07 |

6
0
Deskripsi

[21+] A dark romance story about unconditional love between Ileana and Dewangga.

Setia sebagai Submissive dari kekasih yang Dominant di ranjang tak membuat hubungan asmara si model cantik - Ileana sampai ke jenjang pernikahan. Tunangan Ileana kepergok berselingkuh di hadapannya sendiri. Peristiwa traumatis itu membuat Ileana membenci lelaki.

Sialnya, ditengah patah hati yang masih menganga, Ileana justru terpaksa bekerja sama dengan photografer dingin nan arogan bernama Dewangga. Sikap perfeksionis...

07 |

โ€ข Ileana โ€ข

Aku berjalan masuk ke dapur dan mengambil sendok. Sambil membuka kulkas, aku menyuapkan sesendok ayam teriyaki pemberian Dewangga ke dalam mulut. Lumayan enak juga, beli di mana dia?

Bibirku menyungging karena melihat bagian dalam kulkasku bersih dan kinclong.

Soraya memang sahabat terbaik.

Dia tahu hatiku sedang terluka parah hingga sekedar membersihkan rumah saja, aku enggan. Tidak hanya dapur, Soraya juga membersihkan seluruh ruangan rumah. Termasuk lemari pakaianku.

Tanganku lantas merogoh ponsel pada saku celana dan bergegas menghubungi nomor Soraya. Tidak perlu menunggu lama, dia pun mengangkat panggilanku.

"Hei, ngapain? Lagi sibuk?"

"Nggaaaak. Baru pulang dari klinik. Ngantuk," jawab Soraya. "Kamu?"

"Lagi makan ayam teriyaki. Makasi, ya," ujarku tersenyum.

"Hah?" Soraya terdengar kebingungan. "Ngapain makasi ke aku?" tanyanya.

"Kamu yang suruh Dewa bawain aku makanan, 'kan?" sahutku.

"Dih enggak," kata Soraya. "Itu pasti inisiatif Dewa sendiri, Lei."

Aku mendecih. "Alah. Kamu yang suruh pasti."

"Nggak," sanggah Soraya. Ia lantas terkikik. "Baguslah. Aku jadi tenang soalnya kamu ada yang jagain. Dewa di sana?"

"Di teras, susun kandangnya Sultan."

Aku masih menyimpan keterkejutan, ternyata bukan Soraya yang meminta Mas Pongah memberikanku makanan. Jangan-jangan ini makanan sisa ...?

Soraya kembali terkekeh. "Manfaatin aja dia, Lei. He's handy."

"Hush!" Aku menggelengkan kepala. "Kamu mau ngomong sama dia, Ya?"

"Nggak, deh, Lei. Aku capek banget, mau tidur. Besok juga kita ketemuan. Salamin aja sama Dewa, ya. Bilangin, I love you so much my Beibi."

"Dih, bilang sendirilah!" sungutku.

Tawa Soraya menggelegar riuh.

"Eh, Ya," potongku. "Betewe, makasi soalnya udah rapiin rumah. Kamu emang sahabat terbaik. Sering-sering, ya ..." ledekku.

Soraya berusaha menghentikan tawa. "Itu bukan aku. Seharian aku tidur, itu kerjaan Dewa juga. Dia tuh neat freak, matanya sakit kalau lihat berantakan atau sesuatu yang nggak proporsional."

"De-Dewa?!" Aku membeliak. "Jangan bohong kamu, Ya!"

"Kamu lupa apartemenku aja kayak gimana, boro-boro mau bersihin rumah orang lain!" dengkus Soraya.

"Tapi kenapa?"

"Ya nggak kenapa-kenapa. Dewa emang anaknya gitu ... makanya aku jatuh cinta banget sama dia. Sekarang kamu ngerti, kan, apa alasanku memilih serius sama dia. Cuz he's so perfect."

Aku tertegun.

Jadi Mas Pongah yang bersihin rumahku? Bersihin lemariku ... tumpukan beha dan celana dalamku?! Entah aku harus berterima kasih atau malah marah karena dia sudah menerobos privasiku.

"Hellooowww?" Soraya membuyarkan lamunanku.

"O-i-iya, Ya ..." aku gelagapan.

"Kok mendadak diem aja? Kirain teleponnya keputus," kata Soraya.

"Nggak kok, aku masih di sini." Aku pun kembali membisu. Pikiranku masih kalut karena kebaikan yang kuterima dari Dewa.

"Yaudah, ya, Lei. Kayaknya aku mau mandi terus bobok nih. Titip Dewa, ya." Soraya mengakhiri pembicaraan kami.

Aku sontak termangu sesaat.

Kenapa Dewangga Satya niat banget merapikan rumahku? Selain itu, kenapa dia baik kasih aku makanan segala? Apa mungkin Mas Pongah nggak seburuk penilaianku. Mungkin saja dia cuma cowok pemalu yang kikuk pada tiap perkenalan pertama. Mungkin kali ini Soraya nggak salah memilih cowok. Mungkin ...

Aku lantas berjalan ke depan untuk menghampiri Dewa.

Rasa sungkan bercampur segan sontak menyelimuti relungku. Gimana caranya ucapin makasih ke dia?

"Eh, sudah selesai, ya?" tegurku berbasa-basi.

Seingatku, aku hampir sejam merakit kandang tapi nggak kelar-kelar, si Dewa nggak ada sepuluh menit udah beres aja. Emang dia handy kayak kata Soraya.

"Ini gampang. Kamu tinggal mengaitkannya satu sama lain," ujar Dewa.

"Makasi, ya," ucapku tersenyum.

Dewa bergeming.

Aku pun jadi makin canggung. "Itu teriyakinya bikinan sendiri?" tanyaku mencari topik untuk mencairkan suasana.

Dewa mengangguk.

"Mana kucingmu?" selidik Dewa.

"Ada di dalam, tidur," sahutku.

"Baiknya jangan terlalu lama ditaruh di kandang. Nanti stres. Lagian apa gunanya pelihara kucing kalau dikurung," kata Dewa dingin.

Senyumku perlahan memudar. Cara dia bicara terkesan sombong bagiku.

"Ya, cuma aku kandangin sebentar selama kerja. Kalau nggak gitu nanti dia berak sembarangan. Sultan itu nakal," jelasku.

Dewa menatapku sambil mengangkat sebelah alis. "Kucing nakal biasanya karena kurang perhatian dari majikannya atau bosan. Lagian dia nggak nakal, menurutku itu instingnya supaya mendapat perhatian darimu. Lagian, kalau litter box-nya bersih, dia nggak bakal poop sembarangan."

"Aku rajin bersihin litter box-nya, kok," sanggahku.

"Masa?" Dewa berkernyit. Rautnya sangat menyebalkan, underestimate banget.

"Emang aku harus laporan sama kamu apa, kalau bersihin tainya kucing?!" sungutku.

"Nggak sih. Tapi dari kondisi rumahmu, aku jadi punya kesimpulan sendiri." Dewa menyeringai.

Dih! Nyebelin banget. Hilang sudah respect-ku sama ini orang. Dia memang cowok paling songong sejagat raya.

"Kondisi rumahku?"

Dewa mengangguk. "Berantakan banget. Seharusnya kamu bisa lebih rapi supaya menciptakan suasana yang nyaman untuk ditinggali."

"Bukan urusanmu, ya, aku mau rapi atau nggak. Lagian apa hakmu bongkar-bongkar lemari pakaianku?! Kamu tuh lancang."

"Sorry soal itu. Tapi bukan mauku juga buka lemarimu, pakaianmu mendadak longsor dan sebagai manusia yang punya jiwa sehat, aku berkewajiban membenahinya."

"Jiwa sehat?!" Mataku melotot. Maksudnya jiwaku nggak sehat gitu?

Dewa mengedikkan kedua bahu.

"Orang normal nggak bakal betah tinggal di kamar penuh debu dan sampah," sahutnya. Ia lantas melengos dan berjalan menuju pintu gerbang. "Demi kesehatanmu, sebaiknya kamu lebih sering nyapu atau ngepel. Jangan terlalu jorok."

"Bukan urusanmu, ya!" Bola mataku mengekori sosok Dewa dengan penuh amarah. "Siapa kamu ngatain aku jorok segala? Selama setahun rumah ini memang nggak kutempati. Jadi wajar aku belum sempat bersih-bersih."

Dewa berlagak tuli dan terus berjalan masuk ke terasnya.

"Dari awal aku udah nggak suka kalau Soraya pacaran sama kamu. Aku heran kenapa cewek sebaik Soraya mau sama cowok sombong macam kamu," semburku meluapkan kesal.

Dewa melirik. "Pendapatmu nggak penting karena aku dan Ayalah yang menjalin hubungan." Ia membuka pintu dan bersiap masuk. "Lagian, apa yang aku bilang ke kamu merupakan sebuah saran. Seharusnya kamu terima lapang dada, jangan malah nyolot."

Ia pun menghilang dari balik pandangan.

Emosiku masih meletup. Kutendang keras-keras kandang kucing yang barusan dia rakit untukku. Sialan! Harusnya aku nggak terima bantuan dari orang macam dia.

Menyesal sekali karena sudah menghabiskan teriyaki pemberiannya.

***

Setelah melakukan ritual skincare delapan langkah, aku pun bersiap tidur. Besok ada pemotretan pagi dan mukaku harus kelihatan fresh.

Soal tahapan delapan langkah, aku cuma melakukannya kalau ada panggilan job. Maklum, aku harus berhemat untuk melunasi cicilan mobil. Harga produk perawatan muka tergolong mahal bagiku. Dan sekarang, aku kembali hidup mandiri; aku harus memikirkan soal biaya listrik, air, serta makan sehari-hari. Oh iya, belum lagi makanan kucing premium buat Sultan. Saat ini aku single mother anak satu (anak berbulu lebih tepatnya).

Pertama membersihkan muka menggunakan pembersih berbahan minyak, lalu dilanjutkan pembersih berbahan air. Jangan lupa eksfoliasi terus pelembab alias toner. Kalau sudah, kasih essence sambil ditepuk-tepuk pelan. Kemudian lanjut mengoleskan serum dan pakai sheetmask. Tunggu dua puluh menit untuk melepaskan sheetmask. Dan terakhir pemakaian moisturizer.

Melelahkan dan ribet. But, beauty is pain, right?

"Hush." Aku mengusir Sultan yang enak-enakkan berbaring di atas bantalku. "Sana, tidur di bawah. Mataku udah ngantuk, nih, Sul!"

Sultan melirikku sinis. Untuk ukuran kucing, dia bossy banget. Mungkin karena terlalu dimanja sama Raihan. Dibeliin tempat tidur, punya mainan panjat-panjatan, bahkan kadang Raihan ajak dia keliling kompleks pakai mobil kalau si Sultan tiba-tiba nggak mau makan.

"Kita sekarang harus belajar hidup prihatin, Sul. Raihan itu orang bejat. Dokter cabul," curhatku menarik selimut. "Aku punya peraturan yang beda dari Raihan. Aku nggak suka kalau kamu tidur di kasur yang sama, sama aku. Bulumu bikin bajuku kotor. Paham, ya?"

Sultan cuek saja dan melompat turun dari ranjang.

Aku pun merebahkan bokong ke atas matras. Tapi kok, hidungku sontak menghirup bau semerbak yang sangat menyengat. Aroma tai kucing!

Aku lantas menelisik ranjangku, dan benar, kucing laknat itu boker di atas kasur. Aku sontak menegakkan badan   menuruni ranjang.

"Sultaaaaaaaaaan ...!" pekikku kesal.

Sultan tak acuh menggaruk-garuk telinga menggunakan kakinya. Ia bukan tidak mendengarkanku, aku tahu Sultan memang sengaja mengerjaiku. Dia kesal karena kubawa pergi dari Raihan. Ketimbang bersamaku, kucing ini lebih suka di rumah Raihan yang nyaman dan terjamin.

"Harusnya kamu poop di pasirmu!" bentakku. "Lihat, aku udah taruh toiletmu di ..."

Netraku menyapu pandangan ke sekeliling. Oh iya. Aku lupa menurunkan litter box Sultan dari mobil.

"Okay. Aku emang lupa taruh toiletmu, tapi bukan berarti kamu pup di tempat tidur!" lanjutku. Aku menarik Sultan dalam gendonganku. "Ngerti nggaaaak?!"

Mata Sultan memandangku sinis. Persis cara Dewa saat melihatku tadi.

Ia meronta dan melepaskan diri dari rengkuhanku. Dengan kesal, aku mengambil kantong plastik untuk membuang kotoran Sultan. Mungkin membawa kucing ini tinggal bersamaku merupakan keputusan salah. Namun, Sultan adalah satu-satunya penghubung antara aku dan Raihan. Aku berharap kelak ia akan menghampiriku sambil memohon-mohon agar kami kembali.

"Sekarang aku harus ganti seprai, kan?! Entah di mana aku dulu menyimpan seprai-seprai ..." Sambil terus mengomel sendiri, aku membuka lemari pakaian. Sudah terbayang malam ini harus begadang karena sibuk mencari pelapis kasur.

Tapi, ternyata dugaanku salah.

Aku langsung menemukan lipatan seprai yang tersusun rapi pada bagian almari paling bawah.

"... Seharusnya kamu bisa lebih rapi supaya menciptakan suasana yang nyaman untuk ditinggali."

Aku mendengkus. Rupanya tertata rapi seperti ini enak juga, aku nggak perlu susah payah menemukan benda-benda yang kubutuhkan. Sial, mau tidak mau aku akhirnya membenarkan petuah dari Mas Pongah!

Makin besar kepala dia kalau tahu.

Seru, nggak, sih?

Bagi love dan komennya, ya! ๐Ÿ–ค๐Ÿ–ค๐Ÿ–ค

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya EXTRA PART 6 โ€” THE SECOND TRIMESTER
3
0
Babak akhir pertemuan antara Keenan, Amara, dan Bastian.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan