Hadiah Terindah Di Pernikahan Kedua Suami Bab 1-3

1
0
Deskripsi

Ilham membawa wanita lain ke rumahnya. Ia meminta izin kepada Intan, istri pertama. Pria itu berjalan bergandengan tanpa rasa malu atau dosa. Bukan itu saja, Ilham membawa keluarga dari calon istri barunya. 

Intan menghadapi dengan santai. Mereka tak tahu siapa Intan sebenarnya. Selama ini ia merahasiakan profesinya. Bagaimana cara Intan memberi mereka pelajaran. 

 

Bab 1 


 

"Intan kenalkan ini calon istri Mas," ucapnya tanpa beban sedikit pun.

Tangan mereka saling bertautan. Melihat hal itu hatiku terasa teriris sembilu. Namun, berusaha untuk tegar dan tenang.

Aku melirik ke arah mereka yang berdiri tak jauh dariku. Sengaja memilih acara talk show yang lucu agar hatiku tak terluka parah.

"Intan, tolong kecilkan suaranya. Ini Rita calon istri Mas," bentaknya merasa tak dianggap.

"Oo ...."

Adegan Sule dan Andre di televisi membuatku tertawa hingga air mata ini menetes.

Mas Ilham mematikan televisi dan berdiri tepat di depanku. Sorotan matanya menyeramkan dan bagian rahang telihat mengeras.

"Intan, aku sedang bicara denganmu. Ada tamu malah nonton TV," sungutnya kesal. Melirik wanita yang berdiri tak jauh dari kami.

Aku mendongakkan wajahku dan berdiri tepat di depannya. Wajah mas Ilham terlihat memerah. Memutar bola mata malas dan melewati tubuhnya tanpa berucap.

"Intan, minggu depan aku akan menikahinya," teriaknya di belakang tubuhku. Mungkin ia kesal karena aku bersikap masa bodoh.

"Lalu aku harus apa?" tanyaku tanpa menoleh. Rasa sakit menyeruak dalam dada. Sebegitu cintanya kau kepada wanita itu. Apa dia lupa siapa yang selalu berada di sampingnya susah dan duka.

"Terima dia sebagai adik madumu. Dia akan tinggal di rumah ini bersama kita."

Aku membalikkan tubuhku. Menguatkan hati dan berusaha setegar mungkin. Tersenyum meremehkan sang wanita.

"Rita akan menjadi istri keduaku dan mama untuk Bayu. Dia bisa membantumu juga. Hiduplah dengan rukun."

Ucapannya tak membuatku terkejut. Wajah lelaki itu terlihat bingung. Ingin tertawa boleh tidak. Kami memiliki seorang anak laki-laki berumur lima tahun. Apakah dia tak memikirkan perasaan aku dan anaknya. Sebegitu mudahnya mengatakan hal demikian.

Kupandangi Rita dengan tatapan dingin. Perutnya terlihat membuncit. Sudah aku duga, suamiku telah berselingkuh. Ia telah menanam benih di rahim wanita lain hingga janin itu tumbuh. Apakah diriku tak bisa memuaskan dirinya. Servis yang selalu membuat dia ternganga nyatanya tak membuat dirinya setia. Egois lelaki egois.

Rita, teman kuliah suamiku. Mereka beda tingkatan. Wanita itu berumur lebih tua dariku. Dulu mereka adalah sepasang kekasih. Rita dijodohkan oleh orang tuanya. Kini, wanita itu telah berstatus janda. Entah apa masalahnya aku tak tahu.

Diam-diam aku tahu permainan mereka. Suamiku sering pulang larut malam. Terkadang, ke luar kota di akhir pekan. Waktu yang seharusnya digunakan untuk berkumpul dengan keluarga. Ia gunakan untuk memadu kasih bersama selingkuhannya.

"Terserah, kamu. Aku melarang, kamu akan tetap menikahinya. Untuk apa izinku. Mana pernah kamu memikirkan perasaan kami." Suaraku begitu santai akan tetapi hatiku sakit tak berdarah.

"Intan, mengapa kamu bicara begitu? Aku memikirkan kamu dan Bayu. Semua rumah dan seluruh hartaku untuk kamu, Sayang."

Dulu ucapannya membuatku melayang bagaikan di udara. Sekarang tidak, perasaan cintaku sudah kubuang ke jurang dan tak akan aku pungut kembali cinta itu.

