SERIBU SATU CARA TUHAN MEMAKSA KITA MENJADI MANTAN #CeritadanRasaIndomie

41
12
Deskripsi

“Bagaimana jika kamu berdoa, untuk sebuah masa depan yang tak direstui Tuhan?”

 

*** 

Ini adalah cerpen yang diikutkan dalam kompetisi Cerita dan Rasa Indomie X Karyakarsa dengan jumlah kata pas di angka 1200 kata. 

Mohon dukungannya dan selamat membaca…

Ketika memutuskan untuk membangun toko bunga, Miela mengira jika hal tersebut akan membuatnya bahagia. Sebagai perawan tua dengan usia 34 tahun, Miela berpendapat jika menanam dan menjual bunga adalah kegiatan yang bisa menggembirakan jiwa. Ternyata, dugaan Miela tak terbukti kebenarannya.

Sepanjang hari Miela nyaris selalu disibukkan dengan kedatangan pria-pria penyayang yang berkeinginan memberi hadiah kepada orang terkasih mereka. Bagi penjual bunga, seharusnya itu menjadi berkah. Tapi bagi Miela yang perawan tua, hal tersebut tak ubahnya berkah dengan cita rasa musibah.

Seperti siang itu, Miela kembali didatangi pria tampan yang tak pernah absen membeli bunga di hari Minggu. Namanya Sadam, lelaki seusia Miela itu kerap menghabiskan lebih dari tiga puluh menit waktunya hanya untuk memilah bunga. Bagi Miela, melihat kesibukan pria penyayang yang tak absen memberi hadiah kepada istrinya, adalah sebentuk pemandangan indah yang menyesakkan dada.

“Untuk perempuan yang paling kusayang, bukankah satu jam bahkan tak berlebihan?” Sadam tiba-tiba melempar pertanyaan kepada Miela ketika Miela terlihat lesu menemaninya memilah bunga.

Miela menepis kegelisahan di hatinya dengan melempar senyum kecut. Semenjak Sadam menjadi langganan setia toko bunga miliknya, mereka memang menjadi dekat dan akrab. Hanya saja, hal tersebut semakin membuat Miela resah, ia khawatir jika gelar di belakang namanya akan bertambah sedikit panjang: Perawan Tua yang Mendamba Suami Orang.

“Ehm… Aku bingung.” Sadam menarik napas dalam lalu menatap lekat pada Miela. “Mana yang menurutmu paling indah?”

“Mas, aku bukan istrimu dan isi kepala kami jelas berbeda. Pilihanku bisa jadi bertolak belakang dengan selera istrimu.”

Sadam tertawa sejenak, sebentuk tawa yang membuat Miela kebingungan. “Ada yang lucu?” tanyanya pada Sadam.

“Kau bahkan tak mengetahui jika aku masih lajang? Padahal kita sudah saling Follow Social Media, lho? Ah, rasa-rasanya cintaku padamu akan bertepuk sebelah tangan.”

Miela mengernyitkan alis pertanda tak benar-benar memahami ucapan Sadam. Sebagai perawan tua yang terakhir kali berpacaran di usia 24 tahun, Miela telah percaya bahwa tak akan ada lagi lelaki yang tertarik padanya. Sehingga, ia berkesimpulan jika Sadam memang hanya bergurau semata.

“Mas, lain kali jangan bercanda seperti itu, lebih-lebih di hadapan perawan tua.” Miela berujar ketus lantas membalikkan badan dan pergi. Dari wajahnya, Miela seperti sedang menahan amarah yang membara.

“Di ujung barat ada mawar Bourbon, Bourbon adalah satu-satunya yang belum pernah Mas beli selama ini. Itu akan menjadi hadiah yang berbeda untuk istri Mas. Oh ya, jika Mas sekali lagi kedapatan bercanda seperti tadi, silakan cari toko lain karena toko ini tak menerima pelanggan seperti itu!”

“Miela!” Sadam memanggil Miela. Setelah sekian lama melajang, sepertinya ia lupa bagaimana cara yang baik dan benar untuk menyatakan cinta pada wanita.

“Hari Selasa besok, aku akan datang bersama ibuku. Biar dia yang menjelaskan bahwa putranya memang tak pernah bercanda.”

Seketika, Miela berbalik badan lagi. “Kau yakin dengan ucapanmu, Mas?”

Sadam lantas mendekat dan merogoh ponsel dari dalam saku celana. Pria itu membuka laman social medianya dan mengulurkan ponsel pada Miela. “Wanita yang selama ini kubelikan bunga, adalah dia. Apakah menurutmu dia istriku?”

Miela meraih ponsel Sadam dan menemukan beberapa foto kebersamaan Sadam dengan wanita tua yang sepertinya lebih cocok disebut sebagai ibu. Meski tak dipungkiri jika tampilan wanita itu cukup menawan di masa senjanya, tetap saja ia lebih pantas menjadi ibu dari seorang Sadam.

“Selasa besok, akan kuajak ibu ke sini. Kurasa, ibu akan lebih pandai menjabarkan perasaanku padamu, ketimbang aku sendiri.”

Miela terdiam cukup lama sebelum akhirnya mengeluarkan kalimat yang membuat keduanya resmi menjadi sepasang kekasih di hari itu.

*** 

Satu hari sebelum hari Selasa, Miela menghabiskan separuh lebih dari jatah omset bulanannya demi membeli ragam pakaian dan alat make up. Sungguh, ia lebih memilih untuk kehilangan sebagian tabungan ketimbang kehilangan kesempatan untuk mendapatkan hati calon mertua.

