
Max mengeluarkan ponselnya. Mereka lalu bertukar nomor telepon.
"Makasih, Max," kata Adel.
"Adel, ayo kita balik ke kafe. Kamu kan sudah dapat apa yang dimau," ajak Hanna.
Hanna bersama Adel mengikuti Edgar yang sudah berjalan duluan di depan mereka. Edgar mengantar mereka balik ke kafe.
"Kakakku jatuh cinta sama gadis itu, tapi gengsi," gumam Max berdecak.
Max menatap kakaknya yang sudah pergi menggeleng-gelengkan kepala lalu melangkahkan kaki ke mobilnya. Dia harus kembali ke perusahaan.
***
Edgar yang...
Hanna yang hendak turun tangannya dicengkram kuat Edgar.
"Hanna, aku nanti akan jemput kamu," tawar Edgar.
"Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri," tolak Hanna.
"Sayang, aku paling tidak suka dilawan begini," tegur Edgar.
"Awh, sakit! Lepasin aku!" teriak Hanna.
"Sayang, berteriaklah," kata Edgar.
Edgar mendorong kursi yang diduduki Hanna hingga bibir mereka menyatu. Dia terkekeh saat mendadak bibir mereka terlepas karena ulah Hanna.
"Bibirmu manis sekali," puji Edgar.
Hanna bernapas lega dan langsung menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Dia mengelap bibirnya dengan telapak tangan karena tidak suka dipaksa begini.
"Edgar, aku membenci kamu!" teriak Hanna.
"Asal kamu tahu aku tidak suka seorang perempuan berteriak padaku seperti itu," kata Edgar sambil menampar Hanna.
"Aku mau turun. Lepaskan aku!" teriak Hanna sambil menangis tersedu-sedu.
"Sayang, maafkan aku. Aku tidak sengaja menampar kamu," tutur Edgar menangkup wajah Hanna.
Hanna merasakan perih di wajahnya saat disentuh Edgar.
"Cukup, aku mau kerja. Lepaskan aku!" teriak Hanna.
"Oke aku lepas, tapi jangan marah ya. Aku akan jemput kamu nanti," tutur Edgar.
Edgar menatap mata Hanna yang menitikkan air mata mengusap lembut pipi perempuan itu.
"Iya," balas Hanna.
"Benarkah, Sayang? Aku nanti jemput kamu, jangan menghindar dari aku," mohon Edgar membelai lembut pipi Hanna.
Hanna memejamkan mata. Dia sangat takut dan merasa seperti tidak mengenali pria di depannya.
"Iya. Aku turun sekarang," pamit Hanna.
"Oke. Semangat kerjanya. Nanti kita ketemu lagi," kata Edgar dengan senyum manisnya.
Hanna turun dari mobil dan langsung masuk ke kafe.
***
Adel yang sudah duluan masuk ke dalam kafe memakai celemek dan sarung tangan. Dia melihat raut wajah Hanna yang terlihat kusut menghampiri perempuan itu.
"Tadi perasaan kamu baik-baik saja, ada apa?" tanya Adel.
"Adel, aku tidak apa-apa. Kita langsung kerja aja," balas Hanna.
"Hanna, apa yang dikatakan Edgar pada kamu?" tanya Adel.
"Aku tidak kenapa-kenapa. Kita mending kembali bekerja daripada nanti nyonya marah," elak Hanna.
"Iya sih. Eh, tunggu. Itu pipi kamu kenapa?" tanya Adel terkejut menatap pipi Hanna yang memerah.
"Tidak apa-apa," jawab Hanna menepis tangan Adel.
"Hanna, kita obati luka ini dulu. Apa Edgar berbuat kasar sama kamu?" tanya Adel.
"Adel, aku mohon jangan bahas privasi dulu karena kita di sini untuk kerja," mohon Hanna.
"Iya aku tahu, tapi pipi kamu benaran tidak sakit?" tanya Adel.
"Tidak, Adel," jawab Hanna.
"Baiklah," balas Adel pasrah.
Adel tidak mau mendesak temannya. Dia kembali bekerja bersama Hanna.
***
Di luar kafe, Edgar memukul setir mobil dengan rahang mengeras dan napas memburu.
"Aku tidak akan pernah melepaskan kamu, Hanna. Kamu hanya akan bersamaku baik suka maupun tidak suka," gumam Edgar.
Edgar melihat ponsel dia berada di dashboard mobil mengambilnya lalu menatap nomor telepon Max.
