
Ajit kewalahan setelah melihat status istrinya di media sosial. Karir terancam dan masa depan berubah suram. Apakah ia berhasil menemukan istrinya yang sudah pergi dari rumah.
Status Sindiran Istriku
Bab 6
"Jangan Ajit! Mama gak apa. Ayo kita pulang!" Mama menarik lenganku untuk masuk ke mobil. Aku menghapus air mata dengan jariku. Tega sekali istriku memperlakukannya seperti ini.
Mama selalu membelanya. Hatinya benar-benar tulus menyayangi Rima. Aku tak habis pikir. Wanita itu telah menggores luka kepada mama.
Mama terlihat murung, wajahnya berpaling mengarah jendela mobil." Ma, sebenarnya apa yang terjadi. Mengapa Mama menangis seperti ini?"
"Ajit, Mama gak tahu harus bilang apa. Istrimu sudah berubah tak seperti dulu lagi. Dia angkuh dan perkataannya tak selembut dulu. Ucapannya menyakitkan hati Mama." Mama terisak kembali. Kuambil tisu lalu memberikannya.
"Memang apa yang ia katakan?" Aku mencoba mengontrol emosi yang sudah berada di puncaknya.
"Dia bilang kalau kamu menikahi Rima karena dia kaya dan mudah untuk dibohongi. Semua sikap baik Mama hanya pura-pura saja. Perselingkuhanmu adalah aib dari papa kandungmu. Mama ...." Aku sedikit menoleh lalu fokus untuk mengendarai mobil.
"Lalu apa Ma."
"Mama bukan wanita baik-baik yang hanya memanfaatkan materi orang dan penyebab keretakkan rumah tangga papa kandungmu. Mama ini matre dan pelakor."
"Kurang ajar! Berani sekali ia merendahkan Mama. Aku tak terima!" teriakku. Membelokkan mobil kembali ke rumah Maya.
"Kita mau ke mana?" pekiknya." Ajit."
Ucapan mama bagaikan pisau tajam menusuk hati. Aku tak terima perkataan Rima. Wanita itu memang harus diberi pelajaran.
Keluar dari mobil dengan membanting pintu. Aku hendak melangkahkan kaki ke pintu. Dua orang penjaga terlihat menyeramkan. Tubuhku ditahan oleh mereka.
"Lepas! Aku mau bertemu Rima. Rima! Rima!" teriakku dengan emosi. Aku tak peduli mereka menahan tubuh ini dengan tangan kekar mereka.
"Rima, keluar kamu!"
Rima keluar dengan mengunakan kacamata hitam. Baju dress bunga-bunga selutut memperlihatkan kaki jenjangnya yang putih dan mulus.
"Ada apa teriak-teriak?!" ucapnya di depan pintu.
"Apa yang kau katakan kepada mamaku?! Aku tak terima dengan tuduhanmu. Kamu wanita yang tak diuntung." Kutunjuk jari ke arahnya. Rima terlihat santai dan tak berdosa. Para bodyguard menahan tubuhku agar tak mendekati Rima.
"Memang benar, apa yang aku katakan. Itu bukan tuduhan, tapi fakta." Rima melipat tangannya ke dada.
"Tak kusangka kau seperti itu. Wanita yang dulu aku cintai."
"Cinta? Kamu bilang cinta! Bull sit. Tak ada cinta di hatimu. Kamu penghianat dan kamu melakukan kekerasan kepadaku. Semua perlakuan yang telah kau berikan akan selalu aku ingat."
"Aku memang melakukan kekerasan, tapi aku tak pernah selingkuh."
"Dasar pembohong! Bukti yang aku miliki sudah sangat kuat. Wanita itu mengaku kalau kalian memiliki hubungan gelap. Tak kusangka, kalian rekan kerja, tapi selingkuh."
"Dengan siapa aku selingkuh?" tanyaku. Dadaku sudah naik turun. Rahangku semakin mengeras.
"Sudah, jangan pura-pura menutupinya."
"Aku akan buktikan kalau aku tak selingkuh. Semua itu hanya pose pemotretan. Aku sengaja merahasiakan untuk menjaga perasaanmu," ucapku melembut.
"Silahkan, buktikan semua kepadaku." Rima masuk ke dalam tapi kucegah.
"Tunggu! Aku ingin mengambil ATM hasil pemotretan."
"Oh, kartu itu. Baiklah!" Rima berjalan kedalam dan beberapa saat kemudian keluar dengan membawa kartu ATM milikku.
"Ini ATM-nya. Maaf uangnya sudah habis sebagai penganti uang yang telah kau gunakan untuk keperluan pribadimu." Ia berlalu dengan santai. Para bodyguard menutup pintu rumah dan mengusir paksa.
"Ajit, kamu tak apa," tanya mama mengkhawatirkan keadaanku. Aku menggeleng lemah.
"Kita pulang, Nak."
Selama perjalanan pulang aku diam tak berkata. Semua pikiran di otakku menjadi satu. Bagaimana cara membuktikan bahwa aku tak selingkuh.
Kami sampai di rumah, terlihat mobil milik mba Shela terparkir di sana. Ia menyambut kami di depan pintu.
"Kalian dari mana? Lama sekali aku menunggu kalian."
"Kamu sudah lama?" tanya mama lembut.
"Lumayan lama. Aku sampai tertidur di sofa. Eh, Ajit. Aku punya kabar baik untukmu," ucapnya.
"Kabar baik apa? Semoga ini bukan soal Rima. Aku cape dan lelah." Menghela napas panjang.
"Bukan. Ada perusahaan yang mau mengkontrakmu. Ia akan menjadikanmu model."
"Benarkah! Model apa?" tanyaku antusias. Untuk saat ini yang aku butuhkan adalah uang.
"Model kaos kaki. Lumayanlah. Daripada kamu gak ada kerjaan. Minggu depan kita akan pemotretan di studio. Bagaimana?"
"Baiklah. Tak apa-apa. Kita mulai dari nol," ucapku pasrah.
"Bagus, jangan patah semangat. Aku akan bantu kamu untuk mencari pekerjaan. Ada sih, yang menawarkan pekerjaan lain. Entah kamu mau atau tidak."
"Gak papa Mba. Yang penting dapat uang."
"Menjadi model penganti di GM."
Model penganti di GM artinya aku akan bertemu dengan Rima dan Ridho setiap hari. Apakah aku kuat menahan cemburu dan emosi." Baiklah Mba, aku mau."
Aku bisa bertemu dengan Rima dan membuktikan bahwa aku tak salah. Mba Shela menghubungi seseorang mengatur jadwal pemotretan untukku. Bersyukur masih ada kakak kandungku yang membantu.
Bab 7
Status Sindiran Istriku
Bab 7
Pov Rima
"Ampun Mas, sakit!" Aku menutup kepala dengan tangan. Suamiku memukul kepalaku dengan sepatunya. Rasa berdenyut di kepala semakin terasa. Sangat menyedihkan menjadi aku. Apa kurang diri ini.
Tak ada belas kasihan untukku. Ia juga menyiramkan air ke tubuh rampingku. Rasa dingin menjalar keseluruh tubuh. Perlakuannya sangat tercela.
"Kamu! Jadi istri gak tahu suami cape kerja malah ngomel-ngomel!" bentaknya tak terima. Mata tajam yang selalu kusukai memerah. Rahang yang sering bersandar di bahu mengeras.
"Aku bukannya ngomel, hanya bertanya. Mengapa kamu tak pulang sejak dari Bandara." tanyaku dengan suara terisak. Aku menunggunya semalaman, tapi nyatanya ia tak ada.
"Aku kerja buat kamu. Kamu diem aja! Aku cape mau istirahat." Ia mendorong tubuhku hingga membentur dinding.
Kepala terasa sakit dan nyeri. Tubuh ini tak dapat bangkit hingga pandangan menjadi gelap dan melemah.
Kubuka mataku perlahan, melihat suamiku--Mas Ajit berjongkok depan wajahku. Ia menepuk-nepuk pipi kencang.
"Eh, kamu ngapain tidur di sini! Lihat sudah hampir malam," ucapnya dengan nada tinggi."Bangun!" perintahnya. Suaranya mengema di dalam rumah.
Kupaksa membuka mata. Kepalaku terasa berat, tekuk leher pegal seperti batu yang menempel. Pandangan kabur terasa berputar-putar.
"Mas, aku kenapa?" tanyaku heran. Mengapa bisa tidur di lantai.
"Mana aku tahu! Aku bangun tidur kamu malah rebahan di sini. Bangun, aku lapar. Masakkan nasi goreng untukku dan jangan lupa omeletnya." Ia berdiri meninggalkanku dan duduk di depan televisi." Cepatan malah bengong!"
"I-iya Mas," ucapku terbata-bata. Bergegas aku bangkit dan melangkahkan kaki ke dapur. Mas Ajit masih saja mengomel. Sepertinya, ia sangat kesal. Entah apa yang dilaluinya saat bekerja.
"Kamu itu, sudah aku kasih enak duduk manis di rumah masih aja gak becus ngurus aku. Seharusnya ngerti dong. Suami lapar waktunya makan," omelnya dari jauh. Aku masih mendengar ucapannya.
"Seluruh uang aku berikan. Kamu juga harus maksimal melayaniku." Hasil pemotretan memang ia berikan. Tapi, tak cukup memenuhi semuanya.
Perlakuan dia kepadaku berubah setelah namanya terselip di antara nama model terkenal. Menurutku, ketenarannya belum mencapai papan atas.
Mengaduk-aduk nasi bersama bumbunya tak lupa baso sapi dan daun bawang. Acar selalu ada di kulkas. Ia menyukai acar tanpa gula. Hanya berbumbu garam dan cuka.
Aroma nasi goreng tercium wangi menggoda. Kupaksakan memasak dengan kepala berdenyut. Berusaha meraih gelas untuk mengambil air hangat. Meneguk pelan hingga kepala terasa ringan.
Menyajikan nasi goreng di piring spesial kesukaan mas Ajit. Lelaki itu menggunakan barang sesuai tren, dari penampilan hingga alat-alat makan. Begitu juga perabotan rumah yang sering gonta ganti. Alasan lelaki itu bosan dan jenuh. Uang siapa yang ia gunakan kalau bukan uangku.
"Wah, bagus sekali penampilannya." Mas Ajit mengeluarkan ponsel mahalnya dan memotret hasil masakanku. Ia mengunggah di akun medsosnya. Aku melirik malas, semua yang ia lakukan akan terekspose di akunnya.
"Rima ... sini mendekat. Tampillan senyum termanismu," ucapnya memeluk dan mencium pipi." Ih, kurang bagus. Kurang bahagia." Ia memotret lagi dengan gaya sama.
Tangannya membesarkan hasil foto di galeri." Mengapa wajahmu buruk sekali. Berminyak dan lebam. Ayo foto lagi!" Ia menarik tubuhku dan memeluknya dari belakang. Wajahku mengahadap ke depan, tak terlihat.
"Nah, ini baru bagus." Mas Ajit duduk dan menyendokkan nasi goreng ke mulutnya. Matanya melotot dan memuntahkannya.
"Rima! Masakannya tak enak, asin sekali!" Suaranya menggema di seluruh ruangan.
"A-asin, maaf Mas. Kepalaku pusing jadi gak sempet aku cobain." Aku memberikan air putih dingin dan ia meneguk habis.
"Kamu mau bikin aku darah tinggi! Senang aku mat*." Gelas yang ia pegang dilemparkannya secara asal.
"Ma-maaf Mas." Aku takut sekali mendengar teriakkannya. Dunia bagaikan segera berakhir untukku.
"Maaf! Maaf! Aku minta uang untuk makan di luar." Ia menadangkan tangannya ke arahku. Segera bergegas masuk ke kamar dan memberikan uang berwarna merah sebanyak tiga lembar.
"Kok tiga ratus, mana cukup aku minta tiga juta," ungkapnya. Aku terkejut dengan permintaannya.
"Kita harus bayar uang cicilan. Uang pemotretanmu belum cukup."
"Kan, masih ada uang di brankas. Kamu juga yang salah. Masak keasinan. Aku mau makan di luar saja."
"Biar aku masakin lagi, Mas," bujukku. Uang tiga juta lumayan besar.
"Kelamaan, kamu lagi sakit lebih baik aku makan di restoran," ucapnya berubah lembut.
Aku mengalah, daripada berdebat lagi lebih baik kuberikan saja uang yang ia minta.
"Ini Mas." Ia menyambar uang merah bercampur biru dengan kasar. Bergegas menganti pakaiannya. Penampilannya seperti anak muda ala korea.
"Mas, jangan malam-malam pulangnya." Mas Ajit tak menghiraukan ucapanku. Ia keluar tanpa berkata apa-apa.
Tubuhku luruh ke lantai, pernikahan yang kudambakan ternyata tak sesuai harapan. Menatap potret pernikahanku bersamanya, senyum indah bahagia terpancar di sana.
Kekacauan yang telah dilakukan suamiku belum kurapihkan. Kalau begini terus aku bisa gila.
Jam menunjukkan tiga pagi. Suara bel rumah membangunkanku. Bergegas membuka pintunya, aku terperangah melihat seorang gadis merangkul suamiku di bahunya. Ia tersenyum ragu.
"Maaf Mba, ini rumah mas Ajit bukan?" tanyanya memastikan.
"Iya, betul. Saya istrinya. Kenapa dengannya?"
Tubuh suamiku sempoyongan, kupapah dia ke bahu dengan bantuan gadis itu." Mau diletakkan di mana?" ucapnya.
"Tolong sekalian bawa ke kamar!" Ia menganggukkan kepala pelan dan mengikuti langkah kakiku.
"Suamiku kenapa?" tanyaku untuk kedua kalinya.
"Biasa Mba, mab*k. Tadi kita habis pesta di rumah Nilam."
"Pesta?" Aku menatap suamiku yang sudah berbaring di tempat tidur.
"Iya, Mba. Nilam merayakan tanda tangan kontraknya di Paris," jelasnya." Ini kunci mobil Ajit. Aku sudah ditunggu teman."
Ia pamit kepadaku dan tak lupa aku mengucapkan terima kasih. Mengantarnya hingga ke pintu. Mobilnya terparkir di luar gerbang. Di dalam mobil itu ada tiga wanita.
"Mengapa Mas Ajit tak mengajakku. Padahal, Nilam adalah temanku dulu. Bilangnya cari makan ternyata, pergi ke pesta," ucapku lirih. Kuambilkan air hangat untuk membersihkan tubuhnya dan kembali ke kamar.
Membuka sepatu serta kaos kaki putih secara perlahan. Semua pakaiannya aku lucuti. Merogoh kantung, memastikan barang yang berada di bagian celana.
Sebelum memasukkannya ke dalam mesin cuci agar mesin itu tak rusak akibat benda asing yang berada di kantung celana.
Serbuk di dalam plastik putih kecil di dalam genggamanku. Tak ada nama yang tercantum. " Serbuk apa ini?"
~~~
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
