
Part 6
6. Pukulan Raja Bhup
Saga menggeser spion tengah mobilnya setelah mematikan mesin dan melihat bagaimana kondisi wajahnya sebelum memutuskan untuk turun. Sepasang lensa matanya kini telah berubah semerah darah, membuatnya terkejut untuk sesaat sebelum mengobok dashboard guna mencari kacamata hitam yang biasanya ia simpan di sana.
Usai menemukannya, Saga lantas mengenakan kacamata itu dan mengeluarkan ponsel untuk melihat kalender. Baru juga tanggal 13, pikirnya. Perubahan ini tidak semestinya terjadi seawal ini. Ditambah Saga tidak membawa obat-obatan yang biasanya diberikan oleh dokter Jonas—dokter pribadi keluarganya—yang sudah sekian lama menangani kasus abnormal yang Saga alami. Perubahan di tempat umum bisa saja sangat berbahaya sebagaimana Aryo selalu memperingatinya. Apalagi kejadian seperti ini tidak biasanya terjadi.
Ya, warna mata Saga biasanya baru akan berubah tepat pada tanggal 15 setiap bulannya, diikuti kemunculan sisik-sisik ular berwarna merah yang akan berguguran setelah lewat tengah malam dan berubah menjadi lempengan emas murni 24 karat. Saga membenci pertengahan bulan karena selalu membuatnya kesakitan serupa dikuliti hidup-hidup. Namun, selama ini tidak ada yang bisa dilakukannya selain menerima suntikan morfin dosis tinggi yang diberikan dokter Jonas atau papanya, hanya demi bisa mengurangi sedikit rasa sakit yang harus ditanggungnya setiap pertengahan bulan.
Lama termenung di dalam mobil sambil memeriksa kondisi lengannya yang ternyata belum memperlihatkan gejala akan ditumbuhi sisik, Saga akhirnya kembali disadarkan oleh suara dering ponselnya yang sejak dalam perjalanan tadi tak berhenti meraung-raung. Nama Aryo tertera di layar LCD, disambut Saga dengan keraguan sebelum akhirnya nekat menerimanya.
"Saga, kamu baik-baik saja? Di mana kamu sekarang, Nak?"
Mendengar suara Aryo yang terkesan khawatir, emosi Saga menyusut perlahan. Namun ia tetap membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk sanggup menjawab pertanyaannya. Mengingat alasan Saga sampai kabur sejauh ini karena Tiara baru saja mengatakan bahwa dirinya akan menikah dengan lelaki yang kini sedang bertelepon dengan Saga.
"Saga?" Aryo kembali memanggil. Suaranya semakin khawatir. "Kamu dengar Papa, kan?"
"Saga baik-baik saja, Pa." Jawaban senormal mungkin berusaha Saga utarakan. Dan tampaknya usahanya berhasil karena kemudian terdengar Aryo menghela napas lega di seberang sambungan.
"Sekarang kamu di mana? Tidak biasanya kamu bermalam di luar. Apalagi sampai berhari-hari. Ini sudah tanggal tiga belas. Ingat apa resikonya jika kamu tidak menerima suntikan? Kamu sebaiknya lekas pulang."
"Saga akan pulang besok." Saga seperti ingin meyakinkan dirinya sendiri jika besok pasti pulang. Karena sekarang ia hanya ingin menghilang saja dari muka bumi.
"Sekarang kamu di mana?"
"Saga menginap di rumah teman." Saga berdusta dan hampir bersamaan dengan itu, rasa sakit segera mendera lengan kirinya—yang ternyata setelah Saga periksa, sudah muncul sebuah sisik merah yang sangat besar di bawah sikunya.
"Teman yang mana? Siapa? Di mana rumahnya?" Aryo masih memburu.
Tapi Saga memilih untuk memutus sambungan dan mematikan ponsel karena semakin lama mendengar suara Aryo, rasa hatinya semakin disayat-sayat, dan kembali berbohong pada papanya itu barangkali justru akan menambah rasa nyeri pada lengan Saga yang sudah mulai ditumbuhi sisik merah.
Saga lalu menyambar jaket kulit di kabin belakang dan mengenakannya sebelum turun dan berjalan tak tentu arah mengikuti ke mana kaki menuntunnya. Sekitar kurang lebih seratus meter dari posisi ia memarkirkan mobil, Saga dicegat seorang pria paruh baya yang tampaknya warga setempat dan memiliki wewenang jaga di wilayah perhutanan itu.
"Mau mendaki gunung atau ke Danau Naga?" tanya pria bertopi camping dalam balutan jaket dan celana kumal itu sambil membentangkan kedua tangannya serupa menghalau penyusup. "Harusnya lewat pos depan dan melapor penjaga, bukan main belakang begini. Kamu mau nyusup?"
Saga menoleh ke sekitar dan cuma melihat hutan di sana sini. Ia tidak tahu di mana letak pos yang dimaksud dan ia sendiri tak tahu mengapa bisa berkendara sampai nyasar kemari.
"Saya hanya ingin jalan-jalan. Di mana tempat yang paling sepi?" Saga balik tanya sambil meringis menahan sakit yang kian menjadi, sementara pria berkumis kelabu penghadang itu malah sibuk celingukan ke belakang Saga.
"Sendirian saja?"
Saga mengangguk seperti tidak sabar ingin segera menyendiri untuk membebaskan rasa sakit di tubuhnya yang entah mengapa terasa berkali lipat lebih menyiksa ketimbang biasanya.
"Ini sudah masuk musim hujan. Baik Danau Naga maupun Gunung Kukusan sangat sepi. Mendaki atau sekadar berkemah di pinggir danau tidak direkomendasikan. Sebaiknya, kamu pulang. Terlalu berisiko kalau kamu masuk hutan sendirian. Banyak kabut. Manusia rawan hilang dan tersesat. Selain itu, hutan ini angker. Ada hantu wanita pemarah yang suka menyerang pendatang, khususnya pendatang lelaki."
Saga malas banyak bicara dan tak percaya pada takhayul, menjawab dengan mengeluarkan kotak perhiasan berisi cincin lamarannya untuk Tiara yang gagal diberikan kepada gadis itu, lengkap dengan sertifikat keaslian dan nota pembeliannya yang masih mulus dari dalam jaket kulitnya, dan memberikan semua kepada penghadangnya.
"Anda boleh memiliki ini jika membiarkan saya masuk ke hutan. Saya sedang ingin menyendiri untuk menenangkan hati."
Awalnya sang pria penghadang sempat meragu. Sampai harus berulang kali melihat nol di belakang angka tiga-satu yang menjadi harga dari cincin mewah yang kini ada di tangannya. Lalu dia menjilat bibir dan bertanya dengan suara rendah kepada Saga, "Kamu tidak bermaksud untuk bunuh diri di dalam hutan sana karena lamaranmu ditolak, kan?"
Andai saja bisa, Saga pasti sudah bunuh diri sejak pertama kali merasakan sakitnya memiliki sisik setiap malam purnama. Namun pemuda itu terlalu malas bicara, hanya menggeleng dan segera pergi menuju arah yang ditunjuk oleh pria penghadang mata duitan itu.
Selepas kepergian Saga, si pria penghadang itu tertawa licik dan berubah wujud menjadi Agon yang berpenampilan kelimis serba merah. "Um, anak yang malang. Setelah dibuat patah hati oleh ayah angkatmu, kamu akan dibuat patah hati oleh ayah kandungmu sendiri karena jatuh cinta pada ibumu. Hiya! Rasakan sakit yang dulu kurasakan sampai kamu membusuk, kembaran kecilku. Senangnya melihatmu ditikung sana sini."
Puas tertawa, Agon lantas menjentikkan jari dan menghilang.
Mengetahui hal itu, Bhup yang juga selalu mengekori ke mana pun Saga pergi, mengetukkan tongkatnya ke tanah dan ia segera melesak ke dalam perut bumi yang merenggang itu bersama dengan tongkatnya.
Bhup kembali muncul ke permukaan sebelum Saga sempat melihat bagaimana wujud danau naga yang hendak didatanginya. Berdiri sambil menyeringai lebar mengerikan, Bhup tidak hanya sukses membuat Saga terkaget, tetapi juga terhenyak mundur bahkan sampai jatuh terduduk dengan kedua mata membulat di balik kacamata hitamnya yang segera disambar Bhup dan dilemparkan ke sembarang arah.
"Ck, ck, ck. Tidak ada dosa yang bisa disembunyikan dari penglihatanku. Lihatlah warna matamu yang sudah semerah api neraka itu, Pangeran pendosa." Bhup berjongkok di hadapan Saga yang masih membatu saking syoknya karena akhirnya ia bertemu secara langsung dengan salah satu sosok berjubah yang kerap mengikutinya. Tepatnya, sosok berjubah merah dan selalu membawa tongkat ini adalah yang dua hari lalu ia lihat muncul di balik jendela kamar Tiara. "Kamu anak Satya, tapi memiliki segala hal buruk yang dimiliki Agon. Betapa mengenaskannya nasib ayahmu."
Saga menelan ludah dan berkedip kaku. "Si-siapa kamu?"
Bhup tersenyum miring dan tanpa peringatan, langsung menghantamkan kepala tongkatnya tepat ke kepala Saga sehingga pemuda itu seketika tergolek lemah tidak sadarkan diri.
Bhup lalu mendongak ke langit yang mulai memerah. Tersenyum culas ke arah awan senja seakan sedang bersimuka dengan seseorang di atas sana. "Satya. Jika kamu melihat ini sekarang dan tidak terima anakmu kusakiti, maka cepatlah kembali dan disiplinkan dia. Aku sungguh tidak tahan melihat tingkahnya. Bagaimana mungkin pangeran Kukusan bisa menyedihkan serupa sampah begini? Ah, apakah ini sudah saatnya bagiku untuk menggemblengnya dengan serius? Kamu tidak keberatan jika kupatahkan beberapa tulang-tulangnya, kan? Baik, kuanggap kamu setuju. Kamu memang harus setuju."
Bhup menjentikkan jari dua kali dan seketika kedua tangan dan kaki Saga langsung terikat kuat oleh akar beringin hitam.
"Jika aku tidak membawamu sekarang, besok kamu mungkin sudah tidak lagi dapat tertolong. Baiklah. Mari kita berbenah."
Bhup menjentikkan jari sekali lagi dan Saga menghilang lebih dulu. Sementara Bhup yang menyadari kehadiran orang lain di sana dan sedari tadi mengawasinya, menoleh ke belakang dan tersenyum kepada Kinan yang kedapatan bersembunyi di balik pinus raksasa tak jauh dari posisinya.
"Hampir saja kalian bertemu. Aku kembali menyelamatkan putramu, Ratu baru. Apa sekarang kamu senang?" Bhup tak mengharapkan ucapan terima kasih, mengetukkan ujung tongkatnya ke tanah dan raib sekejap kedipan mata.
*
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
