
Cerita bersambung Tak Sempat Bersemi bagian 2.
Rumah itu memang terlihat cantik. Laksana cahaya berlian di tengah lautan pasir. Warga desa menjuluki rumah itu dengan sebutan Rumah Juragan. "Jika bukan Juragan mana mungkin mampu membangun rumah sebagus itu?" Begitu alasan warga desa mengapa mereka menjuluki rumah itu dengan julukan Rumah Juragan.
Rumah itu dikelilingi tembok setinggi 2 meter. Hanya bagian depan yang terbuka sepanjang 2 meter untuk keluar-masuk. Dan bagian terbuka itu terpasang pagar besi.
Tanah di sekitar rumah itu masih kosong. Rencananya oleh pemilik rumah, tanah kosong itu akan ditanami tanaman hias, juga dibuatkan kolam ikan, dan menanam beberapa batang pohon berbuah seperti rambutan dan jambu air.
Di dalam rumah ada 3 kamar tidur, 1 ruang tamu, 1 ruang makan, 1 kamar mandi, dapur, dan garasi berisi mobil jenis minivan warna hitam.
Kebetulan hari itu adalah hari Minggu. Pemilik rumah itu yang berjumlah 3 orang, Raisa, Papa Raisa, dan Mama Raisa sedang bersantai. Papa Raisa dan Mama Raisa menonton televisi di ruang tamu. Sedang Raisa, si gadis kota, tiduran di dalam kamarnya sambil bermain gadget.
"Anak cantikmu itu, Pa, mosok, sejak kita pindah di sini, wajahnya manyun aja. Kalau ditanya kenapa manyun sih? Jawabnya kagak ada apa-apa, Ma," kata Mama Raisa.
"Yah, mungkin gak suka hidup di daerah pedesaan," jawab Papa Raisa.
"Padahal udara di sini masih segar. Pagi terlihat indah diselingi kicauan burung di sekitar rumah. Dengan kesegaran seperti itu kok rasanya Mama pingin jalan pagi, ya?"
"Emang Mama masih kuat jalan pagi?"
"Eh, waktu masih di kota, kalau Mama beli sayuran di warung sayur, Mama sering jalan sama Bibi. Aduh, duh, jadi teringat Bibi, deh."
"Iya, Mah. Sayang, Bibi tidak bisa ikut dengan kita."
"Seandai Bibi belum berkeluarga, pasti Bibi mau ikut diajak ke sini."
"Sepertinya kita harus mencari Bibi baru, nih."
"Benar, Pa. Tapi lebih baik cari orang di sekitar sini aja."
"Kebetulan besok Papa masih libur. Bagaimana kalau besok pagi kita jalan-jalan. Kita ke rumah Pak Lurah, bersilaturahmi sambil minta bantuan Pak Lurah mencarikan pembantu untuk kita. Atau nanti sore aja ke Pak Lurah?"
"Raisa juga ikut?"
"Ikut lah. Biar Raisa tahu jalan-jalan di sekitar sini."
Mama Raisa, perempuan cantik, berkulit bersih, dan suka senyum, beranjak mendekati kamar Raisa yang pintunya tertutup, lalu mengetuk pintu kamar itu. "Neeng, Neng cantik, tuh, dipanggil Papa."
Raisah menoleh malas ke arah pintu kamarnya. "Ya, Ma." Raisa menaruh gadgetnya di atas kasur. Bangun dari tempat tidurnya dan berjalan mendekati pintu kamar. "Ada apa, Ma?" tanya Raisa setelah pintu terbuka.
"Tuh, dipanggil Papa."
Raisa berjalan mendekati Papanya dan duduk di samping Papanya. "Ada apa, Pa?"
"Neng cantik, sepertinya si Eneng ini tidak suka tinggal di sini, ya?" tanya Papa Raisa.
"Suka, Pa."
"Tapi wajah Eneng ini, lho, tidak meyakinkan."
"Suka, Pa. Nih, lihat bibir Raisa," jawab Raisa sambil memaksa menarik bibirnya seolah tersenyum.
"Padahal Papamu dulu juga orang desa. Waktu kecil Papa suka mandi di sungai. Mencari burung, mencari katak."
Sebenarnya Raisa memang tidak suka dengan suasana pedesaan. Sepi. Tak ada hiburan. Baru kali ini ia merasa teramat kesepian.
"Nanti sore kita ke rumahnya Pak Lurah. Silaturahmi sambil minta tolong Pak Lurah mencarikan pembantu buat kita. Biar kalo Neng kelaparan, ada yang bikin nasi goreng buat Neng. Bagaimana?"
"Nanti sore, Pa?" tanya Raisa.
"Ya, nanti sore. Mau ikut 'kan?"
"Ya, Pa."
Setelah berkata seperti itu, Raisa kembali ke kamarnya. Menaruh tubuhnya di atas kasur. Sungguh Raisa menyesal dengan keputusan Papanya. Kenapa Papa tidak beli rumah dekat dengan kantornya? Tapi Raisa tak berani protes secara langsung di hadapan Papanya.
"Neng cantik, untuk tahun-tahun selanjutnya Papa tidak tahu apakah di sini terus atau pindah lagi sesuai perintah perusahaan Papa. Kebetulan tanah yang Papa beli itu murah, dan bisa dijual lagi seandainya Papa pindah tugas lagi. Papa juga rindu dengan suasana pedesaan." Begitu alasan Papa Raisa.
Tapi Raisa, gadis berusia 16 tahun dan masih duduk di kelas 1 SMA, tak mau tahu dengan alasan Papanya.
Jam-jam seperti sekarang, biasanya Raisa bersama gengnya jalan-jalan di mal atau nongkrong di kafe. Tapi di sini? Raisa kebingungan mau pergi ke mana.
Tadi Raisa sempat keluar rumah. Berjalan mengelilingi rumah, mencoba menyenangkan hatinya. Dan Raisa melihat ada pohon mawar yang sudah berbunga. Didekatilah pohon mawar itu. Belum sempat Raisa menyentuh bunga mawar itu, Raisa melihat di bawah pohon mawar ada seekor ulat bulu berwarna coklat berjalan. Bulu kuduk Raisa berdiri. Raisa menjerit dan berlari. Dan kembali masuk ke kamarnya. Raisa ketakutan. Bagaimana seandainya ulat bulu itu ada di kamar mandi?
Dan yang lebih menyedihkan untuk Raisa adalah: ia jauh dari pacarnya, Dirga. Malam hari sebelum Raisa pindah ke desa, Raisa menangis.
Dirga? Apa kabarnya sekarang? Tanya Raisa dalam hati. Raisa kangen. Meski semalam Raisa sudah berhaha-hihi dengan Dirga melalui telepon, tapi Raisa merasa kurang mantap jika tidak bertemu langsung dengan Dirga.
Raisa khawatir, hubungan jarak jauh itu berisiko bisa memutus hubungan mereka. Seperti yang pernah Raisa baca di sebuah novel. Cerita tentang sepasang kekasih, Laura dan David. Awalnya hubungan mereka baik-baik saja. Tapi sejak David bekerja di tempat jauh dari Laura, hubungan mereka makin lama makin pudar dan putus sama sekali, tak ada hubungan lagi. Raisa tak mau kejadian seperti itu. Tapi kini Raisa mengalami seperti apa yang dialami Laura dan David. Raisa berjarak dengan Dirga.
Malam tadi, melalui telepon, Dirga berjanji akan selalu mencintai Raisa. Bahkan Dirga berencana, jika Dirga libur sekolah, Dirga ingin mengunjungi Raisa.
"Nanti kita jalan bareng, bergandengan melihat sawah," kata Dirga.
"Emang, Lu, pernah ke sawah?"
"Yaelah, nenek moyang gue itu petani, Nek."
Raisa lalu teringat dengan temannya satu kelas, Sari. Raisa benci dengan temannya yang bernama Sari itu. Raisa tahu jika Sari tergila-gila dengan Dirga. Meski Sari tahu jika Raisa dan Dirga sudah jadian, tapi perempuan berkepala batu itu, terus saja menggoda Dirga.
Pernah suatu kali Raisa memaki-maki Sari. Raisa sedang berjalan bareng dengan Dirga menuju kantin. Sari menghadang. Dengan muka culas, Sari menempel Dirga dan menarik tangan Dirga. Seketika Raisa mendorong tubuh Sari. "Eh, muka badak, Lu kagak punya rasa malu ya!" bentak Raisa. Seandainya waktu itu Dirga tidak memisah, pasti akan terjadi perkelahian.
Dan sekarang? Raisa jauh dari Dirga. Dan Sari? Raisa menangis memikirkan itu. Sewaktu masih ada Raisa saja Sari berani mengganggu Dirga, bagaimana jika Raisa jauh dari Dirga? Memikirkan itu membuat Raisa sulit untuk tidur.
Sebelum mereka berpisah, Dirga membuat puisi untuknya dan membacakannya di depan Raisa.
Cinta adalah cinta
Jarak bukan halangan
Cinta adalah rasa
Bukan kata berbusa
Penuh tipu daya
Cinta ada di hati
Mendengarkan puisi itu Raisa menangis dan memeluk Dirga. Erat.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
