
VOLUME 2 BISA DIBACA DI: https://karyakarsa.com/BelladonnaTossici/saviora-volume-2-bab-6-10

Kalau ada yang bertanya, apa yang membuat saya memilih menetap di Bumi Anging Mamiri, jawabannya hanya dua, Elvira dan Pantai Losari. Setiap menyusuri jalanan di salah satu ikon kota ini senantiasa membangkitkan kenangan tersendiri.
Dulu sekali, Pantai Losari menjadi tempat pertama yang saya kunjungi bersama Elvira. Saya belum punya kendaraan saat itu, tetapi dia senang naik turun angkutan umum yang kemudian kami lanjutkan dengan berjalan kaki, tak apa katanya asal bersama. Dulu saya tertawa karena tersanjung, sekarang saya tertawa sambil mencibir. Kalau ada yang bilang laki-laki adalah buaya darat, saya mengatakan sebaliknya. Perempuan hanya setia pada laki-laki berduit.
"Pisang Epe-ta se're, Daeng (Pisang epe-nya satu, Bang)." Meski logat saya terdengar aneh, bapak tua yang ada di balik gerobak hijau itu mengangguk. Lima tahun beralih KTP membuat saya sedikit mengerti bahasa lokal.
Debur ombak menerpa tembok pembatas menyapa rungu, angin Februari terasa lebih dingin di permukaan kulit daripada biasanya. Embusannya terkadang diikuti rinai hujan. Di ufuk senja langit kelabu dengan gumpalan awan kumulonimbus yang berarak-arakan pelan.
"Antamaki rawa tendaiyya, Daeng. Bosi sallang sinampe (Masuk ke bawah tenda, Bang. Sebentar lagi hujan)." Lelaki tua itu menyiapkan pesanan saya di meja panjang, kuliner pisang yang dibakar kemudian digeprek lalu dilumuri gula aren, kuahnya kadang bercampur durian. "Riolo tenapa anjungang (Dulu belum ada anjungan)." Bapak tua itu menunjuk dari Utara ke Selatan, ke area yang diberi nama anjungan Mandar-Toraja, Losari dan anjungan Bugis-Makassar.
Saya mengangguk paham, Elvira pun banyak bercerita tentang resto kaki lima yang dahulu ada di sepanjang garis pantai Losari. Mata ini terpaku tepat di tengah lahan yang dulu diceritakan Elvira. Sekarang tergantikan dengan ruang publik yang ramai dikunjungi warga. Beberapa pasangan berswafoto dengan latar patung yang menggambarkan kekayaan budaya lokal. Ada yang sampai memanjat patung kerbau dan becak demi mendapatkan hasil yang memuaskan, sementara beberapa pasangan keluarga muda memilih duduk di area yang lebih lapang di mana patung pejuang dan rumah adat dipajang.
Namun, sebagian besar pengunjung tampak bercengkrama di area tembok batu berbentuk huruf bertuliskan nama empat suku besar di Makassar sambil menyaksikan keindahan matahari terbenam, merasakan embusan angin laut, atau menonton beragam festival serta pameran yang digelar.
Sekarang, dermaga tua di ujung Selatan Pantai Losari sudah hilang, tak ada lagi bocah-bocah bertelanjang dada yang melakukan atraksi berloncatan ke laut. Pemandangan itu kini berganti dengan kehadiran masjid terapung Amirul Mukminin yang selalu sarat pengunjung. Elvira yang saya ingat seperti seorang marketing, menjelaskan dengan berapi-api sampai meramalkan harganya pasti akan melambung tajam. Ramalannya terbukti. Penuh semangat dia mengatakan harapan untuk memiliki satu kavling lahan dengan sea view.
Yang saya lakukan saat itu hanya mengangguk tanpa ada keinginan menanggapi, gila apa? Rumah tinggal yang berbatasan dengan laut? Apa orang-orang kaya Makassar tidak ingat saat tsunami meluluhlantakkan Aceh? Bisa saja kejadian serupa menimpa Makassar dengan adanya patahan aktif yang melewatinya.
Kosong. Mungkin seperti itulah kata yang yang bisa disematkan untuk menggambarkan apa yang saya rasakan sekarang. Tangan ini sampai bergetar memegang kartu soft cover berwarna jingga, menyelisik untaian kata demi kata yang ditorehkan oleh tinta emas.
Seminggu lagi. Dua kata itu tercetak di mata saat pandangan ini terhenti di satu titik, kemudian menembus langit-langit kepala, meranggas ke otak lalu menjalar sampai ke dada, menghimpit paru-paru dan meninggalkan sesak.
Rasanya sakit, ya Tuhan ....
Elvira benar-benar telah meninggalkan saya di tempat yang sama pertama kami jalan berdua.
"Apakah ini sudah keputusanta (keputusanmu sudah final)? Kamu ingin putus dan mengakhiri hubungan kita?"
Pertanyaan panjang itu ternyata menerima jawaban yang tidak ingin saya dengar.
"Dia bisa memberi apa saja yang saya mau, Rul. Maafkanka (maafkan saya)."
Seharusnya saya tidak perlu bertanya, cukup mengiakan keinginannya. Namun, terlambat untuk menarik ulang kata yang telah terucap. Betul adanya jika status sosial terkadang mengubah segalanya. Membalikkan keadaan seseorang yang dulu mencinta sekarang berubah jadi membenci.
"Saya akan memberikan apa pun yang kamu minta, Ra." Saya menarik kedua tangannya, mengambilnya ke dalam genggaman erat yang memilukan... Sumpah! saya tidak ingin melepasnya.
"Kapan bisanya? Menunggu rambut kita sama-sama beruban?" Elvira mendengkus kasar, berusaha sekuat tenaga melepas jemari yang saya tautkan.
"Bersabarlah, Ra. Saya sedang mengusahakannya. Tolong, kasih saya waktu untuk membuktikannya sama kamu." Saya mendesah lirih, melepaskan jemari yang ditariknya tanpa henti. Tangan ini perlahan terangkat menyentuh pipinya, menatap jauh ke dalam manik hitam kelam itu, mencari sesuatu yang dapat dijadikan alasan untuk tetap berada di sampingnya.
Dia menghela napas panjang. "Rul, saya bukan orang yang sabar. Kamu tahu itu!" Elvira menarik tangan yang masih menangkup pipinya. Dia menghempaskan ibaratnya tidak ingin ada kuman yang menempel padanya. "Tiga tahun Rul! Itu sudah cukup buat saya nunggu."
Saya diam. Iya, dia benar. Selama ini tidak ada kejelasan yang bisa dia raih dari hubungan ini. Elvira sudah berkali-kali menginginkan pernikahan kami dilangsungkan dengan konsep yang dia tentukan. Rancangan pernikahan yang dia impikan dan ... meski saya menabung seumur hidup pun mungkin tak akan mampu membiayainya.
Ah, saya ini! Hari bahkan telah berganti bulan tetapi hati dan pikiran ini masih tertuju pada wanita yang sama. Sungguh, saya menyesal tidak bisa menjadi satu-satunya pria yang dia harapkan membuatnya bahagia. Saya mengutuk diri sendiri untuk segala keterbatasan dan ketidakberdayaan hingga Elvira pergi setelah memberikan harapan untuk selalu bersama.
Saat pertama kali menjejakkan kaki di Makassar dan bertemu dengannya, saya tahu kalau saat itu hati ini telah dia curi. Dua tahun dia gunakan untuk meyakinkan jika status sosial bisa kami atasi. Saya terlalu bahagia saat itu, saat menyadari telah jatuh cinta dan tidak bertepuk sebelah tangan, kami pasti akan bersama sampai melupakan semua rasio dan akal sehat.
Tiga tahun setelahnya, yang saya lakukan hanyalah mencinta dengan segala kesia-siaan. Lima tahun bersama Elvira harusnya saya sadar, dia adalah sesuatu yang tidak bisa direngkuh.
Andai saya tahu, dia akan menyerah ... saya tidak akan sampai ke titik ini. Saya sadar diri dengan perbedaan berjarak bumi dan langit. Metafora yang selalu diri ini tepis selama bersamanya. Saya menghela napas panjang menikmati segala keterpurukan yang terasa sekarang. Ah, Elvira, kenapa menyerah di tahun kelima kita bersama? Kenapa itu tidak kamu lakukan sejak dulu? Saya mungkin tidak akan sesakit ini.
💕💕💕
Di kantor, siksaan itu semakin parah. Perlahan, saya menoleh ke kiri, mencari sosok yang dulu setia menemani. Wanita sipit berparas sendu itu tidak ada. Kursi Elvira kosong, kenapa harus mencari? Elvira sudah cuti sejak seminggu yang lalu, dia pasti dipingit, tidak boleh ke mana-mana, cukup menjalankan ritual supaya tampil cantik saat pesta pernikahannya nanti.
Namun entah mengapa kepala ini lebih memilih kompak dengan hati? Mata ini mengukur setiap inci meja Elvira, mencari setitik asa yang mungkin ditinggalkan wanita itu. Lagi-lagi perih kembali mengiris saat menyadari telah berada di ujung kemustahilan. Tak ada yang tersisa, hanya berbagai tumpukan kertas dan beberapa kotak hadiah yang tersusun di atas meja. Bahkan foto diri ini bersamanya telah berganti dengan sosok lain.
Saya pun mengalihkan pandangan menembus jauh jendela di samping meja Elvira. Tanpa sadar kaki ini beranjak bersentuhan dengan dinding kacanya. Selat Makassar tampak sejajar dengan kaki nirwana di ufuk Barat. Di atasnya kapal-kapal kargo diam mengapung menanti pelabuhan memberi waktu berlabuh. Ada beberapa perahu nelayan melintas, mereka tahu saat hujan turun, feeding frenzy menggila, hanya umpan yang terlihat ikan.
Ah, Elvira benar-benar menyukai laut, semua yang ingin diraihnya selalu berhubungan dengan tubuh air asin itu. Bahkan calon suaminya, saya dengar-dengar adalah salah satu pengusaha yang memiliki beberapa kapal tanker. Tangan saya terangkat menempel ke kotak kaca yang mengembun dibelai hujan sore ini. Deru suaranya berdesir pelan sampai ke dalam ruangan bagai alunan simfoni Tuhan.
Saya harus melupakan dia.
"Kau datang, 'kan?" Satu tepukan pelan mendarat di bahu. Saya menoleh dan tersenyum memandang pria yang berdiri di samping meja. Satu lengannya menumpu pada dinding kubikel yang tingginya hanya seperut. Satunya lagi memegang mug berisi kopi hitam yang masih mengepul. Irfan terlihat canggung, pria itu tampak meringis salah tingkah saat menatap kartu jingga yang saya pegang.
Menyadari kekikukannya, membuat senyuman ini mengembang lantas mengangguk, "Tentu saja, dia temanta (teman kita) juga."
Tanpa tahu apa yang sejak tadi menggantung di kepala ini, Irfan mengembuskan napas lega, dia menegakkan badannya, "Baguslah, saya kira nda datang maki. Semangat, Ces (Bro)!".
Bibir ini kembali tersenyum, "Saya baik-baik saja, Ces. Tenang saja."
Pria itu beranjak berlalu, tetapi kembali berbalik lantas mengepalkan tangannya mengajak tos high five dan tentunya saya sambut dengan cepat.
Dasar bodoh! Bisa-bisanya saya tetap berlaku seolah tidak terjadi apa-apa. Berlagak sok kuat padahal sebenarnya tengah hancur berkeping-keping. Saya tidak ingin semua orang tahu jika di dasar pikiran nan tandus, saya sedang memunguti memori putih di balik pekatnya kepedihan. Mencoba merangkainya, tetapi terpecah dan kembali beterbangan. Hingga yang tersisa hanyalah hati yang terkoyak dan pikiran tersayat.
Irfan tidak perlu tahu seberapa pedih yang saya rasakan, saya tidak ingin siapa pun tahu dan mengasihani. Toh, sejak awal saya mengabaikan semua yang mereka ingatkan untuk tidak melompat terlampau tinggi. Karena saat jatuh, rasanya akan sakit sekali. Yang harus saya lakukan sekarang hanyalah meyakinkan diri, memberi sugesti untuk tidak tampak terpuruk saat berada di sana. Jujur, sampai saat ini, saya masih tidak tahu apakah mampu untuk menghadiri resepsi Elvira? Memandangi wajahnya penuh rona bahagia saat dia bersanding dengan pria lain yang jelas dan nyata itu ... bukan saya.
Sampai detik ini saya tak habis pikir, saat menyadari driver Grabcar telah menurunkan saya di seberang jalan UpperHills. Saya sengaja memilih angkutan daring demi menghindari terkurung di salah satu spot termacet di Makassar ini. Apalagi sekarang bertepatan dengan hari kasih sayang, jalanan padat merayap di sepanjang Tanjung Bunga dan Pantai Losari. Ah, seminggu ini saya memang jarang berkendara, meskipun tampak normal tetapi tidak dengan jiwa ini yang masih terus saja berkelana ke masa-masa bersama Elvira.
Namun, Valentine’s Day tahun ini terasa panas, semilir udara hangat menusuk menerpa kulit. Langit malam dipayungi awan gelap tanpa bintang biasanya meramalkan hujan itu tampaknya masih enggan untuk menangis, sepertinya ingin menikmati loncatan-loncatan pijar api berbentuk hati dan air mancur dari berbagai arah.
"Appanini' bosi, nampana bambang (Ada ritual pawang hujan, makanya panas)," celetuk seorang lelaki dengan pakaian adat Makassar di samping saya. Orang itu sama seperti saya, lebih memilih menggunakan transportasi daring dari pada berkutat dengan kemacetan.
Ritual itu sudah pernah saya dengar dari Elvira kala mengunjungi resepsi pernikahan kerabatnya. Udaranya persis segerah sekarang. Hanya senyum tipis tercetak di bibir ini saat lelaki itu melangkah duluan memasuki area gedung.
Kepala ini menengadah memandangi bangunan dengan arsitektur Renaisans itu, pilar-pilarnya berdiri kokoh nan angkuh seakan menunjukkan kelasnya ditambah dengan tiga kubah adaptasi dari Kloster Irsee, salah satu hotel di Jerman yang dibangun di abad ke-18.
Saat melewati pintu, ruangan sudah dipadati oleh tamu. Lampu bulat menjuntai dari plafon yang dipenuhi bunga wisteria bernuansa putih. Pihak keluarga mengenakan sarimbit senada dengan mempelai, sibuk berswafoto dengan latar foto mempelai yang terpajang di dinding. Saya terdiam sejenak, terhenti pada sebuah senyum semringah dari mempelai wanita. Hati ini kembali perih bak teriris sembilu. Elvira begitu memesona dengan wrap dress yang belahan dadanya ... Shit! Kepala ini sontak menunduk. Itu sangat rendah. Untungnya posisi duduk di sofa membuat lekuk pinggul dan kaki jenjangnya tertutup aplikasi tumpukan ruffle rok berbahan transparannya. Sementara mempelai pria bersandar di pegangan kursi dengan tangan yang dikalungkan di bahu Elvira. Cih! Saya merasa, tangan itu sengaja mendekat ke dada wanita—
"Cantik ya?"
Saya sontak berbalik, mendapati cengiran lebar di wajah Irfan. "Ayo, kita masuk. Lebih baik lihat orangnya langsung, daripada fotoji (foto saja)," dia berbisik lalu menarik tangan saya, memaksa langkah ini mengikutinya.
Konsep mewah dan glamor semakin terasa saat memasuki area hall, cahaya lampu warna ungu menyorot redup memberi kesan temaram dan syahdu. Lampu laser berpola bunga menerpa dinding silih berganti. Penerangan maksimal hanya di pelaminan dan panggung band pengisi acara. Lagu daerah Bugis 'Alosi Ri Polo Dua' mengalun merdu saat saya dan Irfan tengah menyalami mempelai.
"Makasih, Ruly."
Elvira menjabat tangan ini dengan penuh binar haru, sedangkan suaminya hanya tersenyum lebar, seakan memproklamirkan kepemilikan atas si wanita melalui rengkuhan di pinggangnya. Huh! Bagian mananya yang mirip pinang dibelah dua? Saya menghela napas panjang mengingat arti dari judul lagu yang dilantunkan sang penyanyi.
Dengan gontai langkah ini mengelilingi kue berbentuk kastil gotik berukuran raksasa di depan pelaminan, pasti mahal sekali. Sajian kuliner berjejer rapi di setiap penjuru ruangan menggugah selera para tamu. Western, Eastern dan lokal. Bahkan sebagian besar para tamu tiada henti mendatangi setiap stan, mungkin rasanya kurang pas sampai harus dicicipi berulang-kali? Saya tertawa dalam hati tetapi perih tetap bercokol menghinggapi hingga saya memilih ke area mini bar di tengah ruangan. Stool-nya yang tinggi memudahkan mata ini menjelajah ke pelaminan. Rasanya bukan kebetulan, lagu 'Sajang Rennu' yang dilantunkan sang penyanyi seakan menyinggung. Dia tahu sekali, kalau wanita yang saya cinta kini tengah bersanding mesra.
Keluarga mempelai pasti memiliki koneksi yang luar biasa luas. Sangat jarang bahkan tak ada yang berani menyajikan wine di pesta pernikahan, atau mungkin karena sebagian tamunya adalah ekspatriat? Kolega suami Elvira kebanyakan warga negara asing. Entah sudah menenggak berapa gelas wine, pening menyergap saat langkah ini terseok-seok ke belakang pelaminan dan terbaring di dipan. Ruangan yang semula gemerlap berubah menjadi gelap, berputar dengan saya sebagai sumbunya.
💕💕💕
Hello Readers,
Novelku kali ini kolaborasi dengan Widisyah. Tadinya kami memosting kisah Ora dan Ruly di Cabaca. Setelah kontraknya habis, kami putuskan untuk posting di Wattpad. Jangan khawatir, gratis sampai tamat.
Terima kasih kepada Farid Usman, Kak Andi Ardianti, dan teman-teman Makassar lain yang sangat membantu proses penulisan.
Love,
💋 Bella dan Widi 💋

Hoek
Hoek
Hoek
Aku terduduk lemas di depan lubang kakus, masih memegangi perut yang mual. Kepala pening serasa habis naik roller coaster.
Bukan, aku bukan tek dung akibat berenang bersama cowok, bukan pula habis mantap-mantap di kolam renang mengingat gelar jomblo setahun belakangan menempel di belakang namaku.
Ibu masuk ke kamar mandi merangkap toilet, membawakan segelas air rebusan jahe campur gula jawa resep si Mbah. "Minum dulu." Ibu ikut jongkok.
Sudahlah aku menurut saja. Tak punya tenaga juga buat membantah. Hangatnya air jahe menenangkan perutku.
"Kamu jangan kecapekan," ucap Ibu sambil mengusap-usap punggungku.
"Cuma perlu rebahan sebentar, Bu." Kutekan tombol penyiram air, lalu beranjak keluar dibantu Ibu.
Badanku ringkih belakangan ini. Kalah sama mendiang Ratu Elizabeth II yang semasa hidupnya, pada usia 90 tahun lebih masih berkuda, sedangkan aku capek sedikit pasti tumbang. Malu lah pokoknya kalau aku membandingkan kesehatan dengan nenek ningrat itu.
Wonder Band tempatku mengais rezeki lagi ramai orderan. Seminggu penuh tampil menyanyi dalam event-event, mulai dari pernikahan, ulang tahun rumah sakit, sampai sweet seventeen anak SMA, ini hasilnya. Mual, pingsan, muntah.
Ibu memapahku sampai aku berbaring di kasur. Dia membuka laci, mengambilkan obat anti muntah yang dokter berikan. "Makanya, kamu ikut tes CPNS saja. Waktu pulangnya jelas, gaji lumayan, kalau sudah tua terima uang pensiun. Kamu nggak mau kayak anaknya Bu Agus yang gagah pakai seragam? Bukan main bangganya dia padahal si Yuda masih honorer."
Astaga, anak sakit masih sempat dikuliahi. Aku memejamkan mata, pura-pura tidur.
"Kamu nyanyi sampai malam. Gimana pula mau dapat jodoh? Sudah dua puluh lima umur kamu, Ora."
"Ibu," aku mencoba menjawab, "Syahrini menikah umur 30 tahun lebih juga dapat konglomerat. Bandingin sama Anida."
Anida anak teman arisan Ibu. Tepat sehari setelah lulus SMA, pernikahannya digelar. Suaminya bekerja serabutan. Sebentar jualan es pisang ijo di pantai Losari, sebentar jadi kuli bangunan. Anida yang hamil tua jadi bahan gunjingan ibu-ibu lantaran berutang dari warung ke warung demi dapur mengebul.
"Kamu kalau dibilangin...."
Beruntung ponselku berdering. Ibu yang mengangkat.
"Oh, Tiara. Kasih tau temanmu ini supaya keluar dari band. Sakit lagi dia," Ibu mengomel sebelum memberikan ponsel padaku lalu keluar kamar.
“Ora, sehat-ji ko[1]?” tanya Tiara melalui video call.
“Sehat. Aku minum sarabba[2] buatan Ibu.”
“Sakitmu bukan masuk angin, Ora.”
“Memang bukan, tapi sakit sakurata,” kataku asal.
“Penyakit sakurata?” Tiara kurang gaul. Tahunya hanya rumah-base camp-lokasi acara. Temannya cuma hitungan jari. Humor yang bagi orang lain sudah basi, belum tentu Tiara paham.
“Iya, saku yang rata karena nggak ada isinya.”
“Matemija![3]” Tiara berseru kaget, “Saya kira penyakitmu bertambah. Jangan bikin jantungan! Ko nda punya[4] uang karena boros. Sebentar beli BB cushion, sebentar beli liptint, sebentar beli baju baru. Ko habiskan uang kayak besok mau kiamat.”
Aku tertawa. “Tiara, sayang, kamu tenang aja deh. Aku sehat. Kenapa sih?”
“Ko ingat jadwal kita di Upper Hills?”
“Ingat dong, semua yang ada duitnya nggak mungkin aku lupa.”
Upper Hills adalah tempat ‘para sultan’ melangsungkan pernikahan. Iya, orang kaya yang tidak tahu bagaimana bunyi token listrik mau habis. Bagiku yang kalau sampo habis saja masih diisi air, dikocok-kocok, lalu dipakai keramas, jangan berani berkhayal menikah di sana.
“Konda capek?”
Haduh, bukan capek lagi, mau rontok malah. Minggu lalu sehabis menyanyikan lagu Selama Engkau Hidup dari Pee Wee Gaskins, aku sempat berkeringat dingin dan muntah. Tiara tergopoh-gopoh membeli minyak kayu putih.
“Nggak. Kan sudah minum Extra Joss.” Aku hampir menambahkan teriakan ala almarhum Mbah Maridjan, Rosa!
“Ko bercanda terus. Saya khawatir sama kondisimu,” ucap Tiara sebal.
“Aku sehat kok, Ra. Asal jangan suruh menyanyi Sajang Rennu."
Sebulan lalu, delapan kali aku membawakan lagu menyayat kalbu dan mengoyak perasaan itu. Kalau orang lain mabuk ballo[5], aku mabuk Sajang Rennu.
Sahabatku menghela napas. “Ada pesanan lagu khusus dari calon pengantin,” tutur Tiara akhirnya, “Alosi Ri Polo Dua dan Sajang Rennu.”
Dalam kepalaku terdengar piring pecah berceceran ala sinetron.
Suruhlah aku menyanyi The Power of Love-nya Celine Dion, You are The Reason milik Callum Scott, atau Endless Love sekalian, tidak apalah, meski lagu uzur. Entah kenapa orang sini suka sekali memesan lagu yang tidak ada romantis-romantisnya macam Sajang Rennu untuk hajatan pernikahan. Syairnya bercerita tentang seseorang yang ditinggal menikah kekasihnya. Sama sepertiku yang ditinggal mantan. Katanya mau menuntut ilmu, ternyata malah cari pacar baru, lantas memutuskan menikah tanpa mengundangku. Setiap kali menyanyi Sajang Rennu, ulu hatiku serasa ditonjok Chris John.
“Mempelainya nggak mau lagu lain? Akad dari Payung Teduh misalnya, lebih manis,” ucapku mencoba menawar.
“Nda bisa. Bagaimana mi? Kalo ko keberatan, saya bilang sama Radit,” ancam Tiara.
“Eits, jangan,” sambarku cepat. Kalau batal menyanyi di Upper Hills, foundation mahal incaranku akan melayang. Aku anti tampil buruk rupa. Lebih baik beli make up tiga juta lalu makan mie instan sebulan penuh daripada makan steak setiap hari tetapi puasa beli make up. “Bisa kok, bisa.”
💕💕💕
Klien kami memilih hari Jumat yang bertepatan dengan Hari Kasih Sayang untuk menikah. Resepsi akan dilangsungkan pukul tujuh malam, tetapi sejak siang aku sudah ada di base camp.
“Apa kabar, Ora?!” Rizky yang baru datang berusaha membuatku kaget. “Sehat?” Sebetulnya drummer satu ini bolehlah dijadikan pacar. Sorot matanya bikin adem persis ubin masjid. Sayang suaranya juga mirip toa masjid.
“Ngagetin deh, biasa aja kali,” jawabku.
“Jangan pingsan lagi, saya capek mengangkat kamu, berat,” ujar Rizky. Seenaknya dia bilang aku berat. Jangankan aku yang tinggi seratus enam puluh senti dan berat lima puluh kilo, galon Aqua pun dia bilang berat, dasar manja.
“Kalian tahu, mempelai laki-lakinya pengusaha kaya,” Ari mulai aksi gibah.
Radit mengangguk. “Mempelai pria namanya Fahri Syahrul, pengusaha muda di bidang kapal tanker. Ayahnya teman ayah saya. Selain punya perkebunan cengkeh dan cokelat yang diekspor sampai Eropa, Keluarga Syahrul memiliki usaha tekstil di Jawa.”
Wadidaw, horang kayah.
“Kalau Elvira Yahya?” Aku membaca nama yang tercetak di undangan.
“Saya tidak kenal,” sahut Radit.
“Jadi, kapan kita berangkat?” tanya Tiara, kebelet melihat seperti apa klien kami.
Bass, keyboard, drum, dan saxophone sudah masuk ke minibus. Tiga jam sebelum acara, kami berangkat melintasi kawasan tempat pasangan muda-mudi merayakan Valentine’s Day. Lampu berwarna-warni cantik menghiasi kafe-kafe. Papan bertuliskan diskon merayu agar orang yang membacanya singgah.
Waktu bangunan Upper Hills yang mewah ala kastil film Disney terlihat, dadaku dag dig dug. Karangan bunga ucapan selamat dari perusahaan terkenal berjajar sejak dari gerbang sampai undakan lobi. Beberapa dikirim oleh pejabat setempat.
Radit menelepon seseorang, mengabari kedatangan kami. Dalam sepuluh menit, seorang laki-laki tegap berambut cepak ala paspampres berjalan tegap mendekat. Rompi peraknya berkilauan.
“Wonder Band?” tanyanya.
“Iya, Bang,” jawab Radit seperti biasa, sedangkan kami hanya mengangguk.
“Perkenalkan, saya Adnan, panitia.” Dia menunjuk name tag di dada kirinya. “Ikut saya.”
Hall tempat resepsi pernikahan akan digelar sudah didekorasi. Lampu gantung di plafon serasi disandingan dengan juntaian bunga Wisteria putih. Pelaminannya bagai singgasana yang disepuh emas. Dua orang laki-laki berkomunikasi soal cahaya lampu. Salah satu dari mereka kemudian menyalakannya. Segera saja warna ungu menyorot redup, tetapi anehnya malah menimbulkan kesan mahal bukannya mesum. Mereka berteriak pada seorang laki-laki di seberang. Permainan lampu laser berpola bunga dimulai, mengagumkan siapa saja yang melihat.
Tiara menyenggol lenganku. “Kita kapan ya?” tanyanya.
“Kapan apa?”
“Kawin.”
“Aku nggak mau kawin sama kamu,” tolakku bergidik.
“Matemija!” ujar Tiara kaget, “maksud saya, ko kawin sama suamimu, saya kawin sama suami saya.”
“Nikah dulu dah, baru kawin. Masa kamu nggak tau bedanya?”
“Nda. Apa dong?” Tiara mulai ketularan logat khas Jakarta. Padahal dulu dia yang paling antipati kalau aku menolak memakai dialek Makassar. Sejak menginjakkan kaki di sini, aku sudah biasa di-bully. Makanya kubiarkan saja teman-temanku mengejek sesuka hati. Akhirnya malah mereka yang menyesuaikan dengan logatku.
“Nikah dilihatin orang, kawin malu kalau dilihat orang,” jawabku.
Kening Tiara berkerut tanda sedang berpikir. Tiara mencebik saat memahami ucapanku. Dia balik badan, bergabung dengan para cowok, meninggalkanku yang terkekeh.
Adnan menunjukkan panggung tempat band akan tampil. Ari, Rizky, dan Radit memasang peralatan. Aku dan Tiara dibawa ke belakang pelaminan, menyusuri sebuah lorong. Adnan berhenti di samping sofa merah. Dia membuka pintu. "Ini ruang gantinya."
Aku dan Tiara kompak mengenakan gaun ungu yang serasi dengan warna eye shadow, menyesuaikan tema resepsi.
Acara dimulai pukul tujuh tepat. Banyak bule berbaur di antara kerumunan. Seorang bapak yang dituakan dalam keluarga maju ke depan pelantang, melantunkan ayat suci dalam doa-doanya.
Lampu sorot diarahkan ke pintu ketika iring-iringan pengantin beserta keluarga memasuki hall. Oh, itu mempelai perempuan. Mungkin terdengar berlebihan kalau aku bilang seperti ada ribuan lampu dipasang di sekujur tubuhnya. Elvira bercahaya. Senyumnya bahagia. Suaminya pun bangga mempersunting wanita secantik dia. Kedua mempelai mendaki tangga pelaminan, berdiri di depan singgasana bagai raja dan ratu. Pembawa acara mempersilakan para tamu bersalaman.
Tiara memainkan intro key board. Ari menyusul memetik bass mengiringi permainan Tiara. Aku mulai bernyanyi The Power of Love. Nada-nada tinggi berhasil kucapai. Saxophone Radit masuk menambah kesan penuh cinta. Rizky menggebuk pelan drum set sehingga lagu menjadi lebih berirama.
The Power of Love selesai, waktunya menyanyi Alosi Ri Polo Dua. Sumpah, aku sempat berpikir pencipta lagunya kenal Elvira dan Fahri. Pasangan pengantin baru itu memang bak pinang dibelah dua, sangat mirip, sesuai lirik.
Antrian tamu yang selesai memberikan selamat memenuhi area meja katering yang menyajikan hidangan bertema western. Para ekspatriat menghambur ke sayap kanan, tempat bar yang menyajikan minuman beralkohol. Ketika lagu kedua usai, aku mulai dag dig dug, berarti harus menyanyikan Sajang Rennu.
Seorang laki-laki yang memecah konsentrasiku mempersiapkan lagu selanjutnya. Berjalan terhuyung dari arah bar. Jas hitamnya tak dikancingkan, malah dua kancing atas kemeja putihnya terbuka. Dia melewati panggung, matanya yang merah bersirobok denganku. Tatapannya tajam sekaligus sedih. Jujur, bulu kudukku berdiri. Bagaikan seekor hewan terluka, si laki-laki melanjutkan langkahnya yang aneh ke arah yang sama dengan ruang ganti.
Apakah dia punya hubungan dengan Elvira? Jangan-jangan…. Ah, sudahlah, bukan urusanku.
Malam cukup larut ketika kami selesai makan paling akhir. Katering telah membereskan peralatannya. Kru dekorasi bekerja membongkar pelaminan. Aku lega semuanya lancar. Pria sempoyongan tadi tak pernah muncul lagi. Astaga, kenapa mata sedihnya tak bisa kulupakan?
“Tempatnya bagus, makanannya enak.” Rizky mengusap-usap perutnya yang kekenyangan.
Kami berjalan beriringan menuju ruang ganti untuk mengambil tas, lalu segera kembali ke base camp untuk menaruh peralatan musik. Setelah itu, pulang ke rumah masing-masing, tidur! Aku rindu kasur.
“Eh, ada yang tidur.” Ari menunjuk laki-laki yang berbaring di sofa merah dalam posisi aneh, kakinya menjejak lantai.
Aku mengamatinya. Rambut bergelombang, kulit sawo matang. Wajahnya sama persis dengan laki-laki yang bertatapan denganku tadi. “Oh dia!” Aku memekik.
“Kenal?” tanya Radit. Sekarang semua mata memandangiku.
“Tadi, papasan di depan panggung. Kayaknya dia mabuk,” ucapku yakin.
“Nda usah ikut campur, sudah malam.” Tiara paling tidak mau berurusan dengan masalah.
“Kita ambil barang, lalu pulang.” Radit langsung mengultimatum.
Kami mengangguk setuju, buru-buru masuk ke ruang ganti. Ketika keluar, laki-laki mabuk tadi masih tergeletak. Salahkah kalau aku menaruh iba pada orang tak dikenal? Bagaimana kalau ada apa-apa, perampok misalnya? Bagaimana kalau kebakaran?
“Kita tinggal dia di sini?” Aku berharap teman-temanku punya rasa kemanusiaan.
“Kita nda kenal ki.”” Tiara terang-terangan menolak.
Radit yang biasanya tukang perintah, malah bergeming, sama bingung kami.
“Saya cari satpam.” Rizky sudah melesat sebelum kami berkata apa-apa.
Beberapa menit kemudian, Pak Satpam datang, mengecek keadaan laki-laki itu.
“Mabuk, bau alkohol ki.” Pak Satpam. merogoh celana laki-laki itu. Hanya ada ponsel dan kunci mobil, tanpa dompet.
Pak Satpam menyalakan ponsel itu. “Ah, dikasih password,” ujarnya kecewa.
Aku berharap laki-laki itu segera sadar, tetapi dia malah bergerak-gerak sesaat, lalu diam lagi.
“Daeng, Pak…. Bangun.” Pak Satpam menepuk pipi si laki-laki yang tak bereaksi sama sekali. Kalau tidak melihat dadanya naik turun, aku curiga dia mati. “Bawa mi ke kantor polisi saja,” usul Pak Satpam.
“Wah, jangan. Nanti jadi masalah ki,” cegah Rizky, malas berurusan dengan aparat.
“Tidak mungkin saya kasih dia tidur ki di sini,” kata Pak Satpam.
“Coba hubungi keluarga mempelai, masa tidak ada yang kenal?” usul Tiara.
“Saya tidak ada urusan sama mempelai,” Pak Satpam berujar ketus, bersiap-siap memapah si laki-laki. “Ayo bantu saya, kenapa diam? Kita bawa mi ke kantor polisi.”
Radit maju ke depan barisan kami. “Ya sudah, Pak, kami bawa saja. Siapa tahu di jalan bangun, kebetulan kami bawa kendaraan,” putusnya.
“Radit, yakinko[6]?” tanya Rizky.
Pak Satpam senang ketika mengantar kami ke minibus, memasukkan laki-laki tak dikenal ini.
"Sekarang bagaimana mi?" tanya Rizky berkali-kali melirik laki-laki mabuk yang didudukkan di tengah, terapit aku dan Tiara.
"Kalau ketemu jalan sepi, lempar saja dari mobil," usul Ari jahat.
"Kasianki[7]. Sekali-sekali membantu orang. Suatu saat Allah akan membalas." Tumben Radit bijak.
"Hei, Radit kerasukan jin Iprit ya?" tuduh Rizky.
Gelak tawa semua orang kecuali aku sontak memenuhi minibus. Aku mengambil bantal leher, mengganjal kepala laki-laki di sampingku agar tak terlalu mendongak.
Kami tak tahu siapa dia. Semoga saja membawanya ke base camp tak berakhir dengan penyesalan.

"Ra, yakinko (kamu yakin) mau temani dia?"
"Iya, kasihan. Apalagi mabok begitu."
"Oh, iya. Saya pulang dulu numpang mobilnya Radit."
"Oh, iya, hati-hati, Ces. Takutka' nanti kenapa-napako (kamu kenapa-napa)."
"Saya pulang dulu. Ingatko nah! Janganko macam-macam!”
"Siap, Ibunda Ratu!"
"Jangan ketawa, Ra. Saya serius ini!"
“Iya, pulang sana. Saya ngantuk."
Ra?
Elvira?
Suara-suara itu perlahan menghilang. Namun, pening ini masih saja mendera. Saya meringis menahan sakit, ini di mana? Suara-suara ramai dari ruangan sebelah semakin menjauh digantikan keheningan. Yang mendekat hanyalah suara detak heels bertemu ubin dan derit pintu saat seseorang membuka bingkainya.
Saya di mana?
"Hei, kamu udah bangun? Sorry, aku nggak tahu kamu tinggal di mana, orang-orang di kondangan tadi nggak ada yang kenal kamu."
Mata ini masih mengabur meski saya berusaha memicingkan mata. Siluet wanita bertubuh semampai itu mendekat.
Elvira, kah?
"Jadi, aku terpaksa bawa kamu ke sini."
Jemari halus wanita itu menyentuh pipi ini. Hangatnya terasa hingga ke balik kulit.
Elvira kah yang menyentuh saya?
"Pipimu dingin. Aku ambilkan handuk hangat, ya." Wanita itu hendak berbalik tetapi sigap, saya menarik tangannya hingga dia jatuh terduduk di sebelah saya.
"Jangan pergi, di sini saja."
Saya tidak tahu kenapa mendadak melow seperti ini, tetapi keberadaanya membuat hati ini bahagia. Dia pasti Elvira. Dia memilih bersama saya. Dia ada di sini. Meninggalkan resepsinya.
"Aku nggak ke mana-mana, kok." Dia tergelak menahan tawa. Namun, bagaimana mungkin gaya bicara Elvira berubah? "Kamu lucu. Aku hanya mau ngambil handuk," lanjutnya dengan raut wajah menggemaskan.
Saya menegakkan punggung, mencoba bersandar. Namun, yang terlihat hanyalah ruangan yang berputar. Kalau tahu akan begini, saya tidak akan minum-minum.
"Ini di mana?" Saya kembali bertanya dengan suara lirih. Wanita yang saya yakini Elvira itu berdeham pelan lalu menghela napas.
"Ini di studio musik milik temanku. Namanya Hope Music Studio. Di sini kami latihan hampir setiap hari." Dia mengangkat kedua bahu, lalu menoleh ke saya. "Kita nggak tahu rumahmu, jadi kita bawa ke sini."
Saya bingung, ada apa dengan Elvira? Sejak kapan dia punya teman yang memiliki studio musik? Kenapa dia bersikap seolah-olah tidak kenal saya?
Wanita itu melepas sepatunya lalu menyilangkan kaki. "Duh, leganya." Dia menggerak-gerakkan kakinya, tampak puas sekali setelah melepas high heels-nya.
Tatapan saya jatuh pada benda berujung runcing itu. Terkadang saya heran dengan wanita yang senang sekali menyiksa diri untuk tampil menarik. Bagi saya, tanpa hak tinggi pun Elvira selalu memesona. Terlebih saat ini, dress pendeknya tersingkap memperlihatkan paha mulusnya, juga dengan lengan putihnya terekspos dari gaun tanpa lengan yang dia kenakan.
Entah mengapa saya merasa malam ini, Elvira sungguh seksi. Dia sebenarnya jarang sekali berpakaian terbuka, tetapi malam ini kenapa memilih model minimalis kekurangan bahan?
Shit! Kenapa juga saya jadi tegang? Tubuh ini bergerak tidak nyaman, ada yang terasa sesak di antara paha ini.
"Kamu bisa, 'kan pindah ke sofa itu?" Dia menunjuk sofa panjang di sudut ruangan, saya berjengit kaget, kesiap pasti memenuhi rona wajah saya saat ini. Mata ini segera berpaling ke arah yang dia maksud.
"Nggak bisa jalan?" Sudut bibirnya terangkat membentuk cengiran lebar. "Namamu siapa kah? Dari tadi ngobrol, aku nggak tahu namamu."
Saya speechless.
Wanita ini tak berhenti mengoceh, mengalahkan burung beo dan kakatua. Sejak kapan Elvira jadi secerewet ini? Astaga, saya benar-benar mabuk.
"Hei, namamu siapa, by the way?"
Ah, sudahlah. Mengalah lebih baik. Mungkin Elvira juga mabuk seperti saya sekarang. Yang tampak di mata ini hanya sosok semampai dan ... buram. "Ruly, namaku Ruly, Ra." Saya lalu mengembuskan napas lelah.
"Wah, aku terkenal ya? Kamu tahu namaku." Dia bertepuk tangan gembira, kemudian berlari dari luar ruangan yang dipenuhi alat musik ini.
Tangan ini tak sempat lagi mampu menahannya. Dia ... seekspresif itukah Elvira sekarang? Baru seminggu tak bertemu, dia berubah. 180 derajat.
Saya sebenarnya penasaran, Elvira mengajak saya ke mana. Semabuk-mabuknya saya, otak ini masih mampu mengingat dengan jelas semua tempat yang pernah kami kunjungi. Kamar ini pun terasa aneh, hanya ada sofa, drum set, keyboard, lemari, meja rias.
Saya memeriksa saku celana, merogoh isinya, mendapati HP dan sesuatu yang tidak diperlukan ada di sana. Saya meringis mengingat apa yang telah diri ini lakukan. Sehancur ini kah hati ini? Separah ini kah efek patah hati? Saya bahkan lupa membawa dompet, yang ada malah kunci mobil yang jelas-jelas tidak dibutuhkan karena saya menggunakan jasa transportasi daring.
Tubuh sempoyongan ini saya paksakan bangkit, ada banyak burung mungil yang beterbangan dalam pandangan. Saya kembali memejamkan mata kemudian menggelengkan kepala. Telinga ini kembali mendengar suara gemericik air dari luar ruangan ... kamar mandi mungkin? Kepala saya sakit sekali sekali. Beberapa kali saya berusaha untuk mengerutkan alis, memicingkan mata tetapi di depan saya hanyalah pemandangan serupa fatamorgana.
Tangan saya berhasil meraih pinggiran sofa, menggapai sesuatu yang bisa dijadikan pegangan. Mata ini berkeliling menyelisik setiap jengkal ruangan. Meskipun, tampilannya mirip foto dengan efek bokeh tetapi saya jadi terpikirkan akan satu hal.
Ya! Ide bagus!
Saya bisa meniti di dinding itu, cukup berjalan perlahan dan ... rebahan di sofa panjang itu.
Gampang.
Sayangnya baru berjalan selangkah, kaki ini semakin lemas seperti jelly, rasanya ujung dinding itu semakin jauh ditambah dengan pemandangan berputar, isi perut ini kian bergolak tertohok asam lambung.
"Astagaaa." Pekikan panik membuat saya menoleh.
Wow, mata ini membola, mulut saya sampai menganga. Walau buram, pemandangan di depan saya saat ini sungguh menggiurkan. Wanita yang baru saja selesai mandi ini hanya berbalut handuk sebatas paha. Siluet kaki jenjangnya terekam jelas di kepala ini.
"Kenapa nggak bilang kalau mau muntah?" Tergopoh-gopoh wanita itu meraih tangan yang sedari tadi menempel di dinding lalu mengalungkan di lehernya. "Kenapa juga nempel gitu seperti tokek?" Dia bersungut-sungut kesal. "Harusnya ngomong kalau kamu masih pusing."
Dia memapah saya ke luar kamar dengan terengah-engah, tampak kepayahan menahan tubuh ini yang meliuk ke sana-sini seperti tertiup angin. Tungkai ini seakan tak mampu berdiri tegak. Bau sabun menguar dari lengan telanjang wanita ini seakan mengajak saya terbang ke awang-awang. Mata ini semakin mengabur ingin memejam.
"Cepaaat! Aku bisa digantung Radit kalau kamu muntah di sini."
Entah, tiba-tiba saya mendapat kekuatan dengan teriakan yang bercampur dengan engah napasnya yang memburu. Rasa mual yang semula muncul teredam oleh aroma wangi dari tubuhnya.
Wanita itu tersentak kaget saat tangan ini meraih lengan mungilnya dari leher saya, memerangkapnya dengan lengan yang menumpu tepat di dinding samping kamar mandi.
Saya butuh dia, tidak butuh wastafel apalagi lubang kakus.
"Saya kangen banget, Ra." Bibir ini menemui bahu telanjangnya, meninggalkan kecupan basah dan gigitan kecil di sana. Rasa rindu ingin diri ini leburkan dengannya.
Saya merasakan tubuhnya mematung, menegang dan meremang. Bulu-bulu halus di tengkuknya berdiri. "Rul ... ini ...." Terbata karena sentuhan yang saya sematkan di sepanjang kulit halusnya.
"Elvira, saya rindu kamu." Saya kembali mengecup punggungnya, berkelindan dengan jemari ini mengelus lengannya, menyampaikan perasaan membuncah tanpanya. Ah, Elvira ... dia menggelinjang ketika bibir ini menyentuh cuping telinganya.
Dia mendesah lagi, "Rul ...."
Saya memeluknya, merindukannya, menciuminya dengan rakus, mendambanya, menghirup semua aroma yang menguar darinya. Perasaan rindu ini semakin meluap, mengalir bersama darah yang kian menggelegak.
Mendidih.
"Rul, ini ng-gak adil," desahnya diikuti rintihan. "Geli tau!" Tubuhnya bergerak-gerak bagai menahan gelitikan. Saya hanya mengecup punggungnya, menumpahkan semua kerinduan sejak ketiadaannya sementara sebelah tangan ini sesekali meremas bokongnya. Gemas.
"Gimana kalau gini?" Dengan cepat dia berbalik lalu mengalungkan tangan di leher ini. Memijat kulit kepala ini dan bergelayut di sana. Saya tak pernah menyangka apa yang dia lakukan. Tatapannya membuat sesuatu di dalam diri ini menuntut lebih.
Ketika dia merapatkan tubuhnya, tangan ini merespon merengkuh pinggangnya, menopangnya. Bibirnya terasa hangat menemui bibir ini dengan tergesa. Mengulum, menjilat dan menggigit. Dia menyerbu saya dengan pesonanya, dengan wangi rambut dan tubuhnya.
Ra? Dia lincah sekali. Ya Tuhan, ternyata di saat mabuk Elvira jadi seliar ini. Saya jadi belingsatan sendiri. Gesekan halus yang dia lakukan di permukaan tubuh ini sungguh ... ah, saya tak mampu menjelaskannya dengan kata.
Saya menunduk, menggeram, mengikuti rima dan penghambaan yang dia berikan. Hingga mendambanya sampai sedalam ini.
"Aaargggh... Elvira." Saya mengerang dengan mata memejam, melangkah mundur, lapar dan dahaga menyatu bersama desakan tubuhnya. Bibir penuhnya masih betah bereksplorasi membungkam bibir ini. Berpagut erat seirama dengan langkah yang terhenti di pinggiran sofa.
Dia melepaskan bungkamannya, saya kehilangan, Tangannya mendorong dada ini dengan keras sampai menghempas di sofa empuk. Tubuh ini menumpu dengan kedua tangan dan napas terengah. Resah. Gelisah.
"Kamu payah! Aku bukan Elvira," bisiknya, memainkan ujung handuk sambil menyeringai. Tatapan binalnya sangat menggoda.
Bukan Elvira? Dia bohong.
Shit! Saya berharap handuk itu segera terlepas. Otak ini semakin kehilangan fungsi rasionalnya. Menguar bersama geraman.
Perlahan dia naik ke pangkuan, menatap sesuatu yang menggembung di antara kedua paha ini dengan pandangan takjub. Sudut bibirnya terangkat, melengkung tipis.
"Menurutmu, apa yang harus aku lakukan dengan ini?" Elusan jemari tangannya bertemu di pangkal paha lalu perlahan naik membuka kancingnya. Oh, tidak! Kontrol diri ini bergerak semakin menjauh.
Geraman, erangan, desahan dan lenguhan kembali terlepas dari bibir ini saat dia dengan lincah meloloskan celana yang saya pakai kemudian bersimpuh di antara kaki ini.
"Elvira, please ...." Saya bangkit, menegakkan tubuh dengan siku, melihat apa yang sedang dia lakukan. Dia menyiksa saya dengan jilatan, kecupan dan gigitan, bergerak dari bawah ke atas di sepanjang tungkai dan paha. Sapuannya seringan bulu, teramat ringan.
"Kamu menyiksaku, Ra."
Dia tertawa lirih. "Itu karena kamu nakal, memanggiku dengan nama orang lain." Deru hangat napasnya menggelegakkan panas di ujung pusat tubuh. "Aku penasaran, seperti apa dia menyenangkanmu."
Jari-jari itu terjalin, mencengkeram. Saya kembali menjatuhkan tubuh, ingin menikmati tiap pijatan. Hidangan pembuka yang dia suguhkan teramat menggugah selera. Peduli setan dengan dosa yang ditanggung
"Seperti ini?" Tangannya mulai bergerak. Erangan dalam dari suara bariton ini berusaha meredam debaran dan getaran yang timbul dari tangan dan kejantanan ini. "Atau?" Hangat itu semakin dekat. "Seperti ini?" Jari telah berganti, lebih hangat dan licin, lidahnya? Wanita ini semakin menyiksa saya. "Atau? Seperti ...." Kalimat itu tak terselesaikan. Sibuk mengisap hingga punggung ini melengkung.
Tangan yang selama ini tenang di sisi tubuh ini mencengkeram rambutnya, menggerakkan kepalanya ketika ritme yang dia lakukan tak beraturan. Tubuh ini terasa melumer seperti api memanaskan besi yang alirannya bergerak perlahan menuju pusat. Namun, dengan tiba-tiba dia melepaskan isapan.
Aaarrrgh, lagi-lagi saya dibuatnya kehilangan.
Dia bangkit, kembali merangkak ke atas tubuh keras saya yang sedang mengatur napas. "Aku nggak mau kamu berakhir di mulutku!" bisiknya serak di samping telinga ini. Binar nakal nan binal berkilat di matanya. Tubuhnya kembali turun. Cairan hangat dan licin menyapa perut ini menunjukkan bahwa dia juga sama resahnya.
"Kamu membuatku gila, Ra." Mata ini semakin mengabur berkabut gairah. Sepertinya itu adalah pujian yang tepat untuknya. Kali ini dia tersenyum, perlahan melepaskan handuk yang sejak tadi membalut rapat tubuhnya. "Tetaplah seperti itu. Panggil saya Ra, nama saya Ora, bukan Elvira."
Abaikan ucapannya, mata ini menatap tak percaya. Ya, Tuhan ... Tangan-Mu begitu sempurna memahat indah sesosok maha karya. Tubuhnya kembali diangkat, tangannya bertumpu di dada yang masih terengah ini. Satu tangan kecilnya mengambil kejantanan ini, menyatukan dengan pelan dua hasrat primitif yang terkungkung renjana.
Dia mendesah dan menggigit bibir bawahnya saat tubuh kami bersatu. Saya tak ingin menyakiti, maka saya membiarkannya mengambil apa yang dia mau melalui kewanitaan yang membelit, entakan yang semula pelan berganti pinggul yang dia gerakkan naik turun.
"Aaargggh! Sayang...."
Saya kembali menggeram, semuanya terasa sangat pas. Kemeja yang saya pakai telah terbuka. Entah kapan dia melepas kancingnya. Gerakannya semakin liar dan binal bercampur dengan lirih desahan yang menggema.
Tangan saya meremas bokongnya, membantunya menerima hasrat yang sama saya rasakan. Ini sungguh ... luar biasa. Peluh membasahi, mengilat di tubuh dan dadanya, lenguhannya kembali terdengar.
Dia tampak kepayahan. Tak apa-apa 'kan? Kalau saat ini saya membalas? Memberikan apa yang dia inginkan? "Let me help you."
Saya bangun, merengkuh tubuhnya yang masih menyatu di pangkuan, menciumi puncak dadanya yang tegang membusung. Dahaga ini menyekat meminta dituntaskan. Tangan saya bergerak mengelus punggungnya, menjelajah setiap titik erotis kulit halusnya yang memesona. Begitu indah.
Dia memejamkan mata, menikmati sentuhan demi sentuhan dengan segenap perasaan yang menggenggam jiwa hingga tubuh mungil itu melengkung.
"Aaah, Ruly."
Saya menggeser tubuh diikuti bibir saling melumat, membaringkan tubuhnya yang tampak gelisah. Suara pendingin menderu, mengimbangi napas yang kian memburu, gairah kembali berpacu.
Pinggul ini bergerak perlahan setelah penyatuan kami lago, diri ini tak ingin melukai. Namun, tatapan sayu dan gerakan liarnya menginginkan lebih. Menuntut. Saya terhipnotis, menghambanya.
Gerakan ini semakin cepat, mengentak, menerjang, membanjirinya dengan hormon oksitosin. Keringat saya mengalir ke tubuhnya seiring pemberian ini padanya. Hasrat yang panas menguar seiring gerakan kami, membangkitkan setiap saraf di tubuh. Tak ada lagi tempat yang tak tersentuh, saya menggapainya sampai ke jengkal terujung. Dia kembali mengerang di tengah guncangan ini.
"Raaa, Sa-yang...." Saya menggeram dengan suara serak, gerakan pinggul ini semakin liar, memberikan dorongan yang sangat dalam, meresapi wajahnya yang memerah dan bibirnya yang membuka meluncurkan desahan terapuhnya.
"Aaah." Tubuhnya menggelinjang meliuk indah, senyum samar terbit di wajahnya yang mengilat. Sebelah kakinya naik ke bahu, tangan ini mencengkeram betisnya, menggigit, menjilatnya dengan lidah ini.
Desahannya panas dan membakar seakan menantang saya untuk bergerak lebih cepat lagi di setiap rintihan napasnya, menenggelamkan diri ini jauh di setiap guncangan tubuhnya. Bibir ini mencari, menggodanya, melumatnya dengan rakus, membungkam lirihnya.
Tangannya mencengkeram lengan ini dengan kuat, tak bisa berbuat apa-apa selain bergetar dan menerima tubuh saya yang mengentak-entak, pinggul ini terus bergerak, menghunjam dengan kuat dan cepat.
Semakin cepat.
Saya berusaha membuatnya bahagia, memberi lebih dari apa yang dia inginkan tetapi sepertinya gagal. Tangan ini segera memeluk erat tubuh mungilnya saat renjana itu semakin dekat dan tak terbendung, mengalir deras, mencapai titik kepuasan itu, mengunci sensasi di ujung tubuh, lalu kemudian meledak.
"Elviraaa!"
💕💕💕

Kenapa aku mau bercinta dengan pria mabuk payah yang baru kukenal? Yah, perempuan kan punya hasrat juga. Sepuluh tahun lebih aku menerima jatah dari pacar yang berganti-ganti. Pengalaman pertamaku dimulai bersama Arya, bassist SMA Negeri tetangga yang kutemui saat pensi. Hubungan kami berlangsung seumur jagung. Arya bukan pacar perhatian, tetapi cukup memuaskan untuk ukuran anak SMA. Caranya mengecup setiap senti kulitku, mempermainkan bagian-bagian sensitifku, membisikkan kata manis, membisikkan kata cinta meskipun omong kosong belaka, membuatku lupa daratan.
Arya sanggup meyakinkan seorang Aurora Nayara melepas status perawan dan membuatku mencandu. Lepas dari Arya, belasan laki-laki memuaskan kebutuhan biologisku. Lebih tepatnya simbiosis mutualisme. Anak SMA, teman-temanku itu tak sealim penampakan luar. Kenapa juga aku menceritakan Arya dan mantan-mantanku? Kalau saja laki-laki dewasa mabuk ini hebat di ranjang, upsss… Maksudku di atas sofa dan mampu memuaskan roh jalang kelaparan yang sudah tidak melakukan ‘itu’ selama setahun, aku tidak akan sejengkel ini.
Bercinta dengan laki-laki mabuk entah siapa namanya ini, tidak ada enaknya. Sudah berbau tak sedap, menyebut nama orang lain, setelah puas langsung tidur pula. Salah satu mantanku pernah mengajakku bercinta dalam keadaan dikuasai alkohol. Permainannya jelek, hanya kepercayaan dirinya saja meningkat. Menyesal pun tak berguna.
Bagusnya, laki-laki semalam yang kucurigai adalah mantan Elvira ini tak sadar saat aku mendorongnya jatuh. Bukannya kejam, sofa hanya muat ditiduri satu orang. Dia tak butuh tempat empuk untuk tidur. Aku lah yang lebih perlu.
Mataku terbuka ketika sofa terasa diduduki seseorang. Tubuhku telah diselubungi jas hitam. Baik juga dia padahal sudah kubuat tidur di lantai.
"Apa yang kita lakukan?" tanyanya pelan begitu aku duduk, masih mengumpulkan nyawa.
Pusat tubuhku masih terasa aneh setelah setahun tak melakukan hubungan intim dengan laki-laki.
"Sebentar, aku lupa nama kamu," kataku sambil menguap. Jas hitam itu melorot waktu aku merenggangkan tubuh.
Mata si laki-laki melotot seakan mau loncat dari rongganya saat dua asetku terpampang sempurna, buru-buru dia menaikkan jasnya menutupinya.
"Ruly, nama saya Ruly. Dan kamu?"
"Aurora."
"Aurora....” Ruly terdiam sejenak, terlihat agak ragu, “apakah kita sudah..."
Aku mengangguk. "Ya, kita sudah melakukannya."
Mata Ruly membelalak lagi, terlihat syok. Namun dia kembali menguasai diri.
"Bagaimana semuanya terjadi? Bagaimana saya bisa di sini?"
"Hmmm...," aku menggumam, bangkit dari sofa menanggalkan jas hitam itu, membiarkan Ruly melihatku tanpa benang. Ngeces saja sekalian sana, toh semalaman sudah melihat semuanya bahkan meletakkan tangannya di mana-mana.
Ruly menunduk, menolak menatapku yang berjalan menuju kulkas.
"Mau minum apa, Ruly? Di dalam hanya ada soda dan jus. Mau kubuatkan kopi?" tanyaku sambil meraih sekotak jus jeruk.
"Tolong jelaskan saja," jawab Ruly canggung.
Aku menusukkan sedotan ke kotak kemasan jus jeruk, mengisapnya sembari berjalan lambat ke arah Ruly, sengaja demi menyiksanya. Sudahlah, berhenti berpura-pura. Dia pikir aku tak melihat matanya yang berusaha keras menghindari menatap keindahan ciptaan Tuhan ini? Kucing kok mau menolak ikan salmon?
