FREE BAB 1-7 KAMU BUTUH UANG, AKU BUTUH TEMAN TIDUR

19
5
Deskripsi

Aku tidak bahagia dengan pernikahanku dan kamu sedang kesulitan ekonomi yang begitu mendesak. kamu butuh uang dan aku butuh teman tidur. Ini kisah kita, rahasia kita. 

PROLOG 

BAGAS SOEDIBJO 

Menikah Tanpa Cinta di jalani Bagas Soedibjo dengan wanita pilihan ibunya bernama Shareena. Seorang CEO dari stasiun TV swasta. 

Bertengkar di rumah dan berpura-pura bahagia ketika di hadapan seluruh keluarga serta media sudah menjadi rutinitas sehari-hari mereka berdua. 

Bagas tak cinta. Tak bisa di paksakan. 

Wanita yang terlalu Mandiri serta perfeksionis sama sekali tidak menarik di matanya. Terlalu mendominasi dan tak menyenangkan di ajak sebagai teman tidur. Sayangnya meski tak cinta, tapi pernikahan ini berlangsung selama 8 tahun. 

Mau aneh tapi ini nyata. 

Sampai akhirnya tipe gadis idaman Bagas muncul. Seorang gadis penjual jamu yang tingkahnya menggemaskan. 

Saking menggemaskannya, Bagas jadi ingin mengajaknya sebagai teman tidur. 

Eh? 

Maukah dia? 

------------------------------------------------------------------

MAYA SYAHRINI 

"Jamune Mas ... Jamu. Semua jenis jamu ada Mas. Hempassss penyakitnya. Huss, huss, sannaah!" 

Maya Syahrini. Begitu si penjual jamu gendong ini biasa di panggil oleh para FBM alias Fans Berat Maya. Dia cantik muda dan lucu dengan cara marketing berjualan yang suka mengikuti gaya manja dan alaynya Syahrini. 

Tapi di balik keceriaan dan kemanjaan serta alaynya itu, tersimpan sebuah kesedihan di mana dia harus bekerja keras demi operasi jantung sang Ibu dan membutuhkan uang senilai 25 juta untuk operasi ibunya. 

Saat sedang galau-galaunya, datanglah tawaran sesat dari tuan rumah tempat Maya sering menjajakan jamu untuk asisten rumah tangga dan sopir di rumah itu. Pak Bagas namanya. 

"Kamu butuh uang, saya butuh teman tidur." Begitu ucapnya. 

"Temen tidur itu, nemenin tidur aja. Ngobrol. Iya kan, Pak?"

"Ya enggak dong. Kalau 25 juta cuman buat ngobrol doang saya rugi." 

"Em ... Gimana ya?" 

 

 

BAB 1 

MAYA SYAHRINI 

"Jamune, Mas .... Jamune, Mbak .... Mpok, Abang, Jamu jamu ...."

Suara halus dari seorang gadis penjual jamu mampu membuat semua orang yang ada di perumahan Cempaka Putih keluar dari rumah mereka.

Gadis itu adalah Maya Syahrini, seorang perempuan cantik dengan postur tubuh yang aduhai. Dia biasa berkeliling menajajakan jamu tiap pagi dan sore dari rumah ke rumah.

Sudah sekian tahun Maya melakoni profesinya ini, demi menyambung hidup dan membayar biaya pengobatan sang ibu yang sekarang tengah terbaring di rumah sakit karena menderita gagal jantung stadium akhir.

"Aduhai, Syahrini .... Tiap hari makin cantik bae!" Seorang perempuan paruh baya melambaikan tangan, meminta Maya datang ke rumahnya.

"Harus makin cantik, Bu, biar gak kalah sama Syahrini yang asli!" balas Maya seraya mengibaskan rambut usai menurunkan bakul jamunya di teras Juju.

"Ih, centil amat, untung cantik!" Saking gemasnya Juju karena Maya begitu luwes dan ceria, ia sampai mencubit pelan lengan Maya. 

Sementara Maya terkekeh centil. Ia melayani  Juju selutus hati. 

"Mau jamu apa nih, Bu? tolak riba atau pegel mata?"

"Emang ada kayak begitu?" 

"Duh ... Kayak biasa aja. Buat ngencengin. Nih, si kembar." 

Maya mengangguk paham. 

"Siaaaap," ujarnya meracik jamu. "Dengan ramuan madura asli. Kunyit nya dari pedalaman Kalimantan nih. Madunya dari Sumbawa, kencurnya dari Ciamis ama di  Campur dikit lem korea." 

"Lah ... segala pake lem korea."

"Biar kenceng," bisik Maya. Membuat keduanya tertawa. 

"Bisa aja Kang jualan." 

Keceriaan keduanya mengundang para Tetangga yang lain berdatangan. Kebetulan Perumahan ini tidak terlalu ketat dan warganya pun saling akrab satu sama lain.  Mereka memang biasa meminum jamu buatan Maya di rumah Juju yang memiliki teras luas sehingga mampu menampung banyak orang.

"Ibu satu gelas ya, Syahrini, yang kayak biasa aja," ucap Romlah yang datang seraya memangku anak perempuan berusia satu tahun. 

"Orkes Bu Romlah. Jamu lancar peranakan siap di racik." 

"Abis ini mau keliling ke mana lagi?" tanya Juju mengembalikan gelas dan memberikan uang lima ribu rupiah untuk jamu yang telah masuk ke dalam perutnya.

"Ke perumahan sebelah aja, Bu, yang deket-deket," jawab Maya mengumpulkan gelas-gelas kosong untuk dibersihkan.

Kedua mata Juju langsung melebar. "Emangnya di sana ada yang beli jamu? Kan itu tempatnya orang kaya, perumahan eksklusif yang kagak sembarangan orang bisa masuk. Beda banget ama di sini." Perempuan itu cukup terkejut dengan jawaban Maya.

Ya, setelah dari Cempaka Putih, Maya akan langsung tancap gas kedua kakinya ke Naturals Residence, sebuah perumahan mewah di mana para konglomerat Jakarta berkumpul di sana.

"Ya ada, Bu. Rata-rata sopir sama asisten rumah di sana yang beli. Kalo yang punya rumahnya gak pernah keliatan satu pun," jelas Maya.

"Punya wajah cantik mah gaet aja bos yang ada di sana. Siapa tau ada yang nyantol! Lumayan banget tuh buat ngubah nasib keluarga," canda ibu-ibu yang lain.

Semua orang di sana tertawa, termasuk Maya yang sekarang menggelengkan kepala.

"Mimpi aja kayaknya kejauhan. Mpok, kalo berharap jodoh sama orang kaya," sahut Maya.

"Neng Syahrini, Abang mau dong, jamu yang bisa bikin ganteng, biar cocok ama Neng Syahrini," celetuk Agus, lelaki dua anak yang sudah menduda karena istrinya meninggal tiga tahun lalu.

Maya memutar bola mata, seraya berkata, "gak ada di sejarahnya jamu bisa bikin muka orang jadi ganteng. Ini jamu 'kan buat menghempas penyakit, bukan buat menghempas wajah kurang ganteng!"

Semua orang tertawa lagi. Pasalnya, barusan itu Maya berkata menggunakan nada yang benar-benar mirip Syahrini. Suaranya mendayu-dayu halus dan terdengar manja. Jadi, siapa pun tang mendengarnya tidak akan merasa kesal.

"Kalo mau nikah sama aye aja, Maya. Aye masih seger, nih! Masih bujangan!" celetuk Sapri.

Maya mengibaskan rambut, menatap Sapri dan langsung menggeleng. "Emang iya Bang Sapri masih bujangan, tapi kan udah berumur," balas Maya.

Tiap hari, banyak sekali godaan-godaan yang sampai kepadanya. Lelaki lajang dan sudah beristri kerap berlomba-lomba menarik perhatian si Syahrini KW. Namun, Maya tidak pernah menganggap serius semua ucapan itu dan sesekali menimpali dengan kecentilannya, yang akan membuat orang terpingkal-pingkal.

Hingga beberapa saat kemudian, keceriaan di rumah Juju berganti dengan sedikit ketegangan, saat Dahlia—seorang perempuan beralis kotak—datang dengan melotot dan tangan berkacak pinggang.

"Heh, Maya! Abis ini jangan dateng ke rumah gue, ya! Gara-gara elu jualan jamu tiap hari, suami gue jadi kagak pernah bantu-bantu di rumah!" hardik Dahlia.

Semua orang yang sedang berada di sana menjadi tegang gara-gara Dahlia yang tiba-tiba datang memarahi Maya. 

"Urusannya sama saya apa, Mbak Lia? Saya kan jualan jamu di luar, gak sampe masuk ke rumah Mbak Lia," timpal Maya sama sekali tidak mengerti.

"Ya gara-gara ada elu, suami gue jadi kagak nafsu sama gue! Dia nyuruh gue olahraga supaya punya badan semok kayak elu. Gue mah yakin, ya, suami gue udah kena pelet dari elu!" tuduh Dahlia seenaknya.

Kontan saja semua ibu-ibu  yang ada di sana langsung memutar bola mata.

"Ya jangan nyalahin Maya dong, Mbak! Marahin aja suaminya sendiri supaya jaga mata!" Juju maju untuk membela Maya.

"Halah! Bisa aja Buk,  bilang begitu, belum ngerasain ape yang aye rasain, kan?" Dahlia masih melotot. 

Romlah yang merasa sangat mengenal Maya kemudian membela gadis itu. 

"Udahlah, Mbak Lia, jangan ngerembet ke mana-mana. Emangnya salah Maya itu apa sih? Dia cuma jualan jamu, bajunya aja sopan begitu, kagak ada mengundang nafsu laki-laki. Kalo suami Mbak  sampe terpesona, ya jangan nyalahin Maya dong! Kurung suaminya di rumah, biar gak ganjen matanya, " papar Romlah.

"Iya bener."

"Iya bener." 

Tak hanya Juju dan Romlah yang membela Maya, ibu-ibu yang lain juga ikut turun tangan. Mereka itu tahu, keceriaan yang Maya tunjukkan tiap hari saat berjualan jamu bukan untuk menggoda.

Memang sudah karakternya yang seperti itu. 

"Belain aja terus. Belum aja suaminya di goda sama Kang Jamu gatel. Baru tahu rasa!'' 

Dahlia yang tersudut, akhirnya pergi dari sana dengan menghentakkan kaki. Dia kesal karena semua orang malah membela Maya.

"Huuuuuuu," sorak ibu-ibu itu pada Dahlia yang sebenarnya membuat tidak enak Maya. 

"Duh, Makasih ya udah percaya sama Maya."

" tenang aja main kita ini kan FBM. Fans Beratnya Maya. Kita percaya kok sama kamu." Buk Juju menjawab. "Kalau mau gatel, tanggung sama suaminya si Dahlia sih. Mending sama Bos sekalian ya, May." 

Mereka pun tertawa dengan kelakar Buk Juju tersebut.

"Amit-amit ah. Biar kata bos gede juga nggak mau jadi Valakor," ujar Maya mulai menggendong lagi bakul jamunya. 

"Ama Bang Sapri kalau gitu, May."

"Lah, sama Mas Agus aja," kata Agus."

"Sssttt dah ah, udah. Mas Agus sama Bang Sapri udah Maya anggap sebagai Kakak. Enggak mungkin jadi suami," putus Maya. 

"Yaaaah" 

Mereka pun tertawa kembali kehadiran Maya memang selalu memberikan Aura positif dan juga keceriaan bagi mereka. 

Maya  lantas kembali berjualan seperti semula. Disingkirkannya amarah Dahlia ke tempat paling jauh, agar Maya tetap bisa berjualan dengan ceria.

Semangat cari uang. 

***

Tepat tengah hari, Maya baru sampai di rumah. Semua jamu yang ada di botol kaca sudah habis tak bersisa. Maya lekas membersihkan diri, karena harus ke rumah sakit untuk menjaga sang ibu.

Sampai di sana, Maya menemui dokter, menanyakan kondisi sang ibu yang makin hari, makin terlihat lemah saja.

"Itu karena kondisi jantung Bu Rahma sudah benar-benar buruk, menyebabkan metode pemberian obat-obatan sudah tidak berjalan efektif," jelas sang dokter.

Kedua mata Maya langsung berkaca-kaca. Tangannya meremas ujung baju. "Jadi pengobatan seperti apa yang bisa bikin ibu saya membaik, Dok?" tanyanya berharap-harap cemas.

"Jalan terakhir, Bu Rahma harus melakukan transplantasi jantung," jawab sang dokter menyatakan yang sebenarnya.

"A—apa, Dok?" Maya menelan ludah. Dia tahu apa maksud dokter di depannya.

Akan tetapi, menjalani transplantasi bukanlah sesuatu hal yang mudah. Pihak rumah sakit harus mencari pendonor yang tepat, biasanya jantung yang akan didonorkan berasal dari orang yang baru saja meninggal. Selain itu, pastilah operasi tersebut menelan biaya yang besar, belum lagi Maya harus menyiapkan uang untuk ibunya perawatan pasca operasi.

Maya yang makin lemas, lantas keluar dari ruangan dokter, menuju ke sebuah ruangan di mana selama ini ibunya mendapatkan pengobatan.

Perempuan itu tidak lekas masuk ke dalam sana, sebab air matanya sudah luruh tak bisa ditahan. Maya tidak ingin kehilangan sang ibu, tetapi dia juga kebingungan, dari mana dirinya bisa mendapatkan banyak uang dalam waktu dekat?

 

Bab 2 

BAGAS SOEDIBJO 

Seorang wanita cantik tengah melipat tangannya di atas pinggang di depan sang lelaki. Matanya memicing tajam, berharap pria yang berstatus sebagai suaminya itu akan sedikit terusik dengan sikapnya.

Akan tetapi, lagi-lagi Shareena harus menelan kekecewaan, saat Bagas Soedibjo,  bangkit berdiri dan melewati dirinya begitu saja setelah selesai memasang kemeja dan memastikan pakaiannya rapi. Punggung lebar Bagas sungguhan berlalu, menjauh dari pandangan mata.

"Gas! Aku lagi ngomong sama kamu!" teriaknya pada sang suami.

Kalau Shareena berkata sepanjang apa pun, tidak pernah ada respon dari Bagas. Lelaki itu seperti di-setting untuk selalu diam.

Tak ingin kehilangan langkah Bagas, Shareena pun menyusul. "Kamu gak denger aku, ya?"

Bagas tetap melanjutkan sarapannya. Ia harus cepat-cepat pergi bekerja, tidak ingin terjebak di kemacetan ibukota dan demi menghindari ocehan istrinya yang setiap hari selalu mengganggu telinga. 

"Gas! Jawab pernyataan aku sekali aja!" bentak Shareena tidak tahan lagi.

"Apa, Shareena?" Akhirnya Bagas bersuara juga. Itupun dengan nada malas-malasan dan hanya sekilas melihat wajah istrinya. Setelah sampai di meja makan untuk sarapan.  Hanya satu kalimat berisi dua kata saja sebagai jawabannya. Benar-benar irit.

Shareen seharusnya sudah terbiasa dengan keadaan ini tapi dia tetap saja kesal dengan sikap Bagas. Yang membuat tekanan darah tingginya semakin naik setiap hari. 

"Aku tanya sama kamu, siapa perempuan ini!" Shareena dengan segenap emosinya,  menaruh ponsel ke atas meja. Di ponsel tersebut  menunjukkan foto Bagas dan seorang perempuan yang tengah berbincang di depan toko baju di  sebuah Mall. 

Shareena mendapatkan foto tersebut dari salah seorang sahabatnya yang kebetulan lewat di mall itu. 

Ia begitu kalap, karena sejak semalam, Bagas masih menutup mulut. Bahkan hingga pagi ini pun, suaminya itu masih saja tidak menunjukkan keinginan untuk memberi penjelasan.

Apa susahnya menjawab saja pertanyaan itu agar dia berhenti mendesak? Shareena menggerutu dalam hati.

Sementara Bagas hanya menatap sekilas. Dia sudah tahu Shareena memiliki foto tersebut sejak semalam, tetapi tidak menanyakan dari mana sumbernya. Toh,  perempuan yang Bagas temui kemarin malam memang teman lamanya. Mereka baru bertemu kembali setelah sepuluh tahun lamanya, itu pun karena ketidaksengajaan.

"Cuma temen dan kita cuma ngobrol. Kamu boleh marah kalau foto itu isinya aku sama dia di atas ranjang."

Shareena melotot mendengarnya. 

"Gak ada yang tahu setelah pertemuan di mall itu kalian ke mana." 

"Ya suruh temennya cari tahu dong kalau kasih informasi jangan setengah-setengah kayak gitu," jawab Bagas santai. Tetap melanjutkan sarapannya. Sepotong roti dengan selai plum. 

" Enteng banget sih kamu ngomong kayak gitu. Kamu sadar? Kalau aku ini public figure. Aku biasa diliput sama media. Belum lagi kerjaan kamu. Belum lagi dua keluarga kita yang sama-sama menjaga baik nama mereka. Bisa-bisanya kamu ketemuan sama perempuan lain di tempat orang banyak kayak gitu." 

Bagas meminum kopinya kemudian menoleh pada istrinya yang masih saja berdiri menuntut penjelasan darinya. Padahal Bagas yakin kalau istrinya itu tahu dia dan perempuan itu tidak ada hubungan apa-apa.

Shareena seperti biasa. Selalu memulai pertengkaran jika melihatnya bersama dengan perempuan lain dengan alasan menjaga nama baik mereka. 

"Kamu cemburu?"

Shareena  tertawa miris lagi-lagi melipat Tangannya di atas perut. 

"Emang penting perasaan aku? Setidaknya kamu hargai pernikahan ini jangan sembarangan ketemu sama perempuan lain. Gimana kalau ada gosip? gimana kalau sampai terdengar sampai kedua orang tua kita? Aku capek dengan pernikahan yang gak ada kebahagiaannya sama sekali!"

" kalau nggak bahagia,  kamu tahu apa yang harus kamu lakukan." 

Shareena terdiam. 

Berulang kali bagus mengatakan agar dia menggugat cerai kalau tidak bahagia dengan pernikahan ini. 

Bagas pintar. Jika Shareena yang menggugat cerai, maka namanya yang jelek. Bagas terlalu sempurna di mata keluarga sehingga tidak akan ada yang percaya jika Bagas memiliki sifat yang jelek yang sama sekali tidak mau menyentuh istrinya. Setelah malam pertama mereka delapan tahun yang lalu. 

Ia tidak berselera dengan Shareena.  Meskipun Shareena adalah wanita yang cantik. Bagas selalu beranggapan jika Sharena terlalu tinggi untuknya dan dia tidak suka wanita yang terlalu dominan. Serba mengatur ini dan itu dan cemburuannya luar biasa. 

Pernikahan atas dasar Perjodohan ini memang tanpa cinta dan uniknya sudah berjalan 8 tahun. Penuh dengan ke sandiwaraan serta pertengkaran lebih tepatnya lagi syarana yang mengajak bertengkar karena sikap Bagas yang selalu cuek dan acuh padanya. 

"Kenapa diam?" tanya Bagas menoleh pada Shareena dan kini sengaja memusatkan perhatiannya pada sang istri. 

"Takut? takut gak ada lagi yang nafkahin tiap bulan sebesar aku? takut aku nikah sama pramugari atau model lainnya?" Ejek Bagas. "Aku nunggu kamu gugat cerai aku." 

Shareena meneteskan airmatanya. Entah pria itu berapa kali bermain di belakangnya tapi dia mencoba menutup dari keluarga sambil berharap Bagas berubah mencintainya dan mempertahankan pernikahan ini. 

Mereka hanya menikah di atas kertas, tidak pernah saling menyentuh satu sama lain lagi setelah malam itu. Lebih tepatnya Bagas yang selalu menghindar dan mereka memiliki kamar pribadi sendiri-sendiri. 

"Kamu sekarang lagi selingkuh lagi dari aku, ya?" tuduh Shareena pada akhirnya dengan pelan tak meledak-ledak seperti tadi.

Bagas mual melihat drama istrinya. Untung saja Bagas bisa menahan itu. Otaknya masih berjalan baik, sehingga dia hanya menyeka mulut menggunakan tissue, sebelum mendongak dan menatap sang istri.

"Ngomong apa barusan?" tanya Bagas meminta Shareena mengulang. Sama sekali tidak ada bentakan di dalam suaranya, tetapi bicara Bagas sangat tajam, sehingga Shareena refleks mundur satu langkah dari tempatnya.

Seketika saja perempuan itu gelagapan, tetapi mencoba untuk tetap bertahan. Bagas itu memang irit bicaranya, tapi sekalinya bicara, maka yang keluar dari mulutnya hanyalah kata-kata tajam bernada ketus.

"Aku nanya begitu demi pernikahan kita!" sahut Shareena kembali melotot setelah berhasil mengumpulkan lagi keberaniannya. Dia tidak ingin kalah dari Bagas yang kelewat dingin.

Bagas adalah suaminya, dan dia berhak menanyakan bersama siapa Bagas semalam. Kendati tidak ada cinta di pernikahan mereka, tetapi Shareena harus melindungi ikatan ini dari kecurigaan semua orang.

Shareena ingin semua orang menganggap pernikahannya dengan Bagas sangat bahagia dan dipenuhi oleh rasa cinta. Maka dari itu, dia berusaha keras mencegah Bagas memiliki selingkuhan di luar sana, sebab akan berbahaya jika orang-orang tahu. Mau Shareena simpan di mana wajahnya yang cantik ini?

"Aku berhak nanya begini sama kamu, ya! Gimana pun juga, aku ini istri kamu!" ucap Shareena mengingatkan.

"Ya! Kamu puas? Lalu kamu mau apa?" tanya Bagas balik. Membuat wanita itu meneteskan air mata dalam diam. 

Bagas berdiri dari duduknya mengambil kunci mobil dan keluar. 

"Gas! Bagas!" 

Dia telah mencoba berbagai cara agar suaminya itu menoleh, tetapi Bagas sama sekali tidak melakukan itu. Dia tetap melangkah menuju pintu depan. 

Pertengkaran mereka di dengar oleh Bik Sari yang sedang ada di halaman depan. 

Atau mungkin lebih tepatnya, pertengkaran Shareena dengan dirinya sendiri, sebab Bi Sari tahu, Bagas tidak pernah menggubris, sehingga Shareena akan semakin marah dan memaki tidak jelas. Dan suaranya yang paling jelas terdengar dari luar. 

Bi Sari menggelengkan kepala, tidak paham juga mengapa tuannya itu begitu dingin pada istrinya sendiri. Ya, Bi Sari baru bekerja selama lima tahun di rumah Bagas dan Shareena, menggantikan asisten rumah tangga yang keluar karena sudah renta dan ingin menghabiskan masa senjanya bersama anak dan cucu di kampung.

Selama lima tahun itu, Bi Sari jarang sekali mendengar Bagas bicara. Sang tuan hanya akan membuka suara ketika ada beberapa hal penting, selebihnya benar-benar tidak ada. Selama ini juga, Bi Sari tidak pernah melihat sepasang suami istri yang masing-masing sudah mapan itu bermesraan ketika ada di dalam rumah.

Mereka adalah pasangan yang sah di mata agama dan negara, tetapi keduanya tidak pernah terlihat akur dan kompak. Shareena dan Bagas macam dua manusia yang dipaksa tinggal di satu rumah yang sama.

"Mendingan nungguin si Syahrini di depan," gumam Bi Sari pada akhirnya, keluar dari gerbang yang menjulang tinggi demi mencegat tukang jamu langganannya. Daripada ketahuan menguping dan dia tidak enak nantinya. 

Pas sekali.

Syahrini KW yang tengah ia tunggu pun muncul dari belokan jalan. Maya yang kemarin sore menangis pilu memikirkan nasib sang ibu, sekarang sudah kembali ceria. Kendati hanya tukang jamu gendong, ia memiliki tuntutan pekerjaan, mengharuskan dirinya bersikap profesional.

"Meuni seger pisan!" puji Bi Sari senang dengan kedatangan Maya yang cantik dengan kebaya kuning serta kain panjangnya. 

Perempuan itu mengedip nakal, tentunya hal yang akan ia tunjukkan kepada pelanggan perempuan saja.

"Seger dong. Biar yang beli jamu juga percaya kalau zamannya berhasiat, bisa bikin wajah dan body seger kayak yang jualan." 

Bik Sari tertawa melihat keceriaan Syahrini KW itu. 

"Mau masuk gak? Di dalem Bibi punya pisang bolen, barangkali kamu mau," ajak Bi Sari ramah.

Maya langsung menggeleng, takut. Melihat pagar di depannya saja dia sudah minder.  apalagi jika masuk ke dalam sana. Maya sungkan menjejakkan kakinya di rumah orang kaya.

"Di sini aja, Bi," kata Maya menolak halus.

Baru saja ingin menurunkan bakul jamunya, gerbang di hadapan mereka terbuka otomatis. Mobil Bagas melaju dari dalam.

Lelaki itu sungguhan pergi setelah menghabiskan makanannya. Saat hendak memutar setir kemudi, matanya lekat memandang Maya selama beberapa detik.

Baru kali ini dia melihat penjual jamu itu di depan rumahnya. Berbeda dari tukang jamu Kebanyakan yang penjualnya sudah berumur penjual jamu satu ini,  cantik, segar, masih muda dan ... Sexy. 

Itu adalah penilaian pertama dari Bagas untuk Maya, yang tentunya hanya diucapkan dalam hati. Karena setelah melewati gerbang, Bagas benar-benar berlalu. Namun, lelaki itu sekali lagi menoleh ke belakang, demi melihat si penjual jamu. 

 

Bab 04 

MAYA BUTUH UANG 



 

Maya memiliki rutinitas biasa setiap harinya. Usai berjualan jamu di sore hari, maka dia akan menemui sang ibu di rumah sakit. Maya alan menginap di saja, barulah pulang pagi-pagi buta sekali usai menitipkan Rahma kepada suster jaga.

"Gimana jualan hari ini, Nak?" tanya Rahma yang tampak lemah. Tubuhnya amat kurus, hanya tersisa tulang yang dibalut oleh kulit.

Rahma yang dulunya segar bugar karena sering mengonsumsi jamu, kini hanya terbaring lemah tanpa daya. Penyakitnya membuat perempuan paruh baya itu mengalami penurunan berat badan yang parah. Tak hanya itu, napasnya juga kerap tersengal, sehingga ia hanya bisa berbaring dan tidak sanggup melakukan aktivitas berat lainnya.

"Alhamdulillah laris, Bu, kayak biasa," jawab Maya dengan senyum. Ia mencelupkan waslap ke dalam air hangat dan mulai menyeka beberapa bagian tubuh sang ibu.

"Aku mau ngomongin sesuatu yang penting sama Ibu." Perempuan itu kembali ke tempat semula, usai memastikan Rahma berbaring nyaman dengan tubuh yang lebih segar.

"Kemarin Maya ketemu sama dokter, nanyain soal kondisi Ibu. Karena gagal jantung yang ibu derita ini udah ada di stadium akhir, dokter menyarankan supaya Ibu jalanin transplantasi jantung," ungkap Maya pada akhirnya.

Dia tidak bisa lagi menyimpan semuanya seorang diri. Bagaimanapun juga, Rahma harus tahu semuanya.

"Jangan, Maya, Ibu takut," tolak Rahma seraya menggelengkan kepala. Selama menderita penyakit ini, tentulah ia tahu betul berbagai macam metode pengobatan yang kerap dilakukan oleh si penderita gagal jantung.

Perihal transplantasi jantung, bagi Rahma sendiri itu adalah hal yang paling menakutkan. Tubuhnya akan dibedah, jantungnya akan diganti oleh jantung dari orang yang baru saja meninggal.

Hanya menbayangkannya saja, Rahma sudah tidak sanggup.

"Harus, Bu. Dokter udah bilang kalo transplantasi jantung itu satu-satunya cara biar Ibu sembuh. Ibu sendiri tau 'kan, obat-obatan yang sering Ibu konsumsi itu udah gak mempan?" Maya berusaha meyakinkan sang ibu.

Di dunia ini, hanya Rahma yang Maya punya. Andai jika Rahma tidak lagi ada, lantas bagaimana dengan Maya? Perempuan cantik itu tidak bisa membayangkan jika harus hidup seorang diri.

Sementara Rahma tetap menolak dengan gelengan kepala. Mungkin saja dia memang harus segera istirahat dengan damai, agar tidak lagi menyusahkan sang putri semata wayang. Bertahun-tahun menderita penyakit seperti ini, Rahma sadar betul bahwa dia hanya merepotkan dan seolah mencengkeram masa depan Maya, karena harus merawatnya.

"Bu—"

"Kita gak punya biayanya, May," potong Rahma menatap kedua mata anaknya. "Ibu udah banyak banget ngerepotin kamu. Sudah saatnya kamu mikirin hidup kamu sendiri, cari jodoh, lalu nikah. Jangan melulu mikirin Ibu yang udah sakit-sakitan ini," sambungnya sangat serius.

Sekarang Maya yang menggeleng. Bagaimana dia bisa fokus pada diri sendiri, jika pusat dunianya ada pada Rahma?

"Ibu gak usah khawatir soal jodoh. Ibu 'kan tau kalo aku ini cantik. Di luar sana ada banyak cowok yang suka sama aku. Jadi kalo aku udah siap nikah, ya aku tinggal tunjuk jari aja," kelakar Maya menghibur diri sendiri, tidak ingin air matanya tumpah di depan sang ibu.

Rahma menggeleng-gelengkan kepala, tahu betul jika Maya tengah bersandiwara baik-baik saja dengan keadaan ini.

"Pokoknya Ibu harus mau, ya? Aku punya tabungan kok, Bu. Jangan ngeremehin tukang jamu ini," imbuh Maya berusaha tertawa riang, padahal hatinya begitu pilu melihat kondisi sahg ibu.

Rahma pun terdiam, demi menatap Maya sungguh-sungguh. Dia mencari celah kebohongan, barangkali Maya memang hanya asal bicara soal uang tabungan itu.

Akan tetapi, Rahma sama sekali tidak menemukan celah yang ingin dia korek lebih jauh. Sekarang ini, Maya malah tertawa, seolah tidak memiliki beban berat di pundaknya.

"Habis dari sini aku tanyain ke dokter kapan kira-kira Ibu bisa operasi. Karena itu Ibu harus mau, oke?" Senyum Maya tercetak lebar, berbanding terbalik dengan hatinya yang teriris pilu. Akan dia usahakan segala macam cara, demi bisa menyembuhkan sang ibu.

***

Sebelum malam menjelang, Maya sengaja berpamitan pada Rahma. Dia beralasan harus mengantar banyak pesanan kamu ke rumah tetangga yang sedang melangsungkan acara. Padahal, tujuan Maya sudah jelas, yaitu hendak menemui Juragan Bahar.

Lelaki yang telah berusia senja—bisa dibilang sebaya dengan mending kakek Maya—adalah seorang juragan tanah yang kaya raya. Di halaman rumahnya ada berbagai macam jenis mobil yang berjejer rapi.

Sejujrunya Maya selalu takut jika menginjakkan kaki di rumah Bahar. Namun, kali ini dia harus memberanikan diri demi kesembuhan sang ibu.

Kebetulan ketika Maya naik ke undakan tangga rumah Bahar yang mewah, lelaki renta itu sedang bersantai dengan asap rokok mengepul di udara.

"Malam, Juragan." Maya sungguh mengumpulkan keberanian hanya untuk menyapa Bahar.

Si lelaki renta itu menoleh. Keningnya sedikit berkerut melihat Maya datang menjelang magrib ke rumahnya, tidak seperti biasa.

"Ada apa, Neng Syahrini?" tanya Bahar seraya menyilakan Maya duduk di depannya.

"Saya ada perlu, Juragan," kata Maya tidak langsung berterus terang. Perempuan itu tengah memilih kalimat yang tepat untuk diucapkan di depan sang juragan.

"Perlu apa?" Kendati sudah tua, mata Juragan Bahar masih saja jelatatan. Terang-terangan dia menatap dada Maya yang membusung.

Meski tertutup oleh baju yang sopan san tidak melekuk tubuh, Bahar sangat yakin jika semua isi di dalamnya sangat menggoda, ranum, putih, dan pastinya sehalus sutra.

"Begini, Juragan, ibu saya ada di rumah sakit. Kata dokter harus segera transplantasi jantung supaya keadaannya membaik. Saya ada niat pinjam uang ke Juragan sebanyak 25 juta. Barangkali Juragan bersedia ngasih, saya janji akan melunasinya tepat waktu," tutur Maya pada akhirnya.

Ucapan Maya barusan bagai angin segar untuk Bahar. Uang 25 juta tentu saja ada di kamarnya, bisa dia ambil dengan mudah dan memberikannya saat itu juga kepada Maya. Namun, tentulah Bahar harus memanfaatkan situasi ini, alias menyelam sambil minum air.

"Kamu 'kan cuma jualan jamu, emangnya bisa bayar utang segitu dalam waktu empat bulan ditambah bunga?" tanya Bahar dengan senyum mesum yang sudah terpatri di bibirnya.

Maya terhenyak. Saking terkejutnya atas tenggat waktu yang diberikan oleh Bahar, dia sampai tidak melibat senyum kurang ajar dari lelaki tua bangka itu.

"Sulit, Maya. Posisi kamu ini sulit," tambah Bahar seraya berdecak berulang kali. "Saya bisa aja ngasih uang itu sekarang, tapi ada syaratnya."

Kedua mata milik Maya langsung berbinar. "A—apa itu juragan? Kalau diminta buat jadi asisten rumah tangga di sini saya mau, kok. Di rumah saya biasa nyuci gosok sendiri. Masak berbagai menu juga saya bisa, Juragan," paparnya antusias.

"Ah, gak perlu repot-repot jadi pembantu, Maya. Jadi istri keempat saya aja. Gimana?" tawar Bahar semakin melebarkan senyum mesumnya.

 

BAB 05

MAYA CARI PINJAMAN

Istri ke empat katanya? 

Bus*t! Apa masih kuat?

Maya langsung bergidik, membayangkan dirinya jadi istri Bahar. 

Bukan hanya masalah umur yang tak layak bersanding. Tapi ada hal-hal negatif lain yang bisa dia dapat jika menerima tawaran itu. 

"Nggak ah! Saya gak mau! Lebih baik saya cari pinjaman ke tempat lain, daripada harus jadi istri keempat Juragan!"

"Eh? Tadi katanya ..."

"Saya masih sayang nyawa juragan. Tiga istrinya aja tiap hari kedengeran terus ribut. Malah ada yang katanya kirim santet lah."

Bahar sendiri memang tidak bisa dipungkiri ketiga Istrinya selalu bertengkar dan selalu menjadi konsumsi masyarakat. Kalau salah satu ada yang sakit pasti menyalahkan yang lainnya Katanya kirim santet lah atau diguna-guna dukun. 

" Kirim paku ke perut, kirim baut, kirim obeng, kirim tank. Hih! Enggak ah, makasih. Mundur mundur cantik aja!'' Maya langsung ambil langkah seribu sebelum dia disergap dan badannya seksi sama lo hari ini bisa disentuh oleh juragan Bahar. 

"Jangan dong!" Cegah Bahar ketika Maya akan pergi.

"kabuuuur" 

Teriak Maya, menolak mentah-mentah dan langsung pergi dari sana.

Sebelum benar-benar berlalu, dia berhenti di ambang pintu Kemudian menatap tajam pada Bahar yang sepertinya sudah ingin memaki.

"Awas kalau ngejar. Aduin nih, sama istrinya yang lain!" 

Juragan Bahar diam di tempat. 

Maya pun betulan kabur. 

Meminjam pada Bahar sama saja dengan mengorbankan hidupnya sendiri. Maya memang sudah berjanji akan melakukan apa pun, tapi jika harus menjadi istri keempat Bahar, maka jawabannya adalah tidak.

Maya yakin, akan terjadi banyak perselisihan jika dia setuju dengan tawaran itu. Ketiga istri Bahar sebelumnya pasti akan sering mencari gara-gara. Ditambah, Bahar itu memang sudah tua, mungkin sudah 75 tahun. Bulu kuduk Maya sampai meremang ketika membayangkan dirinya dipersunting oleh si juragan mesum.

***

Setelah dari rumah Bahar, Maya kembali ke rumah sakit. Sepanjang malam perempuan itu memikirkan ke mana lagi dia harus mencari uang.

Ingin menjual barang, tetapi di rumah kontrakannya sama sekali tidak difasilitasi oleh barang-barang berharga. Hanya ada kulkas bekas untuk bahan jamu dan televisi tabung 14 inch yang harus di gebrak dulu waktu di hidupkan.  Andai pun dijual, Maya tidak yakin hasil penjualannya akan tinggi, sebab kedua barang itu punya model yang jadul alias sudah tua. Paling laku, di jual ke Udin rongsok.  Untuk di tukar dengan bawang merah seperapat. 

"Nanti aku coba minjem ke ibu-ibu aja," gumam Maya dalam hati, sebelum tertidur dan bangun pagi-pagi sekali. "Tapi dapet gak ya? 25 juta?" tanyanya sendiri, tidak yakin. 

"Ah, coba aja. Kali aja ada yang baru dapat warisan atau ada yang dapat gusuran. Bisa di pinjem dulu duitnya, aamiin." 

***** 

paginya, ia langsung berpamitan pada sang ibu demi menyiapkan berbagai macam jenis jamu yang sebelumnya sudah diracik sempurna. Maya langsung berangkat ke Cempaka Putih, melewati rumah mewah milik Bahar yang biasanya menjadi langganan.

"Gak sudi lagi dateng ke sana ah!  Dasar tua bangka mesum!" maki Maya menggunakan nada khas Syahrini. Jika ada yang mendengar ucapan Maya barusan, sudah dipastikan mereka akan tertawa. Pasalnya cara Maya bicara teramat persis dengan selebriti pemilik Jambul Khatulistiwa itu. 

Melangganglah Syahrini KW itu ke rumah Juju. Tidak ada yang akan pernah membayangkan jika di balik keceriaan dan kecentilan Maya saat ini, ada banyak beban pikiran yang sengaja disembunyikan.

"Haaaai, Syahrini!" Romlah yang ternyata sudah berada di Rumah Juju lebih pagi dari biasanya pun melambaikan tangan.

Maya yang melihat itu juga langsung berlari kecil dengan lenggak-lenggok yang centil, sama sekali tidak terganggu dengan bakul jamu yang dia bawa.

"Besok-besok kalo jualan mendingan pakek motor!" celetuk Juju yang khawatir Maya akan encok seperti dirinya karena membawa beban cukup berat setiap hari.

"Ih,! Justru yang begini bisa bikin badan semok aduhai tau!" bisik Maya sama sekali tidak menghilangkan kecentilannya barang sesaat.

"Aih ... dikasih saran malah ada aja jawabannya!" sahut Juju.

"Pinter ngomong itu wajib, ! Bahaya kalo perempuan gak pinter ngomong. Betul gak, Buk Romlah?" Maya menyenggol Romlah.

Cepat-cepat Romlah mengangkat ibu jari, memberi nilai 'OK'  atas perkataan Maya barusan.

Maya melayani pelanggannya seperti biasa, sembari mencari waktu yang tepat untuk bicara pada ibu-ibu yang ada di sana. Maya pikir, sudah waktunya ia bercerita pada semua kenalannya perihal penyakit yang diderita oleh Rahma selama bertahun-tahun ini.

Akan tetapi, saat Maya ingin memulai semuanya, tiba-tiba Romlah bicara lebih dulu.

"Di mana ya, nyari pinjeman uang?" tanya Romlah, membuat Maya langsung menatapnya.

"Buat apa nyari pinjeman, Mpok? Idup Mpok pan udah enak, ditanggung ama mertua yang punya banyak kontrakan," sahut Juju agak bingung.

Pasalnya, semua orang tahu selama ini Romlah sangat hidup berkecukupan, meski suaminya hanya sebagai kuli serabutan.

"Mertua aye lagi sakit, Mpok. Udah dua seminggu di rawat di rumah sakit, dokter bilang struk. Badan bagian kirinya gak bisa gerak kayak biasa," papar Romlah.

Lantas ibu-ibu di sana turut prihatin atas kondisi mertua Romlah. Mereka sepakat untuk menjenguk ke rumah sakit besok sore.

"Emang lagi musimnya penyakit ya taun ini. Anak aye aja yang bungsu udah dua kali masuk rumah sakit." Seorang perempuan turut mengeluh, karena uang tabungannya sudah habis untuk biaya sekolah anak pertamanya, dan biaya bolak-balik ke rumah sakit anak bungsunya.

Baru juga Maya ingin meminjam kepada mereka tapi ternyata para ibu-ibu ini juga sedang butuh uang. 

Mereka kompak ingin mencari pinjaman. Maya pun mendapatkan informasi, jika ada beberapa orang yang sering datang ke Cempaka Putih menawarkan pinjaman dengan membayar angsuran per minggu.

Awalnya Maya ingin ikut mendaftar, tetapi katanya, untuk peminjam pertama maksimalnya akan mendapatkan 500 ribu saja.

Seketika antusias yang dirasakan Maya sebelumnya berangsur padam. Bukannya ingin menyepelepan uang 500 ribu, tetapi tentulah uang itu tidak akan bisa mencukupi biaya rumah sakit sang ibu.

Maya sudah menyimpulkan bahwa semua langganannya tengah menghadapi kesulitan perihal ekonomi, maka ia pun mengurungkan niatnya untuk mulai bercerita.

Biarlah ia simpan semuanya sendiri, takut menambah beban orang lain jika dirinya ikut mengeluh.

***

Bagas berdiri di depan pintu rumah yang sengaja dibiarkan terbuka. Lelaki itu baru saja lari pagi berkeliling perumahan. Mumpung libur, maka Bagas tidak akan membuang waktunya yang berharga.

Baru saja ingin berbalik, Bagas melihat Bi Sari membukakan gerbang untuk seorang penjual jamu cantik yang kemarin membuatnya terpesona.

Bagas jadi penasaran sendiri tentang perempuan itu, apalagi Bagas berkesimpulan, jika tubuh proporsional milik si penjual jamu itu bisa dibandingkan para pramugari di maskapai penerbangan tempatnya bekerja.

"Bi!" panggil Bagas dari jauh.

Bi Sari yang hendak menikmati jamu, segera mengembalikan gelas yang masih penuh kepada Maya. Sementara dirinya lantas bergegas menghampiri sang tuan.

"Aduh, maaf, Pak. Saya cuma minum jamu aja, nanti tukang jamunya saya suruh pergi," ucap Bi Sari, beranggapan Bagas hendak marah.

Bagas yang tidak mengerti langsung menatap Bi Sari. "Ngapain di suruh pergi? Minum aja jamu diteras, saya juga mau pesen satu gelas."

Bi Sari terperangah sekaligus takjub. Jarang-jarang Bagas berucap panjang lebar seperti barusan. Saking cueknya, Bagas itu cenderung hanya menyahut dengan dehaman, jika Bi Sari menyampaikan sesuatu.

"Saya mau satu gelas," ulang Bagas membuat Bi Sari langsung mengangguk dan memanggil Maya agar duduk di teras, alih-alih di pos satpam.

Bagas makin terpesona dengan lenggak-lenggok si penjual jamu. Matanya menatap lekat selama beberapa saat, sebelum masuk ke dalam rumah.

"Dari mana dia punya body bagus begitu?" tanya Bagas ingin kembali mengintip, tetapi tidak jadi melakukan hal tersebut.

Tak lama kemudian, Bi Sari mengantarkan segelas jamu yang diinginkan Bagas ke atas meja. Setelahnya perempuan paruh baya itu kembali ke luar.

"Bi, kalo kerja di sini gajinya gede gak?" tanya Maya sedikit berbasa-basi, barangkali ada kesempatan untuknya bekerja dengan gaji lumayan.

"Atuh gede pisan. Neng! Nih, ya, Bibi kerja lima tahun di sini, udah bisa beli motor sama tanah di kampung. Rencananya taun ini Bibi mau renov rumah dikit-dikit tapi ditunda dulu, soalnya anak Bibi yang nomor dua mau masuk kuliah," jelas Bi Sari sangat bangga bisa bekerja di rumah Bagas.

Mendengar itu, Maya seperti merasakan angin segar. Pertama-tama, Maya mengutarakan niatnya untuk mencari pekerjaan yang serupa dengan Bi Sari, menjelaskan juga jika dia butuh uang cepat untuk biaya rumah sakit Rahma yang hendak dioperasi.

Hingga pada akhirnya, Maya memberanikan diri meminjam uang pada Bi Sari. 

"Kalau segitu mah gak ada, Neng, tapi Bibi janji, Bibi bakal bantu sebisanya, ya?" hibur Bi Sari sungguh-sungguh. Dia merasa iba karena ternyata selama ini Maya menyimpan banyak kesusahan. 

Tanpa mereka tahu, obrolan dari awal hingga akhir juga didengar oleh Bagas yang sedari tadi  berdiri di belakang pintu. Senyum lelaki itu terpatri. Sepertinya dia sudah mendapatkan cara untuk menggaet Maya dengan cepat.

---

BAB 06

BAGAS IN ACTION 

 "Sok atuh sekarang mah lebih baik pulang, jangan lama-lama jualan. Bibi liat jamunya juga udah pada abis," saran Bi Sari kepada Maya.

Perempuan itu mengangguk. Dia terharu karena katanya Bi Sari akan datang ke rumah sakit jika mendapatkan izin dari sang tuan rumah. Karena janji itulah, Maya dan Bi Sari saling bertukar nomor ponsel.

"Makasih, ya, Bi." Maya tersenyum penuh haru.

Bi Sari pun agak tertegun. Si Syahrini KW yang sangat centil, ceria, suka melawak, tidak pernah terlihat murung, kini tampak berbeda. Binar di kedua matanya redup, menandakan bahwa beban yang tengah ditanggungnya benar-benar besar.

"Nanti kita lanjutin lagi di WA, ya," kata Bi Sari tak enak hati jika harus berbincang lama di teras rumah milik majikannya.

Maya pun bergegas pergi, tentunya setelah mendapatkan kembali gelas yang sudah diambil Bi Sari di dalam rumah.

Sementara Bagas yang sudah kembali ke kursi karena tak ingin ketahuan tengah menguping, sekarang berjalan cepat menuju mobil. Sebelum melajukan kendaraan roda empatnya, Bagas lebih dulu menunggu Maya berjalan lebih jauh.

"Ide ini harus direalisasikan, gak boleh gagal." Lelaki itu bertekad dalam hati, menjadi tidak sabaran untuk mengajak Maya bernegosiasi.

Anggap saja Bagas itu nakal dan mesum. Ya, memang seperti itu adanya. Memangnya, siapa sih di dunia ini lelaki yang tidak terpana dengan kecantikan Maya dan juga eloknya tubuh perempuan itu?

Lagipula Bagas juga menawarkan sesuatu agar Maya tidak perlu lagi mencari pinjaman ke sana dan ke sini. Akan ada dirinya yang bersedia memberikan apa pun, tentunya setelah mendapat servis memuaskan dari perempuan yang satu itu.

"Penasaran banget, gue sama dia."

Lima menit hanya menunggu di dalam mobil, akhirnya Bagas menancap pedal gas. Kendaraan roda empatnya melaju perlahan melewati gerbang, tidak ingin meninggalkan kecurigaan apa pun di mata pekerjanya.

Awalnya Bagas bingung, ke arah mana Maya pergi. Untungnya dia bisa mendengar suara Maya yang tengah menjajakan jamu dari rumah ke rumah, sehingga Bagas melaju lurus, lantas berbelok ke kiri, di mana Maya baru saja keluar dari salah satu rumah.

"Gila!" Bagas menggelengkan kepala melihat bentuk tubuh Maya dari belakang.

Maya menggunakan kain jarik yang dililit, panjangnya berada tepat tiga sentimeter di atas mata kaki. Untuk atasan, Maya hanya mengenakan outer berwarna hitam yang cukup lebar. Rambut perempuan itu berkilau saat terkena paparan matahari, pun kulitnya yang tampak kemerahan.

Pakaian sopan seperti itu masih saja bisa membuat lekuknya terlihat, lantas bagaimana jika semua kain penghalang itu dilepas?

Jiwa kelelakian Bagas tengah bekerja. Membayangkan yang aneh-aneh.
Tapi kelamaan, ia berdecak keras saat menyadari isi kepalanya sudah sangat kotor. Saking kotornya, Bagas merasa bahwa kepalanya ini harus diguyur oleh air dingin.

Ah, baiklah, Bagas akan mandi setelah pulang dari sini. Namun, sebelum itu, tentunya dia harus menyusul Maya yang sepertinya hendak pulang, Bagas lebih dulu menenangkan dirinya sendiri.

Nantinya, Bagas tidak boleh terlihat seperti lelaki mata keranjang pada umumnya. Dia harus pandai-pandai melakukan tarik ulur, agar tidak terlalu malu ketika Maya menolaknya mentah-mentah.

Baiklah, siasat cantik sudah tersusun di dalam kepala. Sekarang, waktunya memancing ikan segar. Dengan mobilnya, Bagas menyusul Maya, menurunkan kaca mobil dan menatap perempuan itu tanpa kata.

Awalnya Maya ingin mendelik karena seorang lelaki asing berani menatapnya cukup lekat.  Namun, untunglah Maya bisa mengingat wajah Bagas dengan baik. Lelaki itu adalah tuan rumah di mana Bi Sari bekerja selama lima tahun terakhir.

Pemilik rumah mewah, yang kata Bi Sari sangat royal ketika memberikan bonus untuk para pekerja.

"Eh?" Maya kebingungan hendak berkata apa, sebab mobil yang dikendarai Bagas tak juga berhenti, malah melaju pelan seperti ingin menemaninya jalan kaki.

"Mau masuk gak?" tanya Bagas tiba-tiba. Dia bukanlah lelaki yang pandai berbasa-basi, sehingga langsung menawarkan tumpangan kepada si penjual jamu yang sangat cantik bak selebriti itu.

"Bapak ngomong sama saya?" Maya menunjuk dirinya sendiri, setekah memastikan tak ada seorang pim di sekitarnya.

"Iya, memangnya di sini ada orang lain selain kita?" Sebelah alis tebal lelaki itu terangkat, membuat wajah tegasnya makin menawan.

Langsung saja Maya menggeleng.

"Ya udah, ayo masuk. Biar saya antar kamu sampe depan," ajak Bagas tengah melemparkan umpan pada si ikan.

Maya tampak ragu. Namun, ketika membayangkan jarak gerbang kompleks masih cukup jauh, juga mengingat cerita Bi Sari soal tuannya yang baik hati, maka Maya memutuskan untuk mengangguk saja.

Bagas pun keluar, membantu Maya menyimpan bakul jamunya di jok belakang. Setelah dirasa aman, barulah dia kembali ke kursi depan, disusul oleh Maya.

Untuk menit pertama, tidak ada obrolan yang berarti. Bagas masih fokus mengendarai mobil supaya baik jalannya.  Sedangkan Maya, yang Baru kali ini naik mobil semewah ini tegang sendiri antara canngung dan takut mabuk. Tapi untungnya tidak ada pengharum ruangan dengan wangi jeruk yang seperti di angkot-angkot.
Wangi mobilnya sopan dan nyaman di hidung.

Beberapa menit berlalu.

Usai meyakinkan diri rencananya akan berhasil, maka Bagas mulai membuka suara.

"Saya denger dari obrolan kamu dan Bi Sari, katanya kamu butuh uang banyak. Buat apa?" tanya Bagas mencoba berbasa-basi.

Maya agak terkejut, pun merasa malu karena tadi itu dia memang meminjam uang kepada Bi Sari, tetapi tidak mendapatkan hasil yang diinginkan.

"I-iya, Pak. Buat operasi ibu saya," jawabnya sedikit terbata.

Bagas hanya mengangguk-angguk saja. Dia sengaja membiarkan keheningan menguasai seisi mobil selama beberapa saat.

"Saya turun di depan aja, Pak." Maya menunjuk gerbang perumahan yang ada di depan mata.

"Saya antar kamu ke rumah sakit aja," sahut Bagas misterius.

Maya sampai menoleh dibuatnya. "Maksud Bapak apa, ya?"

Senyum di bibir Bagas akhirnya terulas juga. Dia melirik Maya yang tengah kebingungan. "Saya bisa bantuin kamu dapetin uang 25 juta, atau bahkan lebih dari itu dalam waktu secepat kilat. Kalau kamu setuju, kita bisa langsung pergi ke rumah sakit. Asal kamu juga bantu saya."

"Bapak butuh asisten rumah tangga?" tebak Maya.

"Bukan, saya butuh teman tidur."

Maya mengerjap-ngerjapkan matanya. Teman tidur katanya?

Jangan su'udzon
Jangan su'udzon

Maya berkata-kata seperti mantra. Takut, kemana arahnya pembicaraan ini.

"Em ... teman tidur itu apa ya, Pak?" Maya kembali tercengang dan dibuat bingung dalam kurun waktu berdekatan.

Bagas kembali ke mode awal, tidak pandai berbasa-basi. Sehingga ia memberikan jawaban seraya memberhentikan mobilnya di sebuah jalanan yang cukup sepi.

"Ya nemenin saya tidur di kamar. Ngerti kan maksud saya?" Bagas bertanya dengan senyum miring. Dan matanya tidak ragu-ragu lagi menelusuri apa yang sedang dia tawar. 

BAB 07

JAWABAN MAYA 

"Masa gak ngerti? Ngerti dong, harus ngapain?" Tanya Bagas lagi. Sudah persis seperti gad*n yang sedang ngebet pada seorang gadis. Tak punya etika dan tak punya logika. 

Yah, namanya gad*n yang kadang-kadang tak ada logika. 

Asal Om senang saja. 

Tak peduli kalau Maya kini merinding mendengar penawarannya. 

"Saya bisa bayar berapa pun. Kamu mau uangnya sekarang juga bisa, asal kamu bersedia aja," kata Bagas memberikan tawaran yang begitu menggoda.

Dada Maya berdetak sangat cepat. Tawaran yang baru saja dia dapatkan, adalah tawaran yang sama persis seperti yang Bahar ucapkan kemarin sore. Bedanya, Bagas itu tampan, tubuhnya proporsional, sementara Bahar? Jangan ditanya lagi, sudah pasti semua kulitnya keriput, perutnya buncit, dan rambut di kepalanya hampir rontok seluruhnya.

Maya merinding, segera menyingkirkan bayangan si tua bangka Bahar dari kepalanya.

Ah, tunggu! Ternyata ada satu perbedaan lagi di antara tawaran Bagas dan Bahar.

Bahar memintanya menjadi istri keempat, itu artinya mereka akan berada di dalam ikatan yang sah secara agama. Lantas Bagas? Melalui gelagatnya saja, lelaki itu menyampaikan bahwa dia akan menjadikan Maya sebagai seorang hem ... Apa ya? Kalau simpanan, agak kasar. 

Lontong sate mungkin? 

Duh! 

"Gimana?"

Maya langsung mengerjap. Keberanian yang dia miliki,  terkumpul menjadi satu. "Nggak!" tolaknya saat itu juga. "Saya emang butuh uang, tapi saya gak akan pernah menjual badan saya.  Lebih baik saya tetap jualan jamu."

Tak sesuai harapan, Bagas akhirnya berdecak pelan. Rupanya si Syahrini KW centil itu bisa juga  bersikap galak dan jutek, membuat Bagas makin tertarik. Lelaki itu terdiam beberapa saat, sedang mengatur strategi lain untuk mengikat Maya ke dalam tujuannya. Dia kembali menggeser duduknya demi bisa bicara dengan Maya. 

"Saya serius loh,  tawaran itu gak datang dua kali. Coba kamu pikirkan lagi," ucapnya berharap Maya akan benar-benar memikirkan tawaran dirinya.

"Nggak, Pak!" Tolak Maya lagi. 

"Selain dapet uang, kamu juga akan dapet fasilitas yang lain. Masa gak tertarik?" ejek Bagas.

"Emang nggak! Inget, Pak, Bapak ini udah punya istri!" balas Maya coba menyadarkan. "Makasih tawarannya tapi enggak deh. Tolong, bukain pintunya!" 

Penolakan dari Maya tetap ia keluarkan. 

Bagas yang tak punya pilihan lain, akhirnya mem buka kunci pintu mobil, kemudian membiarkan Maya pergi dengan bakul jamunya. Kendati perempuan cantik itu sudah keluar, tetapi ia tidak bisa mengalihkan tatapan ke arah lain.

Maya itu punya daya tarik tersendiri, sehingga Bagas yang macam batu ini bisa terpesona.

Sedangkan Maya, akhirnya bersyukur bisa keluar dari mobil itu Dia takut kalau misalnya saja Bagas gelap mata dan dia di tiiiiid paksa. 

Syahrini KW itu mencak-mencak sepanjang jalan. 

"Dasar cowok gila! Apalah dia itu, muka boleh ganteng, harta boleh berlimpah, tapi kelakuan kayak manusia yang gak pernah makan bangku sekolah. Amit-amit ... amit-amit!" maki Maya dengan nada bicaranya yang khas.

Seraya membawa bakul jamunya, Maya naik ke dalam angkot. Di sana, perempuan itu masih tidak bisa menggeturu, sehingga beberapa penumpang di dekatnya mengertnyitkan kening.

Perempuan cantik kok hobinya marah-marah? Mungkin begitulah isi hati para penumpang yang melihat Maya.

Maya menghentikan angkot di depan gang rumah rumah kontrakannya. Ingin sekali perempuan itu langsung datang ke rumah sakit. Namun, ada bakul jamu yang harus segera disimpan ke rumah. Mustahil juga Maya membawa-bawa bakul jamu tersebut ke rumah sakit. Bisa-bisa semua pasien, dokter, juga perawat yang ada di sana heboh melihatnya sepereri hendak berjualan jamu.

Maya keluar dari kontrakan usai mengunci pintu rapat-rapat. Di dalam sana memang tidak ada apa-apa, tetapi tidak salahnya berjaga-jaga.

Sesampainya di rumah sakit, Maya langsung diberitahu oleh suster jaga bahwa dokter yang selama ini menangani Rahma, meminta untuk bertemu.

"Ada apa, ya?"

Itu adalah pertanyaan rutin yang selalu Maya ucapkan, saat sang dokter ingin bertemu dengan dirinya. Dia takut, jika dokter akan menyampaikan kondisi terburuk mengenai Rahma.

"Masuk, Mbak Maya." Sang dokter menyilakan dengan ramah.

Maya pun duduk di salah satu kursi yang ada di sana. "Begini, Mbak, Maya. Tadi siang salah satu pasien di rumah sakit ini meninggal dunia."

Tubuh Maya langsung menegang. Pikirannya sudah kacau ke mana-mana mendengar kata 'meninggal' yang diucapkan oleh dokter di depannya. Tidak mungkin ....

"Kita memang tidak seharusnya berbahagia di atas kabar duka seseorang. Tapi, Mbak Maya, pasien yang sudah meninggal tersebut berpesan kepada keluarga dan beberapa dokter di rumah sakit, bahwa dia ingin mendonorkan beberapa organnya sebelum dikebumikan besok siang," tutur sang dokter.

Sekarang Maya mulai mengerti, sehingga dia segera mengembuskan napas lega. Syukurlah pikiran buruknya tidak terjadi.

"Kami sudah melakukan prosedur pemeriksaan. Kabar baiknya, semua organ milik mendiang pasien tersebut dalam keadaan yang sangat baik, sehingga layak untuk didonorkan kepada pasien lain yang membutuhkan. Kami juga sepakat memilih Bu Rahma yang sudah dirawat lama sekali di rumah sakit ini, sebagai penerima donor jantung," sambung dokter tersebut itu memaparkan semuanya.

Senyum Maya terpatri saat itu juga. Sungguh beruntung Rahma mendapatkan donor jantung dalam waktu yang terbilang sangat cepat. Maya pun bertanya mengenai beberapa hal, dan sang dokter mengatakan bahwa operasi harus segera dilakukan karena satu dan hal lainnya.

Mendengar keputusan itu, Maya menjadi bimbang. Dia sama sekali tidak memegang uang sepeser pun. Saat itu juga kebahagiannya terganti oleh rasa cemas. Maya yakin, jikalau dirinya mencoba mengulur waktu, maka donor jantung tersebut akan diberikan kepada pasien lain.

"Jangan sampai," gumam perempuan itu dengan tangan terkepal. Dia sudah keluar dari ruangan dokter.

"Gimana pun caranya, aku harus depetin uang itu besok siang. Tapi dari mana?" Maya pusing sendiri.

Seharusnya dia menyampaikan kabar bahagia tersebut kepada Rahma. Namun, Maya sadar betul bahwa dia tidak boleh sembarangan mengumbar janji. Masalahnya, tidak ada uang. Tabungan yang Maya sebutkan kepada Rahma pun hanyalah bualan semata.

Masuklah perempuan tersebut ke kamar rawat inap sang ibu. Di sana, keadaan Rahma semakin memprihatinkan. Jika dulu Rahma masih bisa berjalan-jalan meski harus banyak menjeda langkah, sekarang lebih parah.

Rahma yang hanya berjalan ke kamar mandi saja sudah tampak sangat kelelahan. Keringat mengucur di dahinya, sementara wajahnya semakin tirus.

"Biar saya aja, Sus," kata Maya kepada perawat yang hendak membantu Rahma berbaring di ranjang pasien.

"Makasih ya, Sus." Perempuan itu sangat tulus mengucapkan rasa terima kasih.

Perawat tersebut mengangguk. "Sama-sama, Mbak, kalau ada apa-apa tekan tombol hijaunya ya," ucapnya kemudian berlalu.

"Kamu kok ngelamun gitu sih, May? Mikirin apa?" tanya Rahma melihat putri semata wayangnya tak seperti biasanya.

Maya memilih menggelengkan kepala. "Nggak kenapa-kenapa, Bu, capek aja abis keliling," jawabnya penuh dusta.

Maya kembali diam. Lebih tepatnya, dia kembali memikirkan tawaran Bagas saat di dalam mobil. Dilihatnya sang ibu yang sekarang tengah memejamkam mata dengan napas yang cukup teratur.

Tangan perempuan itu terkepal. Hati dan isi kepalanya sedang berdebat sengit.

Akal sehat Maya mengatakan jika dia bisa mendapatkan uang dengan cara yang lain, tetapi sisi paling dalam di hatinya mengatakan, mustahil dirinya bisa mendapatkan uang puluhan juta dalam waktu kurang dari 24 jam.

"Apa aku terima aja, ya?" tanya Maya. "Pak Bagas cuma minta aku jadi teman tidur, kok, pastinya dia gak akan ngelakuin itu tiap hari 'kan?"

Berulang kali Maya mencoba meyakinkan diri sendiri, sebelum pada akhirnya mengangguk penuh tekad.

"Demi Ibu, aku harus rela berkorban." Maya sudah memutuskan, kendati tidak dapat disangkal, bahwa dia menerima tawaran itu setengah hati.

🌷🌷🌷

 

Jangan lupa ❤ dan komennya hadirin. 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Maya Bagas
Selanjutnya Bab 43 DUDA KETEMU JANDA
23
11
Kali ini Bharry merencanakan sesuatu agar bisa pacaran bebas dengan Inne. Apa rencananya itu?****Yuk di simak. Happy reading yess. Jangan lupa berikan ❤ dan komennya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan