Stay Staring Happy Ending | Volume 2

1
0
Deskripsi

Volume kedua dari Stay Staring Happy Ending.

 

Blurb:

Sudah susah payah dapat hadiah kehidupan kedua setelah kehidupan awalnya yang payah, kenapa Raven tanggung sekali cuma menjadi seorang tokoh figuran di dunia novel fantasi hidden gem favoritnya?

Baiklah, bukan masalah.

Tapi saat tokoh utama yang dilayani Raven mengaku dia bukanlah Tuan Putri yang asli itu masalah!

Terutama, dari semua manusia, kenapa harus Manda? Teman sekelasnya, si gadis favorit semua orang itu tidak tahu apa-apa. Parah.

Maka, Raven...

05 | Kekacauan Dimulai dan Jangan Menatapku Begitu

“Narai!”

Aku terkesiap, bergegas melajukan kaki yang seenaknya menunda langkah sendiri. Bobot dari buku-buku bersampul keras yang tebal dan padat mendadak baru terasa kembali membebani kedua tanganku. Seharusnya ada troli yang bakal sangat berguna kupakai, tapi semua troli sedang terpakai. Hilir-mudik roda-roda troli yang biasanya paling-paling mengantarkan makanan dan minuman di jam-jam tertentu, sekarang seakan sedang berlomba di sepanjang lorong dan membawa apa saja.

Tapi, demi apa pun—aku harus segera membiasakan diri bahwa namaku sekarang adalah Narai. Asal kau tahu saja, ya, ini masalah yang lumayan merepotkan.

“Ya?” sahutku berhenti di hadapan suara yang memanggil tadi, dengan memutar tubuh supaya aku bisa menatapnya dengan menolehkan kepala ke samping kiri. Bahkan seorang Narai tidak bisa melihat menembus tumpukan buku yang sedang dibawanya, kau tahu.

Satu hal yang lumayan bisa membuat lega, dia bukan Remikha.

“Berapa banyak lagi buku-buku yang harus kau pindahkan?”

“Prioritasnya, satu lemari lagi.”

“Oh, tinggal sedikit lagi,” Pemuda jangkung itu mengguratkan pena pada papan catatan di tangan. Perkenalkan, salah seorang Pramu lain, Hancya—alias Han. Sosok yang khasnya adalah sepaket dengan pena dan kertas. Dialah rekan diskusi utama Narai jika menyoal strategi. “Kau bisa cari Mikha kalau sudah selesai dan minta bantuannya untuk persiapan itu.”

“Siap.”

Hancya memberikan masing-masing satu tepukan ringan di sebelah bahuku dan cengiran sebelum berlalu. “Kesibukan ini memang bisa membuat kita gila, tapi jangan sampai kau lupa namamu sendiri, ya.”

Baik aku atau Narai yang asli tidak suka dikasihani, tapi—serius, sebaiknya Hancya mengasihani dirinya sendiri dulu. Kesibukannya adalah mengatur kesibukan semua orang—bukannya kemungkinan pemuda itu gila jadi pangkat dua?

Tentu saja, yang kulakukan cuma mengangguk dan menyahut, “Siap.”

Jangan salah. Sebenarnya Narai adalah Pramu yang paling irit bicara, tahu.

Langkahku kembali berderap. Sudah berapa hari aku ada di dunia ini? Satu sisi diriku masih belum berhenti mencoba menghitung soal itu, masih gencar mengingatkan bahwa ini bukan duniaku. Heran, aku baru tahu ada sisi macam itu dalam diriku. Sisi yang ... realistis? Atau malah yang pertama kali tidak waras lagi karena mewanti-wanti? Lucunya, dia sendiri yang menyibukkan pikiranku, sampai-sampai hitungan hariku hilang. Cuma menyisakan keyakinan, waktuku masih bisa dihitung hari dengan jari.

Berkebalikan dengan itu, segalanya berjalan secepat langkahku menyusuri lorong-lorong bermandikan cahaya mentari pagi, tapi aku tahu ini bukan permulaan untuk sesuatu yang salah. Tenang saja. Saat ini aku cuma merasakan alur yang bergerak maju dari sudut pandang yang berbeda. Sudut pandang yang jauh lebih sibuk.

Setidaknya, sekarang aku tahu, kenapa Chaos Crown diceritakan dari sudut pandang Putri Lenavern seorang. Andai meleng pakai sudut pandang Narai—Pramu yang tubuhnya sedang kutempati ini—cerita bakal berjalan berdampingan dengan kesibukan sehari-harinya.

Tenang saja, aku tidak bakal menceritakan kesibukan yang tidak ada maknanya. Aku yang sekarang sedang berlari bolak-balik menyusuri lorong, mengangkut buku-buku berdebu nan berharga seperti simulasi evakuasi ini—tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mempersiapkan penyambutan.

Penyambutan alur cerita yang akan segera dimulai!

Oh, jujurnya, ini juga penyambutan sesuatu yang lain secara harfiah. Kau bisa mengabaikan rasa antusiasku yang berdebar-debar dan tak akan bisa dimengerti siapa pun ini. Nah, penyambutan apa kiranya yang mencambuk semua pegawai istana dari Pelayan sampai Pramu untuk berlomba sibuk? Penyambutan yang dipenuhi dekorasi sana-sini, penataan ulang ini-itu demi makin rapi, seakan bunga-bunga merah yang bermekaran belum cukup indah—mau menebak?

Tidak. Baiklah.

Ini adalah penyambutan pertunangan Putri Lenavern.

Hei, jangan patah hati! Sadar diri kau bukan siapa-siapa, dan ini memang hal yang harus dilakukannya. Jadi tokoh utama itu tidak pernah mudah, tahu? Malah, kayaknya sebaliknya; tidak ada penulis yang mau menceritakan kisah seorang tokoh utama yang perjuangannya mudah.

Pertunangan dengan pangeran dari negeri seberang, justru adalah hal paling pertama yang harus dilakukan Putri Lenavern. Ini adalah langkah satu-satunya yang tidak boleh berubah, batu pijakan pertama dari alur segenap cerita.

Jadi, kayaknya aku harus berlari lebih cepat lagi. Mari cari Remikha dan mempersiapkan diri.

Pikirmu, kalau bukan abdi paling setianya, siapa yang bakal mendampingi sang Tuan Putri?

 

 

***

 

 

Dunia Chaos Crown bukanlah dunia yang damai. Bukan isekai yang bakal jadi destinasi favorit. Novel itu tidak berisi kisah fantasi kerajaan riang gembira yang cocok dijadikan bantal buat bermimpi indah. Tapi tidak juga berisi fantasi gelap-gelapan yang bisa jadi trauma di hati yang membacanya. Tidak. Chaos Crown itu cuma ... seimbang. Apa adanya. Mungkin dinilai terlalu bagi mayoritas orang, sehingga pembaca dari novel ini cuma segelintir. Novel berharga yang tidak laku.

Tapi itu juga berlaku terbalik.

Chaos Crown yang sama kejamnya seperti dunia nyata, memudahkan siapa saja membayangkannya nyata.

Chaos Crown bercerita tentang Putri Lenavern yang berambisi untuk mendamaikan kembali tujuh kerajaan. Menyudahi perang dingin yang berlarut-larut dan hampir diterima semua orang supaya terbiasa olehnya karena tidak punya pilihan. Putri Lenavern mengawali ambisi itu seorang diri, dari lamunan di taman kerajaan yang sunyi. Perjuangannya dimulai dari kesendirian, dan perlahan-lahan, dirinya tak lagi sebatang kara. Para Pramu ada, membantunya.

Perjuangannya, perjuangan mereka—sudah menyelamatkanku.

Ah, rasanya nostalgia sekali. Padahal ini baru pertama kalinya aku melihat secara langsung, ini pertama kalinya aku tidak membaca kata demi kata dan terus berusaha mendetailkan deskripsi di dalam kepala. Yang perlu kulakukan cuma membuka mata, dan segala yang ada dalam bingkai pandangan segera berlomba-lomba membuatku terpukau. Aula istana bagaikan kolam cahaya yang dipenuhi suka cita. Lantainya mengilap hingga refleksi orang-orang terpantul samar di bawah tapak masing-masing. Khusus untuk acara kebesaran seperti hari ini, langit-langit istana Raharnias dibuka; meneroboskan bias emas mentari ke ubin dasar, membawakan udara segar yang berembus harum beserta kelopak-kelopak merah bunga yang merias setiap jengkal dinding. Dua bendera kerajaan dibentangkan berdampingan, menyuarakan persatuan dan kedamaian; bendera berlukis kepala singa dengan warna merah dan emas milik Raharnias, serta bendera hijau toska yang mengurung sepasang ular merupa kembang mekar milik Gaokuvo.

Satu sisi diriku nyaris terhipnotis, tapi aku mengendalikan diri seperti otomatis. Ini perasaan yang jauh melampaui kepuasan ketika mendapati novel favoritmu diadaptasi menjadi film dengan visual memuaskan. Aku tidak cuma menonton, tapi aku ada langsung di dalamnya, dan memainkan sebuah peran penting.

Meski peran penting ini membuatku sesak dengan setelannya, aku tetap setia berdiri tegak. Mungkin sesaknya bukan karena betapa aku harus menjaga pakaianku beserta semua atributnya tidak bergeser sesenti pun, tapi lebih pada formalitas yang bisa-bisa membuatku takut bernapas. Semua pasang mata yang menontoni bagian tengah aula sebagai panggung utama mustahil kuanggap tidak ada, tahu? Seumur hidup, aku tidak pernah disorot mata orang-orang sebanyak ini—rasanya aku mau mati.

Dan aku tidak jadi mau mati ketika menyadari sosok yang tadinya berposisi di sampingku, telah bergerak maju.

Putri Lenavern.

Petikan dawai yang menjadi latar iringan suara tiba-tiba terdengar lebih jelas di telingaku. Mengalun, membawaku pada arus misterius ketika helai-helai rambut merah sang Putri terembus halus melewatiku. Aku tahu senyumku terukir sesuai takarannya, dan kuturuti dorongan otomatis untuk menundukkan hormat kepadanya, mengikuti prosesi yang seharusnya—ketika sang pendamping melepas putri dan pangerannya. Untuk berjumpa berdua saja di tengah-tengah aula. Bukan berarti masing-masing pendamping mengabaikan keberadaan senjata yang terkait di pinggang, tapi untuk yang ini, aku tahu tidak ada yang perlu diwaspadai.

Aku sudah tahu.

Pertunangan Putri Lenavern dengan Pangeran Leopold akan berjalan baik-baik saja.

Dan akhirnya, semua ini akan segera selesai. Sekaligus akan dimulai. Baiklah, apa pun itu. Aku bersumpah, hal pertama yang akan kulakukan begitu peranku dibubarkan adalah menghela napas sekeras-kerasnya—

“Saya menolak.”

Sampai aku mendengarnya berkata begitu.

Oh, Narai, andai kau punya kekuatan untuk mengulangi waktu.

Akan kumundurkan detik demi menghentikan Putri Lenavern di puncak prosesi pertunangannya berkata, “Saya menolak pertunangan ini.” []

 

 

06 | Aku Dapat Pengakuan Rahasia Tak Terduga

Narai tidak bisa mengulang waktu. Dan aku juga tidak mendadak diberkati kekuatan super ketika berpindah ke dunia ini.

Tapi tiba-tiba, aku merasa dunia berputar mundur. Melemparkanku kembali ke detik-detik menjelang kaos. Detik-detik terakhir yang ... tunggu, rasa-rasanya saat itu bahkan sudah ada aba-aba.

Apa aku bodoh karena memilih mengabaikan itu?

Mau bagaimana lagi? Sekilas—itu cuma sekilas, dan bahkan ragu kunamai firasat.

Serius, setipis benang.

Rasa akan sesuatu yang seakan meremas jantungku tadi. Bukan, itu bukan sakit hati, meski barangkali diri Narai yang asli diam-diam sedikit menelannya andai momen ini diceritakan dari sudut pandangnya.

Bukan ketika Putri Lenavern dihadapkan dengan pasangannya di tengah-tengah aula. Bukan ketika prosesi pertunangan dimulai dengan kata-kata puitis penuh sumpah dan janji dibacakan dengan khidmat, dan petikan dawai pun mengganti nada sebagai iringan latar belakang yang serasi.

Bukan. Lebih mundur dari semua itu.

Satu momen yang membuat aula indah ini tiba-tiba saja menjadi sangat salah bagi satu sisi diri ini.

Ketika Putri Lenavern tepat melangkah maju melewatiku. Ketika aku melepasnya, ketika dirinya lepas dariku. Ketika aroma dari padu padan formalitas demi pertunangan darinya menyergap hidungku dalam semerbak khas.

Ketika itulah, aku merasa seakan-akan Putri Lenavern berpamitan.

Melangkah pergi sejauh-jauhnya. Selama-lamanya.

Tak akan lagi tergapai. Tak akan lagi kembali.

Seakan-akan itu adalah sebuah perpisahan.

Tentu, semua rasa dan firasat itu bercampur-aduk hanya sekian detik dalam kepalaku. Kecamuk itu lenyap dalam setiap semarak kebahagiaan yang kembali berwarna di sekitarku. Petikan dawai yang merdu, baru saja mengakhiri pembacaan prosesi pertunangan yang panjang dan basa-basinya bukan main itu. Kau tahu, inilah kenapa kita semua membenci formalitas, kan?

Tapi sekarang, benang tipis itu kembali. Berputar-putar mengejek di dalam kepalaku, sepertinya berharap aku bakal tumbang tak sadarkan diri akibat syok—biar dia bisa makin keras mengolok-olok. Sial. Aku tidak bakal tahan berdiri lebih lama lagi, maka kubantingkan punggung agar bersandar pada dinding lorong yang kosong. Sebentar, sebentar saja—biarkan kepalaku ikut melompong.

Tarik napas, dan hela pelan-pelan. Aku mengulanginya sampai simpul sesak yang sepertinya berasal dari benang sialan tadi melonggar. Terurai dari rongga dada, atau bisa jadi hati. Bernapas, Raven—atau Narai, terserahlah. Lepas.

Ketika Putri Lenavern lepas dariku—

Aku hampir refleks menampar jidat sendiri gara-gara benak itu berbisik merdu dari dalamnya—yang berarti aku nyaris menumpahkan nampan yang memangku seteko teh panas berkelontangan pecah ke ubin lorong. Selisih akal sehat ini sangat tipis dari membuat keributan.

Hasilnya, aku harus mengulangi sesi tarik-dan-hela-napas. Kuberi ancaman pada diri sendiri, sekarang atau tidak selamanya. Jangan buang waktu. Ada yang menungguku. Di balik pintu kamar Putri Lenavern ini, ada dia yang tak bisa dibiarkan sendirian lebih lama.

Dia yang seharusnya adalah Putri Lenavern Raharnias.

Tapi sekarang, aku tidak yakin akan hal itu.

Kenapa Putri Lenavern menolak pertunangannya?

Tangan kananku terangkat, memberikan ketukan berirama khusus seperti biasa. Mendadak, dilema melandaku seperti gelombang pasang. Haruskah aku menunggu sahutan? Bakal seberapa lama? Aku tidak tahu, dan itu masalahnya. Aku sedang tidak ada waktu tapi apa bakal tetap terhitung lancang kalau langsung masuk bahkan meski ini Narai yang—

“Masuk.”

Itu cuma sepatah suara yang lemah, atau mungkin sekadar samar karena terhalang daun pintu—tapi aku kembali pada pijakanku berkatnya. Selain harus membiasakan diri dengan nama yang bukan milikku, mungkin aku juga harus melatih harmonisasi antara di mana pijakan dan lamunanku berada.

Langkahku menyanggupi sahutan yang sudah mempersilakan, pun tanganku yang mengayun gagang pintu dengan hati-hati. Tak ada bunyi keriut, dan atmosfer yang entah bagaimana sangat berbeda dengan udara di sepanjang lorong kosong segera menyergap. Terlambat sudah kalau aku mau overthinking untuk balik badan—tanganku sendiri yang menutup pintu baik-baik di belakang punggung. Memang tidak dikunci, tapi serasa ada isyarat tersendiri ketika kulihat jemari yang meninggalkan gagang pintu.

Ini keputusanku sendiri. Mana mungkin aku lari?

Aku menemukan sosoknya dalam sekejap mata. Ya, ini hal langka, kalau mengingat sebelum-sebelumnya aku baru menyadari eksistensi sang Putri paling terakhir. Jangan menyalahkanku untuk itu, karena aku sendiri tidak tahu kenapa, dan aku sudah dapat karma berwujud tamparan keterpanaan.

Kali ini adalah pengecualian. Dan, tidak—aku tidak bakal bilang entah kenapa karena seseorang rasanya siap menimpali dengan lagi-lagi.

Sosok gadis yang satu-satunya berada di ruangan ini tengah berdiri—posisinya yang menghadap dinding di mana sebuah cermin sebesar badan tergantung, baru memasuki bingkai pandang ketika aku melangkahkan kaki benar-benar memasuki ruangan. Helai rambutnya yang tergerai menutupi punggung serupa ombak berwarna merah.

Merah. Untuknya, darah sama sekali bukan kiasan yang hormat; suatu narasi novel Chaos Crown mengatakannya. Aku tak akan menggugat, tapi ... benakku tak bisa menunda kesan pertama itu. Jangan salah, warnanya begitu indah, sampai-sampai menyandingkannya dengan mawar malah terasa rendah. Memang, darah tetap agak ... sesuatu. Di masa lalu yang dulu sekali, Putri Lenavern pernah membenci warna rambutnya karena ini.

Tapi sekarang bukan itu masalahnya.

Putri Lenavern bergeming di hadapan cermin. Aku menghitung langkah ketika membiarkan diriku bergabung menjadi refleksi dalam cermin itu. Kucoba mencari kontak mata, tapi cuma butuh sekilas saja bagi mata yang menyala bagai bara itu untuk menghindar. Uh, bahkan aku tidak perlu mengatasnamakan sisi Narai yang asli untuk merasa sakit hati.

Dengan hati-hati, kuletakkan teko teh beserta set cangkirnya di atas meja. Kata-kata dari mulutku tidak mau menunggu dilema, dan lebih memilih menuruti suatu dorongan yang memecahkan keheningan. “Aku letakkan teh untukmu di sini, Tuan Putri.”

“Ya ....”

Di luar dugaan, dia tanggap terhadapku. Seharusnya tidak salah kalau aku membujuknya dengan bersikap selayaknya pelayan yang bisa diandalkan. “Maukah dirimu meminumnya sekarang? Dari yang kulihat, Tuan Putri tampak banyak pikiran dan kurang sehat.”

Perlahan, Putri Lenavern berbalik, ketika tanganku tengah menimang teko teh. Alih-alih penolakan atau pengusiran yang kutebak—apa pun yang menentukan apakah teko kaca di kedua tanganku akan menyeduh atau menganggur, aku kembali dibuat tidak menduga karena dia bertanya, “Kau ... bisa tahu?”

Ada apa ini? Benakku berpacu, mengulangi suaranya yang jelas sama seperti suara Putri Lenavern Raharnias yang kuingat. Itu suara yang sama, tapi, sekaligus juga terasa jelas berbeda. Terasa? Tidak, terdengar. Putri Lenavern tidak akan pernah menggunakan nada yang mengesankan lemah dan goyah seperti itu. Dia memang manusia, dia tetap bisa goyah—dan memang akan goyah—tapi entah kenapa aku bisa bersikeras.

Ini bukan suara Putri Lenavern.

Nadanya terlalu kalut, ditambahi ragu yang sama-sama tidak beralasan. Terkejut, juga? Tidak menyangka? Tapi sepatah pertanyaannya terlalu mengganjal untuk apa pun itu!

“Tentu saja, Tuan Putri,” jawabku dengan nada yang bisa-bisanya sempurna tenang-tenang saja. “Bagaimana bisa aku menjadi pelayanmu yang paling setia jika tidak bisa?”

“Apa itu benar?”

Aku terkejut. Kenapa dia menyahut begitu cepat?

“Narai. Narai, kau ... kau adalah pelayanku yang paling setia ... benar?”

Serta-merta, aku mengangguk. Melangkah maju kepadanya yang limbung demi berjaga-jaga. “Ya, Tuan Putri. Mohon tak perlu ragu akan hal itu.”

Satu sisi dalam diriku tidak menginginkan tuan putri ini terlupa—satu hal itu saja, jangan.

“Kalau begitu, Narai,” kata Putri Lenavern dengan nada goyah yang tersingkir dari kata-katanya, oleh ketergesa-gesaaan, tapi juga kebimbangan. Seakan dirinya membutuhkan sebuah sandaran secepatnya, supaya tidak tumbang. “Apa kau bisa berjanji? Bahwa kau akan selalu ada, dan bertahan di sisiku, tidak akan mengkhianatiku, dan, dan ... selalu memercayaiku?”

Aku terkesiap, tidak bersiap dengan kata-kata Putri Lenavern yang memburu bertubi-tubi. Matanya mengunciku sehingga tidak bisa lari ke mana pun selama berkata-kata. Dan tahu-tahu saja, sosoknya tepat berada selangkah saja di depanku.

“Tentu saja, Tuan Putri. Aku berjanji.”

Kulafalkan itu tanpa ragu, tanpa palsu.

Putri Lenavern seakan sangat lega mendengarnya. Sekilas, kepalanya tertunduk, seperti mencari remah-remah tekad untuk dikumpulkan, sebelum kembali mendongak. Kesungguhan berkobar di matanya. Bahwa ini sama sekali bukan main-main. Perlahan, dia mengatakannya.

“Aku bukan Putri Lenavern.”

Eh?

“Aku ... aku bukan putri yang asli. Sebenarnya, aku ... aku Manda,” ujarnya gemetar. “Namaku sebenarnya Diva Manda Anjani—“

Hah...?

Kenapa nama teman sekelasku muncul di sini?! []

 

 

07 | Waktunya Reuni Identitas

Sama sekali, aku tidak berharap aku tahu bagaimana rupa ekspresi yang sedang tampil di wajahku saat ini. Tapi begitu kepalaku serasa berhenti bekerja, pandanganku seketika buyar. Tahu-tahu saja tatapanku melebur ke balik gadis di hadapan, dan bertemu tatap dengan seseorang yang tengah membelalak lebar-lebar, mulut terbuka, muka hampa—ekspresi yang tidak keren bukan main.

Lalu kusadari bahwa itu aku.

Ternyata Narai bisa pasang wajah begitu juga, ya—kata sisi diriku yang sinting dan tidak bisa membaca situasi.

Demi apa pun, sekarang bukan waktunya untuk itu!

Aku menyudahi ekspresi hampa di wajah Narai, menarik fokus dari cermin dan pantulan permukaannya yang dibarengi cahaya senja, kembali pada seraut wajah yang masih bertahan selangkah saja di hadapan. Entah kenapa, aku tidak bisa melihat wajah tegas berbingkai helai merah dengan mata berwarna serupa itu, sebagai Putri Lenavern lagi. Sosoknya tiba-tiba menjadi berbeda.

Seolah aku langsung memercayai pengakuan barusan tanpa sadar.

Roda-roda gerigi dalam kepalaku serasa berhenti lagi. Jadi dua kali. Padahal yang pertama tadi juga masih mati.

“Maaf ... bisa diulangi, Tuan Putri?”

Serius, aku tidak menyangka kata-kata itu bisa menjadi hal paling waras yang kulakukan. Tapi itu sungguhan—reaksi ini masih sesuai dengan karakter Narai. Masih cocok juga untuk sebuah keterkejutan. Tidak akan ada yang mencelaku tuli dadakan atau apa, dan yang terpenting, aku berhasil memecahkan jeda sebelum berlangsung lebih lama dan membuat segalanya basi.

Putri Lenavern—atau siapa pun itu yang menggantikan dirinya di dalam sana—terkesiap kecil. Jelas, bukan cuma aku yang overthinking.

“Aku ... aku bukan putri ini, aku bukan Putri Lenavern.” Dia menggeleng-geleng, seperti berusaha menggugurkan kebimbangannya sendiri. “Aku bahkan tidak tahu di mana ini—ini, ini ... bukan duniaku. Seharusnya tidak ada kerajaan, tidak ada istana, dan aku seharusnya bukan seorang putri ....”

Aku berhasil mencuri waktu untuk menjernihkan pikiran, sampai satu frasa di antara ucapannya mencuri fokusku seketika—ini bukan dunianya, dia bilang?

“Aku cuma seorang pelajar biasa ... aku bukan Putri Lenavern, sungguh! Namaku Diva Manda Anjani, semua orang setidaknya memanggilku Manda—“

Ah, ya, itu dia.

Nama itu, aku mengenalnya.

Ini di luar kemauanku untuk mengingat nama itu. Kalau yang disebutkannya adalah nama orang lain, yang meski sebenarnya juga dari orang yang kukenal, aku butuh waktu untuk merasakan de javu dan baru tahu nama siapa itu.

Tapi—Diva Manda Anjani adalah sebuah pengecualian, secara mau tidak mau. Pertama, karena nama itu masuk daftar teman sekelasku. Kedua, karena nama itu yang paling sering dipanggil di upacara. Ketiga, karena nama itu sangat rajin didengungkan siapa saja—siapa saja.

Namanya pun menjadi familiar di telingaku sampai sebosan-bosannya, dan jadilah nama itu menjadi segelintir nama yang muat diingat pelitnya kapasitas sosial kepalaku.

Jadi, masalahnya, kenapa nama teman sekelasku itu menguntitku sampai ke dunia ini?!

Apa yang dilakukan si gadis populer favorit semua orang di sini—di dalam raga Putri Lenavern? Apa aku perlu bertanya-tanya juga bagaimana? Kayaknya itu tidak bakal berguna, sih—eksistensiku di sini saja sudah cukup di luar logika.

Nah. Itu dia!

Tapi, serius? Memang ini kemungkinan yang paling mungkin, bahwa Diva Manda Anjani ini kasusnya sama denganku.

Bahwa teman sekelasku itu juga ter-isekai ke dunia ini.

Tunggu ... sejak kapan? Firasatku tidak enak untuk ini.

“Tuan Putri,” panggilku perlahan. Mati-matian kutahan keinginan untuk mencecarnya seketika. Jangan sinting sekarang, Raven—sekarang Narai sedang terkejut dan berusaha mempertahankan ketenangan. “Tenanglah. Ceritakan pelan-pelan—“

“Apa kau percaya?” selanya. Matanya berkilat sekilas. “Apa kau akan percaya padaku? Aku yang bahkan bukan tuan putrimu—“

Dengan senang hati, aku balas menyela, “Aku melakukan ini karena berusaha memercayaimu. Kalau setelahnya Tuan Putri tertawa terbahak-bahak karena sukses menjebakku ke dalam salah satu kejahilannya, akan kuurus harga diriku yang terinjak-injak nanti.” Tanganku—yang tak lagi terasa seperti tangan boneka—beralih menuangkan teh dari teko. Inilah Narai yang tidak akan kehilangan ketenangan—dan terkadang sampai keterlaluan.

Putri Lenavern menyambut cangkir teh yang kuberikan beserta tatakannya. Dia menyambut dengan kedua tangan, satu menampa tatakan dan satu lagi menjaga telinga cangkir. Setelah sedikit berputar kebingungan, akhirnya dia memlih untuk duduk di tepi ranjang yang berposisi di samping cermin tapi tidak menghadapnya.

Ternyata benar. Dia memang bukan Putri Lenavern.

Dalam novel, setiap Narai menyodorkan cangkir teh bersama tatakannya, Putri Lenavern cuma bakal mengambil cangkirnya—dia tidak suka menentengi tatakan yang memenuh-menuhi tangan, aku jelas mengingatnya.

Jadi, begitulah.

Tapi, bukannya Manda tidak punya alasan untuk mengacaukan pertunangan Putri Lenavern?

“Ceritakanlah,” ujarku, melipat tangan dengan rapi di belakang punggung. “Buat aku memercayaimu.”

Seolah kalimatku barusan adalah tantangan, gadis di hadapanku mengangguk dengan tekad berkobar di mata Putri Lenavern.

“Aku ... ingatanku rasanya tidak lengkap,” mulainya hati-hati. “Yang kuingat pasti, cuma namaku tadi. Bagimana dan kenapa aku bisa ada di sini ... di dunia ini, di dalam tubuh ini—aku sungguhan tidak tahu. Rasanya seperti bermimpi, semua terasa mengambang. Kelima indraku pada awalnya tidak jelas, lalu pelan-pelan kembali ... seperti dibangunkan dari tidur nyenyak, rasanya persis. Ketika aku sadar, tiba-tiba saja aku mendapati diriku ada di tengah pertunangan.”

Eh?

“Itu sungguhan tiba-tiba!” bisiknya kalut, tampak putus asa berusaha membuatku memperlihatkan sinyal rasa percaya. “Aku bahkan baru membuka mata!”

Hah?

“Dan tahu-tahu saja aku ditodong giliran buat mengucapkan sumpah pertunangan—pertunangan dengan orang asing, di tempat asing, dan segala-galanya yang asing ....”

Wah, hebat sekali, teman sekelasku ter-isekai tepat di tengah-tengah sebuah pertunangan sebagai seorang putri. Sisi diriku yang sinting hampir memberikan standing applause.

Kalau begini—sialnya—aku jadi tidak bisa menyalahkannya. Manda cuma gadis waras yang menolak ditunangkan dengan seorang pemuda yang baru dilihatnya pertama kali dan asing sama sekali.

Jadi, sekarang apa? Kuharap permukaan teh di cangkirku sendiri bisa memunculkan jawaban. Tentu, ujung-ujungnya, aku cuma menatap pantulan buram mata Narai yang sedang kupakai. Mata yang berwarna cokelat terang, seakan menyatu dengan seduhan teh, berkilat-kilat—dan tatapannya menyimpan suram dan kelam yang alami ada dari sananya.

Apa aku harus balas mengaku? Bahwa aku adalah Raven, teman sekelasnya? Hah, seakan gadis itu bakal ingat namaku saja. Nama Raven Kalundra dan Diva Manda Anjani itu benar-benar terbanting saling berkebalikan. Sebagai nama yang paling asing dan nama yang paling familiar di semua telinga. Tidak, tidak, aku bukannya sensitif dengan ini, oke?

Bagaimana kalau aku tetap berpura-pura sebagai Narai murni? Menjadi satu-satunya yang menguasai semua kartu kedengaran seru. Bermain petak umpet rahasia. Tunggu dulu, rasanya ada sesuatu yang terlewat—

Aku ... ingatanku rasanya tidak lengkap.

Itu dia. Manda tidak ingat apa-apa selain namanya sendiri ... padahal aku tidak begitu.

Amnesia, serius? Ini bakal jadi satu-satunya hal yang tidak kacau; ada celah kesempatan yang terbuka lebar di sini!

Tidak, tidak. Tenangkan dirimu sendiri, Raven. Jangan terburu-buru untuk itu. Aku cuma bakal memancing kecurigaan, hal terakhir yang ingin kudapatkan. Apa prioritasku sekarang sebagai Narai? Tanpa suara, kulangkahkan kedua kaki untuk menghampiri tepat menyisakan jarak satu langkah dengan sang Putri di tepi ranjangnya yang mendongak.

Sebagai Narai?

Salah. Kali ini, untuk pertama kalinya, aku harus menjadi Raven.

Dan saat ini, yang harus dilakukan Raven cuma satu, kan?

Aku menunduk, memelankan suara menjadi setipis angin yang membawakan kata-kata dari luar bingkai jendela. Entah bagaimana, semua ragu dari benak yang bercabang-cabang terbuang sekejap mata, menyisakan kata-kata yang kubisikkan begitu lirih demi memastikan ini tak akan bisa dicuri dengar siapa pun. Hanya kepada Putri Lenavern yang bukan lagi Putri Lenavern.

“Tenang, ini aku, Manda—Raven, Raven Kalundra. Teman sekelasmu. Kita berdua sedang terjebak di dunia ini.” []

 

 

08 | Bisa Kita Bicara Baik-Baik Bahwa ini Bukan Salahku?

Keputusanku untuk segera menarik mundur kepala begitu bisikan tadi tersampaikan sangat tepat. Putri Lenavern yang diisi Manda menolehkan kepalanya secepat kilat ke sebelah telinganya yang baru kubisikkan—sampai aku meringis ngilu. Kalau kepalaku bertahan di sana lebih lama sedetik saja, aku pasti terpental berhadiah gegar di jidat.

“Eh?” Gadis itu memutar kepalanya lagi sambil mengerjap-ngerjap. Aku hampir bisa menghitung persen loading di kedua matanya yang menanjak setahap demi setahap. Prosesnya menabrak 100% dan entah bagaimana logikanya, itu membuat matanya berbinar sekaligus berkaca-kaca. “RAV—“

Buru-buru kuacungkan telunjuk di depan bibir yang mendesis seperti ular. Setidaknya itu sangat tepat waktu membungkam Manda karena, sudah kubilang, aku menghitung proses loading pemahaman yang terpantul di matanya. Dan beruntunglah aku karena Manda yang cepat tanggap, sehingga aku tidak perlu membekapnya dengan telapak tangan seperti penculik murahan.

“Raven...?” ulangnya menyebut namaku, nama yang sungguhan namaku, dengan suara yang sudah diturunkan. Alisnya mengerut dan bertautan di tengah. Nah, kan, sudah kubilang. Namaku cuma remahan kentang bagi seorang Diva Manda Anjani—

“Ini sungguhan? Raven yang nomor absen 19?”

Aku nyaris berjengit terang-terangan. Dia mengingatku dari label nomor absen yang rasa-rasanya terakhir kali kudengar satu abad lalu?

Oh, benar juga. Dia kan sekretaris.

“Ya, aku Raven yang itu,” jawabku membenarkan, tak lupa mempertahankan senyum Narai. Soalnya Raven tidak punya senyum sendiri. Memberi jeda, aku mengamati wajah Manda yang seakan mencair dalam kelegaan—iya, mencair kayak es krim. Ini bakal jadi rekor pertama kalinya ada yang bisa merasa lega karena mendengar nama Raven Kalundra. Rekor yang bagus, karena sekarang aku bisa membaca ketenangan sudah mendominasi keseluruhan dirinya.

Kusempatkan diri menandaskan teh yang sudah mendingin di cangkirku sebelum kembali bersuara, “Jadi, jangan panik, oke? Karena aku harus pergi dulu sekarang.”

“Ke mana?” sambarnya seketika, meluapkan kecemasan tak ingin ditinggal sendirian.

“Aku tidak bisa berlama-lama di sini. Ada urusan yang harus kuselesaikan, sebagai orang yang tubuhnya kupakai ini,” sahutku. Sebelum Manda bersuara lagi, aku segera menutup dengan, “Kau akan baik-baik saja. Orang-orang di sini tidak jahat, sebenarnya. Pastikan saja kau menjaga rahasia yang barusan.”

Manda termenung, tapi memberiku anggukan samar. Diam-diam, aku menghela napas lega. Baguslah dia tidak banyak tingkah. Kubereskan peralatan teh untuk kembali kubawa di atas nampan, dengan meninggalkan satu cangkir yang masih di tangan Manda.

“Tidak jahat, ya,” gumamnya dengan nada yang ganjil. “Aku ... rasanya aku ingin minta maaf, pada orang-orang di sini. Ini berarti, aku sudah mengacaukan pertunangan putri mereka yang seharusnya membahagiakan, kan?”

Membahagiakan, ya.

Andai dia tahu, betapa pertunangan itu jauh dan lebih dari sekadar membahagiakan.

Karena aku tidak mungkin mengucapkannya keras-keras, aku cuma menundukkan kepala dan benar-benar berbalik badan, melangkahkan kaki ke luar dan menutup kembali pintu kamar.

Rasanya ... hebat sekali.

Aku tidak menduga bakal mendapatkan beban seberat ini ketika tadi memasuki kamar sang Putri. Bahkan sebagai Narai, ada juga hal-hal yang tetap tidak tertebak dan tersembunyi.

Atmosfer lorong yang lengang balik menerpaku, memberikan kesan yang begitu kosong dan sepi. Kubawa kedua kaki untuk menyusurinya, mendengarkan gema suara langkah sendiri yang terpantul. Sekeras apa pun aku mencoba fokus menghitung langkah-langkahku sendiri dan menimbang beban nampan di kedua tangan, latar ini terlalu mendukung lamunan dalam kepalaku untuk mengelana ke mana-mana.

Sampai akhirnya kedua kakiku kalah dan berhenti melangkah, terdiam di tengah-tengah lorong. Rasanya aku mengecap pahit di sudut bibir, padahal keduanya masih tertarik ke masing-masing sisi dengan baik.

Ah, benar juga. Berarti ... aku cuma pernah bertemu Putri Lenavern yang asli satu kali, ya.

Benakku masih sibuk merenungi kesadaran mengenaskan itu, dan sepasang tangan mendadak menyergapku tanpa suara. Geraknya kelewat sigap, sampai memekik kaget saja aku tidak sanggup. Jemari bersarung tangan kesat telah terlanjur membekapku. Aku berontak, tapi tahu-tahu tanganku sudah dibekuk menempel punggung. Bukannya aku tidak bakal selamat kalau kedua tanganku dibuat mati gerak—

Sudah sangat terlambat ketika kucegat napasku sendiri. Aroma menyesakkan dari sepotong kain yang ditekan tangan pembekap mulut dan hidungku itu sudah terlanjur kuhirup. Satu kerjapan, dan pandanganku mulai berkunang-kunang. Kesadaranku seperti balon helium yang batu pemberatnya dilepas, mengawang-awang ... sampai mentok langit-langit ruangan. Ada sehelai kain pekat yang menutup mataku erat-erat, diikuti kedua tanganku yang diikat dengan cekatan. Mulutku bebas dari bekapan, hanya untuk ganti disumpal kain yang ikut diikat ke belakang. Dunia pun berputar, menghanyutkanku terjungkit-jungkit berirama ... tunggu, sial, mau dibawa ke mana aku?!

Aku yang sama sekali buta ruang dan waktu tidak bisa tahu apa-apa, dan aroma serupa kloroform tadi juga membuatku tidak berdaya—sampai dunia berputar sekali lagi. Rasanya derajatku sebagai manusia turun menjadi sekarung kentang, saat kurasakan sepasang tangan yang sama mendudukkanku dengan bantingan dadakan. Tidak, bahkan kalau aku cuma sekarung kentang, aku baru saja jatuh berceceran.

Dan ... tunggu, bukannya ini penculikan?

Kain penutup mataku direnggut lepas. Aku harus mengerutkan wajah sedemikian rupa demi mengenyahkan kunang-kunang nyeri yang seenaknya menginvasi dunia dalam pandangan. Di mana ini? Ruangan yang sempit ... dan penerangannya remang-remang. Tidak, ruangan ini lebih luas dari tebakan pertamaku, tapi berkesan sesak. Padahal, bukannya aku sendirian?

“Kau,”

Ralat, aku sama sekali tidak sendirian. Udara kosong tidak punya tangan yang bisa menerkam kerah pakaianku secepat sambaran ular. Mencekikku, tanpa peduli sama sekali atau malah dengan senang hati.

“Apa yang kau lakukan, hah?!”

Dari suaranya sejak menggeram sambil menyentak lepas kain di mulutku, aku sudah mengenalinya. Remikha. Cuma pemuda itu yang bisa bersuara seperti beruang gunung menggerung. Sialnya, sekarang dia mendadak menjulang di hadapanku, dengan kedua tangan bergeming mengungkitku, dan berwajah mengerikan.

Serius. Aku jauh lebih mending diculik sungguhan.

“Apa yang ... aku lakukan—“ Aku terbatuk. Leherku serasa terbakar, tapi mata biru buram di hadapanku lebih mengerikan bak berkobar. “Apa maksudmu?”

Sehabis mengucapkannya, baru kusadari betapa itu adalah jawaban terburuk untuk Remikha yang murka. Pemuda itu kelihatan siap meledak, tapi sepotong tangan muncul dari keremangan dan merenggut bagian tengkuk kerahnya.

“Re-mi-kha!” bentak penyelamatku itu dengan mengeja setiap suku kata. Eh, kau keheranan ada yang bisa membentak Remikha? Tapi justru karena spesies itu cuma ada satu-satunya di sepanjang Chaos Crown, aku langsung tahu siapa gerangan penyelamatku itu. Bahkan sebelum kalimat selanjutnya menyusul dengan geram yang sama, “Sudah kubilang jangan asal main culik! Dan jangan mencuri ramuan racikanku untuk itu!”

“Cuma sedikit!” Remikha berkelit, kelihatan tidak betah dengan kerahnya yang direnggut dari belakang tapi masih ogah melepas cengkeramannya di kerahku. “Kenapa juga kau pelit sekali, sih?! Kau bisa membuat ramuan yang sama ratusan kali, Embu—“

“Karena aku tidak sudi racikanku disalahgunakan macam ini!” potong Embuni geram setengah mati. Tidak ada lagi sisi lembut lagi manis yang tersisa dari gadis berambut putih perak itu, berkat Remikha. Buat catatan baik-baik dalam kepalamu untuk tidak pernah mengusik segala yang diracik tangan Embuni tanpa izin, oke?

“Aku cuma mau menginterogasi bocah ini!” Remikha membuangku terduduk kembali ke kursi yang berderak menabrak tembok belakangnya.

Memang aku tidak tahan dicekik, tapi barusan itu bukan cara yang baik untuk memperlakukan sekarung kentang sekalipun. Di sisi lain, perdebatan sengit dua Pramu itu efektif memulihkan kesadaranku yang diombang-ambingkan kloroform versi Embuni—dengan cara yang kasar. Sehingga aku tidak bisa untuk tidak mengerang ketika berusaha mewaraskan kepala—membuat Embuni beralih seketika kepadaku. 

“Narai, kau baik-baik saja?” tanyanya sembari membongkar ikatan di tanganku dengan cekatan. “Apa efek ramuannya masih terasa?”

Aku menggeleng demi menenangkannya, meski gerakan kecil itu saja sudah serasa membuat otakku bergeser dalam tengkoraknya. Sukses membuat dustaku tidak berguna bagi gadis yang seketika melempar tatapan sengit kepada Remikha di dinding belakangnya itu.

“Remikha, ambilkan penawarnya dari ruanganku sekarang,” perintah Embuni. “Kau pasti tahu karena sudah menginterogasiku dari tadi. Cepat.”

Remikha terjengit sekaligus mengernyit, berkata dengan nada tidak terima sepenuh jiwa, “Hah? Kenapa aku harus—“

“Tolong,” Embuni menyela, dan dari posisiku saja, aku bisa melihatnya mengembangkan senyum menyeramkan. Tambahannya barusan bukan dimaksudkan sebagai penghalusan perintah—itu penegasan yang dilengkapi dengan, “Tang-gung ja-wab.”

Aku bersyukur aku tidak ter-isekai jadi Remikha.

Sang Pramu terkuat itu terkalahkan juga dengannya yang mengangguk kaku—pilihan tepat, setelah dari tadi dia kepala batu mendebat. Ketika Remikha entah untuk apa maju mendekat padaku lebih dulu, Embuni memelototinya hingga dia buru-buru mengelak, “Hei! Aku cuma mau bicara baik-baik dengan Narai sebentar!”

Bicara baik-baik...?

Embuni mendebas, “Seharusnya kau lakukan itu dari awal tanpa culik-culikan.”

Kuputuskan untuk memusatkan ketenangan khas Narai dalam menyambut Remikha yang masih berwajah beruang gunung. “Jadi, apa maksudmu dengan apa yang aku lakukan tadi?”

Pemuda itu tidak berbasa-basi. Meski langkahnya berhenti karena aku ditamengi Embuni, telunjuknya menudingku sama tajam dengan hunjam tatapannya. “Ya. Akui apa yang kau lakukan sampai Putri Lena membatalkan pertunangan yang dirancangnya sendiri.”

Embuni sudah menarik napas, “Remi—“

“Siapa lagi kalau bukan Narai?!” sengitnya pada Embuni dengan mata menyipit. “Putri Lena pasti dipengaruhi bocah ini sampai-sampai dia—“

“Re-mi-kha. Pergilah sekarang.”

“Embuni—“

“Sebelum aku memakai salah satu tombak yang kelihatannya menganggur sekali di gudang senjata favoritmu ini.”

Akhirnya, ancaman itu manjur mengusir Remikha—meski dia tak lupa menyumpah-nyumpah di bawah gumamannya. Semoga saja tidak ada siapa pun yang sial tak sengaja bertabrakan dengan pemuda itu. Bertabrakan—karena entah ditabrak atau menabrak, Remikha yang itu bakal seketika meledak.

Embuni menghela napas. Sorot lembutnya telah kembali ketika mengecek keadaanku. “Jangan diambil hati, ya, Narai.”

“Tenang saja. Kita semua tahu Remikha itu bagaimana.” Aku menjeda setelah mengangguk. “Lagipula ... kurasa dia memang benar.”

Selembut sebelah matanya yang tidak tertopengi tatanan rambut, gadis di depanku menepuk bahuku yang baru kusadari terasa sangat berat dan lunglai. “Aku juga sangat penasaran soal itu, tapi kau harus mengendalikan dirimu sendiri dulu. Juga, kau tidak mau menerangkan dua kali, kan?”

“Oh, iya. Tidak ada Han dan Araistasi, ya.”

“Remikha tidak sempat merekrut mereka,” kekeh Embuni. “Mari kita hitung bersama sampai empat puluh, dan kalau Remi masih belum sampai, aku janji bakal menyambutnya dengan lemparan tombak.”

Hebatnya, gadis itu sungguhan mengambil sebuah tombak yang terpajang di dinding gudang. Meski aku mengembangkan senyuman Narai sebagai terima kasih, diam-diam, sepatah kata dari Remikha terngiang kembali dalam benakku.

Dipengaruhi ... ya?

Kalau benar aku bakal memakai cara satu itu, berarti inilah masalah pertama yang harus kuperbaiki. []

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Stay Staring Happy Ending | Volume 3
1
0
Stay Staring Happy EndingBlurb:Sudah susah payah dapat hadiah kehidupan kedua setelah kehidupan awalnya yang payah, kenapa Raven tanggung sekali cuma menjadi seorang tokoh figuran di dunia novel fantasi hidden gem favoritnya?Baiklah, bukan masalah.Tapi saat tokoh utama yang dilayani Raven mengaku dia bukanlah Tuan Putri yang asli itu masalah!Terutama, dari semua manusia, kenapa harus Manda? Teman sekelasnya, si gadis favorit semua orang itu tidak tahu apa-apa. Parah.Maka, Raven akan menjadi pelayan yang menggerakkan tuan putrinya. Tokoh figuran yang mengarahkan tokoh utama. Demi menjaga alur tidak berubah, begitu pula dengan happy ending kelak.Namun, Raven masih membawa trauma yang tak seharusnya ada dalam diri Narai, serta tidak membaca rahasia Manda yang menghambat langkah Putri Lena.Kalau membiarkannya, happy ending bisa-bisa lari.Dan Raven belum menyadari.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan