleh istri selembut dirinya.

Kehidupanku sendiri berjalan dengan baik, kuliahku di jurusan ekonomi sama seperti mas Adam, berjalan lancar. Aku lulus sebagai salah satu mahasiswa terbaik dan melanjutkan kuliah s2 mengikuti jejak saudara laki-lakiku.

Aku juga sempat berpacaran satu dua kali dengan teman seangkatan. Namun, semuanya berakhir singkat, karena aku belum menemukan sosok yang kuinginkan.

"Mama Kaila, coba dinasihatin adikmu itu biar cepat cari pacar, Ibu pingin punya menantu satu lagi," rajuk ibu suatu hari di depanku saat mbakyu dan Kayla datang berkunjung.

Mbakyu tertawa geli, membawa mangkok berisi sayur asem dari dapur untuk dihidangkan di meja makan, dia melirik ke arahku yang sedang bersila di lantai, bermain dengan Kaila.

"Dik, dengan kata Ibu, cepat cari istri, Mbakyu juga pengen punya teman curhat."

Belum sempat aku menjawab, Kaila datang merangkak dengan kecepatan penuh memamerkan gusi merah mudanya.

Aku menangkap dan mengelitiki perut keponakanku sampai dia terkekeh geli.

"David, dengar kata Mbakyu mu." Ibu duduk di kursi makan menatap aku dengan raut sebal, "cepat bawa ke rumah calon istri."

Memeluk Kaila yang memberontak, aku mengangkat wajah ke arah ibu. "David belum nemuin perempuan yang pas untuk dikenalin ke Ibu dan Bapak."

Ibuku menghela napas, rambut hitam panjang yang mulai di warnai uban putih, terikat rapi di belakang. Satu dua keriput juga terlihat di wajahnya.

"Mau perempuan seperti apa sih, Ibu sudah tua, tahun ini hampir kepala lima, sudah mau nimang cucu dari kamu."

Spontan aku melirik ke arah mbakyu yang masih sibuk mempersiapkan makan malam kami, mas Adam memang beruntung bisa mendapatkan istri seperti dia. Selama usia pernikahan mereka, belum pernah kami mendengar mereka bertengkar, mbakyu pandai sekali mengurus rumah dan merawat anak seorang diri, hal yang jarang ditemukan di zaman sekarang.

"Maunya ya punya istri yang seperti Mbakyu," ucapku tanpa pikir panjang sambil melepaskan Kaila agar dapat merangkak mengejar mainan yang berada di dekat kaki sofa.

Terdengar mbakyu tertawa lepas, dia memang mudah tersenyum. "Dik, Mbakyu enggak punya uang receh loh."

"Biarkan saja dia Mama Kaila, David memang dari kecil selalu ikut-ikutan masnya," gerutu Ibu menatap ke arahku jengkel, "biar Ibu jodohkan saja dengan anak teman Ibu."

Terbelalak kaget aku balas menatap ibu. "Bu, jangan, Bu, aku bisa cari sendiri," menoleh ke arah mbakyu mencari bantuan, "Mbakyu, tolong."

Mbakyu malah tersenyum lebar, kembali menunjukkan lesung pipinya. Mas Adam memang beruntung sekali.

"Permisi," terdengar suara mas Adam berbarengan dengan pintu terbuka. Kami semua menengok ke arahnya, dari sudut mata, aku melihat mbakyu hampir berlari menyambut suaminya.

"Mas, sudah pulang," ucap mbakyu gembira, mengulurkan tangan untuk menyalam mas Adam. Kaila kecil pun tidak kalah antusias, melesat, bayi itu merangkak menghampiri ayahnya.

"Kaya pengantin baru aja," godaku ke arah mereka yang masih saling memandang di depan pintu.

Pipi mbakyu merona merah karena malu, menunduk mengendong Kaila yang hampir sampai menggapai ayahnya, dia menyembunyikan wajah di belakang kepala putrinya.

"Kalau cemburu cepetan cari istri," balas mas Adam menutup pintu lalu menarik Kaila yang sejak tadi sudah mengulurkan kedua tangan untuk minta dipeluk.

Raut muka ibu berubah ceria mendapatkan sekutu. "Tuh, Ibu juga sudah bilang, si David ini kebanyakan milih-milih, umur sudah tua pacar belum ada."

Belum sempat mereka kembali menggodaku, tiba-tiba terdengar suara mbakyu bertanya dengan nada terkejut, "Mas, kenapa, Mas? Mimisan?"

Perhatian kami kembali ke arah mas Adam, cairan merah mengalir dari lubang hidungnya. "Aduh, iya tadi sudah sempat berhenti, tolong gendong Kaila," jawab mas Adam kembali menyerahkan putri mereka ke pelukan ibunya.

Aku dan ibu berlomba mengambil tissue, mas Adam sejak kecil memang mudah mimisan atau sariawan. Aku berhasil menyerahkan segumpal tissue kepada mas Adam sebelum semakin banyak darah yang menetes.

"Sana istirahat dulu di kamar," perintah ibu khawatir, ikut menyerahkan segepok tissue kepadanya.

Mas Adam tidak menjawab, dia segera berjalan ke kamar tidurnya untuk berbaring.

"Adam sudah pulang?" tanya bapak keluar kamar,  berniat untuk makan malam. Jam di dinding memang sudah menunjukkan pukul enam sore.

"Sudah, Pak, tapi langsung ke kamar, mimisan," jawab ibu kembali ke kursi makan, "ayo, kita makan dulu, biar kalian bisa segera pulang."

Kami berkumpul di meja makan, Kaila menurut duduk di kursi bayi hadiah dariku. Sama seperti biasa, makan malam terasa lezat, kami makan dengan lahap. Namun, tidak dengan Nina, wajahnya murung, bahkan tidak terlihat selera saat menyendok nasi ke dalam mulutnya.

"Mbakyu kenapa?" tanyaku heran, padahal tadi wajahnya masih ceria, "biasa kok Mas Adam mimisan, dari kecil memang seperti itu."

Mbakyu berusaha tersenyum. "Bukan gitu, Dik, cuma mimisannya semakin sering, bahkan mas Adam sempat mengeluh pusing."

Ibu berhenti mengunyah, kilat khawatir terlihat di kedua matanya. "Kalau memang seperti itu, lebih baik ajak papa Kaila ke dokter, Ibu jadi khawatir."

"Sudah saya bilang, Bu, tapi Papa Kaila enggak mau, katanya nanti juga sembuh."

Bapak mengambil nasi tambahan sambil berkata, "Dia cuma kecapean, namanya kerja di Bank sering lembur juga kalian tidak usah khawatir."

Saat itu kami tidak tahu, bahwa mimisan yang sering dialami mas Adam merupakan puncak es dari penyakit yang sesungguhnya, dan kami juga tidak mengira kepergian dirinya tidak akan lama lagi.

*****

24 April 2017

Benitobonita



 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya 2 - Bayang Bayang Janji Sunyi
0
0
Awal tahun 2012 adalah bulan-bulan tersibuk yang harus dilewati, aku harus mengerjakan thesis demi mendapatkan gelar s2 Ekonomi.  Mbakyu amat baik, dia membantu aku dalam penyelesaian thesis, bahkan dia juga sering menyediakan camilan agar aku semangat dalam mengedit isi thesis yang selalu saja ditolak dosen pembimbing.  Tanpa terasa Kaila juga tumbuh semakin besar, gigi susunya sudah hampir lengkap, dia mulai bisa memanggilku dengan sebutan pali.   Agustus 2012 aku akhirnya memperoleh gelar s2, semua anggota keluarga hadir saat aku wisuda. Ibu menyesalkan karena aku tidak membawa pasangan untuk foto keluarga.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan