BAB 1 - 5

4
0
Deskripsi

https://reader.bestory.id/book/6492f52dbdfe45b49ae4f7aa

Prolog

Langit mulai meremang kala seorang wanita berambut burgundy masuk ke dalam mobil Avanza yang menunggu di depan indekosnya. Ia sedikit kepayahan ketika naik ke dalam mobil akibat gaun mini ketat yang digunakan.

Baru saja ia duduk di kursi belakang, ponsel wanita itu tiba-tiba berdering.

"Halo?" sapanya ketus.

"Sudah berangkat?" tanya si penelepon.

"Sudah. Cerewet banget, sih? Tiap lima menit telepon!" dengkus si wanita itu.

"Aku nggak mau kamu sampai telat, ya, Irma! Pak Jeffrey itu salah satu klien spesial. Kamu beruntung aku kasih dia ke kamu." Intonasi si penelepon mulai meninggi.

Irma menelan ludah kasar. "Aku tahu. Sudah dua kali aku menemui dia. Ini aku sudah di jalan. Jangan khawatir!"

"Ya sudah."

Panggilan itu kemudian berakhir. Irma memasukkan ponselnya ke dalam shoulder bag, ia lalu beralih mengeluarkan compact powder dan membukanya. Irma mematut wajah di depan kaca, memeriksa kalau ada riasan yang kurang indah dipandang. Wanita itu tersenyum karena terkesima dengan pantulan di cermin. Cantik. Tarikan pada bibir Irma mendadak pudar ketika ia teringat akan pekerjaan yang selama ini ia geluti. Lonte.

Saat Irma sedang melamun, transportasi online yang sedang ia tumpangi tiba-tiba berhenti di tengah jalan Mayjen Sungkono. Beberapa kendaraan yang berada di belakang mulai membunyikan klakson berkali-kali.

"Kenapa ini, Pak?" tanya Irma panik.

Sopir tranportasi online itu bergegas turun dari mobilnya. "Mogok, Mbak," sahutnya.

Irma mendecak. Ia takut tidak bisa datang tepat waktu ke rumah kliennya yang berada di Surabaya Barat. Dengan kesal, Irma membuka pintu mobil untuk menghampiri si sopir.

"Gimana, Pak?" Irma berdiri di samping sopir yang sibuk memeriksa mesin.

"Maaf, ya, Mbak. Akinya memang bermasalah," terang si sopir.

"Lama apa nggak, nih, Pak? Saya buru-buru soalnya!" Irma mulai emosi. Telat semenit saja, mucikarinya bisa marah-marah.

Si sopir menjawab dengan senyum kecut. Suatu pertanda bagi Irma kalau mobil itu membutuhkan waktu lama untuk kembali menyala.

"Sial!" dumal Irma.

Ia lalu menoleh ke kiri dan kanan untuk mencari barangkali ada taksi yang bisa ia panggil. Mata Irma membulat ketika melihat sebuah mobil berwarna biru dari arah belakang.
Irma melambaikan tangan. "Taksi!" teriaknya.
Kendaraan beroda empat itu lantas berhenti di seberang, menunggu Irma mendatanginya.

"Mbak, maaf, ya ..." ucap sopir transportasi online kepada Irma.

Irma tak acuh, ia sedang bersiap untuk menyeberangi jalan raya. Saat dirasa aman, Irma melangkah maju menuju ke taksi yang ia panggil.
Nahas, sebuah pengendara motor mengebut dan menabrak tubuh Irma. Wanita berambut burgundy itu pun terjatuh mencium aspal, sama halnya dengan si pengendara motor yang ikut terpelanting.

Irma meringis menahan sakit, paha mulusnya berlumuran darah. Beberapa orang berinisiatif membantu meminggirkan Irma dan si pengendara motor. Ia terseok-seok menuju ke trotoar. Ketika Irma sedang kesakitan, ponselnya kembali berdering, berulang kali.

"Halo? Mas Bayu, aku kecelakaan, ditabrak motor waktu mau nyebrang!" kata Irma.

Penelepon yang bernama Bayu itu terdengar mendecih. "Kubilang kamu telat sejam, ya? Masih bisa ngelayanin, 'kan?"

Mata Irma melotot. Ia tak percaya akan mendengar kalimat seperti itu dari mucikarinya. "Anjing, kamu!" Seketika itu juga, Irma mematikan sambungan telepon.

***

ONE

Sinar laser mencuar ke sana ke mari mengikuti hentakan musik yang dimainkan oleh Disjoki. Dengungan suara itu seolah mengalahkan suara hati dan detak jantung. Kerumunan orang asyik berjoget mengikuti irama. Sementara, sebagian yang lain duduk di meja menikmati cairan memabukkan dari bar. Klub malam itu cukup padat, terutama pada Sabtu malam, seperti hari ini. Suasana gegap gempita, penuh gemerlap, bagi para pemburu kesenangan duniawi di Surabaya.

Pada panggung utama, tiga orang dancer meliuk-liuk mengikuti ritme. Pakaian mereka berkilauan memancarkan lampu sorot yang berubah-ubah warnanya. Ketimbang disebut sebagai pakaian, kostum yang mereka kenakan lebih mirip baju dalam. Terang saja, mata para lelaki yang menari di bawah, tak mampu berpaling sedetik pun. 
Si penari yang berada di paling ujung mendapat uang ‘sawer’ paling banyak.

Dia memang bintang utamanya. Bagaimana tidak, tubuhnya sempurna dan proporsional. Buah dada montok, pinggang ramping, dengan bokong yang bulat, sudah pasti akan memanjakan mata kaum Adam. Selain itu, ia memiliki ciri khas mencolok, rambut panjang yang berwarna ash blonde.

“Angeel ...!” seru salah lelaki yang mengidolakannya.

Angel mengerlingkan mata belonya yang lentik. Wanita itu kemudian tersenyum dengan bibir plum berpemulas merah.

Angel, bukan nama sebenarnya, hanya nama panggung. Pekerjaan sebagai penari di salah satu tempat hiburan jalan Tunjungan, membuatnya harus menyembunyikan nama asli. Semua semata-mata demi melindungi diri dan privasi.

Alunan musik perlahan-lahan memudar, memberi kesempatan bagi ketiga dancer untuk beristirahat di back stage

“Dua jam lagi kamu mau ikut aku, nggak?” tanya salah seorang penari kepada Angel.

“Ke mana, Ran?” Angel menatap wajah temannya sembari mengelap peluh yang bersarang di dahi.

Rana, si penari dengan potongan rambut pendek membisik, “Ada tawaran striptease buat pesta bujang. Bayarannya lumayan.”

“Oke, aku ikut,” sahut Angel. Ia tersenyum semringah, senang karena akan mendapat uang tambahan.

Merupakan hal lumrah bagi mereka untuk menerima job tari erotis di luar klub. Hal itu harus dilakukan sembunyi-sembunyi karena Indonesia masih melarang praktik tarian telanjang di tempat-tempat hiburan malam. Namanya manusia, semakin dilarang, justru bikin penasaran.

Apa lagi, striptease cukup populer di negara-negara lain. Tarian seksi yang mengundang birahi penikmatnya. 
Bagi Angel dan teman-temannya, mendapat tawaran striptease di privat party kaum elit adalah rezeki nomplok. Para lelaki kaya itu tidak segan mengeluarkan banyak kocek agar si penari bayaran segera melepas semua pakaiannya hingga bugil. Mereka juga makin terhipnotis kalau Angel sudah melakukan lap dance atau meliuk-liuk nakal di pangkuan. Angel bisa membawa pulang uang banyak dalam satu kali tampil. Meski begitu, ia harus hati-hati, jangan sampai ketahuan, apa lagi kena grebek polisi. Dan satu hal lagi, Angel sebisa mungkin menjaga diri, tidak mau kesuciannya ternoda. Ia memang penari erotis tapi bukan pelacur, kira-kira begitulah prinsip wanita berambut ash blonde itu.

Baru duduk sejenak, seorang lelaki berkulit gelap yang badannya dipenuhi tato, menarik tangan Angel kuat-kuat.

Angel menyentakkan tangan. “Ada apa, sih, Pak? Aku lagi kerja!” bentaknya.

“Ikut sama aku. Ini lebih penting daripada kerjaanmu. Lagian, aku sudah izin sama Bosmu. Sekarang cepat pakai baju dan kita pergi, Line!” 

Ssst! Sudah kubilang, jangan sebut nama asliku di sini!” Angel, atau yang sebenarnya bernama Raline, meletakkan jari telunjuk di depan bibir. “Aku nggak mau mereka tahu namaku!”

Lelaki bertato itu mengibaskan tangan. “Halah. Nggak penting!” Ia kembali menarik lengan Raline.

“Bayu, arep mbo gowo nang di, si Angel?¹” seru seorang lelaki berpenampilan klimis. Ia merupakan manajer klub tempat Raline bekerja. (¹Mau kamu bawa ke mana, si Angel?)

Bayu meringis. “Ada urusan penting di rumah! Potong aja dari gajinya.”

“Pak?!” sentak Raline tidak terima. Ia tidak mau gajinya dipotong sepeser pun.

Bayu melotot ke arah Raline. “Diam. Pekerjaan yang bakal aku kasih ke kamu ini berlipat ganda melebihi gajimu, Line. Makanya, cepat pakai baju dan kita segera pergi dari sini.”

“Tapi, setelah ini aku ada kerjaan lain, Pak!” tolak Raline. Ia tak ingin kehilangan kesempatan untuk mendapatkan tambahan uang dari menari striptease.

Bayu mencengkeram lengan Raline lebih kuat. “Lupakan dulu yang lain. Sudah kubilang ini lebih penting. Aku bakal ganti kerugian materimu. Pokoknya ikut!” 

“Bapak mau ajak aku ke mana, sih? Menari? Menari untuk kebutuhan apa?” selidik Raline.

Bayu menggeleng. “Bukan menari. Nanti kukasih tahu.”

*** 

Beberapa jam sebelumnya, seorang lelaki berkemeja kasual, sedang terpaku pada layar laptop di depan meja kerja. Ia duduk sendiri dalam ruangan luas berdesain Eropa. Mata hitam pekat si lelaki tadi melirik ke arah jam Rolex pada tangan kirinya, hampir pukul delapan malam. Ia berkernyit, tamu yang ditunggu, tak kunjung tiba. Ia pun mematikan komputer lipat dan bersiap keluar dari ruang kerja pribadinya. Aktivitasnya terhenti ketika ponsel di atas meja tiba-tiba berdering. Lelaki tadi pun segera mengangkat panggilan yang masuk, dari Bayu.

“Ya?” 

“Pak Jeffrey, wanita yang Anda pesan berhalangan datang. Saya minta maaf sekali karena kejadian tidak mengenakkan ini. Namun, Anda tak perlu khawatir. Saya akan bawa cewek lain untuk Pak Jeffrey. Tenang saja, sama cantiknya dan sama-sama penurutnya. Kasih saya waktu satu jam, Pak.” Suara Bayu terdengar serak dan panik. 

Jeffrey mendengarkan dengan saksama. “Lain waktu saja, Pak Bayu,” sahutnya halus.

“Jangan, Pak. Ini kita sudah mau berangkat. Saya mohon, tunggu, ya, Pak.” Tanpa menanti jawaban dari Jeffrey, Bayu mengakhir pembicaraan mereka.

Jeffrey tak ada pilihan lain selain membiarkan muncikari itu melakukan kemauannya sendiri. Lelaki itu berjalan menuju mini bar yang terletak di tengah ruangan. Ia kemudian membuka lemari pendingin untuk mengambil beberapa es yang diletakkan ke dalam rock glass. Setelah itu, Jeffrey menuangkan cairan wiski dan meneguknya.

“Pak ...” panggil seorang wanita paruh baya berseragam serba hitam yang tiba-tiba masuk ke dalam ruang kerja Jeffrey.

Jeffrey menengok dan tersenyum tipis. “Kenapa, Bi?” 

“Ini sudah pukul delapan. Bukankah perjanjiannya jam tujuh?” tanya asisten rumah tangga itu.

“Bayu bilang bakal telat, dia akan membawa wanita lain,” terang Jeffrey. Ia menyugar helai rambut ke belakang sehingga menampakkan kedua alisnya yang tebal.

Si asisten rumah tangga mendengkus. “Kenapa Bapak masih menggunakan jasanya? Banyak orang lain yang lebih ontime daripada Bayu.”

“Sudahlah, Bi Marni. Selama ini aku cocok dengan wanita-wanita pilihan Bayu. Mereka patuh dan tidak berisik. Aku benci dengan wanita-wanita yang berisik dan banyak tingkah.” Jeffrey menyesap cairan alkohol pada gelas sedikit demi sedikit.

Marni menghela napas. “Baiklah kalau begitu, Pak. Saya akan turun ke lantai bawah untuk menunggu tamu Bapak.”

“Terima kasih, Bi,” ucap Jeffrey.

Marni pun keluar dari ruang kerja. Ia berjalan menyusuri selasar panjang berdinding putih gading. Sepatu pantofelnya menciptakan bunyi ketukan tiap kali menyentuh lantai bercorak papan catur. Marni tak mendengar suara apa pun selain napasnya, di rumah bergaya Eropa klasik itu hanya ada dirinya dan Jeffrey. Semua staf rumah tangga sudah pulang ketika sore. Jeffrey, si bos besar memang teramat menjaga privasi. Apa lagi, lelaki itu punya kegemaran tidak lazim dengan para wanita.

Ada satu ruang khusus tempat Jeffrey biasa ‘bermain’. Tempat terlarang yang hanya boleh dimasuki oleh Marni dan Jeffrey seorang, tentu saja beserta para wanita panggilan yang biasa Jeffrey pesan. Ada alasan kuat mengapa Jeffrey begitu mempercayai Marni, sama halnya dengan Marni yang tetap bertahan meski bosnya punya kebiasaan ganjil.

Marni melirik ke arah kumpulan pigura yang terjajar rapi di atas meja konsol pada sisi ruang. Ia mendekat dan mengambil salah satu bingkai foto. Bibir Marni mengembang ketika memandangi potret Jeffrey kecil yang tertawa lebar. Ia sudah bersama Jeffrey semenjak lelaki itu berusia sembilan tahun. Sat kecil, si tuan muda merupakan seorang anak yang ceria dan menyenangkan. Namun, sebuah kejadian pada masa lalu mengubah semua.

Marni meletakkan kembali pigura berbingkai kayu yang semula ia pegang ke atas meja. Tarikan lebar yang semula terbentuk pada bibirnya, perlahan-lahan pudar.
*** 

Raline mendorong tubuh Bayu sekuat tenaga saat ayah tirinya itu membukakannya pintu mobil. Beberapa pasang mata mengarah pada pertengkaran antara Raline dan Bayu. Suara bentakan Raline yang kencang terdengar hingga ke ujung gang Lebar, yang berada di jalan Putat, rumah mereka. Kawasan tersebut tadinya merupakan bekas lokalisasi Dolly, tempat Raline lahir dan tumbuh dewasa. Raline berjalan masuk ke dalam gang, meninggalkan Bayu yang masih mengunci mobil yang terparkir di pinggir jalan.

“Nggak punya otak!” bentak Raline.

“Jangan teriak-teriak kamu, ya!” sungut Bayu. Ia bergegas menyusul Raline.

Mata Raline mendelik. “Kenapa? Takut ada yang dengar kalau Bapak masih jadi germo? Takut diciduk polisi? Justru itu mauku, melihatmu masuk penjara!”

“Nggak akan ada yang bisa masukkan aku ke penjara. Kita semua juga pada tahu, meski Dolly sudah tutup, prostitusi masih hidup!” ujar Bayu.

“Iya, secara ilegal! Dan jangan berani-berani kamu membawaku ikut masuk ke dalamnya!” Raline kembali mendorong tubuh Bayu.

Bayu mendecih. “Ngomong berlagak suci. Emang aku nggak tahu kalau kamu sering ambil job tari striptease diam-diam? Kamu pikir itu legal? Udahlah, Raline. Jangan munafik. Kamu lahir juga karena ibumu kebobolan saat melayani pelanggannya. Menjadi pelacur sudah menjadi takdir yang melekat pada darah dan tulangmu.”

Bayu adalah ayah tiri Raline, ia dan almarhum ibu Raline menikah saat Raline masih kecil. Jangankan Raline, sang ibu saja tidak tahu siapa bapak kandungnya. Maklum, ibu Raline dulunya merupakan pekerja seks komersial di gang Dolly, laki-laki yang ia layani tak terhitung.

“Kurang ajar!” maki Raline tidak terima. Meski Bayu adalah ayah tirinya, kelakuan lelaki itu sama sekali tidak mencerminkan seorang ayah. Mungkin karena Bayu kecanduan narkotika, jadi naluri dan akal sehatnya sudah bergeser.

Bayu menahan kedua lengan Raline. “Ikut aku untuk malam ini saja! Maka aku tidak akan mengusik ‘pekerjaan rahasiamu’. Tapi, kalau kamu tetap menolak, silakan saja menerima konsekuensinya. Aku nggak masalah menjadikan Sintia sebagai gantimu,” ancamnya.

“Sintia? Dia itu anak kandungmu, darah dagingmu! Manusia macam apa kamu?” Raline mulai berkaca-kaca. Sintia merupakan satu-satunya keluarga yang ia miliki. Semenjak sang ibu meninggal ketika melahirkan Sintia, Ralinelah yang berperan mengasuh adiknya.

Bayu terkikik. “Ya, karena dia anak kandungku makanya harus kuperkerjakan untuk meneruskan bisnisku.” 

Emosi Raline memuncak di ubun-ubun, ia ingin sekali memukul wajah Bayu hingga babak belur. Namun, ketika mereka sedang bersitegang, pintu rumah tiba-tiba terbuka.

“Mbak sama Bapak udah pulang?” Sintia, gadis kecil yang mereka bicarakan mengintip dari balik pintu.

Bayu merangkul Sintia sambil menyeringai. “Kita sudah pulang, Sin. Tapi, habis ini, mau pergi lagi. Bukan begitu, Line?” Ia sadar betul kalau sedang berada di atas angin. “Tapi, ya, tergantung, kalau Mbak Raline tidak mau pergi sama Bapak, kamu yang bakal Bapak ajak. Sintia mau, ‘kan, menemani Bapak kerja?” pancing Bayu licik.

Sekuat tenaga Raline menahan tangis. Ia tidak ingin adiknya yang masih berusia 12 tahun tahu kalau dirinya akan dijual oleh Bayu. Bayu memang manusia tanpa nurani, teganya ia memaksa Raline untuk memuaskan nafsu seorang lelaki hidung belang. 
“Sintia di rumah saja, biar Mbak yang pergi sama Bapak ...” sahut Raline lirih. Ia mengepalkan telapak tangan dengan erat. Malam ini, adalah malam terakhir dirinya menjadi seorang perawan. 

TWO

Air mata Raline terus menitik tatkala wanita itu duduk di dalam sedan tua yang dikendarai Bayu. Kendaraan itu kotor dan beraroma tembakau. Kaleng-kaleng minuman berserakan bercampur dengan bungkus rokok yang sudah bertahun-tahun tidak dibuang. Tapi, bukan itu yang mengganggu Raline, melainkan tujuan mereka sekarang.

"Berhenti nangis, Line. Lebai banget kamu, seperti orang suci saja. Hal seperti ini, 'kan, satu paket sama pekerjaanmu sebagai penari erotis. Seharusnya kamu senang, klienmu sekarang orang kaya. Sultan yang tinggal di rumah mewah Citraland. Nanti kamu kuberi bagian 30 persen, deh! Itu setara gajimu sebulan sebagai Dancer di Coyote." Bayu melirik Raline melalui sudut mata. Ia heran kenapa wanita itu masih saja menangis.
 
Raline mengepalkan tangan untuk menahan emosi. "Meski aku adalah penari striptease, aku belum pernah menjual diriku! Aku tidak semurah pelacur-pelacur koleksimu. Belum ada lelaki yang menyentuhku!"

"Apa?" tanya Bayu. Seketika, tawa lelaki bertato itu pecah. "Maksudmu, kamu masih perawan? Astaga, jangan bikin perutku sakit karena ketawa!"

Raline membuang muka, percuma membalas seorang pecandu seperti Bayu. Otak lelaki itu mungkin sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena dipengaruhi zat narkotika. Pikiran Bayu hanya uang dan uang. Tentu saja demi memuaskan hasratnya membeli obat haram.

Sedan tua Bayu terus melaju kencang membawa Raline dalam keputus-asaan. Hanya tinggal tunggu waktu, Raline menyerahkan kesucian pada lelaki hidung belang yang sedang menunggunya.

***

Kepala Raline mendongak untuk mengagumi rumah megah yang ada di hadapannya. Bangunan berarsitektur Eropa klasik dengan pilar-pilar tinggi yang menyangga. Jendela-jendela berukuran besar, menggunakan banyak ornamen yang makin menunjukkan kesan mewah. Selain itu, sinar lampu warm white dari lampu gantung menciptakan nuansa hangat pada hunian tersebut.

Bayu membunyikan bel, tak perlu menunggu lama, Marni membuka pintu. Si pengurus rumah itu memasang wajah datar, sibuk menelisik penampilan Raline dari atas ke bawah.

"Malam, Bi Marni," sapa Bayu cengengesan.

"Siapa namanya?" tanya Marni dingin. Ia mengabaikan salam dari Bayu yang sok akrab.

Raline berdiri mematung, seluruh tubuhnya gemetaran karena takut.

"Raline, Bi Marni. Nama lengkapnya Raline Lara," terang Bayu.

Marni mengangguk, ia lantas mempersilakan Raline masuk, hanya Raline. "Kamu cuma bisa mengantarnya sampai di sini. Selebihnya, aku akan membawanya pada Bapak. Bapak sudah menunggu cukup lama."

"Iya, soal itu, karena ..."

BRAK. Belum tuntas Bayu menyelesaikan kalimat, Marni menutup pintu rapat. Meninggalkan Bayu yang tersenyum kecut di luar.

"Mari ikut dengan saya," ajak Marni.

Raline mengangguk, ia melangkah mengekori Marni. Jantung Raline berdebar kencang karena gugup. Seluruh persendiannya serasa lemah seperti kehilangan tenaga.
Marni menaiki tangga, sementara Raline menyapu pandangan pada tiap sudut rumah yang mirip istana. Keindahan hunian itu justru membuat napas Raline makin sesak, serasa perjalanan menuju neraka.

"Mari masuk." Marni membuka pintu kamar yang terletak paling ujung. Ia menghentikan langkah dan menanti Raline berjalan ke dalam.
Raline tetap bisu, dua bola mata lentiknya memandang Marni penuh ketakutan. Wajah wanita itu pucat tanpa rona sama sekali.

"Saya belum memperkenalkan diri, nama saya Marni, pengurus rumah tangga di rumah Bapak Jeffrey," kata Marni. Ia seolah mampu menangkap kegetiran yang tersirat pada paras cantik Raline.

Raline berusaha tersenyum, walaupun otot wajahnya terasa kaku. "Sa-saya Raline Lara."

"Nama yang cantik," ucap Marni. Ia lalu mengelus lengan Raline yang sedingin es, wanita ini benar-benar gugup, pikirnya. "Nona Raline, silakan mandi dan berendam dulu. Saya sudah persiapkan air hangat dengan busa beraroma lavender. Setelah selesai membersihkan diri, saya akan memberikanmu pakaian untuk bertemu Bapak."

"Tapi, saya sudah mandi sebelum ke sini," sanggah Raline.

Marni mengulas senyum tipis. "Bapak Jeffrey meminta kamu untuk membersihkan diri lagi."

"I-iya," sahut Raline.

Raline pun masuk ke dalam bath room yang berada di dalam kamar. Ia menelan saliva ketika melihat ukuran kamar mandi yang lebih besar dari rumahnya di jalan Putat. Andai saja Raline datang bukan untuk menjual diri, mungkin ia akan menikmati berendam pada bathtub penuh busa dan kelopak bunga yang sudah disiapkan untuknya.

Raline menanggalkan pakaian dan mengikat rambut warna peraknya tinggi-tinggi. Wanita itu kemudian masuk ke dalam bak mandi. Kulit mulusnya tenggelam dalam air hangat yang menenangkan otot. Pada tepian bathtub, segelas sampanye sengaja disediakan untuknya. Tanpa pikir panjang, Raline meminum cairan berkilau tersebut sampai habis. Tanpa sadar, air matanya kembali menitik.

Jeffrey - entah lelaki seperti apa dia. Yang jelas, lelaki itu akan menjadi orang pertama yang merenggut kesuciannya. Semula, Raline pikir, ia akan menyerahkan keperawanan kepada lelaki yang ia cintai. Namun, realitas menyadarkan bahwa orang-orang seperti Raline, tidak pantas memikirkan soal cinta. Uang adalah hal utama, hingga tubuh dan mimpi pun bisa dijual dengan mudah.

Merasa ingin segera menuntaskan pekerjaan, Raline pun keluar dari dalam bak. Kakinya menginjak lantai marmer yang dingin. Ia menyalakan shower dan membilas tubuh hingga bersih. Setelah itu, Raline menutup tubuh telanjangnya dengan jubah mandi yang telah disediakan.
Tangan Raline gamang membuka pintu bathroom. Ia melihat Marni setia menunggu untuk memberikannya pakaian.

"Saya permisi memeriksa tubuhmu, ya," kata Marni.

"Me-memeriksa?" ulang Raline. Perasaan wanita itu makin berkecamuk dan campur aduk.

Marni mengangguk. "Untuk memastikan kamu sehat dan tidak membawa penyakit kulit."

Raline membatu. Ia membiarkan Marni menelisik tiap jengkal tubuh polosnya. Belum pernah Raline merasa teramat malu. Meski, menjadi sexy dancer di klub malam selalu mengumbar aurat, tapi kali ini harga dirinya seolah terinjak. Raline juga sering setengah telanjang di depan klien saat menari striptease, namun kali ini berbeda. Marni sedang memeriksa badannya, menyamakan Raline bak gelas kaca di etalase toko. Barang yang bisa dibeli jika luput dari cacat.

Ya, dia adalah barang. Bukan dipandang sebagai manusia yang punya hati dan pikiran.

"Pakailah gaun satin ini. Jangan bersuara atau bicara kalau Pak Jeffrey tidak meminta. Jangan juga mencoba menyentuhnya, Raline. Biarkan dia menjadi dominan yang menguasaimu. Kamu paham?" tegas Marni.

Raline kembali menangis, air mata meluncur bebas membasahi pipinya yang bersemu merah muda. Raline menggigit bibir bawah untuk menahan isak.

Marni hanya bisa tercenung. Sungguh jarang, pengurus rumah itu menangkap ekspresi kesedihan yang mendalam pada wanita panggilan seperti Raline.

Wajah Raline seputih dan serapuh kapas, membuat rasa iba mendadak menyergap relung Marni. Ini pertama kali Marni merasa tidak tega dalam menghadapi seorang pelacur.

"Tenanglah. Tidak akan terjadi apa pun kepadamu." Marni membalut tubuh Raline dengan jubah mandi.

"Maafkan saya," ucap Raline sembari menghapus air matanya.

Marni menghela napas. Ia mengelus punggung Raline dengan lembut demi menenangkan wanita itu.

Raline kembali melanjutkan, "Saya akan memakai pakaian dan segera menemui Pak Jeffrey. Saya akan berusaha tidak membuat kesalahan."

"Baiklah." Marni memandang Raline dengan lekat. Ada sesuatu yang lain tentang wanita ini.

***

Tubuh Raline gemetar ketika Marni memasang penutup mata untuk menghalangi pandangannya. Selain itu, kedua tangan Raline juga terikat oleh borgol yang membelenggu.

"Apa ini?" tanya Raline gelisah.

"Apa Bayu tidak memberitahumu? Bapak Jeffrey punya aturan main dalam aktivitas seksual yang akan kalian lakukan," terang Marni.

Raline tercekat. "Aturan main?"

"Sudah kujelaskan tadi, bukan? Bapak Jeffrey merupakan dominan dan kamu harus menjadi si submisif. Dengan kata lain, ia merupakan sadomasokis, yaitu pihak aktif yang memberi rasa sakit." Marni memandang tubuh Raline yang gemetaran.

"Dan aku harus diam saja?" tanya Raline lagi.

"Bukankah untuk itu kamu dibayar," bisik Marni. Ia bersiap meninggalkan Raline karena mendengar bunyi ketokan hak sepatu yang bertumbuk pada lantai. "Pak Jeffrey akan segera menemuimu."

Jantung Raline bergemuruh. Ketakutan menguasai setiap inci persendiannya. Ia terbelenggu, tanpa daya. Terlebih, ini pengalaman pertamanya dalam berhubungan intim. Pengalaman pertama yang harus ia lalui dengan lelaki berkelainan seksual.

Bulu kuduk Raline mulai meremang. Sejurus kemudian, terdengar suara pintu yang ditutup dan terkunci. Napas Raline kian memburu. Ia tak bisa melihat apa pun. Wanita itu hanya mengandalkan pendengarannya semata.

"Malam, Lara. Apa kamu sudah membersihkan tubuhmu, sesuai dengan perintahku?" sapa seorang lelaki bersuara berat dan dalam.

Sudah pasti itu Jeffrey.

THREE

“Malam, Lara. Apa kamu sudah membersihkan tubuhmu, seperti yang kuperintahkan?”

Jeffrey memandang sosok wanita yang duduk di atas tempat tidur. Kedua pergelangan tangannya terikat borgol dengan rantai panjang yang terhubung pada besi ranjang. 

“Su-sudah ...” sahut Raline lirih. Sekuat tenaga ia menyembunyikan rasa takut yang berkecamuk.

Jeffrey mengelus pipi dan dagu Raline yang pucat pasi. Kulit wanita itu sedingin salju. Selain itu, bibir Raline yang merah sedikit bergemeletuk takut.

Raline tidak mampu membayangkan seperti apa wajah atau pun tubuh Jeffrey. Ia hanya bisa mengendus aroma woody percampuran dari bergamot dan amber yang menguar dari tubuh Jeffrey. Dan, telapak tangan lelaki bersuara dalam itu juga terasa hangat menyentuh kulit. Akibatnya, jantung Raline kian berdebar-debar tak karuan. Ia cemas, sebentar lagi Jeffrey akan melakukan hal-hal mengerikan. Raline tidak pernah membayangkan akan mengalami malam pertama sedemikian menegangkan.

Raline terkesiap saat Jeffrey tiba-tiba mengendus rambutnya. Napas lelaki itu terasa geli saat mengembus telinga.

“Kamu bohong, Lara. Kamu tidak benar-benar membersihkan tubuhmu dengan baik,” bisik Jeffrey.

"Maksudnya?" Raline memberanikan diri untuk bertanya.

"Rambutmu," jawab Jeffrey. "Kamu belum mencuci rambutmu."

Raline tidak menduga bahwa ia harus membasahi rambutnya juga. Wanita itu makin dilanda kepanikan karena telah melakukan kesalahan.

“Maaf,” ucap Raline. "Namun, rambutku bersih. Aku ..."

Jeffrey menyeringai. Ia mengusap bibir Raline yang lembab dengan jari telunjukknya.

"Aku memintamu membersihkan tubuhmu. Seluruh tubuhmu," jelas Jeffrey.

Napas Raline memburu. "Ma-maafkan aku ..." ucap Raline.

Senyum Jeffrey makin terkembang, Raline Lara berbeda. Wanita itu sesuai kriteria Jeffrey, tampak rapuh dan polos. Sebagai wanita lacur, aktingnya lumayan juga.

“Kumaafkan, tetapi kamu tetap harus dihukum,” sahut Jeffrey. Ia mengambil salah satu peralatan bermain miliknya dan kembali menghampiri Raline.

Raline tersentak ketika Jeffrey menuntun tubuhnya untuk menungging seolah hendak merangkak. Tanpa permisi, Jeffrey lantas menyingkap satin dress berwarna hitam yang Raline kenakan. Kini, Jeffrey leluasa memandang bokong Raline yang bulat. Lelaki itu mengelus area paha dalam Raline dengan flogger, sebuah cambuk berumbai berbahan kulit yang memiliki handle dari kristal.

“Berjanjilah untuk tidak nakal lagi, Lara.” Jeffrey menjalankan rumbai cambuk pada kulit Raline.

Belum sempat Raline menjawab, Jeffrey memukul bokong Raline dengan flogger. Hal tersebut membuat Raline terkejut bukan main.

“Sakit?” tanya Jeffrey.

Raline menjawab dengan gelengan kepala.

Jeffrey kembali memukul Raline, kali ini sedikit lebih kencang. “Sakit?” tanyanya lagi.

Raline mengangguk pelan.

“Jadi, kamu sudah kapok untuk melakukan kesalahan lagi?” goda Jeffrey.

“Ya. Aku akan menurutimu,” ucap Raline pelan.

Jeffrey memukul bokong Raline. "Aku tidak bisa mendengarmu."

Raline meringis. Ia merasa pantatnya mulai panas. "Aku akan menurutimu," ulangnya lebih keras.

Jeffrey mengulum senyum. Ia kemudian menuntun dagu Raline untuk mendongak.

“Apa kamu ingin aku membuka borgol pada tanganmu?” 

Raline mengangguk cepat. “Ya, kumohon,” pintanya.

“Aku akan membukanya, tapi dengan satu syarat. Kamu harus diam dan menuruti apa pun kemauanku.”

Raline menelan saliva saat mendengar perkataan Jeffrey. “Ba-baiklah,” jawabnya.

Jeffrey pun memegang tangan Raline dengan lembut, lelaki itu membuka handcuff yang membelenggu si submisif. Raline mengembuskan napas lega, paling tidak, ia tidak lagi terikat tak berdaya. Wanita itu kemudian berinisiatif membuka penutup mata yang ia kenakan.

“Tetaplah memakainya,” cegah Jeffrey.
 

Raline mengangguk. Urung melihat sosok lelaki bernama Jeffrey yang akan segera mendapatkan miliknya yang paling berharga. Tapi, Raline pikir, mungkin itulah yang terbaik. Ia takut Jeffrey adalah lelaki berwajah mengerikan yang justru akan membuatnya trauma seumur hidup.

Setelah membebaskan tangan Raline dari borgol, Jeffrey pun melucuti satin dress yang wanita itu kenakan. Kedua bola mata Jeffrey tertegun saat melihat tubuh molek Raline yang berkulit seputih kapas.

Tidak mendengar suara Jeffrey, Raline makin salah tingkah. Ia menutup payudaranya dengan lengan, sementara tangan yang satu lagi merapat di sela-sela paha. Sekujur tubuh polos Raline tereskpos. Suguhan menarik bagi Jeffrey.

"Berapa usiamu?" tanya Jeffrey.

"Dua pu-puluh lima," sahut Raline.

Bahu Raline tiba-tiba tersentak ketika Jeffrey membelai putingnya dengan sebuah bulu penggelitik.

"Usia yang masih cukup muda," kata Jeffrey.

"Ehm," desah Raline. Ia mulai salah tingkah karena kegelian.

"Singkirkan tanganmu, Lara. Aku ingin melihat tubuhmu lebih jelas," titah Jeffrey. 

Raline bergeming. Patuh seperti boneka saat Jeffrey memberi perintah. Meski ragu, ia membiarkan badan telanjangnya menjadi tontonan. Penuturan Marni terngiang dalam benak, tentang sosok Jeffrey yang merupakan sadomasokis. Bagaimana jika ia berniat melukai tubuh atau kulitnya?

Sementara itu, Jeffrey makin terpesona dengan pemandangan di hadapannya. Tubuh Raline tergolong sempurna, buah dada padat berisi dan perut ramping yang nyaris tanpa lemak. Otak letih akibat pekerjaan seketika sirna oleh keindahan di depan mata.

Gairah Jeffrey membumbung. Ia mendorong tubuh Raline agar terlentang di atas ranjang. Napas Raline kian memburu, keresahannya tertangkap jelas oleh mata elang Jeffrey. Salah tingkah yang tersirat dari Raline semakin membuat si lelaki penasaran. Wanita yang tampak begitu polos, seolah ini merupakan pengalaman pertama baginya.

Jeffrey membungkuk dan mengendus leher Raline yang jenjang.

"Aku suka aroma lavender yang menempel padamu," bisik Jeffrey.

Pipi Raline memanas, ia tidak sangka, suara dan sentuhan Jeffrey bisa membuatnya bergairah sedemikian hebat.

"Ehm ..." Raline menahan napas ketika Jeffrey mencumbu area telinganya. Rasa geli yang menggelitik, memancing birahi pada sekujur otot.
 

Sentuhan Jeffrey makin intim begitu bibirnya tiba pada puncak dada Raline yang menegang. Puting merah muda itu menegang, pertanda si pemilik tubuh sudah mulai terangsang.

Raline mencengkeram kain seprei kuat-kuat dengan jemari. Ia merasa berdosa karena menikmati jamahan dari Jeffrey, lelaki hidung belang yang telah membelinya.

Jeffrey memilin puting Raline dengan kasar. Bukannya kesakitan, wanita itu justru menggeliat menahan gelenyar memabukkan. Diam-diam menahan denyut pada bagian bawah yang mulai basah. 

Otak Raline mulai berimajinasi, memvisualisasikan bagaimana rupa Jeffrey yang sesungguhnya. Bisa saja ia merupakan lelaki tua bangka dengan rambut dipenuhi uban. Meski begitu, tetap saja tubuh Raline berontak melawan logika. Tiap sentuhan Jeffrey menyulut nafsunya.

"Ah!" Raline memekik saat jemari Jeffrey berpindah menyentuh area intimnya.

"Kenapa kamu setakut itu?" selidik Jeffrey.

Raline menggeleng. "Aku memang takut," sahutnya. Ia menutup kawanitaannya dengan tangan.

"Perlu kupasang handcuff lagi, agar kamu berhenti melawan?" ancam Jeffrey.

Raline mengiba. "Kumohon jangan!"

“Kamu wanita nakal, Lara. Sepertinya hukuman tadi tak membuatmu jera.” Jeffrey beringsut untuk meraih borgol yang tergeletak di atas nakas.

“Kumohon ...” pinta Raline lirih.

“Aku tidak bisa mempercayaimu, Lara.” Jeffrey menarik kedua pergelangan tangan Raline dan kembali memasangkannya pengikat tangan.

"Aku tidak nyaman terikat seperti ini. Kumohon, lepaskanlah," bujuk Raline.

"Aku akan melepaskannya," kata Jeffrey. "Tapi nanti ..." Ia lantas kembali menjamah bagian intim Raline dengan jemari. Wanita itu menggelinjang seraya menggigit bibir untuk menahan nikmat bercampur nyeri.

Jari Jeffrey memijat klitoris Raline dengan gerakan memutar, area itu mulai licin oleh pelumas alami yang keluar dari dalam tubuh.

"Kamu sudah basah," bisik Jeffrey.

Raline merintih merasakan kewanitaan yang berkedut-kedut. Sungguh, kali ini Raline membenci dirinya. Jemari Jeffrey pasti telah menyentuh banyak tubuh selain tubuhnya. Harusnya Raline tidak menikmati permainan mereka. Ini sungguh salah!

“Lara, aku ingin melihat milikmu lebih jelas.” Jeffrey membuka paha Raline lebar-lebar. Sebenarnya, ia ingin lebih lama menggoda dan bermain-main dengan Raline, memasukkan bermacam toys ke dalam liang wanita itu. Namun, entah mengapa, tubuh Jeffrey seolah enggan menunggu lebih lama. Lelaki itu pun membuka pakaian dan celana, menampakkan batang kejantanan yang sudah berdiri mengacung.

Dalam mata yang tertutup, Raline merasakan milik Jeffrey yang menggesek-gesek kewanitaannya. Wanita itu akhirnya memekik saat batang keras itu menembus selaput daranya.

Perih dan nyeri bercampur jadi satu. Mengobrak-abrik bagian bawah Raline yang belum pernah terjamah. Tusukan demi tusukan kian intens dan cepat. Jeffrey tidak berniat bermain dengan lembut.

Sementara itu, Jeffrey yang menggenjot tubuh Raline dari atas, mendesis dengan rahang mengeras. Milik wanita lacur ini begitu sempit dan rapat. Kelelakiannya terasa terjepit kencang di dalam sana. Jeffrey telah dimabukkan oleh sensasi yang luar biasa.

Raline hanya terdiam, menahan sakitnya pengalaman pertama. Ia pasrah menunggu Jeffrey selesai menuntaskan segala urusan.

Namun, nyeri dan perih yang semula Raline rasa, mendadak hilang. Mungkin, liangnya mulai terbiasa oleh kejantanan Jeffrey. Segala ketidak-nyamanan di awal berubah  menjadi kenikmatan erotis.

Ternyata, bercinta tidak semenakutkan itu.

Raline mengelinjang, aliran darahnya memanas. Ia mulai ketagihan, hingga ikut menggoyangkan pinggul untuk menyamai gerakan Jeffrey. Rahim Raline berkedut, menyedot milik lelaki itu agar makin masuk lebih dalam lagi. Dan lagi ... Dan lagi. Namun, saat Raline hampir mencapai klimaks, sodokan dari batang kejantanan Jeffrey mendadak berhenti.

"Apa?" Jeffrey berkernyit ketika melihat cairan merah membasahi seprei, begitupun miliknya. Ia kemudian mencabut batang mengacungnya untuk memeriksa secara saksama. “Ini darah? Apa kamu masih perawan?”

FOUR

Apakah memang bercinta akan terasa seperti ini?

Berakhir begitu saja tanpa aba-aba, menyisakan rasa gamang dalam relung Raline. Ia yakin ada yang salah, tapi apa? Meski cuma mengandalkan pendengaran --- karena matanya tertutup blinfold --- Raline sadar jika Jeffrey meninggalkannya pergi. Suara derap kaki lelaki itu makin menghilang dalam gelap. 

Usai? Tanpa sepatah kata pun?

Raline pasrah, baik mata maupun tangannya masih terbelenggu.

"Pak Jeffrey?" panggil Raline.

Tentu saja tidak ada jawaban, Jeffrey memang sudah pergi dari ruang bermain.

Ketidak-berdayaan Raline tak lama, Marni akhirnya datang dan membuka blindfold serta borgol yang Raline kenakan.

"Pakai ini," kata Marni. Ia menyodorkan bathrobe satin untuk Raline.

Raline mengerjap berkali-kali,  pandangannya masih kabur. Mungkin efek dari pemakaian penutup mata yang terlalu lama. Saat pengelihatannya sudah terang, Raline menelisik tiap sudut ruang, ia tak menemukan orang lain selain Marni.

Marni menepuk lengan Raline. "Raline, bersihkan dirimu di kamar mandi. Kemudian kenakan kembali pakaianmu."

"Apa aku sudah selesai?" tanya Raline penuh kebingungan.

Marni melirik ke arah kain seprei yang penuh bercak darah. "Sepertinya sudah," sahutnya pelan.

***

Jeffrey membasuh tubuh di bawah kucuran shower. Ia menggosok kasar kulitnya yang kecokelatan dengan busa sabun. Kedua alis lelaki itu saling bertautan, membingkai matanya yang tajam dan pekat.

"Sial!" Jeffrey mengumpat sendiri.

Semua gesture ketakuran Raline Lara terus menari-nari di benak Jeffrey. Pelacur itu tidak sedang berpura-pura polos, tetapi, ia memang baru pertama kali berhubungan seksual.

Dengan tubuh yang masih basah, Jeffrey menyambar handuk dan melilitkannya di pinggang. Barisan otot perut yang masih basah tampak berkilat terkena pantulan cahaya lampu. Ia begitu gusar hingga enggan mengeringkan badan dengan benar. Jeffrey bahkan membiarkan tetesan air dari rambutnya membasahi lantai dan seprei kamar.

Jeffrey membenamkan wajah ke dalam tangkupan tangan. Ingatan menyakitkan tentang masa lalu kembali menyeruak ke permukaan. Memori mengerikan yang sanggup mencabik kehidupan Jeffrey. Semua tersulut akibat merenggut keperawanan seorang Raline Lara. Pelacur sial!

Harusnya germo bedebah itu tahu, Jeffrey tidak pernah meminta seorang wanita yang masih polos. Ia bukan seperti lelaki kebanyakan yang bakal kegirangan mendapatkan perawan. Justru, karena suatu alasan Jeffrey membenci itu.

Kini, rasa bersalah meraung-raung menyiksa batin Jeffrey. Bangsat.

*** 
 

"Jadi ... ini adalah kali pertamamu sebagai seorang ..."

Raline mendongak, urung meneguk cokelat panas yang Marni suguhkan. Ia menatap raut wajah Marni yang tampak berbeda dari sebelumnya. Kelihatan sekali bahwa Marni sedang menyimpan rasa kasihan.

Raline tersenyum kecut. "Ini memang kali pertamaku," akunya.

"Kenapa kamu melakukan pekerjaan ini?" tanya Marni pelan --- nyaris seperti membisik.

"Kenapa?" sahut Raline. "Memangnya untuk apa lagi kalau bukan uang."

Sebenarnya uang bukan alasan Raline menjual diri, melainkan demi melindungi Sintia, adiknya. Tapi, ia malas menerangkan kisah kelam hidupnya kepada orang asing seperti Marni. Orang kebanyakan mana mengerti, sih? Paling-paling, mereka akan sibuk menceramahi, bahwa masih ada pilihan lain selain menjadi pelacur atau penari erotis yang mengumbar aurat.

Mereka belum tahu saja bagaimana rasanya terlahir sebagai anak seorang pelacur. Masa kanak-kanak Raline terampas karena tumbuh besar di lingkungan Dolly, kompleks pelacuran yang konon terbesar se-Asia Tenggara.

Setiap hari ia harus menyaksikan ibunya bersolek demi menawarkan tubuh pada lelaki hidung belang. Seumur hidup Raline terbiasa disuguhi pemandangan mesum, orang mabuk-mabukkan, atau mendengar makian sumpah serapah. Pendidikan seperti itu mengendap dalam otak Raline, membuatnya beranggapan bahwa hal-hal tersebut lumrah adanya.

Raline tertunduk, ia meniup cairan cokelat panas dalam cangkir. Secara perlahan, Raline meminumnya. Rasa hangat menjalar dari kerongkongan menuju lambung.

Pikiran Raline kosong. Tidak percaya kalau sudah kehilangan keperawanan. Ia getir karena dirinya sama saja dengan ibunya. Dulu, dia yakin bisa menjaga kesucian meski bekerja sebagai penari erotis. Ternyata semua sia-sia, seolah jadi pelacur adalah takdir hidup yang tak bisa dielakkan.

Raline dulu mengutuk pekerjaan sang ibu. Tapi, mungkin Bayu benar, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Buktinya, Raline sekarang melepas keperawanan dengan imbalan uang. Kalau bukan pelacur, apa namanya?

"Pembayaran sudah di-transfer ke rekening Bayu. Terima kasih untuk jasamu, Raline," ucap Marni.

"Sama-sama," sahut Raline.

Marni tidak lagi mengatakan apapun. Namun, perasaan Raline tetap ganjil. Ia yakin ada urusan yang belum tuntas. Persetubuhan antaranya dan Jeffrey seakan mengambang tanpa akhiran. Pasti ada sesuatu yang salah.

"Bu ... Marni ... kalau a ..." 

Marni menyela kalimat Raline dengan cepat, "Panggil saja Bibi Marni."

"Oh, ehm, Bi Marni." Raline berdeham. "Boleh aku tanya sesuatu?"

"Soal apa?" selidik Marni.

"Apa aku melakukan kesalahan kepada Bapak Jeffrey?" Raline memandang Marni melalui kedua bola matanya yang besar.

Marni mempertahankan mimik datar. "Kenapa kamu bisa berpikir demikian?" tanyanya.

"Entahlah, tapi ... aku merasa ada yang tidak beres. Izinkan aku bertemu Bapak Jeffrey untuk meminta maaf secara langsung. Aku takut dia mengadukanku pada Bayu. Aku ..." Bibir Raline gemetar. Ia cemas Bayu akan menimpalkan kemarahan pada Sintia.

"Tenang saja. Bapak Jeffrey bukan orang yang suka menjelek-jelekkan orang. Kamu tidak perlu khawatir," ujar Marni.

Raline mendesah berat. Tetap saja ia waswas.

"Apa aku memang tidak boleh bertemu Pak Jeffrey? Apa dia memang tidak mau menunjukkan mukanya padaku?" cecar Raline.

Marni bangun dari duduk. "Kalau minumanmu sudah habis, aku akan mengantarmu ke depan." 

Raline tahu diri kalau Marni sedang mengusirnya secara halus. Ia pun meletakkan cangkir yang masih tersisa separuh.

"Baiklah, Bi Marni. Kalau begitu, aku permisi," ucap Raline.
 

***

Sedan Bayu terparkir rapi di depan gerbang. Dengan gontai, Raline berjalan menghampiri sambil melindungi kepala dari tetesan gerimis.

"Sudah?" Bayu menengok dari balik kaca. Lelaki itu semringah, senang karena baru saja mendapatkan pemasukan fantastis dari Jeffrey.

Raline tak menjawab. Ia menoleh dan mendongakkan kepala ke arah rumah megah yang akan ia tinggalkan. Pada istana ini, ia telah menyerahkan keperawanannya, kesucian yang terenggut oleh orang asing. Bahkan, sosok dan wajahnya saja, Raline tidak tahu.

Bayu segera tancap gas, begitu anak tirinya sudah masuk ke dalam mobil. Kendaraan roda empat itu menyusuri jalanan yang basah dan temaram. Rintik lemah tadi berubah deras, membuat udara malam makin dingin.

Raline bersandar dan melamun.

Saat ia memejam, bagian bawahnya masih terasa perih dan kesemutan. Jejak aroma Jeffrey bahkan tertinggal pada kulit tubuh Raline. Lelaki itu begitu wangi, raksi maskulin yang tertancap dalam memori.

"Jangan galau gitu. Tenang, nanti aku kirim ke rekeningmu." Bayu membuyarkan lamunan Raline. "Gimana? Kamu senang kerja seperti ini? Mudah dan cepat. Enak pula? Ya, to?" kelakar Bayu.

Raline mendengkus. "Ini adalah yang pertama dan terakhir. Jangan harap aku akan melakukannya lagi."

"Halah. Kamu sekarang bisa ngomong begini karena belum cek saldo berapa banyak yang ku-transfer. Kalau sudah lihat nominalnya, kamu bakalan mohon-mohon ke aku untuk dicarikan pelanggan. Perlu kamu tahu, kalau nanti Pak Jeffrey memesanmu lagi, kamu nggak boleh nolak." Bayu menowel dagu Raline sambil terkikik.

Raline menepis tangan Bayu. "Aku sudah bilang aku nggak mau jadi PSK, Pak! Carilah orang lain untuk kamu jual, bukan aku!" bentaknya.

"Iya, orang lain itu maksudmu Sintia, 'kan?" pancing Bayu.

"Tega sekali kamu, Pak!" Raline mendorong dan memukul Bayu. "Dia anak kandungmu. Bahkan aku pun adalah anak tirimu. Apa kamu sudah tidak ada hati nurani lagi?"

Bayu melotot seraya menahan tangan Raline. Hampir saja setirnya oleng karena ulah anak sambungnya itu.

"Sekalinya nyemplung ke dalam dunia ini, kamu nggak akan bisa keluar, Line! Pahami itu! Jangan sok suci seperti malaikat. Kamu tahu sendiri, saling menjual kerabat dan teman adalah hal lumrah dalam lingkungan tempat kita tinggal. Bahkan, ibumu juga dulu seperti itu, yang jual dia saudaranya sendiri. Kamu harusnya bersyukur, aku mengenalkanmu pada lelaki kaya macam Pak Jeffrey. Kalau aku mau, aku bisa menjualmu ke kalangan sopir truk yang badannya bau miras dan tembakau!" ancam Bayu.

Raline menyentakkan tangan dan membalas tatapan Bayu. "Berani Bapak mengancamku lagi, aku akan pergi darimu. Bapak tidak akan bisa menemukanku!"

"Silakan," sahut Bayu santai. "Tapi, jangan harap kamu bisa bawa Sintia."

Raline tersentak.

Bayu kembali melanjutkan, "Sintia anakku, darah dagingku. Selain itu, dia masih di bawah umur dan aku adalah walinya yang sah. Kalau kamu nekat bawa dia pergi, aku akan laporkan kamu ke polisi kenalanku. Silakan tunggu waktu untuk membusuk di penjara."

"Padahal tidak pernah sedikit pun kamu memberikan kasih sayang padaku atau Sintia. Apa tidak bisa kamu melepaskan kami berdua pergi?" cecar Raline.

Bayu menyeringai. "Tidak bisa dan tidak akan pernah."
 

*** 

Suasana begitu hening.

Tidak terdengar suara apapun selain detik jam dinding. Langit masih gulita, udara dingin dini hari menembus tulang.

Raline berjingkat diam-diam memeriksa tiap sudut rumah, mencari keberadaan Bayu yang nihil. Bagus. Lelaki itu tidak ada. Dengan bergegas, Raline mengambil duffle bag yang ia sembunyikan di dalam lemari paling bawah.

"Sin, bangun, Sin," kata Raline. Ia menggoyang-goyangkan badan adiknya yang tertidur pulas. "Sintia!"

Sintia mengerjapkan mata. "Mbak? Kenapa?" tanyanya. Kesadaran gadis itu belum sepenuhnya terkumpul. 

"Bangun." Raline berusaha menegakkan tubuh Sintia. Sesekali ia menepuk pipi si adik pelan-pelan.

Sintia menggosok pelupuk dengan tangan. Ia lalu menguap lebar dan memandang wajah Raline lekat-lekat. "Mbak, bukannya ini masih malam?" Sintia menelisik penampilan kakaknya yang sudah rapi. "Mbak mau pergi?"

"Kita berdua, Sin. Kita pergi jauh dari sini."

FIVE

Bayu mengabaikan ketiadaan Raline dan Sintia yang sudah kabur dari rumah sejak tujuh hari lalu. Ia yakin, Raline tak akan bisa pergi jauh dengan membawa Sintia. Selain itu, Bayu masih sibuk bersenang-senang menghabiskan materi hasil pekerjaan haramnya. Cari Sintia dan Raline bisa nanti, yang penting senang-senang dulu. 

Setiap hari, mau siang atau malam, Bayu berpesta pora di diskotik langganannya. Terkadang pergi karaoke ditemani para wanita pemandu lagu atau purel. Setiap peser uang yang Bayu hasilkan tidak pernah bertahan lama. Habis begitu saja untuk beli narkotika dan berpesta. Mungkin memang sudah hukumnya kalau uang haram tidak akan bisa bikin kaya. 
 
Pikir Bayu cari uang itu mudah. Untuk apa disimpan di bank, apa lagi ditabung.

"Mas Bayu!"

Bayu menoleh dan mendapatkan sosok perempuan cantik datang menghampiri. Meski sedang tipsy, ia mengenali wanita yang memanggil namanya itu.

"Irma! Wes waras kon?¹" sambut Bayu. (Sudah sehat kamu?)

Irma, PSK kesayangan Bayu yang beberapa minggu lalu kecelakaan saat hendak melayani Jeffrey, muncul mengenakan dress mini seksi. Luka dan memar yang Irma alami sudah sepenuhnya sembuh. Badan Irma kembali mulus, siap untuk bekerja melayani klien.

Irma duduk di sisi Bayu. "Sudah. Jahat kamu, Mas. Nggak sekali pun jenguk aku waktu sakit," rajuknya.

"Aku sibuk, Sayang. Bangun koneksi dengan para klien, supaya tidak pada kabur. Kamu tahu sendiri, betapa repotnya aku waktu cari penggantimu. Lagian, aku sudah minta maaf dengan kirim uang ke rekeningmu, 'kan?" sahut Bayu sambil merangkul Irma.

"Iya, sih, Mas." Irma membelai dada Bayu yang penuh ukiran tato.

Bayu membenahi posisi duduk. "Nah, kalau kamu sudah sehat gini, aku jadi makin semangat kerja. Kamu anak kebanggaanku, Ma. Kamu sudah siap kerja lagi?" tanyanya.

"Sudah, Mas. Makanya aku kemari untuk minta dicarikan pelanggan." Irma mengerlingkan mata. "Kulihat kamu lagi banyak uang, ya, Mas? Traktirlah," godanya.

Bayu mengibaskan tangan. "Gampang. Pesan saja apa yang kamu mau. Nanti aku yang bayar."

"Makasi, Mas Bayu," ucap Irma genit. "Oh iya, siapa yang gantikan aku untuk menemui Pak Jeffrey?"

"Raline," jawab Bayu.

Mata Irma terbelalak. "Raline anakmu?" ulangnya.

"Iya, emang Raline yang mana lagi? Cuma dia yang body dan mukanya bisa nyaingin kamu. Anak-anakku yang lain bukan selera Pak Jeffrey," ujar Bayu. Ia meneguk cairan alkohol dengan rakus, seolah itu air putih.

Irma mendecak. "Tega juga kamu, jual anak sendiri."

"Alah. Aku kawin sama ibunya bukan berarti dia itu anakku. Lagian, dia harusnya senang karena kukasih cowok tajir macam Jeffrey," tukas Bayu.

Irma mengangguk setuju.

"Ngomong-ngomong, Mas Bayu, kamu udah pernah lihat muka Pak Jeffrey?" selidik Irma.

"Belum. Kita cuma berhubungan by phone. Kamu kok tanya mukanya ke aku? Wong yang ngentot sama dia, 'kan, kamu!" decih Bayu.

Irma cekikikan. "Dua kali ngewe, dia selalu memakaikanku penutup mata, Mas."

"Jadi, kamu belum lihat mukanya sama sekali?" Gantian Bayu yang penasaran.

Irma menggelengkan kepala. "Cuman ngerasain kontol-nya doang, Mas."

"Mungkin dia cuma orang kaya buruk rupa. Malu nunjukkin muka. Udahlah, yang penting duitnya ngucur." Bayu bangun dari duduk seraya merogoh ponsel. "Tunggu sini. Aku akan telepon Pak Jeffrey, mengabari kalau kamu sudah avalaible."

"Oke." Irma mengacungkan jempol.

Bayu lantas berjalan keluar dari diskotik. Ia mencari lokasi tenang yang minim suara berisik dari musik kencang. Ada klien potensial kesayangan yang ingin ia ajak bicara. Senyum Bayu tersungging, senang karena menduga sebentar lagi akan menerima uang dari Jeffrey.

Setelah menekan nomor Jeffrey, ia menempelkan ponsel pada telinga. Betapa terkejutnya Bayu ketika sadar Jeffrey telah memblokirnya. Seolah tidak percaya, Bayu kembali menelepon Jeffrey. Tentu saja, hasilnya sama.

"Asu!" umpat Bayu.

***

Raline mengamati sekeliling klub sebelum masuk ke dalam, siang ini, ia ada janji bertemu dengan sang manajer.

Wanita itu berniat mengundurkan diri dan mengambil gaji terakhir. Raline sudah menyusun rencana matang untuk pindah ke Yogjakarta bersama dengan Sintia. Memulai hidup baru di kota Perjuangan.

Bayu tidak sesumbar, uang hasil menjual diri pada Jeffrey memang cukup banyak. Cukup untuk membayar indekos dan biaya makan selama minggat dari sang ayah tiri. Ditambah uang gaji sebagai dancer, Raline yakin bisa membeli tiket menuju Yogyakarta. Sesampainya di sana, Raline akan mengandalkan uang tabungannya sampai menemukan pekerjaan baru.

Saat dirasa aman karena tidak ada tanda-tanda keberadaan Bayu, Raline bergegas masuk ke dalam klub. Ruangan besar itu masih sepi karena masih lama menjelang jam operasional. Ia berjalan menuju ruangan si manajer yang selalu tiba lebih awal dari pada staf lain.

"Permisi, Pak Anton ..." Raline mengintip dari balik pintu.

Anton yang sedang berkutat di depan laptop mendongak dan mempersilakan Raline masuk.

"Eh, kamu, Angel. Silakan duduk," kata Anton.

Raline tersenyum dan merebahkan tubuh ke atas arm chair.

"Terima kasih karena sudah mau menemui saya, Pak," ucap Raline.

Anton melepaskan kaca mata dan memandang Raline saksama. "Kamu bilang di telepon mau resign, kenapa?" tanyanya.

"I ... itu ..." sahut Raline terbata. "Saya berpikir untuk mencari pekerjaan lain."

Anton menghela napas. "Oiya? Bukan karena penangkapan Rana?"

"Rana? Penangkapan Rana, apa maksudnya, Pak?" cecar Raline. Rana adalah teman sesama dancer. Rana jugalah yang selalu berbaik hati menawarkan Raline pekerjaan sampingan sebagai stripper.

"Kita sama-sama tahu kalau kalian suka ambil job menari striptease. Boleh saja asal tidak bawa nama klub. Sudah menjadi rahasia umum, tapi, sepertinya ada yang cepu. Kemarin, Rana kena grebek. Ditasnya juga ditemukan narkoba. Padahal, setahu aku dia itu bukan pemakai," terang Anton.

Mata Raline berkaca-kaca. Ia masih terkejut oleh berita penangkapan teman baiknya.

Anton melanjutkan, "Lalu kamu tiba-tiba minta keluar, jadi aku menyimpulkan kalau kamulah yang mengadukan Rana."

"Nggak, Pak." Raline menggeleng. "Bukan saya."

Anton memandang Raline gamang. "Hmm, gitu," gumamnya. Ia memberi kesan ketidak-percayaan. "Selain itu, akibat penangkapan Rana, klub ini jadi diawasi ketat oleh aparat karena dianggap membiarkan aktivitas ilegal. Semua kena dampak."

Jantung Raline berdegup kencang. Sebersit dugaan berkelindan dalam pikiran. Apa jangan-jangan ... Bayu?

"Ini gaji terakhirmu." Anton menyodorkan amplop cokelat berisi uang kepada Raline.

Raline menerima pemberian Anton dengan terburu-buru. "Makasi, Pak. Kalau begitu, saya pamit."

Raline keluar dari ruangan Anton secepat kilat. Semoga saja dugaannya salah, Bayu bukan dalang dari penangkapan Rana. Hal yang harus Raline lakukan sekarang adalah segera pergi dari Surabaya.

Langkah Raline terhenti ketika membuka pintu klub. Bola matanya menangkap sosok yang berhasil membuat napasnya berhenti sesaat.

"Ba ... Bapak ...?!" seru Raline.

Bayu berdiri di dekat jalan keluar-masuk klub. Lelaki itu santai mengebulkan asap tebal dari rokok kretek yang ia isap.

"Mau ke mana, Line?" sapa Bayu.

Raline menelan saliva. "Pak, kumohon, biarkan aku pergi."

"Sudah dengar dari Anton tentang Rana? Tahu kenapa dia bisa sampai di penjara? Bisa menebak juga, dong, siapa yang naruh Inex² di tasnya?" sergah Bayu. Tatapan lelaki itu tajam dan penuh kedengkian. 
(²Inex adalah golongan pil ekstasi)

Raline berusaha mengatur napas yang tersenggal. "Bapak yang melakukannya?" terkanya.

"Untuk nunjukkin ke kamu apa saja yang bisa kulakukan, Line." Bayu membuang puntung rokoknya secara sembarangan. "Yang terjadi sama Rana, bisa terjadi juga sama kamu. Bedanya, hukumanmu lebih berat. Soalnya kamu melakukan penculikan terhadap anak di bawah umur."

"Sintia itu adik kandungku," sanggah Raline.

Bayu terkekeh. "Silakan membela diri sepuasmu. Rana juga mati-matian ngotot kalau dia nggak pakai narkoba, tapi lihat dia sekarang? Asyik nongkrong di penjara!"

Air mata Raline jatuh bebas. Ia telah kalah telak dari Bayu, monster berwujud manusia. Tubuh wanita itu lemas dan gemetaran. Segala rencana untuk memulai hidup baru di Yogyakarta seketika kandas.

***

"Pak!"

Teriakan dari Sintia yang diiringi isak tangis tak membuat Bayu melepaskan jambakannya dari rambut Raline.

Setelah menjemput Sintia di indekos tempat keduanya bersembunyi, Bayu membawa kembali anak-anaknya pulang ke rumah. Amarah si muncikari itu meletup seperti gunung meletus. Ia menarik rambut Raline dan menyeret wanita langsing itu ke dalam kamar mandi.

Sintia mengikuti dari belakang, rambutnya yang terikat kuncir kuda berantakan karena menangis tersedu-sedu. "Kasihan Mbak Raline, Pak! Jangan marahi Mbak Raline!" pintanya.

Bayu mendorong tubuh Raline ke pojok kamar mandi. Secara brutal ia menyiram tubuh si anak sambung dengan air dingin di dalam bak. Tidak puas sampai di situ, Bayu juga berulang kali memukul badan Raline yang meringkuk dengan gayung.

"Kamu kira bisa main-main denganku, huh?!" bentak Bayu.

Raline mendongak dengan mata sembab. "Salahku apa? Kenapa aku diperlakukan seperti binatang?!"

"Kamu tanya salahmu apa?" Bayu menarik kedua lengan Raline. Ia mendekatkan kedua wajah mereka, memaksa Raline memandang lekat muka bengisnya yang berkumis tebal. "Kamu apakan Pak Jeffrey?"

"Aku nggak ngerti apa maksudmu!" sahut Raline.

Bayu kembali menjatuhkan Raline ke ubin. "Jangan pura-pura bego! Setelah bertemu kamu, dia tidak mau lagi menerima teleponku! Aku bahkan diblokir! Aku ke rumahnya dan diusir satpam!"

"Bukan salahku!" sungut Raline.

Emosi Bayu makin memuncak. Ia menendang Raline membabi buta. Akibat ulah Bayu, Sintia yang sedari tadi mengintip makin histeris.

"Bapak!" pekik Sintia.

Bayu menoleh dan melotot melalui mata merahnya. "Kamu masuk kamar, Sin!"

"Pak, jangan pukuli Mbak Raline ..." isak Sintia.

"Masuk!" gertak Bayu. "Mau kamu yang Bapak hajar?!"

Sintia tersedu dan terpaksa menuruti Bayu. Gadis kecil itu berlari masuk ke dalam kamar, takut menjadi sasaran Bayu selanjutnya.

Bayu beralih memandangi Raline yang basah kuyup. Lelaki itu lagi-lagi menjambak rambut Raline. "Kamu harus membayar perbuatanmu, Line. Aku akan menjualmu ke puluhan lelaki hidung belang untuk mengganti kerugianku. Gara-gara kamu, aku kehilangan Pak Jeffrey."

Alih-alih menjawab, Raline justru meludahi muka Bayu yang membungkuk tepat di hadapannya.

"Dasar sundal!" umpat Bayu penuh amarah.

Bayu kembali menendang Raline sekuat tenaga, tak hanya itu, ia juga memukulinya. Melayangkan tinju serta  hantaman pada wajah Raline yang penuh darah dan air mata.

Setelah puas, Bayu mengakhiri perbuatan bengisnya. Ia tidak mau terlalu lama menghajar Raline, khawatir wanita itu cacat atau  keburu mati. Si anak tiri itu masih harus membayar ganti rugi kepadanya.

"Jangan macam-macam lagi, Line!" dengkus Bayu.

Raline menggelepar memeluk perut dan tulang rusuknya yang sakit. Rambut ash blonde-nya basah kuyup, selain itu mukanya juga babak belur berdarah-darah.

Kalau diingat lagi, ini kali kedua Bayu menghajarnya. Saat kecil, Raline pernah dihajar habis-habisan oleh Bayu. Lelaki itu ngamuk karena Raline memecahkan botol berisi arak kesayangannya. Sejak peristiwa itu, Raline selalu menyimpan ketakutan kepada Bayu.

Lelaki itu mengerikan.

Sambil menangis, Raline mengusap sisa darah pada hidung dan bibir. Ia tidak pantas diperlakukan seperti sampah. Semua karena Jeffrey. Raline akan membuat perhitungan dengan lelaki sialan itu. Lihat saja


karya ini pernah dipublikasi sebelumnya di Karyakarsa. Namun saya memilih menghapus dan memindahkannya ke BESTORY.

Kalian bisa klik tautan pada bagian komunitas untuk langsung ke TKP. 

ATAU

Baca gratis di wattpad @Ayana_Ann 🖤🖤🖤
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya BAB 6 - 11
4
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan