
Di suatu dunia, Sazor hidup sebagai pahlawan yang dielu-elukan dan Fras sahabatnya terkubur di bawah nisan yang terlupakan. Di dunia lain, peran itu terbalik. Maka Fras dari versi dunia di mana dia hidup melintasi dimensi demi bertemu kembali dengan Sazor dari versi dunia lain. Bersama, keduanya mencari jalan pulang setelah pernah dipisahkan kematian.
Namun, bisakah kedua manusia yang menentang batasan semesta ini menemukannya?
Sampai Menyerah Memisahkan Kita
Bukan sayup-sayup keriaan pawai yang sedang didengarkan Sazor sebelum momen pengubah hidupnya itu tiba. Sang pemuda yang namanya tengah dipuja-puja, digubah ke dalam bait sajak dan lagu perayaan, dikumandangkan dengan segala hormat dan terima kasih berhias air mata bahagia orang-orang itu sedang berusaha—sekuat tenaga, putus asa—mendengarkan jawaban untuk panggilannya dari nun jauh di bawah tanah.
Panggilan untuk sepotong nama yang diukir buruk rupa oleh tangannya sendiri, di sebongkah batu nisan berlumut yang mulai melapuk. Warna gadingnya seharusnya indah dan berlapis keperakan, dan namanya seharusnya diukir dalam kaligrafi timbul dari ahli pahat terbaik, beserta jasa-jasanya dan altar persembahan kecil untuk memanjatkan dupa doa.
Namun, nisan itu justru terlupakan.
Kenapa? Sazor selalu bertanya-tanya. Apa ini salahnya? Apa dia tak pernah bercerita dengan menggarisbawahi kepahlawanan sahabatnya, rekan sejatinya? Apa dia terlalu lega dan senang menerima kebahagiaan orang-orang sehingga menjadi egosentris, entah sadar atau tidak? Pada akhirnya, Sazor mendapatkan jawaban termudah nan paling masuk akal, sekaligus yang paling sulit ia terima.
Karena lebih mudah bagi semua orang untuk mengelukan pahlawan yang masih hidup.
Dan lebih menyenangkan begitu. Sazor paham. Tidak ada maksud keji di balik sikap itu. Mereka butuh harapan untuk dipegang dan dijunjung tinggi demi bangkit bersama, menyatukan perbedaan latar belakang dan sebagainya, untuk bergerak maju.
“Ini momen yang penting, Fras,” katanya selagi mengusap puncak nisan sang sahabat dengan kain kesat, menjadi satu-satunya yang setia mengingat dan merawat. “Semua orang bersiap untuk perputaran kursi dewan yang pertama. Kita semua baru bebas merdeka dari diktator itu. Orang-orang mendapatkan kembali hak mereka untuk bersuara. Semoga tidak ada keegoisan yang muncul di momen ini. Mereka harus menyatukan suara dengan tertata dan adil. Kau setuju?”
Hening. Bahkan angin tidak berembus membawakan gemerisik dedaunan jatuh.
“Fras?”
Tentu saja hanya ada hening yang makin menjadi-jadi.
Sazor mengulum tawa. Tidak, jangan. Sungguh dia lebih memilih untuk berurai air mata hingga suaranya robek dan parau tak bisa menyusun kata ketimbang tertawa. Bukan keinginannya juga untuk menertawai ironi yang pahit merebak di antara dirinya dan nisan mati itu di setiap kunjungan tak berguna. Tapi sial, air matanya sudah kering, dukanya sudah tergerus waktu lima tahun kebebasan negerinya dan terasah tajam menjadi ... amarah.
Sazor meloloskan kekehan pertama.
Jawaban lebih sulit yang tidak dapat diterima Sazor merayap ke balik kulitnya. Fakta yang menguning menjadi sejarah. Tragedi, pengorbanan, harga yang sayangnya harus dibayar oleh sang sahabat—mengapa bukan dirinya, seandainya saja itu dirinya—tapi itulah jawaban yang bahkan buktinya terkubur di dalam tanah yang tengah menjadi tempatnya bersimpuh.
Karena jasad Fras dikembalikan di dalam kotak sepatu.
Potongan-potongan rapi. Mutilasi terorganisir maniak keji. Lengkap, padat dan muat di dalam kotak kardus tebal yang menjadi begitu berat dan hangat untuk beberapa saat. Direkatkan darah dan lelehan tulang. Lengkap, terkecuali satu; pita suaranya tidak ada di lubang yang disengaja membuat tenggorokannya menganga.
Satu pita suara seorang gadis muda pemberani untuk suara seisi negeri.
Tragedi yang tidak bisa dirayakan, bukti kekejaman yang hanya akan memanggil ulang trauma dari era kebisuan—dan karena itulah tak seorang pun mengingat Fras sebagaimana mereka menyanjung Sazor.
“Kau tidak pantas, Fras ...“ Irisan nama yang begitu berharga, tangisan dan tawa miris yang tidak berguna, semua tertumpah dari sang pahlawan yang berhasil bertahan hidup, kepada nisan tempatnya bisa merasa pulang. “Kau tidak pantas mati seperti ini dan hanya separuh diingat sebagai tragedi... .”
Tepat di saat Sazor sama sekali tidak berharap, kali ini, panggilannya mendapatkan jawaban.
“Sazor.”
Pemuda itu menoleh seketika. Kepalanya mungkin akan lepas, setelah akal sehatnya tertipu sedemikian mudah oleh halusinasi suara yang terakhir didengarnya lima tahun lalu, sebelum malam-malam menghilangnya gadis itu dan kembalinya ia dalam kardus bisu.
Suara itu. Suara itu.
Sosok itu.
“Sazor?” Panggilan balik yang diulangi, kali ini ditambah tanya. Sazor limbung, berbalik membelakangi nisan dan berdiri menghadap halusinasinya yang begitu nyata dan menapak tanah entah bagaimana. Angin masih mati, hening kian berdenging. Gadis itu berbeda, sekaligus sama—waktu lima tahun seolah tetap memengaruhinya di berbagai sudut; rambut gelapnya sekarang panjang, diikat ke belakang punggung, pakaiannya asing, luka di kelopak mata kanannya dulu tidak pernah ada.
Tapi caranya berdiri dengan kaki kanan lebih di depan, gestur samar jemarinya meraba pinggang meski tidak ada sabuk sarung pisau di sana, matanya yang sayu dan tajam dan dalam seperti ganggang di lautan dan menatapnya—itu sama.
“Fras.”
Nama itu terbenam dalam derap sang sahabat yang seharusnya mati dan dekap lengannya.
Sazor mematung. Terpana merasakan betapa hidup dekapan Fras, betapa gadis itu terlalu nyata untuk menjadi bukti kegilaannya. Ada detak jantung dari Fras yang ini. Ada tarikan napasnya yang gemetar dan menyembunyikan isak dari Fras yang ini.
Semua itu lebih dari cukup. Sazor balas mendekap dan Fras memang tidak lenyap.
“Kau hidup,” bisiknya takjub. “Aku ... aku tidak tahu—“
“Kau juga.” Fras memotong dalam dekapan sureal keduanya. “Kau juga hidup. Akhirnya. Akhirnya aku menemukanmu yang hidup... .”
Sazor membeku. “Akhirnya?”
Fras melonggarkan dekapan, tetapi tidak menghindar. Tangannya masih mencengkeram mantel di punggung Sazor. Gadis itu mendongak, tatapannya tetap jernih dan lurus—dan Sazor tahu bahwa apa pun itu yang akan dikatakannya adalah kejujuran, dan dia tahu dirinya siap.
“Kau tahu, Sazor,” mulainya dengan seulas senyum lemah. “Di dunia asalku, akulah yang hidup sebagai pahlawan pujaan, dan kaulah yang mati sebagai nisan separuh terlupakan.”
***
Fras mempunyai kisah yang sama. Diktator yang mengerangkeng negeri mereka di bawah satu suara mutlak dari penguasa, perjuangan demi kebebasan bersuara, kekacauan di jalan-jalan, intrik dan perang propaganda, penculikan dan pembungkaman. Hari-hari kelam yang dirobek Fras dan Sazor bersama aktivis lainnya.
Lalu Sazor mati. Seminggu kemudian, diktator dan dinastinya berhasil digulingkan.
“Garis waktunya sama.” Sazor menoleh seketika, tak bisa menahan diri untuk menunjuk persamaan yang persis. Derai hujan di luar kabin penginapan menderu jendela, bertalu-talu membawakan getar badai. Disambutnya uluran secangkir teh kental panas dari tangan Fras. “Aku percaya soal dunia-dunia serupa yang ada di semesta sesuai ceritamu. Tapi, bagaimana bisa?”
Fras mendudukkan diri di ruang kosong sofa di samping Sazor. “Kalau kau tanya aku, aku juga tidak tahu. Yang bisa kulakukan hanya melintasi ruang, bukan waktu.”
“Setahuku, dalam kitab legenda, hanya peristiwa-peristiwa sejarah besar yang tak akan terbengkokkan. Peristiwa yang berkelindan dengan benang merah banyak orang, kalau tidak salah?”
“Ah, materi kelas adat.” Fras terkekeh sambil menjentikkan jari. “Satu-satunya yang tidak dirombak Tuan Diktator itu karena isinya terlalu magis dan tidak masuk akal, benar?”
Sazor menyengir setuju. “Lucunya, justru legenda itulah yang membuatmu bisa ada di sini, bukan? Melintasi rajutan dimensi duniawi sampai lima tahun lamanya, hanya demi mencari versi dunia di mana dirimu sendiri sudah mati ... .”
“Dan kau hidup,” tukas Fras. “Itulah satu-satunya yang kubutuhkan di dunia mana pun.”
Ya, Sazor tahu.
Bahwa Fras sepenuhnya bersungguh-sungguh. Pemuda itu tahu, tanpa perlu diingatkan lagi dengan tatapan yang begitu lurus menembus dirinya dengan keterusterangan yang dia rindukan.
Tapi seperti dulu lagi, Fras yang berkepribadian keras selalu berinsting untuk meyakinkan.
“Aku sudah kehilangan keluargaku. Mereka tak pernah kembali sejak Diktator mengundang separuh populasi ke ibu kota lama, selain sebagai boneka yang dicuci otaknya. Kurasa kau tahu soal itu. Mereka dirawat dan perlahan pulih, ada harapan besar untuk itu, kata rumah sakit. Tapi aku tahu, bukan aku yang mereka butuhkan untuk pulih. Bukan aku yang pantas menjadi tempat pulang mereka. Mereka butuh satu sama lain, orang yang sama-sama terlupa dan tidur lama, tertinggal arus waktu.”
Sazor mengangguk. “Aku tahu.”
“Jadi—“
Tidak. Fras sama sekali tidak perlu mengumpulkan napas untuk mengatakan apa yang merupakan tujuannya sejak awal. Sazor sudah bangkit; cangkir tehnya kosong, lalu dia mengambil dengan lembut cangkir Fras yang sama tandasnya.
“Aku ikut,” kata Sazor, tersenyum dari lubuk hati. “Kau harus pergi, bukan? Kau tidak bisa hidup di dunia yang setidak-tidaknya tahu bahwa Fras adalah si pahlawan negeri yang sudah mati.”
Fras mengerjap. “Kau serius?”
Itu bukan ketidakpercayaan atau keraguan. Fras benar-benar bertanya; menanyakan apa yang Sazor inginkan, memastikan sang sahabat yang terakhir kali sebelum ini didekapnya sebagai mayat, tidak berada di bawah paksaan.
Keseriusan yang tak pernah berubah, sungguh. Sazor mengacak puncak kepala Fras. “Kau tahu aku juga tidak punya siapa-siapa di sini, Fras,” balasnya. “Hanya orang-orang yang membutuhkan simbol dan pengingat kemenangan suara lima tahun lalu. Tentu aku serius.”
Fras meloloskan tawa lega hingga air mata terbit di sudut matanya, lalu jemari Sazor mengusapnya lenyap sebelum jatuh—dan segalanya seperti tidak bisa lebih benar lagi.
***
Menemukan sahabatnya dalam versi dunia di mana dia hidup tidak serta-merta membuat mimpi buruk Fras berhenti. Gadis itu tetap tidak bisa tidur melebihi waktu dini hari yang sepi, dingin, dan seperti sepotong waktu yang beku. Maka dia tetap melakukan apa yang biasanya dia lakukan untuk tidak jatuh depresi. Dirapikannya selimut dan tempat tidur, lalu digulungnya lengan baju selagi beranjak ke kabinet dapur dan mulai menyiapkan sarapan.
Terlalu pagi, barangkali. Tapi memegang pisau selalu menenangkannya, mengingatkannya dengan agak ironis pada hari-hari di mana dia membuktikan kelihaiannya mempertahankan nyawa demi bersuara. Irama ritmis pisau ketika memotong bahan masakan di talenan kayu juga membuatnya fokus. Asap harum beraroma rempah yang beradu dengan hawa dingin dini hari dari ruas ventilasi pun membuatnya bernostalgia dengan markas lama anak-anak muda penggerak massa sepertinya; jadwal makan yang ganjil karena misi-misi mereka yang harus berakrobat menghindari gonggongan anjing-anjing diktator.
Di versi dunianya, mereka semua mati, tentu saja.
Tidak sekaligus, tidak pula dengan rentang waktu yang mirip sehingga terasa seperti daftar tugas malaikat maut yang praktis, dan karena itulah satu demi satu kematian mereka terasa begitu alami, juga keji—seperti harga untuk selangkah demi selangkah mendekati kemenangan.
Kemudian harga terakhir dibayarkan oleh Sazor.
Setidaknya begitulah baginya. Fras sudah mendengar bagaimana versi Sazor. Kematiannya. Mutilasi dirinya hingga muat dimampatkan dalam kotak sepatu, dan bagaimana kekejian itu mengirimkan gelombang muak yang mendorong semua orang kompak berteriak, “Cukup, cukup sudah.” lalu mereka benar-benar mendobrak tirani kebisuan sang diktator.
Fras bisa menyimpulkan satu hal. Di dunia mana pun itu, harga terakhir selalu yang termahal.
“Wah, kau biasa memasak di pagi buta?”
Suara Sazor yang parau sebab baru bangun tidur membuat Fras menoleh. Setiap engsel pintu di rumah tua ini selalu menyuarakan keriut nyaring bila dibuka dan ditutup, kekurangan kecil yang tidak begitu sial untuk sebuah rumah di pinggir terjauh kota yang mereka sewa dengan harga murah.
Fakta bahwa Fras tidak mendengar apa-apa memperingatkan bahwa dia sudah terlalu larut dalam lamunan.
“Kebiasaan lama pascatrauma,” jawab Fras jujur dengan nada canda, karena itu sudah tidak penting lagi. “Aku membangunkanmu?”
Sazor menggeret kursi ke dekat kabinet dapur dan duduk dengan arah terbalik, lengannya menyilang di atas punggung kursi dan sisi kepalanya bertumpu di sana, sehingga wajahnya menghadap ke arah sang sahabat.
“Bukan masalah,” katanya sambil mengamati uap yang membumbung. “Kau sudah selesai?”
“Sedikit lagi.” Fras menutup panci. Dia beralih pada wajan datar dan baskom adonan panekuk. “Tunggu saja di sofa ruang tamu, di situ lebih empuk. Tenang, akan kubangunkan kau begitu selesai.”
“Bukan, bukan.” Sazor menguap dan menutupnya di balik telapak. “Maukah kau mengajariku memasak? Aku selalu berpikir betapa praktisnya kalau aku bisa mencacah trauma di kepalaku dan melahapnya. Ya ... seharusnya dulu aku bertanya lebih cepat.”
Fras menggeleng-geleng. “Kau juga tidak bisa memasak?” gelaknya tidak habis pikir. “Dari semua hal yang bisa menjadi persamaan persismu dengan Sazor dari duniaku, itu adalah payahnya kalian di dapur?”
Meski begitu, Fras dengan senang hati memasangkan celemek usang dari lemari dapur padanya. Sazor mengerjap, bertanya, “Kenapa tidak kau saja yang pakai, Master?”
“Menurutmu, di antara kau dan Master ini, siapa yang lebih mungkin membuat kekacauan?”
“Oh. Aku.”
“Pintar,” kata Fras, lalu menyerahkan sendok pengaduk. “Nah, salah satu hal penting dalam memasak adalah kemampuanmu untuk fokus mengerjakan beberapa hal sekaligus. Aduk adonannya, pelan-pelan, sambil ceritakan apa saja perbedaanku dengan Fras dari duniamu.”
Sazor menyanggupi. “Hmm,” gumamnya. “Ah. Begitu rambutnya cukup panjang, dia selalu mengepangnya. Tidak begitu lama, itu saat-saaat sebelum dia menghilang. Aku ingat karena ada kepangan rapi rambutnya di dalam kotak sepatu ... .”
“Tidak bisakah kau menjawab dengan sesuatu yang tidak terlalu membuat depresi?”
“Maaf, Master.” Sazor bergeser mengikuti Fras ke depan kompor. “Oh. Luka di matamu.”
“Kalau itu, aku sudah menduga. Ini kudapatkan dalam petualanganku melintasi dunia-dunia.”
“Fras yang itu juga tidak punya selera satire setajam Fras yang ini.”
“Ha-ha.”
Sazor mengamati wajan penggangan yang mendesis saat dia menuang sesendok adonan dan Fras membimbingnya untuk meratakan adonan itu ke sekujur permukaan berlapis mentega. “Fras, boleh aku bertanya?”
“Boleh, kalau kau bisa membalik panekuk itu dalam percobaan pertama.”
Dengan keajaiban entah apa, pemuda itu benar-benar sukses membalik adonan sesuai aba-aba Fras dalam sekali coba, yang juga sukses membuat Fras menepuk dahi. “Demi dunia-dunia. Sazor yang ini juga punya keberuntungan mematikan.”
Sazor tertawa sebelum bertanya, “Jadi, bagaimana aku mati di duniamu?”
Fras terdiam. Panekuk masih belum matang. “Di dekapan lenganku,” jawabnya.
Sazor ikut terdiam. Meringis saat membayangkan dan menyambungkannya sebagai alasan sangat masuk akal untuk frekuensi rutin mimpi buruk Fras yang dia sadari sejak mengikuti gadis itu menyebrangi dunia demi dunia, mencari di mana mereka bisa hidup bersama tanpa terlalu mengganggu tatanan semesta. Sejauh ini, mereka masih mencari.
“Itu... .”
“Dramatis sekali, bukan? Aku tahu.” Fras tertawa, mengoper piring sebagai wadah panekuk pertama. “Di duniaku, kau mati karena menyelamatkanku. Perangkap dan penyergapan. Aku yang bersikeras untuk membebaskan sandera-sandera, berpikir bahwa itulah pengecualian di mana sang diktator tak akan mengingkari perjanjian. Aku salah. Para sandera dipenggal di hadapan kita, tembakan menghujan ... kau mendorongku supaya sempat berlindung ... ledakan dari sinyal yang kukirimkan sebagai pertanda misi gagal ... anjing-anjing mati, kau tak terkena ledakan—oh, keberuntungan sialanmu—tapi sekujur tubuhmu sudah penuh lubang, dan aku menemani detik-detik kematian itu.”
Itulah, yang selalu tertuang dan terulang di setiap mimpi buruknya. Tembakan, ledakan, kegagalan, seganjal perasaan pahit bahwa kematian Sazor mungkin adalah salahnya. Fras juga tahu, seandainya dia mengutarakan keresahan itu pada Sazor yang sekarang sedang berjuang dengan panekuk keempatnya, dia akan menyanggah—
“Fras, kematianku di dunia itu bukan salahmu.”
Fras tertegun, lalu mendengkus geli. Ternyata dia bahkan tidak perlu mengatakannya.
“Fras?”
“Hm?”
“Apa yang mereka minta sebagai harga?”
Fras tidak berhenti menuangkan sup ke dalam mangkuk. Kompor dimatikan, piring yang penuh dengan panekuk diletakkan Sazor di tengah meja makan. Piring kedua disiapkan oleh Fras; dia membagi menara enam lembar panekuk menjadi dua porsi, sekaligus menuangkan sirup dan menaburkan buah-buah beri. Sazor menggantungkan celemek dan menggeret balik kursinya ke meja makan.
Mereka duduk.
“Kau membuat kontrak dengan para pemintal jaring dunia fana.” Sazor meraih tangan Fras dari seberang meja, merentangkan jari-jemarinya. “Lihat, akar kukumu bersepuh perak. Ya, aku sadar. Ternyata legenda-legenda magis itu benar.”
“Lantas?”
Sazor menyelami tatapan Fras. “Tak ada untungnya bagi dewa-dewi membantu seorang manusia melompati batas-batas dunia demi mencari versi realitas di mana sahabatnya masih hidup. Pasti ada harganya. Apa?”
Fras mengembuskan napas. Dia tidak bisa tidak berterus terang pada sahabatnya, sang sahabat sendiri pun paham betul. “Benar, tidak ada sedikit pun konflik dunia manusia yang memengaruhi dewa-dewi secara langsung. Mereka turun tangan kalau ingin, dan seringnya sebab kalah taruhan di antara sesamanya. Permohonanku setara permainan di waktu luang bagi mereka, jadi aku harus meyakinkan mereka bahwa permainanku cukup menarik.”
Sazor mendesak, “Dengan cara?”
“Di dunia di mana kau mati, Sazor, kau meninggalkan kata-kata terakhir. Itulah koin taruhan yang kusampaikan kepada dewa-dewi, makhluk kahyangan yang secara alami terpikat pada tragedi.”
Kata-kata terakhir?
“Kata-kata terakhirmu adalah—“
“Aku pulang.”
Sazor melengkapinya. Suara yang persis sama, meski dilatarbelakangi nada dan situasi yang jauh berbeda—tetapi itu mengirimkan gema yang jauh, memantul hingga ke momen maut lima tahun silam dalam benak Fras.
“Benar, itu dia. Dewa-dewi menyadari besarnya taruhanku dan memutuskan bahwa aku layak diberi kesempatan untuk mati sebagai tontonan, mungkin. Jadi, aku diminta membuat satu sumpah yang pantang patah.”
Sazor tercekat. Firasat buruk mengiris-iris dirinya, tapi kemudian jemari Fras di tangannya balas menggenggam, mengusap-usap perlahan dan menenangkan dan semudah itulah Sazor bisa bernapas dengan baik.
Fras tersenyum.
“Aku bersumpah untuk tidak pernah menyerah,” katanya. “Entah seberapa lama dan jauhnya, bahkan hingga akhir waktu—aku bersumpah untuk menemukanmu di suatu dunia.”
Itu ... sumpah yang berat, nekat, dan amat sangat khas seorang Fras.
“Dan kau berhasil.” Sazor tak habis pikir, air mata mulai berjatuhan dengan sendirinya—dia gemetar oleh isak dan derai tawa ironis yang sekali ini mungkin sedikit manis oleh haru. “Kau berhasil, Fras. Kau sudah menemukanku ... .”
Fras tertawa, menyodorkan sapu tangan. “Ya. Semua sudah baik-baik saja.”
Di sebuah dunia asing yang tak mengenal Fras dan Sazor, baik dalam versi bertahan hidup maupun mati terlupakan, keduanya pulang pada satu sama lain dalam perjalanan panjang mencari persinggahan terbaik.
***
Itu bahkan bukan negeri mereka.
Di dunia satu ini, negeri kelahiran mereka tidak ada, sketsa petanya benar-benar berbeda—tetapi rupa-rupanya ketidakadilan dan keserakahan di antara umat manusia tetap setia ada di mana-mana, meski beragam wujudnya.
Dan tak satu pun di antara Fras dan Sazor ingin menutup mata dari sebuah tragedi lain.
“Jadi, ini bukan salahmu,” kata Fras, begitu didengarnya Sazor menahan napas untuk berkata. Tentu saja gadis itu tak akan membiarkannya mengucapkan penyesalan sedangkal itu di saat-saat terakhir mereka. “Aku sepenuhnya merasakan emosi campur aduk yang sama denganmu. Seandainya bukan kau yang berkata duluan bahwa kita akan membantu para pemberontak itu, akulah yang akan mengatakannya.”
“Teruslah bicara,” balas Sazor, sebelah tangannya menekan pendarahan di sisi tubuh. Luka yang belum lama menutup dan kini kembali terbuka dan lebih parah, sebab tidak semua dunia yang mereka coba jadikan sebagai rumah bersifat ramah. “Tetaplah sadar. Bertahanlah, Fras. Bantuan akan datang.”
Fras menggeleng, dan karena gerakan itu merasakan lengketnya darah di pelipis yang mulai mengental di lekuk telinga. “Tidak, kau tahu tidak akan ada yang datang. Musuh sudah meretas jaringan komunikasi yang diandalkan para pemberontak. Rakha lengah, dia terlalu lelah. Mungkin ini bisa menjadi pelajaran agar dia mau memercayai satu orang saja untuk menjadi tangan kanannya.”
Geraman rendah terdengar dari balik rapatan rahang Sazor. Pemuda itu berjuang menarik dirinya dari puing-puing, menyeret tubuh dengan kedua lengan melintasi reruntuhan tembok, pecahan kaca, serpihan pasir dan tanah berdebu darah. “Kalau begitu, aku akan mengirimkan sinyal secara manual.”
“Tidak mungkin ada perangkat komunikasi yang bertahan dari ledakan barusan, Sazor.”
“Kau tidak tahu pasti,” sahutnya parau, “sebelum mencari—“
Melewati gemeretak sepotong puing, tangan Fras berhasil menggapai dan mencengkeram lengan Sazor. Tidak terlalu kuat, tetapi cukup untuk membuat pemuda itu menghentikan kalapnya.
“Fras,” panggil Sazor, membalas senyum tipis itu. “Kita tidak boleh menyerah.”
“Kita bisa.” Fras meraba kulit koyak berhias serpihan kayu sahabatnya. “Sekarang sudah tidak apa-apa,” bisiknya meyakinkan, sungguh-sungguh. “Aku sudah menemukanmu, ingat? Kita sudah pulang kepada satu sama lain.”
“Tapi kita belum menemukan dunia yang—“
Sazor terbatuk, berdeguk. Darah meleleh di sudut-sudut mulutnya.
“Sazor.”
“Tidak, tidak.” Suaranya pecah. Pemuda itu luluh lantak. “Belum. Kau belum benar-benar pulang ke mana pun. Sudah berapa lama sejak saat itu, Fras? Sepuluh, lima belas tahun—mayatmu di dalam kotak sepatu masih menghantuiku. Bukan karena apa-apa selain karena di situ kau bisu, sehingga aku tidak bsia mendengarkan kata-kata terakhirmu selain dari rekaman terkutuk itu ... .”
“Rekaman?”
Sazor belum pernah menceritakan bagian itu.
“Ada alasannya mengapa orang-orang begitu murka setelah kematianmu,” bisiknya. “Kau tidak sekadar diculik dan dibunuh. Kau disika, Fras. Kau yang di dunia mana pun tetaplah seorang pejuang bertekad baja. Sang diktator sendiri yang menginterogasimu. Tentang mengapa kau bisu terhadap setiap pertanyaan tentang gerakan aktivis di sepanjang sesi, mengapa kau sudi menempuh rasa sakit sebanyak itu hingga sekarat dan mati sebentar lagi ... dan itulah satu-satunya pertanyaan yang kau jawab.”
Fras menunggu. “Apa jawabanku?”
“Bahwa semua itu demi rumah.” Sazor terisak. “Rumah di dalam diri seseorang, sepertimu, sebagai satu-satunya tempat pulang. Lalu maniak itu mengambil alih meja operasi ... dia membuka rongga rusukmu hingga menganga ... menceracau, menertawai omong kosong rumah yang kau bilang ada di dalam diri ... .”
Rasa karat di dalam mulut Sazor bercampur dengan rasa asam dan pahit mendadak. Sontak, dia berpaling, terbatuk dan muntah, tepukan ritmis Fras di pundaknya berusaha membantu. Sazor menutup dengan, “Itulah bagaimana kau mati kehabisan darah, itulah mengapa tulang-tulang rusukmu patah dan disusun rapi di dalam kardus—dan itulah mengapa aku tidak boleh membiarkanmu mati dengan tidak pantas sekali lagi.”
“Sazor—“
“Kau belum pulang ke mana-mana,” potongnya, berteriak tertahan. “Kau masih harus mencari. Aku masih harus membantumu menemukannya.”
Fras menatapnya lurus-lurus. “Sazor,” panggilnya lagi. “Aku sudah pulang. Sejak hari aku menemukanmu yang hidup, aku sudah menemukan satu-satunya rumahku.”
Sazor terbatuk-batuk. Lebih banyak darah dan air mata. Jemarinya gemetar terlalu hebat saat berusaha menyeka sekali lagi air mata serupa di wajah sahabatnya. “Tapi sekarang ... kau ... kau dan aku akan mati di sini—“
“Dan kali ini, bersama-sama,” sahut Fras. “Sungguh, tidak apa-apa, Sazor.”
“Kau ... menyerah?”
Fras kian melemah, meski senyumnya melebar. “Aku puas,” jawabnya. “Aku tahu aku sudah memberikan perjuangan terbaik, dan inilah hasil terbaik yang bisa kudapatkan.”
Akhirnya, perlahan tapi pasti, Sazor mendapatkan irama napasnya kembali. Akhirnya, dialah yang menyerah, dan pasrah—karena tak ada satu pun kemungkinan di semua dunia di mana dirinya tidak bisa diyakinkan oleh Fras.
“Mungkin,” gumam Fras berandai-andai, “mungkin di suatu garis waktu lain, ada Fras dan Sazor yang berhasil bertahan hidup ... jauh, jauh lebih lama, dan mungkin mereka bisa pulang ke rumah yang lebih baik dari kita.”
Sazor melihat gambaran itu juga. Setelah melalui sekian banyaknya dunia, sulit untuk berpikir bahwa kemungkinan itu nihil dan mustahil. “Mungkin,” katanya menyetujui.
Namun, untuk Fras dan Sazor ini, di sinilah mereka berpulang. []
—FIN.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