"Aku harus menelpon adikku untuk rencana selanjutnya harus bagaimana karena aku tidak mau kehilangan Hanna selain untuk bisnisku juga," gumam Edgar tertawa mengerikan.
Tidak lama panggilan itu diangkat oleh Max membuat Edgar tersenyum miring.
"Hallo, Kak. Ada apa?" tanya Max.
"Max, apa kamu sudah di kantor?" tanya Edgar.
"Sudah, Kak. Aku mau pergi meeting nih, Kakak ikut meeting tidak?" tanya Max.
"Kamu nanti kabarin Kakak aja hasil meetingnya," jawab Edgar.
"Oke, Kak," balas Max.
"Tunggu, Max. Aku ingin rencana kita berhasil. Sekarang bagaimana supaya Hanna mempercayai Kakak lagi?" tanya Edgar.
"Kak, tolong jangan konyol. Kakak mau menghancurkan hidup gadis itu, padahal Kakak menyukainya. Aku bisa melihat cinta di tatapan Kak Edgar," larang Max.
"Cinta kamu bilang? Hahaha, aku hanya terobsesi memiliki dia saja," balas Edgar.
"Kak, dia gadis baik-baik. Dengerin aku, Kak," kata Max.
"Iya dia gadis baik-baik, sedangkan kamu terlihat menyukai teman dia yang tidak terlihat seperti gadis baik-baik," ejek Edgar.
"Kak jujur aku hanya suka berteman saja dengan Adel. Dia orangnya humoris dan ceria, tapi ya aku tahu dia bukan perempuan baik-baik," jelas Max.
"Kamu itu aneh sekali mau mendekati perempuan seperti itu," ejek Edgar.
"Kak, kita tidak perlu melakukan apa pun untuk Hanna atau Adel. Mereka itu tidak sepatutnya kita jahatin," mohon Max.
"Max, kamu juga bisa dekat dengan Adel, sedangkan Kakak akan perlahan membawa Hanna menjauh dari teman dan keluarganya," tutur Edgar.
"Terus aku juga harus melakukan hal sama pada Adel. Jangan gila, Kak!" teriak Max.
"Nah, Kakak punya ide. Bagaimana kalau kamu duluan yang melakukan sesuatu pada Adel biar Kakak bisa leluasa mendekati Hanna?" tanya Edgar.
"Cukup, Kak, Jangan gila. Aku mau meeting sekarang, nanti aku kabarin lagi," pamit Max.
"Oke nanti kirimkan hasilnya ke Kakak," titah Edgar.
"Iya, Kak," balas Max.
***
Menjelang sore, Hanna bersama Adel sudah selesai dengan pekerjaan mereka. Dia mengganti pakaian lalu melihat tamu kafe sedang pada menonton berita ikut menonton. Dia menutup seketika mulut saat melihat berita tentang Victor yang ditemukan di danau dengan keadaan wajah dan tubuh tidak terbentuk lagi.
Prang
Hanna menjatuhkan piring di atas meja membuat Adel terkejut.
"Hanna, kamu kenapa?" tanya Adel.
"Hmm, maaf. Aku akan beresin dan mau langsung pulang habis ini," pamit Hanna.
"Iya sini aku bantu," tawar Adel.
Adel mengambil sapu lalu membereskan piring-piring itu bersama Hanna.
"Aku pulang duluan," pamit Hanna.
"Iya, hati-hati," balas Adel.
Hanna yang sudah keluar dari kafe melihat Edgar menunggu di depan mobil sambil menyilangkan tangan di tubuh bidangnya terkejut.
"Hai, Sayang. Ayo aku antar pulang," tawar Edgar ramah.
Hanna bergerak mundur. Dia menjadi sangat takut saat mendadak pikirannya tertuju pada Victor.
"Maaf, aku mau pulang sendiri," tolak Hanna dengan bibir bergetar.
"Hanna, kamu sudah tahu aku tidak suka ditolak loh," balas Edgar mendekati Hanna.
Hanna berlari menjauh dari Edgar, tapi mendadak tubuhnya digendong oleh Edgar dan dimasukkan ke dalam mobil dengan mudah.
"Hanna, kamu tidak akan bisa keluar dari sini," kata Edgar.
Hanna hendak membuka pintu, tapi tubuhnya keburu ditarik dengan cepat dan mobil itu dikunci kembali.
"Turunkan aku. Sekarang aku mau pulang sendiri," kata Hanna menggedor-gedor pintu mobil.
"Hanna, ada apa dengan kamu?!" bentak Edgar.
Hanna terdiam, tapi dia bergidik ngeri saat menatap pria di hadapannya.
"Aku takut, jangan bentak aku," mohon Hanna.
Edgar tertawa dengan sangat kencang saat mengetahui bahwa Hanna takut padanya.
"Hanna, apa sih yang kamu takutkan?" tanya Edgar geleng-geleng kepala.
"Bisakah kamu antarkan aku pulang saja?" tanya Hanna.
"Hanna, aku bukan sopir kamu," jelas Edgar.
Edgar mendadak melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi membuat Hanna terkejut dan terjedot.
"Awh, sakit," kata Hanna sambil memegang keningnya.
"Edgar, tenang. Maafin aku, tolong pelan-pelan," mohon Hanna sambil menangis.
"Sayang, apa kamu takut?" tanya Edgar.
"Iya aku takut. Tolong pelankan mobilnya," jawab Hanna.
Edgar memelankan mobilnya membuat Hanna bernapas lega.
"Sayang, apa kita masih bisa balikan lagi?" tanya Edgar.
Hanna menganggukkan kepala dengan cepat karena rasa takut mulai menyelimuti dirinya, apalagi ketika melihat tatapan Edgar yang sangat mengerikan.
"Aku tidak mau membuat Hanna ketakutan lagi. Aku harus tenang," gumam Edgar.
Hanna melirik ke arah Edgar yang mendadak diam. Dia menjadi agak tenang dan ingin sekali cepat sampai rumah. Dia sudah lelah seharian ini, ditambah kehidupan pribadinya.
***
sesampainya di parkiran apartemen, Hanna terdiam sejenak.
"Pulanglah, Sayang. Apa kamu mau di sini Bersamaku? Aku sih tidak masalah. Kita sudah dewasa, apa perlu kita tinggal bersama?" tawar Edgar sambil menatap Hanna.
Hanna memejamkan mata lalu membukanya kembali.
"Aku pamit pulang. Terima kasih sudah mengantar aku, Edgar," pamit Hanna sambil menggigit bibirnya.
"Sayang, jangan menggigit bibirmu. Bibir ini milikku dan jiwa ragamu juga," tegur Edgar mengecup sekilas bibir Hanna.
Ceklek
Hanna membuka pintu mobil lalu menatap Edgar. "Aku pulang dulu. Sampai bertemu nanti lagi," pamit Hanna.
Hanna berlari dengan cepat menjauh dari pria yang tersenyum aneh kepadanya. Dia masuk ke dalam gedung apartemen dengan napas memburu. Setelah pintu lift terbuka, dia masuk ke dalam.
"Mau ke mana, Nak? Kenapa terburu-buru begitu?" tanya seorang nenek yang menggendong anjing.
"Aku tidak apa-apa, Nek Lina. Aku pengen cepat sampai aja, kangen rumah," jawab Hanna tersenyum ramah.
"Iya Nenek juga kangen rumah terus kalau pergi jauh. Oh iya, kamu tadi Nenek lihat diantar seorang pria, kamu sudah punya kekasih? Maaf nenek bertanya," kata Lina.
"Hehehe, dia hanya teman saja," balas Hanna.
"Nenek harap kamu bisa mendapatkan pria baik, Nak. Kamu cantik, ramah, dan jarang sekali terlihat sedih. Kamu pintar menyembunyikan semuanya," tutur Lily.
Ting
Pintu lift terbuka. Mereka sudah sampai di lantai unit mereka berada.
"Aku duluan ya, Nek," pamit Hanna.
"Iya, Sayang. Hati-hati," balas Lily.
Hanna memencet bel. Tidak lama pintu terbuka menampilkan Elsa yang berdiri di depan pintu.
"Hanna, kamu ke mana aja? Mama telepon kamu tidak aktif," kata Elsa dengan raut wajah khawatir.
"Mama bikin aku kaget aja. Ponselku baterainya habis," balas Hanna.
"Kenapa kamu tidak mengisi baterai ponselmu?' Bikin khawatir aja," kata Elsa menangkup wajah putrinya.
"Maafin Hanna yang sudah bikin khawatir, boleh aku masuk?" tanya Hanna.
"Hanna, kamu ada lihat berita hari ini tidak?" tanya Elsa.
"Aku tidak sempat melihat televisi. Hari ini aku kerja, Ma," jawab Hanna geleng-geleng kepala.
"Ya sudah masuk dulu. Nanti Mama cerita," kata Elsa.
"Papa belum pulang?" tanya Hanna.
"Iya belum. Papa kamu gantiin teman dia yang tidak masuk karena sakit. Benar-benar dah temannya itu bikin susah aja," jawab Elsa.
"Yeah, ini dia tuan putri yang dari tadi dicariin," ejak Niko.
"Apaan sih? Tidak jelas," balas Hanna.
Hanna mendudukkan diri di sofa dengan televisi menyala. Dia melihat berita trending topik hari ini bergidik ngeri saat melihat darah di siaran yang diputar.
"Kamu baru pulang mending minum dulu," titah Elsa memberikan segelas air putih untuk putrinya.
Hanna fokus menonton berita sambil meminum air yang diberikan mamanya.
Byur
"Apaan sih, Kak, kok aku disembur?" tanya Niko yang wajahnya basah.
"Itu Victor yang ada di siaran berita. Apa yang terjadi pada dia?" tanya Hanna syok.
"Iya, tapi tidak usah sembur aku juga," jawab Niko.
"Bisa diam tidak sih? Kamu ngeselin," kata Hanna.
"Niko, kamu tidak sopan sama kakak kamu," tegur Elsa.
"Iya maaf," balas Niko sambil nyengir.
"Hanna, Mama harap kamu jangan sering pergi sama pria tidak jelas, apalagi kalau kamu tidak mengenal keluarganya," pintq Elsa.
"Aku juga tidak mau," gumam Hanna.
Hanna pusing memikirkan Edgar yang selalu berada di sekitarnya.
"Kak, kamu benaran tidak tahu soal ini atau pura-pura?" tanya Niko menatap kakaknya.
"Kamu apa-apaan sih?" tanya Hanna.
"Lah, habis kagetnya aneh banget kayak pura-pura gitu," tutur Niko.
"Hanna, kamu berbohong sama kami?" tanya Elsa menatap Hanna.
"Oke, aku sudah tahu dan aku juga tadi tidak lihat begitu jelas kok," jawab Hanna.
"Terus kenapa kamu biasa aja, apa kamu tahu siapa pelakunya?" tanya Elsa.
"Aku tidak tahu, Ma," jawab Hanna.
"Aku sebenarnya mencurigai seseorang yang sekarang seperti penguntit, tapi aku tidak mungkin mengatakan hal ini pada semua orang," gumam Hanna.
"Oke. Kamu mulai sekarang harus berhati-hati. Lihat, Victor saja terbunuh seperti itu. Bisa aja pembunuhnya mengincar orang terdekat pria itu. Jangan-jangan dia banyak utang," kata Elsa.
"Yaelah, Ma, ngapain kita ngurusin utang orang. Jadi lapar nih," ejek Niko.
"Kamu lapar mulu, nanti kamu lama-lama gendut," tegur Elsa.
"Enggaklah, Ma. Masih banyak kok yang ngantri sama Niko," balas Niko.
"Kamu percaya diri banget," ejek hanna.
"Iyalah, adikmu ini selalu ganteng," balas niko.
"Ganteng apaan, ganjalan genteng?" tanya Hanna.
"Kalian sekali saja bisa tidak jangan berantem." Elsa geleng-geleng kepala.
"Iya aku tidak bisa kalau tidak berantem sama kakak," tutur Niko.
"Ma, ada makanan apa? Jadi lapar gara-gara dengan celotehan bocah ini," kata hanna.
"Bisa-bisanya kamu lapar abis nonton siaran tadi, Mama aja eneg melihat darah berceceran," balas Elsa.
"Ya namanya juga perut, tidak bisa kompromi," kata Hanna.
"Oke. Mama tadi masak lasagna dan cream soup, mau?" tanya Elsa.
"Wah, Niko juga mau, Ma. Enak tuh," jawab Niko.
"Perasaan Mama tidak nawarin kamu deh," ejek Elsa.
"Iih, Mama mah gitu," rengek Niko merengek.
"Kamu ini aneh-aneh saja. Mama geli lihatnya," balas Elsa.
Elsa berlari kecil menuju dapur untuk mengambilkan makanan.
"Mama larinya manja banget sih," kata Niko.
"Lari manja apa coba? Kamu kayaknya kebanyakan dekat sama tante-tante," ejek Hanna.
"Biarin, yang penting tante kaya dan seksi," kata Niko terbahak.
"Bukan adik aku ini mah," balas Hanna sambil mengangkat tangannya ke atas.
Tidak lama Elsa meminta mereka untuk makan bersama membuat Niko berlari seperti bocah ke meja makan.
"Idih, aku geli sama tingkah Niko. Mending masukin dia ke rumah sakit jiwa," kata Hanna.
"Hanna, nanti kamu kangen loh sama adik kamu kalau dia sudah punya pujaan hati," balas Elsa.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
