
Liliana Dermawan dan Benedict Andes bertemu di Swinger Club. Liliana dipaksa Samuel, suaminya untuk melakukan hubungan terlarang dengan Ben, sementara itu Samuel berhubungan dengan Chika, tunangan Ben. Pertemuan singkat pada malam itu tidak selesai begitu saja. Liliana berharap pada Ben untuk melepaskan dirinya dari jeratan monster bernama Samuel Lunggono.
Konsentrasi Benedict buyar. Seharian tubuhnya berada di kantor, tetapi pikirannya melalang buana menembus dinding, terbang ke angkasa. Otak Benedict dipenuhi kekalutan. Bagaimana kalau Samuel berhasil menemukan Liliana? Bagaimana kalau Liliana disiksa lagi lalu tidak selamat?
Mata kuliah Kriminologi yang diam-diam Benedict ikuti saat masih mahasiswa, menyusup masuk ke dalam memorinya. Setelah 8 tahun lulus kuliah, baru dia rasakan manfaatnya sekarang.
Benedict memilih peminatan hukum bisnis meskipun berlawanan dengan kesukaannya. Benedict kecil menyukai kartun Detective Conan. Memperhatikan petunjuk kecil dari hasil tindak kejahatan lalu menggiring pada pelaku utamanya sangatlah menantang. Benedict ingin menjadi jaksa penuntut umum atau pengacara pidana.
Sayang sekali uang kuliahnya dibayar oleh sang ayah. Sehingga suka atau tidak, ayahnya lah yang berkuasa menentukan jalan hidupnya. Gilbert berkeras memaksa calon penerus HAD Law Firm mengambil peminatan hukum bisnis. Apa lagi penyebabnya kalau bukan faktor uang? Klien kakap datang dari kalangan pengusaha. Sementara perkara pidana seringnya mendatangkan sedikit uang, kecuali perkara pidana yang berhubungan dengan perusahaan.
Salah satu materi kuliah yang Benedict ingat adalah Sosiologi Kriminal di mana membahas Etiologi sosial. Benedict mendapat pencerahan bagaimana suatu kejahatan bisa timbul. Teori psikogenesis menjelaskan rasa frustrasi dan tekanan kepribadian dapat mendorong seseorang melakukan kejahatan.
Layar komputer di hadapan Benedict menyala, menampilkan deretan huruf yang merangkai jawaban atas gugatan lawan. Seharusnya dia menyelesaikan ini, tetapi benaknya malah memikirkan ucapan Samuel. Perkawinannya dengan Liliana dipertahankan demi citra baik. Samuel sadar kelangsungan bisnis bergantung pada kesan baik. Hal ini cukup menjadi pendorong bagi Samuel untuk memperjuangkan habis-habisan Liliana agar kembali ke pelukannya.
Percuma memaksakan bekerja jika pikirannya ke mana-mana. Benedict mematikan komputer, beranjak dari kursi empuk, menyambar jas di sandarannya lalu keluar dari ruangan.
Tatapan menyelidik para junior associate secara sembunyi-sembunyi mengikuti langkah Benedict. Dia sedikit bersyukur karena senior associate punya ruangan sendiri sehingga tak terlalu memperhatikan aktivitas yang terjadi di luar. Junior associate tak terlalu Benedict khawatirkan, sebab mereka hanya bisa bergosip.
Pukul 5 sore. Benedict akan menuju mall untuk membeli beberapa lembar pakaian wanita.
***
"Hai, Ben." Liliana sudah bisa tersenyum lebar saat melihat siapa yang datang ke ruang perawatan membawa paper bag berlogo pakaian.
"Gimana kabar kamu hari ini?" Benedict membalas senyum Liliana. Keadaannya jauh lebih baik dibandingkan pertama kali mereka bertemu.
"Baik."
"Syukurlah." Benedict lega. Seharian dia cukup frustrasi memikirkan cara menelepon Liliana. Samuel sejatinya tahu Benedict bersama Liliana. Jika dia belum bertindak sampai detik ini, kemungkinan besar menunggu itikad baik Benedict.
"Tadi Samuel datang ke kantor," ucap Benedict.
Liliana terkesiap. Darahnya seakan membeku mendadak.
"Dia memintaku mengembalikanmu kepadanya," lanjut Benedict jelas tanpa menutupi apa pun.
"Tolong, jangan kembalikan aku ke Sam...." Air mata Liliana mengalir. Napasnya berpacu cepat.
Baiklah. Benedict harus menentukan posisinya. Apakah dia mau berpihak pada Samuel atau menjadi pelindung Liliana. Benedict memang tidak mau mengantarkan Liliana pulang kepada suaminya, tetapi dia tidak mungkin memaksa Liliana tinggal bersamanya jika Liliana tidak mau.
Benedict sangat ingin menolong wanita ini. Payudara Liliana tidak sebesar wanita lain yang pernah Benedict tiduri, bokongnya cenderung tepos, jauh dari kesan montok. Namun daya tarik fisik hanya bersifat sementara. Karakter lebih abadi. Sifat kalem Liliana menyamankan Benedict yang lelah dengan dunia.
"Aku punya satu kabar buruk lagi," Benedict menyesal tidak punya kabar baik yang bisa disampaikan. "Joy ditembak."
