
Jen Nera atau Je bekerja sebagai wanita BO demi tuntutan hidup. Ia lalu bertemu dengan Boy, lelaki berdarah Korea Selatan yang memikat hati. Dalam waktu singkat, Boy berhasil membuat Jen Nera membuka diri untuknya.
Jen Nera pikir Boy berbeda.
Jen Nera pikir Boy bersedia menerimanya dengan tulus.
Ternyata Jen Nera salah karena Boy justru menghilang selepas mereka bercinta.
Namun lelaki itu tiba-tiba kembali datang saat Jen Nera putus asa. Dia, Boy, meminta Jen Nera menjadi partner tidurnya, di tengah...
Prolog
'Tepat satu tahun peringatan kematian Tirta Park, businessman sukses yang merupakan salah satu anak keturunan Park Jong Min — founder dari PT. Busan-Raya atau kita kenal sebagai Busaraya. Kabarnya putra bungsu dari mendiang Tirta Park, yaitu Booyah Park akan kembali ke Indonesia setelah menuntaskan studi-nya di California. Sementara itu ketiga anak Tirta Park yang lain, Vincent Park, Yuna Park, dan Lucas Park akan menggelar acara ...'
Suara berita pada televisi terdengar sayup-sayup di telinga Jen Nera. Ia tidak terlalu peduli dengan isi berita yang disampaikan. Tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya.
Wanita itu lantas menyeka hidung yang berdarah akibat perkelahian barusan.
Rambut Jen Nera juga berantakan dan acak-acakkan. Ditambah bekas cakaran pada sekujur lengan mulusnya. Memang sial. Padahal bukan salahnya lelaki beristri itu berulang kali menelepon. Dia juga tidak terlalu menanggapi. Sekarang Jen justru yang terkena getahnya.
Duduk dalam ruangan ber-AC sendirian semakin membuat Jen menggigil kedinginan. Selain itu dia juga gelisah. Mau bagaimana pun pasti dia yang akan disalahkan. Dan Jen terancam kehilangan pekerjaan yang belum genap sebulan ia geluti. Bajingan.
Pintu ruang mendadak dibuka, seorang lelaki berpakaian kemeja hitam masuk ke dalam. Rautnya dingin. Itu Arif — team leader para sales promotion girl.
"Je ... Je ..." Arif berdecak. "Belum juga sebulan udah bikin masalah kamu, ya."
"Mas Arif, ini cuma salah paham. Aku sama sekali nggak ada hubungan apa-apa sama suaminya ibu tadi," sanggah Jen Nera.
Jen Nera lantas memandang wajah Arif dengan lekat. Wanita itu bisa menangkap binar keraguan yang tersirat dari si team leader. Jen sudah bisa menebak apa yang akan terjadi. Ia benar-benar yakin bakal kehilangan pekerjaan.
01. Jen Nera
Jen memulas lipstik berwarna medium pink pada bibirnya yang penuh. Untuk ketiga kali Jen menelisik penampilan melalui cermin di meja rias. Ia percaya diri sudah cukup cantik dan menggoda.
Menggoda - ya, itu syarat utama.
Saat sedang sibuk merias diri, pintu kamar Jen tiba-tiba terbuka. Seorang wanita bertubuh berisi sudah berdiri seraya merapatkan kaca mata. Ia menyorot Jen seolah hendak menerkamnya.
"Mau ke mana malam-malam gini, Jen?" Ia lantas menghampiri. "Muka menor, pakaian ketat. Mau ngelenong apa mau jualan?" cibirnya.
Jen Nera mendengkus.
"Kerja, Budhe. Aku ada event di Jaz Concert. Ya emang berangkatnya malam gini."
"Kuliah mahal-mahal jurusan Sastra Inggris ujungnya jadi SPG. Apa nggak malu kamu, Jen? Bapakmu di akhirat bakalan nangis lihat pakaianmu yang serba mini."
Jen melirik sepintas dengan tatapan dingin. Seenaknya saja bicara seolah budhe-nya itu bersedia menanggung biaya kuliah dan kebutuhan hidupnya selama ini.
"Aku kerja gini bukan untuk selamanya. Cuma sampai lulus kuliah nanti. Budhe tahu, kan, aku butuh duit buat bayar SPP sama beli keperluan kuliah," ujar Jen.
"Eh jangan sok, ya, kamu, Jen." Si budhe mendadak senewen. "Bukannya Budhe udah kasih kamu uang buat bayar SPP. Emang masih kurang apa?"
"Kurang." Jen Nera menjawab singkat. Uang itu memang hanya cukup untuk membayar separuh dari total biaya per semester.
"Siapa suruh semasa hidup bapakmu itu nggak pernah nabung? Sekarang pas nggak ada, anaknya ngerepotin orang lain," sahut wanita paruh baya itu. "Bukannya Budhe perhitungan atau pelit, ya, Jen. Tapi kamu tahu, kan, kalau Budhe juga punya tanggungan lain. Rania bentar lagi masuk SMA, sementara Miranti masih semester awal. Mereka butuh banyak biaya."
"Ya, aku tahu." Jen meraih sling bag dan memasukkan beberapa make-up ke dalam sana. "Makanya aku kerja biar kebutuhanku terpenuhi dan nggak ngerepotin Budhe."
"Tapi nggak harus jadi SPG juga kalik, Jen. Perasaan Pakde nawarin kamu buat jadi asistennya di kantor. Tapi kamu malah nolak. Aneh kamu."
Jen memilih diam. Ia menyalami dan mengecup punggung tangan Maria penuh kesopanan.
"Aku berangkat dulu, Budhe."
Menerima penawaran pekerjaan dari pakde-nya? Yang benar saja. Jen Nera tidak nyaman dengan tatapan genit dari lelaki tua itu. Dan lagi, Maria akan semakin mencekik lehernya karena menganggap Jen kembali berutang budi.
Jangankan pekerjaan - sepiring nasi yang masuk ke dalam tenggorokan Jen saja dikalkulasi Maria. Ia enggan lama-lama berurusan dengan Maria. Jen ingin segera pergi dan tak lagi dicap sebagai 'tukang numpang hidup'.
Rencana Jen sudah tersusun rapi. Mengumpulkan banyak uang untuk memenuhi kebutuhan kampus. Lalu mencari indekos agar bisa lepas dari Maria. Ia yakin sebentar lagi semua akan terealisasi. Jen hanya tinggal menempuh satu semester di bangku perkuliahan. Ia hanya perlu sedikit bersabar.
"Mbak Jen." Panggilan dari Miranti - putri sulung Maria menghentikan langkah Jen.
"Hmm?" toleh Jen Nera.
"Sweaterku yang warna lilac kemaren udah dicuci belum?"
Jen mengangguk. "Sudah. Kutaruh di lemari pakaianmu yang paling atas."
"Pakai tangan, kan? Soalnya kalau masuk mesin cuci rusak."
"Aku cuci pakai tangan," sahut Jen.
"Oke." Miranti meringis dan bergegas menaiki tangga.
Tinggal bersama keluarga bukan berarti ia diperlakukan sebagai keluarga. Jen Nera tidak lebih seorang pembantu berdasar hubungan kekerabatan. Semua urusan rumah tangga dilimpahkan pada Jen. Mulai dari bersih-bersih sampai memasak. Tiap kali Jen absen melakukannya, Maria akan mulai mengungkit-ungkit soal jasanya selepas sang ayah meninggal.
Semasa hidup ayahnya juga bukan orang berada - cuma sopir pribadi. Berbeda dengan Maria yang beruntung karena diperistri oleh arsitek kenamaan di Surabaya. Itu sebabnya Jen diperlakukan semena-mena. Sudah hukum alam seseorang dipandang tidak berharga karena tak memiliki harta.
"Je!" Seorang wanita berkulit putih menengokkan kepala dari sedan yang ia kendarai.
Jen membuka pintu dan mengambil tempat di samping kemudi. "Lama nunggu, Sil?" tanyanya.
Wanita bernama Cecilia itu menggeleng.
"Nggak. Baru juga aku datang." Ia menoleh dan mengamati Jen dari atas ke bawah. "Udah siap, ta? Berangkat sekarang?"
"Iya," jawab Jen.
Cecilia lantas melajukan kendaraan. Fokus wanita bermata sipit itu tertuju ke arah jalan. Perjalanan mereka sedikit tersendat karena terkena macet di jalan raya Darmo.
"Yakin udah siap, Je?" tanya Cecilia memecah hening. "Kamu dari tadi diem aja. Grogi, ya?"
Jen mengulas senyum getir demi menutupi kegugupan. Apa yang dikatakan Cecilia memang benar. Dia belum siap -- atau lebih tepatnya - tak pernah siap melakukan pekerjaan ini.
"Lumayan deg-degan, sih," kata Jen.
"Tenang aja. Kan ada aku. Kita main nggak sendirian. Yang penting kamu rileks dan kasih service terbaik aja." Cecilia melirik Jen. "Betewe ini yang keberapa kali kamu ngelayanin customer?"
Jen berdeham. "Ini yang kedua."
"Hah? Sumpah?" Mata Cecilia terbelalak. "Kenapa sebelumnya nggak bilang sama aku? Baru satu kali pengalaman dan kamu nerima penawaranku buat main rame-rame? Are you serious, Je?"
Jen tertunduk. Ia menggigit bibir di antara gigi taringnya sebelum mengungkapkan isi pikiran.
"Aku butuh uang, Sil," aku Jen. "Aku janji bakalan profesional. Tenang aja."
Cecilia berdecih. "Profesional sih profesional, Je. Tapi pengalaman juga dibutuhkan. Aku sudah melayani salah satu diantara pelanggan kita nanti. Dan dia kalau main luar biasa kasar. Aku takut kamu nggak bisa ngimbangin."
Jen terdiam seraya memainkan kuku. Setelah dipecat dari pekerjaan sambilan sebagai SPG, ia memilih jalan pintas menjadi wanita BO. Booking Order, Booking Out, atau Booking Online merupakan praktik prostitusi melalui media sosial atau aplikasi. Cecilia adalah teman yang mengenalkannya pada dunia lendir tersebut. Cecilia pikir Jen Nera memang sudah berpengalaman dalam urusan persetubuhan. Sekarang wanita Chindo itu sadar kalau dia salah.
"Aku pasti bisalah, Sil. Tenang aja. Aku nggak akan ngecewain," ujar Jen mencoba menyakinkan.
Ia tidak tahu apa yang membuat semua orang berpikir kalau Jen Nera adalah wanita nakal. Apa karena kulit sawo matang yang terkesan eksotis? Atau sepasang mata upturned-nya yang seolah sedang menantang? Atau mungkin juga pemilihan pakaian yang wanita itu biasa kenakan? Entahlah.
Jen Nera masih ingat selepas ia dipecat, Cecilia datang menghampiri seraya menyodorkannya sebatang rokok. Seolah temannya itu yakin kalau Jen adalah seorang perokok, padahal bukan.
Alih-alih menolak - Jen Nera justru menerima pemberian Cecilia.
"Ngga usah pusing. Kerjaan lain banyak."
Jen sedikit tersedak oleh isapan pertamanya. "Ya, banyak. Tapi nyarinya susah. Apa lagi yang bisa disambi sama kuliah. Aku bener-bener butuh uang buat skripsian."
"Nih." Cecilia menyodorkan ponsel. Tampak sebuah foto lelaki berusia matang pada layarnya. "Kalau mau kamu ambil, deh. Dia carinya cewek-cewek kuliahan."
"Ma-maksud kamu?" Kedua alis Jen saling bertautan.
Cecilia melirik Jen melalui sudut mata. "Ngga usah pura-pura kalau di depanku, Je. Ngga usah munafik. Aku tahu, kok, kalau kamu bisa dipake."
Jen Nera ingin sekali melempar ponsel yang sekarang ada di genggamannya. Enak saja mencapnya sebagai wanita murahan. Dasar panlok girang!
(* Panlok adalah sebutan gaul bagi wanita panggilan yang berdarah Tionghoa)
"Sekali main dia berani bayar 10 juta," lanjut Cecilia.
"Huh? Sebanyak itu?" Jen melotot penuh keterkejutan. Ia urung melampiaskan marah. Wanita itu kembali memandangi layar gawai milik Cecilia untuk mengamati potret si lelaki hidung belang. "Gimana caranya kalau aku mau, Sil?"
***
"Kita udah sampai."
Setelah memarkir sedannya di areal parkir khusus tamu, Cecilia dan Jen Nera pun berjalan masuk ke dalam lobi.
Suasana mewah sekaligus megah menyambut kedua wanita itu. One Icon Residence adalah apartemen yang terletak di atas mal Tunjungan Plaza. Towernya menyatu dan terhubung langsung dengan salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Surabaya.
Jen Nera akhirnya paham kenapa Cecilia gusar setelah tahu dirinya tak berpengalaman. Klien mereka kali ini pasti orang kaya. Unit apartemennya adalah unit yang memiliki private lift khusus. Jantung Jen Nera makin berdebar kala pintu lift terbuka. Mereka sampai di foyer yang menghubungkan dengan pintu utama.
Seakan tahu tamunya sudah datang, pintu itu lantas terbuka. Seorang lelaki tinggi berkulit putih menyambut mereka berdua. Keseluruhan wajahnya tak tampak karena mengenakan masker medis berwarna hitam.
"Malam, Ko." Cecilia tersungging cerah.
"Masuk," sahut lelaki itu.
02. Booking Order
"Masuk."
Jen Nera hanya bisa melihat sepasang mata monolid dari si lelaki bermasker hitam. Pantas Cecilia memanggilnya dengen embel-embel 'Ko' atau 'Koko', lelaki ini pasti keturunan Tionghoa. Jen Nera makin yakin setelah menelisik kulit seputih susu milik si lelaki.
Mereka disambut ruang makan berinterior khas modern-klasik begitu masuk. Jen tertegun sesaat akibat terkagum oleh pigura besar berisi lukisan burung merak berekor biru. Sangat indah. Pada sisi kanan unit, deretan kaca jendela berjajar menggantikan dinding. Sementara di tengah sebuah sofa chesterfield tampak diduduki oleh dua orang lelaki yang juga mengenakan masker medis. Jen Nera menduga mereka tak ingin identitasnya diketahui.
"Mana Boy?" tanya lelaki yang tadi membukakan Jen dan Cecilia pintu.
Kedua lelaki di sofa saling berpandangan dan kompak mengendikkan bahu.
"Kok kalian bisa nggak tahu?" cecar lelaki itu agak kesal. "Sudah bilang kalau aku panggil cewek buat dia?"
"Udah," sahut salah satunya. "Dia tadi bilang nggak berminat."
"Nggak berminat?!"
"Aku sudah paksa tapi Boy bersikukuh nggak tertarik."
Lelaki bermasker hitam menggeleng tak percaya. "Ck. Dasar itu anak!" dumalnya.
Jen dan Cecilia melirik satu sama lain. Apa kehadiran mereka sekarang tidak dibutuhkan?
Cecilia berdeham. "Gimana, Ko?"
"Tenang aja, kita tetap main. Kedatanganmu dan temanmu nggak akan sia-sia." Lelaki itu menyorot pada Jen. "Siapa namamu?" tanyanya.
"Je," sahut Jen Nera.
Jen sadar lelaki bermasker itu sedang menyapu pandangan ke sekujur badannya. Ia seperti ditelanjangi. Jantung Jen kembali bergemuruh. Rasa mual juga mengaduk-aduk — seakan ada ular yang meremas-remas organ dalamnya. Jen tidak bisa membayangkan harus melayani lebih dari satu orang lelaki.
"Sesil dan Je, yuk, langsung ke kamar." Lelaki bermasker hitam berjalan mendahului, di belakang dua temannya yang lain pun mengekor.
Cecilia begitu santai tanpa beban. Ia sepertinya menikmati pekerjaan yang ia jalani. Berbeda dengan Jen. Wanita itu benar-benar mau muntah sanking gugupnya. Kalau tidak terdesak iming-iming uang, ia sudah pasti menolak. Tapi inilah hidup. Sudah bukan lagi zamannya berlagak suci hingga mati kelaparan. Jen muak dalam kungkungan Maria. Ia hanya memikirkan cara cepat untuk kabur dari sana. Meski harus menjual diri sekali pun.
Ya. Maria benar.
Mendiang ayahnya pasti menangis di akhirat sana. Dan Jen Nera melakukan ini bukan tanpa sesal atau rasa bersalah. Ia janji akan berhenti saat lulus kuliah nanti.
Lelaki bermasker membawa mereka ke dalam master bedroom yang terletak di paling ujung. Degup Jen Nera kian kencang. Inilah saatnya. Ia ingin kabur tapi tidak bisa! I really needed the money.
"Kamu tahu peraturannya, kan, Sil," kata lelaki bermasker tadi.
Cecilia mengangguk. "Yes, Master."
Master? Jen menoleh ke arah Cecilia sambil mengulas tatapan penuh tanya. Tanpa diduga, si lelaki menarik dagu Jen dan mengarahkannya padanya.
"Je, kamu mungkin belum tahu kalau aku penyuka permainan roleplay. Saat bermain denganku – kamu dan Sesil adalah budakku. Apa yang kukatakan dan kuperintahkan merupakan kewajiban yang harus kalian lalukan. Jika kamu tidak menurut, aku akan memberikanmu punishment."
Jen meneguk kasar ludahnya. Pantas Cecilia mengkhawatirkan kesiapan dan pengalamannya. Klien kali ini bukan orang normal seperti biasa. Dia adalah lelaki dengan fantasi super liar.
"Kamu mengerti?" tanya lelaki bermasker.
"I-iya," sahut Jen terbata.
"Bagus." Ia lantas berjalan menuju meja dan mengambil sebotol red wine. Lelaki itu lantas menatap tajam dua temannya yang berdiri pada sisi ranjang. "Kalian hanya bisa bermain atas izin dariku. Paham?"
Dua lelaki itu mengangguk.
"Buka pakaian kalian," titah si lelaki.
Cecilia tanpa malu melucuti crop top dan jeans yang ia kenakan. Tubuh sekalnya hanya ditutupi oleh baju dalam berwarna senada.
Jen mematung bak batu karang. Ini pertama kali ia melihat temannya separuh telanjang. Tanpa melakukan apa pun, Jen hanya berdiri seolah tanpa nyawa. Sontak saja Cecilia mengarahkan pelototan tajam untuk mengkode wanita itu. Jen Nera di sini untuk bekerja — bukan makan gaji buta.
Secara kikuk, Jen menurunkan mini skirt-nya. Ia juga melepas tanktop hingga menampakkan buah dada yang masih dibalut bra berenda. Kedua kaki jenjang Jen terekspos dan menjadi pusat perhatian. Kulit eksotis wanita itu kian menambah aura keseksiannya. Dua teman lelaki bermasker tampak mematri pandangan pada Jen. Mereka sudah tersihir. Sekaligus tergoda hebat.
"On your knees."
Cecilia segera menuruti perintah sang Master. Jen pun mengikuti gerakan temannya itu. Mereka berdua berlutut di hadapan 'tuannya.'
Lelaki bermasker tiba-tiba mengguyur badan Cecilia dengan anggur merah. Kulit putih mulus itu kini basah kuyup oleh red wine. Bukan takut, Cecilia justru terlihat bergairah. Sesekali wanita itu menjulurkan lidah untuk menampung amer memabukkan yang disiramkan. Mereka tak peduli meski lantai granit basah dan tergenang cairan merah.
Bulu kuduk Jen bergidik. Entah apa yang akan dilakukan lelaki bermasker hitam padanya nanti.
"Je, sekarang kamu jilat badan Cecilia sampai bersih."
Jen Nera terbelalak. Bibir wanita itu gemetar karena penuh keraguan. Dengan gamang ia mendekati Cecilia seraya membuka sedikit mulutnya. Lidah Jen menyapu ceruk leher Cecilia pelan-pelan. Temannya itu terdengar mendesah.
Sesuatu yang membuat Jen benar-benar ingin muntah! Cecilia memang cantik tapi Jen bukan penyuka sesama jenis.
Cecilia kemudian membuka kaitan bra dan membiarkan kedua bukit kembarnya terbebas. Wanita itu mengarahkan kepala Jen agar memainkan pucuknya. Jen Nera sendiri mulai berpikir kalau Cecilia memang benar-benar terangsang — bukan sekedar akting.
"Oh, ya. Gadis pintar," puji lelaki bermasker.
Jen memejamkan mata dan mengecup tonjolan dada Sesil yang sudah menegang. Ia merasa semenit serasa setahun. Waktu berjalan sangat lamban dan perutnya sungguh mual.
"Kiss, me, Je." Cecilia menarik dagu Jen agar mendekat.
Jen Nera terbelalak dan menerima serbuan Cecilia yang tiba-tiba. Temannya itu tak ragu - apa lagi malu - mencium bibir Jen penuh nafsu. Memaksakan lidahnya masuk untuk membelit lidah mereka.
Tawa ketiga lelaki di dalam kamar itu mulai pecah. Mereka sungguh menikmati pemandangan erotis yang disuguhkan oleh dua pelacur bayaran. Setidaknya sampai ...
"Howeeeek ...!" Jen tak lagi bisa membendung kontraksi otot perutnya. Beruntung ia berhasil menelan lagi isi lambung yang hampir keluar. Tetapi itu justru berakibat menjadikannya lebih mual dari sebelumnya.
"Je!" Cecilia melotot tajam.
"Apa dia pemula?!" sentak lelaki bermasker. Semua imajinasi panasnya mendadak buyar.
"Maaf ... a-aku ..." Jen Nera tergagu.
Cecilia bergegas menimpali. "Maafkan Je, dia memang masih baru dalam pekerjaannya."
"Dia merusak suasana!" sungut si lelaki. "Keluarlah kalian."
Cecilia merangkak pada kaki lelaki bermasker hitam. "Please. Forgive us, Master. I'm ready for the punishment."
"Are you sure?" tanya si lelaki. "I'll do the things that make your legs shake."
Cecilia mengangguk. "Do me, Master."
Lelaki bermasker lantas menatap Jen tajam. "Kamu, keluar!" usirnya. "Aku akan bermain denganmu besok pagi. Atau mungkin kamu lebih cocok melayani Boy!"
***
Panorama kota Surabaya tertangkap jelas dari balkon. Kilau lampu kerlap-kerlip mengalahkan sinar bintang yang ada di langit. Malam itu terlalu gelap dan lingsir. Tak ada bulan, bahkan awan sekali pun.
Kepulan asap dari rokok yang Jen nikmati keluar melalui mulutnya. Ia mengisap kembali puntung rasa mentol itu. Menahan sebagian asapnya dalam tenggorokan sebelum mengembuskannya ke udara.
Jen bukan perokok.
Namun sejak bergaul dengan Cecilia – ia jadi ikut kecanduan nikotin.
Jen merasa bodoh sekaligus tolol. Ia juga berutang maaf pada Cecilia. Entah apa 'punishment' yang lelaki mesum itu berikan. Yang jelas, dari luar kamar Jen bisa mendengar rintih bercampur pekikan dari Cecilia. Mengerikan ...
Saat sedang melamun, pintu kaca balkon tiba-tiba terbuka. Hal itu membuat Jen terkejut bukan main.
"Shit!" umpat Jen.
Ia menengok ke belakang seraya memegang dada yang naik turun. Batang rokoknya bahkan sampai terjun bebas lepas dari genggaman.
"Sorry. Kaget, ya?"
Seorang lelaki bermata monolid sudah berdiri di ambang pintu. Senyum ramah membingkai bibir tipisnya yang kemerahan. Tarikan lebar pada bibirnya membuat mata lelaki itu menyipit membentuk bulan sabit.
Dia jelas bukan salah satu dari ketiga orang tadi.
"Ka-kamu siapa?" tanya Jen.
"Aku Boy." Ia beradu mata dengan Jen lalu berjalan mendekat. Dengan santai — Boy menyangga siku pada pegangan balkon. "Kamu?" tanyanya.
03. Boy
Jen Nera mengamati lelaki yang sekarang berdiri di sisinya. Kaos oversize polos dengan celana training sederhana. Kulitnya juga kecokelatan seperti terbakar matahari. Ia juga tak menggunakan masker demi menutup wajah. Ia tak punya kewajiban menyembunyikan identitas - sudah pasti ia bukan orang penting seperti tiga yang lain. Pikir Jen Nera.
"Aku Jen ... ehm, maksudku Je," kata Jen Nera. "Kamu Boy? Tadi mereka semua mencarimu."
"Ah ... jadi kamu tamu yang ditunggu Kak Vincent?" Boy balik bertanya.
"Vincent?" ulang Jen. Apa Vincent adalah lelaki mengerikan bermasker hitam itu?
Boy sadar sudah keceplosan. Ia menggaruk-garuk kepala hingga membuat rambut lurusnya sedikit berantakan.
"Damn it," gumam Boy. "Please, jangan sebut nama tadi saat kamu bertemu mereka nanti, ya!"
"Kenapa? Mereka publik figur? Selebgram? Artis?" selidik Jen. Ia sebenarnya tak terlalu peduli - bagi Jen uang lebih penting. Dan ia berpotensi kehilangan bayarannya malam ini.
Boy menggeleng. "Bukan, sih."
"By the way ..." Jen membuka kotak rokok dan mengambil sebatang. "Kenapa kamu ngilang? Nggak suka main sama wanita panggilan sepertiku dan temanku?" Ia mengamit sepuntung di sela bibir, kemudian menyulutnya.
Kepulan asap pun mulai terbawa angin malam. Jen tak acuh mengisap rokok melalui mulut dan mengeluarkan asapnya dari hidung.
"Sini, pinjam korekmu." Boy tiba-tiba tertarik untuk merokok juga.
Jen menyodorkan pemantik miliknya pada Boy. "Nih."
"Boleh minta rokoknya sekalian?" Boy meringis.
Jen mendecih. Dasar nggak modal. Setelah melihat Boy sudah menjepit puntung pada bibir - Jen pun mengarahkan korek menyalanya. Di luar dugaan, Boy justru terbatuk-batuk.
"Kenapa?" tanya Jen bingung. "Nggak biasa sama mentol?"
Boy menggeleng. "Bukan," sahutnya mengatur napas. "Ini pertama kalinya aku ngerokok."
"Hah?" Jen menatap Boy keheranan. "Kenapa sok-sok'an?"
"Abis kamu terlihat menikmatinya," kata Boy. Ia kembali bersandar pada pegangan balkon dan pelan-pelan mengisap sebatang.
Mereka berdua tak lagi bicara. Jen dan Boy tenggelam dalam pikiran masing-masing. Embusan angin menerpa helai rambut Jen yang beraroma citrus. Wangi yang membuat Boy diam-diam mengulum senyum.
"Aku bukannya nggak suka," ujar Boy tiba-tiba.
"Apanya?"
"Pertanyaanmu yang tadi. Soal kenapa aku menghilang dan menolak bermain bersamamu atau temanmu," jelas Boy. "Aku bukannya nggak suka. Cuman aku berpikir kalau bercinta akan terasa lebih indah jika dilakukan dengan orang yang kita sayang."
Mendengar perkataan Boy, Jen mendadak mengernyih. Sebelah alisnya terangkat seraya menatap Boy penuh cibiran. Nonsense.
Boy kemudian menoleh. "Kamu sendiri kenapa ada di sini? Nggak di dalam kamar bersama mereka semua?"
"Aku diusir," dengkus Jen.
Boy terkekeh. "Kenapa?"
"Karena kurang pengalaman."
"Oh ..." Boy menatap Jen lekat. Wanita itu tergolong manis - sayang sekali karena ia memutuskan menjadi wanita panggilan. "Emangnya kamu masih baru bekerja seperti ini?"
"Ini kali keduaku," jawab Jen jujur.
Boy memalingkan pandangan. Ia membuang puntung rokoknya yang sudah memendek. Lelaki itu berulang kali berdeham untuk menghilangkan canggung. Rasa penasaran menggelitik benak Boy. Banyak pertanyaan menumpuk untuk diutarakan.
"Kenapa - kamu memutuskan bekerja seperti ini?"
"Ya karena uanglah. Emang apa lagi?" kata Jen tersenyum getir. "Aku butuh banyak biaya buat kebutuhan kuliah."
"Kamu kuliah, Je? Semester berapa?" selidik Boy.
"Sedang susun skripsi." Jen lantas beralih ke arah Boy. "Kamu sendiri? Kenapa kamu berteman dengan teman-teman macam mereka?" Ia menunjuk ke dalam ruangan menggunakan dagunya. "Bukankah teman seharusnya orang-orang yang sepemikiran? Kutebak kamu hanya dijadikan pesuruh, ya? Dan kamu bertahan hanya karena mereka semua kaya. Mereka kasih kamu uang berapa tiap kali kamu mengerjakan tugas atau perintah mereka?"
Tawa Boy pecah. "Itu tebakanmu tentangku?"
"Iya," sahut Jen yakin. "Betul, kan?"
"Ya bisa dibilang begitu. Aku memang terpaksa bertahan bersama mereka," ujar Boy.
Jen mendecih. "Kamu, kan, cowok, emang nggak bisa cari pekerjaan apa?"
"Aku baru saja menyelesaikan S2, selepas ini - mungkin - aku akan mencari pekerjaan seperti katamu," jawab Boy menahan kekeh.
"Kamu sudah S2?" Jen menelisik penampilan Boy dari atas ke bawah. "Kukira kamu masih mahasiswa semester awal."
Boy seketika menyugar rambutnya ke belakang. Ekspresi lelaki itu mendadak pongah. "I will take that as a compliment."
Jen tersungging kecil. Geli akibat tingkah Boy yang kekanak-kanakkan.
"Salah satu dari mereka berkata kalau kami dipanggil buat melayanimu. Apa itu benar?" cecar Jen. "Wah, orang kaya emang beda. Traktir temen pakai cewek."
Boy terdiam seraya membuang muka.
Jen kembali melanjutkan, "Apa ini hari spesialmu sampai mereka mengutus kami untuk melayanimu?"
"Bukan hari spesial," jelas Boy.
"Terus?"
"Minggu lalu adalah peringatan satu tahun kematian ayahku. Kurasa mereka melakukan ini untuk menghiburku," terang Boy. Ia menerawang jauh ke arah langit dengan tatapan sendu.
Jen Nera terhenyak. Ia dan Boy sama. Sama-sama tidak memiliki ayah. Wanita itu lantas mengelus lembut punggung Boy yang lebar. Akibat ulah Jen, Boy mendadak salah tingkah.
"Aku ikut prihatin," ucap Jen. "Jadi ... apa perlu kita bercinta saja malam ini? Untuk menghilangkan kesedihanmu?"
Mata keduanya saling beradu. Untuk beberapa detik Jen dan Boy terhubung melalui tatapan. Tak ada yang bicara sebelum akhirnya Boy menyengat Jen lewat senyum hangatnya.
"Bagaimana kalau kamu melakukan hal lain untukku?"
"Hal lain?"
***
Jalan Tunjungan pada malam hari memiliki pesonanya sendiri. Pada sepanjang trotoar terdapat lampu-lampu temaram yang membangkitkan kesan romantis. Sejumlah bangunan peninggalan Belanda pun sudah berubah fungsi menjadi resto atau kafe. Kursi dan meja berjejer rapi dan dipenuhi pengunjung. Tempat ini memang ramai sebab merupakan salah satu kawasan wisata di kota Pahlawan. Bahkan ada yang bilang kalau Jl. Tunjungan memiliki suasana hampir sama seperti Malioboro di Yogyakarta.
Setelah berjalan kaki sebentar - Jen dan Boy pun tiba di pusat keramaian.
Terlalu banyak orang dan Jen berharap tak bertemu salah satu teman kampusnya. Jen malas jika harus berbasa-basi. Apa lagi menerima pertanyaan tentang siapa lelaki yang bersamanya sekarang.
"Kamu nggak pernah ke sini, Boy?"
Boy menggeleng. "Aku belum bilang, ya, kalau aku baru di sini?" sahutnya.
"Baru di Surabaya? Emang kamu sebelumnya di mana?"
"Adalah. Jauh," jawab Boy abu-abu. Ia memilih merahasiakan fakta tentang studinya di California.
Jen mendecih sinis. "Dih, sok misterius," sindirnya.
"Biar kamu nebak," kekeh Boy.
Itu seperti tantangan bagi Jen Nera. Wanita itu lantas mengerutkan dahi - mengialkan bahwa ia sedang berpikir keras.
"Kulitmu gelap nggak kayak Chindo yang lain ... jadi aku tebak kamu sering manas. Berarti kemungkinan kamu berasal dari kota-kota bercuaca terik seperti Bekasi atau Medan?" terka Jen.
Boy cekikikan. "Chindo? Kamu pikir aku keturunan Tionghoa?" Ia balik tanya.
"Iya, kan? Matamu sipit."
Boy semakin terbahak. "Rasis banget, sih, Je? Apa yang matanya nggak berkelopak ganda sudah pasti Cina?"
"Yup!" Jen mengangguk. "Kamu pasti cigos."
"Cigos?"
"Cina gosong," terang Jen.
Tawa Boy kembali pecah. Ia merapatkan tubuh mendekati Jen Nera karena berulang kali tertabrak kerumunan orang.
"Okay. Kalau aku Cina, aku kasih kamu tebakan. Mau nggak?" tantang Boy.
"Apa?"
"Apa bahasa Cinanya jual mahal?" lontar Boy.
Jen mengernyit. Dia mahasiswi jurusan Sastra Inggris, bukan Sastra Cina. "Nggak tahu."
"Gheng Xi Dhong." Boy cekikikan seraya menyenggol lengan Jen.
Kedua sudut bibir Jen pun tertarik ke atas hingga menciptakan garis melengkung. "Apaan, sih, Boy? Garing!" ejeknya.
"Garing tapi kamu ketawa!" Ini pertama kalinya Boy melihat wanita itu tersenyum. Seperti yang ia duga - Je terlihat cantik. "Dasar, gheng xi dhong!" godanya.
Netra Jen tiba-tiba tertuju pada salah satu kafe yang mereka lewati. Tempat itu menjual gelato dan kopi. Ia sangat suka gelato - tapi malam ini Jen seharusnya menghasilkan uang - bukan mengeluarkannya.
"Kenapa?" selidik Boy. "Mau gelato?"
Jen menggeleng. "Nggak."
"Tapi kamu ngelihatin terus," ujar Boy. "Bilang aja kalau mau, jangan jadi Miss Gengsi dong."
"Enggak," tegas Jen. Ia mempercepat langkah meninggalkan kafe. "Kita berdua, kan, sama-sama nggak ada duit. Nggak usah sok-sokan spending money, deh."
Boy menarik tangan Jen tanpa persetujuan. Lelaki itu menggandeng Jen Nera berbalik menuju kafe.
"Boy? Apa-apaan, sih?" protes Jen.
Bukan melepas, Boy justru merapatkan genggaman. Ia mengaitkan buku-buku jemarinya pada jari-jari Jen yang lentik. "Sekedar gelato aku masih mampu beliin kamu," ucapnya.
Pertemuan kulit mereka membangkitkan desir pada sekujur tubuh Jen. Ia serasa disetrum oleh sengatan listrik yang menjalar kuat di aliran nadi.
"Mau pesan apa, Kak?" sapa waiter yang berdiri di belakang counter table.
Boy menoleh ke arah Jen. "Mau rasa apa?" bisiknya. Ia belum melepaskan tautan jemari mereka.
"Dark chocolate," jawab Jen seraya membuang muka.
"Dark chocolate satu," kata Boy. Ia lantas merogoh ke dalam saku training dan mengeluarkan uang pecahan ribuan. "Satu ... dua ..."
Tingkah Boy yang sedang menghitung lembaran uang pun membuat Jen diam-diam menahan geli. Lelaki itu memang konyol dan apa adanya.
Setelah membeli gelato, Boy dan Jen melanjutkan perjalanan mereka. Dengan wajah berseri Jen menyuap sesendok demi sesendok es ke dalam mulut. Ia sangat suka sensasi dingin bercampur manis yang sekarang memanjakan lidahnya. Apa lagi gelato tidak mudah meleleh seperti es krim.
"Kamu pulang jam berapa?" tanya Boy.
"Aku di-booking sampai besok."
"Lapar nggak?" tanya Boy lagi. "Kita beli mie instan terus masak di apartemen, yuk."
Jen mengangguk. "Boleh."
Mereka kemudian masuk pada minimarket untuk berbelanja. Jen mengekori Boy dari belakang, ia melirik macam-macam merek mie instan pada rak gondola.
"Aku ambil mie ini, ya?" Jen meraih sebungkus mie instan bertuliskan Bibim Ramyun. Merek itu merupakan salah satu produk keluaran Busaraya Group atau PT. Busan-Raya.
"Jangan yang itu." Senyum Boy mendadak pudar. Ia mengambil mie lain dan menunjukkannya pada Jen. "Yang ini aja, ya."
***
Jen dan Boy duduk bersila pada balkon seraya memandangi langit malam yang makin berpendar. Udara menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Suara deru kendaraan yang lalu lalang pun tak lagi seramai tadi. Sudah sangat larut.
Mereka memutuskan menghabiskan mie instan di luar. Suara berisik dari dalam kamar cukup mengganggu selera makan keduanya.
Cecilia memang hebat - atau gila? Wanita itu betah melakukan persetubuhan hingga berjam-jam. Andai Jen Nera ada di sana dan tak diusir, dia mungkin sudah pingsan. Ternyata tidak ada pekerjaan yang mudah. Bahkan wanita BO sekali pun.
"Kenapa manyun? Masih lapar?" celetuk Boy.
Jen menggeleng. "Aku hanya memikirkan soal kedatanganku malam ini. Teman-temanmu pasti tak akan membayarku."
Boy terdiam.
"Salah satu dari mereka bilang besok mau mengajakku main. Kurasa dia yang bernama Vincent. Vincent itu pimpinan geng kalian, ya? Dia sedikit bossy dan terlihat ditakuti."
"Kamu memang hobi menebak dan membuat kesimpulan sendiri, ya, Je?" Boy meringis kecut.
Jen Nera tak peduli. "Kuharap permainannya tak seliar saat dengan Sesil. Paling tidak aku mendapatkan separuh dari bayaran yang dijanjikan kalau dia mengajakku bercinta. Hmm - seperempatnya pun tidak masalah," lanjutnya.
"Berbohong saja pada mereka bahwa barusan kita baru saja bercinta," kata Boy. "Bukankah mereka memang mengutus kamu dan temanmu untuk memuaskanku."
Jen menggeleng. "Terima kasih tapi tidak. Aku harus profesional. Dan lagi, aku merasa bersalah pada Sesil. Ia terpaksa melayani mereka bertiga sendirian. Jadi, besok harus menjadi giliranku."
Jen lantas menyandarkan punggung pada dinding. Ia menguap lebar karena kantuk. Waktu memang sudah lewat tengah malam.
"Bolehkah aku tidur di sofa malam ini, Boy?" tanya Jen. "Aku sangat mengantuk.
Boy mengurung Jen dalam dua bola mata pekatnya. Ia tidak mengalihkan pandangan sedetik pun. Raut Boy berubah tajam seperti busur panah yang siap melesat.
"Jangan di sofa, Je," sahut Boy. Suaranya terdengar berat. "Tidurlah bersamaku."
04. Intimacy
Jen Nera mungkin mengantuk, tetapi ia masih memiliki kesadarannya.
Boy bilang enggan bercinta jika bukan dengan wanita yang disayangi. Lihatlah sekarang - mereka belum sehari bersama dan lelaki itu sudah mengubah ideologinya. Jen Nera pun tersenyum kecut.
"Jadi sekarang kamu tertarik bercinta denganku?"
Boy menggeleng cepat. "Jangan salah paham! Maksudku kamu bisa tidur di kamarku. Tak perlu tidur di sofa!"
"Oh?" Jen Nera gantian terhenyak. "Serius?"
"Iya. Yuk!" Boy bangkit dan membuka pintu balkon. Ia menunggu Jen masuk mendahului.
Dengan pelan, Jen Nera pun melangkah ke dalam - entah kenapa jantungnya mendadak berdebar. Padahal Boy cuma membukakannya pintu, kenapa dia harus tersipu segala? Bodoh.
"Hei, sudah tak ada suara dari dalam kamar," bisik Jen.
"Mungkin mereka tertidur," sahut Boy ikut memelankan suara.
Jen Nera menyeringai jahil. "Mau mengintip?" tawarnya.
"Jangan ngawur! Bagaimana kalau mereka ternyata masih bangun!" tahan Boy waswas.
"Ah, dasar penakut!" cibir Jen.
Boy mendengkus. "Hei, seseorang yang diusir dari kamar karena kurang pengalaman sebaiknya jangan sok-sokan menghinaku, ya!" balasnya.
"Sialan." Jen Nera mendecih. Ia mengerucutkan bibir seraya mengurungkan niat untuk mengintip ke master bedroom.
Boy mengulum senyum. Wajah Jen saat cemberut sungguh menarik dan menggemaskan.
"Baiklah." Boy menggandeng Jen. "Ayo kita lihat mereka. Biar aku yang di depan."
Jen Nera mengangguk. Sial. Lagi-lagi Boy memegang tangannya tanpa izin.
Mereka berdua lalu mengendap-endap mirip pencuri. Setibanya di depan pintu kamar, dada Jen bergemuruh kencang. Ada ketakutan sekaligus penasaran menggelitik perasaannya.
Secara hati-hati, Boy pun mendorong daun pintu dan membukanya sedikit. Netra lelaki itu terbelalak.
"Holy shit! Apa itu darah?!"
Jen Nera membekap mulut Boy. Ia menggeleng. "Itu anggur! Diamlah, Bodoh!"
Boy memegang dada seraya bernapas lega. Rasanya kepalanya pening karena sempat mengira cairan merah itu merupakan darah.
Di sisi lain - Jen Nera menelisik dengan matanya yang lentik. Ia terperangah melihat Cecilia tidur pulas di antara tiga lelaki. Dan mereka masih bugil tanpa busana. Benar-benar gila. Jen harus banyak belajar dari Cecilia. Dibanding temannya itu, dia tak ada apa-apa.
"Je, yuk."
Boy menarik lengan Jen. Ia mengantar wanita itu menuju ke kamar yang berada di samping ruang tengah. Ukuran ruangan itu memang tak seluas master bedroom, tetapi masih tergolong mewah.
"Ini kamarmu selama di sini?" Jen Nera berdecak. "Enak sekali hidupmu, Boy. Dapat fasilitas VIP dari teman-temanmu yang kaya raya."
Boy terkikik geli. "Sudah sana tidur."
"Kamu ke mana?"
"Aku akan tidur di kamar pembantu atau di sofa. Nighty, Je." Boy bersiap keluar kamar dan menutup pintu.
"Boy!" panggil Jen Nera.
Boy pun menoleh. "Huh?"
"Ranjangnya cukup besar untuk kutempati sendirian." Jen menepuk matras seraya tersenyum. "Tidurlah di sini juga. Aku sedikit takut sendirian."
"Ta-tapi ..."
"Please," bujuk Jen. Tatapannya mengiba bak anak kucing yang baru berumur tiga bulan.
Boy pun urung keluar. Ia melangkah masuk dan menutup pintu kamar. Lelaki itu menelan saliva - malam ini mungkin akan terasa panjang baginya. Ia masih normal dan Jen Nera merupakan wanita cukup menarik hatinya. Berada dalam satu ranjang yang sama? Oh, Boy tak yakin bisa menidurkan 'adiknya' yang meronta-ronta di bawah sana.
***
Boy melamun memandang ke arah eternit.
Ia sudah memadamkan seluruh penerangan, kecuali sebuah lampu tidur yang terletak di atas nakas. Sinar lampu berwarna amber seharusnya cukup membuat Boy mengantuk. Namun keberadaan Jen Nera membuat semua mustahil.
Sudah sepuluh menit berlalu sejak Jen pamit ke kamar mandi. Dia tak kunjung kembali. Apa sudah menjadi kebiasaan wanita untuk berlama-lama di toilet? Entahlah.
Penantian Boy akhirnya berakhir ketika pintu kamar terbuka. Jen masuk seraya menenteng dua botol soju yang tampaknya ia ambil dari kulkas. Ia mengulum senyum dan bergegas menutup rapat ruangan. Tidak - tak hanya menutup, Jen juga menguncinya.
"Boleh aku minta ini?" tanya Jen.
Boy cekikikan. "Aku lihat itu sudah terbuka, terus ngapain minta izin?"
"Satunya buat kamu," kata Jen. Ia duduk di samping Boy dan menyodorkan sebotol.
Boy menggeleng. "Aku tidak suka soju merek itu," tolaknya.
"Kenapa? Bagiku soju punya Busaraya yang paling enak." Jen menautkan kedua alis. "Ya sudah, kalau begitu akan kuhabiskan dua-duanya."
"Silakan."
Boy merebahkan kepala ke atas bantal. Ia memandangi tingkah laku Jen yang sibuk sendiri. Wanita itu meneguk fermentasi beras sambil memainkan ponsel. Sesekali Jen tersenyum sendiri ketika menggulir layar gawai. Hal yang membuat Boy ikut tertular tawa.
"Kamu bilang kamu mengantuk."
Jen mengangguk. "Memang. Tapi setelah cuci muka, ngantukku ilang sedikit." Ia dengan santai meraba bagian punggung untuk melepas kaitan bra. Tanpa lama, wanita itu sudah merogoh pelindung dadanya dan melepaskannya.
"Ngapain kamu?!" sergah Boy panik.
Jen melempar bra-nya sembarangan. "Tidur nggak enak pakai BH."
"Ya tapi kok ngelepasnya di depanku!" Boy memalingkan muka yang memanas.
Jen justru terpingkal. "Idih, kenapa? Masa belum pernah lihat bentuknya BH? Di mal, kan, banyak toko jualan BH." Ia lalu memicingkan mata. "Oh, atau jangan-jangan ... kamu enggak pernah lihat boobies, ya?" godanya.
"Pernahlah," sanggah Boy.
"Ya-ya, tahu. Pasti tetek dari 'wanita yang kamu sayang', ya, nggak?" ledek Jen Nera terkikik geli.
Jen meletakkan botol soju pada nakas, dengan santai ia ikut berbaring di samping Boy. Lelaki itu melirik sepintas - tergoda menatap bagian dada Jen yang hanya berbalut tanktop. Meski remang, ia masih bisa menangkap bayangan pucuk dada Jen yang menonjol. Pemandangan yang berhasil membangkitkan desir kelelakiannya.
"Kamu bilang kamu bukan keturunan Tionghoa, terus apa?" tanya Jen Nera.
Boy memiringkan badan menghadap Jen. "Bukannya kamu ahli menebak, Miss Gengsi Dong?" godanya.
"Berhenti memanggilku begitu." Jen mendengkus. Ia tengkurap seraya bersangga pada kedua lengan. Kemudian menyorot Boy lekat-lekat.
"Kakekku asli Korea," jawab Boy.
"Utara?" Jen meraba pipi Boy yang nyaris tanpa jerawat.
Boy membiarkan jemari lentik Jen membelai tiap jengkal wajahnya. "Barat Daya," sahutnya.
"Serius!" Jen melotot kesal.
"Selatanlah, Je. Korea Selatan." Boy terbahak.
Jen Nera menuruni hidung Boy yang bertulang tinggi dan ramping . "Ah, pantas hidungmu mancung."
"Apa hubungannya?"
"Bukannya orang Korea semuanya operasi plastik. Jadi ini hasil tangan dokter juga, ya? Apa isinya?" cecar Jen Nera.
"Sandal jepit." Tawa Boy kembali pecah. "Kamu kebiasaan, ya, membuat asumsi sendiri dan mempercayainya."
"Jadi mukamu asli? Bukan plastik?"
"Menurutmu?" Boy berbalik tanya.
Jen mengendikkan bahu. "Entahlah." Ia menjatuhkan kepala pada bantal. "Kupikir semua blasteran pasti kaya, ternyata ada juga yang miskin sepertimu."
"Kenapa kalau aku miskin? Kamu tidak suka?" selidik Boy.
Jen Nera mengangguk. "Aku tidak suka."
"Kenapa? Apa kekayaan atau uang sangat penting bagimu?"
"Sangat," jawab Jen. "Uang bisa membeli segalanya. Mengubah segalanya. Dan uang tak pernah mengkhianatimu."
Boy mendesah berat. "Jadi kamu tidak mau berteman denganku karena aku miskin?"
"Kata siapa? Aku mau berteman denganmu." Jen mengulas senyum. "Tapi tidak lebih."
Boy dan Jen Nera saling berpandangan cukup lama. Dari jarak yang cukup dekat, Jen sadar kalau Boy memiliki fitur wajah yang cukup tampan. Bibir lelaki itu tampak merona merah - menggoda seperti gelato strawberry.
Sayang dia kere.
"Tidurlah, Je," kata Boy memecah hening.
"Kamu sungguh tak mau bercinta denganku?" tanya Jen.
Boy menelan saliva. "Kenapa?" Ia berbalik tanya.
"Teman-temanmu yang akan membayar, kan? Sayang sekali kalau kamu tidak memanfaatkannya," ujar Jen.
Boy menarik selimut untuk menutupi tubuh Jen Nera. "Tidurlah. Ini sudah larut."
Saat Boy hendak menghadap ke arah berlawanan - Jen Nera menahan lengannya. "Kamu lelaki yang sangat menarik, Boy" ucapnya. "Kurasa kita benar-benar bisa menjadi teman."
***
Toktoktok!
"Boy? Kamu di dalam?!"
Secara bersamaan Boy dan Jen membuka mata mereka yang masih lengket. Gedoran pada pintu kamar membuat keduanya terkejut bukan main.
"Boy, buka pintunya. Apa pelacur itu bersamamu? Je?"
Jen Nera melotot. "Itu suara si lelaki menyeramkan. Apa dia Vincent?" bisiknya.
"Ssh! Sudah kubilang jangan sebut namanya." Boy meletakkan telunjuk di depan bibir.
Jen Nera pun menuruni ranjang seraya merapikan rambut.
"Kamu mau ke mana?" sergah Boy.
"Ke luar. Ini saatnya bagiku bercinta dengan mereka. Sudah kubilang, kan?" sahut Jen Nera.
Boy mendengkus. "Kamu sungguh mau melakukan itu, huh?"
"Tidak ada pilihan lain ..." Jen Nera tertunduk. Ekspresinya jelas menyiratkan kegamangan mendalam. "Aku ke mari memang untuk bekerja."
"Jangan ke mana-mana dan bukalah semua pakaianmu," titah Boy.
Kedua alis Jen Nera saling bertautan. "Kenapa?!"
"Boy! Buka pintunya!" Vincent kembali berteriak.
Boy menyibak selimut dan menyingkap kaos yang ia kenakan. Menampilkan barisan otot perut yang tersusun liat bak roti sobek. Lelaki itu lantas kembali melotot ke arah Jen Nera.
"Now, Je! Remove your clothes!"
05. Harder
Jen Nera melakukan apa yang Boy perintahkan. Ia melepas tanktop dan mini skirt yang membalut tubuh langsingnya. Terakhir — Jen pun melucuti celana dalam hitam yang ia kenakan.
Boy bergeming.
Kedua iris obdisian lelaki itu terpatri pada sosok Jen yang tanpa sehelai benang.
Dua buah dada berisi dan padat menggantung sempurna. Pucuk yang berada di tengah tampak sudah menegang. Perut Jen Nera juga sangat datar — seolah tak ada lemak yang berani menempel di sana. Lalu ... turun ke bawah, Boy bisa melihat jelas area intim milik Jen. Kewanitaannya mengintip malu dari balik rambut tipis yang sengaja dipotong rapi. Kedua lipatan membentuk garis yang menyembunyikan liang persenggamaan.
Cantik – Je luar biasa sempurna.
"Boy!" teriak Vincent membuyarkan kekaguman Boy.
Boy bergegas memelorotkan training. Ia menyisakan boxer hitam yang menutup kelelakiannya.
"Tidurlah di ranjang, Je. Tutupi tubuhmu dengan selimut. Aku akan membuka pintu kamar sekarang." kata Boy.
Jen Nera mengangguk. Ia menuruti semua titah dari Boy. Meski belum tahu apa tujuannya.
Boy kemudian membuka pintu kamar. Berpura-pura menguap seakan baru saja terbangun dari tidur nyenyak.
"Lama amat, sih, Boy!" sungut Vincent. Ia memanjangkan leher untuk mengintip ke dalam. "Ah! Benar dugaanku, Je ternyata bersamamu."
"Bukankah dia memang datang untukku?" sahut Boy.
Vincent tersungging sambil mengerutkan dahi. "Tunggu dulu?" gumamnya. "Jadi kamu sudah menidurinya?"
Boy mengangguk.
Tawa Vincent pecah. "Kamu bilang tidak berminat, huh!" Ia merangkul pundak Boy dan mengacak-acak rambutnya.
"Aku berubah pikiran. Semalam kami sudah bercinta," ujar Boy penuh kebohongan.
Raut Vincent masih ragu. Ia berjalan menghampiri Jen Nera yang masih terbaring pada ranjang. Lelaki itu lantas menarik selimut yang menutup, ia pun lalu tersungging sambil memandangi tubuh telanjang Jen. Boy serius dan tak berdusta belaka.
"Oh! Kalian benar-benar bercinta rupanya!" kelakar Vincent. "Kupikir kamu cuma pemula tak berguna, Je. Ternyata kamu justru berhasil membujuk seseorang berhati batu seperti Boy." Ia menepuk pipi Jen Nera dengan penuh kepuasan.
Jen Nera meringis. "Ya, begitulah," sahutnya.
Vincent menaikkan masker medis yang sedikit melenceng akibat terbahak. Ia lantas kembali mengalungkan sebelah lengan ke pundak Boy.
"Bagaimana? Menyenangkan, bukan, bermain dengan wanita?" selidiknya. "Segala kesedihan dan rasa penat mendadak lenyap berganti dengan pikiran yang lebih segar."
"I-iya," kekeh Boy terpaksa.
Vincent lantas membisik. "Jadi kamu tak akan lagi membantah dan berselisih paham denganku, Boy?"
"Tidak." Boy menjawab pelan.
"Bagus!" Vincent kembali terbahak. "Nah, bagaimana kalau sekarang kita orgy sebelum Sesil dan Je pulang?" tawarnya.
Boy dan Jen Nera kompak terbelalak.
"Hmm, soal itu," sanggah Boy. "Bisakah aku memakai Je untukku sendiri?"
Vincent terdiam. Ia menyilangkan tangan seraya memandang Boy dan Jen Nera secara bergantian.
"Oh, jadi kamu mau berhubungan intim lagi dengannya sekarang tanpa kami semua?"
Boy menarik kedua sudut bibir ke atas hingga membentuk lengkungan. "Yes, correct," sahutnya. Ekspresi senyumnya lebih mirip seseorang yang menahan sakit perut.
Vincent menepuk punggung Boy. Ia lalu berjalan ke arah ambang pintu.
"Aku suka dirimu yang baru, Boy. Lakukanlah semaumu." Ia menyeringai. "Enjoy."
Boy mengembuskan napas lega dan menutup pintu kamar. Ia memastikan pintu itu sudah terkunci rapat agar Vincent tak mudah masuk.
"Kenapa kamu berbohong, Boy?" Jen Nera menatap Boy dengan sorot mata yang kelam.
"Karena aku tahu kamu tak begitu nyaman meladeni mereka," jawab Boy.
"Ya, tapi kenapa? Kita baru saja saling mengenal kemarin. Dan kamu tahu kalau pekerjaanku adalah sebagai wanita panggilan."
Mereka beradu pandang tanpa suara. Jen Nera pun mendadak gentar ketika harus melihat senyum ramah yang timbul dari bibir Boy. Ia tersengat oleh cara lelaki itu memandangnya.
"Bukankah kita teman, Je. Teman seharusnya saling membantu," kata Boy.
"Boy?"
"Aku mungkin miskin dan tak bisa membantumu soal uang. Tetapi paling tidak aku bisa membantumu dengan berbohong."
Jen Nera memalingkan muka. Ia lantas menuruni ranjang dan berdiri. Wanita itu mengekspos tubuh telanjangnya di depan Boy tanpa ragu.
"Aku sangat menghargai bantuanmu, Boy." Jen berjalan mendekati Boy yang mematung bak bongkahan batu.
Boy memundurkan langkah hingga merapat pada daun pintu. Ia terbengong oleh penampilan Jen Nera yang begitu menggoda.
"Pakai bajumu, Je." Boy memalingkan wajah.
Jen Nera menggeleng. Ia menengadah sambil mengamati wajah Boy yang berjarak kurang dari sejengkal. Jemari wanita itu lalu meraba-raba 'sesuatu' yang terletak di antara kedua paha Boy. Bagian intim itu sudah mengeras.
"Jangan berbohong, Boy. Kamu menginginkannya, kan?" Jen menyeringai. "Milikmu sudah bangun."
"Manusiawi kalau punyaku udah bangun. Tapi bukan berarti aku harus melakukannya denganmu." Boy mengelak.
Jen Nera meringis. "Siapa bilang kita akan melakukannya? Aku hanya ingin membantu menidurkannya kembali." Ia meremas kejantanan Boy yang masih tertutup boxer.
"Ma-maksudmu?" Boy tersentak.
"Maksudku kita tak akan bercinta." Jen Nera mencumbu dada bidang Boy, lalu mengembuskan napasnya yang hangat ke kulit lelaki itu. "Anggap saja balasan dari kebaikanmu tadi. Bantuan kecil antara sesama teman. Asal kamu tahu, aku sangat benci punya utang budi."
Rahang Boy mengeras. Ia sekuat tenaga menahan erangan dalam tenggorokan. Sentuhan Jen pada miliknya membuat Boy tak berkutik lagi. Mengakibatkan sekujur tubuh berubah memanas akibat rangsangan hebat. Boy masih normal. Bagaimana mungkin ia tak tegak kalau disuguhi apa yang Jen Nera tawarkan? Nafsu purba pun seketika menguasai, mengalahkan logika atau idealisme.
"Je, apa yang kamu inginkan?" Suara Boy serak dan berat.
"Aku akan mengeluarkannya dengan mulutku. Apa itu termasuk bercinta bagimu?" goda Jen.
"Ehmh ..." Boy mendesah. Ia hanya bisa menggeram parau ketika Jen menyelinapkan jari-jari ke dalam celana pendeknya.
"Kuanggap ini persetujuan." Jen Nera pun berjongkok.
Ia lalu menurunkan boxer Boy ke bawah. Spontan — milik Boy melonjak keluar dan teracung sempurna. Mengangguk-angguk seolah tak sabar ingin dijamah. Begitu panjang dan besar. Ukuran yang membuat Jen Nera menahan keterkejutan.
Jen tak mau menunggu berlama-lama. Ia lantas membasahi milik Boy menggunakan saliva; menggerayangi lidah pada tiap inci kejantanan itu, bermain-main di sana.
Untuk segala sentuhan yang Jen beri, napas Boy pun memberat. Lelaki itu menundukkan kepala untuk menyaksikan perbuatan Jen Nera di bawah sana. Semakin ia saksikan, gairah Boy makin menyala-nyala. Ia akhirnya pasrah dan membiarkan Jen mengulum adiknya menggunakan mulut.
Pikiran Boy tak lagi jernih, kini ia hanya menginginkan lebih dan lebih.
Tak hanya bibirnya, tangan Jen Nera beralih mengurut kejantanan itu. Sesuatu yang memabukkan apa lagi milik Boy sudah sangat licin oleh saliva. "Kamu suka, Boy?" tanya Jen. "Cum for me."
Kenikmatan menguasai hingga ke atas ubun-ubun. Boy lantas menyentakkan pinggul agar batangnya semakin menerobos masuk. Mengingat ukuran miliknya, ulah Boy berhasil membuat Jen Nera hampir tersedak. Kejantanan itu telah mencapai batas tenggorokannya.
Pijatan Jen makin liar, basah, dan memabukkan. Kombinasi sempurna dari isapan mulut wanita itu pun kian menambah gelenyar kenikmatan bertubi yang Boy rasakan. Pertahanan lelaki itu koyak ketika ia akhirnya mengejan dengan rahang yang mengeras.
Cairan kental lantas menyembur dari milik Boy yang telah meraih klimaks. Terlalu banyak hingga meleleh tumpah memenuhi wajah Jen. Jatuh meleleh dan menetes pada gundukan Jen yang montok.
Jen Nera tersenyum.
"Sekarang kita impas," katanya. "Aku tak lagi berutang budi padamu."
"Belum," kilah Boy. "Ini belum impas, Je." Ia mengatur sisa napas yang masih tersenggal. "Sama sepertimu, aku pun tak suka berutang budi pada siapa pun."
"Maksudmu, Boy?" Jen mengernyit. Kali ini ia yang gantian bingung sendiri.
Boy menarik lengan Jen agar berdiri.
Ia lalu menuntun Jen agar terbaring ke atas ranjang. Sorot Boy tak lagi sama, tak lagi ramah dan hangat seperti sebelumnya. Lelaki itu memandang Jen melalui iris pekat yang mampu mengintimidasi siapa pun.
"Kamu juga harus keluar sepertiku. Baru kita impas."

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
