Misteri Hutan Bambu ( Ep 5)

1
0
Deskripsi

*MISTERI HUTAN BAMBU ini semua chapternya terbuka dan gratis. Silahkan dibaca sebagai karya perkenalan dari aku ya teman-teman. Silahkan beri dukungan kalian dengan Like, komen dan beri tips sebagai bentuk apresiasi kalian secara suka rela. Terimakasih dan selamat membaca <3 <3

 

Laksmi, seorang mahasiswi Filsafat tingkat tiga, terpaksa harus mengambil waktu cuti mendadak untuk kembali pulang ke kampung halaman sang ibu, setelah mendengar kabar hilangnya sang adik yang masih berusia tujuh tahun.

Kemanakah...

Saya memutuskan berjalan kaki saat pulang dari rumah Pak Kades ke rumah Si Mbah, menolak tawaran Mas Burhan yang ingin mengantar. Saya sungkan dengan kedua orang tuanya.

Saat saya keluar dari halaman rumah Pak Kades pandangan saya terpancing untuk menoleh ke kanan ke lokasi Surau, tempat adik saya biasa mengaji. Peserta sholat dzuhur sudah pada bubar, menyisakan seorang bapak paruh baya yang kurus kering, meringkuk di teras depan Surau. Ia melihat saya tapi sepertinya sudah terlalu mengantuk untuk menyapa. Karena tak berapa lama kemudian, ia mulai mendengkur.

Kalau ditarik garis lurus terus dari sini, maka akan tampak gapura desa yang memisahkan kami dengan area hutan bambu yang misterius bagi warga desa ini.

Mata saya berusaha menatap sejauh mungkin kesana. Tak ada apapun selain rumpun-rumpun bambu seperti yang saya temukan setiap kali keluar masuk desa, lewat situ.

Saya memutar dan berbelok ke jalanan setapak di kiri. Tangan saya menjinjing kue-kue dalam dua kantung plastik.

Halaman rumah para warga tampak luas, berpagar tiang-tiang bambu dan tanaman kembang kertas. Hanya jalan masuknya yang dibiarkan terbuka apa adanya.

Bangunan rumah mereka nyaris seragam, bagian rumah utama rata-rata semi permanen dengan pawon berdinding gedek dibuat terpisah di belakang atau samping rumah.

Saya melewati deretan rumah mereka satu persatu.
Sebagaimana Elang berarti juga akan melewati deretan  rumah-rumah ini saat berangkat dan pulang mengaji. Sejauh yang saya tau, ibu saya belum mendaftarkan ia masuk ke sekolah dasar yang formal. Tapi ia ikut belajar membaca di rumah Pak Hassan yang sering memanggil guru untuk mengajari kedua anaknya.

Saya jadi penasaran ingin bertemu kedua anak Pak Hassan, tapi sayangnya tidak tahu yang mana rumah mereka.

Sudah lama tak kemari dan belum begitu banyak hal yang berubah. Saya tetap merasa familiar walaupun tidak ingat lagi  secara mendetail. Contohnya teman-teman yang dulu pernah saya ajak bermain, saya sudah tidak ingat nama-nama mereka, dan dimana mereka tinggal. Mungkin sudah kuliah ke luar kota seperti saya.

" Saya bantu." Tiba- tiba Mas Burhan muncul dari belakang, meraih kantung-kantung plastik kue di tangan saya.

“ Loh? Sejak kapan Mas Burhan membuntuti saya?”

" Tidak membuntuti,  memang mau ke arah sini kok."

" Kemana?"

Ia tidak menjawab. Kami berjalan pelan beriringan. 

" Katanya mau menginvestigasi?"

" Ini bukan candaan Mas. Adik saya hilang entah dimana sekarang." Sahut saya agak ketus.

" Maaf, ga maksud begitu. Jadi apa rencana mu?"

Saya menggeleng.

" Nanti kamu akan ikut ritualnya?"

Mata saya mendelik.

" Tidak percaya yang begituan, saya mau bantu siapkan pengajian saja."

Kami mampir duduk di sebuah pos ronda yang juga dibangun dari batang bambu.

" Semua ini dari sana ya?" Saya mengusap tiang-tiang bambu yang di susun melintang sebagai lantai panggung pos ronda ini. Juga menunjuk ke pagar-pagar rumah warga, sekat- sekat jendela mereka.

" Iya. Hutan itu banyak manfaatnya."

" Sudah begitu masih dituduh sebagai penculik bocah." 

" Hutannya?" Mas Burhan tertawa.

" Ibu saya itu bukan kerasukan, mungkin kalau dibawa ke rumah sakit jiwa dia itu sinting. Dari dulu memang begitu, suka ngamuk, teriak- teriak, memarahi saya dan bapak ...." suara saya tercekat.

" Kenapa?"

Lagi- lagi saya menggeleng.

" Gak tau. Dari saya kecil memang begitu tabiatnya. Mungkin setahun belakangan ini baru kumat. Ga ada hubungannya sama Elang yang hilang setelahnya."

Saat saya selesai berbicara, saya pikir Mas Burhan sejak tadi tengah memperhatikan perkataan saya, alih- alih ia malah sibuk mengintip-mengintip ke rumah salah satu warga. Lehernya memanjang, mndongak dengan mata menyipit. Saya reflek melakukan hal serupa, ingin tahu apa yang ia coba lihat.

" Itu dia, itu dia." Tangannya menjawil-jawil lengan saya. Saya melongo melihat seorang bocah mengeluarkan sepeda dari dalam rumahnya.

" Siapa?"

" Yang ini Abdul, si Kakak."

Saya familiar dengan nama itu, tapi lupa pernah mendengar dari siapa.

" Oh anak pak Hassan?" Saya melongok makin semangat.

" Bentar lagi dia lewat, kita pakai kue mu untuk mancing." Kata Mas Burhan antusias seperti seorang penculik anak professional.

" Nanti dia ngadu ke orang tuanya." Kataku khawatir.

" Halah, biarin aja. Mereka tau saya kok."

Mas Burhan berdiri mencegat sepeda Si Abdul.

" Mau kemana Dul?"

Abdul mengerem dengan kakinya, lalu menyeret sepedanya maju untuk mencium punggung tangan Mas Burhan dengan ogah-ogahan. Mas Burhan mengangkat alisnya memberi kode pada saya. Jadi saya ikut mendekat.

" Mau ke rumah kawanku, pinjam komik."

" komik apa?"

" Silat. Ada apa Om?

" Mau kue?" Saya membuka tas plastik untuk ia lihat. Matanya mengintip ke dalam.

" Boleh ambil yang cokelat?"

Sebelum saya mengiyakan tangannya sudah merogoh ke dalam.

"  Boleh minta dua?"

" Boleh. Sini bawa sepeda mu ke pinggir dulu."

Ia menurut, kami duduk bertigaan di pos ronda seperti potret keluarga bahagia. Abdul memegang kedua kuenya di kanan-kiri. Memakannya ganti-gantian.

" Astaga lupa."

" Kenapa Dul?" Tanya Mas Burhan.

" Padahal yang satu ini maunya buat adikku. Malah kemakan." 

“ Kirain lupa berdoa.”

“ Ah iya, itu juga. Astagfirullah, pantes jadi rakus, ini pasti dibantuin jin makannya.” 

Saya tertawa. Kalau benar jin yang membantunya makan, maka tak mungkin perutnya buncit begitu.

" Nanti saya kasih lagi buat adikmu."

" Rugi bandar kita." Mas Burhan menghembuskan napas kasar.

" Ga apa-apa."

" Tante siapa? Pacar Om Burhan ya?" Wajah Abdul berubah tengil, dengan mulut sibuk mengunyah. Tapi justru saya yang hampir kesedak meski tak sedang makan apa-apa.

" Tau apa kamu bocah." Gumam Mas Burhan. Bocah itu melirik tajam sambil cemberut.

“ Tante ada plastik ga? Ini dibungkus aja deh, harus cepat-cepat sebelum komiknya dipinjam orang lain." 

"  Om ada banyak komik silat. Nanti ambil saja ke rumah."

“ Memang iya?” 

“ Iya.”

Abdul tampak menimbang-nimbang.

" Eh Dul, waktu dua hari lalu..."

"Saya ga boleh kesana Om." Abdul memotong kalimat Mas Burhan.

" Kemana?" Tanya saya.

" Ke dekat gapura, ngaji ke Surau saja disuru libur. Tidak bisa ke rumah Om Burhan juga, kan rumah om dekat situ."

" Kenapa?" Saya kelewat bersemangat. Hingga Abdul berhenti makan sejenak dan menatap saya.

" Pokoknya harus jauh-jauh dari hutan Bambu." Bisiknya dramatis. Saya dan Mas Burhan bertukar pandangan.

" Disuru siapa Dul? Ibumu?"

Ia mengangguk, dan kembali memakan kue ditangannya. Kali ini di habiskan satu persatu.

" Emang ada apa disana?"

" Pokoknya ga boleh main kesana lagi."

“ Kamu sering main ke hutan?”

“ Gak juga, memang tidak boleh main lewatin Gapura. Tapi waktu itu ….” Ia agak ragu-ragu. Kami berusaha terlihat santai.

“ Hem?” 

“ Saat Ibra dan Elang mau nyoba ketapel. Kami kesana.”

Jantung saya berdetak cepat, mendengar nama adik saya disebut.

" Hemm gitu."

" Ada burung warna hitam di jalanan yang di hutan itu. Tapi susah, dikejar- kejar malah kabur. Saya sudah bilang mending besok saja kita coba ketapelnya, karena sudah sore takut di marah pak Ustad kalau terlambat. Tapi Elang ngotot, terus Ibra ikut-ikutan ngotot." Ia nyeroncos. Kami mendengar dengan seksama.

" Om punya komik silat apa saja?"

" Pokoknya ada banyak, lupa judulnya."

Saya tahu ia sedang berbohong dan ga sabaran.

“ Terus, terus?”

Lagi- lagi kami saling bertukar pandangan, saya menunjukkan telapak tangan saya yang terangkat sedada. Mengisyaratkan “tahan”.

" Kalau om saja yang bawakan komiknya bisa?" Bocah ini kembali teringat pada tujuan awalnya keluar dari rumah. Padahal kami masih butuh ujung ceritanya tentang sore hari saat mereka mengetapel burung itu.

" Bisa, nanti tak ambilkan. Eh terus waktu itu kamu terlambat ga Dul?" Mas Burhan tidak patah arang.

Ia menggeleng.

" Tidak terlambat, saya kan ke Surau duluan."

" Kamu ninggalin adikmu sama Elang di hutan?" Suara saya agak parau.

" Tidak. Ibra jatuh saat ngejar burung sama Elang. Dia nangis, memang cengeng padahal cuma berdarah sedikit. Elang kesal suara Ibra malah bikin burungnya ketakutan dan makin jauh ke dekat sungai sana, terus Elang nyuru saya temani Ibra bersihkan luka ke tempat wudhu di Surau."

" Setelah itu Elang tak kembali?" 

“ Iya.”
 

***

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Misteri Hutan Bambu ( Ep 6)
0
0
*MISTERI HUTAN BAMBU ini semua chapternya terbuka dan gratis. Silahkan dibaca sebagai karya perkenalan dari aku ya teman-teman. Silahkan beri dukungan kalian dengan Like, komen dan beri tips sebagai bentuk apresiasi kalian secara suka rela. Terimakasih dan selamat membaca  Laksmi, seorang mahasiswi Filsafat tingkat tiga, terpaksa harus mengambil waktu cuti mendadak untuk kembali pulang ke kampung halaman sang ibu, setelah mendengar kabar hilangnya sang adik yang masih berusia tujuh tahun.Kemanakah perginya sang adik? Akankah Laksmi dibantu anak pak Kepala Desa- Mas Burhan, dapat membantu keluarga menemukan Elang- sang adik?Sebuah misteri yang lebih rumit terpaksa harus dihadapi, lebih buruk lagi karena kejadian demi kejadian di luar nalar mulai terjadi, sesuatu yang bertabrakan dengan prinsip yang ia anut selama ini sebagai seorang mahasiswi filsafat.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan