Wife or Just a Replacement? : 2

0
0
Deskripsi

Part ini gratis ya.... 

Chapter 2

 

“Sayang, mau ikut Uncle dan Aunty ke rumah sakit? Atau di sini saja bersama Nenek dan Fanny?” tanya Steve pada Tere yang berada dalam pelukan istrinya di sofa ruang tengah.

Tere menatap mata Neneknya, seolah meminta pertimbangan. Setelah mendapat persetujuan dari sang nenek, akhirnya Tere menerima tawaran Steve. “Mau, Uncle,” jawabnya sedikit serak karena habis menangis.

“Kalau begitu basuh dulu wajahmu biar matanya tidak terlihat semakin sipit.” Christy menghapus sisa air mata di pipi keponakan suaminya itu dengan setengah bercanda.

“Tunggu Tere, Aunty,” pinta Tere dan segera meluncur ke wastafel yang ada di dapur.

“Tadi Tere dapat bercerita apa, Sayang?” tanya Steve pada istrinya sambil mengambil Fanny dari pangkuan Rachel.

“Tidak jelas. Mama hanya mendengar gumaman di sela-sela isak tangisnya,” Rachel menjawab pertanyaan Steve yang ditujukan pada Christy.

Steve hanya mengangguk setelah mendapat isyarat dari istrinya. Dia meladeni Fanny berbicara tak jelas sambil menunggu Tere. “Sayang, jangan nakal sama Nenek di rumah ya. Papa dan Mama mau menjenguk Aunty kesayanganmu dulu,” ujarnya sambil menciumi pipi gembil Fanny yang sudah tertawa kegelian.

“Ayo, Aunty, Uncle, Tere sudah siap.” Tere setengah berlari menuju ruang tengah.

“Sayang, Fanny sudah diberi ASI?” tanya Steve saat Christy hendak mencium kening Fanny.

“Sudah, tadi sambil menunggumu. Jangan nakal, Sayang, Mama tidak lama.” Christy mencium pipi putrinya. “Ayo, Nak,” ajaknya pada Tere. Dia mendahului suaminya yang masih berpamitan dengan anak dan mertuanya.

Aunty, Fanny cantik seperti Aunty,” ucap Tere pada Christy yang sedang memasangkannya safety belt.

“Tentu saja, Sayang, anak perempuan pasti cantik seperti Mamanya. Sama juga dengan Tere yang cantik seperti Mommy,” Christy menanggapinya dengan lembut.

“Tere kangen Mommy. Tere tidak mau Aunty Felly jadi Mommy-nya Tere.” Tere kembali bersedih mengingat ucapan ayahnya tadi.

“Sudah, sudah, jangan nangis lagi. Nanti matanya Tere semakin tidak terlihat.” Christy mencoba mengalihkan kesedihan Tere.

“Sudah siap, Ladies?” celetuk Steve setelah memasuki mobilnya.

“Siap,” jawab Christy dan Tere serempak. Air mata Tere sudah dihapus oleh Christy dengan cepat.

Mobil yang dikemudikan oleh Steve langsung meluncur menuju tempat tujuan. Di dalam mobil obrolan tidak pernah berhenti, ada saja hal yang mereka bahas bertiga. Tere pada dasarnya anak yang cerewet dan enerjik, tapi karena dibatasi pergaulannya oleh Jonathan sehingga membuatnya menjadi sedikit lebih tertutup. Namun, kini saat bersama Steve dan Christy, dia seperti kembali menemukan sosok dirinya yang hilang. Di tengah-tengah obrolan mereka, Tere berharap suatu saat nanti dia bisa mempunyai keluarga lengkap seperti ini.

***

“Sore, Cell. Sore, Al. Bagaimana keadaan kalian?” sapa Christy setelah memasuki ruang perawatan kakak ipar dan saudara kembarnya.

“Sore juga, Chris. Aku sudah jauh lebih baik, sepertinya suamiku juga,” Cella mewakili suaminya menjawab dengan posisi menyandar pada kepala ranjang rumah sakit.

“Sendirian, Chris?” Albert bertanya setelah Christy membantu membenarkan posisi duduknya.

“Tidak, Al. Steve dan Tere juga ikut ke sini.” Christy meletakkan buah pada nakas, yang sebelumnya dia taruh di atas kursi saat membantu kakaknya duduk.

“Tere ikut ke sini? Kenapa tidak disuruh tinggal di rumah saja? Lingkungan rumah sakit kurang bagus untuk anak-anak, Chris.” Cella kurang setuju atas tindakan Christy yang membawa keponakannya ikut membesuk.

“Dia sedang dalam keadaan bad mood. Tadi bertengkar dengan ayahnya. Karena kasihan aku dan Steve mengajaknya kemari, lagi pula kamar kalian cukup steril,” Christy menjawab. “Kalian mau buah?” Dia mulai mengupas buah setelah pasangan tersebut menjawabnya dengan anggukan kepala.

“Lalu sekarang di mana mereka?” Albert bertanya karena tidak melihat saudara iparnya dan Tere.

Christy baru akan menjawab, tapi yang ditunggu-tunggu sudah membuka pintu kamar inap Albert dan Cella. “Panjang umur sekali kalian,” katanya. Dia melanjutkan kembali kegiatannya mengupas buah yang tadi terjeda.

“Hai, Al. Hai, Cell,” sapa Steve sambil tersenyum.

Albert menanggapinya dengan anggukan. “Dari mana?” tanyanya tanpa basa-basi.

“Mengantar Tere. Dia sangat ingin melihat bayi kembar kalian,” Steve menjawab sambil mengambil buah yang sudah dikupas istrinya.

“Tamu tak sopan! Jangan kasih contoh yang tidak baik, Steve,” protes Christy dengan mata melotot. Namun, Steve hanya membalasnya dengan cengiran.

“Oh ya, ayo beri salam dulu pada Aunty Cell dan Uncle Al, Sayang,” suruh Steve yang langsung dituruti Tere.

Di tengah perbincangan mereka, Cindy dan perawat masuk untuk memeriksa keadaan Cella. Sebelum Cindy datang, Albert sudah lebih dulu diperiksa oleh dokter yang menanganinya.

“Wah! Sedang ramai ternyata,” ucap Cindy saat melihat ruang rawat Cella tengah dikunjungi sahabatnya.

“Bagaimana keadaannya?” Christy mengawasi Cindy memeriksa Cella.

“Baik,” Cindy menjawab sambil tersenyum. “Cell, bagaimana ASI-nya?” tanyanya pada Cella.

“Sudah keluar lebih banyak dibandingkan kemarin, meski harus dipaksa,” jawab Cella pelan. Dia masih malu jika ditanya seperti itu apalagi di ruangannya ada Albert dan Steve.

“Baguslah. Kamu harus tetap mencoba memompanya meski sedikit geli dan masih belum terbiasa,” Cindy menyarankan sambil tersenyum karena dia tahu bahwa Cella masih malu.

“Benar, Cell. Christy juga dulu seperti itu, tapi pada akhirnya terbiasa juga karena aku ikut membantu memompanya,” Steve berucap dengan santai sehingga dia tidak menyadari tatapan horor dari orang-orang di sekitarnya, untung saja para perawat yang mendampingi Cindy sudah keluar setelah selesai memeriksa Cella.

“Steve!” teriak Albert dan Christy bersamaan sehingga membuat Tere yang sedang asyik menikmati tontonan cartoon favoritnya menoleh ke arah mereka. Cindy hanya menertawai ucapan Steve, sedangkan wajah Cella sudah memerah karena malu.

“Mulutmu itu bisa ditempatkan tidak, kalau mau ngomong? Jika Tere mendengar dan bertanya-tanya bagaimana?” Christy memelankan suaranya dan mendelik kepada suaminya.

“Astaga! Mengapa aku lupa kalau di ruangan ini ada anak kecil.” Steve menepuk keningnya saat menyadari kecerobohannya.

“Anak kecil?” tanya Cindy sambil mengerutkan kening.

“Sini, Nak,” Christy memanggil Tere yang sedang asyik menonton.

Merasa dipanggil, Tere pun langsung menghampiri Christy.

“Nak, kenalkan ini teman Aunty dan Uncle. Namanya Aunty Cindy. Ayo beri salam dulu,” Christy memperkenalkan Tere dengan Cindy.

“Hai anak manis, siapa namanya? Kenalkan nama Aunty, Cindy. Kamu boleh memanggil dengan panggilan Aunty Cindy.” Cindy berjongkok di depan Tere dan mengulurkan tangannya.

“Theresia Angela Smith, biasa dipanggil Tere.” Tere menerima uluran tangan Cindy dan tidak ketinggalan mengumbar senyum manisnya.

“Wah! Nama tengah kita mirip, Sayang,” balas Cindy antusias.

“Siapa, Aunty?” tanya Tere ingin tahu.

“Angelica,” Cindy menjawabnya dengan penuh bangga.

Tanpa diduga oleh orang dewasa di sekitarnya, Tere langsung menghambur ke pelukan Cindy. Cindy pun hampir terjungkal ke belakang karena tidak siap menerima tubrukan dari tubuh kecil Tere.

Cindy menatap satu per satu mata para sahabatnya, meminta penjelasan. Steve dan Christy memberikan isyarat agar Cindy membalas pelukan tangan kecil itu. Dengan ragu Cindy mengangkat tangannya, lalu membalas pelukan dari pemilik bahu yang mulai bergetar. Cindy semakin bingung karena anak di pelukannya itu mulai menangis. Cindy bisa merasakan blouse yang digunakannya basah, karena dia tidak mengancingkan secara rapat jubah dokternya. Naluri Cindy menyuruhnya untuk mengelus-elus punggung kecil itu dan sesekali mencium puncak kepalanya tersebut. Hal tersebut ternyata tidak luput dari pengamatan orang dewasa di sekitarnya. Bahkan, mata mereka telah ikut berkaca-kaca melihat pemandangan mengharukan tersebut. 

“Sudah, Sayang. Kenapa kamu malah menangis hm?” Cindy menjauhkan bahu kecil Tere supaya dia bisa melihat wajah polos di hadapannya.

Cindy berdiri karena kakinya terasa kebas akibat kelamaan berjongkok. Dia melihat sahabat-sahabatnya tengah menyusut sudut matanya masing-masing, seolah tidak ingin dilihat oleh anak manis di hadapannya.

Aunty tanya, mengapa Tere menangis? Anak manis itu tidak boleh menangis. Nanti manisnya hilang. Mau manisnya hilang?” Cindy menghibur Tere setelah dia membawa gadis tersebut duduk di pangkuannya, di sofa di sebelah ranjang Cella yang diikuti oleh Steve dan Christy.

Tere menggeleng setelah mendengar pertanyaan Cindy. “Tere kangen Mommy.” Suaranya mengecil karena air matanya kembali mengalir. Tere menyembunyikan wajah kecilnya pada ceruk leher Cindy.

Cindy semakin tidak mengerti dengan anak kecil di pangkuannya, dia pun kembali menatap sahabatnya terutama Steve dan Christy. Dia melihat Christy sudah banjir air mata dan sedang dipeluk oleh Steve. Dia juga menoleh ke arah Cella dan mendapati perempuan tersebut sedang ditenangkan oleh Albert yang sudah turun dari ranjangnya.

“Tere boleh peluk Aunty kalau itu bisa mengobati rasa kangen Tere kepada Mommy,” ucap Cindy sambil membelai rambut sebahu Tere.

Steve melepaskan pelukan istrinya, dia bangun dan menghampiri Cindy yang sedang memangku keponakannya. “Sayang, kamu tidak kasihan dengan Aunty Cindy? Tere sudah besar, kasihan Aunty karena keberatan memangku Tere,” ucapnya lembut sambil ikut mengusap rambut Tere.

Tere menoleh ke arah pamannya dan menjauhkan dirinya dari pangkuan Cindy. “Maafkan Tere, Aunty,” cicitnya.

Cindy tersenyum maklum. “Tidak apa-apa. Besok-besok kalau mau dipangku, kabarin Aunty dulu ya. Supaya Aunty siapkan stamina dulu agar kuat,” candanya sambil menoel hidung mancung Tere. Semua di ruangan tersebut ikut tertawa mendengar candaan Cindy yang mencoba menghibur Tere.

Aunty, Tere boleh panggil Aunty dengan sebutan Aunty Angel?” pinta Tere malu-malu.

“Hm, kenapa harus Aunty Angel, Sayang?” Christy menanyakannya kepada Tere.

“Itu karena Tere melihat Aunty Cindy cantik seperti malaikat dalam dongeng. Dan akan menjadi panggilan sayang Tere untuk Aunty Cindy. Bagaimana, Aunty? Bolehkah?” jawab Tere dengan polosnya dan masih malu-malu.

“Tentu saja boleh, Sayang. Aunty merasa sangat tersanjung mendengar jawabanmu itu. Santai saja sama Aunty. Kamu boleh panggil apa saja yang penting Tere nyaman dan masih sopan,” balas Cindy sambil membelai pipi Tere.

“Ternyata mata kalian hampir sama,” sela Christy setelah adegan mengharukan mereda.

Tere menangkup wajah Cindy dan membelainya guna memastikan penilaian Christy. “Benar, Aunty, mata kita sama. Kulit wajah Aunty sangat lembut dan halus,” nilainya.

“Pasti Tere orang pertama yang bilang kulit wajahmu itu halus dan lembut. Biasanya yang mempunyai wajah saja selalu mengeluh karena kulitnya kasar,” celetuk Albert yang disetujui oleh Steve dan Christy. Cella hanya menggeleng karena dia tidak menyangka jika suaminya jahil juga dan bisa mencairkan suasana.

“Jangan membuka rahasia orang Mr. Anthony, kalau tidak mau aku berlaku sama dan mempermalukanmu di depan istrimu,” ancam Cindy.

Steve dan Christy yang mendengar ancaman Cindy terbahak-bahak, sedangkan Cella menatap intens suaminya.

“Jangan dengarkan ancamannya, Sayang,” pinta Albert kepada Cella, tapi menatap horor para sahabatnya yang berhasil membuatnya tak berkutik. Untung saja George tidak ada. Kalau ada, pasti dia tidak bisa berkelit lagi.

“Sudah, sudah, ingat ini rumah sakit! Jangan sampai tawa kalian membuat pasien di sini kena serangan jantung mendadak. Tere juga bingung melihat kalian tertawa seperti itu.” Albert menunjuk Tere yang menatap bingung satu per satu wajah mereka.

“Maaf, Sayang, sudah membuatmu kebingungan.” Cindy mendudukkan Tere di sampingnya.

“Tidak apa-apa, Aunty, Tere suka melihat Aunty tertawa. Aunty terlihat lebih cantik,” puji Tere lagi dengan polosnya.

“Terima kasih, Sayang, Tere juga kalau tersenyum dan tertawa pasti bertambah cantik serta manis,” Cindy membalas pujian Tere.

“Benar yang dikatakan Aunty Cindy, Sayang,” Christy menimpali ucapan Cindy.

Uncle, Tere boleh ikut ke sini lagi?” tanya Tere penuh harap kepada pamannya.

“Memangnya kenapa, Sayang?” Steve pura-pura tidak mengerti pertanyaan keponakannya.

“Tere mau melihat si kembar lagi, juga ingin bertemu Aunty Angel,” Tere menjawabnya malu-malu sambil menatap Cindy.

“Coba tanyakan pada orang yang bersangkutan, Sayang,” suruh Christy.

Tere menatap Cella dan Cindy secara bergantian. Cella menjawabnya dengan senyum manisnya, sedangkan Cindy melalui anggukan antusiasnya.

“Hua! Terima kasih, Aunty Angel. Terima kasih, Aunty Cell.” Tere sangat senang mendapat persetujuan dari dua orang Aunty barunya.

Tere menghampiri ranjang Cella ingin mencium pipi ibu dua anak tersebut, tapi tidak jadi karena tempatnya yang lebih tinggi. Oleh karena itu, dia hanya memberikan ciuman jarak jauh kepada Cella. Berbeda dengan Cindy yang langsung mendapat ciuman di pipi kiri dan kanannya dari Tere.

Tere sangat senang bisa bertemu dengan Cindy, senyuman tidak pernah hilang dari wajahnya semenjak keluar dari kamar rawat Cella. Tere seolah-olah sudah melupakan pertengkarannya dengan sang ayah.

Steve dan Christy yang melihat pun ikut tertular oleh senyuman tanpa beban Tere. “Semoga senyum itu selalu menghiasi bibirmu, Nak. Juga hidupmu kelak,” harap Steve dalam hati.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Wife or Just a Replacement? : 3 - 5
0
0
Happy reading.......
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan