
Sharon seorang gadis yang terlahir dari keluarga kaya. Suatu hari ibu Sharon memberitahunya sebuah tips mengejar suami kaya yang diposting dalam website eksklusif perempuan konglomerat yaitu Woman’s World. Sharon pun memulai pengejaran suami kaya raya impiannya.
Incaran Sharon adalah Dokter Marcel Yovanka yang terkenal sebagai golongan old money dan sangat eksklusif. Saat rencana Sharon mulai membuahkan hasil mereka berhasi berkenalan.Pada akhirnya Marcel mengetahui rencana Sharon dan malah memperingatkannya...
BAB 1
HAPPY READING
****
Dentingan music piano Johann Pachelbel – Canon and Gigue in D terdengar sampai ke sebuah restoran Perancis di salah satu mall di Jakarta Selatan. Suara music itu terdengar dari segala sisi, Sheron masih menikmati music piano itu, dulu saat kecil saat belajar bermain piano, lagu pertama yang ia mainkan adalah ini. Siapa yang tidak kenal dengan music klasik satu ini, yang dulunya sering di putar radio-radio menjadi latar belakang dengan berbagai versi.
Musik piano itu sering menjadi inspirasi untuk lagu-lagu populer. Lagu seperti “Rain and Tears” Demis Roussos dan “Graduation” Vitamin C menggunakan progresi akor “Canon in D”. Nggak hanya itu! Balada romantis “Beautiful in White” milik Shane Filan dan “Memories” milik Maroon 5 juga diaransemen mengikuti “Canon in D”. Karya ini juga sering dimainkan di berbagai acara, termasuk pernikahan.
Sharon masih mengamati sekelilingnya, ia melihat pasangan yang baru datang berjalan menuju table. Sedangkan remaja yang bermain piano di panggung yang ditunggu oleh kekasihnya di table, hidup itu ternyata seromantis itu. Setelah bermain piano semua orang yang ada di restoran lalu bertepuk tangan termasuk dirinya. Sepasang kekasih itu mencium pipi dan sang pria memberi flower bouquet, katanya hari ini sang kekasih ulang tahun, dan restoran memberi cake gratis untuk mereka.
Otak Sharon seketika tersentuh menyaksikan itu, dirinya berumur tiga puluh dua tahun tapi hidup gini-gini saja. Ia percaya bahwa setiap manusia yang datang ke suatu tempat kemungkinan bertemu orang baru. Dia pernah mengunjungi New York, Chicago, Los Angeles, Hongkong, Dubai, Aussie, Jepang, Korea, Negara-negara di Asean sudah semua ia kunjungi, sepertinya jika dihitung ia sudah mengitari separuh bumi, namun ia belum menemukan yang namanya jodoh, apalagi hanya mall sekecil ini.
Sharon mulai melihat ponselnya, ia mulai meng-scroll instagram sambil menunggu hidangannya di sajikan. Pernikahan, pertunangan, midodareni menghiasi timeline-nya setiap hari. Sharon menghembuskan napas sambil tersenyum miris. Hidup itu harusnya sederhana, sampai social media berevolusi dan membuat manusia menjadi rentan tertekan. Karena sekarang semua berlomba-lomba untuk pamer tentang kehidupan, and that makes me sick.
Bukan iri, tapi lebih ke risih bikin semua orang ikut membuktikan dirinya bisa mengikuti trend tersebut. Lama-lama tentu ke bawa arus ke dalam hidup dirinya. Tidak semua itu buruk, trend-trend menjadi aesthetic dalam segala hal, bikini semangat pengen rapih, dan nggak semua orang itu mampu.
Bagi semua orang yang pernah kenal dengannya, Sharon Kennedy mungkin seharusnya tidak termasuk dalam katagori “stress” itu. Rambut panjang hitam berkilau bervolume yang ia rawat rutin, berkulit putih, mata bening yang mencerminkan kecerdasan serta punya ambisi dan tubuh yang proporsional sebenarnya ia termasuk salah satu wanita yang sangat menarik.
Di luar dari pencitraan yang ia tampilkan di muka bumi ini, yang berhasil mendapatkan apapun yang ia mau dengan mudahnya. Namun kenyataanya justru kontradiktif. Sharon merasa menjadi manusia paling sial, nama dirinya tidak ada di list pria manapun, dan tidak pernah menjadi cinta. Semua teman-temannya tahu kalau betapa buruknya ia dinasib percintaan.
“Sharon.”
Sebuah panggilan suara menghentikan jari Sharon yang sedang asyik melihat social media. Sharon menatap ke depan ternyata pramusaji memanggil namanya. Sharon tersenyum dan mengangguk, dan pramusaji itu meletakan hidangan yang ia pesan steak dengan kematangan medium rare dengan saus mushroom.
“Enjoy!” ucapnya sebelum meninggalkan table miliknya.
Sharon menarik napas, kini ia harus duduk di satu table kosong untuk keseribu kali sendirian diantara orang asing. Ia melihat beberapa table dengan pasangannya. Sharon nelangsa dalam hati, kapankah ia memiliki pasangan seperti itu? Percuma temannya segudang, kalau ujung-ujungnya ia ke mana-mana sendirian seperti ini. Sharon berharap tahun ini kalau ia akan kepelaminan dan memiliki pasangan hidup.
Tahun ini ia sudah menulis di notebooknya kalau ia harus menikah di file buku catatan “Rencana Hidup”. Sering kali Sharon berpikir IQ 128 yang ia punya, apa ada yang salah? Seumur hidupnya ia sudah tujuh kali gagal dalam asmara. Tujuh pria tersebut selalu berakhir dengan wanita lain yang menurutnya tidak lebih cantik dari dirinya. Sebenarnya ia tidak mempermasalahkan pria itu memilih dan menikah dengan wanita lain. Namun Sharon menyadari kalau ia tidak senang dengan kenyataan seperti itu, justru ia semakin tertekan dan berpikir mungkin ada yang salah dengan kepribadiannya.
“Sharon!”
Sharon menatap ke depan, ia memandang Lauren di sana, wanita itu melambaikan tangan ke arahnya. Sharon membalas lambaian tangan itu. Tadi ia memang menelepon Lauren agar ke sini menemaninya, Lauren ini adalah personal asisten sekaligus temannya. Tugas Lauren mengatur jadwalnya baik bisnis ataupun pribadi, termasuk mengingatkannya dirinya dan menyiapkan hal-hal yang diperlukan dalam jadwal tersebut.
Jadwalnya cukup sibuk untuk urusan pekerjaan, jadi biasa Lauren meringkasnya dan ia menerima update-an itu. Lauren juga biasa membawa berkas untuk dirinya memberikan tanda tangan persetujuan, dan Lauren sebenarnya juga punya kuasa di level tertentu. Dia juga bertugas mengurus hal-hal bersifat pribadi, misalnya janji bertemu dokter, dan seseorang, sampai tagihan-tagihan di luar perusahaan.
Dan sering kali Lauren menemani dirinya dari event bisnis maupun pribadi. Sebenarnya Lauren tidak punya jam kerja dan job desc yang pasti. Ia sendiri biasa telepon Lauren pagi-pagi buta karena ada kendala yang harus ia selesaikan. Juga cukup sering diberikan tugas yang belum pernah ia kerjakan sebelumnya. Ia tidak bisa terima kata “tidak bisa”atau “tidak tahu” jadi mau tidak mau Lauren harus kreatif.
“Sorry ya, tadi macet banget di jalan, lo sih mendadak banget neleponny,”ucap Lauren kepada Sharon, ia lalu duduk di samping Sharon.
“Iya, nggak apa-apa. Lo mau makan nggak?”
“Boleh deh.”
“Pesen aja,” Sharon lalu melambaikan tangannya memanggil server.
Server datang membawa buku menu dan menyerahkan kepada Lauren. Lauren melihat menu, dia memesan swiss mushroom chicken dan Oreo Cheesecake, ia memang butuh tenaga untuk memulai harinya bersama Sharon. Setelah memesan itu, server pergi meninggalkan table mereka.
“Habis ini lo mau ke mana?” Tanya Lauren.
“Balik ke rumah sih.”
Lauren mengambil berkas di dalam tasnya, ia lalu menyerahkan map itu kepada Sharon, “Ini berkas dari sekretaris lo, tadi gue ke kantor lo dulu bentar ambil berkas ini. Katanya penting banget.”
“Apa sih ini?” Tanya Sharon membuka map itu.
“Itu surat kuasa buat vendor besok untuk renov office baru. Besok kan Sabtu vendor mau datang ngecek office, jadi minta tanda tangan lo sekarang.”
“Ok,” Sharon lalu menandatangani surat itu setelah membacanya, ia sebagai direktur di perusahaan orang tuanya ia milik wewenang untuk mengurus dan mengelola kepentingan perusahaan. Walau tidak sepenuhnya ini tugasnya, tapi tetap saja dirinyalah yang memberi kuasa, ia akan melakukan pekerjaanya dengan baik.
Tidak lama kemudian pesanan Lauren datang, dan Lauren mulai memakan hidangannya. Sharon mengambil gelas berisi lemon tea dan menyerumputnya. Ia sedang memikirkan bagaimana kehidupan dia ke depannya. Apa ia focus cari jodoh atau liburan musim dingin di Edinburgh.
“Mantan lo si Andrew udah mau nikah ya sama si Farah.”
“Udah ah jangan bahas dia, males banget gue dengernya,” ucap Sharon, Andrew itu adalah mantan terakhirnya yang memilih putus dengannya, lalu setelah itu dia jadian sama wanita bernama Farah tidak lama kemudian mereka akan menikah.
Lauren tertawa kecil sambil menarik rambut ke belakang. Sharon menyerumput lemon tea nya lagi, ia menyadari kalau lemon tea nya akan habis.
“Lo nggak lagi deket sama siapa-siapa sekarang?” Tanya Lauren manatap Sharon.
“Enggak.”
“Masa sih, siapa kek, konglomerat mana kek yang bisa lo gebet,” ucap Lauren.
Sharon tertawa, “Seriusan nggak ada, Lau. Kalaupun ada, lo orang pertama gue ceritain.”
“Tanya nyokap lo deh. Masa setajir lo, nyokap bokap lo nggak ada ngenalin lo sama anak rekan bisnisnya. Kasihan tau, liat lo jomblo kayak gini.”
“Lo tau? Kata nyokap bokap gue, lebih baik gue cari jodoh sendiri, karena yang jalanin rumah tangga itu gue, bukan orang tua gue.”
“Orang tua lo tuh beda ya, biasa orang yang tajir banget kayak lo gini, biasa udah dijodohin kali kayak di novel-novel gitu.”
Sharon tertawa, “Tapi jangan nggak apa-apa sih, bagus juga, Lau.”
“Bagusnya di mana?”
“Ya bagusnya, biar gue nggak dianggap nggak laku,” Sharon lalu tertawa geli.
“Ya, nggak ada salahnya kenal, kan nggak harus jadi pacar. Kalau cocok ya jadi pacar, kalau nggak cocok ya jadi temen. Lumayan kan nambah temen.”
“Tapi setelah gue sadarin, modelan cewek kayak lo nih ya, emang susah di deketin sih. Liat lo kayak gini mana ada yang mau deket, keburu minder karena kasta lo terlalu tinggi. Makanya lo harus cari yang setara sih,” ucap Lauren.
“Lo ada target kenalan cowok nggak?” Tanya Lauren sambil memakan makanannya.
“Enggak ada, belum nyari-nyari sih. Tapi emangnya ada nggak ya yang umurnya mateng tapi single gitu kayak gue.”
“Banyak sih kalau dicari, biasa cowok-cowok kayak gitu workholic banget nggak sih, sampe nggak mikir buat pacaran, kalaupun pacaran ya kejadian kayak lo gini, putus putus terus, biasa kalau yang sukses di karir. Di percintaan ancur lebur sih,” Lauren tertawa.
Sharon ikut tertawa, “Bisa aja lo, tapi kebanyakan emang bener sih kayak gitu.”
Sharon melihat server datang menuangkan lemon tea ke gelesnya yang kosong, ia memandang Lauren makan dengan tenang. Mereka lalu bercerita tentang time line yang ada media social yang terbaru. Sore itu restoran sibuk luar biasa, karena tamu seketika membeludak. Sharon dan Lauren akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah setelah makan.
*****
Bab 2
Happy Reading
*****
Sharon melantunkan lagu Espresso – Sabrina Carpenter di kamarnya, ia dan Laura duduk di sofa sambil menatap langit tanpa bintang. Ini adalah tempat mereka favorit berdua di saat penat menghadapi dunia. Suara Sharon mengalun lembut sesuai dengan nada bahkan suaranya terdengar lebih halus dari sang penyanyi. Ia memang sudah berlati vocal sejak kecil hingga remaja. Tidak hanya itu ia juga bisa menggunakan berbagai alat music seperti piano dan biola.
Sharon bersandar di sofa sambil menendangkan lagu, nasib para jomblo seperti dirinya dan Lauren. Sekarang ia tidak dekat dengan siapapun, bukan berarti tidak ingin pacaran, karena belum ketemu siapa prianya. Sekarang ini ia berpikir kalau tidak ada gunanya melepas rasa tujuan. Ya pada akhirnya memang menjalin hubungan itu seperti garage sales, terlihat menarik di awal dengan segala tetek bengek romantisasi yang bikin geli di kuping beserta gombalan-gombalan penuh racun, namun ujung-ujungnya berakhir tidak enak, ujung-ujungnya putus, berantem, buang-buang waktu, tenaga dan emosi. Menjalin kehidupan bernama relationship itu menurutnya butuh komitmen tingkat dewa.
Namun ketika melihat beberapa di timeline media social banyak artis yang berbondong-bondong menikah muda, bahkan hampir semua teman seumurannya juga sudah menikah dan memiliki anak. Sebentar lagi umurnya sudah tiga puluh tiga tahun dan dirinya belum menikah. Jangankan menikah, punya pacar saja ia tidak ada.
“Apa gue nikah aja ya?” Ucap Sharon seketika.
Pertanyaan itu membuat Lauren langsung menoleh menatap Sharon, “Emang udah ada calonnya?”
“Enggak ada.”
“Cari calonnya dulu, baru nikah.”
Sharon lalu kembali melamun lagi, Lauren mengatakan kenapa dia selalu jomblo karena salah satunya dia anak orang kaya, punya pekerjaan bagus, punya gaya hidup mewah, kalau sekilas lihatnya terkesan jutek, sekaligus punya segalanya. Jadi perlu pria yang berada di level atasnya, agar si pria tidak insecure kepadanya. Dan apa yang ucapkan Lauren benar adanya, ia harus mencari pria yang lebih tajir dari dirinya.
“Gue cari cowok tajir di mana ya, Lau.”
“Mana gue tau, kan lo yang lebih tau.”
“Susah ya jadi gue.”
“Bukan susah, belum ketemu aja orangnya.”
Tok… tok… tok ….
Sharon dan Lauren lalu menoleh ke arah pintu, “Buka aja nggak di kunci!” Ucap Sharon.
Pintu kamar lalu terbuka, Sharon menatap ke arah pintu ia memandang bibi di sana.
“Malam non, di panggil ibu dan bapak ke bawah, makan malam dulu.”
“iya, bi.”
“Di tunggu ya non.”
Sharon lalu beranjak dari duduknya, dia lalu berdiri, “Yuk ke bawah Lau.”
“Duh, lo aja deh, gua masih kenyang tadi makan sore sama lo.”
“Makan dikit aja, enggak enak mami ngajakin.”
Laura ikut beranjak dari duduknya, ini bukan sekali ia berada di rumah Sharon. Tapi udah sering, karena ia dibayar memang untuk menemani Sharon kemanapun berada. Kalau Sharon kenapa-napa, ia adalah orang pertama di cari.
Bahkan ia sendiri memiliki kamar tersendiri di rumah ini, di sini menemani Sharon karena pekerjaanya memang asisten sekaligus teman Sharon. Sharon itu anak pertama dari tiga saudara, adik keduanya ada di Inggris dan satunnya lagi di New York, semua masih kuliah.
Dirinya menjadi asisten Sharon tanpa sengaja ketika melamar di perusahaan ayahnya Sharon. Ayah Sharon berbaik hati memintanya menjadi asisten Sharon, karena katanya Sharon butuh asisten yang bisa dipercaya. Ia menjadi asisten Sharon sudah empat tahun lamanya.
Sharon itu sejak kecil sudah diberi akses dan fasilitas mewah oleh kedua orang tuanya, tinggal di rumah besar bak hotel bintang lima, akses kendaran mewah, serta kalau jenuh sedikit liburan ke luar negri secara teratur. Bahkan burnout sedikit langsung terbang ke Hawai, Dubai, Belanda.
Sharon mengenyam pendidikan di sekolah terbaik di negri ini, dia sekolah internasional, lalu melanjutkan ke university Ivy League. Akses jaringan elit begitu kental, temannya banyak sesama konglomerat, jaringannya luas, tapi sekedar untuk urusan bisnis bukan secara personal.
Sharon memang dilahirkan untuk melanjutkan bisnis keluarga. Mereka belajar bisnis sejak usia dini, dan di dorong untuk mengambil peran pemimpin masa depan, sekarang Sharon memimpin perusahaan ayahnya walau tidak sepenuhnya, dia masih diawasi oleh ayahnya.
Selain pendidikan formal, Sharon sering mendapat pelatihan khusus diberbagai bidang, seperti investasi, keuangan atau manajemen. Mereka mendapat kesempatan belajar dari praktisi terbaik melalui seminar, pelatihan eksekutif dan kesempatan magang di perusahaan global.
Orang tua Sharon juga mengeksplor minat dan hobi Sharon seperti seni, olahraga, music. Mereka bebas secara luas mengembangkan potensi dan bakat. Terbukti Sharon memiliki suara emas, dapat bermain alat music seperti piano dan biola. Cantik, pinter, punya segudang bakat dan kaya raya, ia baru kali ini bekerja dengan orang yang nyaris sempurna hidupnya seperti Sharon.
Untuk urusan finansial tidak diragukan lagi, Sharon bisa membeli apapun yang dia mau tanpa harus mikir. Ibu dan ayahnya mentorship langsung untuk Sharon, jadi Sharon dibimbing langsung dari orang tua yang sudah berpengalaman di dunia bisnis.
Tapi tetap saja Sharon dituntut menjaga reputasi keluarga, dan mereka sangat paham menjaga citra keluarga di mata public. Apalagi Sharon harus menjaga privasi seminim mungkin di hadapan public, oleh sebab itu dia sebenarnya tidak memiliki media social yang pasti. Dia hanya memiliki akun media social fake untuk sekedar main melihat time line di sana. Sharon hampir tidak pernah membagikan fotonya di media social, karena dia takut di awasi oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
Satu hal lagi Sharon juga tahu kalau dia dituntut mencari pasangan setara, hubungan pribadi dengan pria juga harus benar-benar yang bisa mengangkat nama keluarga, tidak sembarangan bisa dekat dengan Sharon.
Sharon dan Laura turun ke bawah, mereka melihat kedua orang tua Sharon di meja makan. Sharon tersenyum menghampiri orang tuanya.
“Malam mi, pi,” sapa Sharon.
“Malam juga sayang,” ucap mami Sharon.
“Lauren di sini juga ternyata.”
“Iya tante.”
“Ayo, makan bareng.”
“Iya, tante,” ucap Lauren kikuk, dia memilih duduk di samping Sharon.
Sharon mengambil nasi dan juga lauk pauk di piringnya, ia melihat chef datang menghidangkan daging yang masih juicy. Mereka makan dengan tenang.
“Bulan depan umur Sharon ulang tahun yang ke tiga puluh tiga tahun. Enggak ada ngenalin seseorang sama mami dan papi,” ucap mami Sharon membuka topic obrolan di meja makan.
“Mami dan papi maunya tahun ini kamu menikah sayang.”
Sharon menarik napas, dia menatap kedua orang tuanya, “boro-boro mau nikah mi, pacar aja nggak ada,” ucap Sharon di selingi tawa.
“Loh yang kemarin Andrew ke mana? Udah putus lagi?” Tanya mami.
“Ya udahlah, udah lama putusnya mi.”
“Kok mami nggak tau.”
“Kalau udah nggak main ke rumah, nggak jemput Sharon itu artinya ya putus.”
“Kirain mami nggak muncul ke sini sibuk kerja. Udah lama putusnya?”
“iya, udah mi. Hampir setahun putusnya. Malah Andrew mau nikah sama cewek barunya.”
“Ya ampun selama itu! Terus sekarang kamu nggak deket dengan siapa-siapa?” Tanya mami lagi.
“Enggak ada, hari gini mah susah, rata-rata udah nikah. Payah banget ya, cari suami yang perfect.”
Mami Sharon menghentikan makannya, ia menatap putri sulungnya, “Kenapa kamu nggak buka websitenya woman’s world, di sana banyak sekali tipis mengejar suami kaya dan eksklusive. Kamunya kurang jauh nyarinya.”
“Emang ada ya website kayak gitu?” Tanya Sharon.
“Ada, buka aja. Kamu bisa dapatin pria idaman kamu melalui tips mereka.”
Sharon melirik Lauren, “Lau, coba buka website nya, ada beneran apa nggak?”
Lauren merogoh ponselnya, ia menatap layar persegi itu dan membuka website yang diperintakan oleh ibu Sharon dan benar situsnya ada, di sana banyak memberi tips mengejar suami kaya, yang diperuntukkan eksklusif perempuan konglomerat, dan website itu memang sangat cocok untuk Sharon.
“Ada nggak Lau?” Tanya Sharon sekali lagi.
“Ada.”
“Yaudah, nanti kamu pelajari aja sayang.”
“Mami tau dari mana?”
“Tau dari anaknya temen mami.”
“Kok mami baru kasih tau Lauren.”
“Ya kan mami juga baru tau juga.”
Sharon melirik Lauren, “Oke, nggak tips nya Lau?”
“Kayaknya oke sih, nanti lo baca sendiri aja deh.”
Papi menatap putri sulungnya, “Coba kamu kenalan sama adiknya Christian.”
“Christian?”
“Itu Christian yang ganteng itu. Kamu pernah ketemu Sha. Dia punya perusahaan manufaktur itu. Nah, Christian inni punya adik namanya Marcel, dia dokter spesialis bedah saraf.”
“Sayangnya papi belum sempat kenalan dengan Marcel, karena memang waktu itu dia sedang sibuk di acara pesta pernikahan Christian. Umurnya tidak jauh berbeda dengan Christ.”
“Hemmmm, udah punya pacar kali pi.”
“Papi sih nggak tau, ya kenalan aja dulu, urusan dia punya pacar dan tidak itu belakangan.”
“Normal kan?”
“Normal dong.”
“Biasa kalau cowok mateng, pekerjaan oke, tapi nggak punya pacar itu mesti dipertanyakan pi.”
“Ya, kamu tau sendiri dokter sibuknya kayak apa. Mungkin sibuk kerja, sampe nggak punya pacar, apalagi sekolah kedokteran itu kan lama banget Sha, dia ngambil subspesialis juga katanya. Kayaknya sih karena itu dia nggak nikah.”
“Cari informasi dokter Marcel itu di mana?”
“Kalau prihal dokter, ya kamu bisa lihat di google atau di media social. Pasti semua informasi dokter itu akan muncul di sana.”
“Masa, Sharon yang suruh kenalan,” sambil melirik Laura yang sepertinya sedang mengetik dipencarian google.
“Ada nggak informasi dokter Marcel Lau?” Tanya Sharon.
Lauren menatap layar ponselnya, ia sebagai asisten Sharon memang dituntut cepat sebelum diperintah, ia memilihinisiatifnya sendiri.
“Ada nih, Dr. Marcel Yovanka, Sp.BS(K)? Bener kan yang ini orangnya.”
“Mana lihat fotonya,” ucap papi Sharon.
Lauren memberikan ponselnya kepada beliau, setelah melihat itu dan beliau mengangguk, “Iya, ini dia orangnya,” ucap papi Sharon.
Lauren menyerahkan ponselnya lagi kepada Sharon, Sharon melihat seorang pria di sana. Dia mengenakan jas putih berlengan panjang, wajahnya tampan, berkulit kuning langsat yang terlihat sehat, memiliki tubuh proporsional. Ia mengenal Christian dulu di acara World Economic forum, dan Christian sangat tampan. Wajahnya tidak jauh berbeda dari pria itu. Tatapannya tajam, hidungnya terlihat mancung dan matanya seperti elang. Dia juga memiliki rahang yang tegas, ia yakin aslinya jauh lebih tampan dari pada di foto itu. Seketika rasa penasarannya cukup kuat, seumur hidupnya ia belum pernah menjalin hubungan dengan seorang dokter, karena semua mantan-mantannya berprofesi sebagai pemilik bisnis.
“Oke juga,” gumam Sharon setelah melihat profil pria yang ada di google.
“Yah, mungkin kamu bisa ke praktek dokter Marcel cek kesehatan dan keluhan,” ucap papi diselingi tawa.
“Ih papi, ada-ada aja deh.”
“Ya terserah kamu maunya gimana, kamu lebih tau sayang.”
Sharon menatap Lauren, Lauren memberinya jempol, menandakan dia setuju kalau ia mengincar pria bernama Marcel itu.
*****
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
