Vol 2 EMMA

1
0
Deskripsi

18 +

Berisi kisah manis pahit tentang masa remaja hingga dewasa. Penuh suka cita akan cinta pertama, patah hati, dan masa kesepian.

Ini adalah perjalanan hidup Emma yang broken home dalam pencarian jati diri dan cinta sejati. EMMA is kind of slice of life stories which are focused on random and mundane period on the main character's lives. Konfliknya natural dan dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Based on true event yang sudah ditambal sulam sedemikian rupa demi alur cerita yang menarik. 

 

 

11. BYE!

Memangnya ada orang baru ketemu, terus langsung pacaran?

Biyan dan Dita pasti sudah pendekatan di belakangku. Teganya! Kami baru saja putus tadi siang, malamnya dia sudah punya pacar baru. Parahnya, pacar baru Biyan adalah musuhku di masa lalu. Apa tidak ada cewek lain?

Aku sesegukan sambil memeluk guling erat-erat. Dibanding patah hati, aku lebih merasa marah. Aku enggak sangka Biyan bisa mengkhianatiku seperti ini.

Saking emosinya, perutku mendadak mulas. Aku selalu begini, tiap kali stres, marah, atau terlalu gugup, hasrat buang air besar tak bisa ditahan. Suatu kebiasaan yang enggak elit memang.

Aku melangkah keluar kamar sambil tertatih, tak peduli pada wajah buruk rupaku yang bak es krim meleleh. Sambil terus terisak, aku masuk ke dalam toilet untuk menunaikan hajat.

Setelah duduk nyaman di dudukan kloset, aku kembali meratapi nasib. Suara kentutku bercampur padu dengan isakku. Sakit hatinya double, andai saja Biyan pacaran dengan orang lain, mungkin tidak semenyakitkan ini.

Aku menekan tombol flush dan membersihkan diri. Kupandang tampilan diri di depan cermin, meski kusut, kecantikanku tidak pudar. Biyan tolol! Aku kurang apa? Bisa-bisanya dia memilih Dita ketimbang aku?

Memikirkan hal itu, membuat air mataku kembali tumpah.

Dengan ingus dan air mata berderai, aku membuka pintu bath-room. Mataku melotot hampir keluar ketika melihat sosok jangkung berdiri di hadapanku.

"ASTAGAAA!" pekikku.

Ali memandangku melalui mata hitamnya yang kelam. Sepintas, aku kira dia penampakan. Jantungku serasa mau meledak karena kaget.

"Kamu sejak kapan di sini?! Ketok apa gimana, kek!"

"Enggak aku ketok karena aku tahu kamu di dalam," sahut Ali.

Tunggu? Kalau dia dari tadi di sini, berarti dia dengar pas aku buang angin karena mencret? Demi Tuhan, malunya! Lagian, ini sudah jam satu, kenapa dia belum tidur, sih?

"Kamu, 'kan, bisa ke kamar mandi bawah!" sungutku. Aku berjalan menghindarinya untuk kembali ke kamar.

Saat langkahku mulai jauh, terdengar suara berat Ali memanggilku.

"Emm," serunya.

Aku menoleh untuk memandang wajah tampannya. "Apa?!" tanyaku ketus.

"Kenapa kamu belum tidur jam segini?" Ali berjalan menghampiri.

"Kamu sendiri, kenapa belum tidur?" Aku merapat pada pintu kamar, berjaga-jaga jika Ali berniat mencelakaiku. "Jangan-jangan ..." gumamku.

Ali mendekat. Tubuh jangkungnya memaksaku untuk mendongakkan kepala. Belum lagi, sudah dini hari begini, ketampanannya masih maksimal. Rambut yang acak-acakkan malah membuat tampilan Ali makin menarik. Duh, kenapa, sih, cowok akhlakless ini harus ganteng banget?!

"Jangan-jangan kamu mau perkosa aku?!" ucapku penuh kengerian.

Ali mengernyit. Tatapannya sungguh mengintimidasi. "Apa yang membuatmu percaya diri aku bakalan memperkosamu?" Bola matanya menelisikku dari atas ke bawah.

Aku mendengkus. Cara Ali bicara seakan merendahkanku. Lelaki ini memang berengsek! Sial sekali hidupku, semua lelaki yang hadir dalam hidupku berengsek. Enggak Papa, Emran, Hugo, Ali, terakhir Biyan!

"Sudahlah!" Aku membuka pintu dan membantingnya.

Bulir air mataku kembali tumpah. Kini, aku harus merasa tidak nyaman berada di rumah sendiri. Rindu kehadiran Papa yang dulu selalu membelaku. Ingin sekali mengulang waktu, saat semuanya masih baik-baik saja.

***

Nyanyian burung pipit bersahut-sahutan di atas ranting Akasia. Sinar matahari yang benderang, menembus tirai penutup kamarku. Saat tidurku hampir lelap, bunyi alarm pada ponsel justru merongrong memaksa bangun.

Tidurku mungkin hanya satu atau dua jam, kepalaku pusing, berdenyut-denyut.

Aku beringsut mematikan pengingat waktu. Terpaksa beranjak dari kasur yang hangat karena ada kuliah pagi.

Sekarang, aku terpaksa naik transportasi umum atau minta tolong diantar satpam komplek untuk berangkat ke kampus. Salah sendiri sudah segede gini enggak bisa nyetir motor atau mobil. Biasanya, sih, aku dijemput Biyan. Kebiasaan itu bikin aku manja dan malas latihan bawa kendaraan.

Minta diajarin Emran? Mana dia mau. Pernah satu kali Siluman Kerbau menemaniku latihan menyetir motor, yang ada motorku nyungsep ke dalam selokan. Untung saat itu kemarau, selokan itu kering tanpa air. Sudah tahu adiknya jatuh, bukan langsung bantu, Emran malah cekikikan guling-guling. Sejak saat itu, aku malas diajari lagi sama si laknat itu.

Sementara, Mama enggak mau aku kursus menyetir mobil sebelum bisa bawa motor. Dia bilang, mahasiswa itu harus terbiasa hidup sederhana. Kalau belum-belum sudah bawa roda empat, bisa-bisa bakalan manja dan enggak tahu pahitnya kehidupan.

Motor dan mobil nganggur di garasi, tapi enggak ada satu pun yang berguna buatku. Kalau peribahasa, aku ibarat anak ayam yang mati di lumbung padi.

Mungkin benar, apa kata Mama, aku ini manja dan selalu ketergantungan sama orang lain. Dulu ketergantungan sama Papa, terus Biyan, sekarang dua-duanya hilang gara-gara wanita lain, akunya kelimpungan.

Setelah mandi dan makan, aku bergegas keluar rumah. Hari ini minta satpam di depan komplek buat antar ke kampus. Biasanya, nanti aku kasih uang bensin dan rokok.

"Bibi aja yang ke depan panggil Pak Andik." Pak Andik adalah satpam yang biasa mengantar-jemputku.

Aku menggeleng. "Enggak usah, Bi." Mataku melirik ke arah motor Ali yang terparkir di garasi. Dia belum pulang. Lebih cepat aku pergi dari rumah lebih baik. "Aku lagi pengen jalan kaki, biar sehat," dalihku.

"Ya sudah, ati-ati, ya, Emm," ucap Bibi Minah.

Aku lantas membuka gerbang rumah. Langkahku terhenti ketika melihat Biyan sudah menunggu di depan. Wajah lelaki itu sembab, seperti kurang tidur.

"Ngapain kamu di sini?!" bentakku.

Biyan mengulas senyum ke arahku. Ia duduk di atas jok motor dengan santai. Sepertinya, dia sudah lama menunggu di depan rumahku.

"Antar kamu kuliah. Hari ini ada kuliah pagi, 'kan?"

Ini anak gila apa amnesia? Jelas-jelas dia sudah jadi pacar orang, buat apa sekarang dia muncul tanpa dosa.

"Aku enggak mau lihat muka kamu lagi! Kemarin kamu mutusin aku dan langsung jadian sama Dita. Sekarang kamu datang menemuiku dengan enggak bersalah?!" sentakku.

"Emm, aku ..." Biyan tak menyelesaikan kalimat. Netranya menelisik ke arah belakangku.

Aku menoleh dan melihat Ali menuntun motornya keluar. Lelaki berjaket hitam itu cuek seakan-akan aku dan Biyan kasat mata. Dengan tenang, Ali menyalakan mesin kendaraannya dan pergi seperti angin. Dia seperti commercial break yang memutus adegan pertengkaran dalam sebuah sinetron.

"Dia nginep sini lagi?" dengkus Biyan.

Aku mengibaskan tangan. "Alah. Apa pedulimu? Lagipula bukan urusanmu lagi!"

"Aku ke sini untuk memperbaiki hubungan kita. Aku pikir, kamu akan merasakan kesedihan yang sama seperti yang kurasakan. Tapi mungkin aku salah. Kamu senang kita putus, dengan begitu kamu bisa bebas berhubungan sama Ali." Rahang Biyan mengeras.

Aku mendengkus. "Kesedihan apa? Kamu yang mutusin aku. Lupa? Dan lagi, siapa yang jadian duluan? Kamu!"

"Kamu harusnya dengar penjelasanku sebelum menutup teleponku semalam. Hubunganku dan Dita itu berbeda dari yang kamu bayangkan. Aku jadian sama Dita karena rasa kasihanku padanya. Dita itu punya hidup yang berat, itu membuatku enggak tega. Selain itu, aku gegabah mengajak Dita pacaran karena aku sakit hati dengan respon dinginmu, Emm."

Biyan turun dari motor dan menghampiriku. Ia mengenggam pundakku dengan telapaknya yang hangat.

"Cintaku cuma buat kamu, Emm," tegas Biyan. Ia memandangku dengan mata monolidnya yang sendu.

"Kamu sekarang pacarnya Dita, Biy," sahutku.

"Aku tahu." Biyan mulai berkaca-kaca. "Aku menyesal mengambil keputusan sembrono itu. Aku minta maaf, Emmu."

Air mata Biyan mulai menetes. Dia adalah lelaki berpenampilan garang dengan hati hello kitty. Tangisan Biyan membuatku tak tega dan serba salah.

"Biyan, jangan nangis, dong! Harusnya aku yang nangis, bukan kamu. Aku yang dicampakkan."

Aku mengusap pipi Biyan yang basah.  Pancaran kesedihan jelas tersirat dari ekspresi Biyan.

"Kamu tahu, 'kan, cintaku ke kamu teramat besar. Rasa cemburu dan pengabaianmu membuatku hilang akal," ujar Biyan.

"Aku enggak mau jadi duri dalam daging antara kamu dan Dita. Aku memang enggak suka sama dia, tapi, aku enggak mau merusak hubungan orang." Suaraku parau karena menahan tangis.

"Maksud kamu, Emm?"

"Kita jalani aja hidup masing-masing. Kamu berbahagialah sama Dita," terangku. Sekuat tenaga aku menjaga agar air mataku tak tumpah.

Genggaman Biyan di bahuku terlepas. "Aku enggak bisa meninggalkanmu, Emm."

"Harus bisa. Jadilah lelaki yang bertanggung jawab. Mau bagaimana pun, Dita sekarang pacarmu, bukan aku," tuturku.

Biyan menghela napas berat. Cukup lama ia termenung tanpa lagi mengucap kata.

"Sudahlah, Emm." Biyan menaiki motor. "Kuantar kamu ke kampus dulu. Nanti kamu terlambat," katanya.

"Enggak perlu. Aku mau berangkat sama Pak Andik," tolakku.

"Sama aku aja, Emm. Biarkan aku antar kamu kali ini saja. Ya?" bujuknya mengiba.

Aku mematung. Kalau aku mengiakan, berarti aku ini adalah selingkuhan Biyan.

"Emm, yuk. Nanti telat."

Aku pun menghampiri Biyan. Entah mengapa, menurut saja dengan permintaannya. Biyan selalu mampu membuatku luluh.

Setelah memakai helm yang dia bawa, Biyan meraih tanganku dan mengecupnya.

"Apa-apaan, sih, kamu? Dilihat tetangga nanti!" protesku salah tingkah.

"Biarin. Soalnya aku sayang banget," ucapnya.

Hatiku mendadak teriris.

Biyan bukan milikku lagi. Bahkan mungkin, ini perjumpaan terakhir kami. Perasaan sesak memenuhi rongga dadaku. Perlakuan manis Biyan akan menjadi sesuatu yang kurindukan.

Ini semua memang salahku.

Aku terlalu sibuk sendiri hingga tak memperhatikannya. Seharusnya, aku mengerti bahwa Biyan juga membutuhkanku. Pasti berat baginya karena Mama tak pernah menyambut baik kehadirannya. Ditambah lagi, Biyan harus melihat Ali keluar-masuk ke rumahku dengan bebasnya. Hal itu pasti menyakiti hati Biyan dan memancing rasa iri.

"Emm? Pegangannya, ya. Aku bakalan ngebut supaya kamu enggak telat."

Seraya menahan sembilu, aku menyandarkan daguku pada pundak Biyan yang kokoh.

"Biy, perasaan ini bajumu yang kemarin?" Aku baru sadar dia belum berganti pakaian.

Biyan meringis dan melirikku dari kaca spion. "Beginilah kalau orang patah hati, ganti baju pun enggak kepikiran. Aku bahkan belum mandi dan makan dari kemarin, Emm."

"Masa?"

Biyan menjawab dengan menganggukkan kepala.

"Terus, kamu ketemuan sama Ditanya kapan? Bukannya habis putus denganku, kalian langsung jadian?" selidikku.

Biyan mengusap punggung tanganku. "Aku ketemu dia sebentar di rumahnya."

"Hmmh ..." gumamku. Tak ingin mengorek-korek hal yang makin buat sakit hati.

Aku kembali menyandarkan kepala pada punggung Biyan. Untuk saat ini, aku ingin meresapi keberadaannya di dekatku. Paling tidak, sampai ia akhirnya kembali pada kekasih barunya.

***

Kantin fakultas Hukum siang itu lumayan ramai. Ruangan berbentuk persegi yang mirip seperti warteg, penuh mahasiswa sedang antri bayar makanan. Konsepnya prasmanan, setelah pilih lauk, langsung bayar baru makan. Ini ide Siska yang mengajakku dan Yoland nyasar cari makan siang di sini. Katanya, pengen cuci mata lihat anak Hukum yang konon katanya ganteng-ganteng.

Doaku cuma satu, sih. Semoga enggak berpapasan sama Emran. Males banget ketemu siluman di mana-mana.

"Emm, lesu amat, sih?!" selidik Yoland. Kami bertiga memilih makan di outdoor karena di dalam sudah penuh sesak.

Aku hanya meringis kecut, mirip orang nahan maag.

"Belum di pap sama Ayang, kalik!" goda Siska.

"Atau belum diingetin Ayang buat makan!" imbuh Yoland ikut terkikik.

"Diem, deh," sahutku seraya tersenyum getir.

"Abisnya kenapa, Emm? Cemberut melulu? Putus sama Kangmas Biyan?" ledek Siska.

Aku mengangguk lemah. "Iya," jawabku.

"Hah?" seru Siska dan Yoland bersamaan. Mereka urung menyendokkan nasi campur ke dalam mulut. "Kok bisa?"

"Ya bisa aja. Namanya juga pacaran, kalau enggak nikah, ya, putus." Aku melahap potongan ayam teriyaki yang kupesan. Lumayan enak juga.

Siska menatapku dengan iba. "Yang sabar, Emm. Aku ikutan prihatin."

"Ya, Emm. Jangan lama-lama sedihnya. Cewek cantik kayak kamu, enggak bakalan sulit cari gantinya," kata Yoland.

Saat ini aku bahkan belum terpikir mencari pengganti. Malas menjalani pendekatan dan penyesuaian dengan orang baru.

"Lho, Emma, 'kan? Emmanuella Surya?"

Seorang lelaki bertubuh tambun menyorotku penuh tanya. Aku, Siska, dan Yoland pun berhenti makan sejenak karena terkejut dengan kehadiran lelaki itu.

"Ya, to? Kamu Emma." Ia menunjukku dengan jari telunjuknya. Bibir lelaki itu mengembang memandangiku.

Aku mencoba mengingat-ingat siapa dia. Butuh waktu bagi otakku untuk mencari tahu tentang siapa lelaki ini. Meski begitu, wajahnya memang familiar.

"Astaga," seruku. Aku lantas bangun dari duduk dan menjabat tangannya. "Aldi! Apa kabar?"

"Baik, kamu sendiri gimana?" Aldi adalah siswa yang pernah kutonjok di lorong sekolah. Akibat ulahku, kami berdua terpaksa menghabiskan waktu di ruang BK.

"Aku baik, Di," jawabku semringah.

"Kamu bukan anak Hukum, 'kan? Aku tumben lihat kamu di sini," selidik Aldi.

Aku mengangguk. "Aku ambil jurusan Sosiologi. Siang ini iseng makan di fakultas Hukum bareng temen-temenku." Aku menunjuk ke arah Siska dan Yoland yang cengengesan menyapa Aldi. "Kamu ambil Hukum, to, Di?"

"Iya, Emm." Aldi mesem. Wajahnya mengingatkanku pada Saykoji.

"Sudah makan? Mau gabung sama kita?" tawarku.

Aldi menolak halus, "Oh, makasi. Tapi, aku lagi nungguin temanku."

Sejurus kemudian, Aldi melambaikan tangan seraya berseru, "Nik!"

Aku menengok ke mana arah mata Aldi. Dari kejauhan, seorang lelaki berkemeja rapi berjalan mendekat. Lagi-lagi, wajah lelaki itu juga familiar untukku.

Tidak butuh lama bagiku untuk mengingat, itu Niko Mahardika, teman seangkatan waktu di SMP. Niko adalah salah satu jajaran dari siswa ganteng di sekolah. Anak basket populer yang enggak berani aku taksir. Maklum, masa SMP adalah masa ketika aku belum glow up. Kalau diingat-ingat, muka dan penampilanku mirip kecambah. Pucet, kurus, keriting.

"Nik, kenalin, ini temen SMAku dulu, Emma." Aldi memperkenalkanku dan Niko.

Aku memberanikan diri menatap wajah Niko. Lelaki bermata cokelat terang itu memandangku dengan tajam, sepertinya, ia ingat kalau mengenalku.

"Niko Mahardika, 'kan?" Aku tersenyum. "Kita dulu satu SMP dan dua kali satu kelas."

"Walah! Saling kenal rupanya. Dunia memang selebar daun kelor! Niko ini tetanggaan sama aku, Emm," kata Aldi antusias.

Niko belum memalingkan pandangan, ulahnya malah membuatku kikuk sendiri.

"Emmanuella Surya? Jujur aku pangling," kata Niko. Lelaki itu akhirnya tersenyum dan mengulurkan tangan untuk bersalaman.

Pangling? Sebuluk itu memang aku waktu SMP ...

Aku menerima jabatan tangan Niko. Ia menggenggam erat telapakku cukup lama. Perlakuan Niko membuat jantungku mendadak berdebar.

"Ambil jurusan Hukum juga?" Niko menatapku dalam melalui bola mata cokelatnya. Dua alisnya yang tebal semakin mempertegas tatapan lelaki itu.

"Oh, enggak. Aku ambil jurusan Sosiologi, kebetulan aja lagi makan di sini."

Niko menarik sudut bibir hingga menciptakan lengkungan. "Enggak ada yang namanya kebetulan. Ini takdir, supaya kita bisa ketemu."

Aku yang digombalin, tapi Aldi yang malah belingsatan seperti cacing kepanasan. Si tambun itu cekikikan mendengar perkataan Niko kepadaku.

"Emm, nasimu dilalerin, nih," celetuk Siska.

Aku melirik ke arah Siska dan Yoland yang hampir selesai makan.

"Ya udah, deh, kalau gitu, aku lanjut makan lagi," pamitku pada Aldi dan Niko.

Aldi mengangguk. "Kapan-kapan ngobrol lagi, ya, Emm."

"Oke." Aku dan Aldi saling bertukar senyum. Sementara Niko diam saja dengan tatapannya yang terus mengikutiku.

Setelah berpamitan pada Aldi dan Niko, aku kembali ke bangkuku untuk makan. Siska sibuk menjaga nasiku agar tidak dihinggapi lalat. Ia berulang kali mengibaskan tangan untuk menghalau serangga perwujudan kamen rider itu.

"Temanmu?" selidik Yoland.

"Teman di sekolah dulu," terangku. Aku menyendokkan makanan dengan cepat. Sungkan membuat Siska dan Yoland harus menunggu lama.

"Yang tinggi, tuh, ganteng, Emm." Siska senyum-senyum.

"Terus?" sahutku.

Siska berdecih. "Kok terus? Gebetlah! Kamu, 'kan, single. Cari pacar baru dong."

"Belum kepikiran ke arah situ, Sis. Baru juga putus. Aku enggak mau berhubungan sama cowok baru dulu ... ingin menyembuhkan luka dan ..."

"Emm," sapa Niko. Lelaki itu tahu-tahu sudah berdiri di samping meja kami. Sejak kapan?

"I-iya?" tanyaku sambil menengadahkan kepala.

"Boleh minta nomor kamu, enggak?" ungkap Niko.

"Boleh," sahutku.

Aku melirik ke arah Siska dan Yoland yang mengulum senyum jahil. Setelah bertukar nomor, Niko pun pergi menyusul Aldi yang sudah tidak kelihatan batang hidungnya.

"Gimana, Emm, tadi? Bisa dilanjutin ngomongnya?" ledek Siska.

Yoland memiringkan bibir. "Belum kepikiran ke arah situ, Sis ... Nggak mau berhubungan sama cowok baru ..." Ia menirukan perkataanku dengan intonasi yang mendayu-dayu.

"Ih, dasar kalian!" dumalku.

***

Setelah pertemuan di fakultas Hukum tempo lalu, hubunganku dan Niko makin intens.

Dia rajin mengirimiku pesan, kadang telepon.

Aku enggak nyangka, salah satu cowok beken di sekolah, sekarang getol menguberku. Ada rasa berbunga, sekaligus bangga pada diri sendiri. Jujur saja, kedekatan dengan Niko, membuatku lupa tentang Biyan.

Niko yang dulu terkenal suka gonta-ganti cewek dan slengekan, berubah total sekarang. Lelaki itu lebih dewasa dalam berbicara. Kadang, aku seolah sedang ngobrol sama bapak-bapak usia 40 tahun. Selain itu, Niko merupakan pegawai di instansi kepemerintahan.

Dia kerja pagi sampai sore dan mengambil kuliah malam di Universitas Bhayangkara. Idaman mertua bangetlah, pokoknya.

"Emm, Niko sudah menunggu di bawah, tuh." Mama masuk ke dalam kamar tanpa mengetuk pintu. Air mukanya semringah dan cerah benderang seperti mentari pagi.

"Iya, Ma. Sebentar lagi aku turun," ucapku. Aku merapikan rambut dengan jemari.

Mama berdiri di belakangku, ia membantuku mengatur helai rambutku yang panjang dan tebal.

"Kamu dan Niko pacaran?" tanya Mama.

"Enggak, Ma."

"Tapi, dia sering ke sini nyamperin kamu. Itu berarti dia suka sama kamu, Emm," ujar Mama.

"Ih, Mama. Aku enggak mau kepedean dulu!" sanggahku salah tingkah.

Mama mengulum senyum. "Kamu kasih dia lampu hijau, deh. Supaya Niko tidak takut buat menyatakan perasaan."

Aku diam saja. Mama emang pilih kasih. Dulu, sama Biyan, mana pernah Mama se-welcome ini. Padahal, hanya Biyan yang meski hujan - badai selalu mengantarku ke mana-mana.

Sama Ali juga sama. Mama ramah banget, selalu nyapa dan mengumbar senyum. Coba sama teman-teman Emran yang lain, yang mukanya pada kayak belalang sembah, mana sudi Mama buat sekedar nyapa.

Mama baik sama Ali dan Niko karena mereka good looking dan tajir. Setelah melihat tampilan Niko dan mobil yang ia bawa tiap kali menjemputku, Mama ikhlas banget aku keluar sama Niko. Katanya, enggak pulang juga enggak masalah. Coba sama Biyan, belum juga buka pintu, sudah disembur habis-habisan.

Mama belum tahu aja, Biyan itu baik, tulus, dan perhatian. Tapi Mama selalu mengecap Biyan sebagai cowok begajulan. Dia enggak mencoba untuk mengenal Biyan lebih dekat, padahal kami sudah kenal setahun lebih. Beda sama Niko, baru juga ketemu sekali, Mama sudah menyimpulkan kalau Niko adalah cowok yang bertanggung jawab dan dewasa.

"Sudah cantik, Emm. Ayo buruan turun, kasihan Niko nunggu kelamaan," titah Mama.

Aku mengangguk dan segera menghampiri Niko yang menunggu di ruang tamu.

***

Malam itu, Niko membawaku makan steak di Boncafe, sebuah restoran keluarga yang terkenal dengan olahan daging panggang dan es krimnya.

Lelaki itu tampil kasual mengenakan baju polo dan celana chino. Rambutnya pun rapi dan mengilap karena pomade. Penampilan Niko makin sempurna akibat aroma parfumnya yang semerbak.

Ia memperlakukanku seperti Princess. Niko membantu menarik kursiku sebelum aku duduk, memotong daging steakku kecil-kecil, dan mempersilakanku mencicipi makanan miliknya. Walau dia sebaik itu, entah kenapa aku malah enggak nyaman. Mungkin, karena aku dan Niko belum lama kenal, jadi masih canggung. Sama Niko bawaannya tegang dan grogi melulu.

"Emma," panggil Niko. "Aku punya tebak-tebakan, nih. Kamu jawab, ya."

Aku mengangguk dan mendengarkan Niko saksama.

Dengan bibir terkembang, Niko antusias melontarkan tebakan. "Kenapa air mata warnanya bening?"

"Kenapa air mata warnanya bening?" ulangku. Bola mataku berputar ke atas karena memikirkan jawaban dari pertanyaannya.

"Kenapa, hmm?" cecar Niko menahan tawa.

Aku masih belum menemukan jawaban.

Niko kembali mendesakku, "Nyerah?"

"Nyerah, deh. Kenapa air mata warnanya bening?" sahutku.

"Soalnya, kalau warna hijau namanya air matcha!" Niko cekikikan sendiri oleh gurauannya.

Pepatah bilang, tiada gading yang tak retak.

Niko memang ganteng, dewasa, dan tergolong mapan. Namun, banyolannya receh parah. Garing dan ala bapak-bapak banget. Parahnya, dia enggak sadar dan selalu ngakak terpingkal karena humor renyahnya.

Aku memaksakan tawa demi menghormati Niko.

"Ada lagi, Emm. Kamu jawab, ya!" Niko berusaha menghentikan tawa akibat tebakan yang pertama.

Ya Dewa, apa lagi ini?

"Apa, Nik?" tanyaku.

"Telor apa yang sangar?" celetuk Niko.

Telor pala kau, mungkin.

"Telor apa, ya?" Aku menggaruk leherku yang tidak gatal.

"Telor asin!" Tawa Niko pecah. "Soalnya ada tatonya."

"Ehehe ..." Aku tersenyum datar, lagi-lagi untuk menghormatinya.

Niko belum berhenti sampai di situ. "Satu lagi, Emm," kelakarnya. "Sabun apa yang paling genit?"

"Sabun yang paling genit?" ulangku.

Niko memegang perutnya yang sakit karena lelah cekikikan. "Masa enggak tahu, Emm?"

Aku menggeleng. "Sabun apa emang?"

"Sabun colek!"

Niko terbahak-bahak, sementara aku bingung harus merespon apa. Kalau dengan Biyan, lawakan kami nyambung. Kami biasa menirukan cara bicara artis yang punya ciri khas khusus, misal Jim Carrey atau Aelke Mariska. Aku dan Biyan juga cenderung menyukai komedi fisik. Kami bisa cekikikan sampai kram gara-gara lihat video orang masuk parit di kanal Youtube.

"Emm," panggil Niko lagi.

Dia mau kasih tebakan apa lagi coba?

"Apa, Nik?" Aku memandang ke arah bola mata cokelat Niko.

"Kamu mau jadi pacarku, enggak?" tanya Niko.
 


12. TERNODA

 

Bab ini mengandung trigger warning.

Sudah satu bulan semenjak Niko menyatakan perasaan padaku. Kami resmi pacaran.

Aku belum cinta banget sama Niko, tapi, dia ganteng dan baik. Kurasa enggak ada salahnya mencoba dulu dengannya, terlebih Mama kelihatan senang tiap kali dia datang.

Tempat kencan kami juga standar, kalau enggak nonton ya cari makan. Seringnya, sih, Niko ngapel ke rumah. Tiap Niko datang, Mama bakalan nyiapin makanan segambreng, udah kayak ada hajatan. Bahkan, Mama terpingkal-pingkal kalau Niko ngeluarin jokes recehnya. Padahal, aku tahu betul, ketawa Mama palsu.

"Sayang," panggil Niko. Sabtu ini dia menemaniku mengerjakan tugas kampus di rumah.

Pandanganku tertuju pada layar laptop. "Kenapa?" sahutku.

"Aku mau tanya, deh." Niko meraih jemariku untuk mendapatkan atensi.

Aku beralih memandangnya. "Mau tanya apa, Nik?" tanyaku. Semoga dia enggak lagi mau kasih tebak-tebakan.

"Apa pendapat kamu soal nikah muda?"

Mataku membelalak. "Nikah muda? Pendapatku? Kenapa tiba-tiba tanya begitu?"

"Ya, aku ada cita-cita pengen nikah muda. Kamu mau enggak kalau kita tunangan gitu?" Niko menelisikku dengan bola mata cokelat terangnya.

Aku menelan ludah kasar. "Tu-tunangan?"

"Enggak mau, ya?" Mimik muka Niko berubah murung.

"Bukannya enggak mau, tapi hubungan kita masih tergolong baru. Menikah butuh kesiapan dan aku belum siap. Aku masih ingin menyelesaikan kuliah dan kerja."

"Menikah enggak membatasi kamu untuk kuliah atau bekerja, Emm," tukas Niko.

Ini anak serius apa bercanda, sih?

"Niko, ini kamu serius? Kenapa bisa mantep banget sama aku?" selidikku.

Niko membalikkan pertanyaanku, "Memangnya kamu enggak mantep, enggak yakin sama aku?"

"Ya-yakin, kok," jawabku pelan.

"Nah, kalau begitu enggak perlu lama-lama nunggu, bukan?" cecar Niko.

Aku menggelengkan kepala dan kembali memusatkan perhatian pada tugas. "Nik, kita bahas lain waktu, ya. Ini bukan saatnya ngomongin itu."

Niko mengembuskan napas panjang. Ia menyandarkan punggung pada bantalan sofa dengan muka merengut.

"Kamu besok ada acara?" tanya Niko lagi.

"Enggak ada."

"Ikut aku, ya?" ajak Niko.

"Ke mana?" selidikku.

"Nonton."

***

Setelah Niko pulang, ponselku berdering tiada henti. Siapa yang menghubungiku malam-malam begini?

Aku melotot karena melihat nama yang tertera pada layar ponsel. Biyan!

"Halo?"

"Keluar bentar bisa?" Suara Biyan terdengar parau dari balik speaker.

"Kamu di mana?" tanyaku.

"Aku di kafe depan komplekmu."

Aku terdiam sesaat. Jantungku mendadak berdebar. Desir yang lama kupendam, merayap bangkit karena mendengar suara Biyan.

"Tunggu, aku akan jalan ke sana," jawabku.

Kafe tempatku dan Biyan biasa bertemu mulai sepi pengunjung. Maklum saja, sudah jam sembilan malam.

Aku menengok kiri dan kanan untuk mencari keberadaan Biyan. Aku tidak bisa lama, kalau Mama tahu aku keluar diam-diam, bisa panjang urusan. Jantungku seolah berhenti sejenak ketika akhirnya menemukan sosoknya.

Biyan duduk di sudut ruang, posisinya membelakangiku. Rambut panjangnya dicepol tinggi, ia mengenakan kaos hitam polos dan celana pendek. Penampilan sederhana yang kurindukan. Punggung lebarnya tampak nyaman untuk disandari.

"Biyan," sapaku. Rindu membuncah menguasai nurani dan pikiranku.

Biyan menengok dan memandangku dengan mata sendu. Cukup lama kami saling beradu, sampai pada akhirnya, ia beranjak bangun dan mempersilakanku duduk.

"Ada apa, Biy?" tanyaku.

Biyan berdeham dan menyodorkan sebuah gelas ke hadapanku.

"Minumlah. Aku sudah pesankan untukmu. Ini yang biasa kamu pesan tiap ke sini."

Strawberry Milkshake. Hatiku makin mencelos. Please, jangan bikin aku baper lagi, deh.

"Makasi, ya." Aku tertunduk seraya menyedot cairan susu bercampur eskrim kesukaanku.

Biyan menyandarkan dagu pada tangan. Ia mengulas senyum menyaksikan aku minum. "Gimana kabarmu? Kulihat di Facebook-mu kamu punya pacar baru."

"Aku baik," jawabku. "Namanya Niko, kami dulu teman satu SMP."

"Apa yang membuatmu menerima dia sebagai pacar?"

"Dia baik." Aku mengaduk-aduk milkshake dengan sedotan.

"Selain itu?" tanya Biyan.

"Ya, pokoknya ... kami cocok aja." Sebenarnya aku tidak punya alasan kuat pacaran sama Niko.

Biyan meringis. "Hmm, gitu ... Baguslah."

"Kamu sendiri bagaimana sama Dita?" Aku mencoba mengalihkan topik.

Biyan menarik napas panjang. Mimik mukanya menyiratkan ketidak-sukaan. "Begitulah, Emm. Awal jadian juga berdasar emosi semata. Tapi, enggak bisa kabur begitu aja karena merasa bertanggung jawab sama dia."

"Bertanggung jawab?" selidikku.

Biyan mengangguk. "Dita enggak punya siapa-siapa di sini. Sekarang, dia bergantung banget sama aku. Dia juga takut aku tinggal. Hal itu bikin aku makin merasa bertanggung jawab penuh sama dia."

"Tapi kamu bahagia, 'kan, sama dia?"

"Dipaksain buat bahagia karena enggak punya pilihan lain. Dita hobi banget ngomel dan marah-marah. Apa lagi saat dia tahu aku masih sering kepoin kamu. Dia makin emosi. Suka banting-banting barang, nyakar muka, kadang bahkan mukul. Aku enggak mungkin bales cewek, jadi cuma bisa diem aja dan tunggu amarahnya reda." Biyan tersenyum getir.

"Ya ampun, Biy ..." gumamku iba. Tapi, salah sendiri, siapa suruh mutusin aku.

"Kurasa ini karmaku karena mencampakkanmu," ucap Biyan.

Nah, itu sadar.

"Jadi, alasan kamu ingin bertemu aku apa? Kalau Dita sampai tahu, kamu bakalan diamuk lagi."

"Aku kangen kamu, Emm," ujar Biyan. "Selain itu, aku juga penasaran sama cowok barumu. Ingin memastikan kamu bahagia, supaya aku tenang."

Aku kembali meneguk milkshake-ku untuk menghindari tatapan matanya. "Kamu enggak perlu khawatir. Aku bahagia, kok."

"Syukurlah." Biyan tertawa. Ia kemudian mengambil sepuntung rokok dan menyulutnya. "Mamamu suka sama dia?"

"Suka." Aku tak kuasa menatap mata Biyan.

"Aku senang kamu enggak lagi pacaran sembunyi-sembunyi, seperti saat denganku. Kalau aku boleh tahu, kenapa Mamamu cepat sekali merestui kalian?" tanya Biyan lagi.

Rasanya berat untuk menjawab, takut melukai hati Biyan.

"Soalnya, Niko ..."

Belum selesai aku menjawab, Biyan sudah menyelaku. "Karena penampilan dia rapi dan sudah bekerja, 'kan?" terkanya.

"Kok kamu bisa tahu?"

Ekspresi Biyan gusar. Ia memberikan setengah senyum. "Aku cari tahu dari medsosnya. Si Niko itu jelas kriteria Mamamu. Masih muda, sudah bekerja di instansi kepemerintahan pula. Beda jauh sama aku, cowok pengangguran yang kuliah aja enggak."

"Biyan ..." Aku mengusap tangan Biyan yang terkulai di atas meja.

Biyan meletakkan puntung rokoknya ke dalam asbak, ia kemudian membalas genggamanku.

"Emm, aku cuma mau kamu hati-hati dan enggak gampang percaya, dengan Niko sekali pun. Aku enggak mau kamu terluka. Kamu tahu, bukan, aku sudah pernah bilang kalau kamu adalah tipikal wanita yang terlihat rapuh di mata lelaki. Wanita sepertimu begitu menarik perhatian," ujar Biyan.

"Aku bisa jaga diri, Biy. Aku bukan kewajibanmu lagi," ucapku pedih.

Biyan mengeratkan genggamannya pada jemariku. "Aku tahu."

Kami seakan mampu membaca perasaan satu sama lain. Aku dan Biyan sekuat tenaga menahan rindu dalam dada. Ia bukan lagi milikku, begitu pun sebaliknya.

"Aku harus pulang," kataku.

"Kuantar." Biyan lalu melepaskan tautan jemari kami.

***

"Siang."

Niko tersenyum seraya membukakanku pintu mobilnya. Hari ini kami ada janji nonton.

Aku melirik penampilan Niko yang lain dari biasa. Ia mengenakan kaos oblong, celana santai, dan sandal jepit. Rambutnya juga berantakan, seperti belum mandi.

"Kita mau nonton, 'kan?" selidikku. Aku memasang sabuk pengaman sebelum Niko melajukan Honda Jaznya.

Niko mengangguk. Lelaki itu memindahkan tuas pada persneling sambil fokus menghadap ke depan.

"Iya, nonton," jawabnya.

Tapi, kenapa penampilanmu enggak seperti biasa?

Niko kembali melanjutkan, "Tapi kita balik ke rumahku dulu sebentar, searah sama mal yang mau kita tuju, kok."

"Apa? Ke rumahmu? Kenapa?!" Mataku melotot karena terkejut.

"Kamu lihat sendiri, Yang. Aku belum mandi. Tadi bangun kesiangan dan takut kamu lama menunggu, makanya aku langsung jemput."

"Kamu bisa mengabariku kalau telat, Nik. Aku enggak nyangka bakal dadakan ke rumahmu," keluhku.

Niko meringis. "Kenapa enggak nyangka segala? Santai aja, Sayang," katanya tanpa beban.

Mana bisa santai? Kalau dia ajak ke rumah, berarti aku akan ketemu orang tua dan keluarganya. Apa jangan-jangan ini siasat dia untuk melanjutkan rencananya nikah muda. Niko mau ngenalin aku ke keluarga besar biar hubungan kami segera resmi?!

Dan lagi, mana aku tahu bakal ketemu ibu bapaknya. Pakaian yang aku pakai sekarang kayaknya kurang sopan, high waist skirt di atas lutut dan crop top.

"Kamu enggak usah mandilah. Begitu aja udah cakep. Mending kita langsung ke mal," bujukku.

"Jangan, dong, Sayang. Aku enggak pede jalan sama kamu yang udah rapi gini. Sementara, aku cuman pakai sandal." Niko menunjuk ke bawah dengan dagunya.

Aku mendecih. Hari ini benar-benar enggak terduga! Untuk pertama kali dalam hidup, aku harus ketemu orang tua pacar. Grogi parah.

"Betewe," lanjut Niko. "Kamu hari ini cantik banget."

"Memangnya kemarin-kemarin enggak, ya?" sahutku.

Lampu lalu lintas mendadak merah. Mobil Niko berhenti untuk mematuhi aturan.

"Setiap hari cantik, tapi hari ini luar biasa cantik," puji Niko. Ia mengerlingkan mata ke arahku. Bola mata cokelat Niko memandangi tubuhku dari atas ke bawah.

Pandangan Niko membuatku bergidik. Padahal, seharusnya senang, dong, ya, kalau dipuji pacar sendiri.

Jemari Niko tiba-tiba menggerayang pahaku yang terekspos. "Terus, seksi lagi ..." gumamnya.

Aku menepis tangannya. "Apaan, sih, Nik!" tolakku.

Niko mengulum senyum. Ia mencondongkan badan mendekatiku. Kurasa, Niko sedang mencoba untuk menciumku.

"Niko!" Aku menghindar.

"Kenapa, Sayang? Kita belum pernah ciuman, lho. Kamu enggak mau cium pacarmu sendiri?" tanya Niko.

"Bukannya gitu, tapi ..." Aku mulai gamang.

Niko menarik daguku dengan jemarinya. "Satu ciuman aja, Sayang."

Aku pasrah dan memejamkan mata. Tak lama, bibir Niko pun mendarat pada bibirku. Ciumannya begitu impulsif dan agresif. Mengulum bibirku seolah ingin melahapnya sampai habis.

"Niko, nanti dilihat orang." Aku melepaskan pagutannya.

Niko kembali menarikku dalam kecupan. "Rileks. Ini kaca riben. Enggak akan kelihatan dari luar."

Entah mengapa, aku sama sekali tidak merasa nyaman dengan sentuhan Niko. Malahan aku takut. Mungkin ... hanya belum terbiasa.

Bunyi klakson kendaraan di belakang mobilnya membuat Niko terpaksa melepaskanku. Traffic light sudah berubah hijau, syukurlah.

Beberapa menit berkendara, aku dan Niko akhirnya sampai di rumahnya. Ia memarkir rapi kendaraannya di dalam garasi dan membukakanku pintu mobil.

"Yuk." Niko semringah.

Aku menelan saliva. Semakin tegang dan bingung harus bersikap bagaimana nanti.

"Niko, aku harus ngomong apa sama orang tuamu?" bisikku.

Alis lebat Niko berkernyit. "Orang tuaku?" tanyanya.

"Iya." Aku mengangguk pucat.

"Jadi, kamu dari tadi diam aja karena ngira bakal ketemu Bapak sama Ibuku?" selidik Niko.

"Ini Minggu, keluargamu pasti libur semua, 'kan?"

Tawa Niko pecah. "Astaga, Sayang. Kamu grogi karena itu, to!" Ia memelukku sambil mengacak-acak rambutku. "Enggak perlu khawatir."

Aku melepaskan pelukannya. "Maksud kamu?"

"Enggak ada siapa-siapa di rumah. Mereka lagi di Banyuwangi karena ada resepsi pernikahan sepupuku," terang Niko.

Aku bernapas lega. Beruntung, aku tidak harus menemui calon mertua dengan pakaian mini begini. Tapi, tunggu ...?

Aku hanya berdua saja dengan Niko?

Niko menggandeng tanganku. "Masuk, Sayang. Biar aku bisa segera mandi," katanya.

Rumah Niko cukup luas dan memiliki banyak lorong. Bangunan dengan arsitektur khas Jawa yang punya kolam ikan Koi di samping terasnya. Seluruh ubin berbahan kayu ulin, begitu juga dengan dindingnya. Mungkin, karena itu rumah ini terasa sejuk.

"Aku tunggu di sini, cepat sana mandi."

Aku merebahkan tubuh ke atas bantalan kursi kayu ukir yang berada di ruang tamu.

Niko menarik tanganku. "Sini dulu, deh, Sayang."

"Mau ke mana?" Aku mengikuti langkah Niko.

Ia membawaku menyusuri koridor yang panjang. Niko kemudian membuka pintu salah satu ruangan yang berada paling ujung.

"Ini kamarku," terangnya. Niko melenggang masuk dan bergegas mengambil sebuah pigura. "Masuk, Emma."

Agak canggung masuk ke dalam kamar Niko. Walau pun dulu aku sering masuk kamar Biyan, tetapi kali ini beda. Entah kenapa, aku begitu nyaman bersama Biyan. Kalau dengan Niko, aku selalu merasa asing.

"Lihat, deh. Ini foto kita waktu zaman SMP." Niko menyodorkan bingkai potret kepadaku.

Aku duduk di atas ranjang seraya memandangi pigura yang Niko tunjukkan. Itu adalah foto kami dengan seluruh teman sekelas pada waktu kelas satu. Bibirku meringis melihat penampilanku yang mirip mayat. Kulit pucat, nyaris tanpa senyum, komplit dengan rambut megar kayak singa. Cringe!

"Tadinya foto ini ada di album, tapi semenjak kita jadian, aku pasang di pigura," terang Niko.

Aku merona. "Ya ampun, Nik. So sweet, ih ..." Tapi miris juga, apa enggak ada foto lain yang bagusan dikit?

"Aku tunjukkin ke Bapak dan Ibu, kalau pacarku yang ini," kata Niko. Ia menunjuk ke arah fotoku.

Aku tersenyum getir. "Mereka enggak bilang, kok kamu mau sama anak jelek begini ...?"

"Apa, sih, Emm!" Niko mencubit hidungku. "Jelek bagaimana? Kamu itu cantik, Sayang."

Aku kembali tersipu-sipu. Cewek mana yang enggak melayang kalau dibilang cantik.

"Eh, Sayang," panggil Niko. "Kita lanjutin kiss yang tadi, yuk."

"Apa?" Jantungku berdebar kencang. Bukan karena bergairah, tapi takut.

Niko memegang lenganku dan mendekatkan wajahnya. Bibirnya sudah monyong-monyong bersiap menciumku lagi.

"Niko, bukannya kita mau nonton? Kamu enggak mandi? Enggak siap-siap?" Aku berusaha melepaskan diri.

Ia tak memedulikanku, malahan cengkramannya makin erat. Kulit Niko terasa panas, seperti suhu orang demam. Katanya, kalau lagi horny, tubuh lelaki memang menghangat.

"Niko!"

Niko membungkam mulutku dengan bibirnya. Ia melumat bibirku dan memaksakan lidahnya masuk ke dalam. Aku menutup mata dan mencoba menikmati ciuman kami.

Ia makin liar, tangannya meraba-raba tiap jengkal tubuhku. Niko berupaya meremas payudaraku.

Aku tersentak dan berontak. Namun, kekuatan lelaki itu teramat besar. Aku tidak lagi mampu menikmati tiap sentuhan dan ciumannya. Justru, aku merasa ngeri.

"Niko, kamu apa ... apa'an!?" Kata-kataku terbata karena ia tak berhenti menciumi bibirku. "Lepas!" pekikku.

"Ssshhh ...!" Niko membisik, memintaku untuk diam. Lelaki itu mendorongku ke matras dan buru-buru membuka kaos yang ia pakai.

Aku mulai panik dan meronta. Sebaliknya, Niko malah menarik tanganku dan membimbingnya agar mengelus-elus bagian intimnya. Jemariku bisa merasakan miliknya yang sudah bangun dan keras.

Aku melepaskan tanganku dari kendalinya, tak ingin berlama-lama menyentuh area itu. Niko justru menindihku dan kembali menciumku membabi buta. Cukup dengan satu tangan, ia menahan kedua pergelanganku ke atas. Tidak heran kekuatannya luar biasa, sejak SMP, Niko tekun berlatih basket dan angkat beban hingga sekarang.

Tangan Niko yang lain melucuti kolornya, lelaki itu sudah siap menyetubuhiku.

Aku menggeliat dan melawan. Tapi, sia-sia. Lelah dan takut malah membuat tenagaku hilang. Sekujur tubuhku gemetaran seperti menggigil.

"Niko jangan!" teriakku dengan suara yang parau.

Niko seolah tuli. Ia mencumbu leher dan telingaku. Menggigit dan mengisapnya kuat-kuat, mengakibatkan rasa perih.

"Memang ini yang dilakukan pasangan kekasih, Sayang. Aku sudah janji sama kamu, kalau aku bakal tanggung jawab. Apa pun yang terjadi. Kamu jangan khawatir," bisik Niko.

Bulir-bulir air tumpah dari pelupuk mataku.

Niko membuka lebar kakiku dan menarik celana dalamku ke bawah. Ia menggesekkan jari-jarinya pada organ intimku. Sentuhannya membuatku menderita dan kesakitan.

"Sakit, Niko! Please, stop." Aku memandangnya mengiba.

Niko menganggap tangisku hanya main-main. Ia pikir aku menikmati permainannya.

"Jangan tegang, supaya enggak sakit," kata Niko beringas.

Napasku mulai sesak. Tak berdaya. Takut.

Apa aku harus kehilangan keperawanan dengan cara menjijikkan seperti ini?

Ia akhirnya berhenti memainkan jarinya. Niko mengarahkan miliknya yang sudah teracung untuk masuk ke dalam liangku. Beberapa kali ia menyundulkan batang itu agar menembus pertahananku.

"Sayang, rileks, dong. Aku tahu kamu baru pertama. Aku akan pelan-pelan." Niko membujukku dengan mimik muka yang menakutkan.

Tangisku sesegukan. Aku tak ingin ini terjadi.

"Kalau kamu tegang begini, punyaku enggak bisa masuk-masuk," lanjut Niko.

Pengalaman pertama, seharusnya dilakukan bersama orang spesial. Orang yang kucintai. Apa memang begini realitanya? Niko adalah lelaki yang akan mengambil milikku paling berharga? Dan aku harus percaya padanya, seperti yang ia bilang.

Niko mulai kepayahan memasukkan penisnya hanya dengan satu tangan. Saat ia lengah, aku sigap melepaskan pergelanganku dari cengkraman tangan kirinya.

Aku menampar pipi Niko menggunakan sisa-sisa tenaga. Aku juga mendorong tubuhnya agar menjauhiku.

Mata Niko berkilat menyala. "Kamu apa-apaan, Yang?" sentaknya.

"Bajingan kamu! Kamu pikir aku mau melakukan ini? Kamu penjahat, Niko!" teriakku.

"Penjahat apa? Aku ini pacarmu!" sanggah Niko tidak terima.

"Meski kamu pacarku, bukan berarti kamu punya hak untuk melecehkanku. Apa yang kamu lakukan tadi adalah bentuk pemaksaan!"

Niko melotot. "Melecehkan apa? Pemaksaan bagaimana? Yang ikut ke kamarku dengan suka rela itu kamu. Selain itu, jangan salahkan aku saja, kamu sendiri yang pakai pakaian mengundang begitu!"

"Kamu memang bajingan!" Air mata membanjiri pelupuk mataku. Ingin sekali aku menghajar wajah Niko, tapi ketakutan masih menguasaiku. Aku khawatir mendekatinya. Khawatir ia akan melecehkanku lagi.

"Jangan jual mahal, Emma. Pasangan kekasih memang wajar melakukan hal-hal macam ini." Niko meraih kaos dan celananya yang berserakan.

"Wajar untuk lelaki bangsat sepertimu." Aku memekik histeris. "Aku akan mengadukanmu ke polisi, Nik!"

Niko berdecih. Tak sedikit pun ada rasa takut pada mimiknya.

"Mau ngaduin apa? Orang kita belum ngapa-ngapain, kok."

Aku tersentak dan memandangnya dengan mata yang menggenang. "A-apa katamu ...?"

"Aku belum masukin punyaku. Enggak terjadi apa-apa di antara kita. Jangan terlalu berlebihan, Sayang. Kamu mau melaporkan apa ke polisi? Yang ada orang tuamu yang malu."

"Niko!" sentakku tak terima.

"Yang pertama, kamu pacarku. Kedua, kamu ikut ke rumahku suka rela. Ketiga, kamu enggak menolak saat ku ajak masuk kamar. Keempat, enggak ada tanda kekerasan fisik di tubuhmu. Dan lagi, kamu diam saja saat aku menciumimu." Niko memicingkan matanya sembari tersenyum culas. "Lihat juga pakaianmu. Kamu malah bikin polisi ketawa, Sayang."

Dengan sisa-sisa malu, aku memakai celana dalam dan membetulkan kaosku.

Demi Tuhan, rasanya hancur ...

"Kamu mau ke mana, Emm? Katanya mau nonton." Niko mengejarku yang melangkah keluar dari kamarnya.

Aku terisak dan menghapus air di pipi, tapi percuma, air mataku terus mengucur tak berhenti.

Niko menahan lenganku. "Emma! Kamu kenapa, sih? Aku pikir kamu juga mau."

"Aku memintamu untuk berhenti ..." sahutku tersenggal.

"Ya sudah, ya sudah. Aku minta maaf. Toh, enggak terjadi apa-apa. Aku belum ngapa-ngapain."

Belum ngapa-ngapain, katanya?

Dengan sigap aku menyambar tas jinjingku dan tak mengindahkan Niko. Aku ingin segera pergi dari rumahnya.

"Emma!"

Aku berjalan cepat sembari membuka pintu gerbang. Suara Niko yang memanggilku membuatku makin terngiang peristiwa tadi.

"Aku salah apa, sih, Yang? Aku enggak ngapa-ngapain kamu. Masukin aja belum! Udah jangan ngambek beginilah." Niko menghampiriku.

"Aku enggak mau ketemu kamu lagi!" bentakku.

Niko menarikku. "Jangan ngaco! Kamu enggak bisa mutusin aku hanya karena ini. Sudahlah. Ayo balik ke rumah. Aku antar pulang, atau mau nonton? Mau makan?" Ia membujukku seolah aku adalah anak berusia lima tahun.

"Lepas!" Aku menyentakkan tangan.

"Kok kamu gini, sih?" desak Niko.

Aku mendorong Niko kuat-kuat. "Aku enggak mau melihat mukamu lagi, Bangsat!"

"Emm, please." Niko lagi-lagi menghalangi jalanku.

Aku memukul muka Niko dengan tasku, karena hal itu, bibirnya tergores dan berdarah.

Niko mendecih kesal. "Aku enggak habis pikir sama kamu. Kamu marah karena hal sepele begitu. Aku juga udah minta maaf, lho. Sekarang kamu mau apa? Ngelaporin aku ke orang tuamu? Ke polisi? Terserahlah. Kamu juga yang nanti bakalan malu!"

Lelaki itu akhirnya berbalik menuju rumahnya. Niko menyerah mempertahanku.

Kakiku berderap cepat menyusuri jalan kompleks perumahan Niko. Entahlah mau ke mana, pokoknya aku hanya ingin jauh dari dia. Lelaki berengsek itu.

Matahari yang menyengat sama sekali tidak kurasakan. Mungkin, dibanding kulit pedih karena panas terbakar, hatiku lebih tersilet-silet.

Aku malu. Aku merasa tak lagi berharga. Aku juga menyalahkan diri karena mau saja ikut dengan Niko. Kenapa sejak awal aku tidak menolak? Jadi, memang aku yang salah. Aku memberinya persetujuan untuk menyentuhku.

Di tengah antah berantah, aku berhenti dan masuk ke dalam sebuah warung kopi yang sepi.

"Monggo," sapa pemilik warung. Lelaki paruh baya itu melihatku dari atas ke bawah.

"Lihat juga pakaianmu, Sayang ..."

Perasaanku sembilu. Suara Niko menari-nari di benakku. Mereka semua seakan menelanjangiku melalui tatapannya.

Aku mencoba tak acuh dan duduk pada bangku warung. Kemudian, aku mengambil ponsel dan mencari nomor Emran.

"Mau pesen apa, Wong Ayu?" tanya pemilik warung. Matanya masih jelalatan pada pahaku.

"Es teh, Pak," jawabku singkat.

Ketika hendak menekan panggilan, aku mendadak ragu.

Emran pasti akan bertanya-tanya kenapa aku bertengkar sama Niko. Ia akan mengadu pada Mama dan mencecarku dengan berjuta pertanyaan.

"Yang pertama, kamu pacarku."

"Kedua, kamu ikut ke rumahku suka rela."

"Ketiga, kamu enggak menolak saat ku ajak masuk kamar."

"Keempat, enggak ada tanda kekerasan fisik di tubuhmu. Dan lagi, kamu diam saja saat aku menciumimu."

Tangisku kembali pecah. Aku urung menghubungi Emran. Mungkin, sebaiknya aku pulang sendiri. Entah naik taksi atau transportasi lain.

Aku memandangi layar ponsel cukup lama, hingga pada akhirnya, aku menghubungi seseorang.

"Halo ... Biyan?"

***

Ada tubuh hangat yang tidak takut untuk kudekap.

Seulas senyum manis pada bibir merekah miliknya, mampu menghalau resah yang berkecamuk.

Mata itu, sepasang mata sendu memandangku penuh makna. Ia menyampaikan kepeduliannya melalui sentuhan jemarinya yang lembut.

Lalu, aroma sampo yang menguar dari helai rambut tebalnya yang panjang, menenangkanku.

"Biyan," kataku berkaca-kaca.

Biyan duduk di sisiku. "Hei, are you okay?" gumamnya. Ia melepaskan jaket parasutnya dan mengenakannya padaku.

"Enggak," sahutku menggelengkan kepala.

Ia mengembuskan napas berat seraya menatapku dengan mengiba. "Sudah ... sudah. Aku ada di sini untukmu."

Aku bersandar pada bahu Biyan.

Masa bodoh jika dia adalah pacar Dita. Aku tak peduli. Aku membutuhkan Biyan sebagai tempatku bersandar dan menghapus segala pedihku.

Rahang Biyan mengeras ketika aku menceritakan apa yang telah menimpaku. Aku yakin ia sedang menahan emosi memuncak pada ubun-ubun.

"Enggak perlu dilanjutin lagi, Emm!"

Biyan membenamkan wajah pada telapak tangan. Ia terlihat sangat terpukul oleh ceritaku.

"Biyan," panggilku.

"Sudah berapa kali kubilang untuk hati-hati, Emm. Kamu seharusnya waspada dengan lelaki-lelaki berpenampilan dewa, mereka rata-rata berhati iblis! Ali adalah salah satu contohnya. Ini yang kutakutkan selama ini ..." Biyan kembali mengacak-acak muka. "Aku merasa sangat marah karena gagal melindungimu!"

"Bukan salahmu ... ini semua ... salahku."

Biyan memandangku lekat. "Di dunia ini, banyak orang jahat. Kamu harus membuka mata bahwa kehidupan enggak seindah dongeng. Apa yang selalu kukatakan padamu adalah upayaku untuk menjagamu, bukan mengekangmu, Emm. Sekarang, kamu mengerti, 'kan? Kenapa dulu aku over protective?"

Aku menunduk lemah. "Aku memang salah, Biy."

"Sudahlah, Emm. Aku antar kamu pulang sekarang." Biyan berdecih.

Ia lalu membayar minuman yang kupesan dan menuju motornya. Biyan enggan memandangku. Aku tahu, dia pasti marah.

"Emm, berhentilah memakai pakaian seperti ini."

Aku mengangguk dengan air mata meleleh. "Iya ..." sahutku.

Sepanjang jalan, aku memeluk pinggang Biyan erat.

Kenangan ketika Niko melecehkanku terus berkelindan di benak. Trauma yang mempermalukan setiap inci selku sebagai seorang manusia.

Aku membenci diriku sendiri.

Aku bahkan membenci tubuhku.

Hatiku makin sakit saat menyadari kalau Biyan bukan lagi kekasihku. Setelah ini, apa dia masih bisa menerimaku? Setelah tahu ada lelaki lain yang sudah menjamahku.

Dekapanku makin kencang, ketidak-ikhlasan merongrong batin. Bukan Dita yang seharusnya menjadi kekasih Biyan, tapi aku.

Kami akhirnya tiba di rumah dengan raga utuh.

Aku turun dari boncengan dengan gamang. Kukembalikan jaket yang Biyan pinjamkan tadi.

"Makasi." Aku mengucap lemah.

Biyan menerima kembali jaketnya. "Masuklah," katanya.

"Apa kamu membenciku, Biy?" Aku mendongak dan menangkapnya dalam kedua bola mataku.

Biyan tersenyum getir dan mengusap kelingkingku dengan sentuhan kecil.

"Enggak. Aku enggak akan pernah membencimu. Aku hanya sedang marah karena luput menjagamu. Sama sepertimu, aku pun hancur," ujar Biyan.

Aku kembali berkaca-kaca. Namun, Biyan buru-buru mengelus kepalaku seperti sedang membelai anak kucing.

"Sudah, Emm. Masuklah. Istirahat. Kamu pasti lelah," katanya.

Aku menuruti Biyan dan membuka gerbang. Aku terkejut karena melihat mobil Papa terparkir dalam garasi. Dengan langkah buru-buru, aku masuk ke dalam rumah.

"Maaa ..." seruku memanggil Mama.

Mama muncul dari balik ruang tengah dengan senyum terkembang. Ia tidak sendiri, ada Papa di sampingnya.

Ya. Papa.

Mataku kembali berkabut.

Setelah sekian lama, aku akhirnya berjumpa lagi dengan pemilik mata teduh itu. Kumis tipis menghiasi wajah yang menjadi ciri khasnya. Itu benar Papa.

Sebesar apa pun kesalahan Papa, aku tetap merindukannya. Sangat!

"Emma," ucap Mama. "Lihat siapa yang datang ..."

Bibirku gemetar karena ingin menangis. "Papa pulang?" tanyaku.

Mama mengangguk.

"Kami memutuskan untuk berbaikan, Emma."

 


13. PAPA

 

"Papa, kenapa Mama mayah sama Emma?"

Aku masih menyimpan memori sederhana ketika aku masih berusia sekitar lima tahun. Kala itu, Mama habis memarahiku karena aku ngotot bermain bola bersama Emran dan teman-temannya.

Papa menggendong tubuh ringkihku yang penuh peluh dan air mata. Ia tersenyum hangat. "Mama begitu karena terlalu sayang sama Emma. Emma anak perempuan Mama satu-satunya," kata Papa.

Aku melingkarkan tangan di leher Papa yang kokoh.

"Tapi, Mama gak mayah sama Mas Emyan. Padahal, Mas Emyan juga nakal."

"Mas Emran itu lelaki. Fisik lelaki lelaki lebih kuat dari perempuan. Mama marah karena cemas melihatmu terjatuh dan luka," jelas Papa.

"Emma ingin main bola juga sama Mas Emyan." Aku mulai merajuk.

"Papa tahu. Tetapi mereka semua anak lelaki, tenaga kalian tidak sama. Cara mainnya pun beda. Emma lihat sendiri, bukan? Tadi Emma didorong sampai jatuh?"

Aku mengangguk dan melirik ke lututku yang lecet.

Papa kembali melanjutkan, "Sakit, Nak?"

"Sacit," jawabku.

"Kita obati dulu lukanya, ya. Setelah itu, Emma bisa bermain tangkap bola dengan Papa. Mau?" Papa mengecup puncak kepalaku.

"Mau!"

Papa adalah pelipur laraku.

Sosok ternyaman bagiku untuk bersandar. Oase ciptaan Tuhan bagi musafir haus yang tersesat di gurun pasir.

Aku mulai berkaca-kaca. Ingin sekali membagi kesedihanku pada Papa. Meluapkan semua gundah dan rindu dalam dekap hangatnya.

"Gimana kuliahmu, Emm? Lancar?" tanya Papa.

Air mataku mulai mengalir, berat rasanya menahan segala lara seorang diri. Aku buru-buru menghambur dan memeluk Papa. Ia tersentak karena tak menyangka aku akan begitu dramatis.

"Emm ..." Papa menepuk-nepuk punggungku.

Anakmu ini telah terluka. Apakah Papa bisa menyembuhkan luka yang kasat mata? Menghilangkan segala malu dan mengembalikan kepercayaanku. Apakah Papa mampu membantuku menyusun kembali puing-puing harga diriku yang telah porak-poranda?

Mama ikut terisak. "Sudah, sudah, Emm," bisiknya padaku.

"Tidak apa-apa, Nak. Papa ada di sini ..." gumam Papa sambil menenangkanku.

***

Setelah mandi, aku menengok ke dalam kamar Emran yang terkunci rapat. Ia tidak bersuara dan berkumpul bersama saat makan malam. Kata Bibi Minah, Emran tidak suka Papa pulang.

Toktoktok.

Aku memberanikan diri mengetuk pintu kamar Siluman Kerbau itu.

"Buka. Ini aku," seruku.

"Mau apa?" Dari dalam, Emran menyahut Emran ketus.

"Buka. Mau ngomong sebentar!" desakku.

Sedetik kemudian, Emran membuka pintu dan mempersilakanku masuk.

"Mau ngomong apa?" tanya Emran.

Aku duduk di atas matras. "Kata Bibi Minah, kamu enggak suka Papa pulang. Kenapa?"

"Kamu lupa dengan apa yang sudah Papa lakukan?" decih Emran. "Papa meninggalkan kita demi wanita lain."

"Orang kadang bisa khilaf, mungkin Papa sekarang sudah menyesal dan mau memperbaiki semua," elakku.

Rahang Emran mengeras. "Aku tahu kamu paling dekat sama Papa. Tapi, apa kamu enggak sakit hati dengan kelakuannya?"

"Coba kasih Papa satu kali kesempatan lagi. Kalau sikapmu seperti ini, nanti Papa enggak betah di rumah, aku enggak mau dia pergi lagi."

Emran melototiku. "Alah! Keterlaluan kamu, Emm! Apa kamu ..."

Emran berhenti melanjutkan kalimat karena Mama ternyata sudah berdiri di depan pintu.

"Mam?" Aku tidak menyadari kalau Mama sedang mendengarkan pembicaraanku dan Emran.

Emran mendengkus. Sementara Mama melenggang masuk ke dalam dan duduk di sisiku.

"Apa yang adikmu katakan itu benar, Emran. Bersikaplah baik sama Papamu. Kalau dia tidak ada, kamu juga tidak akan ada. Marah boleh, tetapi kamu harus tetap hormat sama orang tua," ujar Mama.

"Kenapa Mama membiarkan Papa menginjak-injak harga diri Mama? Papa sudah berkhianat, Ma. Lagi pula, dengan bersikap seperti ini, Mama akan memberikan contoh buruk kepadaku dan Emma. Mama membiarkan orang lain memperlakukan Mama semena-mena." Sorot mata Emran penuh amarah.

Mama tersenyum bijak. "Terima kasih karena kamu sudah memperhatikan Mama. Kamu marah begini karena sakit hati Mamamu dikecewakan, 'kan, Emran? Mama hargai itu."

"Terus? Mama tetap enggak berubah pikiran dan menerima Papa?" cerca Emran.

Mama mengangguk. "Bagi Mama, pernikahan itu cukup satu kali seumur hidup. Dan lagi, Mama sudah pernah cerita ke kalian kalau dulu Mama tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah. Ninik membesarkan Mama seorang diri, lalu memutuskan menikah lagi saat Mama berusia tujuh tahun. Suami baru Ninik tidak menyukai Mama dan hal itu membuat Mama harus tinggal bersama kerabat lain. Mama selalu merasa kesepian dan haus kasih sayang. Seumur hidup, Mama tidak pernah merasakan memanggil seseorang dengan sebutan, 'ayah'. Semenjak itu, Mama berjanji kalau kelak tak akan pernah membiarkan anak-anak Mama tumbuh tanpa ayah. Mama sekuat tenaga ingin mempertahankan pernikahan ini."

Emran berdecak. "Kita enggak butuh sosok lelaki pengkhianat seperti Papa."

"Kata siapa?!" bantahku. "Aku butuh Papa!"

"Kalau gitu, sana ikut sama Papa dan selingkuhannya. Bukannya kamu udah pernah ketemu!" sentak Emran.

"Emran, Emma!" bentak Mama.

Aku dan Emran kompak terdiam.

Mama kembali melanjutkan, "Jangan pernah berharap orang lain akan bersikap sesuai dengan apa yang kita inginkan. Ingatlah bahwa kita tidak bisa mengatur perasaan orang lain, tapi kita dapat mengontrol perasaan kita sendiri saat menghadapi mereka. Mama tidak mampu mencegah Papa pergi. Dan Mama juga tidak bisa menjamin Papa akan tetap di sini, namun, Mama bisa memilih untuk tetap bertahan."

"Apa Mama tidak terbayang oleh kebohongan Papa?" tanya Emran.

"Mama tidak amnesia, Emran. Tentu saja Mama akan selalu ingat. Tapi, Mama juga ingat kalau Papamu telah memberikan banyak kenangan indah." Mama mengulas senyum. "Kamu pun harus sama, Emran. Alih-alih terus mengungkit kesalahannya, kamu harusnya ingat apa saja kebaikan yang telah Papa berikan padamu hingga kamu tumbuh sebesar sekarang."

Emran memalingkan muka. Ia tak lagi membantah atau pun berapi-api.

"Perceraian akan selalu berat bagi anak. Berapa pun usia si anak itu. Mama tidak mau kalian mengalami itu. Kalian mengerti, 'kan?" Mama memandangku dan Emran secara bergantian.

Aku membalas Mama dengan anggukkan kepala. Sementara Emran tetap bergeming.

***

Hari kian larut dan aku memutuskan untuk tidur.

Tiap kali terpejam, otakku membawaku pada kejadian tadi siang. Saat Niko ... menyentuhku.

Aku menarik selimut untuk menutupi muka. Sudahlah, Emma. Tidak terjadi apa pun di antara kalian. Dia belum melakukan apapun.

Berkali-kali aku mengafirmasi diri, kalau semua akan baik-baik saja. Meski begitu, entah mengapa rasa malu masih mengendap dan mengoyak harga diri.

Ponselku tiba-tiba bergetar, aku meraihnya untuk melihat siapa yang menghubungiku. Tubuhku mendadak gemetaran ketika membaca nama yang tertera pada layar. Niko.

Aku menolak panggilan Niko dan mematikan telepon genggamku. Lagi-lagi aku tersentak karena pintu kamarku dibuka oleh seseorang.

"Emm? Papa masuk, ya?"

Papa mengintip dari balik pintu, ia mengetahuiku belum tidur.

"Masuk aja, Pa ..." Aku beringsut bangun.

Papa mengulas senyum dan menghampiriku. Ia duduk pada tepian ranjang. Papa memandangiku cukup lama, tatapannya sayu, seolah menyimpan banyak sesal kelabu.

"Bagaimana kuliahmu? Lancar?" tanya Papa.

Aku mengangguk. "Lancar, Pa. Aku bisa mengikuti mata kuliahnya dengan baik."

"Syukurlah." Papa bernapas lega.

Kami kembali terdiam. Seolah dua insan yang baru pertama kali bercakap-cakap. Canggung.

Papa berdeham. "Kata Mama, kamu sudah punya pacar, ya, Emm? Kalau tidak salah namanya Niko. Mama bilang dia baik dan dewasa."

"Aku dan Niko ..." Aku memalingkan muka. "Sudah putus."

"Putus? Kenapa?" selidik Papa.

Aku menoleh dan menatap Papa dengan mata berkabut. Aku tak memiliki keberanian untuk bercerita, selain itu aku ... malu.

"Kita enggak cocok, Pa," jawabku lirih.

Papa menarik dua sudut bibirnya ke atas hingga menciptakan lengkungan. Ia mengusap puncak kepalaku.

"Kalau tidak cocok, memang tidak bisa dipaksakan, ya," katanya.

Aku mulai berlinang air mata. Menderita sekali karena harus menyimpan rasa sakit sendirian.

"Hei, Emm?" Papa berpindah posisi dan membelai-belai kepalaku. "Kamu begitu sedih karena putus dengannya? Sabarlah, Nak. Semua luka akan sembuh, hanya waktu yang mampu mengurangi sakitnya. Menangislah untuk semua pilu yang kamu rasa, Emm."

Aku memandang Papa dengan mata menggenang. "Benar kata Mama, aku cengeng dan lemah, Pa ..."

"Kadang kala, menangis bukan karena kamu cengeng atau lemah. Namun, itu caramu mengembalikan kekuatan," ujar Papa.

Aku menyeka sisa air mata dengan jemari.

"Pa, semula aku berpikir semua orang memiliki hati yang baik ..." gumamku.

Mata Papa menerawang jauh. Gurat-gurat halus yang menghiasi area matanya makin kentara akibat memikirkan sesuatu.

"Emm, kamu ingat dongeng Singa and Tikus?"

Dahiku berkernyit bingung. "The Lion and The Rat? Karya Brian Wildsmith? Dongeng yang dulu sering Papa baca untukku dan Mas Emran?"

Papa mengangguk.

"Kamu masih ingat ceritanya?" tanya Papa lagi.

"Masih, Pa."

Papa kemudian menepuk lenganku dengan lembut. "Perbuatan baik Singa membuat Tikus membalas jasanya. Menjadi orang baik mungkin akan membuat dirimu sedih karena sering disakiti, tetapi, menjadi baik akan menolong dirimu kelak."

Hatiku terenyuh dan menghangat. Papa selalu punya cara untuk menghiburku.

"Emma," lanjut Papa. "Satu hal lagi yang harus kamu maknai dari kisah Singa dan Tikus. Bahwa, seekor Singa yang tangguh pun, membutuhkan bantuan. Jadi, jangan pernah menyimpan semua sendiri. Bicaralah dan meminta tolong jika kamu rasa tak mampu menanggungnya sendirian."

"Iya, Pa."

Aku dan Papa saling bertukar senyum. Dibalik semua masalah, aku bersyukur Papa akhirnya kembali pulang.

***

"Emmaaaa ...!"

Siska menghambur ke arahku yang baru saja tiba di depan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Wanita bertubuh sintal itu tidak sendiri, ia bersama Nanda.

Aku membalas Siska dengan bibir terkembang. "Pagi, Sis," sapaku.

Siska merangkul lenganku. Ia menggandengku menuju ke dalam kampus. Dari belakang, Nanda datang menyusul.

"Morneng, Emmanuella." Nanda semringah. Seperti biasa, dia selalu ceria seperti Tinky Winky.

"Hai, Nan," sahutku.

"Eh, Emm, tadi diantar siapa? Gebetan baru?" ledek Siska.

Aku tersedak. "Bukan! Itu Masku. Dia kuliah di sini juga, jurusan Hukum."

"Hah?!" Siska berseru di telingaku. "Masmu kandung? Kuliah di Unair juga? Ganteng banget! Kenalin, dong!"

Aku mencebik. Ganteng apanya? Orang muka mirip Siluman Kerbau.

"Mulai, deh, Siska ..." gumam Nanda pelan.

"Ayo, dong, Emm. Kenalin. Udah punya cewek belum?" cecar Siska.

"Belum. Ganteng dari mana, sih, Sis?" dumalku.

"Ganteng banget, Emma! Tinggi, putih, keren, mirip Rangga di AADC." Siska antusias. "Nah, ini, nih, si Cintanya!" Ia percaya diri menunjuk mukanya sendiri.

Aku dan Nanda sama-sama menggelengkan kepala tidak habis pikir.

Saat kami menyusuri selasar, terdengar suara lantang menyebut namaku.

"Emm! Beb!"

Aku menengok ke belakang dan melihat sosok Niko menghampiriku. Ia mengenakan seragam kantor dan sepatu pantofel hitam. Penampilan Niko tambah sempurna karena aroma wangi dan rambut klimisnya.

Badanku mendadak gemetaran dan menggigil. Mau apa lelaki ini ke mari?

"Aku mau ngomong, Sayang." Niko mengulas senyum.

Siska melepaskan lenganku. Ia melirikku jahil seraya melebarkan bibir. "Oke, deh. Aku sama Nanda ke kelas duluan, ya, Emm."

"Jangan pergi, Sis! Nan!" seruku.

Mimik muka Siska dan Nanda kelihatan bingung.

Niko memandang mataku dengan bola mata cokelatnya. "Kamu mau aku bicara di sini, Sayang? Di depan teman-temanmu? Aku mau ngomongin soal kemarin."

Jantungku bergemuruh.

Perutku mendadak mual dan mulas, keringat dingin membasahi telapak tanganku. Niko sedang mengancamku. Jika ia membongkar semua, aku akan sangat dipermalukan.

Dengan langkah gamang, aku mendekati Niko. Niko tersenyum menang.

"Ngomong di mobilku bentar, yuk. Enggak lama, kok." Niko menggandeng tanganku. "Pinjam Emma sebentar, ya." Ia menyapa Siska dan Nanda ramah.

Aku dan Niko akhirnya berjalan ke mobilnya.

Penyejuk udara yang menyala tak mampu menghenyakkan peluh yang bersarang di dahiku. Suara musik samar-samar terdengar melalui radio, membuatku makin cemas tak karuan. Niko dan aku duduk berdua di dalam Jaz miliknya, tepat di parkiran Fakultas.

Aku melirik ke arah luar jendela, mengamati mahasiswa yang lalu lalang. Aku sibuk merapal doa semoga suasana di areal parkir ramai, agar aku bisa langsung lari kala terjadi sesuatu.

"Sayang, kamu jangan cuekin aku, dong. Aku enggak ikhlas kita putus." Niko mencondongkan badan ke arahku.

"Niko, tolong kamu jangan aneh-aneh. Hubungan kita sudah selesai," tegasku.

"Tapi, kenapa? Aku sudah minta maaf, lho. Aku sungguh-sungguh nyesel. Aku minta maaf, sorry."

Aku menelan saliva. "Aku terima permintaan maafmu, tapi aku enggak akan menerimamu kembali. Jadi, jangan temui aku lagi."

"Kok kamu gitu, sih, Emm? Kasih aku kesempatan satu kali lagilah," desak Niko. Ia meraih jemariku.

Kengerian yang kemarin seolah kembali terulang ketika kulit kami bersentuhan. "Niko, lepas!" tolakku.

"Kamu jangan angkuh gini, dong, Yang. Mama kamu suka sama aku, apa kata dia kalau kita putus?" bujuk Niko. "

"Kamu berhubungan sama aku bukan Mamaku. Kuperingatkan kamu untuk jangan macam-macam!" Aku mendorong dada Niko agar menjauh.

Niko berdecih. "Aku heran sama kamu. Apa yang kulakukan enggak salah, tapi kamu malah berlebihan gini. Kemarin aku sudah melunak dan ngalah. Kalau aku mau, aku bisa aja ngehamilin kamu sekalian."

"Kurang ajar kamu!" makiku. Aku membuka handle pintu untuk keluar. Namun, Niko justru membungkuk dan merenggangkan tangan untuk menahanku.

"Aku belum selesai ngomong!" Ia menahanku.

"Ini kawasan kampus, kamu tidak akan berani macam-macam!" sentakku.

Niko menyeringai. "Kalau aku macam-macam, kamu juga ikut kecipratan malunya, Sayang."

Aku bergeming tak mampu berkutik.

"Ja-jadi, apa maumu, huh?" Aku berusaha menyembunyikan ketakutanku.

"Satu kesempatan lagi. Aku janji akan memperbaiki semuanya." Niko menangkap wajahku melalui bola matanya.

Toktoktok.

Suara ketokan di kaca jendela membuat aku dan Niko tersentak kaget.

Mataku berkilat karena melihat sosok Nanda berdiri di depan Jaz milik Niko. Lelaki berambut ikal itu menunggu sambil tersenyum.

Niko mendengkus, sementara aku buru-buru membuka pintu mobil dan keluar.

"Nanda!" seruku. Aku bergegas berdiri merapat di belakangnya.

"Emm!" Niko ikut keluar. "Kita belum selesai ngomong."

"Bentar lagi kelasnya mulai, Emm. Kamu tahu, 'kan, kalau dosen hari ini killer," kata Nanda. Sesekali ia melirik Niko.

Nanda berbohong? Kelas hari ini hanya mengerjakan tugas kelompok dari dosen yang dibagikan oleh komting. Kenapa Nanda begini?

"Mas, sorry," sela Niko. "Aku sama pacarku masih ada urusan."

"Aku bukan pacarmu lagi!" sentakku.

Mata Niko melotot. "Emma!" Ia balik membentakku.

"Kamu baiknya dengerin Emma, Mas." Nanda mendekati Niko. Gayanya yang selalu ramah, mendadak berubah serius.

Mimik muka Niko perlahan gentar.

"Di sini, Emma enggak sendirian. Ada aku dan teman-temannya. Kalau Mas berniat kurang baik, kita semua enggak akan tinggal diam," gertak Nanda.

Tatapan Niko dan Nanda saling beradu.

Nanda mengimbuhkan, "Kita akan ngawasin Emma, di mana pun dia berada. Memang ginilah solidaritas pertemanan kami."

Aku berdebar-debar ketika Nanda membelaku. Tidak sedetikpun aku mengalihkan pandangan dari Nanda.

Niko berdecih sambil masuk ke dalam mobil. Lelaki itu lalu melajukan kendaraan roda empatnya meninggalkan kampus.

"Kamu enggak apa-apa, Emm?" Nanda beralih ke arahku.

"Aku baik-baik aja. Makasi, Nan ..." ucapku penuh haru.

Nanda tersenyum. "Syukurlah."

"Kenapa kamu datang menyusulku, Nan?" tanyaku tidak habis pikir.

Nanda meringis seraya menggaruk pelipis. "Entah, ya," gumamnya. "Mungkin aku terlalu kepo orangnya. Tapi, feeling-ku menyuruh untuk mengikutimu. Kamu tidak terlihat senang saat dia datang. Mukamu pucat. Aku pikir, kamu mungkin butuh bantuan."

"Ma ... kasi, Nan ..." Aku menunduk untuk menyembunyikan tangis. Kelegaan mendalam mengakibatkan lututku melemah.

"Emm," panggil Nanda. "Jangan ragu untuk minta bantuan kala kamu merasa kesulitan."

"Aku malu, Nan," akuku.

"Kamu enggak perlu malu. Meminta pertolongan bukan tanda kelemahan, kok. Bahkan, Singa yang kuat pun butuh pertolongan dari seekor tikus kecil," ujar Nanda.

Aku terkesiap dan menatap Nanda dengan mata berkabut.

Nanda terkikik. "Singa dan tikus yang kumaksud adalah dongeng The Lion and The Rat. Kamu, tahu, enggak? Pernah dengar? Sorry, karena bikin perumpaan aneh."

"Brian Wildsmith?" sahutku.

Bibir Nanda terkembang. "Jadi kamu tahu rupanya."

Lebih dari tahu, Nanda.

Detak jantungku bertabuh kencang. Kali ini, bukan karena takut atau waswas. Seutas perasaan ganjil menggelitik rongga dadaku. Aku tidak lagi melihat Nanda seperti biasanya.

Dia telah membuatku ... jatuh hati (?)

 


14. BELOVED
 

Ada masa di mana aku sama sekali lupa soal percintaan. Masa di mana jiwa feminisku meronta-ronta. Aku adalah wanita badass, mandiri, dan kuat.

Irina Dunn once said, a woman without a man is like a fish without a bicycle.

Wanita bisa hidup tanpa lelaki. Kami mampu melakukan semua sendiri. Wanita juga lebih kuat baik fisik mau pun mental dari pada lelaki. Dapat datang bulan setiap bulan contohnya.

Lagipula aku sadar kalau lelaki yang muncul di hidupku selalu membawa kesialan dan malapetaka.

Walau pun lelaki itu punya bulu mata lentik yang manis. Dia juga memiliki senyum dan tawa memesona. Selain itu, sikapnya tulus dan suka menolong. Tapi, aku tetap saja tidak tertarik, kok!

Sungguh, aku enggak tertarik. Biar pun tiap makan siang di kantin, dia selalu memilih tempat duduk di sampingku. Dia juga tidak pernah absen beli soda gembira, alasannya, supaya bisa dibagi denganku. Tapi, sungguh, aku enggak tertarik.

"Emm?"

Dia juga tipikal lelaki setia (kayaknya). Buktinya, dia konsisten pesan mie ayam tiap makan di kantin. Alasannya, sudah akrab sama bapak jualnya. Prestasi seperti itu, mana ada yang bisa nyaingin?

"Emma!" Siska mencubit pinggangku dengan gemas.

Aku membelalak tidak terima. "Apa, Sis? Sakit tahu!" protesku.

"Abisnya kamu kupanggil-panggil enggak nyahut, lho. Padahal aku tepat di sebelahmu. Kamu serius amat lihat si Nanda lagi presentasi!" dumal Siska.

"Emang kamu mau ngomongin apa, sih?" Aku kembali menatap ke depan kelas, khusyuk ke arah si Nanda.

"Emm," panggil Siska lagi.

"Apa?" sahutku tak acuh.

"Kamu ... kalau kuperhatikan dari tadi  melotot ngelihatin Nanda terus. Jangan-jangan ... kamu naksir dia, ya?" terka Siska sambil berbisik.

Aku mendadak belingsatan salah tingkah. "Si-siapa yang naksir? Nan ... Nanda apa? Enggaklah!" seruku.

Aku tidak sadar suaraku terlalu keras, hal itu mengakibatkan seisi kelas memandangiku, termasuk sang dosen.

"Ada yang mau ditanyakan, Mbak?" tanya si Dosen.

Aku membungkuk malu. "Enggak ada, Pak. Maaf."

Siska cekikikan seraya melirikku jahil. Ia memicingkan mata menggodaku dengan tatapannya.

"Jadi, sekarang Nanda, to ...?" ledek Siska.

Aku menggeleng. "Enggak, Sis! Enggak!" elakku.

Siska nampak tak peduli. Bagi wanita sekal itu, gesture-ku merupakan jawaban paling valid ketimbang ucapanku.

Mungkin, Siska benar. Aku memang suka sama Nanda. Cuman, aku enggak mau mengakui rasa itu.

Kejadian dua minggu lalu, ketika Nanda melindungiku dari Niko membuatku terenyuh. Selain itu, aku seolah melihat sosok Papa dalam dirinya. Caranya bicara, tersenyum, dan memberiku nasihat.

Kupikir, mungkin ini hanya sekedar kagum atau terkesima sesaat. Tapi sudah dua minggu berlalu, dadaku kian sesak tiap kali kami berjumpa. Salah tingkah sendiri kalau Nanda mengumbar senyum. Deg-degan parah saat Nanda menyebut namaku.

Jelas perasaan ini salah dan bakal menyengsarakanku.

Nanda itu pacar orang, Emma!

***

Suasana kantin selalu ramai. Beruntung aku, Siska, dan Mita mendapat meja kosong untuk kami tempati. Kalau tidak, bisa-bisa Siska bakal sok ngide buat makan di kantin Fakultas lain. Atau buat jadi bahan alasan dia ke kantin Hukum supaya bisa kenalan sama Emran. Malas banget, deh.

"Kenapa kamu enggak tikung aja, sih, Emm?" celetuk Siska.

Aku yang sedang menyeruput kuah bakso, mendadak nyembur. "Tikung apa, Sis?"

"Tikung? Siapa yang mau ditikung?" Mita ikut penasaran.

"Itu, lho, si Emma naksir sama Nan ..."

Aku buru-buru membekap mulut Siska. Bibirnya yang full lipstik membuat telapak tanganku geli sendiri. "Sis! Jangan ngaco kamu!" bentakku.

"Ih, siapa, sih, ini? Ngomongin siapa?" selidik Mita.

"Enggak ada. Siska ngelantur." Aku mengalihkan tanganku dari mulut Siska. Khawatir dia sesak napas karena kurang oksigen.

Siska mencebik. "Kalau enggak betul, ngapain kamu salah tingkah sendiri. Chill, aja. Perilakumu menunjukkan kamu beneran naksir."

"Siapa ini? Siapaaa?" rengek Mita.

"Aku enggak mau tikung pacar orang. Dosa." Pengalaman pacar sendiri pernah ditikung sama Dita.

Siska mengibaskan tangan. "Alah. Selama janur kuning belum melengkung, sah-sah aja, kaleus," ujarnya.

"Tetap aja menyakiti perasaan orang itu dosa. Aku enggak mau bikin pacarnya sakit hati. Lagian, pelan-pelan sukaku pasti ilang. Kurasa aku cuma kagum aja karena dia baik," sanggahku.

Bibir Mita mulai mengerucut kesal. "Ini ngomongin siapa, sih?!" dumalnya.

"Kalau aku tetap menyarankan tikung. Toh, dia juga enggak bahagia di hubungannya yang sekarang. Diumpetin mulu kayak BH." Siska memperbaiki makeup-nya dari balik cermin kecil yang ia bawa.

"Siapa, nih, yang mau ditikung?" sapa Nanda yang tahu-tahu sudah berdiri di belakangku dan Siska. Ia nyengir sambil bawa mangkok mie ayam.

Aku melotot, sementara Siska cekikikan. Wanita sintal itu beranjak berdiri dan berpindah ke sisi Mita. "Duduk situ, Nan," katanya.

Sialan, Siska!

Aku terpaksa duduk bersebelahan dengan Nanda. Mana bisa makan bakso nikmat kalau jantung bergemuruh kayak petasan cina.

"Ini, lho, Nan," terang Siska. "Emma lagi naksir cowok yang sudah punya pacar. Aku suruh dia buat nikung aja. Lagian, itu cowok sama pacarnya berantem melulu, kok."

Mataku melotot tajam ke arah Siska. Andaikan tatapan bisa membunuh, mungkin Siska sudah tak lagi bernyawa karena kupandangi.

"Waduh ..." sahut Nanda. Ia santai meniup-niup kuah mie ayamnya yang kental. Lelaki itu lalu menyodorkan gelas berisi soda campur sirup dan susu pesanannya ke arahku. "Nih, Emm. Berdua. Seperti biasa."

Aku kembali melirik ke Siska, wanita itu nyengir lebar mirip kuda.

"Makasi, Nan." Aku tertunduk salah tingkah.

"Kalau menurutmu gimana, Nan?" pancing Siska. "Tikung aja apa gimana?"

Aku menendang kaki Siska dari bawah meja, tapi yang kena malah betis si Mita.

"Aduh, Emm." Mita meringis.

"Tikung apa enggak, ya?" sahut Nanda. Ia kemudian menoleh ke arahku sambil tersenyum. "Tikung aja, Emm."

Siska makin menjadi-jadi. "Tuh, tikung aja, katanya, Emmaa ...!" serunya cekikikan.

Ananda Sinatra, andai kamu sadar kalau yang kita bicarakan itu kamu.

***

Bulan depan, Fakultas akan mengadakan acara malam keakraban bagi para junior. Ini merupakan acara tahunan tiap ada mahasiswa baru. Tujuannya supaya senior dan junior makin saling kenal.

Konsep acara tahun ini dibuat mirip Prom Night di luar negeri. Ada tema kostum segala, yaitu vintage 20 - 60'an.

Pada akhir acara akan dipilih dua mahasiswa dengan kostum terbaik. Mereka akan diberi gelar King and Queen Vintage. Agak bingung sama rundown-nya. Katanya pesta sambutan untuk Maba tapi yang mengisi acara, ya, Maba. Jadi, maksudnya, kita nyambut diri sendiri gitu?

Masing-masing kelas harus menyiapkan perwakilan untuk mengisi acara. Terserah apa aja boleh. Mau ngeband, nyanyi solo, nge-dance, penampilan drama, dan lain-lain.

Aku, sih, udah capek duluan, enggak kebayang berapa lama acara ini akan berlangsung. Gimana enggak, FISIP memiliki tujuh jurusan S1, sosiologi, Antropologi, Ilmu Politik, Komunikasi, Administrasi Negara, Hubungan Internasional, dan Ilmu Informasi dan Perpustakaan.

Anggap satu kelas durasi lima menit, terus kalikan ada berapa kelas di setiap jurusan. Bakalan lama dan enggak kelar-kelar ini acara.

Rendi paling antusias menyambut malam keakraban. Maklum, dia itu banci tampil. Usai kelas, dia menahan kami pulang buat bahas ini acara.

"Jadi kelas kita menampilkan band, ya! Ada Nanda yang pegang drum, bassist si Iqbal, dan aku bisa gitaran sambil nyanyi," ujar Rendi.

Si Jason Mamoa KW, alias Robi, kelihatan enggak terima. "Kamu vokalis, Ren?" tanyanya.

"Iya. Kayak Ariel-Noah gitu, deh," sahutnya songong.

Seisi kelas saling pandang. Rendi emang banci tampil. Tingkat kepercayaan dirinya juga melebihi rata-rata, tapi dia enggak sadar kalau suaranya itu sumbang.

"Jangan kamulah vokalisnya," imbuh Siska.

Rendi mendadak senewen. "Kenapa? Kalian udah pada denger suaraku pas karaokean, 'kan? Udah terbukti."

"Terbukti ancur," sahut Siska.

"Bakat yang sebaiknya dipendam, Ren," celetuk Iqbal cekikikan.

"Heh! Teknik narik napasku udah oke, kalik!" sungut Rendi.

"Narik napas udah oke, tinggal narik nyawa aja yang belom," timbal Robi sambil ngakak.

Rendi melotot. "Eh, jaga bicaramu, ya, Ki Sanak!"

Iqbal merangkul pundak Rendi. "Udah, deh, Ren. Kamu sebaiknya gitaran aja. Enggak usah jadi vokalis segala. Aku cuman khawatir kalau videomu waktu nyanyi dimasukin akun jual beli musang."

"Bangsat!" maki Rendi.

Nanda ikut cekikikan. Ia menghentikan tawa dan mulai bertanya, "Jadi, siapa, nih, yang mau ngajuin diri jadi vokalis?"

"Dengan syarat suaranya bagus, ya! Paling enggak enak didengerlah." Siska meledek Rendi yang masih cemberut.

Seisi kelas hening.

"Enggak ada yang mau?" tanya Nanda lagi.

Siska beralih menggodaku. "Emma mau?" tawarnya.

"Enggak!" tolakku melotot.

"Terus gimana, dong? Enggak ada yang mau?" selidik Iqbal.

Kami semua menggeleng kompak. Tak ada yang percaya diri memiliki suara merdu. Tiba-tiba, Elvan masuk ke dalam ruang kelas sambil bersenandung. Pada telinga kiri-kanannya terpasang headset.

"Kuakui, kumain hati, kumain hati ... Kutak bisa terus memungkiri ..." dendang Elvan.

Ia menggumamkan suara merdunya dalam membawakan lagu Main Hati milik Andra And The Backbone.

Sadar jadi perhatian seisi kelas, Elvan melepas penyuara telinganya. "Ada apa, Rek? Sorry, tadi ke toilet dulu. Udah selesai rapatnya?" tanyanya lugu.

Iqbal menepuk tangan. "Alright. Udah diputusin Elvan vokalisnya, ya."

"HAH?" seru Elvan kelabakan. "A-aku?"

Robi menepuk pundak Elvan. "Udahlah, Bang Doel, manut aja."

Dengan senyum kecut, Elvan yang polos terpaksa menuruti kemauan sekumpulan preman.

***

Sabtu yang ditunggu datang juga.

Sebenarnya aku malas hadir pada acara semacam ini, hanya saja, aku penasaran ingin lihat penampilan Nanda.

Sedari siang, aku dan Mita sudah berada di rumah Siska. Kami memutuskan untuk dandan dan berangkat bersama.

"Yoland mana, ya?" Siska mengintip dari balik tirai kamar.

"Paling bentar lagi datang," sahutku. "Acaranya, 'kan, masih nanti sore. Tiga jam lagi."

"Tapi aku belum siap-siap. Yoland pinter make-up, aku mau minta tolong dia buat rias mukaku biar makin sekseh," ucap Siska.

Aku dan Mita saling pandang sambil menggelengkan kepala.

"Acaranya bakal meriah soalnya ada kembang apinya segala," ujar Mita.

Aku berkecimus. "Tapi, aku sepertinya enggak bisa sampai larut malam. Mamaku bisa-bisa ngomel."

"Yah, sayang banget, Emm." Siska memandangku iba.

Tak lama, Yoland akhirnya datang. Kami berempat pun mulai berdandan. Tidak seperti Siska yang dibantu Yoland, aku dan Mita memutuskan dandan sendiri.

Aku memilih spot di sudut kamar, tepatnya di bawah jendela. Dengan serius, kubuka peralatan make-up-ku. Maklum saja, berdandan adalah kegiatan favoritku.

Kali ini aku akan mencoba tampilan alami tapi flawless. Pakai banyak dempul tapi tetap no make up look. Mula-mula, kusapukan pelembab di wajah, kemudian ditutup oleh foundation tipis. Setelah itu, aku menyamarkan bekas jerawat dengan concealer. Baru setelahnya ditabur bedak.


Sekarang saatnya memperindah kelopak mata. Pertama, sapukan shimmery eyeshadow warna champagne atau warna yang hampir menyerupai kulit  di seluruh kelopak mata, lalu warna peach di sepanjang garis bulu mata. Di ujung kelopak mata kuaplikasikan warna mauve. Terakhir, aku mencampur warna gold dan mauve di bawah mataku.

Selesai dengan eyeshadow, aku mengoleskan eyeliner hitam membentuk winged liner dan yang terakhir kupulas maskara agar bulu mataku semakin lentik.

Tidak lupa kusapukan blush on pink tipis-tipis di pipiku dan lipstik merah maroon yang teroles di bibirku.

Setelah selesai berdandan, aku mengenakan flapper dress ala tahun 1920'an yang dipercantik kalung mutiara pada leherku.

Kukenakan cloche hat agar semakin matching dengan style wanita era 1920 dan pump shoes hitam mengkilat.

Aku asyik berdandan sendiri tanpa memedulikan Siska, Mita, dan Yoland.  Aku tenggelam dalam duniaku sendiri.

Setelah beberapa kali mengecek penampilan di cermin, akhirnya aku selesai berdandan.

"Aku udah siap," ucapku.

Siska, Mita, dan Yoland, kompak menoleh ke arahku.

"Astaga, Emm? Cantik banget!" seru Siska.

"Emm, kamu niat banget, aku berasa lagi berhadapan sama Marlene Dietrich," kata Mita.

"Siapa itu? Penyanyi?" Mimik muka Siska penuh tanya.

Mita menepuk jidat. "Beneran enggak tahu? Dia aktris Hollywood era 1920'an," terang Mita.

"Mit, kamu tahu juga rupanya? Aku emang terinspirasi pada fashion masa itu." Mataku berbinar bangga.

Yoland menghela napas. "Aduh, tahun 1920, aku masih di surga ditemani peri-peri mungil kayaknya."

"Nah, iya, bener, Land." Siska ikut mengangguk.

"Eh, Emm, kalau lihat penampilanmu ini, kurasa kamu bakal jadi kandidat potensial sebagai Queen Vintage, deh," kata Mita tersenyum yakin.

Aku berdecih. "Kita belum liat penampilan yang lainnya. Mana tahu ada yang lebih niat dari aku."

"Alah. Aku yakin mereka pada punya pikiran sama kayak aku dan Yoland. Kostum kita biasa aja, enggak ada vintage-vintagenya. Enggak masuk ke era 1920-1960'an, deh! Ya, enggak?" Siska melirik Yoland.

Yoland mengangguk. "Aku pinjem baju Bundaku pas masih muda. Kemeja kotak-kotak sama mini skirt. Kayaknya itu bukan vintage, deh. Tapi, era reformasi."

"Yah? Kalau gitu aku ganti baju, deh. Malu kalau kelihatan paling mencolok." Aku mendadak enggak PD. Takut dikatain lebai sama yang lain.

Mita terkikik. "Jangan, dong. Sayang banget kalau tampilan ini diubah. Udahlah, Emm. PD aja. Kamu cantik banget."

Siska dan Yoland mengangguk kompak.

"Iya, Emm. Udah PD aja!"

***

Ternyata, apa yang dibilang Siska dan Yoland benar.

Cuman aku doang yang niat dress up kayak begini. Yang lain tampil seadanya dan ala kadar. Mereka semua rata-rata mengenakan kemeja oversize, highwaist jeans, dan sepatu sneakers. Come on? Sama sekali bukan kostum tahun 20'an - 60'an itu!

"Widiw, Emma, cantik dan niat banget!" sapa Rendi. Lelaki itu santai berjalan dengan memakai kaos loreng ala TNI.

Siska menelisik Rendi dari atas ke bawah. "Ren? Kamu kira ini lomba Agustusan, huh?" ledeknya.

"Ini vintage kaleus. Zaman pejuang melawan penjajahan, tahun 1945. Arek Suroboyo dengan senjata bambu runcingnya. Jangan berpaku sama Barat aja, dong. Berkiblatlah pada nusantara, tanah air beta." Rendi bicara seolah sedang berpidato.

"Karepmu, Ren," sahut Yoland tak acuh.

Dari belakang, Elvan muncul menghampiri kami. Duplikat Rano Karno muda itu memasang mimik muka polos dengan kumis tebalnya. Ia tampil dengan kemeja flannel garis-garis dan baggy jeans warna cream menjurus putih. Sumpah, makin mirip Si Doel anak sekolahan.

Aku yakin pikiran kami semua sama. Elvan emang kembarannya Rano Karno.

"Van, tahun berapa itu?" ledek Rendi. Kayak dia kostumnya bener aja.

Elvan meringis. "Enggak tahu. Pakai apa yang ada aja di rumah," jelasnya.

Akhirnya, acara dibuka oleh masing-masing Ketua Hima jurusan. Setelah itu, dilanjut penampilan dari perwakilan kelas.

Acara sudah mulai, tapi Nanda belum kelihatan. Kok jadi nyariin, ya?

By the way. Aku merasa dandanan dan kostumku paling mencolok. Semua mata melirik ke arahku sambil berbisik-bisik. Mungkin gini rasanya jadi Alien.

"Oh my God?! What a coincidence," seru Siska. Ia menarik lenganku sambil menunjuk ke pintu masuk aula.

Aku menyapu pandangan ke seluruh aula, mencari apa yang Siska tuju. Ternyata, itu Nanda. Entah ini takdir atau kebetulan, lelaki itu datang memakai kostum yang matching denganku.

Ia melambaikan tangan ke arahku dan yang lainnya. Nanda membetulkan flat cap abu-abu gelap di kepala. Lelaki itu makin manis mengenakan kemeja putih yang dilapisi gray tweed suit lengkap dengan aksesoris albert chain dan sepatu boots hitam. Lengan kemejanya ditekuk hingga siku.

"Ini namanya jodoh, Emm. Takdir dari Yang Maha Kuasa," bisik Siska cekikikan.

Aku masih mematung hingga Nanda datang menghampiri.

"Emm, tahun 1920'an juga? Aku ala mafia, nih. Al Capone ceritanya," kata Nanda.

Gawat.

Jantungku lagi-lagi berdebar tak karuan. Pipiku serasa memanas setiap kali mata kami saling bertemu.

Fix ini jatuh cinta, Emma!

Siska buru-buru menggandeng Mita dan Yoland. "Ambil minum di sana, yuk. Kamu juga, Ren, sini ikutan!" ajaknya. Ia sengaja ingin aku berdua saja sama Nanda. Sok ngide emang si Siska.

Aku berulang kali berdeham untuk menetralisir gugup. Nanda berdiri merapat padaku. Sesekali, lengan kami bahkan saling bersentuhan. Aduh, demi Neptunus, bisa meledak ini jantung.

"Sepertinya, hanya kita orang aneh di acara ini, ya." Nanda membisik di dekat telingaku.

Aku menunduk karena menyembunyikan rona. "I-iya, Nan."

"Kenapa kamu pilih kostum ini?" tanya Nanda.

"Aku suka nonton film-film keluaran jadul atau yang setting lawas. Entah kenapa gaya busananya keren aja. Kalau kamu?" Aku menatap Nanda lekat. Andai dia peka, dia akan melihat pupil mataku yang membesar karena menghitung jumlah freckless di wajahnya yang manis.

"Ibu di rumah suka nonton film jadul. Mau enggak mau, aku jadi ikutan nonton juga. Kamu pernah lihat Singin in the Rain?" tanya Nanda.

Aku mengangguk antusias. "Yang main Gene Kelly?"

"Bener." Nanda tersenyum lebar.

"Semula kukira seleraku aneh. Kadang, aku juga berpikir bahwa aku mungkin lahir di zaman yang salah," ujarku.

Nanda terdiam seraya mengamatiku. Ia enggak tahu kalau perbuatannya makin membuatku salah tingkah tak karuan.

"Ada sesuatu di mukaku, ya?" selidikku malu-malu.

Nanda menggeleng. "Enggak, kok. Enggak ada apa-apa di mukamu. Hanya saja, kupikir seleramu enggak aneh. Justru kamu unik."

Minta tolong, dong, jangan ngomong sesuatu yang bikin aku baper!

"Masa?" sahutku.

"Ya. Kapan-kapan, kita bisa nonton film-film jadul itu sama-sama, Emm."

Nanda kembali melempar senyum padaku.

 


15. UNREQUITED LOVE

 

Penampilan Elvan mengubah suasana yang melempem jadi heboh.

Meski permainan gitar Rendi agak fals, tidak ada yang menyadari akibat kemerduan si Elvan. Dia punya suara serak tapi kuat. Kelas kami membawakan A Certain Romance dari Arctic Monkeys.

"'Cause over there, there's broken bones
There's only music, so that there's new ringtones
And it don't take no Sherlock Holmes
To see it's a little different around here ..."

Elvan sukses memeriahkan acara.

Beberapa mahasiswa yang berdiri di depan panggung, berteriak histeris minta tambah satu lagu lagi.

"Lagi! Lagi! Lagi!" teriak mereka semua.

Elvan tersipu-sipu malu. Makin mirip si Doel waktu digombalin Neng Sarah. Dia menatap personil lainnya dengan muka polos.

"Gimana? Tambah satu lagu lagi?" tanyanya.

Iqbal melirik ke panitia, menunggu persetujuan, apa boleh tambah satu lagu lagi. Sementara, Rendi maju ke depan, berharap kalau dia bisa tampil sebagai vokalis di lagu kedua. Namun, harapannya pupus saat penonton nyorakin dia dan minta Elvan yang nyanyi.

Kasihan si Rendi.

Mungkin Nanti dari Peterpan dipilih sebagai lagu kedua.

Saat Elvan mulai nyanyi, mereka semua pada bersorak. Menurutku, suara Elvan malah lebih bagus daripada penyanyi aslinya.

Penampilan mereka akhirnya ditutup dengan tepuk tangan meriah dari jiwa-jiwa yang terhibur.

"Wah, keren, Van. Enggak salah kelas kita milih kamu jadi vokalis." Siska menyambut Elvan yang turun dari panggung.

Nanda menimpali, "Bener. Kamu enggak pengen ikut ajang pencarian bakat gitu?"

Elvan hanya meringis salah tingkah. "Terima kasih, ya," sahutnya lirih.

Nanda kemudian berjalan di sisiku, tubuhnya penuh peluh. "Emm, gimana tadi penampilanku?" tanyanya.

"Gimana, apanya?" sahutku kikuk.

"Ketukannya pas, enggak?"

Aku mana tahu soal begitu, sih?

"Pas kok. Bagus," jawabku sekenanya.

Nanda tersenyum lebar.

Ia kemudian menarik lenganku, menciptakan sengatan listrik di sekujur tubuhku. Mungkin baginya, biasa saja, tapi tidak bagiku.

"Keluar, yuk. Warkop sebelah kayaknya masih buka," ajak Nanda.

"Tunggu, aku panggil yang lain," kataku.

Nanda kembali menahanku. "Kita berdua aja, supaya enggak sumpek. Aku pengen cari angin. Gerah banget di sini."

"Oke ..." Aku berjalan mengikuti Nanda.

Kami menyusuri jalanan di sekitar universitas yang sudah gelap. Tidak ada pembicaraan yang terlontar, hanya desah napas dan derap kaki masing-masing.

Boleh enggak, sih, aku GR?

Dari semua teman, Nanda memilih mengajakku. Apa dia juga suka sama aku, ya? Tapi, ragu-ragu karena sudah punya pacar.

"Awas, Emm. Ada ..."

Aku menginjak tai kucing yang teronggok di tepi jalan.

"Tai ..." kata Nanda. "Yah? Kamu injek, ya?"

Aku mengangkat kakiku jijik.

Tai kucing itu bom, begitu diinjak, baunya bakal nempel dan menyeruak hebat.

"Aduh, gimana ini?" rengekku.

Nanda terkikik. "Udah, enggak apa-apa. Nanti kubantu bersihkan sesampainya di warung."

"Sial banget aku." Aku menggesek-gesekkan sol sepatu ke aspal.

Nanda makin terbahak-bahak. Ia tidak sadar kalau lagi ketawa gitu, dia makin cute. Aduh, hempaskanlah pikiran terlarang ini, Ya Tuhan!

Sesampainya di warkop, kami duduk bersebelahan di bangku panjang. Nanda mengeluarkan bungkus rokoknya sambil menoleh ke arahku.

"Mau minum apa?" tanyanya.

Aku menggeleng. "Enggak usah. Aku kembung kebanyakan minum tadi," jawabku.

"Yaudah kalau gitu aku pesan soda gembira. Kita minum berdua, ya," kata Nanda.

"Jangan. Pesen aja apa yang mau kamu minum. Bukannya tadi kamu bilang mau ngopi?" tolakku.

Nanda bersikukuh. "Enggak, ah. Enakan juga minum atau makan sama-sama."

Makdeg. Tuh, 'kan, deg-degan lagi.

Nanda mengamit puntung rokoknya di bibir. Lelaki itu lalu membungkuk ke arah kakiku.

"Sini, Emm, buka sepatunya. Aku bersihkan di selang air," ucap Nanda.

"Enggak usah, Nan. Biar kubersihkan sendiri!" Aku menyembunyikan kakiku.

"Ayo, sini. Kamu pakai rok, mana enak buat jongkok-jongkok." Nanda memaksaku.

Aku menggelengkan kepala. "Enggak apa-apa, Nan. Aku bisa bersihkan sendiri."

"Udahlah, Emm. Cepet copot sepatunya. Bau tai kucingnya nanti enggak mau hilang kalau kelamaan," desak Nanda.

Ia menatapku serius melalui mata lentiknya. Aku akhirnya melepaskan pump shoes yang kupakai dan memberikannya kepada Nanda.

"Makasi, ya, Nan ..." ucapku merona. Andai dia tahu, kalau pipiku merah padam karena malu. Mungkin dia pikir ini adalah warna dari make up-ku.

Nanda pun membersihkan sepatuku yang kena tai kucing. Ia telaten menyiramkan air dari selang. Mimik mukanya serius seraya mengamit sigaret pada bibir.

Kalau begini caranya, aku makin suka sama dia ...

***

Dari kejauhan, aku bisa melihat wajah Siska yang memasang ekspresi jahil. Ia cengengesan saat tahu aku dan Nanda keluar bareng.

"Dari mana?" bisik Siska menggandengku.

"Enggak ke mana-mana, cari angin tadi di warkop sebelah."

Siska semringah. "Ciee, Emma ..." godanya.

"Ssst! Jangan sampai kedengeran yang lain, Sis. Bahaya!" Aku meletakkan telunjukku pada bibir.

"OKE." Suara lantang dari MC membuatku dan Siska terperanjat. "Sebelum lanjut ke penampilan selanjutnya, kita mau ngumumin siapa KING dan QUEEN untuk tahun ini, ya, Rek," kata MC. "Penilaian secara adil, dilihat dari kesesuaian dengan tema.

Siska mencubitku. "Kurasa, kamu dan Nanda yang bakal menang," bisiknya.

"Enggak, ah." Gara-gara Siska aku jadi berdebar-debar.

MC kembali melanjutkan, "KING and QUEEN Vintage tahun ini adalah ..."

Musik drum dimainkan untuk menambah efek dramatis, padahal enggak ada yang kelihatan peduli. Mereka semua asyik ngobrol sendiri dan tak memperhatikan ke panggung.

"Selamat kepada Ananda Sinatra dan Emmanuella Surya. Mana, nih, Ananda dan Emmanuella? Harap naik ke panggung, ya!" seru MC bersemangat.

Siska memekik. "Emma!!! Aaaa!!!" Reaksinya lebih meriah ketimbang aku yang menang.

Aku melirik Nanda yang cengengesan. Lelaki ikal itu membalas tatapanku dan mengkodeku untuk mengikutinya naik ke atas panggung. Nanda menganggukkan dagunya ke atas, mengajakku.

Aku melangkah pelan-pelan seperti Putri Solo. Sekuat tenaga aku menahan senyum karena bakal berdampingan dengan Nanda.

Setibanya di atas panggung, aku dan Nanda berdiri bersampingan. Kakak di atas tingkat kemudian datang dan memakaikan kami mahkota berwarna gold yang terbuat dari karton yang dilapisi glossy paper. Mereka juga mengalungkan selempang yang bertuliskan KING AND QUEEN FISIP 2008.

"Kalian janjian kostumnya?" tanya MC kepadaku dan Nanda.

Nanda melirikku. "Enggak, Kak."

"Tapi bisa kompak, ya," timpal si MC. "Ya sudah, sesuai tradisi tiap tahun, King dan Queen bakalan first dance di tengah panggung, ya."

"Waduh?" Nanda menggaruk-garuk rambut ikalnya.

"Ha-harus, ya?" sanggahku. Padahal dalam hati berbunga-bunga gila.

"Harus, dong. Ini udah tradisi. Cuma satu lagu, kok."

Mahasiswa yang semula tampak bosan mulai bersemangat menggoda kami.

"Ayo buruan!"

"Cie, cie, cie." Goda mereka semua.

Salah satu Ketua Hima membisik. "Ayo, buruan, Dek. Keburu malem."

Nanda tak bisa berhenti nyengir, sementara aku malu-malu kucing. Akhirnya, Nanda mendekatiku dan mengulurkan tangannya.

"Ayo, Emm. Kita tahan malu, ya," katanya.

Oh my God. Mimpi apa semalam? Rasanya sekujur badanku gemetaran enggak karuan.

Dengan ragu-ragu, aku menyambut telapak Nanda. Aku bisa mendengar tepuk tangan dan ledekan riuh dari mahasiswa yang lain. Tapi, masa bodoh. Saat ini, pikiranku tertuju pada sosok di hadapanku, Nanda.

Aku meletakkan tangan kiri pada bahu Nanda. Musik pun di mainkan, Flighless Bird, American Mouth dari Iron & Wine.

I was a quick wet boy

Diving too deep for coins

All of your straight light eyes

Wide on my plastic toys ....

Berasa jadi Bella Swan yang lagi dansa sama si Vampir, Edward. Jantungku makin enggak karuan akibat kulit telapak tangan kami yang saling bersentuhan. Tangan Nanda sedikit basah, mungkin sama gugupnya sepertiku. Ia juga kelihatan kikuk.

Kami berdua saling bertatapan secara tak sengaja, sejurus kemudian, tawaku dan Nanda pecah.

Have I found you?

Flightless bird, jealous, weeping
Or lost you?

American mouth

Big bill looming ...

"Aduh!" Aku meringis saat Nanda tiba-tiba menginjak kakiku.

Wajah Nanda memelas. "Sorry, Emm," ucapnya.

"Enggak papa, Nan." Aku mengulas senyum meski jempol kakiku meronta-ronta.

Langkah kakiku dan Nanda sangat kaku, hanya bergerak kiri dan kanan saja.

"Aku bersyukur melakukan ini denganmu. Coba kalau sama yang lain, atau mahasiswi yang enggak aku kenal, awkward banget pasti," ujar Nanda.

Aku mengangguk. "Sama. Aku juga ngerasa gitu."

"Betewe, kamu emang pantes terpilih jadi QUEEN, Emm. Penampilanmu oke. Kalau aku, sih, sepertinya karena terpaksa aja. Lihat, deh, enggak ada mahasiswa yang pakai kostum sesuai tema. Aku malah tadi nemuin ada yang pakai baju koko," lanjut Nanda.

Aku menahan tawa. "Baju koko?" Enggak mau cekikikan lebar-lebar deket Nanda, nanti dia takut.

"Iya. Mungkin dikira mau Halal Bihalal," kelakar Nanda.

Aku tersenyum anggun. "Julid kamu."

Nanda lagi-lagi menatapku lekat. Akibat ulahnya, aku makin salah tingkah dan buru-buru memalingkan wajah.

Andai aku bisa menghentikan waktu, aku tak ingin ini usai. Namun, pada akhirnya, kami sudah berada di akhir lagu. Tangan Nanda mendekap pinggangku erat. Sensasi yang membuat seluruh persendianku menegang hebat.

Have I found you?

Flightless bird, brown hair bleeding
Or lost you?

American mouth

Big bill, stuck going down.


***


Selesai dansa, Siska menyambutku dan Nanda semringah. Dia girang banget seperti Mami Mucikari yang habis dapat transferan.

"Duh, malu banget!" Nanda mengusap dahinya yang berkeringat.

"Tapi, asyik, to, dansa dan flirting sama Emma, cihui." Robi menyenggol Nanda sambil terkekeh.

Nanda menyungging lebar. "Iya, dong. Iri, ta?"

Mendengar jawaban Nanda, aku makin GR enggak karuan. What a night???

Rendi mengelus-elus perutnya yang mirip ibu hamil. "Cari makan, yuk."

"Boleh. Udah lapar banget aku," kata Mita.

"Ayo, deh. Penyetan deket kampus, ya?" tawar Nanda.

Mereka semua mengangguk.

Saat berjalan bersama menuju pintu keluar, langkah Nanda terhenti. Bibir Nanda mengembang, lebih lebar dari biasa.

"Kamu dateng, Yang? Katanya enggak bisa?"

Nanda menghampiri wanita mungil yang berdiri di depan pintu. Wanita itu merespon Nanda dengan melempar senyum.

"Kamu datangnya terlambat, Lit. Kelas kita udah tampil dari tadi. Pacarmu juga menang, tuh. Dapat predikat KING FISIP," ujar Rendi.

Wanita mungil itu membuka suara. "Yah, sayang banget enggak lihat." Ia memandang Nanda dengan tatapan berkilat.

"It's okay." Nanda melepas mahkota karton yang berada di kepalanya. Ia lalu meletakkannya ke atas kepala si wanita mungil itu. "Kamu menyempatkan ke sini aja aku sudah senang."

Mereka saling pandang penuh kemesraan. Persis model kalender tahun 90'an.

Aku tahu, itu pasti Erlita. Pacar Nanda yang anak Ekonomi.

Aku lantas melepaskan selempang dan mahkotaku pelan-pelan. Masa jabatanku sebagai QUEEN sudah berakhir ketika Erlita datang.

Wanita itulah Ratu sebenarnya bagi Nanda.
 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya [13] KINKY
9
5
Bacaan khusus 21+Raline Lara, sexy dancer pada klub malam, bertemu dengan Jeffrey Daud Pratama, CEO tampan yang berpihak sebagai Dominan di ranjang. Jeffrey kemudian meminta Raline untuk menjadi budak Submissive-nya. Raline menyetujui penawaran Jeffrey demi mendapatkan banyak uang. Sial bagi Raline, ia justru jatuh cinta kepada sang CEO. Padahal, Jeffrey hanya menganggapnya sebagai pemuas nafsu saja, tak lebih. Mungkinkah kisah cinta Raline akan berujung bahagia? Atau justru terperosok dalam gelap nestapa kehidupan wanita tuna susila?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan