
.
Pukul sebelas malam di jalanan Lembang, segala yang hangat telah menguap, menyisakan kabut tipis dan langit pekat yang bertabur bintang. Lampu-lampu jalan memantul redup di aspal lembap, berpendar bagai kunang-kunang tua yang kelelahan.
Di garis tak resmi itu, Alrick duduk tenang di atas Kawasaki ZX6R hitam, seperti raja jalanan tengah malam. suara mesinnya menggeram perlahan.
Di samping Alrick, Elias menggenggam stang Yamaha R6 merah yang bergetar gelisah, seolah motor itu pun tahu pemiliknya haus kemenangan. Empat motor lain yang serupa dengan warna yang berbeda berjajar dan berbagi napas yang sama: ketegangan. Seperti kuda liar yang mencium bau pertarungan.
Seorang pemuda berpakaian kasual melangkah ke depan jajaran motor. Ia kemudian mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi, sedangkan tangan kirinya menempelkan peluit ke bibir.
"Ready... GO!"
Raungan mesin meledak seperti petir yang menukik ke bumi.
Keenam motor melesat, membelah kabut dan dingin yang menggantung. Suara penonton, meskipun hanya segelintir, terdengar menyayat udara, lalu tenggelam ditelan deru roda.
Mereka menuruni Jalan Lembang menuju Maribaya. Ban menggesek kasar aspal yang lembap. Angin malam menghantam wajah, menyusup ke balik helm, mencambuk kulit dan menyisakan rasa seperti luka beku.
Di tikungan tajam dekat Kebun Begonia, Alrick menukik, tubuhnya seolah menjadi perpanjangan dari motornya sendiri—satu napas, satu gerak.
Elias mengekor di belakang Alrick. Roda belakang motornya sempat liar. Ia hampir saja kehilangan kendali dan pijakan.
Bibir Alrick tersungging di balik helm dan balaclava. Jantungnya berdetak kencang dan nyaring, bersaing dengan lolongan panjang mesin.
Dunianya menyempit. Tak ada lagi gelisah, resah, ataupun sunyi yang memekakkan telinganya. Kini di pikirannya, hanya ada tikungan, kabut, dan lampu-lampu jalanan yang mengebut maut dan meledakkan adrenalinnya.
Lalu, tiba-tiba saja, kilatan biru menerjang. Suara sirene kemudian meraung, tajam membelah malam.
Seorang pebalap berteriak, "Polisi!" sebelum akhirnya melarikan diri.
Dua motor patroli muncul di dekat Warung Sate Lembang, lampunya berkedip liar seperti mata elang yang enggan kehilangan buruan.
Alrick hanya melihat sekilas—lalu instingnya mengambil alih. Ia menarik gas dan menukik ke jalan kecil nyaris tak terlihat, jalur alternatif menuju Curug Maribaya.
Jalan pelariannya ini sempit, berbatu, dan gelap, tapi ia telah cukup sering melaluinya hingga nyaris hafal setiap lubangnya.
Elias mengikuti, ban belakangnya sempat melintir di pasir basah. Dua motor lain pun ikut membelok membuntuti Alrick dan Elias.
Dari belakang, terdengar deru sirene yang kian dekat, bertepatan dengan suara mesin motor yang mulai padam.
Alrick paham, seseorang tertangkap. Ia kemudian mengencangkan laju motor dan tak menoleh ke belakang hingga suara sirene sayup-sayup pun mulai pudar.
Alrick dan Elias terus melaju dalam bayang-bayang hutan, di antara pohon-pohon tinggi yang gemetar diterpa angin malam. Jalanan kini menurun dan licin oleh pasir dan daun gugur. Motor Alrick dan Elias memantul, mengguncang badan, tapi mereka tak melambatkan laju mesin.
Hampir lima belas menit kemudian, keduanya akhirnya keluar dari jalanan terjal itu ke jalan kecil dekat Maribaya. Jalanan itu sepi dan tua, hanya diterangi satu dua lampu jalan yang redup, seperti mata tua renta yang hampir terlelap.
Di sana, sebuah warung berdiri di tepi jalan—sederhana, beratap seng, lampu bohlam kuning menggantung dan bergoyang perlahan. Aroma jahe dan gorengan mengambang pelan dan hangat.
Alrick menghampiri warung tersebut, lalu mematikan mesin, membuka helm dan melepaskan balaclava yang dikenakannya. Rambut hitamnya lepek oleh keringat dingin, matanya tajam, tapi senyum kecil muncul di ujung bibir—senyum puas, atau barangkali lega.
Elias tertawa pendek, masih terengah, lalu meletakkan helmnya di jok belakang.
"Gila lo, Rick," gumamnya sambil mengatur napas. "Padahal lo tinggal menunjukkan golden card aja seperti biasa. Nggak perlu kebut-kebutan kayak barusan."
Golden card. Kartu emas keluarga Lesmana—yang diserahkan Pak Wahidin sesaat sebelum Alrick berangkat tadi merupakan perpanjangan dari pesan kakeknya.
"Kalau kamu tak bisa berhenti, setidaknya tetaplah selamat."
Kartu itu dibuat sang kakek tiga tahun yang lalu, setelah ia mengetahui hobi berbahaya cucu satu-satunya itu.
Hanya segelintir orang yang mengetahuinya; golden card bukanlah sekadar privilege, melainkan kekebalan.
Petugas di area Bandung Raya—atas pengaturan khusus sang kakek—akan mengenali bentuk dan makna kartu yang diperbaharui setiap satu tahun sekali itu.
Alrick cukup menunjukkan golden card pada siapapun petugas yang berwenang, dan voila, jalannya untuk melarikan diri pun terbuka. Petugas dari instansi manapun akan meloloskannya tanpa banyak tanya maupun bicara.
Alrick hanya terkekeh. "Nggak seru kalau langsung pakai kartu," katanya singkat. "Nggak ada adrenalinnya."
Alrick hanya menyimpan golden card untuk saat-saat terakhir ketika ia tak bisa melarikan diri sendiri. Seperti malam itu, beberapa bulan lalu, ketika dua petugas polisi berhasil menghentikannya dan meminta kartu pengenalnya setelah kebut-kebutan di Pasupati. Alrick kemudian mengeluarkan kartu itu tanpa turun dari motornya maupun membuka helmnya—dan tanpa sepatah kata, kedua petugas itu pun mundur.
Alrick dan Elias melangkah masuk ke warung reyot beratap seng itu. Angin malam meniup lampu bohlam kuning yang tergantung rendah, bergoyang pelan. Mereka kemudian duduk di atas bangku kayu panjang yang agak goyah.
Di luar warung, pemiliknya tengah membakar jagung di atas bara merah yang memercik.
"Palay naon, A?" tanya si bapak sambil berjalan menghampiri.
(Mau pesan apa, Kak?)
"Bandrek. Dua," jawab Alrick singkat.
"Gorengan haneut keneh, Pak ieu?" Elias menimpali.
(Gorengan ini masih hangat, Pak?)
"Muhun, atuh A. Nembe diangkat pisan. Jagong oge itu acan aya nu gaduh."
(Sudah tentu, Kak. Baru banget diangkat. Jagung juga itu belum ada yang punya.)
"Abdi bade, Pak. Jagong hiji, rada lada, sareng gorenganna oge."
(Saya mau, Pak. Jagung bakar satu, agak pedas, dan gorengannya juga.)
Si bapak mengangguk, lalu menyerahkan piring kaca pada Elias untuk wadah gorengan. Kemudian, ia berbalik menyiapkan bandrek; mengisi masing-masing gelas dengan satu sendok daging kelapa, lalu menuangkan air bandrek panas yang mengepul.
"Mangga, A," ucapnya hangat, meletakkan dua gelas di hadapan mereka.
(Silakan, Kak.)
"Nggak makan lo?" Elias mengangkat satu bala-bala.
Alrick menggeleng.
"Demi otot kebanggaan lo ini ya?" Elias menyeringai, mencubit lengan Alrick yang ramping tapi keras.
Alrick hanya berdecak kemudian menepis tangan sahabatnya itu.
Elias mulai makan dengan lahap. Bala-bala, tempe, gehu menghilang satu per satu dari piringnya, yang kemudian dengan cepat diisinya kembali.
"Gimana si Annisa?" tanyanya sambil mengunyah. "By the way ini bala-bala enak banget, Rick. Renyah tetapi lembut di dalam. Gurihnya juga pas."
"Nggak gimana-gimana," jawab Alrick singkat.
Elias mendekatkan tubuhnya, suaranya lebih pelan namun menggoda, "Susah, ya?"
Alrick menyesap bandrek sebelum menjawab, "Annisa bukan lawan yang gampang. Namun justru itu yang menarik."
Elias tertawa, lalu menahan diri untuk tidak tersedak saat menggigit cabai rawit hijau.
"Lo masih percaya diri bisa mendapatkan dia?"
"Jangan panggil gue Alrick Davian Lesmana kalau gue nggak bisa meluluhkan hati Annisa."
Elias mengangguk-angguk, menerima kepercayaan diri sahabatnya itu. "Strategi lo?"
"Besok kelas perdana Urban Farming. Sepertinya dia belum tahu kalau gue akan jadi teman sekelasnya. Untuk teknisnya ... improvisasi aja. Kayak biasa."
"Semoga taruhan ini menang lagi, Rick."
"Bukan semoga," bantah Alrick. " Pasti."
Elias terkekeh puas, sebelum tatapannya beralih ke jagung bakar yang baru datang.
Alrick bangkit dari duduknya, "Gue jalan duluan, Yas."
"Nggak nungguin gue?" tanyanya sambil meniup-niup jagung bakarnya.
"Lo masih lama," dagu Alrick menunjuk jagung bakar Elias.
Elias menatap jagung bakar yang mengepul hangat dan wangi itu dengan tatapan sedih. "Pak, punten. Jagongna dibungkus we." ucapnya pada si bapak pemilik warung.
(Pak, maaf, jagung bakarnya dibungkus saja.)
"Mangga, A," jawab si bapak seraya mengambil jagung bakar milik Elias dan mulai membungkusnya.
"Janten sabaraha sadayana, Pak?" tanya Alrick sambil merogoh uang di saku jaketnya. Ada beberapa lembar uang ratusan ribu dan kartu debitnya.
"Bandrek dua janten sabelas rebu. Gorengan genep nya a? Salapan rebu eun. Teras jagong bakar ieu sapuluh rebu. Sadayana janten tilu puluh rebu."
(Dua bandrek jadi sebelas ribu. Gorengannya enam buah ya Kak? Jadi sembilan ribu. Lalu jagung bakarnya sepuluh ribu. Semuanya jadi tiga puluh ribu.)
Alrick mengeluarkan selembar seratus ribu dan meletakkannya di meja.
"Candak wangsulana, Pak. Mangga," pamit Alrick lalu berjalan ke arah motornya.
(Ambil saja pak kembaliannya. Mari.)
Elias membuntuti Alrick dengan langkah terburu-buru. "Besar amat tips lo," komentarnya setelah mereka tiba di motor
"Anggap aja sama bayar parkir," jawab Alrick enteng lalu mulai memasang balaclava di kepalanya.
"Saran gue, Rick, kalau ke orang kayak mereka, lo seperlunya aja. Kalau lo terlalu baik, mereka tuh bakal ngelunjak dan nggak tahu terima kasih," Elias berbicara sambil mengenakan helmnya.
Alrick mendengus pelan di balik helm yang kini telah terpasang di kepalanya. Ia menyalakan mesin motornya dengan kasar, kemudian berkata, "Udah Yas, yok balik," tukasnya.
Tak lama, deru motornya mengoyak keheningan malam, melaju di jalanan yang mulai lengang.
Bandung tengah malam menyimpan dingin dan sunyi yang khas, seolah kota itu sendiri tengah menarik napas panjang sebelum pagi datang. Lampu-lampu jalan mengguratkan bayangan panjang di aspal.
Angin malam menyentuh wajahnya lewat celah helm dan pori-pori kain penutup wajahnya, membawa aroma tanah dan dedaunan basah.
Alrick menunduk sedikit, matanya menatap lurus ke depan—wajahnya tersembunyi dalam gelapnya helm dan pekatnya malam, tapi pikirannya penuh gema. Entah tentang taruhan, Annisa, atau tentang keluarga dan rumahnya yang tak pernah benar-benar utuh dan nyata.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