"Izinkan aku menikah lagi." Ia menyodorkan surat izin menikah kepadaku.

Mereka ingin menikah resmi. Sungguh terlalu sekali lelaki itu. Kuambil kertas itu melirik sekilas dan menyobek dihadapan pria yang telah aku urus selama lima tahun lebih.

Mas Ilham terlihat marah. Aku tersenyum dan berkata, "Menikahlah dan ceraikan aku."

"Tidak! Aku tak mau menceraikanmu. Sampai kapanpun tak akan pernah!"

Aku tertawa terbahak-bahak hingga air mata mengalir dari ujung mata. Sakit sangat sakit rasanya. Kukuatkan hati dan setenang mungkin. Ia ingin menikah lagi tapi tak mau melepaskanku.

"Serakah, lelaki serakah! Kamu pikir aku akan menandatangani kertas itu dan mengizinkan kalian menikah sah. Tidak!" Menekan kata agar ia mengerti. Tak ada wanita yang siap dimadu. Perasaan kami bukan mainan.

Wanita selingkuhan suamiku hanya diam dan menunduk. Ia meremas jarinya, wajahnya pucat.

"Kita bisa hidup bahagia dan aku akan bersikap adil. Aku janji."

"Janjimu palsu! Kamu ingat, dulu kamu berjanji kepada almarhum ayahku dan kini kamu mengingkarinya."

"Intan, aku harus bertanggung jawab karena Rita hamil anakku. Aku mohon izinkan aku."

"Maaf aku tak bisa, Mas. Bawa pergi perempuan itu dari rumah ini. Aku tak ingin dia menginjakkan kaki lagi di sini. Pergilah kau dari sini!" ucapku dengan lantang.

"Ini rumah, Mas. Kamu gak bisa usir kami!" Mas Ilham menarik lengan Rita ke lantai atas. Wanita itu melirik aku dan tersenyum kemenangan.

Mereka masuk ke kamar tamu samping kamar milikku. Suara pintu tertutup dengan kencang mengakibatkan bunyi yang mengema di dalam rumah.

Lihat saja akan aku buat kalian menyesal. Akan aku buat hadiah terindah yang tak akan kalian lupakan.

~~~

Hari pernikahan mereka berlangsung di rumah kami. Aku tak membantu sedikit pun. Biarlah Rita yang mengurusnya. Walaupun, lelaki itu memarahiku dengan segala perkataan kasarnya.

"Intan, kamu masa tega. Lihat Rita sedang hamil anakku. Kamu urus acara ini. Jangan duduk dan menonton televisi saja. Bantu Rita!" teriaknya membela simpanannya.

"Ini pernikahanmu dan dia. Mengapa aku yang repot. Urus saja sendiri. Aku tak mau tahu."

Wajah mas Ilham semakin memerah. Ia menarik lenganku kasar dan melayangkan tangannya ke udara.

Plak!
Ia melukai pipiku dan hatiku. Kubalas perbuatannya dengan menamparnya kembali.

Plak! Plak!

"Jangan pernah menamparku kalau kamu tak mau kutampar," ucapku lantang.
 

Mas Ilham mengusap pipinya akibat ulahku. Lelaki itu menatapku heran. Mungkin dia bingung mengapa aku melawan. 
 

Ijab kabul telah diucapkan. Sengaja aku tak keluar kamar menyaksikan pernikahan mereka. Apa aku tak merasa sakit. Jelas sangat sakit. Lebih baik tak melihatnya.
 

Bayu berada di rumah neneknya selama dua minggu. Aku tak mau anakku terluka akibat ulah papanya. Tak ada setetes air mata yang menetes. Air mata ini terlalu mahal untuk dirinya.
 

Melangkahkan kaki keluar kamar dengan menggunakan dress di atas lutut dengan model tali yang menyilang di belakang punggung. Berdandan secantik mungkin menghadapi kehidupan yang baru.
 

Mas Ilham sedang duduk di sofa bersama keluarga Rita. Mereka menoleh ke arahku karena suara high heel merah milikku terdengar nyaring.
 

Mata suamiku membesar, ia melihat penampilanku yang berubah. Sejak menikah penampilanku sederhana. Suamiku tak mengizinkan untuk berpenampilan terbuka. Kali ini aku akan melakukan semua yang ia larang.
 

"Kamu mau ke mana?" tanya mas Ilham dengan wajah memerah. Aku melewatinya begitu saja seolah-olah mereka tak ada. Ia terus memanggilku hingga aku berada di mobil hadiah ulang tahun pemberian suami yang telah menghianti istrinya.
 

Melaju mobil dengan santai. Menghubungi seseorang yang aku percayai.
"Hancurkan mereka semua atau bom saja rumahnya. Aku tunggu kalian di basecamp."
 

Aku yakin mereka mengerti perintahku. Suamiku tak tahu siapa aku sebenarnya.
 

Selamat tinggal untukmu pengantin baru dan beserta keluarganya. Hadiah terindah dariku untuk kalian.
 


Bab 2 

"Hancurkan mereka semua atau bom saja rumahnya. Aku tunggu kalian di basecamp,"ucapku di ponsel rahasia yang selalu aku simpan di tempat aman. 
 

Aku yakin mereka mengerti perintahku. Suamiku tak tahu siapa aku sebenarnya. 
Aku geram melihat keegoisannya. Tak memikirkan perasaan dan hati keluarga kecilnya.

Enam tahun menikah, ia tak tahu apa-apa. Lelaki itu hanya tahu aku selalu berada di rumah sebagai ibu rumah tangga. Istri penurut yang selalu memuja suaminya.

Apapun yang dilakukan suami, aku akan mendukung kecuali menikah lagi. Melakukan semua yang selalu menyenangkan hatinya.

Dulu, kami adalah pasangan yang serasi bagaikan amplop dan perangko, ke mana-mana selalu menempel.

Mas Ilham yang masih setia selalu menyanjungku, istri tercintanya. Melakukan hal romantis.

Awal menikah sangat indah. Bayangan yang selalu terlihat jelas di kepala. Tapi, itu dulu kini semua sudah berubah begitu juga diriku.

Benar pepatah bilang. Semakin tinggi jabatan, semakin besar pula godaannya.

Menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Akal sehatku sedikit hilang karena cemburu yang sudah merasuki tubuh. Mungkin lebih tepatnya kali ini aku kesetanan.

Bom akan meledak menghancurkan mereka, bisa juga pecahan kaca atau pecahan lain melukai orang lain yang tidak bersalah. Sungguh jahat diriku sangat jahat.

Keluar dari mobil dengan mondar-mandir masuk kembali ke mobil. Dasar aku, emang bukan wanita jahat. Mana mungkin nekad membom rumah yang nampak megah itu. Aku memang tak pantas sebagai ter*ris atau m*fia.

Mengambil ponselku dan menghubungi anak buahku.
"Batalkan pemboman. Kita susun rencana selanjutnya," perintahku pada mereka. Aku juga tak mau profesiku ketahuan mereka.

Otakku mulai berpikir, ide itu akhirnya terlintas juga. Mengetik pesan kepada mereka yang menunggu perintah bos besarnya.

Hanya butuh setengah jam, mereka sudah siap dan sampai di TKP. Melihat dari Ipadku yang selalu kusembunyikan di dalam mobil. Mereka mengunakan kamera tersembunyi yang biasa digunakan untuk menyelesaikan sebuah misi. Tak sia-sia memesan kamera canggih keluaran terbaru.

Lima orang datang dengan alat spryer gendong. Mereka adalah anak buahku datang bersama dua orang petugas dinas kesehatan. Mereka memakai APD suit lengkap dengan peralatan mereka.

Wajah mereka yang duduk di ruang tamu terlihat panik melihat kedatangan petugas dengan pakaiannya setelah bi Inem mempersilahkan mereka masuk.

"Selamat siang! Apa benar Anda Pak Ilham?"

"Benar, saya Ilham. Kalian siapa?" Aku tertawa mendengar ucapan mas Ilham. Suaranya bergetar, dahinya mengernyit heran. Ia terlihat takut begitu juga keluarga Rita.

"Kami petugas penyemprotan disinfektan akan melakukan disinfeksi terhadap rumah Anda."

"Tapi, kami tidak ada yang positif," tolak suamiku.

"Maaf Pak Ilham, salah satu tamu Anda yang baru saja datang ternyata positif. Jadi kami akan membersihkan semuanya dan melakukan tes kepada kalian yang berada di ruangan ini." Aku yakin mereka pasti percaya saja karena situasi kota yang sedang tak kondusif.

"Apa kalian yakin tak salah orang?"

"Kami yakin, karena sesuai dengan alamat Bapak."

Wajah mas Ilham menoleh ke arah Rita. Tak berapa lama lagi. Wanita tua yang berada di samping Rita pingsan dalam keadaan duduk.

"Mama!" Rita menahan tubuh mamanya.

Kakak dan adik Rita segera bangkit dan hendak keluar. Namun, anak buahku menahan tubuh mereka.

"Maaf, kalian harus isolasi mandiri. Dilarang keluar dari ruangan ini sebelum hasil tes keluar." Mereka saling berpandangan. Aku puas melihat dari layar CCTV ini. Suaranya jelas dan gambar bagus.

"Tidak mungkin! Kami sehat dan tak ada tanda-tandanya."

"Mohon kalian ikut prosedur!"

"Tidak mau. Lepaskan!"

Mas Ilham diam saja tak membantu perdebatan ipar-iparnya dengan petugas.

Aku hanya bisa tertawa menatap layar kaca dihadapanku. Panik' gak panik' lah masa enggak.

Akhirnya, mereka mengikuti permainanku. Petugas sedang melakukan SWAB. Kakaknya Rita menolak untuk melakukannya. Ia memberontak ketika alat mulai di keluarkan dari tempat.

Tubuh mas Ilham terduduk lemas. Aku bisa melihatnya pasrah. Ia tak akan bisa ke mana-mana selain berada di dalam rumah. Pada saat itulah aku mulai beraksi masuk ke dalam perusahaannya.

Kelima anak buahku melakukan penyemprotan. Mereka telah meletakkan mini camera di tempat yang aku inginnya. Setidaknya dalam beberapa hari ini, melihat tontonan gratis dari rumah itu. Mungkin, akan ada petunjuk yang lain.

Tunggu saja, aku akan membuatmu tak berdaya. Diam saja di rumah. Jangan ke mana-mana biarkan aku yang bekerja. Selamat menikmati hari pernikahan kalian.

Apakah aku jahat, tentu tidak. Mereka yang membuat aku seperti ini.

**

Aku berdiri dihadapan makam papaku. Memandang gudukan tanah bertaburan bunga warna-warni. Rumah tempat terakhir milik papa selalu bersih dan terawat.

"Pa, lihatlah! Menantu pilihan papa telah menghianatiku. Aku pikir kami akan bahagia, ternyata kebahagian itu hanya sesaat. Ia seorang b*jingan." Hanya senyum yang hanya bisa aku berikan.

Lelaki tua yang telah terkubur di dalam tanah, ia yang memaksaku untuk menikah dengan mas Ilham.

