
Who is he?
Setelah berkali-kali gagal menjalani upaya pencarian jodoh, kali ini aku pasrah. Berusaha meyakini bahwa orang tua pasti memilihkan yang terbaik untuk anaknya. Apalagi Ibu dan Ayah, mereka pasti mau putri sulungnya ini dijaga oleh laki-laki yang tepat. Seperti halnya ketika Ibu dan Ayah memberikan restu pada lelaki yang meminang Fea, adikku.
Empat kali berusaha mencari jodoh memakai jalur mandiri nyatanya belum berhasil. Barangkali, lewat jalur ibu bisa sukses. Aku mengawali pengalaman buruk pencarian jodoh lewat media sosial dua tahun lalu. Bermodal ponsel dan foto-foto yang dibagikan di media sosial, aku memutuskan berkencan dengan seorang laki-laki yang media sosialnya tampak menarik. Tapi, dunia fana dan nyata memang berbeda. Oh, bukan karena tampangnya berbeda. Bukan. Dia tetap setampan foto-fotonya. Tapi, dia merokok. Saat itu juga aku memasukkan dia dalam blacklist kandidat calon suami.
Kandidat kedua melalui jalur teman kerja. Seperti tempat kerja pada umumnya, jika ada pegawai yang masih single, tentu pegawai senior akan dengan sukarela mencarikan kandidat pasangan. Seakan pekerjaan mereka di kantor tiba-tiba menghilang begitu saja sampai mereka punya begitu banyak waktu untuk menjadi mak comblang.
"Alya, aku punya kenalan nih anak pesantren."
"Ini ganteng banget Ly, kayak Reza Rahadian!"
"Dek Alya, ini anak temen saya, lulusan universitas di Jepang."
"Ly, yang ini super kaya. Kamu tinggal ongkang-ongkang kaki, anak cucumu bakal tetap makmur sampai seratus turunan!"
Dari sekian pilihan yang diberikan, aku memutuskan untuk berkencan dengan lelaki yang dikenalkan oleh teman satu divisiku. Tentu saja setelah kupastikan bahwa lelaki itu tidak merokok. Pendekatan kami dimulai dengan bertukar pesan dilanjutkan beberapa pertemuan yang singkat tapi menyenangkan.
Sekitar tiga bulan kami melakukan pendekatan, berakhir aku yang mundur perlahan karena tidak tahan dengan perlakuan teman-teman kantor. Seperti tempat kerja pada umumnya, ketika ada satu orang sedang dicomblangi, berita dengan cepat beredar keseluruh pegawai seperti virus. Mereka terlalu ikut campur, kepo berlebihan membuatku seakan sedang mengikuti ajang pencarian jodoh di televisi. Memuakkan sekali. Mencari pasangan nyatanya bukan hanya tentang seorang laki-laki dan perempuan. Tapi juga tentang segala hal yang ada di sekitarnya. Keluarganya, teman-temannya, pekerjaannya dan banyak hal lain yang berpengaruh selama prosesnya.
Kandidat yang ketiga aku dapatkan saat mengikuti seminar kesehatan lingkungan. Dia adalah panitia dan aku perwakilan kantor menjadi peserta. Dari semua kandidat, cowok ini mendekati sempurna. Pekerjaan bagus, tampang oke banget, perilakunya juga baik. Akan jadi sempurna kalau cowok ini tidak alay saat mengirimkan pesan. Sering sekali aku tidak mengerti dengan isi pesannya karena cara dia mengetik sangat aneh bagiku. Pesan-pesan gombal bertebaran dari pagi hingga malam, dia juga tidak pernah absen bertanya soal makan.
Sayang udah sarapan?
Makan siang jangan sampai telat ya, honey
Udah jam segini, udah makan malem kan?
Aku merasa seperti balita. Baiklah, sesekali boleh bertanya tentang makan. Tapi jika setiap hari, muak sekali. Bahkan tanpa dia suruh, tanpa dia tanya, kalau lapar pasti aku akan makan kok. Mendapatkan pesan begitu sepanjang hari, rasanya aku ingin menjadikan dia lauk makanku dari pagi sampai malam.
Ada hal-hal sepele yang sulit sekali untuk ditolerir. Barangkali memang aku egois. Tapi aku selama ini memegang prinsip : lebih baik gagal di proses, daripada gagal di pernikahan. Seperti yang sering digaungkan oleh Kurniawan Gunadi, penulis salah satu buku yang Ayah punya dan buku itu pernah kubaca hingga selesai. Tidak akan aku menikah hanya karena usia yang sudah masuk seperempat abad atau hanya karena perkataan-perkataan tetangga yang menyuruh segera menikah. Aku yang akan menjalani pernikahanku dan aku yang akan menanggung segala risikonya. Jika hanya mengikuti tren, perkataan tetangga atau hanya khawatir mengenai usia, aku lebih khawatir pada konsekuensi atas keputusan yang kuambil tanpa kesadaran yang utuh.
Setelah tragedi pagi yang mengejutkan di ruang tamu, aku meminta Ibu dan Ayah untuk merahasiakan calon suamiku. Hal itu kulakukan agar tidak goyah atas keputusan yang aku ambil. Jika goyah, aku khawatir tidak siap dengan konsekuensinya. Ayah dan Ibu berharap aku lekas menikah, bukan karena adikku sudah menikah. Bukan pula karena takut putri sulungnya jadi perawan tua. Mereka juga tidak peduli dengan tetangga yang terus memprovokasi.
Suatu pagi ayah lebih memilih menemaniku duduk di teras belakang dibanding melakukan rutinitas pagi kesukaannya. Setelah kami terjebak dalam keheningan beberapa menit, Ayah memulai pembicaraan.
“Alya mau tahu alasan Ayah dan Ibu minta Alya segera menikah?” Tanya Ayah. Aku selalu suka mengobrol berdua dengan Ayah seperti ini. Tidak hanya karena obrolan-obrolan yang menyenangkan, tapi juga rasanya tidak ada lagi laki-laki lain yang kubutuhkan selain Ayah. Hidupku sebenarnya sudah lengkap sekali. Utuh.
Aku menggeleng. Untuk apa penasaran alasannya? Ketika semua yang dilakukan Ayah dan Ibu selama seperempat abad aku hidup selalu yang terbaik. Untuk apa mengejar jawaban yang tidak akan mengubah apapun mengenai keputusanku.
“Tapi Ayah mau kasih tahu. Biar kalau nanti Alya ditanya sama suami Alya, bisa jawab.”
“Alya dengerin, Yah.” Jawabku sambil terkekeh kecil.
“Tanggung jawab terakhir Ayah dan Ibu terhadap kamu itu mengantarkan kepada lelaki yang tepat. Yang mampu mengambil kepercayaan kami untuk melepaskan putri kecil kami yang ternyata sekarang sudah gadis.” Ayah mengacak rambutku, membuatku manyun.
“Kami khawatir, umur kami tidak sampai, Ly. Apalagi kami juga sudah menemukan lelaki yang cocok untuk kamu. Maaf ya kalau terkesan egois.” Ucap Ayah tegas tapi penuh kasih sayang.
“Alya juga enggak bakal sanggup kalau di pernikahan Alya tanpa Ayah dan Ibu. Makanya Alya ambil keputusan ini. Alya yakin, Ayah dan Ibu, terutama Ibu … pasti sudah menjadi tim penilai yang unggul demi mendapat menantu yang cocok untuk putri kalian.” Jelasku.
Lalu sampailah hari ini. Lamaran. Setelah persiapan yang cukup memusingkan selama sebulan, akhirnya dekorasi bernuansa biru muda sudah tertata apik di halaman belakang yang cukup luas. Backdrop kain filamen putih dengan flower arrangement menghiasi sekelilingnya. Lampu-lampu kecil dipasang di beberapa sudut membuat suasana terasa lebih hangat. Belasan kursi yang sudah dihias dengan kain dan pita biru muda, berjajar membentuk dua kubu yang saling berhadapan di seberang backdrop. Ada dua kursi yang diletakkan tepat di depan backdrop, satu untukku dan satu lagi untuk lelaki rahasia itu. Aku terkekeh ketika tidak mendapati papan nama terpampang di suatu sudut. Bahkan di backdrop pun tidak ada inisial namaku.
“Cantik banget!” Teriak Fea saat melihatku tengah mematut diri di kamar.
“Feaa, berisik!” Omelku. Kebaya modern warna biru laut dengan kerah sabrina, berhias payet bunga dipadukan dengan bawahan batik cokelat memang terlihat sangat cocok denganku. Rambut panjang yang biasa kugerai, kini disanggul kecil bergaya classic chignon berhiaskan bunga baby breath putih di bagian atas. Aku juga memakai jasa Make Up Artist untuk memoles wajah. Kalung berlian yang melingkar di leherku, menjadi pelengkap dandananku.
“Kak, beneran lo belum tahu calon tunangan lo itu siapa?” Tanya Fea heboh. Aku yang tengah sibuk memakai sepatu, hanya mengangguk mendengar pertanyaan Fea.
“Sumpah?! Ih gimana sih? Aku tadi udah liat lho,” ucap Fea menggodaku. Aku meliriknya sekilas lalu melanjutkan memakai sepatu high heels.
“Ih Kak, kamu enggak kepo?! Tanya kek, orangnya gimana, ganteng apa enggak, tinggi apa pendek. Ih kok lo jadi pendiem gini, enggak asik ih. Biasanya kalau ada cowok cakep dikit lo langsung kepo.” Racau Fea membuatku pusing.
“Ibuuu, ini anak bungsu Ibu berisik banget disini, suruh bikin minum buat tamu aja nih Bu!” Teriakku mengadu pada Ibu yang ada di luar kamar, membuat Fea berdecak dan beringsut pergi.
“Sayang, udah siap? Yuk keluar. Keluarga laki-laki sudah datang.” Perintah Ibu. Ibu tampak cantik dengan kebaya bernuansa biru muda juga.
“Oh iya, oke Bu.” Setelah mematut diri di depan cermin sekali lagi, aku keluar kamar menuju tempat acara. Fea dan Ibu menggandeng tanganku. Kami berjalan pelan karena jarik yang kami pakai membuat gerakan kaki kami terbatas. Semua orang terdiam lalu menengok padaku saat aku memasuki tempat acara. Suasananya formal sekali, aku jadi merasa kikuk. Hanya suara pembawa acara yang mendominasi. Mataku langsung tertuju pada lelaki yang tergesa berdiri dari duduknya, mengenakan baju yang sama motifnya dengan jarikku. Lelaki itu tersenyum, membuatku terperanjat.
"Izam?!!"
Dari ribuan laki-laki yang ada di kabupaten ini, kenapa Izam?
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