"Joy!" Liliana berteriak lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dia mulai menangis tersedu-sedu.
"Joy!"
"Joy!"
"Joy!" Liliana memanggil sahabatnya berulang kali dalam tangisnya. Ironis, sebab Joy berarti kebahagiaan, tetapi namanya disebutkan bersama derai air mata.
Serta merta Benedict meletakkan paper bag yang dia bawa untuk memeluk Liliana.
"Mungkin kamu belum sehat sepenuhnya, tapi kita harus keluar sekarang dari sini. Aku akan mencoba menyembunyikan kamu." Benedict sadar dengan siapa dia berhadapan. Jika gagal dalam permainan ini maka nyawa taruhannya.
"Aku mau ikut kamu, tolong aku," bisik Liliana lirih.
***
Beberapa kali BMW hitam yang Benedict kemudikan hampir kecelakaan. Satu kali hampir berciuman dengan truk tangki Pertamina. Tiga kali hampir bersenggolan dengan motor. Dua kali hampir menabrak tiang listrik. Pikirannya benar-benar kacau.
Mengebut adalah cara Benedict selama ini melampiaskan emosi negatif. Dari Bogor sampai Jakarta, dia menggeber mobil dengan kecepatan 190 km per jam.
Anehnya Liliana tampak tenang. Tidak berteriak ketakutan atau meminta agar Benedict melambatkan laju kendaraan.
Benedict menebak Liliana juga ingin cepat sampai ke tempat yang aman, meskipun itu hanya khayalan. Selama kaki berpijak di bumi, tidak ada tempat yang benar-benar dapat menyembunyikan mereka dari kejaran Samuel.
Hanya satu tempat yang Benedict anggap cukup aman. Apartemennya di kawasan Pantai Indah Kapuk. Benedict hobi membeli apartemen. Beberapa disewakan untuk menambah pundi-pundi tabungan. Beberapa dia kosongkan jika sewaktu-waktu dirinya butuh melarikan diri.
Apartemen di PIK ini hanya diketahui keberadaannya oleh dirinya sendiri dan Chika. Benedict sering menghabiskan waktu bersama tunangannya.
Sherly benar kalau menjulukinya si tukang celup, sebab Benedict sulit berdiam diri tanpa wanita seminggu berturut-turut. Jika beban pekerjaan sudah terlalu sesak, Benedict butuh pelepasan agar terhindar dari stress. Cara paling manjur hanya bersama wanita. Tidak ada cara lain. Wanita mana pun boleh. Namun karena menemukan wanita yang bersih dan bukan istri orang ternyata tidak mudah, maka Benedict menjatuhkan pilihan pada Chika lagi, Chika lagi.
Unit apartemen Benedict terasa menjemukan. Seluruh dindingnya putih tanpa pernik apa pun. Lantainya parket kayu. Benedict lama tak menjenguk huniannya yang satu ini. Baunya lembap sebab gorden tak dibuka.
Hal pertama yang Benedict lakukan setibanya di unit apartemen adalah membuka gorden dan jendela. Debur ombak terdengar. Aroma asin laut menyerbu masuk. Hari sudah gelap. Lampu di sepanjang pantai dinyalakan. Kawasan yang tidak pernah sepi. Pejalan kaki masih tampak menikmati suasana laut. Malah ada yang membawa serta anjingnya berjalan-jalan. Liliana berdiri di samping Benedict, tersenyum.
"Kamu suka?" tanya Benedict.
"Suka banget."
Jawaban yang tidak disangka. Apartemen ini termasuk paling sederhana dari sekian banyak milik Benedict. Perabotannya pun seadanya. Hanya satu ranjang king size, lemari pakaian, meja makan, kulkas, dan peralatan memasak. Tidak ada sofa karena Benedict tidak mau menerima tamu di sini.
"Fasilitas di sini nggak selengka di rumahmu. Nggak ada pelayan yang bisa kamu suruh-suruh."
"Aku bisa mandiri. Kamu nggak usah khawatir," sahut Liliana menenangkan.
"Bagus kalau gitu. Kamu bisa tinggal di sini sampai semuanya aman," ucap Benedict. Setelah ini, situasi tidak akan aman, tetapi akan semakin buruk. Dia yakin itu.
"Apa kamu tinggal di sini sama aku?" tanya Liliana penuh harap.
"Sayangnya nggak. Aku tinggal dekat kantor. Kejauhan kalau berangkat dari sini."
Wajah Liliana mendadak murung, tetapi tidak mengatakan apa-apa.
"Jangan sedih." Benedict menggenggam bahu Liliana. Mana dagingnya, kenapa tulang semua? "Aku bakal ke sini nengokin kamu."
"Oh ya?" Wajah mendung itu kembali cerah.
Benedict mengangguk. Mereka kemudian sama-sama tersenyum dengan perasaan campur aduk. Liliana tak menolak ketika lengan Benedict merengkuh punggungnya hingga melekat. Mungkin memang ini yang dia rindukan. Perlakuan penuh kasih sayang dan melindungi, bukan kasar mendominasi.
Lalu Benedict menciumnya teramat lembut. Rambut Liliana dibelai angin laut. Dia menyukai semua perasaan yang terlarut.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