Tak menyalahkannya hanya saja aku kecewa dengan keegoisan beliau ketika masih hidup. Aku akan merebut kembali apa yang telah ia berikan kepada mantu kesayangannya.

Wanita yang telah mendampinginya selama hidupnya hanya mendapatkan rumah dan uang bulanan dari perusahaan.

Air mataku tak dapat kutahan. Kehidupanku ternyata menyakitkan." Sejak pertama kali bertemu aku tak mencintainya. Setelah rasa itu tumbuh dengan cepat. Ia menikahi wanita lain." Isakku semakin kencang. Aku kecewa, tak menyalahkan papa karena memilih mas Ilham.

Ponselku berdering di dalam tas. Mengambilnya perlahan dan melirik pemilik nomor yang melekat di layar ponselku. Mas Ilham menghubungiku.

Menghapus air mata dan menarik napas panjang. Aku tak mau, ia mengetahui kalau aku sedang menangis.

"Intan, kamu ke mana? Kenapa belum pulang?" tanyanya dengan nada tinggi tanpa mengucapkan salam.

"Aku di pemakaman papa, kenapa?" jawabku malas.

"Pulanglah! Aku butuh kamu," ucapnya melembut. Seolah-olah aku akan luluh.

"Tidak aku tak akan pulang," tolakku cepat.

"Pulanglah. Bi Inem dan pak Dewo telah pergi. Siapa yang mengurus aku?"

"Kamu punya istri lain. Suruh saja wanita itu memasak dan mengurusmu. Mengapa harus aku?"

"Tidak bisa. Dia lagi hamil. Kandungannya lemah."

"Maaf, Mas. Aku tak akan pulang tak ingin menganggumu. Seharusnya, kamu bahagia tak ada aku di sana. Kalian bebas melakukan apa saja."

"Tapi, Intan sayang. Aku ...." Ia terdiam tak meneruskan ucapannya.

Mungkin ia ingin mengatakan kalau dirinya beserta keluarga istri barunya melakukan isolasi mandiri.

"Sudahlah! Nikmati saja waktu kalian di rumah itu." Segera menutup panggilannya tanpa mengucapkan kata yang lain. Biarlah ia kesal hingga kepalanya pecah berhamburan.

Pintar sekali dia, menyuruhku pulang untuk menjadi pembantu mereka. Bi Inem, wanita itu aku yang menyuruh untuk balik ke kampung selama dua minggu. Biar tahu rasa mereka bagaimana lelahnya mengurus rumah sebesar itu. Nikmati harimu, mas.

***

Kaki jenjangku melangkah memasuki gedung tinggi berlantai lima. Tempat ini adalah tempat kerjaku, The Corp. Tak banyak yang tahu apa yang tersembunyi di dalamnya.

Gedung ini memiliki tempat perawatan kecantikan dan butik. Aku mendirikannya sejak tiga tahun yang lalu dengan uangku sendiri.

Mas Ilham hanya tahu kalau aku suka datang ke sini untuk melakukan perawatan. Bukan itu yang aku lakukan. Melainkan melakukan pekerjaan yang sedang aku tekuni menjadi pemilik agen mata-mata rumah tangga dan sejenismya.

Banyak istri atau suami yang menjadi korban perselingkuhan. Kami akan membantu menemukan jawabannya.

Atau masalah lain yang tak berhubungan dengan perselingkuhan.

"Hai, Big Bos baru muncul. Bagaimana permainanmu?" Merangkul bahuku dengan senyum ciri khasnya. Ia adalah Cheri.

"Lumayan, tapi itu belum seberapa."

"Jangan kasih ampun suami kayak gitu. Sudah dapat istri yang perfect masih aja ngebolang," sambung Adel. Ia berjalan tak jauh dari kami.

"Tenang saja, aku akan memberikan yang lebih menyakitkan." Ucapanku penuh kebenc*an.

Kami saling merangkul masuk ke dalam ruangan. Tempat kami bekerja membantu mereka yang telah dibohongi oleh pasangannya.

Aku memang seorang agen mata-mata, kenapa aku tak tahu kebusukan suamiku sejak dulu karena mata dan hatiku tertutup cinta serta perlakuannya yang lembut membuat aku mabuk kepayang.

Kami memang dijodohkan dan aku terpaksa menikahinya. Mas Ilham membuatku jatuh cinta dan aku terbuai oleh bujuk rayunya.

Seorang dokter belum tentu ia selalu sehat pasti ada masanya akan sakit. Semua guru belum tentu mengetahui seluruh ilmu dunia bagitu pula diriku sama seperti mereka.

Agen ini aku dirikan bersama kedua sahabatku. Kami sejak sekolah selalu bersama-sama. Menerima semua kekurangan dan kelebihan kami. Saling mendukung antara satu dengan yang lain.

"Intan, aku punya ide yang bagus. Kita kasih pelajaran buat suamimu," ucap Cheri dengan senyum.

Cheri berbisik di telingaku. Aku menganggukkan kepala. Adel juga menempelkan telinganya. Senyum terukir di bibir kami. Kami saling berpandang dan tertawa.

"Rasakan kamu, Mas."

Bab 3

Aku tersenyum puas melihat mereka yang panik dari layar laptopku. Empat CCTV mini tersembunyi di ruang keluarga, ruang tamu, ruang kerja, dan juga kamarku.

Tante Vivi Sepertinya mengamuk. Ia tak betah berdiam diri di dalam rumah. Puas sekali melihat mereka seperti cacing kepanasan. 
 

"Kamu Ilham, kenapa juga mengundang orang untuk hadir di pernikahanmu. Kalau begini kita semua yang kebingungan. Bagaimana kalau salah satu dari kita positif," makinya. Mas Ilham diam tak menjawab.

Rasanya ingin tertawa di atas penderitaan mereka. Rencana aku memang bagus untuk memberi pelajaran mereka. Seharusnya bahagia di pernikahan mereka, tak akan aku biarkan itu terjadi. Enak saja menyakiti hatiku.

"Iya, nih. Bikin repot. Udah gak ada pembantu lagi. Siapa yang masak dan beres-beres rumah ini. Aku gak mau dan gak sudi." Lisa, adik Rita menimpali.

Dasar manja dan malas pekerjaan rumah saja tak bisa. Cantik doang pintar tidak.

"Pokoknya saya gak mau tahu. Kamu harus menanggung semuanya!" Tante Vivi angkat bicara. Wanita tua yang mendukung anaknya jadi kedua. Sunggu miris hanya karena harta. 

"Tenang, Ma. Mas Ilham akan tanggung jawab. Sekarang ada M-banking dan delivery. Semua pasti gak kelaparan. Iya, kan Sayang."

Aku tertawa mendengar ucapan manis wanita yang merebut suamiku.

"Kalian mau makan apa?" tanya mas Ilham. Ia mengeluarkan ponselnya dari saku celana.

"Mama mau bubur ayam jamur, ice capucino dan tomyum seafood untuk nanti siang jangan lupa tambah udon. Pesan di Oishi suki saja. Di sana rasanya enak, pedasnya pas dan tak terlalu asam."

"Aku juga mau kwetiaw sapi dan es campur spesial," ucap Lisa.

Mas Ilham mengetik pesanannya melalui delivery online. Mereka juga memesan makanan dalam jumlah banyak. Sungguh tak tahu malu. Sedangkan aku saja tak pernah seperti itu. 

Wajah suamiku berubah.  Ia mengutak-atik ponselnya. Aku hanya terbahak melihat semua itu. Bagaikan menonton film layar lebar. Aku bahagia walau melihatnya dari kejauhan saja. Cukup puas, tak sia-sia memasang CCTV harga puluhan juta.

"Rit, Rita! Kok, saldo Mas habis. Kamu buat pakai apa?" tanyanya dengan nada tinggi.

"Lah, kok aku. Aku cuma pakai tiga ratus ribu dua hari yang lalu."

"Ini kenapa saldo hanya lima belas ribu? Kamu yang memakai aplikasi ini terakhir kali."

"Mas, kok nuduh aku! Aku tak tahu. Jangan salahkan aku. Mungkin kamu lupa mengisinya."

"Aku ingat sisa saldo masih ada tujuh ratus ribu. Gak mungkin aku lupa."

"Bisa saja kamu lupa. Aku gak tahu," sungut Rita kesal.

"Lalu siapa kalau bukan kamu!" bentaknya. Mas Ilham mulai memperlihatkan kemarahan.

Seandainya aku seorang produser sudah aku buat sinetron cerita mereka. Lihat saja mas, ini belum seberapa. Hatiku lebih sakit dari kau kira.

Tampak Rita mengusap pipinya. Mas Ilham membulatkan mata ke arah wanita yang baru saja dinikahinya.

"Kok, aku terus yang disalahkan. Aku tak tahu, Mas. Kamu itu kenapa bentak-bentak aku." Rita terisak lebih keras.

Drama yang bagus sekali pakai air mata buaya. Dasar wanita ular.

"Sudah, Ilham. Kamu bisa bayar pakai M-banking. Cepat kami lapar!" cetus tante Vivi melerai mereka.

Lelaki yang telah menikahiku menghembuskan napas panjang, ia kembali duduk dan mengerutu." Menyusahkan saja satu keluarga."

"Hei! Saya dengar ucapan kamu!" maki tante Vivi.

"Maaf, Tante." Mas Ilham melanjutkan tujuannya. 
Menatap layat kaca ponsel mahalnya.

"Si*lan! Ke mana uangku!"

"Mas, ada apa lagi?" tanya Rita tak kalah panik.

"Saldo Mas, habis tak ada yang tersisa." Tubuhnya luruh ke samping sofa.

"Biar aku saja yang keluar," ucap kakak Rita. Ia bangkit hendak membuka pintu." Kuncinya mana?" teriaknya.

Aku hanya bisa mendengar teriakkannya karena tak ada kamera di dekat pintu. Semua pintu telah kami kunci dari luar dan jendela tak akan bisa mereka buka karena tertutup teralis besi.

Rasakan kalian! Selamat menikmati indahnya kebersamaan. Semua saldo milik mas Ilham telah ditrasfer ke rekeningku. Ia akan merasakan hidup pas-pasan di dalam rumah mewah.

Akan aku buat mereka frustasi dan akhirnya kehilangan akal sehat.

Untung saja perhiasan dan barang-barang berharga sudah diamankan oleh anak buahku. Mereka juga mengunci lemari milikku. Kalau tidak bisa hilang semua barang-barangnya.

Mas Ilham dan Rita memutuskan tidur terpisah. Padahal hari ini, malam pertama mereka. Di dalam kamarku mas Ilham terlihat gusar. Ia menatap foto aku dan dirinya. Mengusap figuran yang menempel di dinding.

Apa dia menyesal? Entahlah aku tak tahu. Saat ini aku tak memikirkan perasaannya. Ia saja tak memikirkan perasaanku. Semua ada timbal baliknya. Pria egois seperti mas Ilham harus dibasmi agar tak ada pria yang berani menyakiti hati wanita.

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Mengizinkan masuk dan menutup layar laptopku.

"Bos, ini berkas yang dicari. Sepertinya ada keanehan." Ia menyodorkan beberapa kertas.

"Ini surat apa, Del?" Aku mengernyit heran.

"Lihatlah! Surat ini dibuat sebelum kalian menikah. Di sini terlihat tanggal dan tahunnya." Tangannya menunjukkan paling bawah sebelah kanan.

Mengapa aku tak pernah tahu tentang ini. Darahku seketika mendidih hingga ke ujung kepala.

"Ber*ngsek! Lelaki itu sudah keterlaluan! Nafasku tersengal-sengal. Mengepal tangan menahan emosi." Lebih baik kita siksa saja dia!" teriakku lantang.

"Sabar, Intan! Santai saja. Kita lakukan secara perlahan. Perusahaan itu milikmu hanya saja om Brian, papamu menyerahkannya kepada Ilham dengan cara menikahimu. Lakukan rencana awal."

Adel berusaha menenangkanku. Ia tahu betul sifatku. Rasa geram ini sangat menyiksa. Walaupun, lelaki itu masih berstatus suami.

"Sorry, aku terbawa suasana. Makasih sudah banyak merepotkanmu." Kupejamkan mata menghembuskan napas dan mengeluarkan perlahan. Ada perasaan lega di hati.

"Seperti dengan orang lain saja. Kita sudah seperti saudara. Kamu, aku, dan Cheri. Masalahmu adalah masalahku juga."

Kalau saja bukan Cheri yang memergoki mas Ilham berada di Bali. Aku pasti tak tahu apa-apa. Cheri sedang melakukan penyelidikan kepada tersangka perselingkuhan. Beruntung aku memiliki pekerjaan seperti ini.

"Hei, Bos! Kok melamun. Sudah tak usah dipikirkan. Masih banyak lelaki tampan, setia, dan baik di sana. Hidup ini memang berliku-liku tetap enjoy. Kalau tak kuat tinggal ngopi. Kalau gak punya kopi, tidur bae." Ia terkekeh.

"Tentu saja. Aku akan menikmatinya. Pergilah, lakukan tugasmu selanjutnya."

"Asiap, Big Bos!' Adel meletakkan tangannya di kening.

Aku tertawa melihat tingkah bar-baran Adel, setidaknya itu bisa memberi hiburan untukku.

"Untuk sementara, aku tinggal di rumahmu, Del. Boleh tidak?"

"Wah, tentu boleh. Pasti Bundaku senang."

"Terima kasih, Del."

"No problem," ucapnya. Ia keluar ruanganku melambaikan tangannya.

Menatap surat yang telah ditanda tangani almarhum papa dan suamiku. Sebenarnya apa yang terjadi antara mereka.

Mas Ilham menikahiku dan papa memberi semua saham yang seharusnya milikku. Apa maksud semua ini. Aku akan mencari tahu hingga ke akar-akarnya.

****

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Sindiran Istriku Bab 6-7
1
0
Ajit kewalahan setelah melihat status istrinya di media sosial. Karir terancam dan masa depan berubah suram. Apakah ia berhasil menemukan istrinya yang sudah pergi dari rumah. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan