
“Masa lalu kamu biarlah berlalu. Saya tidak peduli Hana anak siapa. Ini masa depan kita, saya sudah menganggap kalau dia putri kecil saya. Saya yang merawatnya, membesarkannya, melihatnya tumbuh dari waktu ke waktu, dan mempersiapkan masa depan-nya.”
Lauren terdiam mendengar ucapan Jordan, entah kenapa dia merasa tersentuh dengan ucapan pria itu. Selama ini Jordan-lah yang merawat mereka berdua, asuransi kesehatan terjamin, tempat tinggal yang nyaman, dan rumah yang indah ini.
“Kamu mau hidup bersama...
BAB 1
HAPPY READING
_____________
6 tahun kemudian,
Lauren melepaskan satu per satu hak tingginya. Raut wajah lega setelah menahan rasa pegal yang begitu menyiksa dipergelangan kakinya. Tentu saja dia sudah terbiasa mengenakan sepatu hak tinggi ke manapun berada. Namun kali ini sepatu hak tinggi yang dia beli tidak senyaman sepatu miliknya yang lain. Tidak semua sepatu hak tinggi itu nyaman di pakai. Misalnya, pump shoes dengan hak tinggi tiga sentimeter dan tinggi hak belakang lima belas senti meter yang dia kenakan selama dia menemani Jordan ke acara pesta anniversary temannya bernama Daniel.
Lauren membuka resleting di belakang punggungnya, saat sepasang lengan hendak merengkuh tubuhnya dari belakang. Secepat kilat Lauren berbalik, menangkap pemilik kedua lengan itu adalah Jordan. Pria itu tampak berantakkan, kancing kemejanya setengah terbuka, menunjukkan dadanya yang berkeringat. Lauren tahu kalau Jordan malam ini banyak minum, pria itu malam ini mabuk.
“Kamu istirahat ya, katanya besok mau pulang ke Jakarta,” ucap Lauren.
“Iya.”
Lauren melihat tubuh Jordan terlentang di sofa. Dia membuka sepatu Jordan, mata Jordan sudah terlelap. Dia melihat jam menunjukkan pukul 01.12 dini hari. Dia menarik napas, dia tidak bisa membopong tubuh Jordan di sofa menuju kamar, karena memang tubuh Jordan besar kekar. Membuka kancing kemeja Jordan dan membiarkan pria itu bertelanjang dada dan lalu menyelimutinya dengan selimut tebal.
“Lau …”
Lauren yang hendak pergi dia lalu menoleh menatap Jordan, “Iya …”
“Lebih baik kita menikah saja,” ucap Jordan dengan mata yang sudah terpejam.
“Hemmmm …”
“Saya menyayangi kamu. Kita bangun keluarga ini bersama-sama,” ucap Jordan lagi.
“Kamu tahu bunga Edelweis ini, bunga ini adalah lambang dari hati saya untuk kamu, jangan merasa sendiri karena saya akan bersama kamu seumur hidup saya.”
Lauren terdiam beberapa detik, menatap Jordan, walau dalam keadaan mabuk dia merasa tersentuh dengan kata-kata itu. Lauren tidak bisa berkata-kata dia hanya diam mematung menatap pria itu cukup lama.
Jordan memang tidak sering ke Melbourne menjenguknya, dia hanya datang Melbourne setiap tiga bulan sekali. Dalam waktu setahun dia hanya datang empat kali karena pekerjaanyalah yang menyebabkannya dia bolak-balik seperti ini.
Ini sudah tahun ke enam dia di Melbourne bersama putrinya, semua itu berkat Jordan. Jordan-lah yang membawanya kemari dan menghidupinya. Dulu dia sempat bekerja sebagai barista di salah satu coffee shop dekat rumahnya, sebagai karyawan kontrak namun tidak lama dia pernah di rampok. Seluruh uang yang dia bawa cash lenyap. Dengan pengalaman buruk itu Jordan melarangnya bekerja lagi.
Jordan memberinya materi yang cukup, namun dia tetap berdaya di sini. Rumah Jordan di sini memiliki halaman yang cukup luas, dia bisa bercocok tanam, berkebun, memelihara beberapa peliharaan ayam yang bisa dia panen setiap hari telurnya, dan menikmati hidup sederhana yang di bangunnya bertahun-tahun. Apa dia senang tinggal di sini? Tentu saja dia senang, dia sangat menikmati perannya sebagai ibu tunggal.
Lauren merasakan hembusan napas Jordan di wajahnya. Lauren terpana menatap wajah tampan itu, dia lalu beranjak dari duduknya meninggalkan pria itu. Dia membuka pintu kamar putrinya, dia menatap Hana tertidur pulas di ranjangnya. Setelah itu Lauren masuk ke dalam kamarnya, dia melepaskan seluruh pakaiannya. Dia mandi dan lalu mengganti pakaian tidurnya. Dia membaringkan tubuhnya di ranjang, dan lalu memejamkan mata.
____________
Keesokan harinya, Lauren pagi-pagi sudah bangun. Dia menyiapkan sarapan untuk Hana dan Jordan. Jujur sebenarnya dia tidak pernah kepikiran sema sekali untuk tinggal di Malbourne. Sosok gadis introvert seperti dirinya, yang lahir di keluarga biasa saja, sempat punya krisis kepercayaan pada diri sendiri, dan sempat hampir menyerah pada takdir.
Dulu di Jakarta kehidupannya super sibuk, kini berbanding terbalik hidup di Melbourne dia hidup slow living. Walau waktu terkesan lambat, namun terasa damai dan penuh ketenangan, inilah hidup yang dia inginkan.
Lauren mengeluarkan sourdough dari oven, setelah itu dia mengirisnya. Dia juga membuat irisan roti dengan alpukat, ada telur dan sosis panggang, tidak lupa dia membuat salad dari hasil kebun di belakang rumahnya.
Lauren mendengar suara Jordan dan Hana, di ruang tamu. Jordan dan Hana memang dekat, bahkan Hana menyebut Jordan dengan kata daddy, menganggap Jordan adalah ayahnya. Lauren mengatakan kalau Jordan tidak sering pulang ke Melbourne karena daddy-nya itu bekerja di Jakarta. Dan Hana sepertinya paham, mulai terbiasa kapan Jordan datang dan pergi meninggalkan mereka.
Lauren membawa piring itu di meja makan, dia memandang Jordan sedang memeluk Hana, karena pria itu mengajari Hana memainkan mobil remote control yang mereka beli kemarin, di sana Hana tertawa geli. Ah ya, anaknya saat ini berusia lima tahun dia beri nama Ashana Striker. Kenapa diberi nama Striker? Karena itu nama belakang Jordan, agar memudahkan mereka mengurus dokumen-dokumen mereka Melbourne. Saat ini Hana sudah berusia lima tahun. Dia tumbuh sebagai anaknya yang cerdas, dan pintar berbicara.
Saat ini Hana sudah masuk sekolah. Sistem sekolah di Australia itu menerapkan system zonasi atau catchmen area. Jarak sekolah Hana dan rumah bisa ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 10 menit dari rumah. Hana harusnya masuk TK kecil, tapi ternyata langsung bisa masuk Prep (TK besar) karena usianya sudah 5 tahun lebih.
“Sarapannya sudah jadi,” ucap Lauren kepada Jordan dan Hana.
Hana dan Jordan menatap ke depan, Jordan tersenyum memandang Lauren, “Kita breakfast dulu, nanti main lagi,” ucap Jordan memberitahu Hana.
“Iya, daddy,” Hana lalu melangkah menuju meja makan, begitu juga dengan Jordan.
Jordan mendekati Lauren, wanita itu tersenyum, “Kamu jadi pulang hari ini?” Tanya Lauren.
Jordan mengangguk, “Iya, penerbangan saya malam,” ucap Jordan, dia duduk di meja makan tepatnya di samping Hana.
Jordan menatap sarapan yang sudah di sediakan, sarapan sederahan namun dibuat penuh cinta. Dulu dia tidak tahu kenapa dia membeli rumah ini, dia hanya membeli saja dari temannya, niatnya untuk investasi, sewaktu-waktu dia ingin tinggal di luar negri. Namun, ternyata ini maksud universe kalau rumah ini untuk tempat tinggal keluarga kecilnya.
Jordan menyantap hidangan yang disajikan oleh Lauren. Seperti biasa makanan buatan Lauren selalu fresh, dia menatap Hana makan dengan lahap. Gadis kecil itu dididik sangat baik oleh Lauren. Dia menjadi sosok gadis yang tenang, emosinya stabil, tidak tantrum kalau sedang mengingikan sesuatu, mungkin karena ibu yang bahagia jadi anak ikut merasakan bahagia.
“Daddy pulang hari ini?”
“Iya, sayang.”
“Yahhh, daddy pulang cepet banget, ya.”
“Daddy-nya kerja sayang, kan udah seminggu di sini.”
“Tapi pengennya deddy lama-lama di sini bareng Hana, bisa jalan-jalan, belanja, daddy anterin Hana sekolah, nonton film bareng, seru kalau ada daddy,” ucap Hana dengan suara kecilnya.
Jordan mengelus puncak kepala Hana, dia menatap mata bening itu, “Daddy kerja buat biaya hidup kita di sini. Kalau uang daddy udah banyak nanti daddy akan stay di sini.”
“Sampai kapan daddy?”
“Semoga tahun ini daddy bisa di sini bareng Hana dan mommy.”
“Asyik-asyik.”
“Do’ain daddy ya agar sehat terus.”
“Iya, daddy.”
“Daddy kenapa sih nggak kerja aja di sini?” Tanya Hana lagi.
“Karena penghasilan daddy banyaknya di Jakarta sayang.”
“Kenapa kita nggak tinggal di Jakarta aja ikut daddy?”
“Jakarta enggak enak, macet, polusi, enggak baik buat kamu sayang. Enak di sini, hidup berdampingan dengan alam.”
“Kata mommy selama ini daddy pulang tiga bulan sekali. Bisa nggak kalau daddy pulangnya 1 bulan sekali,” ucap Hana lagi memakan rotinya.
Jordan lalu terdiam, dia menatap Lauren. Dia menarik napas panjang, semakin hari Hana selalu banyak Tanya. Apa saja bisa membuatnya penasaran dan ingin tahu. Dia bisa saja mengajukan pertanyaan aneh dan tidak biasa untuk ukuran anak kecil, bahkan hal-hal yang tidak dipikirkan oleh orang dewasa, secara tiba-tiba dan tidak terduga.
Setiap kali dia pulang ke Melbourne dia selalu membawa Hana jalan-jalan. Setiap melewati bundaran, kadang dia bertanya, “Daddy, bundaran itu gunaanya untuk apa?” Pernah juga bertanya “mengapa kalau kuku ditekan berubah warna menjadi putih? Mengapa manusia bernafas? Mengapa pasir itu lembut dan kerikil itu tidak? Mengapa buah jambu itu bijinya banyak dan kenapa ada jambu bijinya cuma satu, tapi sama-sama disebut jambu?” Dan pertanyaan-pertanyaan ajaib itu dengan sabar dijawab oleh Jordan. Bila diberi jawaban asal-asalan, dia akan menunjukkan ekspresi tidak puas dan tentu akan ada pertanyaan susulan.
Jordan tersenyum, “Nanti daddy akan usahain pulang sebulan sekali.”
“Janji?” ucap Hana.
Jordan mengangguk, “Daddy, janji.”
“Hana, di makan makanannya dulu,” ucap Lauren.
“Iya, mom,” sahut Hana.
Jordan memandang Lauren, wanita itu juga makan dengan tenang lalu tersenyum kepadanya. Dia membalas senyuman Lauren. Jujur sebagai seorang pria dewasa dia mendambakan mempunyai keluarga seperti ini. Dia berpikir keluarga harmonis pasti anak-anak juga bahagia.
Jujur orang tuanya termasuk orang tua yang toxic. Beliau selalu bertengkar untuk hal-hal yang menurutnya tidak perlu. Dia juga sering melihat ibunya dulu sering menangis sendirian, ternyata papa diam-diam mempunyai simpanan. Pertengkaran dan perselingkuhan papa, membuatnya tidak focus belajar di sekolah. Pertengkaran kadang dipagi hari sebelum berangkat sekolah bahkan tengah malam beliau juga bertengkar. Dia bahkan pernah berteriak “kalau bertengkar terus lebih baik bercerai saja” Namun sampai sekarang kedua orang tuanya tidak pernah bercerai dengan alasan agama melarang.
Oleh sebab itu peran orang tua selama hidupnya sangat pengaruh ke dalam pergaulan, dia juga sempat berpikiran kalau dia tidak mau menikah. Karena baginya menikah itu sama sekali tidak ada indah-indahnya. Dia dulu kadang selalu iri dengan teman-temannya yang memiliki keakraban dengan orang tua.
Bukan tiap hari nanny yang ngurusin. Papa hanya memberikan materi namun perhatian dan kasih sayang tidak dia dapatkan. Namun semakin dewasa dia paham ternyata pernikahan yang di jalani teman-temannya yang sudah berumah tangga, semuanya sama saja seperti orang tuanya dulum bahkan sangat mengerikan, Mengurus perceraian yang ribet, harta gono gini, hak asuh anak, dia mendengar-nya saja rumit. Dan dia tahu inilah kehidupan dewasa yang sebenarnya, penuh dengan carut marut.
Tapi tetap saja dia mendambakan keluarga harmonis seperti ini, karena itu akan menumbuhkan rasa percaya diri yang lebih, memberikan rasa aman dan nyaman yang tidak akan pernah ditemui di tempat manapun karena Keluarga Harmonis adalah "rumah" . Bahkan, Keluarga Harmonis akan menjadi yang paling dan selalu dirindukan.
_____
Breakfast sudah selesai, Jordan, Hana dan Lauren duduk di taman belakang. Mereka menikmati alam di dekat rumah. Jordan memandang tanaman Lauren yang sudah mulai melayu, karena sebentar lagi masuk musim dingin, dan akan menghangat lagi nanti dibulan September. Mereka melihat Hana sedang duduk di pasir, dia memainkan mainannya di sana dengan tumpukkan pasir.
“Semalam saya mabuk?”
Lauren mengangguk, “Kamu sampai nggak sadarkan diri ketika sampainya di rumah.”
“Sorry, itu karena Daniel ngajak saya minum.”
Daniel itu adalah warga Indonesia yang tinggal di Melbourne yang merupakan teman Jordan di sini, semalam mereka menghadiri acara anniversary pernikahan Daniel dan istrinya, berakhir dengan minum-minum.
“I know, tapi tetap ada batasnya,” ucap Lauren lagi.
“Noted, ibu negara,” kata-kata Jordan membuat Lauren tertawa.
Daniel kembali memandang Lauren, dia wanita yang cantik, hatinya lembut, dan keibuan. Dia merasa sangat nyaman berada di dekatnya, apalagi melihat putri kecil mereka yang tumbuh dengan sempurna. Walau itu bukan darah dagingnya, namun menganggap Hana adalahnya putrinya. Karena saat proses persalinan dulu, dialah yang menemani Lauren.
“Hana menyuruh saya datang sebulan sekali.”
Lauren menatap Jordan, “Jangan dengarkan Hana, dia memang seperti itu.”
“Kalau saya datang sebulan sekali bagaimana?” Tanya Jordan.
Lauren memandang Jordan, lalu dia tertawa, “Terserah kamu Jordan, kalau kamu mau nggak apa-apa,” ucap Lauren.
Jordan tertawa, dia menyandarkan punggungnya di kursi, dia merentangkan tangannya sambil menatap Lauren. Dia lalu meraih jemari Lauren, Lauren membiarkan tangan hangan Jordan menggenggam tangannya.
“Ini sudah enam tahun saya lewati sama kamu. Saya berpikiran untuk menikahi kamu, Lau.”
“Kita bukan anak muda lagi, kita sudah menjadi orang tua. Saat ini kita hanya perlu menjalani hidup membesarkan anak kita. bertahun-tahun saya bolak-balik Jakarta Melbourne, dan menganggap ini rumah utama saya.”
“Masa lalu kamu biarlah berlalu. Saya tidak peduli Hana anak siapa. Ini masa depan kita, saya sudah menganggap kalau dia putri kecil saya. Saya yang merawatnya, membesarkannya, melihatnya tumbuh dari waktu ke waktu, dan mempersiapkan masa depan-nya.”
Lauren terdiam mendengar ucapan Jordan, entah kenapa dia merasa tersentuh dengan ucapan pria itu. Selama ini Jordan-lah yang merawat mereka berdua, asuransi kesehatan terjamin, tempat tinggal yang nyaman, dan rumah yang indah ini.
“Kamu mau hidup bersama saya?”
Lauren tidak menjawab ucapan Jordan, dia lalu memeluk tubuh pria itu. Jordan tersenyum dan membalas pelukkan pelukkan Lauren dengan segenap perasaanya.
“Jangan merasa sendiri karena saya akan bersama kamu seumur hidup saya.”
_____________
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
