
Baca sampai tamat di karyakarsa
Atau kunjungi wattpad Ayana di
https://www.wattpad.com/story/333251642
SIX
Sepertinya mati lebih mudah dari pada menjalani kehidupan di dunia. Katanya, bunuh diri bakalan masuk Neraka Jahanam, lantas ..., apa bedanya ada di neraka dengan hidup bersama Bayu?
Raline berpikir untuk mati saja.
Bagaimana bisa ia menjalani hari sebagai seorang tuna susila? Merelakan tubuh dijamah puluhan lelaki asing demi menuruti kemauan si sinting Bayu. Raline tidak ikhlas.
Ya. Mending mati saja.
Mana tahu nanti di akhirat bertemu arwah ibunya. Raline berencana komplain, kenapa dulu ia tidak diaborsi saja? Malah dilahirkan ke dunia tanpa sempat mencicipi kasih sayang orang tua. Jadi pelacur lagi.
Raline sedang menimbang-nimbang, cara mati mana yang paling mudah. Ada tiga pilihan terpikir, menenggak racun hama, gantung diri, atau mengiris nadi dengan silet.
Tinggal pilih.
"Mbak ..."
Pelupuk mata Raline yang bengkak perlahan-lahan terbuka. Suara lembut milik Sintia membangunkannya dari tidur singkat setelah dihajar oleh Bayu.
"Mbak? Makan, yuk? Aku sudah buat mie goreng," ucap Sintia.
Raline menggeliat --- mengangkat kepala dan memandang wajah adiknya lekat-lekat. Sintia, gadis polos yang masih berusia 12 tahun. Semenjak masih bayi, hanya Raline yang Sintia miliki.
Jangan harap bisa mengandalkan Bayu, setelah kematian sang ibu, Bayu makin gila. Gemar mabuk, konsumsi narkoba, dan jarang pulang ke rumah. Kerjanya keluyuran di sekitar Dolly, sibuk menjadi 'makelar kelegaan'. Berkat kegigihannya, Bayu berhasil naik pangkat, dari yang cuma makelar menjadi germo atau muncikari.
Dulu, saat seusia Sintia sekarang, Raline harus mengemban tanggung jawab mengasuh adik si mata wayang. Beruntung, banyak tetangga yang membantu. Walau menyandang gelar wanita susila, bukan berarti mereka tidak punya nurani. Salah satu PSK yang wismanya berdekatan dengan rumah Raline, ikhlas menyusui Sintia kecil. Kebetulan wanita tuna susila itu juga baru saja melahirkan dan punya asi berlebih.
Pandangan Raline meremang, wajah Sintia begitu polos dan tanpa dosa. Kalau dia mati, Sintia sama siapa?
"Mbak?" panggil Sintia lagi. "Kok diam aja? Ayo, makan dulu. Masih sakit, ya, badannya?"
Raline mengangguk dan berusaha menegakkan badan. Sepintas ia melirik mukanya di kaca, bonyok.
"Kita nurut aja sama Bapak, ya, Mbak, supaya nggak dipukuli lagi." Sintia menyodorkan sesendok mie ke arah Raline.
"Iya, Sin," jawab Raline lirih.
"Mbak, habis makan, kuobati lukanya, ya? Aku takut wajah Mbak yang cantik tidak bisa sembuh," kata Sintia. Raut wajahnya penuh cemas.
"Biar saja seperti ini terus, Sin." Raline bergumam. Mungkin kalau mukanya cacat, Bayu bakal urung menjadikannya pelacur.
Sintia berdecak. "Ih, Mbak, ini!" protesnya. "Aku aja kepingin bisa cantik kayak Mbak. Kok Mbak malah mau mukanya benjol-benjol gitu, sih?"
"Cantik itu tidak penting, Sin. Yang penting baik hati dan pintar. Kamu belajar yang betul di sekolah, supaya nanti gampang cari kerja. Ya?" ujar Raline.
Sintia tertunduk. "Aku selalu giat belajar, kok, Mbak. Berarti, aku nggak jadi pindah sekolah?" tanyanya.
Raline mendesah berat. Kalau ingat gagalnya segala rencana yang sudah ia susun tatkala berhasil sampai Yogyakarta, hatinya mendadak ngilu.
"Nggak jadi, Sin," ucap Raline.
***
Dua hari istirahat di rumah tanpa melakukan apa pun, membuat pikiran Raline buntu.
Setiap hari, Bayu selalu pulang, bukan untuk memberi makan atau uang, melainkan memeriksa wajah Raline. Kalimat yang terlontar dari mulutnya selalu sama.
"Kalau mukamu sudah sembuh, siap-siap bekerja untukku."
Pagi ini, Raline tidak mau berdiam diri di rumah. Ia harus menemui Jeffrey, bicara dengan lelaki itu merupakan satu-satunya jalan. Mati sudah bukan lagi pilihan, ada Sintia yang harus ia jaga.
Raline mengenakan topi dan masker untuk menutupi wajahnya yang masih memar. Menggunakan ojek motor, Raline bergegas pergi ke rumah Jeffey. Ia masih ingat di mana lelaki itu tinggal. Setelah 20 menit berkendara, motor yang membonceng Raline akhirnya tiba di kediaman mewah kompleks Citraland.
Dari luar, Raline bisa melihat dua orang security berjaga di dalam pos depan rumah. Pemandangan kali ini kontras dengan kenangan Raline saat pertama kali datang. Waktu itu, rumah Jeffrey gelap dan sepi, mirip kuburan.
"Cari sapa?" tegur salah satu security kepada Raline.
Raline membuka topi dan maskernya. "Pak Jeffreynya ada?"
Security tadi tertegun sejenak, jijik melihat wajah Raline yang bengkak dan kebiruan.
"Udah bikin janji?" tanya si security tadi dengan ketus.
"Belum," sahut Raline lirih.
Security mengibaskan tangan. "Kalau belum nggak bisa, ya, Mbak. Bikin janji dulu."
"Tolonglah, Pak. Sebentar aja, kok. Bilang sama Pak Jeffrey, Raline Lara ingin ketemu," pinta Raline mengiba.
"Nggak iso, Mbak¹!" dengkus si security. Netranya menelisik penampilan Raline dengan raut meloya². Bagaimana bisa wanita kumal seperti ini mengenal si bos.
(¹ Nggak iso, Mbak : Tidak bisa, Mbak.
² meloya : jijik, perasaan tidak suka/geli, amit-amit)
Raline menyadari tatapan hina dari penjaga keamanan di depannya. Ia juga sadar diri, lelaki sekaya Jeffrey pasti tidak mau membuang waktu untuk bertemu sembarang orang. Namun, tekad Raline sudah bulat, ia harus bicara dengan Jeffrey.
Raline pun kembali memasang topi dan masker, kemudian mundur beberapa langkah dari gerbang. Ia memutuskan untuk menunggu sampai ada penghuni rumah yang keluar atau masuk. Wanita itu mengeluarkan ponsel dan mendengarkan musik melalui earphone.
Raline tahu rencananya kurang matang. Ia tidak tahu seperti apa rupa Jeffrey, lalu bagaimana cara mengenalinya?
Ah, masa bodoh. Mungkin sudah karakternya sebagai orang Surabaya, sing penting bondho nekat. Secara harafiah berarti bermodalkan kemauan yang kuat. Tujuan Raline menemui Jeffrey adalah untuk membujuk lelaki itu. Ada kemungkinan bapak tirinya batal menjadikannya pelacur jika Jeffrey kembali menggunakan jasa Bayu. Setahu Raline, Jeffrey terbiasa memanggil Irma.
Kalau hati Bayu senang, mungkin ia akan melepaskan Raline seperti sedia kala. Lebih baik balik menjalani hidup sebagai penari di klub malam ketimbang harus melacur.
Lovers walk two by two,
Doing things lovers do
They're in love, where am I?
I see them on my way home,
How I hate to be alone
They're in love, where am I?
Lagu lembut dari The Weepies mengalun lembut di telinga Raline. Lirik yang membuat Raline kembali mempertanyakan akan cinta. Meski tidak jago bahasa Inggris, Raline pernah cari tahu arti lagunya di internet. Intinya, tentang rasa kesepian seseorang yang mendambakan cinta atau kekasih.
Raline menerawang, mungkinkah orang seperti dia bisa menemukan cinta sejati?
Seumur hidup, Raline ingin tahu rasanya disayang. Dicintai bukan karena tampil seksi atau telanjang, melainkan kasih tulus untuk dirinya yang apa adanya.
Raline terlalu hanyut dalam lamunan dan musik, ia tidak sadar dari kejauhan seorang lelaki sedang berlari mendekati. Shirt putih yang basah karena peluh, menempel pada tubuh, menampilkan barisan otot maskulin yang berjajar. Itu Jeffrey.
Berlari merupakan kegiatan rutin yang dilakukan Jeffrey setiap pagi. Selain bisa menghirup udara segar, mentalnya jadi lebih stabil karena joging.
Pandangan Jeffrey tertuju pada sosok Raline. Ia memperlambat langkah sambil berpikir penuh tanya, siapa wanita itu?
Raline sadar ada orang yang mengamatinya. Ia pun melepas earphone dan membalas tatapan Jeffrey. Mata keduanya saling beradu.
Dahi Jeffrey berkernyit, janggal dengan tampilan babak belur dari wanita asing di depannya. Sementara, lain halnya dengan Raline. Wanita itu justru terkesima oleh lelaki tampan yang ada di dekatnya. Bertubuh atletis, warna kulit eksotis, dengan wajah bak Dewa Yunani. Figur lelaki itu makin sempurna dengan rambut kasar yang membingkai rahang serta dagu. Raline berdecak dalam hati, dia pasti penghuni salah satu rumah mewah di kompleks elit ini.
Orang kaya memang beda.
Meski kuyup oleh keringat, tetap saja masih gagah dan rupawan. Peluhnya pun bukan peluh karena lelah bekerja banting tulang. Melainkan keringat yang dicari secara sengaja akibat berolahraga.
Raline pun membuang muka. Tidak ingin berlama-lama memanjakan mata dengan ciptaan Tuhan yang tidak mungkin bisa ia miliki. Ia kembali memainkan ponsel untuk memilih-milih lagu. Tapi, betapa terkejutnya Raline ketika melihat lelaki tampan itu membuka gerbang rumah Jeffrey dengan santai.
Raline buru-buru memasukkan ponsel dalam tas. Ia berlari menyusul lelaki tadi sebelum sosok tegapnya menghilang.
"Mas, tunggu!" Raline menahan lengan si lelaki.
Jeffrey terkejut. Ia menyentakkan tangan sambil melotot. "Kamu ini siapa?!" bentaknya.
Raline mundur selangkah. Seluruh persendiannya terasa lemas, seolah tanpa tulang penyangga.
Bola mata kecokelatan Raline menatap penuh ketidak-percayaan. Ia masih hapal betul suara Jeffrey. Suara yang tersimpan pada setiap membran otak dan memorinya. Hanya suara itu yang Raline miliki untuk disimpan sebagai kenangan malam pertamanya. Suara berat dan dalam dari lelaki yang telah merenggut kemurniannya.
"Ka ... kamu, Jeffrey?" tanya Raline terbata.
SEVEN
"Ka ... kamu, Jeffrey ...?"
Jeffrey tak bereaksi, ia masih kesal ada wanita asing yang berani menyentuh tangannya tanpa permisi.
Security yang melihat majikannya terusik, buru-buru menghampiri. "Mbak, sampeyan iki wes dikandani, kok ngueweyel nemen, to!¹" bentaknya.
(Mbak, kamu sudah diberitahu, kok masih ngeyel, sih?)
"Ini siapa?" tanya Jeffrey kepada security-nya.
"Anu, Pak, katanya tadi cari Bapak. Sudah saya beri tahu kalau mau bertemu harus buat janji dulu," terang si security membela diri. Ia beralih ke arah Raline dan melotot. "Ayo, Mbak. Ikut aku. Jangan mengganggu kenyamanan seperti ini."
Raline menepis tangan security yang hendak menuntunnya pergi.
"Pak Jeffrey, ini aku Raline!" serunya. "Raline Lara. Raline Lara! Kamu masih ingat, bukan?"
Raline Lara? Wanita molek berkulit seputih salju yang tempo lalu Jeffrey renggut keperawanannya? Pelacur yang membangkitkan ingatan traumatis masa silam Jeffrey. Mau apa dia ke mari? Dan lagi, ada apa dengan wajahnya?
Jeffrey memandang Raline melalui tatapan tajam. Ia tidak mengharapkan bertemu lagi dengan wanita itu. Namun kini, sosok rapuh Raline justru berdiri di hadapannya. Memohon dengan pandangan mengiba.
"Biarkan aku bicara denganmu, sebentar saja," pinta Raline.
Jeffrey diam sejenak. Ia akhirnya membiarkan Raline masuk. Jeffrey tidak mau pembicaraannya dengan Raline menjadi konsumsi para penjaga keamanan.
"Ikut aku," ucap Jeffrey.
Senyum Raline mengembang. Dengan langkah ringan, ia mengekori Jeffrey yang berjalan di depannya. Mereka berdua meninggalkan si security yang makin penuh tanya. Kok bisa, si bos kenal wanita lusuh model begitu.
***
Semula Raline pikir, sosok Jeffrey adalah seorang lelaki tua buruk rupa. Mana ia sangka, Jeffrey merupakan lelaki muda nan rupawan.
Raline memandangi punggung lebar Jeffrey yang berjalan di depannya. Semua ingatan akan sentuhan Jeffrey pada tubuhnya menyeruak. Mengembalikan desir yang bergejolak dan berteriak.
Otot-otot maskulin yang menyembul dari balik kaos polos Jeffrey semakin membuat Raline sesak napas. Tubuh itulah yang menindihnya hingga menggelinjang hebat. Dan, tangan kokoh itu juga yang menari bebas pada setiap jengkal kulit Raline. Tangan bertelapak lebar yang telah menampar bokong polosnya hingga merah dan panas.
Raline mencoba mengenyahkan imajinasi liar akan malam bersama Jeffrey tempo lalu. Bukan itu tujuannya datang.
Setampan dan sekaya apa pun Jeffrey, tetap saja ia adalah lelaki berkelainan seksual. Hidung belang yang mencari kepuasan dari wanita bayaran. Raline harus ingat akan hal itu.
Beberapa pasang mata staf rumah menyorot Raline ganjil. Tidak biasa si bos menerima tamu berpenampilan lusuh. Para staf tidak tahu saja, Jeffrey punya kehidupan malam yang extra-ordinary. Itu sebabnya Jeffrey hanya mempekerjakan para pembantu dan tukang masak sampai sore. Tentu saja, Marni adalah pengecualian. Ia adalah orang kepercayaan Jeffrey. Ibarat Alfred Pennyworth seorang Bruce Wayne.
Rumah ini lebih ramai ketimbang saat aku pertama kali ke sini. Raline menyadari lirikan sinis dari para pembantu yang melihatnya. Ia tersenyum kecut.
Jeffrey membuka pintu ruang kerja dan menengok Raline datar.
"Masuklah." Jeffrey memiringkan tubuh, menciptakan sela bagi Raline untuk melewati pintu.
Raline menelan saliva. Saat melewati Jeffrey, bukan bau asam yang ia cium. Melainkan aroma woody. Wangi yang menjadi ciri khas dari lelaki maskulin itu. Bukankah tubuhnya penuh peluh, namun mengapa begitu menyegarkan?
Jeffrey berdiri seraya bersandar pada tepian meja, mempersilakan Raline duduk di atas sofa chesterfield berwarna cokelat kemerahan.
"Mau apa kamu ke sini?" tanya Jeffrey tanpa basa-basi.
Tatapan Jeffrey yang mengintimidasi membuat Raline salah tingkah. Ia menunduk --- mencoba menyembunyikan wajahnya yang jelek karena penuh memar.
"Aku ke mari karena ..." Raline terbata. "Aku ... ingin ..."
"Singkat saja, Mbak. Aku tidak punya banyak waktu," sela Jeffrey ketus.
Raline mendongak dan memandang Jeffrey lekat. Sekarang, perlakuan lelaki itu sangat berbeda. Ia seolah sampah --- habis manis, sepah dibuang.
"Pak Jeffrey," kata Raline. "Aku datang ke mari untuk meminta maaf. Minta maaf jika aku melakukan kesalahan dalam melayanimu tempo hari."
Raline tidak punya pilihan, hanya Jeffrey satu-satunya orang yang bisa mengubah nasibnya.
Jeffrey mendengkus. Ia membuang muka karena tak ingin berlama-lama menatap Raline. "Bayu harusnya tahu, aku tidak memesan seorang wanita yang masih perawan."
Jadi, karena itulah Jeffrey kesal?
"Pak Bayu tidak tahu kalau aku masih perawan. Ini bukan salahnya. Aku mohon, kembalilah menggunakan jasanya. Setahuku Irma juga sudah pulih dan bisa kembali melayanimu. Bukankah, kamu menyukai service Irma?" ujar Raline.
"Bayu yang mengutusmu ke sini? Katakan padanya, kerja samaku dengan dia sudah selesai." Jeffrey bersikukuh.
Frustrasi, air mata Raline menetes membasahi pipinya yang kebiruan. "Pak Jeffrey, aku mohon. Aku mohon, Pak. Aku datang ke sini atas kemauanku sendiri, tidak ada campur tangan Pak Bayu. Aku yang salah, harusnya dari awal aku berkata kalau aku masih perawan dan belum berpengalaman. Dengan begitu kamu mungkin tidak akan kesal seperti ini."
"Bukan soal berpengalaman atau tidak!" bentak Jeffrey.
Raline terhenyak dan memandang Jeffrey dengan mata menggenang. Pemandangan yang makin menyiksa batin Jeffrey --- memancing kenangan traumatis akan kejadian masa lalu.
Wanita itu tampak rapuh, tak berdaya. Raline mengiba seakan Jeffreylah penyelamat hidupnya.
Tatapan penuh harap yang dulu pernah Jeffrey torehkan semasa kecil. Menangis dan memohon, namun tak ada satu pun orang yang menyelamatkannya.
"Pak, berikanlah satu lagi kesempatan untuk Pak Bayu. Dengan memberinya kesempatan, kamu telah menolong hidupku," ucap Raline.
Jeffrey mendecih. "Bukan urusanku." Ia berjalan membuka pintu ruang kerja. "Keluar. Pembicaraan kita sudah selesai."
"Pak ...?" sanggah Raline.
"Keluar!" bentak Jeffrey dengan rahang mengeras.
Raline menelan tangis. Kecewa karena terpaksa menerima nasib sebagai pelacur. Seumur hidup berutang kepada Bayu, utang yang harus ia bayar dengan menjual tubuh.
Ia berjalan gontai sambil menghapus sisa air mata. Sebelum pergi, Raline menoleh ke arah Jeffrey.
"Padahal, kamu bisa saja membantuku ..." kata Raline lirih.
Jeffrey membeku. Berusaha acuh dengan memalingkan muka dari sorot sendu di hadapannya.
Satu kali lagi, bukan urusanku!
***
Marni tergopoh menuju foyer atau aula masuk yang berada di lantai bawah. Ia dengar, ada tamu menemui sang bos. Seorang wanita berpenampilan norak yang menjadi bahan gunjingan seluruh staf.
Wanita berambut perak dan lusuh. Begitu kata salah satu pembantu yang bertugas merapikan ruang utama.
Wanita berambut perak yang Marni kenal cuma satu, Raline Lara. Marni penasaran, kenapa Raline kembali datang. Selain itu, ada seutas kepedulian bersarang di hati Marni untuk Raline. Entah kenapa Marni tak bisa lepas memikirkan Raline sejak terakhir pertemuan mereka.
"Raline!" seru Marni. Ia bernapas lega karena sempat mengejar sosok Raline hendak membuka pintu utama.
Raline menengok. Ia kemudian membuka masker dan tersenyum. "Oh, Bi Marni," sapanya..
"Kenapa mukamu?" Marni berkernyit kaget.
"Nggak kenapa-kenapa, Bi," sahut Raline.
Muka hancur begitu, dia bilang nggak kenapa-kenapa? Marni makin kasihan kepada Raline.
"Ada urusan apa ke mari?" tanya Marni.
"Aku ke sini untuk bicara sama Pak Jeffrey, meminta maaf untuk segala kesalahanku dalam melayaninya. Hanya saja, sepertinya percuma," terang Raline.
Marni menghela berat. Ia paham betul alasan Jeffrey yang sebenarnya. "Bukankah Pak Jeffrey sudah menuntaskan pembayaran? Seharusnya itu tidak menjadi masalah untukmu atau Bayu, bukan?"
"Ya." Raline tersenyum kecut. "Ya sudah, aku permisi, Bi."
Marni mencegah Raline. "Tunggu dulu, Line."
"Ada apa?"
"Wajahmu kenapa? Kenapa bengkak begitu? Sudah kamu obati?" selidik Marni khawatir.
"Sudah kuobati, kok, Bi," sahut Raline.
Hati Marni masih merasa tidak puas. Ia berat melepaskan Raline pergi begitu saja. "Ikut aku dulu, yuk. Aku bantu mengobati wajahmu yang bengkak."
"Tidak usah, Bi. Makasih," tolak Raline.
Marni bersikukuh. "Ayolah, Line. Sebentar saja."
Raline pun menyetujui tawaran Marni. Ia mengikuti langkah Marni yang berjalan masuk menembus selasar rumah yang panjang. Pada dinding berjajar lukisan-lukisan besar. Tak hanya itu, patung pahatan juga melengkapi interior megah rumah Jeffrey.
Entah apa pekerjaan Jeffrey hingga bisa begini kaya raya. Raline sibuk bicara sendiri dalam hati
Dulu, almarhum ibunya selalu bilang kalau orang bisa kaya raya karena jualan narkotika atau pesugihan. Raline percaya itu. Namun, seiring bertambahnya kedewasaan, ia sadar ibunya hanyalah orang yang berpikiran sempit. Orang kaya tidak mesti jual obat terlarang atau pesugihan. Banyak hal bisa diupayakan untuk meraup banyak uang. Salah satunya punya bisnis berkembang atau jadi pengusaha.
Tapi, menilik dari usia Jeffrey yang sepertinya masih muda, lelaki itu pasti kaya karena warisan orang tua. Begitu pikir Raline.
"Mari masuk, Line." Marni membuka pintu kamar yang berada paling ujung.
"Ini kamar Bibi?" tanya Raline.
Marni menjawab dengan anggukkan kepala
"Duduklah," kata Marni. Ia kemudian sibuk membongkar laci dan mengambil sebuah kotak berisi obat-obatan.
Marni lantas menghampiri Raline yang duduk manis di atas ranjang. Pengurus rumah itu membawa kapas dan sebuah botol kaca dalam genggaman.
"Ini minyak Sumbawa. Ampuh untuk mengobati luka memar."
"Minyak Sumbawa?" selidik Raline.
Marni tersenyum. "Sesuai namanya, asalnya dari Sumbawa. Pulau yang ada di Nusa Tenggara Barat. Adikku tinggal di sana, dia rutin mengirimi minyak ini," terangnya.
"Oh, semacam minyak tawon, ya, Bi?" sahut Raline.
Marni mengangguk. "Semacam itulah. Boleh kuoles dimukamu?"
Raline melepas topi yang ia kenakan, mempersilakan Marni untuk memeriksa mukanya yang babak belur. Napas Marni berhenti sesaat memandangi wajah Raline yang semula mulus bak porselen, berubah biru lebam.
Dengan telaten, Marni mengusapkan kapas yang sudah dibasahi minyak ke pipi Raline. "Apa hubunganmu dengan Bayu?"
"Dia bapakku. Bapak tiri," jawab Raline.
Lagi-lagi, Marni dibuat syok. "Bapak tiri?" Tega sekali jual anak sendiri sebagai pelacur.
"Waktu aku kecil, ibuku menikah dengannya," ujar Raline.
"Terus sekarang ibumu mana?" selidik Marni.
"Sudah meninggal waktu melahirkan adikku." Sorot mata Raline mendadak nanar.
"Oh ..." gumam Marni pelan. Hatinya mencelos. Kehidupan yang dijalani Raline tampaknya berat dan sulit.
Raline mengelus punggung tangan Marni yang sudah rampung mengobatinya. "Makasi, Bi Marni. Aku pamit dulu," ucapnya.
"Bawa minyak ini, Line. Pakai supaya memarmu cepat sembuh." Marni menyodorkan botol kaca dalam pegangannya kepada Raline.
Bibir Raline melengkung ke atas. "Sekali lagi, makasi, Bi Marni."
***
Marni menyiapkan setelan jas untuk Jeffrey. Sang tuan muda sudah rapi, sibuk memilih koleksi jam tangan branded mana yang bakal dipakai ke kantor.
"Tadi si Raline ke sini, ya?" celetuk Marni.
Jeffrey mendengkus. "Hmm," gumamnya.
"Apa Bapak tahu kalau Bayu itu adalah bapak tirinya?" pancing Marni.
Jeffrey terkesiap. Ia berusaha mempertahankan wajah datar. "Bukan urusanku, Bi."
"Bibi kasihan sama Raline. Kok Bibi merasa kalau jadi seorang wanita panggilan bukan kemauannya." Marni menyodorkan jas kantor berwarna abu-abu kepada Jeffrey.
Jeffrey menyambar pemberian Marni. "Sudah kubilang, bukan urusanku, Bi. Tak perlu bahas wanita itu lagi!" Ia melenggang pergi dari kamar. Bergegas berangkat ke perusahaan di mana dialah founder sekaligus CEO-nya.
***
The MAXIMAL merupakan salah satu perusahaan ritel terkemuka yang menyediakan perlengkapan pakaian, aksesoris, dan produk kecantikan, dengan target kalangan menengah dan menengah ke atas.
Store the MAXIMAL tersebar hampir di seluruh mal Surabaya, Sidoarjo, Bandung, dan Jakarta.
Semula Jeffrey hanya memiliki satu toko utama di jalan Pemuda. Semakin lama, the MAXIMAL melebarkan ekspansi merambah kota-kota besar di Indonesia. Sedangkan pabriknya sendiri berada pada kawasan industri kota Sidoarjo.
Hari kasih sayang ini, the MAXIMAL meluncurkan tren mode pakaian terbaru bernuansa Valentine. Kesibukan mempersiapkan launching produk mengalihkan pikiran Jeffrey akan Raline.
Sudah satu bulan berlalu semenjak pertemuan terakhir mereka di kediaman Jeffrey. Lelaki itu menutup hati rapat-rapat. Tidak mau ikut campur atau masuk lebih dalam pada kehidupan wanita kelas bawah seperti Raline Lara.
"Acaranya dimulai satu jam lagi, Pak." Sekretaris Jeffrey, Gisella, menghampiri sambil membawa tablet yang berisikan rangkaian schedule.
Jeffrey mengangguk. Mata elangnya menelisik tiap sudut area swimming pool dan taman yang disulap menjadi pagelaran fashion show. Kawasan outdoor pada lantai empat hotel JW Marriot itu akan menjadi tempat product launch the MAXIMAL. Di tengah, sudah berdiri panggung memutar sebagai jalan para model melakukan catwalk. Jeffrey rasa, persiapan mereka sudah sempurna.
"Aku turun ke lobi dulu," kata Jeffrey.
"Baik, Pak," sahut Gisella.
Jeffrey pun berjalan menuju lift untuk menuju ke lantai bawah. Ia ingin menyambut langsung kedatangan para dewan komisaris di lobi.
TING. Pintu lift terbuka, seorang lelaki Chindo yang berdiri tidak jauh dari lift memandang sosok Jeffrey dengan tajam.
"Jeffrey?!" seru si lelaki keturunan Tionghoa itu.
Bibir Jeffrey seketika mengembang. "Lho? Ko Daniel! Kebetulan sekali," sapanya.
Kedua lelaki parlente itu saling bersalaman dan melempar tawa.
"Nggak sangka ketemu kamu di sini, Jeff. Ada acara?" tanya Daniel. Daniel merupakan senior Jeffrey saat berkuliah di Universitas Ciputra.
"The MAXIMAL launching produk, Ko. Acaranya di swimming pool lantai empat. Kamu sendiri sedang apa di sini? Liburan bersama istri? Mampirlah ke atas, kita bisa berbincang di sana," ujar Jeffrey.
Daniel meringis. Ia mencondongkan badan ke arah Jeffrey seraya membisik, "Aku nggak lagi sama istriku, Jeff. Biasa ... lagi refresing sama kimcil."
Senyum pada muka Jeffrey mendadak pudar. Ia juga suka melampiaskan nafsu kepada wanita panggilan, tetapi selingkuh lain soal. Untuk apa menikah jika menjaga komitmen saja tidak bisa.
Menyadari perubahan ekspresi Jeffrey, Daniel kembali melanjutkan, "Dalam pernikahan, hal semacam ini diperlukan, Jeff. Biar nggak bosan. Ini namanya bumbu yang bikin pernikahan makin variasi. Nanti kalau sudah berumah tangga, kamu juga bakal ngerasain, Jeff. Gimana? Sudah ada calon?"
"Belum," sahut Jeffrey singkat.
"Kamu sudah 31, lho. Buruan nikah, deh. Kamu harus punya banyak keturunan untuk meneruskan bisnismu kelak. Mau kukenalkan sama teman-temanku? Mereka semua keturunan baik-baik dari keluarga konglomerat. Gimana?" tawar Daniel sambil menepuk punggung Jeffrey.
Jeffrey mendengkus. Ia tidak suka ada orang yang seenaknya menyentuh tubuhnya. Meski hanya tepukan ringan sekali pun.
"Nggak perlu, Ko. Thanks," tolak Jeffrey.
Daniel membisik, "Atau mau kukenalkan sama kimcil-ku ini? Hitung-hitung buat senang-senang. Dia masih awam. Tadinya dancer di Coyote. Body dan tampangnya ..." Ia menggerakkan tangan seolah menggambarkan tubuh seksi seorang wanita.
Jeffrey mulai muak. Malas berlama-lama membicarakan hal tidak penting. "Ko, aku duluan, ya."
"Eh, Jeff! Itu dia datang!" ujar Daniel sambil menunjuk ke depan dengan dagunya.
Netra pekat Jeffrey otomatis mengarah ke pintu utama hotel. Menyapu pandangan ke arah wanita cantik yang masuk ke dalam lobi. Black mini dress kontras membalut tubuh putihnya yang berlekuk sempurna. Rambut perak bergelombang, menjuntai hingga pinggang, bercahaya tertimpa golden hour. Fitur wajah wanita itu mungil dan manis --- seolah bayi tanpa dosa. Sangat berbeda dari yang terakhir Jeffrey lihat, babak belur.
"Kamu lihat, seperti malaikat, bukan?" bisik Daniel. "Sesuai namanya, dia Angel."
Rahang Jeffrey mengeras --- bukan malaikat, dia adalah Lara, Raline Lara.
EIGHT
"Kenapa tidak mau sekolah, Jeff?" Marni mengelus puncak kepala si kecil Jeffrey yang baru saja menginjak kelas satu sekolah dasar.
Jeffrey menggeleng. "Pokoknya nggak mau, Bi. Bantu aku bilang sama Mama-Papa kalau aku enggak mau sekolah lagi."
"Ya, tapi kenapa, Raden Ganteng?" Marni menghela napas. Kadang kala, ada masanya seorang anak kecil enggan belajar. "Banyak PR, ya? Nanti Bibi bantu kerjakan."
"Bukan. Bukan PR, Bi. Aku nggak suka, gurunya jahat." Air mata Jeffrey menggenang.
"Sudah, sudah. Jangan menangis, Den." Marni memeluk Jeffrey untuk menenangkan si tuan muda. Sedih rasanya melihat anak yang biasanya ceria, berubah murung dan menangis tersedu-sedu.
Jeffrey mendongak dan menatap Marni penuh harap. "Bibi temani aku ngomong sama Mama dan Papa, ya?" pintanya.
"Iya. Akan Bibi temani," sahut Marni tersenyum.
Marni menggandeng Jeffrey menuju kamar utama. Setibanya di depan pintu, pengurus rumah tangga itu mengetuk pelan dan mengucap permisi.
"Pak, Bu, boleh saya masuk?" kata Marni. Sesekali ia melirik ke arah Jeffrey yang masih terisak dalam gandengannya.
"Masuk saja." Suara jawaban seorang lelaki terdengar dari dalam.
Marni tersenyum pada Jeffrey. "Ayo, Den, kita masuk." Dengan hati-hati ia membuka handle pintu menuju ruang kamar majikannya.
Di dalam kamar, tampak seorang lelaki dewasa sedang berdiri di depan cermin besar, memasang dasi pada lehernya. Sementara, si istri masih terbaring di atas ranjang dengan perut membesar karena mengandung.
"Lho, kenapa Jeffrey belum berangkat?" tanya si tuan besar.
Marni berdeham. "Begini, Pak Anwar, Den Jeffrey bilang tidak ingin ke sekolah. Waktu saya tanya alasannya, dia bilang gurunya jahat."
Si kecil Jeffrey bersembunyi di belakang tubuh Marni. Ia mengintip ke arah Anwar yang memandangi dengan tatapan dingin. Mimik muka sang ayah berubah mengeras, hidung lurus dan tinggi yang terbingkai kedua alis tebal, makin membuat wajah Anwar menakutkan.
"Jahat bagaimana, Jeff?" Anwar mendekati Jeffrey.
Jeffrey tertunduk, tak berani menatap fitur Mediteranian di depannya. "Jahat ... pokoknya jahat sama Jeffrey."
"Mereka bukan jahat, tetapi disiplin." Anwar mendecak dan kembali mematut diri di depan cermin. "Lain kali jangan terlalu didengarkan kalau Jeffrey merengek, Marni! Dia anak lelaki, harus tegar dan tangguh."
"Tapi, Papa ..." rengek Jeffrey. Tangisnya lagi-lagi pecah karena pengabaian Anwar.
"Berhenti menangis, Jeff! Anak laki tidak menangis, kalau masih menangis terus, besok Papa pakaikan kamu rok!" sentak Anwar.
Jeffrey menghambur memeluk Marni. "Bibi! Papa enggak mau belain aku! Aku enggak mau sekolah! Enggak mau!"
"Astaga, ada apa, ya, ini?" Misye --- ibu Jeffrey yang tengah hamil besar beringsut bangun dari ranjang.
"Jeffrey merengek, dia bilang tidak mau sekolah," sahut Anwar.
Misye menyorot Jeffrey sambil berkernyit. "Jeff, sekolahmu itu international school. Semua fasilitas ada. Selain itu, semua gurunya kompeten. Jangan menjadi anak manja yang sedikit-sedikit tidak mau sekolah."
"Tapi, aku nggak manja. Aku takut sama gurunya. Dia jahat, Ma," aku Jeffrey terisak-isak.
Tawa Anwar pecah. "Dulu kakek mendidik Papa dengan keras, tiap kali Papa malas belajar, kakek akan memukuli Papa menggunakan rotan kayu. Kamu ini termasuk beruntung, Jeff. Mana pernah merasakan dipukuli. Apa gurumu itu memukulimu?" selidiknya. Maklum, ia berasal dari keluarga keturunan Arab yang disiplin dan tegas dalam mendidik anak.
Jeffrey menggeleng. "Dia enggak pukul, tapi dia ..."
"Sudahlah, Jeff. Kepala Mama sakit dan mual parah," sela Misye. Ia kemudian beralih pada Marni. "Bi Marni, lekas antar Jeffrey ke sekolah. Nanti dia telat."
"Baik, Bu." Marni mengangguk terpaksa. Ia menggendong Jeffrey yang kembali meraung dalam tangis.
***
Netra pekat Jeffrey otomatis mengarah ke pintu utama hotel. Menyapu pandangan ke arah wanita cantik yang masuk ke dalam lobi. Black mini dress kontras membalut tubuh putihnya yang berlekuk sempurna. Rambut perak bergelombang, menjuntai hingga pinggang, bercahaya tertimpa golden hour. Fitur wajah wanita itu mungil dan manis --- seolah bayi tanpa dosa. Sangat berbeda dari yang terakhir Jeffrey lihat, babak belur.
"Kamu lihat, seperti malaikat, bukan?" bisik Daniel. "Sesuai namanya, dia Angel."
Jeffrey buru-buru memalingkan muka. "Ko, aku duluan, ya." Ia mengambil jalan memutar agar tak berpapasan dengan Raline. Jeffrey meninggalkan Daniel yang terbengong karena ditinggalkan begitu saja.
Cantik? Jeffrey mendecih. Mau secantik bagaimana pun, Raline Lara tetap saja seorang pelacur.
Jeffrey kesal, entah takdir macam apa yang kembali mempertemukannya dengan Raline. Ada banyak hotel di Surabaya, mengapa mereka kini harus berada dalam bangunan yang sama?
Lelaki itu kembali naik ke lantai atas, batal menunggu dewan komisaris di lobi. Jeffrey antisipasi, jangan sampai Raline melihatnya. Sudah cukup urusan di antara mereka berdua.
Sesampainya di lantai empat, Jeffrey melangkah lurus ke arah meja bar. Dengan sigap, bartender segera menyuguhi sang CEO dengan segelas koktail. Jeffrey pun meneguk campuran vodka itu secara impulsif.
"Acara belum dimulai, jangan mabuk dulu, Pak," goda Gisella.
Jeffrey tak merespon. Pandangannya nyalang dengan rahang yang mengeras. Sosok Raline Lara yang baru saja ia jumpai, menari-nari dalam benak. Bahkan segelas alkohol belum mampu melenyapkan bayang wanita lacur itu.
"Bibi merasa, jadi wanita panggilan bukan kemauannya."
Suara Marni terus berkelindan, semakin mengusik pikiran Jeffrey yang kacau.
"Padahal, kamu bisa saja menolongku ..." Kini berganti dengan ingatan saat Raline memohon kepadanya tempo lalu. Mata wanita itu sungguh sendu, seolah dunianya runtuh di tangan Jeffrey.
Jeffrey menengok dan meminta bartender untuk memberinya segelas lagi. Ia mengacuhkan mata Gisella yang memelototinya. Dan untuk kali kedua, Jeffrey menenggak alkoholnya dengan rakus.
"... Hitung-hitung untuk bersenang-senang. Dia masih awam ..."
"Dia masih awam."
Apa yang dikatakan seniornya, Daniel, memang benar. Raline Lara adalah seorang amatir dalam dunia pemuasan birahi. Jeffrey masih ingat, dialah lelaki pertama yang menembus selaput dara wanita molek itu. Merasakan liang sempit yang menciptakan gelenyar nikmat luar biasa.
Mungkin, sekarang Daniel bakal merasakan hal serupa. Menikmati tubuh polos Raline dengan tangan kotornya. Meninggalkan jejak noda di tiap jengkal kulit Raline yang seputih salju.
Tanpa bisa Jeffrey pungkiri, segala pikiran berkecamuk pada otak berhasil membuatnya kesal. Ada sensasi panas yang membakar relung dadanya. Ketidak-sukaan karena memikirkan Daniel sedang memompa tubuh Raline. Berbuat mesum kepada wanita lacur itu di bangunan yang sama dengan tempat Jeffrey berpijak.
Tidak hanya itu, mata sayu Raline yang menggenang selalu memancing rasa bersalah Jeffrey. Padahal, bukan kewajibannya untuk ikut campur ke dalam masalah Raline. Namun, mengapa semua tak bisa Jeffrey lenyapkan?
"Pak Jeff, Bapak Hari dan istrinya sudah datang," bisik Gisella.
Jeffrey meletakkan gelas koktail. "Oh ya," sahutnya.
Ia membuyarkan lamunan dan bergegas menyapa pemilik salah satu mal tempat store the MAXIMAL berada. Lelaki itu mengancingkan kancing jas dan melangkah penuh karismatik. Bibir Jeffrey tersenyum mengembang di balik berewok tipisnya.
Sang CEO kemudian menyambut kedatangan koleganya dengan ramah. Keduanya saling berbasa-basi singkat sembari membahas urusan bisnis.
"Valentine, ya? Apakah produk the MAXIMAL kali ini akan didominasi oleh warna merah muda?" tanya Hari.
Jeffrey menarik sudut bibir ke atas. "Pak Hari yang paling mengetahui kenapa kami bisa bertahan. Itu karena the MAXIMAL punya keunikan sendiri. Dan lagi, Valentine tidak harus identik dengan merah muda."
"Hmm." Hari mengangguk. "Anda berhasil membuat saya penasaran, Pak Jeffrey," ujar lelaki paruh baya itu.
"Pak Hari beruntung karena rasa penasaran Bapak akan segera tertuntaskan sebentar lagi," sahut Jeffrey.
Pikiran Jeffrey terus melancong memikirkan Raline. Semua tentang Raline, Raline, dan Raline Lara. Lelaki itu mengutuk dalam hati, mengapa ia bisa begitu tolol! Memikirkan pelacur saat sedang bekerja!
"Kalau begitu silakan menikmati acaranya, Pak." Jeffrey kehilangan kesabaran. Ia bergegas meninggalkan Hari dan berniat beramah-tamah lebih lama.
Jeffrey kemudian menghampiri Gisella. "Berikan aku ponselmu!" todongnya.
Meski bingung, Gisella segera menyodorkan ponselnya kepada Jeffrey. "I-ini, Pak."
Jeffrey menyambar telepon selular milik sekretarisnya. Ia berjalan menuju lift untuk turun ke lantai bawah. Akal sehat Jeffrey pasti sudah rusak. Bisa-bisanya dia meninggalkan acara penting perusahaan demi menuruti kata hati.
Senyum dari resepsionis mengembang saat melihat kedatangan Jeffrey. "Sore, Pak Jeffrey. Ada yang bisa saya bantu?"
"Mbak, boleh saya tahu di kamar mana Bapak Daniel Utomo Setya menginap, ya? Dia adalah salah satu kenalan saya. Tadi kami bertemu di lobi dan saya lupa menanyakan kamar hotelnya. Sementara, ponselnya tidak bisa saya hubungi," ujar Jeffrey tenang.
Resepsionis itu mengangguk. Sebenarnya, memberikan informasi soal nomor kamar tamu termasuk melanggar privasi. Namun, mana mungkin menolak seorang Jeffrey Daud Pratama, tamu VIP yang sedang menyelenggarakan event besar pada hotel mereka.
"Bapak Daniel Utomo Setya, ya?" ulang si resepsionis seraya memeriksa pada komputer. Tak berselang lama, ia lalu menatap Jeffrey sambil tersenyum. "Kamar 201, Bapak."
"Oke, makasi, ya, Mbak." Jeffrey menyeringai puas.
Jeffrey bukan lelaki sembrono. Ia menggunakan ponsel Gisella untuk menghubungi istri Daniel. Jeffrey memberitahu wanita malang itu untuk segera datang ke JW Marriot kamar nomor 201, tempat di mana suaminya sedang bertukar lendir dengan wanita panggilan.
Jeffrey tahu betul --- istri Daniel tidak akan membuat keributan, mengingat posisi Daniel sebagai kepala yayasan sebuah badan amal.
Kini tugas Jeffrey hanya tinggal mengulur waktu agar Daniel dan Raline tidak terlebih dahulu bersetubuh. Paling tidak, sampai sang istri datang melakukan bagiannya.
Sambil menyugar helai rambutnya, Jeffrey pun bergegas menghubungi nomor Daniel. Berkali-kali nada sambung, tidak juga diangkat. Sial! Apa jangan-jangan Daniel dan Raline sudah bercinta?
Ia terlambat?!
"Halo?" Suara parau Daniel terdengar dari balik speaker.
Jeffrey menyeringai. "Halo, Ko. Ada yang mau kubicarakan."
"Soal apa, Jeff? Kamu tahu, 'kan, I'm in middle of something," kelakar Daniel.
"Hal itulah yang mau kubicarakan, Ko. Jujur saja, aku kepikiran tentang penawaranmu. Namun, saat ini aku sedang berada di tengah acara launching."
"Maksud kamu?" selidik Daniel.
Jeffrey berdeham. "Maksudku, bagaimana kalau kamu menungguku beberapa menit sebelum bergumul dengan pelacur itu? Aku menawarkan permainan threesome, Ko. Dan, kamu bisa membebankan biaya wanita itu kepadaku."
Daniel hening sesaat.
"Threesome? Kamu, aku, dan Angel?" ulangnya.
"Ya. Bagaimana? Tapi, aku harus menyelesaikan urusanku dulu di sini," ujar Jeffrey.
Tawa Daniel terdengar lantang. "Aku nggak kira kamu ternyata punya fantasi begitu liar. Oke. Aku rasa threesome adalah hal yang menarik untuk dicoba. Aku akan menunggumu, Jeff."
Tarikan melengkung tercipta pada bibir Jeffrey yang merah. Senyum kemenangan.
***
Raline keluar dari bathroom dengan tubuh terbalut jubah mandi. Tidak segaris pun senyum terukir pada bibir plum-nya.
Hari ini ia harus melayani Daniel --- lelaki yang sering datang ke klub malam tempatnya bekerja dulu. Raline masih ingat perilaku genit dan kasar Daniel tiap kali bertemu. Berulang kali Daniel menggoda Raline dan dancer yang lainnya. Ia juga sering membuat onar saat sedang mabuk berat.
Rupanya, hal ini dimanfaatkan Bayu untuk menghukum Raline. Muncikari itu sengaja menjualnya kepada Daniel, lelaki mata keranjang yang teramat Raline benci.
"Sudah selesai mandi?" tanya Daniel. Ia duduk di atas sofa yang terletak di depan jendela lebar kamar hotel.
Raline mengangguk.
Daniel meletakkan ponsel di atas coffee table. Ia kembali melanjutkan, "Kita tunggu temanku dulu, ya. Enggak lama, kok. Dia ada di lantai empat hotel ini."
"Ma-maksudnya?" Raline terperanjat bukan main.
Daniel mengernyih. "Ya nunggu temanku. Kita main bertiga, Sayang."
Melayani Daniel seorang saja, Raline sudah hancur lebur. Lalu apa maksudnya ia harus menghadapi dua orang sekaligus?
"Harusnya tidak begitu, 'kan?" bantah Raline.
"Alah. Santai aja. Nanti kalau ada charge tambahan bakal aku bayar, kok. Lagian, Bayu bilang aku bebas melakukan apa pun kepadamu. Jadi, jangan sok jual mahal gitulah, Angel." Daniel mendecih.
Rasanya Raline ingin berteriak sambil menangis! Tapi, ia tak memiliki kuasa untuk melawan.
Daniel menyilangkan kaki seraya bersandar. "Kukasih tahu, ya, Ngel. Kamu itu jualan jasa. Jadi, tolong ramah dikit sama pelangganmu. Percuma cantik dan seksi kalau kelakuanmu tidak menyenangkan. Enggak akan ada yang mau memakaimu lagi. Coba, deh, profesional."
Raline memandang Daniel melalui mata yang berkaca-kaca. Lelaki itu begitu menjijikkan baginya. Ingin sekali ia mencekik leher Daniel dan melemparnya keluar melalui jendela.
"Nah, sembari nunggu temenku datang, gimana kalau kamu striptease dulu di depanku. Kata Bayu, side job-mu stripper. Baru tahu, lho, aku. Kalau tahu, dari dulu aku undang kamu untuk menari di acara-acaraku." Daniel menelisik tubuh Raline dari atas ke bawah. Kulit wajah lelaki Tionghoa itu memerah, mungkin karena mulai h0rny.
Mana sudi Raline menari di hadapan lelaki mesum seperti Daniel.
Daniel menepuk tangannya. "Ayo, Angel. Tunggu apa lagi? Buruan!"
Raline menarik napas dalam. Ia memejamkan mata sesaat untuk menenangkan diri. Sudahlah, ini adalah takdirnya. Ini nasib yang tak bisa ia tolak. Untuk bertahan hidup demi Sintia, ia harus ikhlas menjajakan tubuh.
Daniel terpaku ketika Raline mulai berlenggok di hadapannya. Wanita itu perlahan-lahan melepas bathrobe yang melilit tubuh. Pinggul Raline bergerak pelan menciptakan suguhan pembangkit libido bagi kaum Adam. Kedua tangannya bergoyang ke atas --- membebaskan gundukan kembarnya terekspos.
Daniel menelan saliva. Celana yang ia gunakan terasa sempit karena kejantanannya sudah bangun. Bagian bawah lelaki itu meronta ingin dibebaskan.
Raline berputar membelakangi Daniel, meliukkan tubuh pelan. Ia menungging seraya meraba pergelangan kaki dengan jemarinya yang lentik. Bokong Raline yang bulat semakin menggoda gairah Daniel. Panggul seksi itu bergoyang naik dan turun dengan ritme lambat.
Daniel mulai gelisah. Ia tidak sabar bergumul dengan stripper menawan di depannya.
Ketika lelaki Chindo itu resah, bunyi ketukan terdengar dari balik pintu kamar hotel. Wajah Daniel semringah, yang ditunggu-tunggu datang juga!
"Nah! Itu pasti temanku!" Daniel bergegas berjalan ke depan untuk membuka pintu.
NINE
"Itu pasti temanku."
Daniel bergegas membuka pintu kamar. Ia begitu tidak sabar hingga tidak mengecek siapa yang datang melalui door viewer.
Raline meraih jubah mandi dan kembali memakainya. Wanita itu pasrah dengan apa yang akan terjadi. Digauli oleh dua lelaki sekaligus. Ia hanya berharap permainan mereka cepat selesai.
"Ste-Stella ...?!" Daniel terpaku di depan pintu.
Di luar, seorang wanita berambut light brown berdiri dengan mata melotot. Tunggu? Jangan bilang teman Daniel adalah wanita. Jadi, threesome --- dua wanita dan satu lelaki? Benak Raline dipenuhi banyak tanya.
"Binatang kamu, Niel!" Wanita tadi mendorong tubuh Daniel penuh emosi. "Aku di rumah sama anak-anak dan kamu di sini sama lonte!"
"Stella, kenapa kamu bisa tahu aku ada di sini?" Daniel memegangi lengan si wanita bernama Stella.
"Enggak penting aku tahu dari mana!" bentak Stella. Ia beralih memandang Raline melalui kedua mata berkilat. "Kamu dibayar berapa sama suamiku?!"
Raline belum mampu mencerna apa yang sedang terjadi. Ia bergeming seraya merapatkan bathrobe-nya.
"Oh, dasar lonte!" Stella menjambak rambut Raline. Menariknya kuat-kuat untuk melampiaskan sakit hati dan kekecewaan.
Daniel berusaha menghentikan amukan sang istri. "Stella, sudah! Sudah, Sayang! Dia bukan siapa-siapa. Kita belum ngapa-ngapain. Sudah, Stell!"
"Kamu bela lonte ini, Niel?!" Stella makin emosi. Ia lalu mendorong tubuh Raline hingga terjatuh ke lantai. Dengan air mata berlinang, Stella menjauhi Raline dan Daniel.
"Stella, tunggu, Sayang! Aku bisa jelaskan!" kejar Daniel.
"Aku akan laporkan kelakuanmu ke Papi dan Mami!" kecam Stella sebelum pergi.
Daniel panik. Buru-buru menyusul sang istri. Maklum, mertuanyalah yang selama ini memberikan Daniel jabatan tinggi di perusahaan.
Sementara itu, Jeffrey berjalan tenang di selasar --- berpapasan dengan Stella yang terisak. Tak lama, sosok Daniel tergopoh berlari untuk mengejar sang istri.
"Lho? Ko? Aku kok ketemu Ci Stella barusan? Ada apa ini?" tanya Jeffrey seolah tanpa dosa.
Daniel berdecak. "Aku juga nggak tahu! Stella tiba-tiba ada di sini! Dia mergokin aku, Jeff! Kurasa ada yang ngadu ke dia."
Ya, dan itu aku.
Jeffrey tertawa dalam hati. "Terus gimana, Ko? Permainan kita batal?"
"Semua kacau, Jeff! Udahlah. Aku harus susul istriku." Daniel melengos dan mengambil langkah seribu.
***
Di dalam kamar, Raline pelan-pelan beringsut bangun dari lantai. Ia memeriksa lengannya yang tergores akibat tercakar kuku Stella. Bukannya kesakitan, wanita itu justru cekikikan.
Seketika tawa Raline pecah.
Ia begitu bersyukur dengan apa yang terjadi. Raline tidak harus bersetubuh dengan lelaki macam Daniel. Kuasa Tuhan mengirim istrinya datang untuk menggagalkan semua.
Raline berdendang ceria seraya merapikan rambutnya yang berantakan. Ia tidak sadar di depan pintu Jeffrey mengamati tingkah lakunya tanpa bersuara. Puas bernyanyi, Raline lagi-lagi terkikik geli. Mampus kamu, Daniel!
"Apa yang membuatmu begitu senang?"
Raline berjingkat kaget. "Ya Tuhan!" pekiknya. Ia menoleh ke belakang dan terbelalak tak percaya. "Jeffrey?!"
Jeffrey bersandar di sisi kusen pintu. Kedua tangannya menyilang di depan dada.
"Ke-kenapa kamu ada di sini?" tanya Raline.
Mata mereka saling beradu. Jantung Raline bertabuh cepat akibat sorot tajam Jeffrey. Lelaki itu sangat gagah, berpakaian rapi dan karismatik. Kepala Raline bahkan harus mendongak agar bisa menatap Jeffrey. Rahang tegas yang ditumbuhi bakal rambut kasar makin membuat fitur wajah Jeffrey memesona.
Mendadak, Raline teringat sentuhan liar Jeffrey saat pergumulan mereka tempo lalu. Wajah wanita itu memanas dan merona.
"Daniel sudah menidurimu?" selidik Jeffrey.
"Belum, kami ..." Raline terbata. "Tunggu dulu, kamu mengenal Ko Daniel?"
Jeffrey seakan mengabaikan keterkejutan dan pertanyaan Raline. Lelaki itu justru menjawab dengan pertanyaan lain, "Berapa lama Daniel mem-booking-mu?"
"Sampai jam 10 malam ini," jawab Raline.
"Dan sekarang masih sore. Kamu bersiap pulang?" cecar Jeffrey. Ia masih mematri pandangan pada wanita berambut perak di hadapan. Sibuk menemukan alasan mengapa Raline mampu menguasai benaknya akhir-akhir ini.
Raline mengangguk pelan. "Tentu aku akan pulang. Mau apa lagi," sahutnya.
"Membiarkan Bayu kembali mengomelimu? Pulang tanpa membawa hasil apa pun. Bukankah Daniel belum membayarmu?" Jeffrey mengintrogasi Raline --- menaikkan sebelah alisnya yang tebal.
Raline terkesiap. Sekujur tubuhnya bergidik karena khawatir Bayu akan menghajarnya seperti yang lalu. Namun, apa peduli Jeffrey soal itu? Bukankah ia hanya lelaki sombong yang mengacuhkannya saat Raline memohon pertolongan?
"Itu ..." kata Raline memberanikan diri. "Itu bukan urusanmu!" Ia melenggang menuju kamar mandi, berniat memakai pakaian dan segera pergi.
Tanpa disangka, Jeffrey menutup pintu kamar hotel dan menguncinya. Lelaki itu melonggarkan ikatan dasi dan melangkah mendekati Raline.
"Mau apa kamu?" sentak Raline.
Secara kasar, Jeffrey menarik tangan Raline dan menjatuhkan wanita itu ke atas ranjang. "Aku akan membayar sebesar tarif yang disanggupi oleh Daniel."
Raline menelan saliva.
"Bukankah memang sudah jadi tugasmu untuk memuaskan lelaki hari ini. Lagi pula, permainan kita yang dulu juga belum tuntas." Jeffrey membuka jas yang membalut badan atletisnya.
Semua ini karena persetubuhan mereka belum klimaks. Keterkejutan karena Raline masih perawan, membuat Jeffrey menghentikan permainan mereka. Tetapi sekarang lain soal, wanita ini sudah bukan perawan lagi.
Jeffrey yakin, pasti itu alasan kenapa Raline Lara selalu menghantui pikiran Jeffrey. Ledakan nafsu yang belum sampai ke puncak merupakan penyebab dari rasa penasarannya.
"Jeffrey?" Raline bergulir menjauh. Matanya bergetar ketika menangkap sepasang sorot Jeffrey yang begitu kelam.
"Kemarilah," titah Jeffrey.
"Kamu mau apa?" Raline mengulang pertanyaan yang sama.
"Jangan pura-pura bodoh. Keinginanku sama seperti Daniel," tegas Jeffrey. "Dan aku tidak punya banyak waktu."
Jeffrey naik ke atas kasur, memburu tubuh Raline yang mematung. Lelaki itu menangkupkan wajah Raline dalam telapaknya yang lebar. Raline mampu merasakan hawa panas dari napas Jeffrey menerpa bibirnya.
"Jeffrey ..." ucap Raline lirih.
Logika wanita itu menolak, namun tubuhnya berkata lain. Raline tak kuasa melawan sosok rupawan yang kini mendominasinya. Raline mulai mengambil kesimpulan bahwa ia termasuk wanita dangkal yang mudah terbuai oleh fisik sempurna ciptaan Tuhan. Pesona Jeffrey membuatnya tak berkutik.
Jeffrey membisik. "Kamu masih ingat aturan bermainku, bukan, Lara?"
Napas Raline memburu. Lelaki itu mampu menyebutkan nama Raline dengan cara yang menggairahkan.
Jeffrey lantas mendaratkan ciuman kasar pada bibir merah Raline. Lumatan tanpa ampun yang membuat pikiran Raline kosong. Wanita itu hanya bisa mengerang ketika lidah Jeffrey menyeruak masuk dan mempermainkan lidahnya. Lelaki itu menggigit bibir Raline secara liar.
Oh, Tuhan. Aku adalah manusia berdosa karena menikmati segala sentuhan lelaki bajingan ini.
Raline memejam. Kini, semua buram, hanya tinggal rasa dari bibir Jeffrey yang berhasil memikat jiwa dan raganya.
TEN
Tahun 2006 silam adalah masa keterpurukan bagi Anwar dan keluarganya. Bagaimana tidak, saat usia Jeffrey 16 tahun --- menginjak kelas dua SMP --- media massa dihebohkan oleh berita pelecehan seksual di lingkungan sekolah. Kejahatan itu terjadi di salah satu sekolah internasional kebanggaan kalangan elit di Jakarta karena telah berdiri sejak tahun 90'an. Tepatnya, tempat Jeffrey menempuh sekolah dasar dulu.
Tidak main-main, pelecehan dilakukan oleh oknum kepala sekolah dan guru.
Michael Hopkinson --- sang kepala sekolah --- akhirnya mengaku telah melecehkan ratusan murid di bangku sekolah dasar selama bertahun-tahun. Satu per satu orang tua korban muncul ke permukaan, menuntut keadilan untuk anak mereka. Pada tahun itu pula, Excellent MRF Academy of Elementary School Jakarta resmi ditutup oleh pemerintah.
Anwar duduk di depan meja kerjanya. Ia menopang dahi sembari menyembunyikan muka yang tertunduk. Sementara, Misye terisak tanpa kata pada sofa yang berada tak jauh dari Anwar.
Anwar kemudian menengadah untuk memandang Jeffrey yang berdiri di hadapannya.
"Jeff," kata Anwar. "Kamu sudah 16 tahun, sudah remaja dan pasti mengerti apa itu kekerasan seksual."
Jeffrey mematung. Raut mukanya tanpa ekspresi. Ia menatap sang ayah dengan sorot dingin.
Anwar berdeham dan kembali melanjutkan, "Katakan sama Papa, apa ..." Kalimatnya terhenti. Tenggorokan Anwar tercekat, seolah tak kuasa meneruskan kata. "Apa mereka pernah melakukan sesuatu kepadamu?"
"Sesuatu apa?" tanya Jeffrey datar.
"Sesuatu yang tidak pantas padamu," jelas Anwar.
Tatapan keras Jeffrey berubah nanar. "Seingatku, aku sempat berusaha memberitahu Papa dan Mama," jawabnya.
Anwar meremang, lelaki itu hancur. Namun, seumur hidup menjadi lelaki keras dan tegas, membuatnya bertahan dalam diam. Di lain sisi, tangis Misye makin keras. Wanita itu menghambur ke arah Jeffrey dan mencoba memeluk sang anak.
"Jeff!" pekik Misye.
Jeffrey menepis tangan Misye. Semenjak kejadian traumatis yang menimpanya, ia memang tak suka disentuh. Meski oleh orang tuanya sendiri.
"Apa pembicaraan ini sudah selesai?" Jeffrey menghindar.
Misye menyorot anak lelakinya melalui mata yang berair. "Jeff ... kita harus menuntut keadilan untukmu!"
"Aku nggak mau orang lain tahu, khususnya teman-temanku di sekolah yang sekarang," sanggah Jeffrey.
"Tapi, Jeff ... mereka ..." ucap Misye tersedu.
"Kejadian itu sudah lama terjadi. Aku nggak mau mengungkitnya." Jeffrey memandang Misye dan Anwar secara bergantian. Ia lalu melengos dan bersiap pergi. "Kalau begitu aku permisi, Pa, Ma."
Jeffrey pun pergi meninggalkan kedua orang tuanya. Ia menyembunyikan segala luka hati yang sudah mengerak.
***
Raline terbuai oleh aroma woody yang menguar dari badan Jeffrey. Lidah mereka berdua masih saling berkejaran. Cumbuan yang mengakibatkan sekujur tubuh Raline memanas.
Jeffrey mencengkram kedua pergelangan tangan Raline ke atas. Seperti yang sudah ia katakan, ia adalah seorang dominan. Jeffrey melarang Raline menyentuhnya atau berinisiatif seenaknya sendiri. Lelaki itu lalu menyudahi pagutan bibir mereka dan menegakkan badan.
Jeffrey melepaskan ikatan dasi pada kerah kemeja. Ia menarik tangan Raline dan menggunakan dasi itu sebagai pengikat.
"Ah ... Ehm ..." Raline mulai terbiasa oleh perlakuan Jeffrey. Ia tak lagi takut, justru bergairah hebat.
Jeffrey menuntun tubuh Raline untuk tengkurap. Dua gundukan menonjol dari tubuh bagian belakang Raline tampak jelas. Lelaki itu kemudian menampar bokong bulat itu dengan keras.
"Mengakulah kalau kamu adalah gadis nakal!" bentak Jeffrey.
Raline menggigit bibir. Ia mengerang pelan, nyaris tak terdengar.
"Kamu yang menghubungi istri Ko Daniel?" tanya Raline disela rintihnya.
PLAK. Jeffrey kembali menampar bokong Raline. "Kamu tidak ada hak untuk bertanya!" sentaknya.
"Aku benar bukan?" Raline bersikukuh. "Kamu yang menyabotase Daniel."
Jeffrey menusukkan batang kerasnya ke dalam liang sempit Raline. Sentakkan yang keras dan kasar. "Ini hukuman karena kamu sudah cerewet!"
Raline mendesah keras. Milik Jeffrey menusuk dengan ritme cepat. Seolah tak mengizinkan tubuh Raline untuk beradaptasi terlebih dahulu.
"Jadi ... memang kamu ... orangnya." Raline mengerang. "Tapi, kenapa? Apa pedulimu ...? selidiknya.
Jeffrey mendengkus. Tangan kekarnya menarik pinggul Raline ke belakang, mengakibatkan kejantanannya menusuk makin dalam.
"Kamu benar-benar pantas dihukum, Lara! Gadis nakal!"
Raline tersentak. Milik wanita itu terasa sangat penuh dan berkedut. Kalau ini adalah hukuman, maka ini merupakan hukuman ternikmat dalam hidup Raline. Tubuh Raline menggelinjang akibat tusukan tajam dari kejantanan Jeffrey yang beringas.
"Oh ... Tuhan ..." Raline meracau seraya terpejam. Ia mengejan sambil meresapi gelenyar manis dari persetubuhan terlarang.
Ya, itu Jeffrey. Jeffreylah yang memanggil istri Daniel. Jeffrey yang menggagalkan Daniel menggagahinya. Jeffrey adalah Ksatria Penyelamat Raline. Pikiran Raline mulai dipenuhi oleh imajinasi dari romansa klise tentang cinta sejati. Mungkinkah Jeffrey, menyukainya?
Hati Raline kini dipenuhi bunga-bunga kebahagiaan. Fatamorgana semu akan kesimpulan sepihak yang ia buat sendiri.
Raline ... jatuh cinta kepada Jeffrey.
Lelaki itu yang mengambil keperawanannya. Dia juga yang merenggut hati Raline.
Birahi membakar kedua tubuh yang saling bersatu dalam keintiman. Tanpa aba-aba, Jeffrey menarik kejantanannya dan membalikkan tubuh Raline. Wanita itu terlentang pasrah dengan paha terbuka lebar.
Raline merona malu, lagi-lagi menggigit bibir bawahnya. Ia tak berani bertatap dengan si pemilik mata pekat memesona di depannya. Namun, netra Raline justru melirik milik Jeffrey yang teracung.
Sekali lagi, ia mampu menyaksikan kejantanan Jeffrey dengan jelas. Puncak batang panjang dan besar itu berkilat penuh cairan licin dari liang Raline yang basah. Pemandangan yang berhasil membuat bagian bawah dirinya berkedut minta diisi.
Andaikan tangan Raline tidak terikat, ia ingin sekali menyentuh kejantanan itu. Memijat batang liat itu menggunakan jemari lentiknya. Merasakan urat menyembul dengan kulit telapaknya.
Jeffrey menyeringai. Ia menyaksikan Raline yang menggerakkan pinggulnya pelan. Wanita itu pasti sudah terangsang hebat. Jeffrey senang menyiksa Raline lebih lama. Lelaki itu tak lagi memasukkan miliknya ke dalam. Sebaliknya, ia hanya menggesekkan puncak kepala kejantanannya pada ambang liang basah Raline.
Raline menatap penuh penantian. "Kumohon ..." bisiknya.
"Kumohon, apa?" goda Jeffrey.
Raline mendesah. Mata wanita itu menatap sayu. "Kumohon, Jeff ... masukkan milikmu," pintanya.
"Kamu tidak bisa memerintahku," jawab Jeffrey --- sang Dominan.
ELEVEN
Gairah Raline membuncah tidak tertahankan. Bagian bawah tubuhnya berkedut karena berharap milik Jeffrey akan kembali mengisi kekosongan. Siksaan yang cukup membuat frustrasi.
"Kamu tidak bisa memerintahku," ucap Jeffrey. Lelaki itu menyeringai puas. Senang --- berhasil membuat seorang Raline Lara putus asa.
Raline memandang batang kejantanan Jeffrey yang mengacung pongah. "Kumohon ..." desahnya.
Alih-alih memasukkan miliknya, Jeffrey justru menembus liang Raline dengan jemari. Jari-jari itu keluar masuk untuk mengobrak-abrik dinding-dinding kewanitaan Raline yang basah.
"Oh ... Jeff ..." erang Raline.
Jadi beginikah rasanya nikmat bercinta? Pantas banyak lelaki hidung belang yang rela membeli wanita demi memuaskan nafsu. Namun Raline yakin ia tak akan bisa merasakan hal yang sama dengan lelaki lain selain Jeffrey. Raline hanya ingin Jeffrey yang menyentuhnya --- menyetubuhinya.
"Bagaimana dengan ini, Lara?" Jeffrey mengocok liang sempit Raline lebih dalam dan cepat. Sesekali jempolnya menekan klitoris Raline untuk menciptakan kenikmatan lain. "Kamu menyukainya?" tanya Jeffrey.
Raline mengangguk. Tubuh wanita itu kian menggelinjang. Ia merasakan liangnya mulai kesemutan dan berdenyut-denyut. Seketika itu, Raline mengejan dengan tubuh bergetar. Sensasi puas yang memenuhi otak dan otot-otot pada badannya. Nikmat tiada banding --- tak mampu ia tolak.
"Apa ini kali pertama kamu merasakan orgasme?" Jeffrey menyudahi permainan jemarinya. Milik Raline sudah sangat basah oleh cairan mani.
Raline mengatur napas yang tersengal. "Iya ..." jawabnya malu-malu.
"Kamu ingin merasakannya lagi?" Jeffrey berpindah untuk mendekati wajah Raline.
"Iya ..." sahut Raline.
Jeffrey menarik tubuh Raline untuk bangun. Dengan tangan yang masih terikat, Raline dipaksa turun dari ranjang. Jeffrey memposisikan Raline untuk berlutut dengan kedua kakinya.
"Memohonlah," titah Jeffrey. Ia berdiri sambil memasang raut muka penuh kuasa.
Kejantanan Jeffrey mengacung tepat di depan wajah Raline. Jeffrey sengaja memamerkan miliknya yang arogan untuk menggoda wanita itu. Di satu sisi, telapak Jeffrey memegangi bagian belakang kepala Raline dengan kuat.
"Aku mohon," pinta Raline. Ia ingin sekali membungkus batang liat Jeffrey dengan bibirnya.
Jeffrey menggesek-gesekkan miliknya pada bibir Raline yang lembab. Raline mulai kehilangan kesabaran. Ia menjulurkan lidah seolah kelaparan. Raline akan mengisap dan menjilat batang itu bagaikan permen loli terenak di dunia.
"Masukkan ke dalam mulutmu!" perintah Jeffrey seraya mendorong kepala Raline agar mengulum kejantanannya. Lelaki itu meremas rambut Raline menggunakan jemarinya.
Di tengah permainan panas mereka, ponsel Jeffrey berulang kali berdering. Lelaki itu tahu betul siapa yang menelepon --- Gisella. Sudah pasti sekretarisnya kelabakan karena sang CEO hilang begitu saja di tengah acara launching.
Masa bodoh! Ada orang lain yang bisa menggantikan Jeffrey mengucap kata sambutan. Kali ini Jeffrey ingin egois, menggunakan privilege sebagai pemilik perusahaan untuk bersikap seenaknya. Hasratnya belum tuntas!
Jeffrey menggeram parau, gelombang kenikmatan dari hisapan Raline telah memanjakan miliknya. Lelaki itu mencengkram rambut Raline untuk membimbing agar kejantanannya masuk lebih dalam.
Raline hampir tersedak --- milik Jeffrey yang panjang --- memaksa masuk hingga tenggorokan. Rasa anyir dari cairan liangnya juga masih tertinggal di batang berurat itu. Namun Raline tak peduli. Semua tak sebanding dengan sensasi erotis yang kini ia rasakan. Wanita itu ikut terangsang karena memikirkan bahwa ia telah membantu Jeffrey mendapatkan kenikmatan.
Bercinta dengan Jeffrey bak candu ... menuntun Raline dalam ketagihan.
Raline mengisap kejantanan Jeffrey makin kuat. Rahang lelaki itu mengeras mengakibatkan wajahnya makin seksi di mata Raline. Hisapan dan jilatan yang makin intens berhasil membuat Jeffrey mencapai kepuasan. Lelaki itu akhirnya mengejang dan menyemburkan cairan kental ke dalam mulut Raline.
Sperma Jeffrey tumpah --- membasahi sebagian wajah Raline yang mulus. Untuk pertama kali, wanita itu mengecap rasa pahit mirip logam dari mani seorang lelaki.
Jeffrey mengatur napas. Ia mengusap bibir Raline yang belepotan oleh semen.
"Apa kamu suka?" Jeffrey menarik dagu Raline untuk mendongak menatap matanya.
"Ya," sahut Raline tersipu.
Jeffrey beralih menjamah pipi Raline. "Kamu mau lagi?"
Raline menjawab dengan anggukan kepala. Ia menyorot Jeffrey melalui matanya yang sayu.
"Aku akan memberikannya jika kamu menjadi budakku," ucap Jeffrey.
Selama bersama dengan Jeffrey, Raline bersedia menjadi apa pun. Wanita itu kembali menganggukkan kepala dengan yakin.
"Aku mau menjadi budakmu," kata Raline.
Jeffrey mengulas senyum miring. "Tidak akan semudah itu bagimu, Lara."
"Aku akan melakukan apa pun," tukas Raline bersikukuh.
Jeffrey kemudian membantu Raline berdiri. Lelaki itu menggandeng lengan Raline menuju bathroom. Sesampainya di dalam kamar mandi, Jeffrey membersihkan kejantanannya seraya kembali memakai celana.
Raline berkernyit. Ia menelan kekecewaan karena permainan mereka telah usai. Raline masih ingin Jeffrey menyatu dengannya.
"Duduk di sini." Jeffrey membuka penutup closet dan memerintahkan Raline untuk mendudukinya.
Raline menurut seperti seorang tawanan. Bukankah, ia memang seorang sandera? Sandera yang hatinya tertawan oleh Jeffrey.
"Aku akan meninggalkanmu, Lara," kata Jeffrey, "Kalau kamu memang budakku, kamu akan menungguku sampai kembali. Kamu boleh buang air kecil, bahkan buang air besar kalau kamu mau." Ia menatap Raline dengan tatapan menggoda. Lelaki itu kembali melanjutkan, "Tetapi, kamu harus tetap duduk di sini. Tidak bergerak. Dengan posisi yang sama. Tak bersuara, apa lagi berpindah tempat. Kamu juga tak boleh membersihkan tubuhmu, kemaluanmu, atau wajahmu. Aku mau kamu diam seperti patung."
"A-apa ...?" tanya Raline.
Jeffrey meletakkan ponsel di atas wastafel yang langsung menyorot sosok Raline. "Aku meninggalkan ponselku di sini dan memvideomu. Sekembalinya, aku akan mengecek apa kamu benar-benar menjadi 'gadis penurut' atau tidak."
Raline menelan saliva.
Jeffrey melangkah ke arah pintu. "Buktikan kesungguhanmu untuk menjadi budakku."
"Aku akan menunggumu." Raline berseru yakin sebelum Jeffrey pergi meninggalkannya.
Jantung wanita itu seketika berdebar. Jeffrey memang bukan lelaki yang akan membawanya dalam hubungan seksual konvensional. Ia adalah seorang Dominan yang membutuhkan Submisif. Dan Raline bertekad bulat untuk menjadi budak Jeffrey, bagaimana pun caranya.
Maka, Raline pun terdiam dalam kamar mandi seorang diri. Telanjang dan terikat oleh dasi sang CEO tampan.
***
Jeffrey menahan geli ketika melihat sosok Gisella dari kejauhan. Muka sekretarisnya itu melotot tajam dengan bibir komat-kamit melempar sumpah serapah. Kaki Gisella kepayahan berlari menghampiri Jeffrey akibat sepatu heels yang setinggi kaleng bir.
"Ke mana saja, sih, Pak?!" semprot Gisella.
Jeffrey mempertahankan wajah tenang. "Siapa yang memberikan sambutan pembukaan?" tanyanya.
"Anton! Manajer pemasaran!" Gisella menelisik penampilan Jeffrey. Rambut sedikit acak-acakkan, serta dasi yang tiba-tiba raib. "Ada apa dengan penampilan Bapak?"
Jeffrey berdeham seraya menaikkan sebelah alis. "Ada apa bagaimana? Masih tampan seperti sedia kala," sahutnya santai.
"Ini tidak sepertimu, Pak Jeff!" gerutu Gisella.
Jeffrey mengacuhkan omelan Gisella. Bekerja sama selama hampir empat tahun membuat Jeffrey terbiasa dengan kecerewetan sekretarisnya. Lelaki itu merogoh saku jas dan menyodorkan ponsel Gisella yang tadi ia pinjam.
"Nih, ponselmu. Thanks."
Gisella lagi-lagi mendecih. "Oh ya! Dan lagi, kenapa Bapak tidak mengangkat teleponku? Aku berjuta kali menelepon!"
Jeffrey teringat kalau ia meletakkan ponselnya untuk mengawasi Raline. Wanita itu sedang menungguku ... telanjang dan tak berdaya. Gairah Jeffrey diam-diam berdesir.
"Ponselku hilang," ujarnya santai. Ia lalu meninggalkan Gisella dan membaur di antara kolega dan para tamu undangan. Senyum Jeffrey mengembang dan memancarkan aura karismatik.
Launching produk the MAXIMAL yang mengusung tema Valentine sukses besar. Jeffrey --- sang CEO mengapresiasi para tim designer atas kerja keras mereka. Tidak melulu mengapresiasi rasa cinta kepada orang lain atau pasangan, the MAXIMAL meluncurkan rancangan Valentine dengan konsep self love. Koleksi pakaian pria maupun wanita dibuat senyaman mungkin dan didominasi oleh warna maroon.
Beberapa pengusaha yang datang dari luar kota, tertarik untuk bekerja sama dengan Jeffrey. Mereka ingin berkolaborasi dan menciptakan brand serupa di kota asal mereka. Tentu saja hal itu disambut baik oleh lelaki berusia 31 tahun itu. The MAXIMAL akan semakin menggurita dan menguasai pangsa pasar dalam industri fesyen.
"Bagaimana jika kita minum di klub selepas acara launching ini, Jeff?" ajak salah seorang teman Jeffrey. Lelaki itu berdiri memegang segelas sampanye sambil merangkul model cantik di sebelahnya.
Jeffrey melirik jam Rolex di tangan kirinya. Sudah tiga jam lebih ia mengurung Raline Lara di kamar 201.
"Ini malam Minggu, Pak Jeffrey. Aku akan mengenalkanmu dengan teman-temanku sesama model. Bagaimana?" tawar model semampai yang bersama kawan lelaki Jeffrey.
Jeffrey mengulas senyum tipis. "Hmm ... soal itu ..." gumamnya gamang.
"Ayolah, Jeff. Kita harus merayakan ini. Besok aku sudah kembali ke Jakarta. Kapan lagi kita berkumpul sama-sama?" desak si lelaki.
Mungkin ini cara terbaik bagi Jeffrey menguji kesungguhan Raline. Wanita lacur itu pasti akan menyerah dan memutuskan pergi. Ponsel cerdas keluaran terbaru Jeffrey juga masih ada di sana, bisa saja Raline mengambil lalu menjualnya. Wanita itu tidak akan rugi, justru untung banyak. Mana ada manusia yang bakal betah duduk mematung berlama-lama. Raline bukan seekor anjing yang patuh menanti majikannya.
Jeffrey menarik sudut bibir hingga menciptakan lengkungan ke atas. "Baiklah. Ayo kita pergi," jawabnya.
Ia pun berjalan pergi, meninggalkan JW Marriot bersama rekan-rekannya.

Sampai ketemu di BESTORY 🖤🖤🖤
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