Terlintas pikiran iseng. Aku menjatuhkan diri ke pangkuannya. "Minum," kataku menyodorkan kotak jus jeruk ke depan hidungnya.
Ruly menggeleng. Tangannya sama sekali menolak menyentuhku.
"Semalam aku dan anak-anak nemuin kamu di sofa ruang ganti Upper Hills. Satpam hampir membawamu ke kantor polisi soalnya nggak nemuin identitas kamu, tapi tahu kan kerepotannya? Semalam kami sudah lelah untuk diinterogasi dan semacamnya. Radit, pemilik studio ini, ketua Wonder Band berinisiatif membawamu ke sini. Tumben dia baik." Aku terkekeh. Ruly tak mengucap sepatah kata pun. "Kamu nggak lupa, 'kan resepsi pernikahan Elvira dan Fahri?" Aku melingkarkan lengan ke lehernya, jemariku memuntir-muntir daun telinganya, turun ke leher meraba jakunnya yang naik turun.
Ruly gelisah, entah karena kata 'resepsi pernikahan Elvira dan Fahri' atau karena hasratnya mulai bangkit lagi.
"Kamu mabuk sampai menyebut nama Elvira," rajukku, sekarang menggerayangi kancing kemejanya, membuka satu persatu. Area sensitif di sela pahaku berdenyut-denyut, ingin membalas kekecewaan semalam.
Napas Ruly memburu ketika kubelai rahangnya, tetapi sesuatu menahannya bereaksi. Aku menengadah, mengecup bibir Ruly. Dadaku menempel pada kemejanya. Ruly membalas. Ciumannya terasa frustrasi, kasar, dan bingung. Aku tak peduli, ini awal yang bagus. Namun, dia melepaskanku ketika aku mendamba lebih.
“Saya tidak bisa.” Ruly mengembuskan napas berat. Manik mata hitamnya kembali digayuti kesedihan mendalam.
Aku mulai kesal. Siapa yang membuat laki-laki ini mengabaikan godaan sampai rela menyiksa diri sendiri?
"Elvira mantanmu?" tanyaku penasaran. Kalau ya, berarti cintanya pada wanita itu sangat besar.
Ruly mencengkeram tanganku, memindahkan tubuhku ke sofa. Sikapnya kelewat sopan. "Maafkan saya," ucap Ruly lirih. "Saya tidak bermaksud...."
Aku mendecak jengkel, meletakkan kemasan jus jeruk ke atas meja di depan sofa. "Kamu menyebalkan. Semalam menyebut nama perempuan lain saat kita melakukannya. Dan sekarang…."
"Maaf," kata Ruly penuh sesal.
Maaf, maaf, maaf, membosankan sekali. Kalau Elvira sungguh pernah pacaran dengan Ruly, aku menebak-nebak berapa kali Ruly mengucap kata itu.
"Orang yang terlalu sering mengucap kata maaf adalah orang yang tidak pernah memperbaiki kesalahannya," ucapku ketus.
Ruly tampak terhenyak. Matanya menerawang seperti ikan asin. "Apa yang harus saya lakukan?"
"Setidaknya tebuslah kesalahanmu," jawabku seraya mengelus lututnya. "Bagaimana?"
Perlahan elusanku naik ke pahanya, sedikit mencakarnya. Dari sana, tanganku beralih ke area yang menggembung, meremasnya dari balik celana bahan.
"Kita bebaskan, biarkan dia mendarat di tempat yang tepat," bisikku seraya menurunkan ritsleting celananya. Desahan pelan lolos dari sela bibirnya ketika jemariku menyusup. Ah, ah, jangan berbohong. Kamu juga menginginkannya. Setahun sudah aku mengekang roh jalang pasca putus dari pacar terakhirku. Pria pasif ini menyalakan saklar penasaranku.
"Stop!" perintah Ruly tegas. Dia menyentakkan tanganku, menatapku tajam. Wajahnya merah padam.
"Kenapa? Kamu bilang mau menebus kesalahan. Semalam aku yang lebih banyak bekerja, tahu. Sudah begitu, kamu mengucapkan nama Elvira saat berada di puncak. Menyebalkan!"
"Elvira memang mantan saya," Ruly mengakui penuh kepahitan. "Dia memilih harta daripada cinta."
Membandingkan Fahri Syahrul dengan Ruly, entah siapa nama panjangnya yang kumal dan menyedihkan ini, jelas siapa pemenangnya. Perempuan sehat mana pun pasti akan memilih pria bergelimang harta. Malang sekali nasibmu, Daeng!
Aku tertawa, meraih tasku yang berada tak jauh. Kukeluarkan dua dompet kosmetik yang biasa kubawa ke mana-mana.
"Kamu tahu ini harganya berapa?" Aku mengeluarkan botol kecil kemasan sepuluh mililiter.
Ruly menggeleng.
"Tebak."
"Sepuluh ribu?" ucapnya.
"Hei, Anda meremehkan penghasilan saya?" aku mencak-mencak. "Ini primer antioksidan made in USA, bukan buatan pedagang pisang ijo Pantai Losari. Harganya empat ratus ribu."
"Rupiah?" tanya Ruly kaget.
"Dollar."
Ruly menganga.
"Nggak kok, bohong. Iya Rupiah." Aku nyengir, melanjutkan membongkar koleksi make up. "Ini tebak berapa harganya?" tanyaku semakin bersemangat menyodorkan tube mungil tiga puluh mililiter.
"Delapan belas ribu?" Ruly berkonsentrasi tak yakin. Ah, tebak-tebak tak berhadiah ini mulai mengasyikkan.
"Salah, Daeng. Satu juta." Ruly mengambil tube itu, membaca tulisan kecil-kecil yang tertera.
"Itu primer juga tapi fungsinya agar wajah kelihatan glowing, shinning, shimmering, splendid." Aku menyanyi ala Putri Jasmine dalam film fantasi Aladdin.
Ruly buru-buru mengembalikannya.
"Baru harga primer saja sudah bikin syok ya. Belum foundation, maskara, dan lain-lain. Hello, cantik itu mahal. Kamu kira bisa menyendoki lumpur gratis dari depan rumah, menjadikannya masker, lalu triiing.... Cantik kayak Ibu peri mengubah Cinderella? Kamu mau punya pacar secantik Elvira, tetapi," aku menelengkan kepala, "ah.... Sudahlah. Nanti kamu semakin terpuruk mendengar kata-kataku."
Ruly tampak terpukul.
"Nggak ada perempuan matrealistis, yang ada hanya perempuan logis. Hidup mahal, mati pun bayar," ceramahku.
"Saya mengerti." Ruly tertunduk lesu bagaikan orang kalah berjudi.
"Omong-omong soal menebus kesalahan, kamu nggak akan bisa melakukannya, anak SMA saja lebih oke daripada kamu," ejekku.
"Semalam adalah pengalaman pertamaku," Ruly mengaku.
Pantas permainannya payah dan serabutan.
"Makanya, aku ajari!" aku membentaknya.
Namun, Ruly menggeleng. "Cara menebus kesalahan bukan dengan melakukan kesalahan baru."
"Lalu bagaimana? Kamu mau menikahiku?" aku mengejek.
Ruly terdiam. Aku melihat penyesalan di matanya. Aku tidak memperkosanya, Ruly menyerahkan begitu saja keperjakaannya.
"Setidaknya biarkan saya mengantarmu pulang."
Aku mengabaikan permintaannya, berjalan menuju toilet. Di sanalah gaunku terserak. Agak basah karena terjatuh di lantai yang tergenang air bekas mandi. Aku membutuhkan pakaian lain. Kuambil ponselku.
"Di manaki[8]?" tanya Tiara pada dering kedua.
"Masih di base camp."
"Kenapako nda[9] pulang semalam?"
"Gimana aku mau pulang kalau ada orang asing di studio. Radit yang salah, bawa orang asing ke sini. Kan bisa dibawa ke rumahnya saja.”
"Maaf saya terpaksa tinggalkan ko. Kau nda apa-apa ji?"
Semalam anak-anak punya urusan dan janji masing-masing sehingga terpaksa pulang duluan. Mereka pasti tak mengira Ruly yang bertampang baik-baik bisa binal juga.
"Ada sedikit kejadian. Nanti aku cerita. Tolong bawakan baju dong, Ti. Lengan panjang ya."
"Kan sudah saya bilangmi, jangko macam-macam."
"Tiara sayang, jangan bikin kepalaku makin pusing. Kamu ke base camp bawa baju ya."
Tiara mendesah. "Tungguka[10]," katanya menutup pembicaraan.
Ketika aku muncul di ruang musik, Ruly masih duduk menungguku.
"Aku sudah meminta temanku datang ke sini, membawakan baju ganti. Kalau kamu mau pulang duluan, silakan."
Ruly menatapku lama. Tangannya menangkup. "Aurora – "
“Panggil aku Ora saja,” potongku.
“Ora, saya sungguh minta maaf. Apa yang kita lakukan semalam murni kesalahan saya. Seharusnya saya tidak mabuk."
Aku mengibaskan tangan. "Sudahlah nggak usah dipikirin. Kecuali kamu mau les privat memuaskan wanita di tempat tidur, bolehlah kamu kembali ke sini. Pulang sana. Temanku mau datang."
"Kamu.... yakin?"
"Yakin, Ruly sayang."
Ruly sibuk dengan ponselnya. Sepuluh menit kemudian mobil Avanza perak menjemputnya. "Saya pulang dulu," pamit Ruly.
Aku mengantarkan Ruly ke pintu, kemudian meluncur ke kamar mandi. Kaca besar memantulkan sosokku. Astaga, bekas bibir laki-laki itu masih tercetak jelas di tengkuk, pundak, punggung, dan puncak dadaku. Kerinduannya pada Elvira dia lampiaskan padaku. Setiap kali aku menyentuh jejak kemerahan itu, rasanya seperti menyentuh guratan nama Elvira.
Sisa permainan kami mengering dan lengket di sela paha. Semalam akulah yang memandu Ruly sampai dia terpuaskan, sementara aku tidak sama sekali! Kalau saja Ruly tidak mengucapkan nama Elvira, aku tak akan sesebal ini.
Air pancuran menyala. Kugosok seluruh tubuhku, berdoa semoga tak usah berjumpa dengan Ruly. Kami tidak bertukar nomer telepon. Kecil kemungkinan dia bakal kembali.
"Ora! Aurora!" Tiara datang saat aku membilas tubuh. "Oraaaa!"
"Iyaaa," teriakku, membalas agar dia tidak panik. Buru-buru menyelubungi diri memakai handuk lebar, handuk yang kemarin ditarik Ruly hingga kami berakhir melakukan.... Ah sudahlah.
Langkah Tiara berjingkat cepat. Dia mendesah lega melihatku.
"Ora, nda apa-apa jako? Baik-baik ji?" Tiara mengguncang lenganku.
"Iya. Aku baik-baik aja, kok."
"Mana laki-laki semalam?" Tiara celingukan mencari-cari.
"Sudah pulang."
"Dia nda menyakitimu, nda mencuri barang?"
"Semua aman, nggak ada yang hilang kok, Tiara sayang."
Tiara menoleh lagi padaku, mengamati leher dan bahuku. "Itu apa merah-merah?"
Jantungku serasa minta pensiun berdetak.
"Aku bisa jelaskan. Mana bajunya? Dingin."
Tiara menyerahkan totebag hitam. Di dalamnya ada celana jins dan T-shirt lengan panjang. Baguslah.
"Bajumu mana?" tanya Tiara.
"Terlalu terbuka." Bisa langsung dipecat sebagai anak kalau Ibu melihat tanda merah bertebaran di sekujur tubuhku.
"Bukannya ko suka pakaian terbuka?" tanyanya heran.
"Iya, tapi nggak hari ini." Udah deh, Tiara, jangan bawel.
"Saya bawa makanan. Ko sudah sarapan?" Tiara membuka sekotak omelet dan kentang yang direbus bersama bawang putih serta sedikit merica.
"Tiara memang paling baiiik," pujiku lantas mengecup pipinya.
"Kenapako nda pulang?" tanya Tiara.
"Kalau Ruly mencuri peralatan band bagaimana?"
"Siapa Ruly?"
"Laki-laki yang semalam kita tolong."
"Jadi ko menginap semalaman dengannya?"
Aku menusukkan garpu ke potongan kentang, lantas mengangguk. "Elvira adalah mantan pacarnya," jelasku.
"Pantas sampai mabuk begitu. Kasihan," kata Tiara prihatin.
"Ruly terlalu cinta makanya patah hati separah itu. Saat dia 'sampai', dia menyebut nama Elvira."
"Sampai?" Tiara memicingkan mata curiga. "Sampai apa?"
Aku membekap mulutku sendiri. Dasar baskom bocor. Tiara seumuran denganku, tetapi otaknya masih tujuh tahun. Manonton orang ciuman dalam film romantis saja kadang dia menutup muka.
"Nggak, kok. Sampai Pare-pare."
"Pare-pare? Siapa ke Pare-pare?"
"Sudahlah, makanmi," kataku menyuapkan kentang ke mulutnya. Tiara menepis suapanku. Gawat.
"Ko belum jawab, kenapa ada merah-merah di leher dan pundakmu nah?"
"Kami melakukannya," ujarku pasrah.
Mulut Tiara menganga. Ya ampun, sepasang manusia berbeda jenis kelamin tidur bersama saja reaksinya berlebihan. Kalau Radit mantap-mantap dengan Rizky, bolehlah dia kaget.
"Apa? Gilako[11]! Ko nda kenal dia, gimana kalian bisa...."
"Yah, aku sudah setahun jomblo. Ruly pun semalam kalap...."
Seks adalah anugerah Tuhan bagi manusia. Bagus untuk membakar kalori dengan cara menyenangkan. Aku tertawa. Kenapa malah ingat Tuhan padahal kami berbuat dosa?
"Jangko tertawa. Dia perkosa ko?" Mata Tiara melotot menakutkan.
"Nggak, dia kangen Elvira. Lalu kami melakukannya begitu saja karena sama-sama membutuhkan. Spontan."
Tiara meletakkan garpu. "Kalau ko hamil bagaimana?"
"Ya ampun," aku menertawakannya lagi, "nggak mungkin lah hamil karena sekali gituan. Selama ini aku berkali-kali dengan pacarku pun nggak hamil."
Tiara berdecak. "Ingat penyakit kamu, Ora. Kalau sampai hamil, berbahaya sekali."
Penyakit begitu saja diungkit-ungkit. Dokter Khalid bilang, semua beres. Aku mau hamil pun bisa asalkan banyak istirahat agar tak keguguran. Tapi itu soal lain. Tiara akan tambah meledak kalau aku mendebatnya.
"Iya, iya. Nggak bakalan kok kalau hanya sekali. Kamu tenang saja, Tiara sayang."
Tiara selalu menganggapku ceroboh. Dia tahu deretan mantanku. Mulai dari anak SMA, mahasiswa sampai pegawai bank. Tenang, semuanya belum menikah. Aku malas drama kalau memacari suami orang. Tiara berkali-kali mengingatkan soal kehamilan serta risiko penyakit. Katanya, seks sembarangan mengakibatkan kanker rahim.
"Sudah, selesaikan makan kita. Aku lupa bawa obat, mesti buru-buru pulang."
Obat yang diberikan Dokter Khalid sifatnya sementara. Hanya sampai gejalaku sembuh.
Usai makan, aku dan Tiara membersihkan studio. Radit bakal menggantungku kalau tahu ada yang berbuat mesum. Selain menyapu agar tak satu pun helai rambut Ruly tertinggal, kami mengepel lantai serta mengelap sofa dan paling penting membersihkan kamar mandi.
"Aman!" sorakku. Semua barang bukti sudah tersingkir dari TKP. Kepalaku agak pening mungkin karena bau karbol yang menyengat.
"Ayo pulang." Tiara membawa motornya. "Sore nanti kita isi acara ulang tahun PT. Kakao Celebes Indonesia. Ingat kan?"
Ketika akan membuka pintu, pening semakin mengaburkan pandanganku. keringat dingin merembes. Aku terhuyung-huyung.
"Ora!" seru Tiara yang memapahku sehingga tak membentur ubin.
Ruangan musik berputar. Kepalaku serasa ditusuki jarum. "Ayo, saya antar ko ke Dokter Khalid," cetus Tiara.
💕💕💕

Avanza perak yang saya tumpangi berhenti di depan bangunan dua lantai dicat hijau. Hunian minimalis yang saya tinggali bertiga dengan Ayah dan Ibu sejak memutuskan untuk kembali ke Makassar. Rumah yang dibeli Ayah saat tabungan pensiunnya cair dari PT Taspen. Ayah ingin menua dan berpulang di tanah kelahiran dan syukurnya Ibu yang asli Semarang bersedia ikut tanpa syarat.
Kisah cinta yang indah, berbanding terbalik dengan saya. Mereka saling menerima kekurangan masing-masing. Saling dukung satu sama lain. Ayah yang tidak suka berkebun menyiapkan taman kecil untuk Ibu merawat tanaman-tanamannya. Sedangkan Ibu seakan tidak ada masalah saat Ayah memutuskan kembali ke Makassar.
Keputusan Ayah yang kemudian membawa saya bertemu dengan Elvira. Ah, andai saja ....
"Bang, alamatnya benarji, ka?"
"Benar lah, saya belum pikun, enggak ingat alamat sendiri." Pertanyaan seseorang mengembalikan saya dari lamunan dan nostalgia. Mata ini mendelik tajam ke driver Grab car yang saya tumpangi ini, dia sukses membuat mood ini makin hancur.
"Makasih, Bang. Bayarnya pakai OVO, 'kan?"
Tanpa menjawab, saya keluar dari Avanza miliknya dengan perasaan dongkol. Langkah kaki setengah terseret menarik perhatian Ibu yang sejak tadi sibuk dengan taman kecilnya. Palem dan monstera meliuk-liuk, menikmati sentuhan air dari selang yang Ibu semprotkan.
"Baru pulang kamu, Rul?" Ibu mematikan keran air, menatap saya dari ujung rambut sampai kaki. Syukurlah, saya masih sempat mengecek penampilan sebelum pulang tadi. Setidaknya wanita itu tidak meninggalkan kiss mark di leher ini.
Ayah menurunkan koran yang dia baca, menatap diri ini dengan tatapan menyelidik, kaki yang tadi dia silangkan perlahan diturunkan bersamaan dengan meletakkan bacaannya di meja. Sial! Sepertinya, saya akan menerima kuliah pagi hari ini.
"Duduk sini, Rul." Ayah menunjuk kursi rotan di sebelahnya. Ibu melenggang ke dalam, mungkin ingin menyiapkan sarapan. Sejak pindah ke Makassar, Ibu selalu menyiapkan sarapan berat setiap harinya. Untung saja, saya masih rajin berenang. Kalau tidak, entah akan berapa banyak lipatan lemak di perut ini.
"Sini, Rul!" perintah Ayah dengan suara dalam dan tegas. "Kamu itu sudah seperti orang lain saja, berdiri diam di situ."
Saya menghela napas, lantas menjatuhkan bokong di sampingnya, bersiap-siap mendengarkan petuah bijak dari Ayah. Semoga saja tak ada aroma lain yang menguar dari tubuh ini.
"Kamu itu dari mana saja? Bukannya semalam kamu ke nikahan Elvira?"
Saya mengangguk pasrah, bukan rahasia di keluarga ini kalau Elvira memilih meninggalkan saya. Tetapi, berkali-kali nama itu disebut rasanya makin perih. Belum lagi dengan kesalahan yang telah saya lakukan semalam. Menenggak alkohol sampai mabuk bahkan melakukan hal terlarang dengan wanita yang tidak saya kenal. Sial! Apa yang telah saya lakukan? Bagaimana kalau dia hamil?
"Semalam tidur di mana?"
Duh, Ayah ini. Straight to the point. Tak ada basa basi sama sekali. Makin mirip sama Ibu.
"Di rumah Irfan, Yah. Losari macet sekali semalam. Banyak perayaan Valentine." Saya berusaha tetap tenang, jangan sampai Ayah curiga. Meskipun, jujur, saya merasa tidak nyaman dengan tatapannya. Perasaan bersalah ini semakin besar saja.
"Ayah nggak masalah kamu nginap di luar. Tetapi beri kabar, Rul. Kasihan Ibu menunggumu sampai ketiduran di ruang tamu." Ayah menghela napas sebelum akhirnya menenggak teh panas yang masih bersisa setengah di cangkirnya.
"Maaf." Hanya satu kata itu yang mampu saya ucapkan. Kehabisan stok kata-kata. Saya berdoa semoga Ayah tidak menambah daftar panjang pertanyaannya.
"Ya sudah, ayo sarapan. Ibumu bikin daging toppalada."
Baru saja saya menegakkan tubuh, ucapan Ayah membuat semua sendi di tubuh ini melumer.
"Rul, Ayah percaya kamu loh. Pergaulan anak muda kadang melewati batas. Jangan sampai merusak anak gadis orang dan bikin malu orang tua."
Saya tidak menjawab, hanya mengangguk. Kaki ini berjalan gontai mengikuti langkah Ayah dari belakang. Membiarkannya jalan duluan karena saya tidak berharap Ayah menangkap sesuatu yang membuatnya curiga.
"Ayo, sini. Makan dulu, Rul," panggil Ibu dari dapur. Meja makan kami memang bersatu dengan dapur bersih. Hanya sebuah partisi ukiran Jepara yang memisahkannya dengan ruang keluarga. Mencari rumah dengan lahan yang luas memang semakin susah. Solusinya dengan desain interior minimalis, ruangan terlihat lebih lapang. Kalaupun ada yang lahannya luas, harganya sudah membumbung tinggi, seperti lahan reklamasi Losari yang sampai saat ini masih belum bisa saya mengerti.
"Semalam, Elvira pasti cantik sekali, ya, Rul?"
Pertanyaan Ibu disambut dehaman Ayah. Kedua orang tua saya ini memang tidak ada niatan menjaga perasaan saya. Aroma wangi dan gurih dari masakan Ibu mendadak tak menarik lagi. Lidah ini kelu sepahit empedu. Hilang sudah selera makan saya. Padahal sebelumnya, perut ini sudah berbunyi nyaring minta diisi. Kegiatan semalam benar-benar menguras tenaga saya.
"Kamu ke resepsi Elvira, 'kan? Nggak keluyuran macam orang putus cin—"
"Dia memang putus cinta, Bu." Ayah memotong ucapan Ibu, dengan mulut yang masih penuh makanan.
Masakan Ibu memang selalu enak setiap harinya, katanya itu salah satu alasan Ayah jatuh cinta padanya.
"Iya, maksudku .... Tahu sendiri kan, Yah. Anak muda sekarang gaulnya gimana?" Ibu menyahut lirih tetapi sukses membuat sendok yang saya pegang terjatuh.
"Rul?" Ayah mendongak menatap saya. Mata hitam kelamnya seakan mengunci tatapan ini tidak teralihkan ke tempat lain. Saya yakin sekali, Ayah pasti menganggap diri ini ada masalah. Namun, saya rasa, dia tak ingin bertanya lebih jauh.
"Habis sarapan, istirahat, Rul. Sepertinya kamu kurang tidur. Kasihan banget temanmu. Harus menampung orang yang lagi patah hati."
Beugh! Ibu saya ini logatnya sehalus sutra khas Jawa tetapi ucapannya itu setajam belati Makassar. Ayah bahkan berhenti mengunyah makanannya, menatap dengan iba.
"Habiskan sarapannya," ucap Ayah pelan lalu meletakkan sendok, menandaskan minumannya. "Apa pun yang terjadi antara kamu dengan Elvira itu sudah jalannya, Rul. Sejak pertama kamu ngenalin dia, Ayah rasa dia enggak cocok sama kita."
"Huum, bener banget itu." Ibu pun mengiakan ucapan Ayah. "Belajar nrimo, Rul. Dia bukan jodohmu."
"Sudahlah, Bu. Anak kita sedih, kok kamu makin sadis gitu sama dia?"
"Ya, nggak pa-pa toh? Biar jadi laki-laki itu kuat dikit, kenapa?" Ibu menyahut tak mau kalah.
Aih! Obrolan ini semakin menambah perih di hati ini. Ucapan keduanya ibaratnya garam yang ditabur di atas luka menganga. Sebaiknya saya menghindar, semakin betah di sini, Ayah dan Ibu semakin menjadi. Saya tahu, kalau itu bentuk dari kesedihan mereka. Keduanya juga menyayangi Elvira, bahkan mungkin melebihi rasa sayang mereka ke saya.
"Saya sudah kenyang. Yah, Bu, Ruly ke kamar dulu."
💕💕💕
Semalaman saya tidak mampu memejamkan mata. Di kantor pun tidak konsentrasi kerja. Rasa bersalah ini kepada Ora mulai mengalahkan kesedihan yang saya rasakan karena pernikahan Elvira. Bayangan wanita itu terus saja muncul di kepala ini. Dan sialnya lagi, saya membayangkannya tanpa sehelai benang pun!
Apa yang tengah dilakukan wanita itu sekarang? Saya benar-benar keterlaluan, tidak mampu mengontrol sesuatu yang tidak sepantasnya dilakukan oleh dua orang yang tidak memiliki hubungan yang sah secara agama dan negara. Sampai saat ini saya masih bisa merasakan saat-saat kami menyatu. Sesuatu di balik celana tiba-tiba mengeras hanya karena memikirkannya saja.
Sial!
Ah, andai saja saya tidak meminum minuman laknat itu, saya tidak akan mencicipi perbuatan terlarang itu. Bagaimana menjelaskannya ke Ayah dan Ibu kalau mereka sampai tahu. Mereka pasti akan sangat terluka.
"Rul, ayo ke kantin." Irfan tiba-tiba muncul di samping kubikel saya. Semua yang saya pikirkan mengabur seketika, berganti dengan sosok Irfan yang selalu tampil rapi dan senyum lebar di wajahnya.
"Maaf, Fan. Saya ada janji, mau ke Tupai," tolak saya dengan halus.
"Mau bikin apa di sana?" Irfan keheranan melihat saya merapikan meja dari kertas-kertas berisi instruksi pengiriman barang yang belum sempat saya selesaikan. "Tapi balik, kan?" tanyanya lagi.
"Mau ketemu teman di studio musik Hope. Saya balik, tolong titip pesan buat Pak Markus, siapa tahu saya kena macet."
"Stu–dio mu–sik? Sejak kapan ko (kamu) suka ...."
Saya berlalu dengan cepat, mengabaikan pertanyaan Irfan. Ada baiknya, saya menemui Ora, setidaknya memastikan wanita itu baik-baik saja. Tidak peduli tampang menyelidik Irfan, saya hanya ingin bertemu Ora secepatnya.
Sebelum mengunjungi Ora, ada baiknya membawa oleh-oleh. Sekarang jam makan siang. Menu sop konro yang langsung terbayang membuat saya melajukan mobil ke kedai langganan. Saya tidak tahu berapa jumlah teman band-nya. Namun saya pikir tujuh porsi cukup untuk dimakan beramai-ramai.
Setiba di studio, saya memarkirkan kendaraan tidak jauh dari Hope Music Studio. Bukan karena saya tidak ingin terlihat mengunjungi tempat ini, tetapi tak ada lagi space kosong. Saya baru memperhatikannya dengan baik. Sekilas dari luar, bangunannya tampak seperti rumah tinggal biasa. Tidak semegah studio musik milik Ahmad Dhani pentolan Dewa yang berlantai empat. Namun, melihat kendaraan yang parkir cukup banyak, saya rasa Hope punya pasarnya sendiri di Makassar.
Pintu samping sekaligus pintu masuk studio dijejali dengan orang-orang yang sedang antre menunggu giliran untuk berlatih. Saya pun masuk melalui pintu utama yang daun gandanya terbuka. Ada banyak suara yang terdengar tetapi tidak saya mengerti. Sepertinya mereka sedang membahas rencana latihan dan konsep penampilannya.
"Ha-ha-ha...."
Ah, dia ada. Ora. Suara tawanya yang renyah masih membayang di kepala. Bungkusan plastik berisi tujuh kotak sop konro yang saya beli tergenggam erat. Ada rasa tersendiri saat mendengar derai tawanya. Perasaan ini menghangat.
"Hai, siang."
Kelima orang yang tengah asyik berbincang serentak menoleh. Ora mungkin tak menyangka, saya ada di sini. Kedua tangannya terangkat menutup mulut.
"Ruly?" Ora bangkit dari duduknya, tergesa ke arah saya. "Ada apa?" bisiknya pelan seakan tak ingin didengar oleh keempat temannya.
"Saya ... hanya ...." Mendapat tatapan dari empat pasang mata di sana membuat semua kata yang ingin terucap hilang. Salah tingkah. Ora menyadari kekikukan ini. Dia langsung menggandeng lengan saya. Mendekat ke temannya.
"Gaes, ini Ruly yang—"
"Mabuk kemarin?" Laki-laki berkacamata memotong ucapan Ora dengan sinis, tatapannya segalak macan. Namun, Ora seakan tidak ada masalah. Dia menuntun saya duduk di kursi. Bungkusan yang sedari tadi di tangan, saya letakkan di atas meja.
"Rul, ini Radit." Ora menunjuk laki-laki berkacamata, lelaki itu mengangguk lantas memalingkan wajahnya.
"Ini Rizky." Ora lalu menunjuk laki-laki yang rambutnya gondrong, sama halnya dengan Radit, dia pun tanpa ekspresi.
"Itu Ari." Laki-laki dengan potongan ala boy band Korea berdiri mengulurkan tangan.
"Dan ini Tiara." Satu-satunya wanita selain Ora di sini. Berbeda dengan Ora yang selalu heboh. Wanita yang bernama Tiara ini lebih banyak diam, dia hanya tersenyum tipis dan mengangguk.
"Saya Ruly, maaf sudah bikin kalian repot. Terima kasih sudah menolong saya." Saya meringis sambil menangkupkan tangan. "Ini, saya bawa sop konro, kalian pasti belum ada yang makan, 'kan?" Saya mengulurkan bungkusan pada Ora.
"Wah, asyik. Ayo, Dit. Kita makan di dapur saja." Laki-laki yang bernama Ari tampak antusias. Dia menyambar bungkusan di tangan Ora, memaksa ketiga temannya meninggalkan kami.
"Ora, sebentar saya bawakan bagianmu.” Tiara langsung mengambil bungkusan plastik dari tangan Ari.
Sepeninggal teman-temannya, Ora pun duduk di samping saya. Dia sedikit pucat, sakit kah?
"Kamu sakit?" tanya saya setengah berbisik, menatapnya dengan khawatir. Dia menggeleng, memaksakan senyum di wajahnya yang imut.
"Aku baik-baik saja."
"Soal kemarin, saya ... minta maaf." Saya menundukkan pandangan ke jari jemari yang saling bertaut. "Seharusnya saya ...."
"Ora, Ruly, bagian kalian." Tiara datang dengan dua mangkuk yang isinya masih mengepul, menginterupsi rasa bersalah ini. Wanita itu meletakkannya di meja lalu kemudian kembali ke dapur.
Saya menyerahkan satu mangkuk pada Ora, dia tampak ogah-ogahan menerima. Dia menyesap kuahnya sedikit, lalu menyendok nasi. Padahal sop konro ini terkenal paling enak. Berbanding terbalik dengan Ora, isi mangkuk saya cepat tandas. Sop konro adalah masakan kesukaan saya, bahkan sebelum saya resmi tinggal di Makassar.
"Ra, saya boleh minta nomor handphone-mu?" Saya menyerahkan ponsel padanya. Dia meletakkan mangkuk yang sepertinya belum disentuh sama sekali lalu kemudian mengambil ponsel yang saya ulurkan. Setelah mengetikkan nomornya, dia menyerahkan kembali benda itu.
"Mana ponselmu?" Saya menadahkan tangan padanya, dia merogoh sakunya lalu menyerahkan ponsel. Ora lebih diam hari ini, sungguh berbeda dengan malam itu. Sekarang, wajahnya kuyu dengan butiran keringat meluncur di garis pipinya yang mulus.
"Kamu pucat sekali, Ra. Sebaiknya makanannya kamu habisin." Saya berusaha membujuknya saat menyerahkan kembali ponsel miliknya.
"Saya nggak selera," tolaknya seraya menggelengkan kepala. Dia mengutak-atik ponsel, tiba-tiba memotret wajah ini dan dia pasangkan di profil Whatsapp. Dia menyeringai lebar memperlihatkan hasil tangkapan kameranya. “Oh, jadi namamu Ruly Savian,” ujarnya.
Saya tertawa melihat tingkahnya. Ini pertama kalinya sejak saya selalu dirundung kelesah setelah berpisah dari Elvira. Saya kembali menyerahkan mangkuk berisi sop konro yang belum tersentuh. Dia menggeleng sambil menutup mulut.
"Saya nggak mau, Rul."
"Tapi biar bagaimanapun, kamu harus makan. Nanti kamu benar-benar sakit, saya makin merasa bersalah, Ra." Saya putus asa membujuknya, dia jauh lebih keras kepala dari yang saya bayangkan. "Atau kamu ingin makan yang lain? Saya belikan."
Mata Ora berbinar seperti orang yang memenangkan undian. Dia merapatkan tubuhnya di samping saya lantas berbisik. "Kalau kamu ingin menebus rasa bersalahmu, belikan aku Pizza La Piccola."
"Oke." Saya menyanggupinya.
“Yang nggak pakai daging,” tambahnya.
Makanan cepat saji yang dia minta segera saya orderkan lewat aplikasi daring. Setelah menunggu sekitar tiga puluh menit, pesanan Ora muncul.
Ora senang bukan kepalang, wanita itu bertepuk tangan kegirangan seperti anak kecil yang dibelikan mainan. Entah sadar atau tidak, dia tiba-tiba merangkul dengan erat, sentuhannya membuat tubuh ini sontak meremang. Saya kembali speechless dibuatnya. Mematung seperti arca, hilang semua persediaan kata. Membeku di ujung lidah.
"Ra, saya balik ke kantor dulu, ya. Nanti saya kabari lagi." Saya pamit tanpa menoleh, tanpa meminta izin ke teman-temannya.
“Sebentar,” Ora mencengkeram pergelangan tangan ini. Dia memberi tatapan menggoda, lantas berbisik. “Kamu yakin nggak mau kuajari?”
Tangannya meraba area terlarang ini. Saya panik.
“Sa-saya pamit.”
Ora tersenyum. Wajahnya yang pucat sedikit cerah. “Kamu ke sini hanya mau mengantar sop konro, bukan yang lain?” bisiknya sensual.
Sial, sial, sial! Dalam hati saya mengumpat kesal.
“Kamu sepertinya sakit. Istirahatlah,” balas saya setelah berhasil mengumpulkan kata-kata. Ora sukses membuat sesuatu yang ada di balik pantalon ... menegang.

https://karyakarsa.com/BelladonnaTossici/saviora-volume-2-bab-6-10
[1] Kamu sehat, ‘kan
[2] Wedang Jahe
[3] Seruan khas Makassar saat sedang panik
[4] Kamu tidak punya
[5] Miras hasil fermentasi lontar khas Makassar.
[6] Yakin kamu
[7] Kasihan dia
[8] Kamu di mana?
[9] Kenapa kamu tidak
[10] Tunggu saya
[11] Kamu gila
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