Sesuatu yang tak pernah Miela duga sebelumnya adalah, ibu dari Sadam ternyata datang seorang diri di hari Selasa siang. Wanita berusia sekitar enam puluhan tahun itu tampak berjalan dengan tergopoh-gopoh mendekati Miela. Tatapannya menyelidik, bahkan, demi mengamati tubuh Miela dari atas ke bawah, ia membuat gerakan isyarat agar Miela diam dan menunggu dia berbicara.

“Aku tak pernah tahu seputus asa apa putraku hingga memilihmu menjadi calon istrinya,” ujar ibu Sadam dengan tanpa keraguan sedikit pun. “Kau bisa saja membodohinya dengan tak menyebutkan riwayat kematian ibumu, tetapi aku, jangan kira kau bisa lolos dari pengamatanku! Camkan ini baik-baik, Nyonya Sandra tidak akan pernah merelakan putranya menikah dengan anak dari penyandang HIV Aids!”

Langit seperti runtuh dan menghantam toko bunga Miela, membuat gadis itu seperti dihantam beban berat yang tak mampu disangga oleh pundaknya sendiri. 

Begitulah, Miela putus hubungan setelah menjalin kasih selama 48 jam saja. 

‘Kuharap sekarang kau mengerti alasan mengapa aku menjadi perjaka tua. Jika sebelum-sebelumnya aku bisa menerima keputusan ibuku, kali ini sepertinya tidak. Kumohon, tunggulah, aku akan berjuang untuk meluluhkan hati ibu.’

*** 

Satu tahun setelah hari itu, tak pernah ada lagi sosok Sadam yang datang di hari Minggu. Meski demikian, buket bunga kiriman dari Sadam tak pernah absen untuk datang ke toko Miela. Hingga pada suatu Minggu yang gerimis, Sadam tiba-tiba datang dengan air mata kegembiraan yang tertahan.

Pria itu menjatuhkan lututnya ke lantai. “Miela, ibu bersedia memberi kita kesempatan. Hanya saja, adakah hatimu masih terbuka?”

Miela mendekat dan turut menempelkan lututnya ke lantai. “Aku bukan perempuan yang bisa menyia-nyiakan kesempatan, Mas…”

Sadam memekik gembira, memeluk Miela yang telah lama ia rindukan. Ia lantas memberitahukan Miela rencananya untuk memberi kejutan pada Nyonya Sandra yang tengah dalam perjalanan pulang.

“Dia paling suka menyantap aneka masakan, mari kita bekerja sama menciptakan tumis Pare kesayangan ibuku!”

***

Seingatnya, Sadam hanya meninggalkan Miela sepuluh menit di dapur karena dia perlu membeli sesuatu di minimarket terdekat. Sadam tak pernah menduga jika sepuluh menit itu akan memunculkan bencana besar. 

Dapurnya berantakan, beberapa bahan masakan berceceran di lantai dengan warna kehitaman dan memunculkan bau gosong.

“Aku sedang membaca artikel di Google, kukira baru sebentar, tapi api menyambar dari panci dan beginilah akhirnya. …” Miela terisak, kebingungan menjelaskan kekacauan yang ia buat. Sungguh, ia seperti sedang merobek tiket emas yang akan membawanya meninggalkan status perawan tua. 

Kali itu, ia yakin jika seumur hidupnya, ia memang tak diberi jatah kekasih oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Mula-mula, Sadam berjalan mendekat dan memberi tatapan hangat pada Miela. Pria santun itu lantas memeluk tubuh Miela sembari menepuk pundak kekasihnya.

“Sssst… Semua belum berakhir! Aku masih memiliki kartu As untuk masalah ini!” Sadam lantas melepas pelukannya lalu membuka laci di atas kompor.

Miela mengerutkan dahi di tengah isakan tangisnya. “Indomie??! Mas bercanda?”

Sadam menggeleng-gelengkan kepala. “Kita bisa membuat keajaiban dengan Indomie!” Sadam tertawa penuh keyakinan. “Yang harus kita lakukan sekarang adalah, fokus menciptakan hidangan terbaik. Tutup ponselmu dan berhenti membuka Tips untuk menjadi calon menantu idaman. Ingat, kau tak bisa memaksa seseorang untuk menyukaimu tetapi kau bisa memperbagus kualitas dirimumu dan berujung pada orang lain mungkin akan menerimamu atau setidaknya, menghormati kualitasmu.”

 Miela terdiam, lalu mengangguk dan meraih sebungkus Indomie goreng dari tangan Sadam, mengambil lagi beberapa dari dalam laci. “Indomie goreng pare, bukankah itu terdengar istimewa?”

“Tentu, Sayang!”

*** 

Rupa-rupa hidangan dari Indomie telah tersaji di atas meja. Di saat yang sama, Nyonya Sandra telah pulang dan memasuki rumah. Miela gemetar gelisah sementara Sadam mulai membisikkan kalimat di telinganya.

“Kita sudah berusaha, serahkan sisanya pada cita rasa Indomie…”

--- Andai ada seribu satu cara Tuhan untuk memaksa kita menjadi mantan, aku akan menemukan dua ribu cara untuk berbalikan, Miela---

Sadam, penggemar Indomie.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Penguasa Benua Timur CH. 662 CH. 663 CH. 664 CH. 665 CH. 666 Bonus CH. 667
64
23
Penguasa Benua Timur CH. 662 - Mengapa Tujuh?CH. 663 - Alasan Berpihak Pada Zhou Fu CH. 664 - Mencari SeseorangCH. 665 - Di Dalam Sel TahananCH. 666 - Medicine ValleyBONUS CH. 667 - Bertemu Kembali Dua babnya masih Thor kerjakan, tapi up dulu biar ga kena penyakit molor lagi…
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan