Deskripsi

Tubuhku menggeliat, meronta. Menggunakan seluruh kekuatan yang kumiliki, aku memecahkan cangkang yang memberikan kehangatan selama ini.


 

Membuka mata untuk pertama kali, aku terperangah akan keindahan hamparan pepohonan di hutan belantara, tempatku berada.


 

Suara-suara asing berbagai jenis hewan terdengar dari berbagai penjuru memasuki indra pendengaranku, bentangan rumput hijau yang amat luas berada jauh di bawahku.

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.


 

IG @Benitobonita


 

Tubuhku menggeliat, meronta. Menggunakan seluruh kekuatan yang kumiliki, aku memecahkan cangkang yang memberikan kehangatan selama ini.


 

Membuka mata untuk pertama kali, aku terperangah akan keindahan hamparan pepohonan di hutan belantara, tempatku berada.


 

Suara-suara asing berbagai jenis hewan terdengar dari berbagai penjuru memasuki indra pendengaranku, bentangan rumput hijau yang amat luas berada jauh di bawahku.


 

Untaian sulur berwarna cokelat menjuntai di antara dedaunan hijau yang tumbuh pada dahan dan ranting pohon trembesi tempat aku menetas.


 

Kedua mata hitamku yang besar mengamati tetesan air yang mengalir turun dari salah satu daun di atas kami dan jatuh tepat di depanku, menghasilkan getaran lembut pada aku tempat berpijak.


 

Saat rasa bingung dan terpana mengisi perasaanku untuk pertama kalinya, aku merasakan gerakan-gerakan ringan di sisiku. Menoleh ke arah suara, aku terkejut menemukan beberapa ekor makhluk yang serupa denganku.


 

Instingku segera mengatakan bahwa mereka adalah kaumku, saudara dan saudariku yang berasal dari kumpulan telur yang sama.


 

Salah seorang saudariku menengok ke arahku tersenyum dan aku membalasnya. Tidak berapa lama, aku telah mengenal seluruh saudara dan saudari yang lain. Hanya ada kami bersembilan pada pohon tempat kami menetas, ibu kami sepertinya meletakkan telur-telur miliknya menyebar. Antena pada pucuk kepala kami bergoyang, tanda saling memahami.


 

Tanpa ayah dan ibu yang membimbing, kami berjuang untuk bertahan hidup. Makanan pertama yang kurasakan adalah selembar daun yang kunikmati bersama saudara dan saudariku, tidak terlalu enak. Namun, dapat mengenyangkan perut kami yang lapar.


 

Sama seperti jiwa polos yang kami miliki, kulit kami berwarna putih bersih, berjalan di atas dedaunan menikmati belaian sinar matahari, perlahan warna putih itu berganti menjadi hijau seperti warna daun tempat kami berdiri atau coklat seperti warna batang pohon tempat kami tinggal.


 

Tubuh mungil kami pun bertambah besar, satu demi satu dari kami melepaskan kulit lama dan memperoleh kulit baru. Aku tidak menyukai pergantian kulit, tubuhku terasa gatal saat kulit lama mulai terkelupas. Namun, aku tahu bahwa kulit baru, berarti kami bertambah dewasa. 


 

Proses yang menyebalkan itu berulang sekali, dua kali, tiga kali hingga empat kali sampai semua saudara dan saudariku memiliki sepasang sayap yang dapat membawa mereka terbang mengitari pohon tempat tinggal kami.


 

Sayangnya, saat saudara-saudariku telah mencicipi gemuruh suara angin saat terbang rendah, aku masih harus menanti, menunggu dewasa.


 

Menghabiskan waktu di atas ranting, menatap iri kepada mereka, kulitku kembali berganti untuk kelima dan keenam kalinya. 


 

Pagi itu, mengeluh kesal karena rasa gatal yang menjalar di tubuh, aku kembali melepaskan kulit lama, tetapi ada sesuatu yang berbeda, sepasang sayap tembus pandang persis seperti milik saudara dan saudariku berada di punggungku.


 

Berbinar gembira, aku mencoba mengepakkan kedua sayap milikku. Pada percobaan ketiga, aku berhasil mengangkat tubuh meninggalkan ranting tempatku berpijak. Jantungku berdebar cepat, mencoba hal yang baru. 


 

Padang bunga yang tidak jauh dari tempatku bernaung menjadi tujuanku. Mendarat ringan pada salah satu kelopak kembang, aku bersorak gembira.


 

Saudari-saudariku mengagumi tubuh dewasaku, mereka mengatakan bahwa aku salah satu yang tercantik.


 

Saat itu aku hanya menanggapinya sambil tertawa, mereka memujiku hanya untuk menghibur, karena akulah yang paling akhir mencapai kedewasaan.


 

Akhirnya waktunya kami berpisah, Satu Mantis Satu Pohon, begitulah motto kami. Mengepakan sayap, aku mulai mencari rumah baru. Sebuah pohon berbatang keras, berdaun lebat, dekat dengan sungai kecil menjadi tempat tinggalku.


 

Aku mulai belajar berburu, memutar kepala seratus delapan puluh derajat untuk memeriksa mangsa yang dapat kusantap. Awalnya sulit, sifatku yang terburu-buru, menyebabkan calon makan siangku mengetahui posisiku dan melarikan diri. Maka aku belajar mengasah kemampuan memangsa yang telah diberikan alam kepada kaum kami, tenang, diam, dan sabar hingga pada saatnya bergerak secepat angin mencengkeram mangsa.


 

Seekor lalat terbang mendekati pohon yang menjadi tempatku berburu, tersenyum, aku menyamarkan diriku yang berwarna hijau di antara dedaunan, kedua tanganku yang bergerigi siap menangkap korban.


 

Binatang bersayap itu tidak menyadari hidupnya akan berakhir, terbang rendah memperpendek jarak kami, aku secepat cahaya menerjang dirinya dan menangkapnya dengan tanganku.


 

Hewan itu menggeliat dan meronta dalam kuasaku, tertawa geli melihat usahanya, menancapkan duri-duriku yang berada pada kedua lengan, binatang itu tidak akan dapat melepaskan diri, rasa lapar menguasaiku. Aku membuka mulut lebar-lebar lalu mulai merobek dagingnya dan melahapnya. Nikmat! Sayang aku tidak menyukai sayap miliknya, sehingga aku menyisakan benda itu.


 

Namun, aku belum puas, napsu makanku bertambah seiring membesarnya tubuhku. Kembali menunggu mangsa, aku kembali bersembunyi di antara dedaunan. 


 

Seekor jangkrik, terbang mendekat, tubuh binatang itu hampir dua kali lebih besar dibanding mangsaku sebelumnya. Bersorak gembira dalam hati membayangkan betapa sedap daging miliknya, aku menanti dengan sabar.


 

Sehelai daun terlepas dari ranting saat calon korbanku melintas, dengan kecepatan yang sama aku mencengkeramnya. 


 

Berbeda besar tubuh, berbeda juga perlawanan yang diberikan. Untuk kali ini aku berjuang lebih keras, menancapkan duri-duri pada tubuh hewan itu belumlah cukup untuk melumpuhkannya. 


 

Binatang itu terus meronta, ingin memperpanjang masa hidupnya di Bumi. Namun, aku membutuhkan dagingnya untuk kelangsungan hidupku.


 

Memeluknya lebih erat, aku menyerang bagian leher makhluk itu dengan gigiku. Kaum kami memiliki rahang yang kuat, merobek daging mangsa kami yang masih hidup bukan hal yang sulit.


 

Perlawanan binatang itu mulai melemah, saat aku memakan tubuhnya sedikit demi sedikit hingga akhirnya hanya beberapa bagian tubuhnya yang kutinggalkan.


 

Terbang rendah meninggalkan pohon kesayanganku, aku menuju hamparan bunga liar yang memiliki beraneka warna di dekat sungai jernih tempat tinggalnya berbagai jenis ikan.


 

Aku melihat salah satu saudariku pun sedang menyantap makan siangnya di antara dedaunan yang dekat dengan tempatku berada.


 

Tidak ingin mengganggu, aku kembali terbang mencari lokasi bermain di tempat lain. 


 

Sebuah kawasan yang penuh dengan semak-semak menarik perhatianku, beristirahat sejenak di antara tumbuhan itu, aku menatap langit biru yang indah.


 

Tiba-tiba terdengar suara yang tidak asing untuk pendengaranku. Memutar kepala maksimal, terlihat seekor ngengat terbang dekat dengan tempatku bermain.


 

Aku menimbang-nimbang, apakah aku akan memangsanya atau kah melepaskan binatang itu? 


 

Belum merasa kembali lapar, aku melepaskan makhluk itu. Tanpa menyadari dirinya hampir saja akan menjadi santapanku, binatang itu terbang melewatiku untuk melanjutkan kehidupannya.


 

Semilir angin membuat ilalang di dekatku bergoyang lembut, tertarik akan tumbuhan itu, aku terbang dan memanjat hingga puncaknya. 


 

Ilalang kembali bergoyang menahap beban tubuhku, merasa geli aku melompat dan mencoba memanjat ilalang lain yang memiliki tangkai lebih kuat.


 

Berulang kali aku berpindah tempat hanya untuk menghabiskan waktu hingga lingkaran kuning di langit yang memancarkan rasa hangat pergi menghilang.


 

Terbang kembali ke rumahku, berselimut dedaunan sejuk, aku tertidur, menanti hari esok untuk kembali berburu dan bermain.


 

19 Maret 2022


 

Benitobonita

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya 0 - Praying Mantis
0
0
 Hatiku berdebar, takut, dan antusias saat kekasihku mengamatiku dengan bergairah. Aku tahu dia ingin menanamkan benihnya. Namun, aku belum siap memberikan tubuhku untuknya.    
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan