BAB 1, 2, 3, 4 SOPIRKU TERNYATA PEREMPUAN

17
18
Deskripsi

LUBIS SERIES HADIRIN. 

 

Blurb: 


Seorang chef selebriti terkenal di Newyork yang pindah ke Jakarta  bernama Gyantama Lubis, merasa aneh dengan sopir barunya. Aziz. 
Sikapnya dingin, cenderung tidak sopan pada bos dengan wajah songongnya, irit bicara, pendiam,  rambutnya pendek cepak. Pokoknya tipe cowok yang cool banget lah.

Tapi entah kenapa, Gyan merasa jika Aziz ini juga cantik?

Ada momen-momen tertentu di mana Gian atau pesona dengan wajah flawles sopirnya.

"Ah parah nih! aku mulai gak waras!!" 

PROLOG 

Azizah gadis tomboy. Berusia 21 tahun yang terpaksa mengganti identitasnya sebagai Azis mendapat pekerjaan yang layak agar bisa bertahan hidup. Cara bicara serta tampangnya sudah persis laki-laki. 

"Saya laki-laki Pak," kata Aziz saat diragukan gendernya oleh sang Boss. Chef selebriti Casanova yang curiga pada sopirnya. 

"Saya gak percaya," jawab Gyan. 

🌺🌺🌺

 

Gyantama Lubis. 

Chef selebriti ganteng yang memulai karir di New York kemudian pindah ke Jakarta karena pusing serta panas kuping selalu disuruh oleh kedua orang tuanya untuk menikah dan Giant jauh lebih suka tinggal bersama dengan neneknya Oma Jil, di Jakarta. 

 

🌺🌺🌺🌺🌺🌺

BAB 1 : Azizah 

"Lima ratus, enam ratus ... enam ratus ... tujuh ratus lima puluh rebu." 

Azizah.  Gadis berusia 16 tahun itu sedang menghitung uang-uang lembaran berwarna merah dan juga berwarna biru di tangannya sambil menepi di depan minimarket bersama dengan para pemotor serta pejalan kaki lain, karena sore ini hujan. 

Ia kembali menghitung bolak-balik uang yang berada di tangannya. Berharap jika akan bertambah kalau dihitung Lagi dan lagi padahal ya, sama saja. Tetap berjumlah sama. Tujuh ratus lima puluh ribu rupiah. Uang ini dari Mbak Erna. Bos dia di Warteg yang akan pulang ke Tegal setelah kontrak habis. Akhir-akhir ini warung makan Mbak Erna tidak berjalan dengan lancar alias sepi pelanggan. Terpaksa usahanya ditutup. Terpaksa pula seluruh karyawannya di rumahkan. 

Termasuk Azizah. Yang bekerja sebagai tukang cuci piring di Warteg tersebut. Karena dia tidak bisa masak, jadilah hanya kebagian mencuci piring. 

Sebagai kompensasi, Mbak Erna memberikan satu bulan uang gaji kepada para karyawannya. 

Uang yang kini di hitung bolak-balik olehnya. Dia memisahkan dengan tangan kanan tiga lembar uang berwarna merah. 

"Ini buat bayar kontrakkan." 

Ia mengambil lagi uang dua lembar. "Ini buat bayar Mpok Wati," ucapnya lagi. Menyebut nama tetangganya yang sudah 2 tahun ini dia bayar untuk merawat ibunya yang sedang stroke di rumah. 

Tidak khusus merawat sih, hanya saja menunggu sampai dia pulang karena untuk urusan cuci atau rapi-rapi rumah, Azizah sendiri yang melakukannya. Mpok Wati hanya menyediakan makanan kalau siang.  Itupun dari Azizah yang istirahat siangnya izin pulang dulu dari Warteg. Membawa jatah makan siangnya untuk sang ibu. Sedangkan dia cukup membeli roti saja. 

Dan tugas Mpok Wati juga untuk menengok-nengok ibunya yang sudah hampir 5 tahun menderita stroke itu. 

"Tinggal dua ratus ma puluh. Bayar hutang ke Mang Dwi, seratus. Tinggal seratus ma puluh. Bayar hutang ke Mbak Husni, lima puluh. Tinggal .... lima puluh."

Azizah menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia mengambil napas banyak lalu membuangnya kasar. Biasanya uang ini bisa di cukup-cukupkan sampai akhir bulan. 

Ia bisa berhutang jamu untuk ibunya ke Mang Dwi. Dia juga bisa menghutang membeli balsem serta minyak kayu putih atau larutan ke Mbak Husni. Jatah makan siang dari warteg, dia bawa pulang. Begitu juga dengan jatah makan sore. Jadi untuk makan dan minum sih tidak perlu khawatir. 

Asal masih kerja. 

Nah, yang membuat Azizah khawatir sekarang adalah dia sudah tidak bekerja lagi. Sudah pasti menghutang pun tidak akan diberi dan lebih parahnya lagi, dia tidak akan punya jatah makan siang atau makan sore dari Warteg. 

Kalau sudah begini, Azizah ingin sekali teriak rasanya. Tapi percuma,  teriakannya tidak akan menghasilkan uang. 

Semenjak usianya sepuluh tahun, dia sudah menjadi yatim. Bapaknya meninggal setelah overdosis minum minuman oplosan. 

Ck. Kalau ingat itu, ingin sekali ia menyampaikan kepada bapaknya sebelum dia mati. "Sudah miskin kok banyak gaya, malah minum minuman keras. Mending duitnya dipakai buat beli beras. Bukan Oplosan."

Akhirnya si bapak mati dan yang susah, anak serta istrinya yang sudah tidak punya apa-apa serta siapa-siapa lagi. 

Ibunya Azizah kerja jadi buruh cuci. Karena kecapean sehari bisa memegang sepuluh  rumah, Yuli pingsan. Akhirnya stroke dan Azizah terpaksa putus sekolah untuk mencari nafkah. 

"Cari kerjaan di mana lagi, ya? Yang gak harus pake ktp apalagi ijazah?" tanya gadis yang sebenarnya berwajah cantik itu tapi karena tidak ada perawatan dan memakai baju yang seadanya, kecantikannya tertutup. Tangannya pun  cukup berotot untuk gadis seusianya. Telapak tangannya kasar, menandakan jika ia pekerja keras. 

Di dewasakan oleh keadaan lebih tepatnya. 

Dia hanya tamatan SD karena selepas SD sudah kerja serabutan sana-sini. Dia juga tidak punya kartu tanda pengenal penduduk karena baru 16 tahun. Satu-satunya pekerjaan ya ... memang hanya buruh lepas yang bermodalkan tenaga serta kepercayaan saja. 

"Besok cari kerja lagi deh," katanya memberi semangat dan hiburan pada diri sendiri. 

Hujan mulai reda. 

Azizah  bangun dari duduknya untuk cepat-cepat pulang dan memberikan jatah makan sore pada ibunya yang pasti sudah menunggu di rumah. 

_🍁🍁🍁_ 

 

BAB 02 : AZIZAH TULANG PUNGGUNG 

"Assalamualaikum"

"Wa alaikum salam," jawab Mpok Wati yang tersenyum melihat Azizah pulang.

"Deuh, basah-basahan. Padahal tunggu sampe ujannya reda dulu ngapa? Maen terabas baé." Wanita asli Bekasi yang sudah lebih dari sepuluh tahun menjadi tetangga kontrakan sejak zaman bapaknya Azizah masih ada itu, menggelengkan kepala melihatnya yang basah-basahan.

Rumah kontrakkan ini kecil. Jadi, saat Azizah masuk melewati pintu, sudah terlihat jelas seisi-isinya. Termasuk sang ibu yang tidur di pertengahan rumah. Wajahnya hanya bisa menoleh ke arah kiri sedikit. Kerutan di sisi mata dan bibir,  menandakan jika ia sedang tersenyum.

Tak ada kamar. Semua jadi satu. Ya, memang apa yang di harapkan dari kontrakkan senilai 300 ribu kan? apalagi di Jakarta. Sudah dapat yang ada atapnya, bisa berlindung dari panas dan hujan saja, sudah bersyukur.

"Ck. Basah semua itu badan!" Komen Mpok Wati lagi.

Mpok wati mengulurkan tangan mengambil plastik berisis nasi dan lauk untuk ibunya makan sore ini. Sedangkan gadis cantik itu malah tersenyum lebar. "Hujannya cuma air, Mpok. Kalau batu tuh, baru ngeri."

"Emangnya tentara Abrahah, hujan batu?! Sembarangan kalau ngomong."

Inilah hal yang membuat Azizah selalu bisa tersenyum lebar. Meski secapek apapun tubuhnya, setelah pulang kerja, pasti selalu ada hiburan tersendiri dari logat Betawi Bekasi milik Mpok Wati. Maklum saja, sebenarnya dia juga sangat merindukan sosok Ibu karena Ibunya sudah tidak pernah bicara sejak 5 tahun yang lalu semenjak stroke jadi boleh tergantikan dengan kehadiran Mpok Wati yang kalau bicara bisa menarik hati.

Tsaaahh!!

"Ibu rewel gak, mpok, hari ini?" tanya Azizah lagi yang kini duduk di samping kaki ibunya dan mengusap lembut kakinya yang sudah lama tak bisa di gerakkan.

"Kagak. Anteng bae. Kayak biasanya," jawab Mpok Wati setelah selesai memindahkan nasi rames dengan lauk telor dadar ke piring. Begitu juga dengan sayur bayam beningnya. Sudah di masukkan ke mangkok. Biasanya Al akan makan setelah ibunya selesai. Karena ibunya tak pernah makan banyak.

"Biar saya aja yang suapin ibu, Mpok."

"Enggak usah, biar sama Mpok aja. Lu mandi gih. Capek, baru pulang kerja." Mpok Wati ikut duduk di samping Allysa.

Azizah melebarkan senyumnya lagi. Bukannya menurut dan mandi seperti apa yang di minta Mpok Wati tadi, Allysa malah mengambil uang dari dompetnya.
Dia mengambil dua lembar seratus ribuan yang memang tadi sengaja ia pisahkan untuk wanita yang sudah mau merawat ibunya dan dibayar sangat murah itu.

"Ini, Mpok."

"Lah? Emangnya tanggal berapa ini? udah gajian?"

"Udah."

Azizah mengulurkan tangannya yang terdapat uang dua ratus itu agar diambil oleh Mpok Wati. Melihat raut wajah Mpok Wati yang merasa tidak enak sudah gajian sebelum tanggalnya, gadis cantik itu tersenyum kemudian membuka telapak tangan Pak Wati dan menaruh uang tersebut ditangannya.

"Nih, makasih ya, Mpok. Udah mau di repotin. Maaf banget, gak pernah kasih lebihan."

Mpok Wati sebenarnya tak enak mengambil uang itu. Tapi pasti Azizah tak mau meminta bantuannya lagi. Dan dia sendiri juga memang butuh.

"Ini ... duit pesangon ya?"

Ternyata Mpok Wati bisa menebak uang itu. Azizah terpaksa tersenyum dan mengiyakan. "Mbak Erna mau pulang kampung. Jadi gajinya di bayarin duluan."

"Ya Allah. Ini, Neng. Duitnya lu pake aja buat lu sama ibu. Mpok masih ada. Kiriman dari si Fikar." Mpok Wati menyebut nama putranya yang kerja sebagai petugas PLN.
Sembari kembali menyodorkan uang tersebut agar dipakai sendiri saja oleh Azizah.

Tapi tentu saja gadis itu menolak dengan menggelengkan kepala.  Dan kembali mendorong pelan tangan Mpok Wati.

"Udaah ... Itu hak Mpok. Do'ain, biar saya cepet dapet kerjaan yang baru Mpok. Yang duitnya jauh lebih gede," kata Azizah dan langsung menoleh ke arah ibunya yang matanya kini berkaca-kaca.

"Eh ... si cantik. Kenapa nangis?" Azizah memperlakukan Ibunya sudah seperti anak bayi," Gak boleh nangis sayang. Nanti matanya bengkak loh. Nanti nggak cantik lagi loh. Kan katanya kalau udah sembuh mau ikutan casting. Mau ikutan acara  Mister Chef di TV. Semangaaat ... jangan nangiis."

Azizah menggunakan kedua lututnya untuk berjalan menuju bagian atas ibunya kemudian dia memeluk Yuli dan mencium pipi kanan serta kirinya setelahnya, menghapus air mata di wajah cantik sang ibu yang sudah tinggal tulang itu.

"Dah ya cantik. Jangan nangis lagi. Kata Pak Ustadz, setiap makhluk yang bernyawa di bumi ini sudah ditetapkan rezekinya. Jadi jangan khawatir nggak kebagian rezeki. Oke? Senyum dong, Ibu Yuli Soejianto," godanya pada sang ibu yang suka ia goda dengan nama Soejianto.
Nama belakang seorang chef wanita terkenal yang sangat diidolakan ibunya.

Yuli dan Mpok Wati tidak bisa menahan rasa sedih mereka ketika melihat anak sekecil ini, dengah beban yang begitu berat, masih sanggup untuk menghibur ibunya agar jangan menangis. Ketika masih sehat Yuli memang adalah orang yang sangat ceria dan selalu berkhayal ingin menjadi koki profesional karena dia pintar masak juga. Serta sangat menyukai program masak-masak di TV.

Hal yang tidak pernah terwujudkan. Karena kini Yuli merasa dia hanyalah beban anaknya. Dan terkadang Yuli Ingin cepat mati saja agar tidak menjadi beban Azizah lagi.

"Maafin ibu, Nak ... " 

 

🌺🌺🌺

 

BAB 03 MENCARI PEKERJAAN 

Rezeki memang sudah ditentukan. tapi tetap harus berusaha untuk mendapatkannya. 

Itulah yang kini sedang dirasakan oleh Azizah. 

Malam ini, Azizah  menyusuri jalanan panjang yang basah setelah hujan. Kakinya menginjak genangan tanpa peduli sandal lusuhnya akan semakin kotor. Ia berusaha menahan air matanya. Ia bertekad untuk menyimpan air matanya. Jika dia menunjukkan kesedihan, siapa yang akan menguatkan Yuli sang ibu ?

Banyak hal yang membuat Azizah harus memfungsikan otaknya untuk bekerja lebih keras. 

Malam ini juga, setelah ibunya tidur, ia mencari pekerjaan. Tubuh kecil itu berjalan mendatangi satu persatu toko sembako untuk meminta pekerjaan. Namun, karena usianya yang masih belia, kebanyakan pemilik toko menolak untuk mempekerjakan Azizah. Apalagi perempuan. 

"Duh, gak bisa, Neng.  Kamu masih terlalu kecil. Gak bakalan bisa ngangkat-ngangkat dus atau krat minuman."

"Saya bisa kok Bu saya kuat," katanya menunjukkan otot di lengan. 

"Kagak ah. Ngeri anak cewek bawa karung beras apalagi galon."

Azizah tertunduk dalam. "Atau ... saya juga bisa jadi pegawai cuci piring kok."

"Yah ... Neng. Kalau buat yang cuci piring sama cuci baju mah Ibu udah ada. Maaf ya neng."

Meski kecewa, namun gadis itu tetap tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Ya udah, makasih ya, Bu." 

Azizah tidak patah semangat. 

Besoknya, ia  kemudian berjalan lagi. Dia mencoba peruntungan di Warteg dan tempat makan seperti pekerjaan yang sebelumnya dia kerjakan tapi ternyata tidak ada lowongan. 

Ia lalu melihat selebaran yang ditempel pada tiang listring. Tertera lowongan di kantin sebuah pabrik. Akhirnya, dengan tekad yang kuat, Azizah menjelajahi kantin di pabrik itu. 

Tapi tak dapat. 

"Umur segini. Gak deh. Nanti ketahuan sama satpam, bisa di tegor kita." 

Kantin pabrik, penjaga stand makanan kaki lima, hingga usaha yang bergerak di bidang penatu, Azizah tidak mendapat satupun pekerjaan. Alasan yang diberikan pun hanya satu, Azizah terlalu dini untuk bekerja dan seorang perempuan. Kebanyakan, ada lowongan untuk laki-laki sebagai tukang angkat-angkat ataupun mengantar makanan. 

Di tengah keputusasaannya, hanya tersisa satu lowongan kerja. Sebuah salon kecantikan yang berada di gang sempit, Azizah mendatanginya dengan harapan yang sangat tinggi. 

"Permisi, bu!"

Seorang wanita yang membusungkan dadanya di hadapan Azizah, memicingkan mata. Ia melihat seorang gadis kecil dengan kulit yang tampak kering dan rambut panjang yang kusut. Wanita itu bernama Isabella, ia senang karena menganggap Azizah akan menjadi pelanggannya. 

"Mau potong rambut atau mau smoothing, Neng?" 

Azizah mundur satu langkah saat bagian dada lawan bicaranya itu terlalu dekat dengan wajahnya. 

Ia tersenyum tipis lalu berujar, "Saya lagi cari kerjaan, Bu." 

"Bu?" Ia tampak sinis lalu mengibaskan rambut bercabangnya. "Masih pada kenceng nih, kulit. Masa dipanggil ibu? Rabun dekat ya?" 

"Eh?"Azizah tersenyum malu dan Canggung. "Maaf Dek."

"Ish! Ngeledek kamu. Panggil Tante."

Gadis itu mengangguk lagi dan ia tersenyum kikuk. "Iya ... Tante. Saya mau cari—"

"Boleh aja, sih. Kalau mau kerja disini. Tapi, berapa umur kamu?"

Belum juga Azizah angkat bicara, ia melihat para pekerja Salon yang lain baru datang dari lantai atas. Ada sekitar lima orang  wanita yang tubuhnya seksi dan kain tipis membelit tubuh mereka dengan ketat. Jantung Azizah berdegup kencang, bisa dikatakan, ia sudah mengenal wilayah itu dengan baik. Wilayah yang banyak wanita penjaja cinta. 

Kata orang wilayah ini tidak sehat. Tapi karena di sini ada lowongan pekerjaan, jadilah dia kesini. 

"Badan bagus gini ... cuma mau jadi pekerja salon, Neng?" Celetuk salah seorang yang memakai baju macan. 

"Sssst ... Leony, diem. Gue lagi nanya-nanya nih. Takut kesayangan amat sih lo?" Tante itu kemudian menoleh pada Azizah lagi. "Berapa umur kamu, Cantik?"

"Enam belas tahun, Tante." Azizah menjawab dengan perasaan takut yang sudah menguasai dirinya.

"Hah?!"  

Semua mata tertuju pada Azizah. Usia remaja sangat mudah untuk tubuh yang bisa dikatakan dewasa. 

"Bangkok nih," ucap Tante Isabella memutari tubuh Azizah. Sudah terbayang kecantikannya jika didandani lebih 'wah' lagi. 

Ditatap sedemikian rupa dan dikomentari dengan bahasa-bahasa yang membuat panas kuping oleh Isabella dan juga beberapa pekerja yang lain, membuat Azizah merasa tak nyaman. Tutur bahasa yang buruk dan lingkungan yang kacau balau, membuat Azizah mengurungkan niatnya bekerja di sini. Dia ingin angkat kaki sesegera mungkin. 

"Kamu mau, Neng, layanin orang-orang di diskotik atau di tempat karaoke?"

Azizah menggeleng. Ia menolak, "Gak bisa joget, Tante."

"Kamu mau kalau cuma jadi pemandu lagu aja? Gak perlu joget, cuma nyanyi aja."

"LC, LC," kata Jinni. Salah satu pekerja yang menggunakan baju jaring-jaring. 

Azizah menoleh lagi. "Gak bisa nyanyi, Tante."

"Duh, lo jadi pelayan aja, mau? Pelayan warung gitu, deh." Yang lain memberi saran pada Azizah. 

Tetapi, wanita malam berambut sebahu berkata, "Warung remang-remang."

Azizah menggelengkan kepalanya cepat. Dia tahu definisi dari warung remang-remang. 

"Ma_maaf. Kayaknya saya nggak jadi ngelamar di sini deh. Ma_makasih ya Tante!" 

"Hey!"

Gadis itu kabur secepat mungkin. Daripada nanti tawaran-tawaran itu berubah jadi paksaan, jadi lebih baik dia kabur sajalah. 

Di ujung jalan gang yang sempit, Azizah berhenti dan ia menangis. Lelah, capek,  berulang kali meratapi nasib. Helaan nafas berat menandakan betapa tersiksanya dia. 

"Sesusah itu cari kerja buat seorang perempuan." Ia menghapus air matanya, terisak lagi. Dia merebahkan punggung pada salah satu dinding Gang dan kini duduk di tepian jalan. 

Banyak orang yang lalu-lalang dan ia melihat ada seorang laki-laki yang memanggul beras di pundaknya. Pekerjaan yang memang banyak tersedia. Semenjak dia mencari kerja dari kemarin. Tapi sayangnya tidak untuk perempuan. 

"Apa harus jadi laki-laki supaya bisa kerja apapun yang halal? 'Kan, gak ada laki-laki yang jadi PSK atau pelayan di tempat remang-remang," pikir Azizah.  

Saking butuhnya kerjaan dan saking kepepet uang, itulah yang akhirnya memunculkan ide di kepala Azizah. Ia tak bisa menunda-nunda untuk mencari pekerjaan lagi. 

Saat ia merogoh saku celananya yang warnanya sudah memudar, Azizah menemukan dua lembar uang yang nominalnya hanya sepuluh ribu rupiah, itupun sudah lusuh dan tipis. 

"Uang ini bisa bantu aku buat potong rambut model laki-laki, 'kan?"

Akhirnya keputusan Azizah  pun sudah bulat. Dengan sisa uang yang dimiliki, Azizah  mendatangi sebuah barber shop murah yang menjadi langganan penghuni gang. 

Dengan bermodalkan dua puluh ribu, Azizah berharap rambutnya bisa dibentuk layaknya seorang pria yang macho. 

“Mau potong rambut, Om.”

Sambil membersihkan guntingnya, pria itu melontarkan pertanyaan pada Azizah.  “Dipendekin, nih?” 

Azizah langsung menunjuk poster yang tertempel di dinding kayu keropos akibat rayap. Jari telunjuknya mengarah tepat pada model rambut yang dimiliki oleh pesepak bola terkenal dunia, Criatiano Ronaldo. 

“Kayak gitu, ya, Pak.”

*****

 

🌺🌺🌺

 

BAB 04 : AZIZAH JADI BANG AZIZ

 

Lima tahun telah berlalu, kini Azizah berganti identitas. Ia mendapat pekerjaan di toko kelontong di pasar yang jaraknya agak jauh dari kontrakannya kemudian dikenal sebagai Aziz. Seorang kuli panggul yang bekerja di toko Babah Ashiap. Walaupun hanya sebagai kuli panggul beras di toko kelontong, setidaknya penghasilan Aziz,  bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari bersama ibunya. 

Tak banyak bicara, pekerja keras serta rajin, membuatnya menjadi salah satu pegawai kepercayaan Babah Ashiap. Seorang pria tua keturunan Tionghoa yang tokohnya paling besar di pasar Segar Graha, Bintaro

Kadang dia juga menjadi kenek dari Alung. Anaknya Babah Ashiap yang suka mengantarkan belanjaan ke warung-warung reseller. Kemudian saat Koh Alung libur,  dialah yang menggantikan karena belajar menyetir sedari usia 18 tahun. Awalnya disuruh memasukkan mobil ke garasi toko lama-kelamaan dia akhirnya bisa bawa mobil sendiri. 

Pengalaman hidup yang begitu keras membuat Azizah tidak terlihat seperti gadis pada umunya. 

Dia ketus. Tidak banyak bicara. Otot-ototnya juga mulai terbentuk seiring dengan seringnya dia melakukan pekerjaan kasar. 

Bahkan dia juga dipanggil Abang. Saking cool dan yang lebih lucu lagi adalah dia juga disegani oleh para preman yang berada di pasar ini. Gara-gara pernah mematahkan tangan seorang pemalak liar yang galak dan memaksa serta suka membuat keonaran pada setiap pedagang di pasar. 

Bang Aziz. 

Begitu kini panggilannya. 

Sore ini, Babah Ashiap sudah melakukan rutinitas harian yang tak boleh diusik. Ia duduk di kursi plastik dan mengenakan sarung kotak-kotak khas Babah Ashiap, tak lupa rokoknya yang masih jadul karena harus dilinting sendiri, serta koran yang digenggam erat dan selalu diantar oleh Mamat—pedagang koran yang juga bekerja sebagai pedagang kopi keliling. 

"Zis! Azis!!"

"Ya!"

Gadis berambut cepak itu menepuk-nepuk tangan serta celananya yang terkena tepung terigu ketika dia selesai menimbang terigu ukuran setengah kg dan harus ditinggalkan pekerjaan itu karena sudah dipanggil oleh Babah Ashiap. 

"Apa Bah?" 

"Lo antarin beras ke perumahan Mabrur, rumah Haji Burhan,” titah Babah Ashiap walaupun matanya masih fokus pada koran. 

"Iya. Apalagi?" Beruntunglah Azizah ini.  karena suaranya tidak lembut bahkan cenderung berat untuk ukuran anak perempuan. Jadi, siapapun akan percaya kalau dia adalah seorang laki-laki. Ditambah lagi, setiap hari dia teliti membebat bagian dadanya dengan kain agar tidak menjiplak dan harus selalu menggunakan kaos yang longgar untuk menutupi identitasnya yang bisa saja terlihat hanya dari bentuk badan. 

Babah Ashiap menoleh, ia sudah melihat Aziz yang masuk ke gudang beras dan gula. Gadis berusia dua puluh satu tahun itu pun keluar dari gudang dengan punggung yang menjadi tumpuan dua karung beras sekaligus. 

"Gak tau gue. Lo antar aja sesuai yang dia pesan. Jangan lupa, bon-nya lo suruh penerimanya tanda tangan." Babah Ashiap memerintahkan dengan jelas pada Aziz. 

Aziz menoleh dan dengan senyumnya yang lebar ia mengangguk. "Ashiap, Bah!"

Sebuah kata yang Aziz katakan barusan, sudah seperti kata sandi untuk mengkonfirmasi perintah dari Babah Ashiap dan wajib untuk dikatakan setelah menerima perintah. 

"Mantap!" 

🍁🍁🍁

Tak perlu waktu lama, Aziz terlihat sudah siap dengan dua karung beras yang akan dibawa dengan motor—kendaraan yang memiliki bunyi sedikit berisik dan kerap mendapat omelan dari penghuni gang sempit saat Aziz melintas untuk mengantar sembako pada pelanggan. 

Gadis muda itu melakukan pekerjaan dengan baik. Meskipun saat di perjalanan, mobil sedan hitam mendahuluinya dengan kecepatan tinggi. Jantung Aziz berdegup kencang, ia khawatir jika tak bisa menjaga keseimbangan karena akan menyebabkan kecelakaan kecil tapi dampaknya akan sangat besar—Babah Ashiap pasti akan marah besar. 

"Woy!!" Omelnya pada mobil sedan hitam itu. Yang melaju ugal-ugalan Padahal di perumahan elit dan mewah. 

Namun meaki kesal, akhirnya Aziz berhasil mengantar beras dan selamat hingga tujuan. Tak lupa, Aziz juga meminta tanda tangan pada nota belanja yang dibawa. Karena banyak kejadian seolah pekerja di toko tak mengantar pesanan, Babah Ashiap harus menerapkan sistem seperti itu agar tak ada kesalahpahaman. 

"Terima kasih, ganteng."

Aziz tak menjawab. Ia hanya coba menghargai saat seorang wanita yang seusia Ibunya, menjawil dagu sambil memuji. Aziz tahu, pujian itu timbul karena memang saat ini wajahnya agak memusingkan. Satu sisi terlihat tampan, tapi di sisi yang lain, manis wajah Adi sebagai perempuan pun masih terlihat. 

"Babah Ashiap paling bisa deh nyenengin pelanggan kurirnya biar ketus juga ganteng banget. Apalagi kalau ditambahin senyum, pasti makin lebih ganteng."

Aziz tak bicara. Hanya menyunggingkan secercah senyum. 

"Nah ... gitu dong. Makin ganteng. Colek lagi ah."

Dan Aziz harus rela dagunya kembali di jawil oleh ibu tersebut. 

Setelah sedikit basa-basi, akhirnya Aziz bergegas untuk kembali ke toko. Hanya saja, saat hendak keluar dari perumahan mewah itu sambil memarkirkan motornya, Aziz  hampir terjatuh sebab mobil sedan yang ugal-ugalan kembali  melintas hingga terpaksa ia mundur.

"Wah! Lagi, lagi, mobil itu. Mau kemana juga kebut-kebutan di jalan. Bikin orang lain celaka." Aziz menggerutu kesal.  lalu melihat mobil sedan itu berhenti di depan sebuah rumah paling mewah di perumahan ini. 

"Mencurigakan banget sih itu mobil?" Gumam si gadis tomboy itu. Tapi biarkan sajalah, bukan urusannya. karena dia harus cepat pulang. Sepertinya hari mau hujan sore ini. 

Baru dia akan melajukan motornya, Aziz harus menunggu lagi karena di depannya, pintu gerbang rumah megah itu terbuka lalu keluarlah sebuah mobil mewah berwarna putih. 

Uniknya ketika mobil mewah itu keluar dari garasi, maka si mobil sedan di belakangnya juga mengikutinya. 

Azizah sejenak mulai berpikiran buruk tapi kemudian dia mengangkat bahunya. "Bukan urusan aku," katanya sambil melajukan motor. 

Dan benar saja, baru sampai di persimpangan jalan menuju gerbang utama perumahan, mobil sedan itu menyalip si mobil putih. 

Azizah yang berada di belakangnya terkejut karena kedua orang bersenjata tajam langsung turun dari mobil sedan hitam mengacungkan pisau tersebut sambil menggedor-gedor jendelanya. 

"Buka! Buka!" 

Oma Jill, nenek cantik berdarah Jerman Melayu yang berada di kursi penumpang mobil itu pun, panik dan histeris melihat dua orang preman menghampiri mereka. 

"Akkkhhh! Gyan! Gyan! Kita diserang Gyan!" teriak Oma pada cucunya yang mengemudikan mobil, Gyantama Lubis. Pria itu masih tenang memegang setirnya sambil memperhatikan kedua orang yang kini menggedor-gedor kaca mobil. 

"Buka!!"

"Buka!!" 

"Gyan! Kok kamu diem aja sih? Lawan!" 

Baru saja Oma Jill bilang begitu, Oma dikejutkan dengan kedatangan seorang lagi yang memukul kepala orang yang sedang menggedor kaca dengan batu. 

Bugh!

Bugh! 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Azizah-Gyan
Selanjutnya BAB 179, 180, 181 HIFILWY
14
7
Bab 179 : Anne (katanya ) ingin mati Bab 180 : Utusan ingin bertemu SeñorBab 181 : Bernegosiasi🌺🌺🌺Happy reading
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan