Rasa Punya Selera #CeritadanRasaIndomie

12
23
Deskripsi

Susahnya jadi perantau. Apalagi soal makan. Kadang suka takut pesan menu lain. Takutnya lidah enggak terima dan berakhir di tong sampah. Sebenarnya udah lama sih kenal sama Indomie. Tau juga Indomie punya banyak varian rasa, tapi tetap aja lidahku enggak terbiasa. 

 

Untuk yang pertama kalinya, aku merasa Indomie itu berbeda. Begitu spesial hingga sulit untuk dilupakan. Ah … jantungku kembali berdegup tak karuan jika mengingatnya. 

Suara musik jazz mengalun tenang, membelai lembut hati setiap pendengarnya. Cahaya yang cukup terang selalu berhasil menyejukkan mata. Segelas teh lemon dingin menjadi menu andalan. Duduk santai dalam kesendirian sambil menatap serius ke arah gawai. Tak ada berita menarik di sana, selain foto liburan, pamer kekayaan dan post kemesraan. Semua itu sungguh memuakkan. Bukan karena aku tidak bisa melakukannya, hanya saja aku tahu kalau semua itu semu. Tak mungkin kan kita dengan bangga dan sengaja menebar keburukan dan aib diri. Ayolah ini fakta, tapi tetap saja banyak orang yang tertipu olehnya.

 

Lelah, namun karena tak tahu harus melakukan apa, aku kembali menyalakan gawai yang sesaat sebelumnya sempat aku simpan.

 

“Seperti biasa, nasi goreng seafood special datang!” sapa pelayan tampan yang kerap dipanggil Jo.

 

Thank you,” sapaku sembari tersenyum ramah.

 

Bagiku dia bukan orang lain lagi. Mungkin karena aku terlalu sering berkunjung ke kafe ini. Kafe dengan desain yang sederhana seakan membuatku berada di rumah. Harga yang tak terlalu mahal serta iringan musik jazz yang menenangkan menjadikan tempat ini sempurna untuk terus dikunjungi.

 

Kini menu makan siangku telah tiba, sudah waktunya aku mengabaikan gawai yang terlihat lelah karena terus aku pandangi.

 

Sebelum makan, sudah menjadi kebiasaanku untuk berdoa dan memperhatikan detail makanan yang ada. Semangkuk nasi goreng, lengkap dengan beberapa ekor udang sambal, acar serta potongan tomat tanpa timun. Variasi sempurna untukku yang sedang membutuhkan banyak gizi. Tinggal sendiri di kota Medan bukanlah hal yang mudah. Terlebih bagi lidah kampungku yang kerap kesulitan mencari menu yang sesuai selera.

 

Menyantap tomat terlebih dahulu, itu aku lakukan agar pencernaanku senantiasa sehat. Dari informasi yang aku tahu, makan buah itu dilakukan sebelum makan makanan berat seperti nasi agar  pencernaan menjadi lancar, kan buah lebih cepat pembusukannya. Lalu, aku siap deh menyantap nasi goreng dengan potongan udang.

 

“Uenak tenan,” gumamku sembari menikmati kunyahan yang ada. Namun, seketika mataku terbelalak lebar kala melihat seorang gadis manis yang terlihat tak asing.

 

“Lili? Itu si Nur Laili kan?” ucapku sambil tersedak. Mencoba meredakan dengan minuman yang ada, namun mataku tak bisa lepas dari memandang ke arahnya.

 

“Itu cowoknya? Sumpah demi apa, kok bisa dia dapat cowok yang ganteng kek gitu. Pakek pelet apa kekmana anak itu. Dia kan dulu culun, pendiam, enggak pande gaya. Kok bisalah cowok itu mau ma dia ya. Mana cowoknya keren minta ampun lagi,” ucapku yang masih saja betah menatap ke arah mereka.

 

“Enggak, mungkin orang itu enggak pacaran. Cuman teman apa kekmana ajanya itu. Eh, tapi kok pandangan cowok itu beda. Kok keknya malah cowok itu yang cinta kali sama si Lili. Ah gilak ini, musti aku cari tau nih. Enggak bisa dibiarin,” ucapku yang segera kembali meraih gawai dan berusaha menemukan akun sosial media Lili.

 

Ternyata Lili masih menggunakan akun yang lama. Bahkan foto culunnya di dua tahun yang lalu juga masih berada di sana. Aku terus saja menggelengkan kepala. Segala pikiran buruk pun datang menyapa, membuat aku semakin penasaran jadinya. Hingga nafsu makanku seketika tertahan dan melupakan butiran nasi goreng yang sedari tadi menanti untuk dimakan.

 

“Riko Suhendara, siapa sih nih anak? Kok kayak keturunan ... Apa?”

 

Tanpa sadar teriakan kagetku terdengar hingga ke meja yang ada di sebelah. Dengan cepat tanganku menutup ke arah wajah, “Tuhan ... malunya aku.”

 

Seperti dugaanku, pria tampan yang memiliki status bertunangan dengan Lili itu ternyata keturunan Arab. Rasa ingin tahuku pun semakin bergelora. Kok bisa mereka ketemuan? Ketemuan di mana? Apa emang cowok itu serius dan single? Apa emang mereka beneran bertunangan? Kenapa dia bisa dapat cowok yang begitu?

 

Ditengah jutaan pertanyaan, kulihat Jo mendekati meja Lili. Ia duduk dan tersenyum ramah seperti telah kenal lama. Aku tahu Jo pelayan yang ramah, namun aku yakin kalau mereka emang berteman baik. Setidaknya itu dugaanku melihat keakraban mereka.

 

Aku tersentak, kala mata Jo memandang ke arahku sambil menunjukkan senyum manisnya. Aku yang tak ingin Lili tahu keberadaanku lantas menundukkan wajah dan kembali menyantap tumpukan nasi yang bewarna kecokelatan.

 

“Hayo ... ketahuan!” tegur Jo yang kini sudah berdiri saja di depan mejaku.

 

“Ketahuan apa?” ucapku berusaha mengelak.

 

“Nengoin yang di meja 20 kan dari tadi, sampek lupa makan makanan sendiri?” ledek Jo yang kembali melirik ke arah meja Lili.

 

“Perasaan, kepo banget apa kepo aja?” ucapku yang mencoba memasang wajah tenang, padahal hatiku terus berdetak tak karuan. Antara takut ketahuan dan merasa penasaran ingin bertanya langsung dengan Jo tentang Lili dan pasangannya.

 

“Riko itu teman baikku. Nah, yang disebelahnya itu pacarnya. Orang itu sering juga makan di sini. Katanya karena menu di sini enak-enak,” jelas Jo.

 

“Hah? Serius?” tanyaku masih dengan rasa tak percaya.

 

“Kan betol kan, kepoin meja itu dari tadi. Udah gini aja, kalau mau tau ceritanya malam datang ke sini ya. Jam delapan. Oke!” ungkap Jo dengan senyuman menggoda.

 

“Sialan! Kekmana nih. Kan jam delapan aku udah pulang kerja. Lagian aku juga penasaran. Tapi ... kalau datang, di mana harga diriku?” gerutuku dengan muka masam yang tanpa sadar dipandangi Jo dari kejauhan.


***


“Datang, enggak, datang, enggak, datang, enggak. Udah ah, enggak usah datang. Alasan aja bilang buru-buru balik kos,” gumamku yang masih saja berdiri di depan kantor.

 

“Nay! Sini!” teriak Jo sambil melambaikan tangan. Sepertinya dia sengaja menungguku dari pintu samping kafe.

 

“Huh! Kalau udah kekgini, cemana mau lari lagi?” dengkusku penuh rasa bimbang.

 

Meski berat, kakiku terus saja melangkah menyeberangi jalan mendekati kafe. Saat ini kafe terasa sepi. Hanya ada beberapa karyawan dan seorang pengunjung yang baru saja melangkah keluar.

 

“Eh, kok.”

 

“Udah masuk aja dulu!” seru Jo yang sepertinya sadar akan rasa bingungku.

 

Aku tak tahu apa aku merasa dipaksa atau justru berterima kasih karena kini rasa penasaranku akan segera berakhir. Namun, yang pastinya aku gugup. Jantungku tak karuan dan hembusan angin terasa lebih dingin meski cuaca tidak sedang mendung.

 

“Lapar kan? Mau aku masakin apa?” tanya Jo masih dengan sikap lembut dan senyum ramahnya.

 

“Enggak usah. Bisa cepet enggak? Mau buru-buru pulang. Hehehe,” ungkapku. Bukannya berniat menolak tawaran Jo, hanya aja aku merasa tak nyaman sebagai satu-satunya pengunjung. Terlebih kulihat salah satu pelayan menutup rapat pintu kafe.

 

“Aku lapar, kalau gitu aku cerita sambil masak boleh?”

 

Tak ada jawaban yang keluar dari mulutku. Hanya senyum kembang terpaksa saja.

 

“Jadi, Riko itu anak perantauan sama kayak kamu, Nayla. Dia dulu sempat satu kampus sama aku. Sama-sama magang juga di kafe. Tapi emang dasar beda passion, dia jadi manajer rumah makan dan aku malah jadi pelayan,” jelas Jo yang sedari tadi membelakangiku. Ia terlihat begitu asik dengan masakannya.

 

“Nih, makan!” ucap Jo seraya memberikan semangkuk Indomie kare, lengkap dengan timun berbentuk bunga di atasnya.

 

“Aku kan ....”

 

“Udah coba dulu. Kamu tau enggak, kalau Riko bisa jatuh cinta kali dengan pacarnya karena ini,” sambung Jo yang semakin membuatku bingung.

 

“Indomie?"

 

Jo mengangguk dan mulai mendulangi sendok berisi mie ke dalam mulutku.

 

“Kekmana, enakkan?” tanyanya dengan penuh percaya diri.

 

Aku yang tak bisa berbohong pun hanya bisa menganggukkan kepala.

 

“Mulai sekarang, belajar untuk membuka hati. Mau jomlo terus? Kita harus belajar nerima dan nikmati keadaan. Enggak salah kan kita mengenal banyak orang, malah bisa dapat pengalaman hidup. Itulah yang buat Riko jatuh cinta sama teman kamu. Karena teman kamu bisa yakini dia untuk bangun kepercayaan lagi. Banyak loh cowok yang memperhatikan kamu. Salah satunya aku.”


‘Deg’ seketika mulutku berhenti mengunyah.

 

“Tapi rasa punya selera sih. Enggak tau deh, aku selera kamu apa enggak!”

 

Saat itu aku pun menyadari bahwa Indomie punya rasa seenak itu.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Miskin Rasa Kaya #CeritadanRasaIndomie
11
7
Cantik, pintar dan kaya membuat Sesilia terlihat sempurna. Namun, siapa sangka kejadian buruk nyaris menimpahnya. Tetapi semangkuk Indomie berhasil membangkitkan semangat hidupnya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan