
"Berselingkuh itu salah. Pelakunya adalah orang yang hina dan berdosa."
Hidup Amara Senja serasa hambar dan tidak bermakna. Pernikahan yang ia jalani bukanlah sebuah pernikahan yang membahagiakan. Semua berubah saat Amara diminta oleh Keenan - sang Bos pemilik perusahaan tempat suaminya bekerja - untuk menjadi guru seni anaknya.
Seiring pertemuan mereka, cinta mulai bergejolak dalam hati Amara dan Keenan. Mampukah Amara dan Keenan menghilangkan rasa itu? Atau malah terjatuh dalam gairah terlarang ...
Khusus 21+
11. Debaran Terlarang
Amara keluar dari bathroom setelah mencuci mukanya yang sembab. Bastian benar-benar tidak pulang semalaman. Apakah pekerjaan suaminya tak bisa ditunda hingga ia harus tidur di kantor? Segudang keganjilan menggelitik nurani Amara. Namun, sebagai istri yang bergantung baik finansial mau pun perasaan, tak ada yang bisa ia lakukan selain bersabar.
Sayup-sayup ia pun mendengar suara ketukan pada pintu utama rumah. Apa Bastian lupa membawa kunci sampai harus mengetuk segala?
"Iya, sebentar, Mas!" seru Amara.
Ia pun berlari menuruni tangga tanpa memedulikan pakaian yang ia kenakan. Camisole tipis di atas paha yang menampakkan lekuk tubuhnya dengan jelas.
"Kamu nggak bawa kunci Ma---" Kalimat Amara terhenti. Kedua mata wanita itu terbelalak karena menemukan itu bukan Bastian. "Pak Keenan?"
"Pa-pagi, Miss Amara." Keenan pun terlihat sama terkejutnya.
Amara buru-buru menyembunyikan badan di balik daun pintu. "Ada perlu apa, ya, Pak, pagi-pagi begini?" tanyanya.
"Maaf karena saya tiba-tiba datang sepagi ini." Keenan berdeham untuk menetralisir salah tingkah. Bagaimana tidak! Amara tampil dengan gaun tipis yang berhasil membuat birahinya melesat! "Ini soal privat Julie."
"Julie?" Amara berkernyit. Ia masih mengintip dari balik pintu.
"Hari ini dia tidak bisa les karena ada kepentingan keluarga," terang Keenan.
"Oh begitu ..." gumam Amara. "Baiklah. Tidak masalah."
"Ehm, saya pikir ingin mengganti harinya jika Miss tidak keberatan ..." ujar Keenan.
Amara yang merasa tingkahnya tidak sopan, buru-buru membuka pintu untuk bos suaminya itu.
"Bapak mau masuk dulu?" tawarnya.
"Ba-baiklah." Sial! Keenan merutuki kebodohannya --- seharusnya aku menolak. Ia pun melangkah canggung melewati pintu masuk.
"Silakan duduk dulu, Pak." Amara menutup area dada menggunakan tangan. Tapi sia-sia, paha mulus wanita itu terekspos jelas.
Keenan tertunduk. Ia berusaha membuang muka dari visual seksi di dekatnya. "Okay," sahut lelaki itu.
"Saya permisi sebentar ke atas."
Amara melangkah gesit menaiki anak tangga. Ia tidak sadar bahwa ulahnya justru menyingkap bagian belakang roknya yang tipis. Wajah Keenan pun memerah --- celana dalam berwarna peach --- tertangkap oleh pandangan.
Ia memutuskan duduk pada tempat terdekat. Dan berusaha melupakan apa yang baru saja ia lihat. Meski sulit.
Tak lama, Amara turun. Ia sudah mengenakan robe untuk menutupi kemolekan.
"Bapak mau minum sesuatu? Teh? Kopi mungkin?"
Keenan menggeleng. "Tak perlu repot, Miss." Ia menelisik suasana rumah yang sepi. "Ke mana Pak Bastian? Apa sedang bersiap ke kantor?"
"Mas Bastian, 'kan, lembur, Pak." Amara mendadak berkernyit. "Bapak tidak tahu soal itu?"
"Lembur? Sampai tidak pulang?" Keenan berbalik tanya.
"Bapak tidak ... tahu?" Mimik muka Amara memucat. Ketakutan menjalar menyerang sekujur relungnya. Apakah Bastian berbohong?
"Soal itu ..." Keenan menangkap ekspresi gusar yang tersirat. "Saya belum lama pindah ke kantor cabang di sini. Jadi, belum tahu betul kebiasaan para karyawan."
"Oh begitu," gumam Amara pelan.
Keenan merasa serba salah. Akibat ketidak-tahuannya, Amara bisa saja berpikiran negatif tentang suaminya.
"Jadi, soal privat Julie, bagaimana, Pak?" lanjut Amara.
"Ehm, saya berpikir untuk mengganti harinya di Sabtu besok. Apa Miss tidak keberatan?"
"Sabtu?" Amara berpikir sejenak.
"Saya paham itu adalah hari libur. Mungkin sebaiknya Miss konsultasikan dulu dengan Pak Bastian. Saya tidak ingin mengganggu waktu keluarga kalian."
Amara mengangguk. "Baik, Pak."
"Kalau begitu saya pamit." Keenan bangkit dari sofa dan bersiap pergi. Terlalu lama berdua dengan istri orang akan membuat pikirannya makin berantakan.
Amara ikut berdiri untuk mengantar Keenan sampai ke depan pintu. Wanita itu tak banyak bicara lagi. Namun heningnya Amara, justru membuat perasaan Keenan tak karuan. Bayangan sosok molek tadi sungguh terpatri dalam memori.
"Permisi, Miss." Keenan tersenyum.
Amara membungkukkan badan demi kesopanan. "Hati-hati, Pak," sahutnya.
Sial. Sial. Sial!
Keenan mencaci dalam hati. Wanita itu lagi-lagi mempertontonkan buah dada yang mengintip dari balik lipatan robe. Dengan terburu-buru, Keenan pun menaiki Rubicon-nya dan secepat kilat tancap gas.
Bastian --- sungguh sangat-sangat mujur!
***
Amara baru saja hendak kembali naik ke lantai atas saat sosok Bastian muncul tanpa dosa memasuki rumah. Lelaki itu terlihat santai memainkan ponsel pada tangannya.
"Mas!" seru Amara. "Kamu kok tidak pulang semalaman?"
Bastian mendengkus dan melempar tas kerjanya sembarangan.
"Udah kubilang, kan, aku lembur." Ia merebahkan tubuh ke atas sofa. "Suami lagi capek baru pulang kerja, ambilin air minum kek ..."
Amara sigap ke dapur dan menuang segelas air mineral pada gelas. Ia pun memberikannya pada Bastian.
"Jadi kamu semalaman di kantor?" tanya Amara pelan.
Bastian menerima pemberian Amara dan meneguknya secara impulsif. "Ya. Di mana lagi emang? Ini aja pulang cuman buat mandi dan ganti baju. Setelah itu balik lagi ke kantor."
"Ya ampun, Mas." Amara lantas duduk di sebelah Bastian. "Kamu pasti lelah." Ia meraih lengan sang suami dan memijatnya.
"Beginilah." Bastian mengembuskan napas panjang. "Tapi gimana lagi, namanya juga kerjaan."
"Ehm, ngomong-ngomong ... Pak Keenan barusan ke sini," terang Amara.
Bastian terbelalak sambil menegakkan punggung. "Hah?" pekiknya. "Serius kamu? Mau ngapain dia ke sini?"
"Dia datang untuk me-reschedule les anaknya. Katanya dia nggak ke kantor hari ini, makanya mampir langsung. Dia juga tanya apa aku bisa ganti harinya jadi hari Sabtu."
"Terus kamu jawab apa?" cecar Bastian.
"Belum jawab, Mas. Pak Keenan suruh tanya kamu dulu. Barangkali kita ada acara keluarga," ujar Amara.
Bastian refleks mendecih. "Alah! Gimana, sih, kamu itu? Langsung iyakan aja, dong, harusnya."
"Biar bagaimana pun aku harus izin kamu dululah, Mas. Siapa tahu kita keluar liburan besok."
"Sabtu besok aku ke Malang," sergah Bastian.
"Malang? Sama siapa, Mas?" buru Amara.
"Reuni temen-temen kampus. Minggu paling udah pulang. Kamu ngajar aja di rumah Pak Keenan. Ingat, Mara, kamu punya andil besar, lho, untuk bikin aku akrab sama dia!"
Amara tertunduk gusar. Kenapa dia jadi harus ikut campur soal urusan pekerjaan Bastian? Dia cuma guru les putri bos suaminya. Tak lebih.
"Emang aku ngga kamu ajak hari Sabtu besok? Aku juga kepingin jalan-jalan ke Malang, Mas. Sudah lama nggak ke sana," kata Amara.
Bastian mengibaskan tangan. "Nggak usah ikut. Aku di sana cuman sama temen-temen deket doang. Cowok semua. Nggak ada yang bawa istri. Kalau kamu ikut, suasana malah jadi canggung."
"Tapi ..."
"Udahlah, Mar." Bastian sigap menyela. "Kamu mending turuti permintaan Pak Keenan aja. Profesional dalam pekerjaan!"
Amara mengatupkan bibir. Bastian selalu mengabaikan keinginannya.
"Terus tadi kamu nggak menyuguhkan dia sarapan atau apa gitu?" selidik Bastian lagi.
Amara menggeleng.
"Tidak, Mas. Kurasa, dia juga canggung karena tahu kalau hanya berdua saja denganku. Aku pun tak bicara banyak sebab kamu ngga ada di rumah," terang Amara.
Tawa Bastian mendadak meledak. Ia terpingkal seraya menelisik Amara dari atas ke bawah. "Maksud kamu? Pak Keenan bakal nafsu gitu sama 'ibuk-ibuk' macam kamu? Jangan bercanda, deh, Mara! Jangan kepedean."
Kedua alis Amara berkernyit. Ada saja cara Bastian untuk menyakiti hatinya lewat sikap mau pun perkataan.
"Meski Pak Keenan duda, dia juga milih-milih perempuan. Mana mungkin mau sama kamu yang berantakan begini!" Bastian berusaha menghentikan tawa. Ia lalu bangkit dari duduk dan melangkah menaiki tangga. "Udah, ah. Aku mau mandi dulu!"
Lelaki itu lantas melenggang pergi meninggalkan Amara yang terluka dan sakit hati.
***
Sedari pagi Amara sudah memasak berbagai hidangan sedap untuk dibawa ke kediaman Keenan. Amara membuat nugget ayam sehat tanpa MSG, nasi goreng, dan rolade untuk diberikan pada Julie. Sementara hidangan Lontong Tuyuhan ia siapkan khusus untuk Keenan.
Lontong Tuyuhan adalah salah satu makanan khas Rembang, bentuknya mirip opor ayam. Namun, berbeda dengan opor pada umumnya, masakan ini memiliki cita rasa pedas yang berasal dari jintan, kemiri dan bawang. Bentuk lontongnya juga unik, berupa segitiga. Kuah santan yang gurih berisi jeroan ayam, daging ayam kampung, dan tempe yang dipotong kecil-kecil. Amara berharap Keenan dan Julie menerima baik sajian yang sudah ia persiapkan.
Senggang dan bosan membuat Amara berinisiatif membawakan suami bosnya makanan. Yah ... hitung-hitung demi mengakrabkan diri --- seperti permintaan Bastian.
Ada sedikit kesedihan bersarang dalam relung wanita itu. Lagi-lagi ia harus sendiri dan kesepian di hari libur. Bastian sudah berangkat ke Malang sejak subuh. Suaminya memilih menghabiskan liburan dengan teman-temannya. Bukan Amara, istrinya sendiri.
Ia memutuskan berangkat satu jam lebih awal karena ingin Julie makan dulu sebelum kelas. Nasi goreng bukan makanan yang enak jika dingin.
***
Di depan istana Keenan --- Agya Amara berpapasan dengan Rubicon sting gray milik si bos. Kaca mobil mahal itu pun terbuka.
"Miss, kok, sudah datang?" Keenan menengokkan kepala.
Amara yang sudah memarkir kendaraan pun bergegas turun.
"Saya datang awal karena bawa makanan buat Julie. Saya harap dia cicipi dulu sebelum mulai kelas."
Dahi Keenan berkernyit. "Makanan?"
Amara mengangkat sebuah tas kain - berisi kotak-kotak makanan. "Bikinan saya sendiri." Ia meringis.
"Kok kebetulan banget?" Keenan terkekeh. "Saya baru aja mau keluar beli makan di restoran depan."
Amara tersungging karena berhasil tepat waktu. Deretan giginya yang rata terlihat akibat tersenyum lebar. Pipi wanita itu juga berubah merona merah muda. "Saya juga bawa buat Pak Keenan."
Cantik. Ini kali pertama Keenan menangkap senyum dari wajah Amara. Biasanya wajah guru les anaknya itu selalu muram nyaris tanpa tawa. Sinar matahari yang menerpa rambut legam dan kulit sawo matang Amara --- seolah mempertegas paras ayunya.
"Kalau gitu, Miss silakan duluan, deh. Saya masukkin mobil dulu." Keenan mengerjapkan mata demi menghalau pikiran terlarang. Itu istri orang!
***
Ternyata --- Amara setia menanti Keenan di depan teras. Keberadaan wanita itu semakin hari semakin mengusik detak jantung si duda.
"Lho, kok, nggak masuk?" tegur Keenan.
"Bareng saja sama Bapak," sahut Amara.
Keenan pun berjalan masuk menyusuri foyer kediamannya yang mirip lobi hotel. Tampilan lelaki itu cukup santai --- polo shirt yang dipadankan celana khaki.
"Setiap hari Sabtu dan Minggu, tukang masak memang libur. Cuma ada Bi Santi dan Febi. Tapi mereka berdua tidak bisa masak," kata Keenan memecah hening. Bakal janggut pada wajahnya terlihat lebih lebat dari biasa. Penampilan sedikit berantakan malah membuat Keenan semakin macho dan maskulin.
Amara mengangguk. "Oh gitu. Semula saya ragu membawakan masakan buatan sendiri. Takut tidak sesuai selera Bapak dan Julie."
"Kenapa Miss repot-repot segala?"
"Kebetulan ada waktu luang dan hobi saya memang masak," sahut Amara.
"Terima kasih karena sudah meluangkan waktu untuk memasak dan datang mengajar. Saya jadi merasa tidak enak karena mengganggu waktu libur Miss dan keluarga."
Amara mengulas senyum getir. "Nggak apa-apa, Pak. Saya yang harusnya berterima kasih karena Bapak mempercayakan saya sebagai guru Julie."
Keenan lagi-lagi menangkap ekspresi gundah yang Amara selalu torehkan. Ada kesedihan terpendam yang bersarang pada wanita di sampingnya ini. Namun, Keenan terlalu takut untuk mengusik lebih jauh.
***
"Miss Amara!" Julie berlari ceria menghambur ke arah Amara. Di belakangnya, terlihat Febi mengikuti. "Kata Bi Santi, Miss bawakan Julie makanan, ya?"
Amara menyambut Julie dengan sumringah.
"Semoga Julie suka sama masakan Miss."
"Memangnya Miss masakin Julie apa?" Julia santai menggandeng tangan Amara dan berjalan menuju meja makan. "Kalau tidak enak, Julie nggak mau."
"Julie." Keenan yang sudah duduk di meja makan sontak menegur sang putri. "Kamu seharusnya berterima kasih karena Miss Amara sudah susah payah membuatkanmu makanan."
Julie mengerucurkan bibir mungilnya. "Sorry, Daddy." Ia lalu beralih memandang Amara. "Terima kasih, Miss, udah susa paya ..."
"Iya, sama-sama, Julie," timpal Amara terkikik geli.
Santi dan Febi pun muncul dari balik selasar seraya membawa troli makanan. Masakan yang tadi Amara bawa, sudah mereka pindahkan ke atas piring-piring dan mangkok. Melihat dua orang pengurus rumahnya muncul, kepala Julie menengadah untuk mengintip makanan dari Amara. Mata bocah kecil itu pun seketika membulat.
"Wih, nugget, Daddy!" seru Julie.
Keenan mengangguk seraya tersenyum tipis.
"Emang Julie boleh makan nugget? Kata Daddy nggak boleh!" celetuk Julie.
Keenan berdeham karena tingkah laku putrinya yang kelewat jujur. Sementara, Amara buru-buru menimpali pertanyaan Julie.
"Saya buat sendiri, jadi tanpa bahan pengawet ..." jelas Amara.
Santi mengulum senyum seraya meletakkan piring satu per satu. Ia senang melihat antusiasme Julie kecil yang akhir-akhir ini sulit makan.
"Silakan," ucap Santi. Setelah menyelesaikan tugas, ia bergegas mengajak Febi untuk meninggalkan ruang makan.
"Yuk, Daddy, dimakan!" Julie sigap mengambil beberapa potong nugget dan rolade ke atas piring.
Amara senang Julie menikmati masakannya. Di lain sisi, mata Keenan tertuju tajam pada Lontong Tuyuhan yang ada di dalam mangkok.
"Miss Amara yang masak ini semua?"
"Iya, Pak. Cuma masakan rumahan sederhana. Mungkin tidak sebanding sama rasa dari restoran langganan Bapak," sahut Amara. Ia lantas menyadari ke mana pandangan Keenan. "Itu namanya Lontong Tuyuhan. Makanan khas Rembang - kampung halaman saya. Cita rasa makanan ini agak pedas. Saya ingat kalau Bapak Keenan kuat dengan rasa pedas."
Keenan segera menyendokkan kuah beserta isi dari buatan Amara. Ia sangat penasaran ingin segera mencicipi.
"Gimana, Dad? Enak?" Julie sibuk mengunyah. "Kalau punya Julie, sih, enak. Miss Amara pintar masak!"
Amara tersipu. Sementara Keenan batal menyuap masuk lontong ke dalam mulut. Ia sadar Amara tidak ikut makan bersama mereka.
"Miss kenapa tidak makan?" selidik Keenan.
Amara menggeleng. "Oh tidak usah, Pak. Biar saya ke dapur saja menyusul Bu Santi." Wanita itu bangun dari kursi makan dan bersiap pergi.
"Kalau begitu, saya juga tidak akan makan lontong tutuhan ini kalau Miss Amara tidak ikut makan bersama kami," ujar Keenan.
Amara sekuat tenaga menelan tawa. Tapi usahanya gagal. Ia seketika tergelak geli. "Maaf, tapi Pak Keenan, namanya lontong tuyuhan, bukan Tutuhan."
Keenan memerah karena malu. Namun semua segannya berganti debar dari detak jantung yang bertabuh. Lelaki itu terpegun oleh paras Amara yang berkali lipat lebih cantik saat tertawa. Seutas rasa yang ia anggap sudah mati, mendadak menunjukkan binar kehidupan.
Ia pun sulit memalingkan mata dari Amara. Sungguh perasaan yang sulit ia jabarkan baik dengan hati mau pun logika.
***
12. Finger Painting
Ini adalah kali kedua bagi Keenan mencicipi olahan Amara. Masakan rumahan sederhana yang terasa enak di lidah.
Sebenarnya menu hidangan buatan tukang masak yang Keenan pekerjaan dua kali lebih rumit. Tapi, entah mengapa Keenan lebih suka masakan rumahan bikinan Amara.
"Daddy makan melulu. Suka, ya?" tanya Julie jahil.
Keenan mengangguk. "Masakan Miss Amara enak." Ia pun melirik Amara yang tersipu-sipu.
"Punya Julie juga enak." Julie mengacungkan jempok ke arah Amara. "Miss Amara kerja di sini saja gantikan tukang masaknya Daddy," selorohnya.
Keenan mendadak tersedak. "Julie!" tegurnya.
Amara hanya tersenyum simpul. Mana mungkin bisa marah atau tersinggung oleh perkataan polos anak seusia Julie.
"Maafkan Julie, Miss Amara," ucap Keenan canggung.
"Tidak masalah," sanggah Amara. "Justru saya tersanjung karena Julie suka sama masakan sederhana saya."
"Tidak hanya dia, saya pun sangat menyukai ini." Keenan beralih memuji Amara. "Pak Bastian begitu beruntung."
Tarikan melengkung pada bibir Amara memudar. Ekspresinya tertangkap jelas oleh sorot Keenan. Sebersit keganjilan kembali mengusik benak Keenan. Tiap kali ia menyinggung soal Bastian --- Amara selalu tampak sendu.
***
Selepas makan siang, Amara dan Julie pun memulai kelas seni mereka. Ia meminta izin mengadakan pelajaran di halaman rumah. Prakarya yang akan diajarkan oleh Amara berpotensi mengotori lantai.
Amara membawakan Julie sebuah kanvas dengan ukuran besar - sekitar 2 x 1 meter. Kanvas itu akan dipenuhi oleh cap telapak tangan Julie dengan warna yang berbeda-beda.
Wanita itu membeberkan trash bag di atas rerumputan. Meskipun cuaca di luar sedang terik, tetapi suasana taman begitu teduh dan nikmat oleh semilir angin. Bangunan rumah yang tinggi menjadi pelindung area hijau tempat Amara dan Julie duduk. Mereka mengambil tempat tepat pada sisi bayangan yang rindang.
Pada lain sisi lain, pohon bougenville berbunga merah muda merambat sepanjang teras gazebo. Di situlah Keenan duduk seraya memainkan tablet. Sesekali, ia mencuri pandang ke arah Julie --- atau lebih tepatnya, Amara. Wanita itu memakaikan ponco tipis untuk muridnya. Semua agar pakaian Julie tidak terkena cat.
"Sudah belum, Miss?" Julie melonjak-lonjak tidak sabar.
"Bantu Miss tuang edible paint yang Miss bawa, ya." Amara menunjuk beberapa botol air mineral ukuran 1,5 Liter yang ia bawa dari rumah.
Amara sudah mempersiapkan macam-macam warna yang ia buat sendiri dari pewarna makanan. Semua bahan-bahan Amara lihat melalui tayangan pada situs online. Mula-mula Amara mencampurkan air biasa di dalam baskom dengan bubuk tepung maizena. Kemudian wanita itu menuangkan secangkir air panas untuk mengentalkan adonan. Setelah tercampur rata dan tanpa gumpalan, barulah cairan pewarna makanan diteteskan. Masing-masing botol memiliki warna yang berbeda-beda. Mulai dari biru tua, merah, kuning, dan putih.
Julie gesit menuruti titah sang guru. Ia membawa botol-botol berisi cat menggunakan kedua tangan yang mungil. Tingkah lucu sang putri membuat Keenan tersenyum sendiri. Semenjak perceraian, ini pertama kalinya Julie terlihat bersemangat.
Dan, bukan kebetulan, Keenan lagi-lagi memergoki raut Amara yang sedang tertawa lepas. Sesekali wanita itu menyisipkan helaian rambut ke belakang telinga. Tetapi, angin lagi-lagi meniupnya berantakan. Keenan mulai berandai-andai kalau saja ia bisa menjadi angin yang menerpa pipi bersemu milik Amara.
Ah, ia pasti sudah kehilangan akal sehat!
"Boleh aku kerjakan sekarang?" tanya Julie.
Amara duduk berjongkok menyejajarkan tubuh dengan Julie. "Sebelumnya, apa Julie tau nama dari kegiatan kita sekarang?"
Julie menjawab dengan gelengan kepala.
"Ini namanya Finger Painting. Sebenarnya kegiatan ini bagus untuk balita, tapi semua usia bisa melakukannya. Kelak ketika Julie dewasa, Julie masih bisa memandangi telapak tangan mungil milik Julie. Julie juga bisa mengenang masa-masa menyenangkan ini," terang Amara. "Karena Julie sudah enam tahun, kita buat campuran warna yang beragam dari satu telapak tangan, ya. Supaya tingkat kesulitannya lebih tinggi."
"Yaaa! Okaaay!" Julie berseru kegirangan.
Dengan kuas berukuran sedang, Amara menyapukan telapak tangan Julie dengan warna kuning dan biru. Kemudian, Amara membimbing Julie untuk menempelkan telapak ke atas kanvas putih. Saat mengangkat tangan, mata Julie bersinar karena melihat hasil cap tangannya sendiri.
"Cantik sekali, Miss." Julie antusias.
"Nah, sekarang coba Julie lakukan sendiri."
Amara membiarkan Julie mengeksplorasi warna-warna sesuai keinginan. Ia hanya membantu Julie sesekali, tatkala muridnya tampak bingung dalam pemilihan warna.
Gelak tawa sang putri membuat Keenan mengabaikan tabletnya. Ia begitu bersyukur karena Amara mampu mengembalikan keceriaan Julie. Maklum saja --- semenjak pindah ke Surabaya, Julie belum memiliki satu orang teman pun di sekolah barunya. Guru di kelas pun mengatakan bahwa Julie tergolong pasif dan pemurung. Tapi kini, rona bahagia menyelimuti sang putri kecil.
Keenan tidak tahu saja.
Amara dan Julie sama. Mereka saling menyembuhkan sebab memiliki luka beserta kepedihan yang tersimpan. Keduanya sama-sama ditinggalkan dan diacuhkan oleh orang yang teramat mereka sayang.
"Daddy!" teriak Julie. "Lihat sini! Hasil karyaku bagus banget!"
Keenan lantas bangkit dari duduk. Lelaki karismatik itu melangkah mendekat demi menghampiri putri si mata wayangnya.
"Mana? Coba Daddy lihat?" telisik Keenan.
"Ini Daddy," tunjuk Julie. Wajahnya dipenuhi noda cat warna-warni.
"Ini bagus sekali, Darling. Penuh warna dan ceria. Good job!" puji Keenan. Ia mengelus puncak kepala Julie dengan penuh kelembutan.
Amara menimpali, "Beberapa tahun lagi karya ini akan bernilai sentimentil untuk Bapak dan Julie."
Keenan tertegun. Benar juga, Julie tidak akan selamanya kecil. Ia akan tumbuh menjadi gadis remaja yang sibuk dengan dunianya sendiri. Julie tak akan lagi bergelayut manja pada pelukan atau pangkuan Keenan.
"Kamu benar," gumam Keenan sendu.
Amara memandang Keenan lekat. Ia menyadari Keenan teramat sayang dengan Julie. Meski, keegoisannya tetap tak bisa dibenarkan. Julie membutuhkan sosok Nadira, ibunya. Dan Keenan merenggut itu.
"Oh ya, ngomong-ngomong Miss Amara tampaknya suka dengan aliran Ekpresionisme." Keenan kembali melanjutkan, "Koreksi jika saya salah."
"Anda tidak salah," sahut Amara. "Saya memang terinspirasi dari Van Gough, Zaini, dan Popo Iskandar."
"Setahu saya, aliran Ekspresionisme adalah aliran yang mengungkapkan jenis emosi sang pelukis. Kebanyakan rasa amarah dan kesedihan. Dapat dilihat dari goresan-goresan warna yang Anda torehkan. Kesannya bagai amarah yang terpendam. Mengapa anda tertarik dengan aliran itu?"
Amara membisu. Mana mungkin ia akan mengungkap tentang kehidupan rumah tangganya yang penuh kenelangsaan.
"Karena suka saja. Tidak ada alasan lain," kelit Amara.
Keenan mengangguk.
Mereka berdua kembali memusatkan perhatian ke arah Julie yang sibuk finger painting.
"Ngomong-ngomong, saya masih merasa tidak enak karena mengganggu waktu libur Anda dan Pak Bastian," pancing Keenan.
"Ti-tidak apa-apa, Pak."
Itu dia! Raut Amara kembali gusar. Keenan jelas yakin, ada sesuatu dalam rumah tangga wanita itu. Namun, ia mengutuk diri sendiri karena berubah menjadi lelaki gemar ikut campur.
"Kalau boleh tahu, biasanya Miss Amara dan Pak Bastian ke mana kalau liburan begini?" tanya Keenan. "Saya ingin membawa Julie jalan-jalan. Tapi ke tempat selain mall."
Amara menoleh penuh tanya. "Selain mall? Kenapa begitu? Setahu saya, keluarga Bapak punya mall yang tersebar di seluruh Indonesia, termasuk Surabaya. Dan lagi, kota ini memang terkenal dengan mallnya."
"Justru karena itu saya jadi malas ajak Julie ke Mall." Keenan terkekeh. Lesung pada pipi lelaki itu kembali menghiasi wajah tampannya. "Tiap ke mall, ia selalu diperlakukan istimewa. Saya ingin Julie tumbuh menjadi gadis bersahaja."
Amara terperangah. Ternyata, Keenan bukan lelaki arogan seperti dugaannya.
"Kalau pengen selain mall, saya rasa Batu atau Malang adalah destinasi yang tepat."
Keenan mengangguk. "Kami punya wahana keluarga milik Ibrahim Group di Batu. Saya memang belum sempat ajak Julie main ke sana."
"Oh ya?" Amara membelalak.
"Godzilla's Park," ujar Keenan.
Amara menelan saliva. Godzilla's Park adalah salah satu wahana populer yang ada di Batu. Destinasi wisata itu sejajar dengan JatimPark dan Batu Night Spectakuler. Rupanya, kekayaan Ibrahim Group tersebar merata dan tidak akan pernah habis sampai tujuh turunan.
"Julie pasti senang kalau Bapak ajak ke sana."
Keenan mengembuskan napas panjang. "Saya terlalu sibuk bekerja hingga terkadang lupa kalau Julie juga butuh refreshing."
Keenan Alkala Ibrahim mungkin memiliki segalanya, Mall, real estat, dan wahana hiburan. Namun ia tetap tak mampu membeli waktu.
"Daddy," panggil Julie membuyarkan obrolan antara Amara dan Keenan.
"Ya?" sahut Keenan lembut.
Julie menarik tangan Keenan dengan telapaknya yang kotor. "Daddy ikutan finger painting sama Julie, yuk."
"Julie saja, ya," tolak Keenan.
Julie pun merengek. "Ayolah, Daddy," bujuknya. "Please. Pleaseee ...!"
Amara meringis. "Ngga ada salahnya, kan, Pak Keenan ..."
"Tuh, denger kata Miss!" paksa Julie.
Keenan terpaksa mengiakan. "Okay. Tapi, satu kali saja, ya."
Ketika Keenan hendak membungkuk mengambil cat, Amara buru-buru mencegah.
"Pak, pakai ini supaya bajunya tidak kotor," tawar Amara. Ia menyodorkan ponco berwarna merah jambu.
Keenan mengernyih. Mana bisa pakai warna pink neon begitu di depan Amara. Wibawanya bisa turun. "Tidak usah, Miss Amara," tolaknya halus.
"Nanti bajunya kena noda cat, Pak. Saya khawatir susah dibersihkan."
"Tidak masalah. Berarti sudah waktunya pakaian ini pensiun," ujar Keenan santai.
"Hmm, begitu ..." gumam Amara.
Kehidupan old money¹ memang berbeda. Amara perhatikan, pakaian yang dikenakan Keenan sekarang adalah brand mahal. Lelaki itu santai membuang baju yang masih bagus. Beda sekali dengan Amara. Tidak ada kata 'pensiun' untuk pakaiannya. Kalau sudah robek dan tak layak pakai, ya, akan beralih jadi lap atau keset kaki.
Saat sedang serius membuat finger painting, Julie menggores pewarna pada pipi Keenan. Semakin ayahnya melotot, tawa bocah enam tahun itu semakin kencang.
"Julie, nakal, ya!"
Julie menjulurkan lidah. "Daddy nggak boleh marah, dong!" godanya.
Keenan hanya bisa menggelengkan kepala. Pasrah mukanya dialih fungsikan sebagai kanvas oleh sang anak.
"Daddy, kumisnya Julie kasih warna putih, ya. Supaya kayak Santaklaus!" kikik Julie.
"Jangan, dong!" tolak Keenan kelabakan.
Amara sumringah menyaksikan keakraban antara Julie dan Keenan. Ia menemukan sisi lembut yang tersembunyi di balik ketegasan bos suaminya.
Puas mengerjai Keenan, Julie beralih menghampiri Amara. Bocah kecil itu menggandeng tangannya dengan erat.
"Miss juga ikutan, yuk!" ajak Julie.
Amara menggeleng segan. "Ti-tidak perlu, Julie. Biarkan itu menjadi lukisan kamu dan Daddy-mu. Miss lihat dari sini saja, ya."
Julie cemberut. "Ah. Ayolah, Miss!"
"Jangan, Julie. Lukisan itu, kan, berisi kenanganmu dan Pak Keenan. Miss bukan siapa-siapa ..." ujar Amara.
Julie bersikukuh. "Ayolah, Miss!" rengeknya. Ia lalu mencari dukungan dari sang ayah. "Daddy, Miss Amara, lho ... nggak mau!" adunya.
Keenan terkekeh renyah. Ia memandang Amara dengan mata elangnya yang tajam. "Ayolah, Miss. Tidak ada salahnya, kan?" Ia meniru cara bicara Amara tadi kepadanya.
"Ta-tapi, Pak ...?" Amara masih ragu.
"Ayolah." Keenan meraih jemari Amara. Ia mengunci wanita itu dalam pandangan. Paras rupawan Keenan semakin manis dengan lesung pada kedua pipinya.
Amara terpaksa menurut. Ia lalu duduk di antara Keenan dan Julie. Dengan sigap, Julie mengoles telapak gurunya dengan cat warna merah kuning.
"Tempel sini, Miss," bimbing Julie.
Kecanggungan yang semual dirasakan, perlahan meleleh tak bersisa. Mereka bertiga pun larut dalam suasana menyenangkan bercampur debar. Tak hanya Julie, senyum pun tak pernah pudar dari bibir Keenan. Lelaki itu tak pernah tergelak seceria hari itu. Bahkan dengan Nadira sekali pun.
Tingkah laku usil Julie kembali timbul. Ia tak lagi menarget sang ayah, tetapi Amara. Julie mengarahkan cat airnya ke arah sang guru. Ia ingin memulas wajah Amara.
"Eh, Julie, no!"
Amara segera beringsut. Gerakannya kalah cepat dengan lompatan yang dilakukan Julie. Gadis cilik itu sudah melonjak di atas pangkuan Amara.
"Kena!" seru Julie.
Tak sempat menduga ulah Julie, Amara pun hampir terjatuh ke belakang. Namun, Keenan sontak menahan tubuh wanita itu. Punggung Amara pun bersandar pada dada Keenan yang bidang.
"Daddy, bantu Julie, ya! Julie mau gambar kumis kucing di muka Miss!" titah Julie.
"Juliieee ...?" Amara memundurkan badan. Ia malah semakin rapat menempel di badan Keenan.
"Siap, Bos!" Keenan menyeringai jahil. Ia melupakan semua batasan yang semula ia bangun. Lelaki itu lantas mendekap tubuh Amara yang mungil dari belakang. Keenan memenjarakannya dalam pelukan.
Aroma mint menggoda penciuman Amara yang terkurung oleh kokohnya lengan Keenan. Ia terpejam pasrah ketika Julie menggoreskan kuas ke atas wajahnya. Bukan amarah yang Amara rasakan, melainkan desir. Kulit Keenan menempel rapat pada kulitnya. Wanita itu bersyukur karena ia menyempatkan keramas sebelum berangkat mengajar. Sudah jelas Keenan mampu mengendus aroma rambutnya dari belakang sana.
Amara memang benar.
Jarak antara Keenan dan guru anaknya terlampau dekat. Ia menikmati wangi vanila yang menguar dari rambut Amara. Darah Keenan memanas. Wanita itu laksana kue yang menggoda untuk dimakan. Tubuh Amara juga mungil dalam dekapannya.
Jauh dalam hati --- Keenan berharap semoga Julie lebih lama mengerjai gurunya. Semua agar ia bisa menikmati detik demi detik merengkuh Amara.
***
¹ old money : kekayaan warisan yang sudah turun temurun, beberapa generasi.
***
13. Lembayung Senja
Amara menelisik rambut-rambut halus pada lengan Keenan yang liat. Selain itu pada kulit putihnya, tampak urat menonjol yang semakin menguatkan maskulinitas lelaki itu. Amara sadar kalau ia sebenarnya haram berdekatan dengan lelaki lain. Namun, ia tak sanggup menolak sensasi memabukkan dari pertemuan tubuh mereka.
"Lihat, Daddy. Miss Amara seperti kucing." Julie bangun dari pangkuan Amara. "Meong! Meong! Meong!" godanya.
Keenan akhirnya melepas rengkuhan. Sekarang yang tertinggal hanyalah sisa-sisa dari rasa salah tingkah.
"Julie." Amara berseru. "Miss balas kamu, ya!" Ia pun menyusul Julie demi mengalihkan salah tingkah.
Dengan mudah Amara menahan serta menggelitiki gadis kecil itu. Ulah Amara membuat Julie semakin cekikikan tak karuan.
"Kok cuman Julie aja yang dibalas?" protes Julie. "Daddy juga, dong! Daddy kaki tangan!"
Keenan terbelalak. "Julie? Dari mana kamu tahu kata 'kaki tangan'?" tanyanya.
"Mommy!" jawab Julie.
Raut Keenan berubah tegang. Amara pun menyadari hal tersebut. Suasana yang semula penuh tawa, berubah suram dan dingin.
"Sepertinya finger painting punya Julie sudah selesai. Sekarang kanvas ini menjadi milik Julie. Julie bebas menyimpannya di mana saja," ujar Amara.
"Asyik!" Julie memekik gembira. "Daddy, boleh nggak kalau kupajang di kamar?"
Keenan mengangguk. "Nanti kita minta tolong Pak Hanung untuk memasangnya, ya." Hanung adalah security yang berjaga di depan rumah Keenan.
"Thank you, Dad!" Julie sumringah.
Dari kejauhan, Febi berjalan menghampiri. Ia sadar kalau waktu sudah menunjukkan berakhirnya jam les Julie. Melihat kemunculan si pengasuh --- Julie sontak memamerkan hasil karyanya.
"Bagus, kan, Mbak?"
"Bagus puol!" Febi mengacungkan jempol. "Mau digantung di mana iki?" tanya Febi.
"Kamar." Julie berbinar.
Febi lantas mengambil kanvas besar itu. "Yawes, Mbak Febi bantu bawa ke kamar, ya. Yuk sekalian kita bersihkan badanmu dulu."
Julie mengangguk setuju.
"Julie ucap makasi dulu sama Miss-nya," ucap Febi dengan bahasa Jawa medhok.
"Miss," panggil Julie mendayu. "Makasi untuk hari ini. Julie happy."
Amara berjongkok untuk mensejajarkan tubuh dengan Julie. "Sama-sama, Julie. Miss juga senang hari ini."
Julie pun melambaikan tangan seraya melenggang masuk ke dalam rumah. Sepeninggal sang murid, Amara pun membereskan sisa cat dan trash bag yang berantakan. Ulahnya buru-buru ditahan oleh Keenan.
"Biar nanti Bi Santi dan Pak Hanung yang merapikan."
"Tidak apa-apa, Pak. Cuman begini saja, kok. Bapak silakan masuk saja bersama Julie. Saya sekalian pamit pulang," ujar Amara.
Keenan menggeleng. "Kalau begitu saya akan bantu kalau Miss bersikukuh."
Amara tertunduk malu.
Di lain sisi, Keenan menyimpan tawa. Wajah Amara cemong karena ulah jahil Julie.
"Sebelum pulang sebaiknya Miss bersihkan wajah dulu di kamar mandi," gumam Keenan.
Amara terkesiap. "Eh? Memangnya muka saya berantakan banget, ya?"
"Nggak juga. Masih cantik," sahut Keenan.
Jantung Amara berdegup secepat kereta. Masih cantik. Sudah lama ia tak mendengar pujian macam itu dari lelaki mana pun, termasuk Bastian. Sekuat tenaga Amara menetralisir perasaan. Apa yang Keenan katakan merupakan 'pujian biasa' demi kesopanan semata. Ia tak sepantasnya besar kepala.
***
"Pak Keenan, saya membasuh muka di sini saja." Amara berhenti di depan bilik pancuran area swimming pool.
"Tidak ada kaca di situ," tukas Keenan.
Amara tersenyum. "Nggak apa-apa. Toh saya juga mau langsung pulang."
"Baiklah." Keenan refleks membuka pintu bilik. Ia lalu menyalakan kran pancuran. Lelaki itu pun mencuci kedua telapak tangan. "Kemarilah, Miss. Saya bantu bersihkan."
Amara melotot. "Tidak usah, Pak. Saya bisa sendiri," tolaknya.
Wanita itu lantas sedikit membungkuk dan menampung kucuran air pada tangkupan tangan. Amara membasuh wajah dan menggosoknya bersih.
Ia tak sadar, tingkah lakunya menjadi sorotan bagi Keenan. Baru kali ini ia bertemu dengan wanita yang berani tampil natural tanpa riasan di depannya. Amara memang apa adanya. Dan itu yang membuatnya menarik. Bibir Keenan tanpa sadar tersungging.
"Baik, Pak, saya pamit." Amara merasa wajahnya sudah bersih.
"Masih ada sedikit noda cat di ..." Keenan menunjuk dengan dagunya.
"Hah? Mana, ya? Ini?" Amara mengusap-usap lekukan vertikal di bagian tengah bibir atasnya.
"Bukan." Keenan memandang Amara dengan tatapan teduh. Ia santai menyeka bibir Amara dengan telunjuknya. "Biar kubantu."
Darah Amara dan Keenan berdesir.
Bibir Amara terasa kenyal mirip marsmallow. Selain itu, kulit merah itu lembut sekaligus lembab. Keenan mulai berimajinasi liar. Mengulum bibir Amara dalam pagutan dalam. Sadar sudah keterlaluan, Keenan pun menyudahi sentuhannya.
"Sudah hilang," ucap Keenan memalingkan muka.
"Terima kasih." Amara tertunduk dan bersiap pergi. "Saya permisi."
Keenan berbalik mengejar. "Miss Amara!" panggilnya.
"Ya?" Amara menoleh.
"Saya akan hitung hari ini sebagai lembur," kata Keenan.
"Oh ..." gumam Amara sedikit kecewa. Ia pikir Keenan hendak membahas soal lain. "Baiklah, terserah Bapak."
"Lalu, berapa saya harus bayar untuk makanan yang Miss bawa tadi?"
Amara mengernyit. "Bayar?"
"Sekalian untuk kanvas yang tadi Miss beri kepada Julie," imbuh Keenan.
Amara mendengkus. "Bapak tidak perlu membayar makanan yang saya bawa. Itu semua inisiatif saya sendiri pribadi. Sama halnya dengan kanvas yang tadi Julie gunakan sebagai media finger painting."
"Tapi, Miss ...?" sanggah Keenan.
Amara segera menyela, "Pak Keenan," tukasnya. "Tidak semua harus diukur dengan uang." Ia lantas tersenyum tipis. "Permisi."
Keenan bergeming. Netranya menatap sosok Amara yang perlahan menjauh. Ia kemudian mengejar Amara dengan impulsif.
"Semua kebaikan Miss membuat saya tidak enak. Katakan sesuatu yang bisa saya lakukan demi membalasnya," buru Keenan.
Amara sedikit terkejut karena Keenan menyusulnya. Ia terdiam sesaat untuk berpikir. Tak butuh waktu lama, bibir wanita itu pun tersungging.
"Jangan terlalu keras pada Mas Bastian di kantor. Suami saya merupakan seorang pekerja keras," ucap Amara.
"Ehm, begitu ..." Keenan mengulas senyul palsu.
Jawaban dari Amara adalah hantaman telak bagi Keenan akan realita sebenarnya.
Amara sudah menjadi dari istri Bastian.
***
Langit sore semburat lembayung membingkai cakrawala. Dalam perjalanan kembali pulang, Amara sempat mengagumi guratan awan yang tampak di hadapan. Berarak bak kumpulan kapas ternoda cat oranye bercampur kemerah-merahan. Ia mengendarai kendaraannya pelan-pelan seolah tanpa semangat.
Rumah seharusnya merupakan tempat terhangat, tapi tidak bagi Amara. Tidak semua rumah punya kehangatan. Pulang berarti kembali menyesap kesepian. Tanpa suara sebagai teman bicara. Pulang adalah kembali pada kehampaan ruang dan waktu. Semua rutinitas berulang yang tanpa penghargaan.
Namun ia menyalahkan diri sendiri atas semua hal yang menimpa. Bastian memang sepatutnya kecewa karena Amara tidak mampu memberikan seorang anak.
Pertemuan dengan Julie menyadarkan Amara bahwa kehadiran buah hati cukup berpengaruh pada kehangatan keluarga. Tawa Julie berhasil menghilangkan semua penat dan beban yang semula Amara pikul. Dan mungkin, andaikata ia dan Bastian memiliki anak --- rasa itu juga akan dirasakan oleh suaminya.
Wajar Bastian enggan bercinta dengannya. Mana ada lelaki yang bernafsu menggauli wanita tandus bagai lahan kering, seperti dirinya? Amara pun meremas perutnya kuat-kuat. Ia benci dirinya sendiri.
***
Keenan memandang cap tangan yang barusan ia buat. Hati lelaki itu galau bukan main. Kehadiran Amara memberi suasana hangat bagi Julie, putrinya. Namun, keberadaan wanita itu juga membuat Keenan hampir lupa logika.
Sekuat tenaga Keenan melenyapkan nafsu terlarang yang ia rasakan. Tapi jangankan hasratnya --- aroma vanilla dari rambut Amara pun masih membekas pada penciuman lelaki itu. Ia juga masih ingat betul rasa lembut dari kulit bibir yang tadi sempat disentuhnya.
Keenan tidak pernah jatuh cinta seumur hidupnya. Dengan Nadira sekali pun. Semenjak kecil, lelaki itu disibukkan oleh sekolah dan semua pelatihan bisnis dari sang ayah.
Asmara bukan menjadi bagian dari diri Keenan. Tetapi tidak kali ini.
Sialnya --- ia justru menaruh hati pada wanita yang sudah bersuami. Apa Keenan sudah kehilangan moral?
"Daddy, bagus, ya?" tanya Julie membuyarkan lamunan Keenan.
"Iya, bagus sekali," sahut Keenan.
Julie kemudian naik ke atas pangkuan Keenan yang duduk di atas ranjang. "Julie suka kelas seni sama Miss Amara. Rasanya nggak sabar pengen ketemy lagi."
"Iya, Darling," gumam Keenan berat.
Amara memang spesial. Sayangnya ... mereka bertemu di waktu yang salah.
***
"Langitnya cantik banget, deh, Mas."
Seorang wanita nyaris tanpa busana, mengintip ke arah luar jendela. Ia lantas menghampiri Bastian yang berbaring santai di atas ranjang. Mereka berdua berada dalam cottage mewah yang didominasi oleh material berbahan kayu.
"Aku suka kalau kamu ajak aku jalan-jalan kayak gini," kata wanita itu.
"Sesekali emang butuh suasana baru," sahut Bastian. "Apa lagi di sini udaranya sejuk. Nggak kayak di Surabaya, panas!"
Wanita itu mengangguk setuju. Ia menyingkap selimut yang membalut tubuh atletis Bastian. Saat menangkap kejantanan sang kekasih sudah berdiri tegak, si wanita lantas menyeringai.
"Ohh ... ya ..." Bastian terpejam ketika wanita itu mengulum batangnya. "Ini yang aku suka dari kamu."
"Emangnya apa yang kamu suka?" Lidah si wanita menari-nari pada puncak batang kelelakian Bastian.
Bastian mengeraskan rahang karena menahan nikmat. "Kamu agresif, Sayang."
"Nggak kayak istrimu?"
"Ssshhh ..." Bastian mendesis. "Jangan sebut dia."
"Oke," sahut wanita itu. Ia semakin liar mengulum milik Bastian di dalam mulut.
Bastian yang tidak tahan, segera menarik tangan kekasih gelapnya.
"Masukin, deh. Kamu di atas."
Si wanita mengangguk sembari melempar senyum ke arah Bastian yang sudah terangsang
***
14. Penasaran
Bastian menurunkan beberapa kantong plastik dan meletakkannya di meja makan.
"Aku belikan kamu kripik buah dan Malang Strudel, nih." Strudel adalah salah satu olahan pastry khas Austria yang berisi aneka buah. Namun, oleh-oleh Malang Strudel sudah dimodifikasi agar bercita rasa lokal dan sesuai dengan lidah nusantara.
Amara membuka kantong plastik yang Bastian bawakan. "Makasih ya, Mas," ucapnya. Ternyata, suaminya masih perhatian kepada dirinya.
Bastian merebahkan bokong di atas sofa dan merenggangkan tubuh. "Bikinin aku teh panas, dong, Mara."
Amara segera menuruti titah dari Bastian. Ia melenggang ke dapur dan membuka kabinet untuk mencari kotak teh.
"Capek ya, Mas?" tanya Amara.
Bastian mengangguk.
"Lumayan,"sahutnya. "Tapi tempatnya bagus banget. Kapan-kapan aku ajak kamu main ke sana."
Amara meletakkan cangkir teh ke atas coffee table di hadapan Bastian. "Kamu pergi sama siapa aja, Mas?"
Bastian mengambil cangkir dan bergegas meniupnya pelan. "Sama temen-temen kuliahku dulu. Kan aku udah bilang kemarin. Percuma aku sebutin nama-namanya, kamu juga ngga tahu."
"Iya, sih," gumam Amara. "Oh ya, katanya tempatnya bagus, lihat foto-fotonya dong."
Bastian mendecih. "Nggak ada. Cowok kalau lagi pada ngumpul --- ngga ada pikiran buat foto-foto. Beda sama cewek yang dikit-dikit selfie."
Amara mengambil tempat di sebelah Bastian. Sebelum sang istri kembali bertanya-tanya, Bastian pun mendahului mengubah topik pembicaraan.
"Betewe, ada kemajuan apa sama Pak Keenan? Kemarin, kan, hari libur, kamu bisa ngobrol banyak sama dia."
"Kami lebih banyak membicarakan soal Julie. Anak itu tertekan karena perceraian kedua orang tuanya. Dan sepertinya, ibunya Julie sudah lama tak menemuinya ..." terang Amara.
Bastian tertawa sarkastik. "Jelas saja ibunya malas. Mungkin enggan ketemu Pak Keenan. Mana ada, sih, wanita yang betah berlama-lama sama dia. Udah sombong, jarang senyum, hemat kata pula. Kaku kayak kanebo kering!"
"Masa, sih ..." Sudut hati Amara tak setuju dengan perkataan Bastian. Ia rasa Keenan tak seburuk itu.
Sebelah alis Bastian menukik. "Kenapa? Kamu nggak setuju denganku? Apa kamu dan dia sudah lebih akrab dari sebelumnya?"
"Nggak, kok," kelit Amara.
"Lagian kurasa dia digugat cerai karena impoten," kelakar Bastian.
Mata Amara terbelalak. "Hush! Mas kok ngomong begitu? Nggak pantes!"
"Ya terus apa, dong! Kekayaannya bisa menutup perangai buruk Pak Keenan. Tapi kalau udah bermasalah pada kejantanan, ya, sulit, kan!" Bastian kembali terkekeh.
Amara memilih tak menanggapi. Ia paham betul tabiat Bastian yang hobi menjelek-jelekkan orang ketika merasa kalah saing.
"Kalian tidak membicarakanku?" selidik Bastian lagi.
"Waktu jam les berakhir, aku sempat bilang kalau kamu seorang pekerja keras, Mas," ujar Amara.
"Gitu doang?" Bastian mengernyih.
"Terus kamu maunya aku bagaimana?"
"Bilang ke dia kalau aku pantas mengisi jabatan Vice President Marketing. Kalau nggak ada kemajuan, sia-sia aku izinin kamu kerja jadi guru anaknya. Kamu tuh jembatan antara aku dan dia. Undang dia makan bareng, kek, apalah gitu ..." Bastian mendengkus kesal.
Amara tertunduk. Ia menghela napas berat karena merasa terbebani oleh Bastian.
"Ya, Mas."
Bastian bangkit dari duduk dan berjalan menuju tangga. "Kalau perlu kamu ajak ngentot juga nggak apa-apa. Yang penting ada kemajuan dalam karirku."
"Mas! Kamu kok ngomong begitu!" Amara melotot emosi.
Tawa Bastian kembali pecah. "Ya, bercanda, Mara! Mana mau juga dia sama kamu. Jangan kepedean."
Lelaki itu lantas cekikikan seraya menghilang menaiki anakan tangga. Ia seolah tak peduli akan perasaan sang istri yang berulang kali terluka akibat sikapnya.
***
Keenan duduk dalam ruang kantor sambil memeriksa surel pada laptop. Tampak sang sekretaris berdiri dan mengetuk pintu sang CEO. Ia pun mengalihkan atensi dan mengizinkan sekretarisnya masuk.
"Kenapa, Mir?" selidik Keenan.
Mirna meletakkan sebuah kantong berukuran besar ke atas meja Keenan. "Tadi pagi Pak Bastian - manajer pemasaran menintipkan ini untuk Bapak. Katanya oleh-oleh."
Netra Keenan melirik sepintas ke dalam, ia menduga bahwa itu berisi makanan. "Minta Pak Bastian menemui saya sekarang."
"Baik, Pak." Mirna mengangguk dan keluar dari ruangan.
Keenan merasa ia perlu berterima kasih untuk segala kebaikan Amara Sabtu kemarin. Terlebih sekarang Bastian juga menunjukkan perhatian yang sama pada dirinya.
Ia harus melupakan semua fantasi terlarangnya terhadap Amara. Sebaiknya, Keenan lebih mengakrabkan diri dengan Bastian. Ia butuh seseorang yang dapat dipercaya dan diandalkan dalam perusahaan. Dan bisa jadi itu adalah Bastian.
Setelah beberapa menit berlalu. Pintu ruangan CEO itu kembali diketuk. Keenan pun berdiri dari arm chair untuk menyambut kedatangan Bastian.
"Pagi, Pak Keenan," sapa Bastian.
Keenan tersungging. Ia lebih ramah dari biasa. "Pagi," balasnya. "Silakan, Pak." Ia mempersilakan Bastian untuk menduduki sofa hitam yang terletak di tengah.
"Saya sudah terima oleh-olehnya. Thank you, ya, Pak Bastian."
Bastian sumringah. "Sama-sama, Pak. Maaf kalau sekedarnya saja dari saya."
"Sepertinya baru saja pulang dari Malang, ya?" selidik Keenan.
Bastian mengangguk.
Keenan memang berbeda dari biasa. Dulu, bosnya mana mau membicarakan hal selain pekerjaan. Tampaknya mengirim Amara sebagai guru les putrinya adalah pilihan tepat.
"Iya, Pak. Saya dan teman-teman reunian di sana dari hari Sabtu," jawab Bastian.
Keenan berkernyit. Dari Sabtu ...? Jadi Bastian tidak pergi bersama Amara rupanya.
"Hmm, saya pikir pergi dengan keluarga," gumam Keenan. "Apakah karena harus mengajari Julie, Bu Amara jadi tidak bisa ikut bepergian dengan Pak Bastian? Kalau karena itu, saya jadi tidak enak hati sendiri."
Bastian mengibaskan tangan. "Sama sekali tidak, Pak Keenan. Saya memang tidak mengajak istri untuk ikut serta. Khusus acara sesama lelaki saja," ujarnya. Ia mulai santai mengobrol dengan Keenan.
"Oh begitu ..."
"Ya, kita sebagai lelaki juga butuh refreshing dan menghabiskan waktu bersama teman, bukan? Terlebih setelah lelah dengan rutinitas. Membebaskan diri dari istri atau keluarga supaya tidak jenuh."
Keenan tersenyum tipis.
Bastian menegakkan punggung dan bergegas mengubah topik.
"Bagaimana dengan Amara, Pak? Apa dia bisa mengajar putri Bapak dengan baik?" tanya Bastian.
"Cukup baik." Senyum Keenan kembali terkembang. "Bahkan, Bu Amara sangat cepat akrab dengan Julie. Dia lebih bersemangat dari biasa."
"Syukurlah kalau begitu," ucap Bastian. "Saya tidak keberatan jika Bapak ingin menambah hari lesnya. Toh, Amara di rumah juga tidak ada kegiatan lain. Saya pikir pekerjaan baru ini bisa mengusir kejenuhannya."
"Anda tidak keberatan?" Keenan berbalik tanya.
"Sama sekali tidak," sahut Bastian mantap.
Kedua sudut bibir Keenan tertarik ke atas hingga membentuk lengkungan tipis. "Baiklah kalau begitu. Akan saya pikirkan lagi."
Padahal --- ia sudah berniat menjauhi Amara dan lebih dekat dengan Bastian. Namun, bayangan wanita itu lagi-lagi muncul dan mengganggu.
Seutas rasa iri bercokol di dada Keenan akan sesuatu yang dimiliki oleh Bastian. Andai mereka bisa bertukar tempat --- Keenan tak akan meninggalkan wanita itu sendirian. Tak akan ada istilah jenuh jika bersama wanita seperti Amara Senja.
Sial. Kali ini Keenan memang sudah kehilangan akal sehat.
***
15. Fine Dining
Bastian memarkir kendaraannya sembarangan. Senyum terkulum pada bibir lelaki maskulin itu. Ia pun bergegas masuk ke dalam rumah dan mencari sang istri.
"Mara, Sayang," panggil Bastian.
Amara yang sedang sibuk di dapur terkejut karena Bastian tiba-tiba memeluknya dari belakang.
"Mas?" Amara salah tingkah. "Ada apa?"
"Kamu nggak usah masak. Kita makan di luar sekarang."
Mata Amara membulat. "Ta-tapi aku sudah masak ..."
"Ah, simpan saja di kulkas. Buruan sekarang siap-siap. Dandan yang cantik," titah Bastian sumringah.
Amara menatap Bastian penuh keheranan. "Ada acara apa emangnya?"
"Aku lagi seneng," ungkap Bastian. "Pak Keenan benar-benar lebih lunak padaku. Semua karena dia mulai tergantung padamu yang bisa menyenangkan hati anaknya, si Julia."
"Julie, Mas," koreksi Amara. "Syukurlah kalau aku bisa membuat pekerjaanmu jadi lebih mudah."
"Udah, ah. Buruan sana." Bastian mendorong tubuh Amara agar lekas meninggalkan dapur. Lelaki itu menampar gemas bokong sang istri sambil menyeringai. "Yang cantik, ya."
Begitulah Bastian --- jika hatinya gembira, ia mendadak berubah manis dan romantis. Namun saat keinginannya tak sesuai harapan, lelaki itu tak segan menyalurkan amarahnya dengan cara impulsif.
***
Amara tampil menggoda dengan lace dress berwarna peach. Gaun itu sempurna membentuk lekuk tubuhnya yang ramping. Riasan smokey eyes ia pilih untuk membuat penampilannya kian dramatis. Sudah lama, kan, dirinya dan Bastian tak kencan. Jadi semua harus paripurna maksimal.
"Kita berangkat sekarang?" Amara menuruni tangga pelan-pelan. Heels tinggi yang ia kenakan membuat langkahnya terbatas.
Netra Bastian sedikit terbelalak. Ia bahkan tak sadar menganga lebar melihat penampilan sang istri. Akhirnya Bastian ingat, apa alasannya mempersunting Amara. Wanita itu memang cantik luar biasa. Pantas saja dulu Bastian setengah mati mengejar Amara sampai dapat.
"Astaga, Sayang ..." Bastian menelisik Amara dari atas ke bawah. "Ternyata kamu bisa secantik ini, ya, kalau udah dandan."
Amara tersungging.
Ia membiarkan Bastian menarik pinggangnya dan mendaratkan cumbuan pada area lehernya yang jenjang.
"Mas?" Amara berusaha menghindari ciuman Bastian yang mulai liar.
"Sshhh ..." Bastian merapatkan tubuh mereka. "Aku horny lihat kamu kayak gini. Kita main bentarlah sebelum berangkat."
Amara terdiam. Ia bukan tak mau bercinta dengan sang suami. Ia bahkan rindu melakukan itu. Hanya saja, Amara sudah bersusah payah berdandan dan Bastian terkesan egoistis. Saat Bastian 'ingin', Amara harus siap. Sementara, ketika Amara membutuhkan Bastian, lelaki itu tak pernah ada.
Bastian memaksa Amara berjongkok. Lelaki itu membuka risleting celana dan meminta Amara memainkan miliknya dengan mulut. Secara kasar, Bastian memasukkan batangnya hingga membuat Amara hampir tersedak.
Tangan Bastian mengumpulkan rambut Amara dan menjambaknya. Ia mengatur kecepatan kuluman sang istri di bawah kontrolnya. Rahang lelaki itu mengeras karena nikmat. Selain itu, bibir Amara memang sangat seksi dan penuh. Visual yang kian membangkitkan libido Bastian.
Merasa tak tahan lagi, Bastian pun meminta Amara berhenti dan berdiri. Ia mengatur agar sang istri menumpu tubuh bagian atasnya pada sisi sofa ruang tengah. Saat Amara sudah membungkuk, Bastian menyingkap rok istrinya. Ia lantas menurunkan celana dalam Amara hingga menampakkan kewanitaan yang sudah memerah.
Bastian meludahi liang itu dan memasukkan kejantanannya secara kasar.
Amara terpejam menahan perih. Miliknya belum siap dan kurang rangsangan. Bastian memang hanya memikirkan kenikmatan dirinya saja. Bukankah bercinta harusnya tak sepedih ini?
"Pelan-pelan, Mas," rintih Amara.
Mendengar kesakitan Amara, Bastian justru makin ganas. Ia senang menjadi lelaki berkuasa yang memimpin permainan. Gerakan Bastian tidak melambat malah bertambah cepat.
"Oh ... ya!" Bastian meremas bokong Amara kuat-kuat.
Ia konsisten menghunjam batangnya hingga menyebabkan tubuh Amara terguncang hebat. Jika Bastian merasa sangat keenakan, berbeda dengan Amara. Wanita itu sekuat tenaga menahan rasa perih yang menusuk-nusuk liangnya. Amara sadar ia hanyalah objek seksual bagi Bastian. Apa yang mereka lakukan bukan bercinta ... melainkan seks semata.
Bastian lantas menggeram dan menyentak. Panggulnya berhenti bergerak karena telah mencapai klimaks. Lelaki itu membiarkan cairan kentalnya tumpah di dalam lorong Amara yang sempit. Dan saat ia mencabut kejantanannya, mani itu pun meleleh keluar.
Napas Bastian tersenggal. "Aku ke kamar mandi dulu. Setelah itu kita berangkat." Ia tersenyum puas dan melenggang begitu saja.
***
"Ini dekat sekali dengan rumah Pak Keenan dan Julie, Mas."
Bastian mengangguk.
"Ada restoran bagus di sini. Bentar lagi kita sampai," sahut Bastian.
Mereka akhirnya tiba di sebuah restoran fine dining yang mewah dan eksklusif. Ruang restoran terbagi dua menjadi indoor dan outdoor. Bastian memilih mengajak Amara duduk di luar ruangan agar bisa merokok. Pada meja terdapat lilin dan rangkaian bunga di dalam vas kristal yang menambah nuansa romantis.
Bastian menarik kursi dan mempersilakan Amara duduk. Perlakuan lelaki itu memang selalu manis saat di depan umum. Tak heran, banyak orang yang terkadang merasa iri pada Amara. Ia dianggap beruntung karena memiliki suami tampan serta perhatian. Bastian adalah lelaki idaman bagi wanita-wanita awam di luar sana.
Waiter pun datang seraya membawa buku menu. Dengan senyuman ramah, ia menyodorkannya pada Bastian dan Amara.
"Kamu mau pesan apa, Sayang?" tanya Bastian.
Amara menelan saliva. Main course paling murah saja dibandrol 500 ribu rupiah. Wanita itu merasa harganya terlalu mahal hingga takut memutuskan apa yang hendak ia pesan.
"Mas yang pilihkan saja," kata Amara. Ia pun menutup buku menu dan meletakkannya di meja.
Bastian tersenyum manis. "Kudengar yang terenak di sini steak salmonnya. Betul begitu?" Ia bertanya pada waiter.
"Betul, Bapak. Salmon steak adalah menu populer di sini. Tapi Kita juga ada set menu. Per orang satu koma lima juta, sudah lengkap dengan appetiser sampai dessert," jelas waiter.
Amara kembali membatin. Uang sebegitu banyak lebih baik ia tabung untuk dikirimkan pada keluarganya di Rembang. Dari pada habis dalam satu malam demi makanan semata.
"Boleh, deh. Saya ambil set menu. Yang satu main course salmon steak dan yang satu surf & turf, ya."
Waiter itu mengangguk. "Baik, Bapak. Mohon ditunggu."
Sepeninggal pelayan, Amara pun memajukan tubuh untuk lebih dekat dengan Bastian. "Mas, kamu yakin bayar segitu mahal untuk sekali makan saja?" tanyanya.
"Nggak apa-apa, Mara. Sekali-kali."
Bastian sebenarnya sering diner di luar tanpa mengajak Amara. Nominal jutaan untuk sekali makan bukan hal baru bagi lelaki itu. Ia hanya merahasiakannya dari sang istri. Semakin sedikit Amara tahu kehidupannya di luar kantor, semakin baik.
"Sayang banget, Mas, uang begitu banyak ..." gumam Amara. "Kamu cari uang, kan, susah. Kerja dari pagi sampai pagi lagi. Aku takut membebani kamu."
Bastian mendecih. "Udalah jangan cerewet. Nikmati aja apa yang aku kasih. Nanti kalau aku sudah naik jadi VP Marketing, tiap hari kamu mau makan di sini juga bisa."
Amara mengangguk. Ada sedikit rasa bersalah karena menghamburkan uang sementara keluarganya di kampung hidup berkekurangan. Namun Bastian selalu marah dan mengaku kesulitan finansial jika Amara meminta uang untuk mengirimi ibu-bapaknya.
"Kalau nanti Pak Keenan menawarkan jam les tambahan, kamu jangan nolak, ya, Mar."
"Kenapa kok Mas bilang begitu?" selidik Amara.
"Aku tadi bilang sama dia kalau aku nggak keberatan jika dia mau menambah hari pertemuan kursus," terang Bastian. "Pintu udah kebuka lebar, Amara. Kamu harus lebih agresif lagi mempromosikan aku. Kamu harus undang Pak Keenan untuk makan bersama di rumah kita. Dengan begitu, aku dan dia akan makin akrab."
Amara mengalihkan pandangan. Ia enggan bertemu Keenan lebih intens lagi. Bersama lelaki itu, ada desir aneh yang selalu menjalar pada tubuh mau pun hatinya. Amara sadar ia telah melakukan dosa besar.
Bastian berdecak. "Eh, kamu dengerin aku, nggak, sih?"
"Dengar, Mas ..." sahut Amara gusar.
Saat mereka sedang mengobrol, tiba-tiba segerombolan lelaki Chindo mendekat sambil memandangi Bastian.
"Eh, Bastian!" sapa salah satunya.
Bastian terhenyak. Ia refleks bangkit dari duduk. "Lho! Marcel, kan! Ngapain di Surabaya?" tegurnya.
Ia dan Marcel bersalaman dan saling memeluk akrab.
"Gue ada urusan bisnis di sini," aku Marcel. "Kenalin ini temen-temen gue." Ia memperkenalkan dua orang yang bersamanya pada Bastian. "Lo apa kabar, Bas?"
"Baik. Baik." Bastian mengkode Amara untuk berdiri. "Ini istriku, Amara."
"Amara," kenal Amara seraya tersenyum.
"Marcel." Marcel membalas senyuman Amara. "Oh, lagi kencan rupanya. Yaudah, Bro, lanjutin, deh. Gue duduk di sana."
Bastian mencegah Marcel dan teman-temannya pergi.
"Janganlah. Udah lama kita nggak ketemu. Duduk di sini aja bareng-bareng."
Amara sedikit terkejut dengan perkataan Bastian. Ini, kan, acara intim mereka berdua? Kenapa Bastian justru mengundang orang lain untuk bergabung?
Marcel menyiratkan segan, tetapi paksaan dari Bastian akhirnya meluluhkannya. Mereka akhirnya menarik kursi dan duduk bersama. Tak butuh waktu lama bagi Bastian mengakrabkan diri dengan teman-teman sahabatnya. Lelaki itu memang pandai bicara dan mudah membaur.
Makan malam satu per satu mulai di antar. Mulai dari caesar salad hingga cream soup sebagai appetiser, hingga salmon steak berbalut lemon butter souce.
Tidak ada yang berbeda bagi Amara --- ia lagi-lagi makan sendirian.
Amara sudah mencoba bergabung dengan pembicaraan Bastian dan teman-temannya, tetapi tetap saja wanita itu tertinggal. Mereka sibuk membicarakan kenangan masa lalu saat masih bekerja di perusahaan yang sama. Bastian juga membahas seputar bisnis yang tak dipahami oleh ibu rumah tangga seperti Amara. Pada intinya --- wanita itu tak dilibatkan.
Makanan seharga jutaan yang masuk ke dalam tenggorokan Amara terasa hambar. Mungkin karena hatinya yang menahan nelangsa berkali-kali.
Sampai akhirnya dessert chocolate cake diantarkan, Bastian masih sibuk berbincang dengan kawannya.
"Mar," bisik Bastian. "Kamu balik duluan aja, ya, naik taksi."
"Apa?" tanya Amara terkejut.
"Aku masih ingin ngobrol sama Marcel dan yang lain. Kita juga sekalian bahas bisnis. Kamu pasti bosen jadi mending pulang, deh."
Amara menahan geram. "Kenapa aku nggak bawa mobilmu saja, Mas?"
"Terus nanti aku pulang gimana? Jalan kaki?!" sungut Bastian. "Ini, kan, masih jam setengah sembilan. Masih banyak taksi atau kendaraan umum beroperasi. Sementara aku mungkin akan pulang tengah malam nanti."
"Mau mengobrol apa sampai sebegitu lamanya, Mas?" sahut Amara.
Bastian mendecih. "Lelaki kalau lagi ngomongin bisnis memang panjang. Kamu mana bisa ngerti? Udah, ah. Abisin makananmu dan buruan pulang. Nanti jangan tunggu aku. Tidur aja duluan." Ia pun kembali mengalihkan atensi pada kawanan sesama lelakinya.
Mata Amara mulai memanas dan buram.
Ia tak ingin teman-teman Bastian melihatnya menangis. Dengan cepat, Amara pun meraih tas dan berjalan keluar dari bangunan restoran. Ia melihat ada beberapa mobil taksi stand by di samping. Restoran itu memang berdekatan dengan salah satu pusat perbelanjaan besar. Tidak heran banyak kendaraan umum siap sedia menunggu penumpang.
"Pak, taksi," kata Amara.
Sopir itu pun mengangguk dan masuk ke dalam kursi kemudi. Saat Amara hendak membuka pintu, seseorang tiba-tiba menahan tangannya.
Amara menoleh akibat terkejut.
"Pak? Pak Keenan?!" Ia terbelalak. Sedang apa lelaki ini di sini? Amara tidak salah lihat, bukan?
"Kamu mau ke mana?" tanya Keenan. Rautnya datar nyaris tanpa ekspresi.
Amara terbata penuh keterkejutan. "Pu-pulang," jawabnya.
"Biar kuantar."
Tatapan Keenan yang setajam busur panah seketika membius Amara. Jiwanya yang semula bergejolak dan terombang-ambing mendadak melebur dalam kurungan sorot mata duda tampan itu.
***Bersambung
Folks! Aku bakal update FORBIDDEN DESIRE tiap RABU dan MINGGU, jam 21.00 wib. Don't miss it, ya!
Sementara CRAZY RICH PROBLEMS akan mulai publish akhir Juni seminggu sekali tiap SELASA. Jamnya sama, 21.00
Akan banyak cerita baru dari aku, nih. Jadi jangan sampai ketinggalan dengan follow akunku dan IG mommanulis, ya! Ketik komen kalian juga supaya aku semangat nulisnya. Salam sayang! MN
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
