Spektrum Rasa - Bab 1

7
2
Deskripsi

Alya mengetahui calon suaminya tiga puluh menit sebelum lamaran. Mengejutkan sekali, dari jutaan orang yang ada di sekitarnya, lelaki itulah yang akan menjadi suami Alya.

Bagaimana Alya menjalani pernikahan yang tidak diawali dengan cinta, tapi juga tidak dimulai dengan benci?

Tidak serumit memasukkan benang dalam jarum, tapi juga tidak semudah membuka bungkus bumbu mie instan pakai gunting. Barangkali tak seindah bunga matahari yang sedang mekar, tapi juga tidak seburuk yang Alya bayangkan.

Ada tiga hal yang paling menyeramkan dalam hidupku. Pertama umur yang semakin bertambah,  kedua belum menikah dan ketiga yaitu ibuku tersayang. Ketika tiga hal itu saat ini bekerjasama menekanku, rasanya mengerikan sekali.

Aku tidak peduli dengan omongan teman ataupun tetangga yang nyinyir ''Alya udah dua puluh lima tahun kok belum menikah? Enggak keliatan punya pacar pula''. Bodo amat! Aku yang menjalani hidupku, kok mereka yang rusuh.

Barangkali aku masih akan bodo amat sampai dua tahun kedepan, kalau saja insiden tadi pagi tidak terjadi.

Tadi pagi aku baru selesai beres-beres kamar. Biasanya saat libur bekerja, seharian kuhabiskan waktu bersama teman-teman. Jalan-jalan ke tempat wisata atau sekadar berkeliling di mall melihat barang-barang lucu di toko pernak-pernik. Tidak seperti biasa, hari ini aku akan menghabiskan liburku di rumah.  

Kulihat Ayah duduk di ruang keluarga sambil membaca buku, kebiasaan Ayah yang tidak akan pernah terlewat; membaca buku. Dia sampai punya perpustakaan pribadi di rumah. Oh, tidak hanya perpustakaan pribadi, Ayah juga punya kursi baca kesayangannya. Kursi coklat super empuk yang bisa diatur sandaran punggungnya itu, jadi tujuan Ayah setiap pagi. Dengan sebuah buku di tangan, Ayah akan betah berlama-lama berada disitu. Aku heran sekaligus takjub. Karena Ayah, aku jadi berpikiran bahwa lelaki yang sedang membaca buku itu sangat tampan dan keren.

"Ayah, boros listrik ih! Itu TV nya kalau enggak ditonton, dimatiin aja." Racauku pada Ayah, menirukan omelan Ibu kalau melihat Ayah baca buku tapi menyalakan televisi.

"Sssstttt!" Dengan telunjuk di bibir, Ayah menyuruhku diam. Aku selalu suka mengisengi Ayah. Melihat ada keripik singkong menganggur di meja, aku duduk di seberang Ayah sambil menikmati keripik singkong dan memandangi Ayah yang tetap fokus membaca buku.

Televisi yang sedang menyiarkan berita naiknya harga minyak goreng di berbagai daerah, pasti merasa diabaikan. Dua orang di depan televisi sibuk masing-masing.

"Yah, diliatin terus itu lho sama anak gadis." Ucap Ibu yang datang entah darimana. Ibu mencolek pundak Ayah, membuat lelaki di hadapanku itu harus mengalihkan pandangannya dari buku dan menoleh ke Ibu.

"Eh, Bu. Duduk sini," jawab ayah lalu menggeser duduknya memberikan tempat agar Ibu bisa duduk. Masih banyak kursi kosong, tapi seperti biasa … mereka senang sekali menunjukkan kemesraan di depan anaknya--yang tidak pernah mesra-mesraan dengan cowok-- ini. Banyak pria yang berusaha mendekati, mulai dari yang hanya modal pesan-pesan gombalan sampai yang modal cincin lamaran. Tapi belum juga ada yang 'klik'. Orang-orang bilang aku cantik, sama persis seperti Ibu waktu muda.

"Ayah ganteng ya, Ly? Kamu pasti terpesona kan sama Ayah?" Dengan genit Ayah menggodaku. Aku mendengus.

"Hmm. Lumayan lah. Tapi lebih ganteng moci sih." Ledekku tak mau kalah. Moci itu hamster campbell peliharaanku.

Ayah dan Ibu tertawa. Camilanku habis, baru saja aku mau beranjak dari kursi, Ibu mencegahku.

"Ly, tolong duduk dulu sebentar ya." Suara ibu lembut tapi begitu serius. Perasaanku tidak enak. Setiap kali ibu atau ayah menyuruh anak-anaknya duduk atau berkumpul di ruang keluarga, pasti ada hal penting yang akan dibahas. Aku terpaksa mendaratkan kembali pantatku di kursi lalu menaruh toples camilan yang sudah kosong ke meja di hadapanku. Ayah juga menutup bukunya, melepas kacamata lalu menaruh keduanya di meja. Secara otomatis kami memasang mode obrolan serius.

"Alya, Kok kamu enggak pernah bawa temen laki-laki ke rumah? Apa kamu sekarang enggak punya pacar?" Tanya ibu lembut. Aku sudah paham arah pembicaraan ini.

"Enggak punya bu, kalau punya kan Alya selalu cerita sama Ibu dan Ayah." Jawabku senormal mungkin untuk menutupi keresahanku. Topik ini selalu jadi pembahasan yang menjengahkan.

"Ibu paham kalau Alya punya alasan sendiri kenapa sampai sekarang belum menikah, bahkan belum punya pacar." Ibu menjeda kalimatnya, menarik napas panjang. Beberapa detik kemudian, Ibu menengok ke Ayah memberikan tatapan minta izin. Setelah ditimpali sebuah anggukan oleh Ayah, ibu menatapku lagi.

"Ibu dan Ayah juga paham kalau Alya punya preferensi sendiri mengenai calon pendamping hidup Alya. Tapi ibu dan Ayah mohon, Alya mau coba kenalan sama anaknya temen ibu ya." Ibu mengatakannya dengan hati-hati.

"Tapi kan, bu, Alya …" Belum selesai aku bicara, Ibu memotongku.

"Kenalan dulu aja kok, pendekatan dulu satu-dua bulan. Enggak harus cocok kok, kalau nantinya enggak cocok, Alya boleh berhenti pendekatannya." Tambah Ibu buru-buru.

Aku mendengus sekali lagi. Mengambil napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Meregulasi perasaanku yang mulai berantakan.

"Alya enggak mau Bu, Yah." Jawabku. Ibu menghela napas kecewa dan hendak berdiri.

"Langsung lamaran aja. Alya enggak mau pendekatan dulu." Tambahku mantap.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Spektrum Rasa
Selanjutnya Spektrum Rasa - Bab 2
2
0
Who is he?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan