His Lips (Bab 1 - 5)

2
0
Deskripsi

Kenapa kau selalu membuat kisah yang berakhir bahagia?

Kau buta, munafik, atau seorang wanita yang tinggal dalam istana dengan pagar tinggi hingga tidak bisa melihat penderitaan di sekelilingmu?

Tidakkah kau berpikir bahwa kau telah membesar-besarkan arti kata ‘cinta’?

 

Xavierous Abraham

 

---------------

 

Kau tahu apa masalahmu?

Kau tidak memiliki kesabaran.

Bersabarlah! Biarkan cinta datang menghampirimu dan memberimu kebahagiaan.

 

Avalee


 

Bab Lainnya dari cerita ini :

  • His Lips (Bab 1 - 5)
  • His Lips (Bab 6...

Surat

 

Kenapa kau selalu membuat kisah yang berakhir bahagia?

Kau buta, munafik, atau seorang wanita yang tinggal dalam istana dengan pagar tinggi hingga tidak bisa melihat penderitaan di sekelilingmu?

Tidakkah kau berpikir bahwa kau telah membesar-besarkan arti kata ‘cinta’?

 

Xavierous Abraham

 

---------------

 

Kau tahu apa masalahmu?

Kau tidak memiliki kesabaran.

Bersabarlah! Biarkan cinta datang menghampirimu dan memberimu kebahagiaan.

 

Avalee


 

Bab 1

 

 Xavier masih terus menatap sepucuk surat balasan dari Avalee. Entah sudah berapa ratus kali dia membaca surat itu. Dan tiap selesai membaca dia pasti akan tersenyum mengejek.

Cinta dan Kebahagiaan? Yang benar saja.

Menurut Xavier, Avalee adalah penulis konyol yang selalu membesar-besarkan arti kata cinta. Itu terbukti dari semua novel yang ditulis Avalee, tidak ada satupun yang berakhir sedih. Semuanya bahagia.

Pastilah Avalee seorang wanita yang hidup di dunia khayal. Karena di dunia nyata, tidak semua orang memiliki akhir yang bahagia. Yah, termasuk Xavier sendiri.

Namun sebesar apapun Xavier senang menghina Avalee, dia tidak memungkiri bahwa dia tidak pernah membaca novel roman selain karya Avalee.

Sungguh, Xavier membenci roman picisan. Dia memang senang membaca. Namun tidak pernah sedetikpun dia meluangkan waktu untuk membaca novel roman. Dia sendiri tidak mengerti takdir apa yang menantinya hingga harus mengenal novel Avalee tanpa sengaja lalu menyukai tiap jalinan kata-kata yang Avalee tulis.

Ya, Xavier mengenal novel Avalee tanpa sengaja. Saat itu dia sedang berbelanja buku. Ada banyak buku yang Xavier beli. Namun entah bagaimana, novel Avalee terdampar di tumpukan bukunya. Ketika memeriksa struk pembayaran, novel itu juga masuk dalam data buku yang Xavier beli. 

Mungkin buku itu tidak sengaja jatuh ke keranjang belanjanya. Entahlah, Xavier tidak mau terlalu memikirkan hal itu. Yang jelas, sampul dan deskripsi ceritanya membuat sifat sinis Xavier muncul. Dia membaca buku itu dengan niat untuk mengejek, namun malah terhipnotis. Akhirnya Xavier mengakui, walau Avalee penulis kisah penuh bualan, namun kemampuan merangkai katanya tidak perlu diragukan.

Seperti kebiasaan Xavier, ketika dia menyukai seorang penulis, dia akan mencari tahu tentang penulis itu. 

Anehnya, tidak ada informasi apapun yang Xavier dapatkan mengenai seorang penulis yang bernama Avalee, selain bahwa dia adalah penulis wanita yang sedang naik daun. Bahkan para penggemarnya juga tidak ada yang mengetahui tentang wanita itu. Dia sangat misterius.

Tapi ada satu hal yang unik tentang Avalee. Dia memberi kesempatan kepada para penggemarnya untuk mengirim surat tiap setengah tahun sekali. Dan semua surat itu, pasti akan mendapat balasan langsung dari Avalee sendiri.

Saat itulah, Xavier mengirim sebuah surat kepada Avalee yang mendapat balasan tiga hari kemudian. Surat yang masih terus Xavier simpan walau sudah lima bulan berlalu. 

Xavier bukanlah orang yang sentimentil. Dia menyimpan surat dari Avalee hanya karena penasaran. Penasaran apakah benar dengan bersabar, dirinya akan mendapat cinta dan kebahagiaan seperti yang Avalee tulis. Kenyataannya semua sesuai dugaan Xavier. Yang Avalee tulis hanya bualan tanpa arti. Sebuah dongeng pengantar tidur.

Kesal, Xavier meremas surat di tangannya.

Mungkin jauh di lubuk hati, Xavier berharap kata-kata Avalee bisa menjadi kenyataan. Bagaimanapun Xavier juga manusia yang punya perasaan. Dia bosan hidup dalam kubangan derita.

Namun rupanya, cinta dan kebahagiaan tidak sudi berada di dekatnya. Percuma Xavier percaya pada Avalee. Sudah lima bulan berlalu sejak ia menerima surat itu, hidup Xavier tidak berubah. Neraka yang ia tinggali, semakin hari semakin membakar tubuh dan jiwanya.

“Xavier, wanita itu sudah datang.”

Xavier melepaskan lumatan kertas dalam genggaman dan membiarkan kertas itu tergeletak di meja kerjanya. Kemudian dia mendongak menatap Vero, sahabat sekaligus asisten pribadinya. Vero juga merupakan satu-satunya orang yang Xavier percaya.   

“Apa dia seperti dugaan kita?” tanya Xavier dingin.

“Iya. Nyonya Kelis bermaksud menjodohkanmu dengan wanita itu demi memperlancar rencananya untuk merebut harta warisan yang jatuh ke tanganmu.”

“Apa wanita tua itu berpikir aku akan jatuh cinta pada wanita pilihannya lalu bersedia menandatangani surat pengalihan harta?”

“Mungkin saja. Kusarankan sebaiknya kau menolak perjodohan ini.” Vero memberi nasihat.

Pandangan Xavier jatuh ke gumpalan kertas di atas meja kerja. “Tidak, Vero. Aku tidak akan menolak. Bukan gayaku untuk melarikan diri dari pertempuran yang disediakan untukku.” Xavier mengambil surat dari Avalee yang sudah lecek lalu merapikannya. Perlahan dia kembali menyimpan kertas itu dalam laci. “Antarkan aku menemui mereka.”

Vero mengangguk. Tanpa kata dia berjalan ke belakang kursi roda Xavier lalu mendorongnya keluar kamar luas yang menjadi satu dengan ruang kerja Xavier.

***

Wanita itu sangat cantik. Xavier tidak akan menyangkalnya. Sayangnya Xavier sudah terlanjur menganggap wanita itu sebagai musuh. Alasannya sederhana. Karena wanita itu mengenal Kelis, mama tiri Xavier

“Sintha, kenalkan ini putraku, Xavierous Abraham.” Kelis berkata dengan senyum memuakkannya. Kemudian wanita itu beralih ke arah Xavier. “Xavier, dia ini wanita yang Mama beritahukan padamu tempo hari, Dea Sintha Patreshea.”

Xavier tidak mau repot-repot melirik wanita yang mengaku dirinya sebagai mama Xavier. Tatapan tajamnya tertuju pada Sintha yang juga balas menatapnya dengan senyum malu-malu. Seketika Xavier menyadari, Sintha juga sama seperti Kelis. Wanita munafik yang suka memakai topeng di depan orang lain.

“Hai, Xavier.” Sintha menyapa malu-malu.

Xavier tidak membalas sapaan Sintha. Pandangannya tidak beralih dari wajah wanita itu.

“Sepertinya Kak Xavier terpesona padamu, Sintha.” Ruby, adik tiri Xavier yang paling tua menyahut. Wanita itu sama saja seperti mamanya. Sama-sama ular penjilat.

Sesekali Sintha melirik Xavier yang tidak berhenti memandangnya dengan malu. Dia sadar betul tatapan Xavier bukanlah tatapan seorang pria yang terpesona pada wanita. Melainkan tatapan permusuhan yang ditunjukkan secara terang-terangan. Namun Sintha pura-pura tidak tahu. Dia masih terus menampilkan senyum malunya.

Melihat Xavier yang terus diam membisu, Kelis mengambil alih pembicaraan. “Xavier, Sintha ini teman kuliah Ruby di luar negeri. Menurut Ruby, Sintha sangat cocok untukmu dan Mama pikir juga begitu.”

“Berhenti berbasa-basi dan langsung saja. Apa yang kau inginkan?” akhirnya Xavier membuka suara. Namun yang keluar dari bibirnya adalah pertanyaan pedas dengan nada dingin sementara matanya tidak lepas dari wajah Sintha.

Sempat hening selama beberapa saat. Kelis, Sintha dan Ruby yang berada di hadapan Xavier serta Vero yang setia di belakangnya memilih bungkam. 

Akhirnya Kelis berdehem lalu kembali menampilkan senyum palsunya. “Kalau kau merasa cocok dengannya, kami berencana akan menikahkan kalian.”

“Kau sendiri, apa kau tidak keberatan dengan suami cacat sepertiku?” tanya Xavier langsung kepada Sintha, masih dengan nada dinginnya.

“Aku tidak menilai orang dari—”

“Sesuai dugaanku. Sesama ular memang pantasnya bekerja sama.” Untuk pertama kalinya sejak memasuki ruang tamu, Xavier menoleh ke arah Kelis. “Tentukan saja tanggal pernikahannya dan atur sendiri semua persiapannya. Aku akan menikah sesuai keinginanmu. Tapi jangan menangis darah kalau kau tetap tidak bisa mendapatkan apa yang kau inginkan setelah pernikahan ini.” 

Setelah berkata demikian, Xavier memberi isyarat ke arah Vero bahwa dia ingin meninggalkan ruang tamu. Dengan patuh Vero mendorong kursi roda Xavier meninggalkan tiga orang yang masih tertegun. 

***

“Bajingan itu!” Kelis menghempaskan dengan keras guci cantik di dekatnya. Karya seni yang cukup mahal itu langsung pecah begitu menyapa lantai.

Seperti inilah Kelis. Ketika apa yang dia inginkan tidak bisa tercapai, dia akan melampiaskannya dengan menghancurkan barang-barang. Itu sebabnya dia sengaja memasang alat peredam suara di kamarnya agar seluruh aktivitasnya tidak terdengar.

“Sudahlah, Ma. Yang penting rencana awal kita berhasil.” Ruby menasihati.

“Tapi bagaimana kalau aku gagal seperti yang dia katakan? Apalagi melihat sikapnya, kurasa sangat sulit mendekatinya.” Sintha turut berucap.

Kelis menatap Sintha lekat. “Tidak peduli kau bisa dekat atau tidak dengannya, yang kubutuhkan hanya tanda-tangannya.”

“Lalu jika aku gagal?”

“Maka kau akan tidur di jalanan bersama keluargamu.” Ruby berkata kejam. “Berusahalah dengan keras. Jika kau berhasil, kami bisa membantu keluargamu keluar dari lilitan hutang.”

Sintha mendesah. “Kenapa kalian tidak langsung membunuhnya saja jika ingin mendapatkan seluruh harta ini? Jika alasannya tidak berani, racun dan pembunuh bayaran adalah pilihan yang bagus.”

Kelis mendengus. “Seandainya bisa, aku sanggup membunuhnya dengan tanganku sendiri.”

“Apanya yang tidak bisa?” Sintha penasaran.

“Almarhum suamiku sangat mengerti bahwa aku menginginkan hartanya dan sanggup menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Karena itu dia membuat surat wasiat yang membuatku tidak bisa menghabisi putra kesayangannya.” Jemari Kelis mengepal dengan marah.

“Apa isi surat wasiatnya?” Sintha makin penasaran.

“Pertama, seluruh warisan jatuh ke tangan Xavierous Abraham. Kedua, semua harta ini akan disumbangkan jika Xavier meninggal. Ketiga, Xavier tidak boleh mengusir kami dari rumah ini maupun dari perusahaan.” Ruby menjelaskan.

“Bagian terakhir sangat menguntungkan kalian.” Sintha berkomentar.

“Menguntungkan apanya?” sergah Kelis. “Yang ada kami dijadikan pesuruh oleh bocah sialan itu. Dan kau lihat sendiri bagaimana kami harus berpura-pura manis di depannya. Tetap tersenyum walau dia terang-terangan menghina kami.”

Sintha mengangguk paham.

“Itu sebabnya kau tidak boleh gagal.” Ruby berkata serius. “Terserah bagaimana caramu melakukannya, buat dia mau menandatangani surat pengalihan seluruh harta ini.”

Sinta menatap Ruby dan Kelis dengan sama seriusnya. “Kalian harapanku satu-satunya untuk menyelamatkan perusahaan papaku dari kebangkrutan. Aku akan berusaha keras agar tidak gagal.”

Kelis dan Ruby tersenyum senang mendengar tekad Sintha.

***

“Xavier, jangan main-main dengan cinta. Bagaimana kalau kau benar-benar jatuh hati pada wanita itu?” Vero memberi nasihat sambil berusaha membantu Xavier pindah ke ranjangnya.

Xavier kesakitan. Namun dia menyembunyikan itu dari pandangan Vero dengan tetap menampilkan wajah datar. Dia tidak mau sahabatnya itu menjadi khawatir.

Vero mengartikan sikap diam Xavier sebagai isyarat bahwa pria itu tidak mau melanjutkan pembahasan. Tentunya dia tidak bisa melihat keringat dingin di punggung Xavier yang terus mengalir karena Xavier mati-matian menahan sakit.

Kian hari, kaki Xavier yang lumpuh semakin terasa sakit. Obat dari dokter yang rutin ia konsumsi sama sekali tidak membantu.

Xavier bukan lumpuh sejak kecil. Dia pernah mengalami kecelakaan tiga tahun yang lalu. Kejadian itu membuatnya harus merelakan lutut hingga telapak kakinya tidak bisa berfungsi lagi hingga ia harus terikat dengan kursi roda.

Xavier yakin kecelakaan itu bukan tanpa sengaja. Pasti ada salah satu anggota keluarganya yang merencanakan itu. Namun polisi tidak menemukan bukti adanya kesengajaan. Entah polisi yang terlalu bodoh menyelidikinya atau para polisi itu juga sudah bekerja sama dengan keluarganya.

Kini Xavier sudah menerima bahwa dirinya tidak bisa berjalan lagi. Dia masih terus mengkonsumsi obat karena dokter bilang itu bisa meminimalisir rasa sakit di kakinya yang akan timbul di kemudian hari dan mencegah efek buruk lanjutan dari kelumpuhannya.

Ternyata rasa sakit itu benar-benar muncul seperti kata dokter. Kini tiap kali Xavier harus berganti posisi atau berpindah tempat, sakitnya sangat terasa seolah kakinya akan lepas. Kalau seperti ini terus, mungkin Xavier harus merelakan kakinya diamputasi.

“Baiklah, Xavier. Aku permisi ke kamarku.” Pamit Vero.

Sejak papanya meninggal, Xavier memang meminta Vero untuk tinggal di rumahnya. Dia butuh orang yang benar-benar bisa dipercaya sementara semua orang dalam rumah itu merupakan musuh yang ingin menghancurkannya.

“Ver sebelum keluar, tolong ambilkan bukuku.” Pinta Xavier tetap dengan wajah datar.

Sejak papanya meninggal, bahkan Vero pun tidak pernah lagi melihat senyum Xavier. Dia selalu memasang wajah datar dan bersikap dingin.

“Tentu. Kau ingin membaca buku apa?” jawab Vero seraya berjalan ke rak buku di salah satu sudut kamar Xavier.

“Karya Avalee. Terserah yang mana saja.”


 

Bab 2

 

“Apa aku perlu memanggil pelayan untuk membantumu mengganti pakaian?” tanya Vero.

“Tidak, aku bisa melakukannya.” Sahut Xavier datar. “Tinggalkan aku sendiri.”

Vero mengangguk lalu segera keluar kamar sesuai permintaan Xavier.

Pandangan Xavier terpaku ke arah kegelapan di luar sana. Baru sepuluh menit yang lalu dia telah resmi menjadi suami Dea Sintha Patreshea. Kini dia bertekad akan membuat pernikahan ini menjadi neraka untuk wanita itu.

Tanpa melepas pakaian pengantinnya, Xavier menggerakkan kursi roda menuju meja kerja. Di meja besar itu memang tidak disediakan kursi karena Xavier tidak bisa menggunakannya. Dia tetap akan bekerja. Tidak peduli walau malam ini adalah malam pertamanya. Bahkan dia langsung kembali ke kamar begitu dirinya dan Sintha dinyatakan sah menjadi suami istri.

Lagipula tidak ada yang bisa dinikmati dari pesta itu. Yang diundang hanya teman dekat keluarga tirinya. Orang tua Sintha juga tidak bisa hadir karena masih di luar negeri. Hanya kedua kakak lelaki Sintha serta beberapa teman dekat wanita itu.

Karena itu untuk apa Xavier tetap bertahan di sana. Dia memang mempelai pria, namun tidak satupun tamu undangan yang dikenalnya. Keluarga tirinya telah sukses membuat Xavier merasa asing di pestanya sendiri.

KLEK.

Xavier tidak mau repot-repot mendongak untuk melihat siapa orang yang masuk ke kamarnya tanpa mengetuk. Siapa lagi kalau bukan wanita ular yang baru saja ia nikahi.

“Xavier, kenapa kau buru-buru meninggalkan pesta?” Sintha bertanya dengan nada lembut. “Kau bahkan belum makan apapun.”

Sintha meletakkan nampan berisi makanan dan segelas susu di atas meja nakas. Dia juga masih mengenakan gaun pengantinnya yang menyapu lantai.

Tadi dia kaget ketika Xavier pergi begitu saja. Bahkan kakak dan teman-temannya langsung menatap Sintha dengan pandangan bertanya. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa pernikahan ini memiliki maksud tertentu. 

Beruntung orang tuanya tidak bisa hadir. Kalau tidak, papanya yang berpendirian keras pasti akan langsung menyeret Sintha pulang dan membatalkan pernikahan. Namun karena yang ia hadapi hanya kakak dan teman-temannya, dengan mudah Sintha mengatakan bahwa kondisi suaminya memang sedang tidak sehat. Pernyataan itu juga semakin meyakinkan karena keluarga suaminya juga mengiyakan.

Akhirnya Sintha harus pamit menyusul Xavier ke kamar agar orang-orang tidak semakin merasa aneh.

Melihat Xavier tidak juga mengalihkan perhatian dari berkas yang dibacanya, akhirnya Sintha mendekat dan berdiri di depan meja kerja Xavier.

“Apa kau ingin aku menyuapimu?” tanya Sintha dengan nada malu-malu.

Kegiatan Xavier membaca langsung terhenti ketika mendengar pertanyaan Sintha. Dia mendongak secara perlahan. Pandangan tajamnya menusuk Sintha.

“Tidak perlu bersikap menjijikkan seperti itu di hadapanku.” Ujar Xavier dengan nada dingin.

Sintha terdiam selama beberapa saat. Kemudian perlahan, sikap malu-malu Sintha berubah. Dia menyeringai lebar. “Suamiku, tidak bisakah kau berpura-pura manis? Setidaknya untuk malam ini saja.” Sintha menggoda dengan mengedipkan sebelah matanya.

“Akhirnya wujud aslimu keluar juga.”

Sintha terkekeh mendengar kalimat Xavier yang menurutnya lucu. “Memangnya aku siluman hingga bisa berubah wujud?”

“Kau lebih rendah dari siluman. Kau hanya ular pesuruh.”

Kekehan Sintha berubah menjadi tawa. 

Xavier geram. Dia sangat tidak suka ketika ucapannya dianggap sebagai lelucon. Jemarinya mengepal kuat. Sintha beruntung karena Xavier tidak bisa berdiri. Kalau tidak, pasti wanita itu sudah terkapar dengan wajah berlumur darah. Xavier tidak akan peduli walau Sintha seorang wanita.

“Kau pintar melawak, Sayang.” Puji Sintha setelah tawanya reda. 

Sintha melangkah semakin dekat ke meja kerja Xavier lalu meletakkan kedua telapak tangannya di permukaan meja yang dingin. Tubuhnya membungkuk hingga matanya sejajar dengan mata Xavier.

Mereka saling berpandangan dengan tajam. Xavier dengan tatapan dinginnya sedangkan Sintha dengan mata berkilat geli.

“Semakin kau berkata pedas, di mataku kau semakin menggairahkan, Xavier.” Lalu tanpa peringatan Sintha melahap bibir bawah Xavier singkat.

Xavier begitu terkejut dengan aksi Sintha hingga tidak mampu bergerak. Dia bahkan masih mematung di tempatnya walau Sintha sudah menjauhkan diri dengan senyum lebar lalu menghilang di balik pintu kamar mandi.

Begitu berhasil menguasai diri kembali, jemari Xavier bergerak ke dadanya. Jantungnya berdegup kencang. Pasti ini efek karena dia sudah lama tidak berdekatan dengan lawan jenis selain keluarga yang dibencinya.

Mata Xavier menutup. Dia menyandarkan punggung di kursi rodanya. Jantungnya baru mulai melambat ketika pintu kamar mandi kembali terbuka diiringi suara Sintha.

“Sayang, aku tidak bisa membuka ritsleting gaunku.” Ujar Sintha dengan nada manja.

“Panggil saja pelayan!” Xavier menegakkan tubuh lalu kembali membaca berkasnya.

“Aku tidak butuh pelayan jika ada suami tampanku di sini. Lagipula aku hanya akan memperlihatkan tubuhku pada suamiku.”

“Jangan membuatku geli karena bualanmu. Melihat sikap jalangmu padaku, pasti sudah tidak terhitung banyaknya lelaki yang telah menjamah tubuhmu.” 

Jika Xavier mengatakan itu pada wanita lain, wanita itu pasti akan langsung pergi dengan air mata berderai dan hati terluka. Tapi tidak dengan Sintha. Dia malah menyusurkan lidahnya di bibir bagian atas seperti ketika menghadapi makanan yang lezat.

“Sayang, kau membuatku ingin menciummu lagi.”

Sintha kembali membungkuk dengan wajah mendekat namun kali ini Xavier menjauhkan wajahnya. “Jangan lakukan itu lagi jika kau tidak mau wajahmu terluka karenaku.”

“Itu namanya kekerasan dalam rumah tangga. Bagaimana aku menjelaskan hal ini jika orang-orang bertanya? Apa aku harus bilang bahwa suamiku memukulku karena aku hendak menciumnya?” 

Tinggal satu inchi lagi bagi Sintha untuk mencapai bibir Xavier. Tapi melihat raut ngeri di wajah Xavier, Sintha menjauhkan diri dengan tawa meledak.

“Sayang, kau terlihat seperti aku akan memperkosamu.” Sintha berkata di antara tawanya. “Sudahlah, aku ingin membersihkan diri. Cepat bantu aku menurunkan ritsleting gaunku. Setelah itu aku akan segera menyingkir dan membiarkanmu kembali bekerja.”

Sintha berjalan memutar lalu berlutut di samping kursi Xavier, memunggungi lelaki itu. Dia  sudah menyingkirkan rambut panjangnya dari punggung agar Xavier bisa lebih mudah menurunkan ritsleting gaunnya.

Xavier sendiri menatap punggung Sintha dengan mata berkilat marah. Dia geram dan merasa sedikit kalah. Tadinya dia pikir sangat mudah menciptakan neraka untuk Sintha. Tapi ternyata tidak segampang itu.

“Aku sanggup berlutut sepanjang malam.” Gumam Sintha karena Xavier tidak kunjung bergerak.

Xavier mulai paham bahwa Sintha adalah wanita yang keras kepala. Karena itu dia memilih mengalah agar bisa mendapat ketenangannya kembali, walau mungkin hanya untuk beberapa saat.

Dengan kasar Xavier menurunkan ritsleting gaun Sintha lalu segera mengalihkan perhatian kembali ke berkas di mejanya. Walau berusaha keras, mata Xavier tetap menangkap pemandangan punggung putih mulus milik Sintha.

“Terima kasih, suamiku.” Dengan nakal Sintha bangkit seraya mengecup pipi Xavier. Ketika Xavier mendongak dan hendak melayangkan pelototan ke arah Sintha, wanita itu sudah bergegas ke kamar mandi diiringi kekehan gelinya.

Kesal, Xavier menutup map di hadapannya lalu menyingkirkan map itu ke samping. Dia benar-benar tidak bisa konsentrasi.

Kali ini Kelis telah mengirim ular yang benar-benar cerdik dan licik. Baru beberapa menit berduaan dengan Sintha, Xavier sudah kehilangan kendali diri. Sepertinya Xavier harus berhati-hati. Jika tidak, dia yang akan menjadi pecundang karena kalah.

Tak lama kemudian, Sintha keluar dengan mengenakan gaun tidur. Dengan santai dia melenggang menuju meja rias yang memang disediakan untuknya di kamar itu.

Agar tidak disangka mengamati Sintha, Xavier mengambil salah satu buku bisnisnya lalu berusaha konsentrasi untuk membaca. Namun itu sangat sulit. Mungkin karena Xavier belum terbiasa dengan adanya orang lain di kamarnya. Terutama jika orang itu adalah musuh yang harus ia waspadai.

Sintha sudah selesai membersihkan make-up dan mengoleskan cream malam di wajahnya. Ketika berdiri, pandangannya tertuju ke arah nampan yang isinya masih utuh.

“Sayang, kau belum menyentuh makan malammu.” Ujar Sintha seraya mengambil nampan lalu membawanya ke meja kerja Xavier.

“Berhenti memanggilku dengan kata-kata menjijikkan itu.” tegas Xavier dingin.

Sintha pura-pura tidak mendengar kalimat Xavier. Tanpa duduk dia mengiris-iris steak menjadi potongan kecil lalu menusuknya dengan garpu.

“Ayo, buka mulutmu.” Pinta Sintha seraya mengarahkan garpu ke bibir Xavier.

Kemarahan Xavier sudah mencapai puncaknya. Dengan geram dia mengibaskan tangan hingga garpu dalam genggaman Sintha terlempar.

“Kau sudah melewati batasanmu. Kita sama-sama tahu ini bukan pernikahan yang sebenarnya. Bersikaplah baik dan jaga jarak dariku, maka aku tidak akan melukaimu.”

Sintha tersenyum. Dia tidak mempedulikan kemarahan Xavier dan malah menjepit irisan steak dengan telunjuk dan ibu jarinya. “Kalau kau sudah tahu, seharusnya kau tidak menerima pernikahan ini. Sekarang sudah terlambat untukmu mengatakan padaku agar menjaga jarak karena aku tidak akan pernah menjaga jarak dari suamiku.” Sintha memasukkan irisan daging lezat itu ke dalam mulutnya lalu menjilat jemarinya. “Tidak baik membuang makanan, Sayang.”

Kemudian Sintha mengambil garpu di lantai lalu membersihkan lantai yang kotor akibat steak dengan tissue. Setelahnya dia mengenakan jubah kamar lalu keluar sambil membawa nampan.

Sepeninggal Sintha, Xavier menggosok wajahnya dengan frustasi. Sekarang dirinya diliputi penyesalan. Dia menyesal karena tidak menolak pernikahan ini sesuai saran Vero. Namun karena semua sudah terlanjur terjadi, yang bisa Xavier lakukan hanya berusaha mengabaikan keberadaan Sintha dan mencari celah untuk membuat Sintha menyesali pernikahan ini.

Xavier menggerakkan kursi rodanya ke tengah kamar. Biasanya pelayan akan datang dan menyiapkan Xavier untuk istirahat. Dia memiliki pelayan lelaki yang selalu membantunya ke kamar mandi atau berganti pakaian. Walau kadang Xavier berusaha untuk melakukannya sendiri, namun tetap ia akui tubuhnya tidak sekuat dulu. Rasa sakit di kedua betisnya kadang begitu menyengat ketika Xavier menggerakkan bagian perut ke bawah.

Kini Xavier kebingungan. Pastilah si pelayan mengira istrinya yang akan menyiapkan semua kebutuhannya. Atau mungkin karena tadi ia melarang Vero memanggil pelayan. Pokoknya besok dia akan menemui pelayan itu lalu menegaskan bahwa tugas si pelayan tidak berubah walau Xavier sudah menikah. 

Xavier menoleh ketika pintu terbuka dan berharap itu pelayannya. Tapi ternyata yang masuk adalah Sintha. Dia langsung memalingkan wajah lalu menggerakkan kursi roda ke sebelah ranjang.

“Suamiku, kau tidak mau berganti pakaian atau ke kamar mandi?” tanya Sintha seraya mendekati Xavier. Wanita itu benar-benar mengabaikan peringatan Xavier sebelumnya.

Xavier mengabaikan Sintha. Dia menatap ranjang dan berpikir bagaimana cara memindahkan tubuhnya ke sana.

Dulu sebelum rasa sakit mulai menyerang, Xavier masih sanggup memindahkan tubuhnya sendiri tanpa bantuan. Tapi kini dia tidak bisa lagi melakukannya. Mungkin malam ini Xavier harus tidur di atas kursi rodanya.

Melihat tatapan Xavier, Sintha paham apa yang dipikirkan lelaki itu. Tanpa kata dia mendekat lalu berlutut di hadapan Xavier.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Xavier ketika jemari Sintha bergerak ke kancing baju pengantinnya.

“Untuk kali ini, hentikan ocehanmu!” sekarang tidak ada nada geli maupun menggoda dalam suara Sintha.

Akhirnya Xavier diam. Kalau Shinta bermaksud membantunya, itu bagus. Tapi sikap diam Xavier bukan berarti dirinya sudah menyerah.

Dengan lembut Sintha melepas pakaian atas Xavier. Setelahnya dia berdiri tegak dengan kedua tangan di pinggang. “Bagaimana caraku membantumu pindah ke ranjang? Jelas aku tidak akan sanggup membopongmu.”

Xavier berdecak. Tadi wanita itu sok sanggup membantunya. Tapi sekarang dia malah kebingungan sendiri.

“Angkat aku dari belakang!” perintah Xavier.

“Angkat? Yang benar saja. Kau pasti berat.”

Xavier melotot ke arah Sintha. “Kalau begitu pergi saja! Kau tidak berguna.”

“Baiklah, baiklah.” 

Sintha bergerak ke belakang Xavier sambil meregangkan otot-otonya seperti orang yang melakukan pemanasan sebelum berolahraga. Tanpa bisa dicegah, bibir Xavier mengerucut menahan senyum. Ketika menyadari apa yang telah dilakukannya, Xavier segera mengembalikan raut wajahnya menjadi datar.

“Tegakkan tubuhmu. Kalau kau bersandar seperti itu, bagaimana aku melakukannya?” ujar Sintha dari belakang.

Xavier menurut untuk menegakkan tubuh. Lalu tanpa peringatan, lengan Sintha menelusup di bawah lengan Xavier, memeluk lelaki itu dari belakang.

“Aku pasti bisa!” Sintha menyemangati dirinya sendiri.

Dengan sekuat tenaga, Sintha mengangkat tubuh Xavier. Beruntung Xavier meringankan beban tubuhnya dengan bertumpu di kedua lengan kursi. Namun tetap saja, Sintha sampai terengah ketika bokong Xavier sudah berhasil menyentuh ranjang.

“Aku bisa menggeser tubuhku sendiri. Sekarang menyingkirlah!” perintah Xavier.

Bukannya menyingkir, Sintha tetap merangkul Xavier dari belakang. Dia malah meletakkan pipinya di punggung telanjang Xavier seraya mengatur nafas.

“Heh, kau tidak pingsan, kan? Cepat menyingkir!”

“Astaga, Xavier bodoh! Badanmu berat! Aku masih mengatur nafasku!” seruan Sintha sempat membuat Xavier tertegun.

Tidak ada orang yang pernah berbicara padanya dengan nada tinggi seperti itu. Orang tua kandungnya tidak pernah karena begitu menyayanginya. Keluarga tirinya juga tidak pernah untuk menjaga kesan baik di hadapannya. Selain keluarganya juga tidak pernah karena nama besar ‘Abraham’ yang Xavier sandang. Namun sekarang dengan tanpa rasa bersalah Sintha berani menaikkan nada bicaranya.

“Kau membentakku?” geram Xavier.

Sintha tidak menjawab. Perlahan dia melepas pelukan dari tubuh Xavier lalu mengangkat kaki Xavier ke ranjang. Setelahnya ia membawa kursi roda ke pinggir agar tidak menghalangi jalan kemudian melangkah ke lemari untuk mengambil piama Xavier.

“Mau aku bantu membuka celana?” nada menggoda Sintha kembali terdengar.

Xavier mengambil dengan kasar piama di tangan Sintha lalu menggeser tubuhnya agar bisa bersandar di kepala ranjang. Setelah itu dia mendongak untuk melayangkan tatapan tajamnya ke arah Sintha. “Balikkan tubuhmu!”

“Kalau tidak?” tantang Sintha

“Akan kucongkel matamu.” Geram Xavier.

Sintha terkikik. “Suamiku seperti perawan yang malu-malu.” Tapi dia segera membalikkan tubuh agar Xavier tidak semakin marah.

Selama beberapa saat, hanya suara gemerisik kain yang terdengar. Kemudian celana yang sebelumnya Xavier kenakan dilempar di dekat kaki Sintha.

Dengan nada yang seperti berbicara dengan seorang budak, Xavier memberi perintah, “Letakkan pakaian itu di kamar mandi!”

Tanpa merasa tersinggung, Sintha membungkuk lalu memungut pakaian Xavier. Setelah dia memenuhi perintah Xavier, dia membuka jubah tidurnya lalu naik ke ranjang di sebelah Xavier yang sudah rebah.

“Kenapa tidak memakai bajumu?” tanya Sintha karena Xavier hanya mengenakan celana piama panjangnya.

“Kau bawel sekali.” Xavier berkomentar kemudian mencoba tidur.

Sintha hanya tersenyum kecil karena jawaban Xavier. Tadinya dia masih berniat mengganggu Xavier. Tapi sepertinya sudah cukup untuk hari ini. Sintha masih memiliki hari esok untuk melakukannya. Lagipula dia cukup beruntung karena Xavier tidak menyuruhnya tidur di lantai.


 

Bab 3

 

 Xavier lapar. Dia bergerak-gerak gelisah karena perutnya terus berbunyi.

Semalam Xavier tidak makan malam. Siangnya juga ia melewatkan makan siang karena sama sekali tidak berselera. Dan sekarang, tepatnya jam satu lewat empat puluh lima menit, Xavier kelaparan. Seandainya kakinya bisa digerakkan secara normal, Xavier ingin sekali berbaring miring sambil memeluk kedua lutut.

Dia melirik Sintha yang masih tertidur pulas. Sempat terpikir untuk membangunkan wanita itu. Tapi urung karena Xavier tidak mau dianggap butuh terhadap wanita ular di sebelahnya.

Lagipula bukan sekali dua kali Xavier berada dalam situasi ini. Bukan hanya karena lapar saat larut malam, Xavier juga pernah ingin buang air di jam seperti sekarang. Karena dirinya tidak bisa pindah sendiri dan tidak ada orang yang bisa ia pintai bantuan, akhirnya Xavier mati-matian menahan keinginannya lalu mencoba tidur. Keesokan harinya, perut Xavier sampai terasa sakit karena terlalu lama menahan keinginan untuk buang air. Dan seperti biasa, rasa sakit itu Xavier pendam sendiri.

Dan kali ini pun, Xavier akan menahan rasa laparnya. Dia tidak akan mati hanya karena menahan lapar selama beberapa jam.

Setelah menarik nafas, Xavier mencoba memejamkan mata. Sepertinya baru beberapa detik berlalu sejak Xavier memejamkan mata, mendadak lengan Sintha melingkari perutnya. Mata Xavier kembali terbuka. Dia melayangkan tatapan kesal ke arah wanita yang masih tampak lelap dalam tidur.

Xavier mendesah ketika perutnya kembali berbunyi. Segera dia menyingkirkan lengan Sintha lalu berusaha kembali tidur.

“Kau lapar?”

Lagi-lagi Xavier terpaksa membuka matanya. Dia menoleh ke arah Sintha dengan tatapan dinginnya. “Kalau kau tidak berniat mengambilkanku makanan, sebaiknya tutup mulut.”

Terpaksa Xavier mengatakan itu. Walau dia tetap menggunakan nada dingin, jelas ada permohonan dalam kalimatnya. Kali ini Xavier bersiap untuk mendengar cemooh Sintha atas permintaan tersiratnya.

“Kenapa tidak segera membangunkanku?” tanya Sintha seraya mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Sama sekali tidak ada nada cemooh maupun ejekan dalam kalimatnya.

Xavier akui, dia tertegun karena pertanyaan Sintha yang seolah menyiratkan bahwa wanita itu tidak keberatan Xavier mengganggunya di tengah malam seperti ini. Tapi, tunggu. Bisa jadi ini memang rencana si wanita ular. Dia sengaja membuat Xavier mengira wanita itu baik untuk membuat dirinya lengah.

Sayang sekali Sintha harus kecewa karena Xavier tidak akan segampang itu luluh hanya karena sebuah kebaikan kecil. Sementara Xavier bangkit dari posisi tidurnya, Sintha sudah keluar setelah mengenakan jubah kamar.

Saat tidak ada orang seperti ini, Xavier tidak lagi menutup-nutupi rasa sakit yang menerpa ketika berusaha menyeret kedua kakinya. Padahal Xavier hanya ingin bersandar di kepala ranjang. Tapi rasa sakitnya begitu menyengat.

Ketika berhasil menyandarkan punggung, keringat sudah membasahi punggungnya. Beberapa tetes juga mengalir di pelipis. Bibirnya terbuka karena nafasnya terengah.

Entah sampai kapan penderitaan ini akan terus ia tanggung. Tubuh dan hatinya sakit.

Kedua tangan Xavier terangkat. Dia mengusap wajah dengan kasar.

Seandainya Xavier berhenti mempertahankan semua harta ini dan menyerahkan pada keluarga tirinya, tentu sakit yang harus ia tanggung hanya sakit di tubuhnya. Hatinya akan tenang karena dia tidak perlu lagi berhadapan dengan keluarga yang berpura-pura manis di depannya padahal sudah jelas Xavier mengetahui kebusukan mereka.

Tapi tidak. Xavier akan terus mempertahankan warisan dari Papa yang sangat disayanginya. Sebesar apapun Xavier membenci Papanya karena telah mengkhianati sang Mama hingga wanita lemah lembut itu memilih bunuh diri, rasa sayangnya terhadap sang Papa tetap tidak bisa luntur.

Sampai kapanpun Xavier akan terus menjalankan wasiat Papanya. Bahkan dia tidak khawatir jika maut datang mendahului. Papanya juga sudah menuliskan itu di surat wasiatnya. Jika Xavier meninggal sebelum membuat surat wasiat, maka seluruh harta kekayaan Abraham akan disumbangkan dan hanya menyisakan beberapa aset untuk keluarga tirinya.

Lamunan Xavier terputus ketika Sintha kembali ke kamar dengan nampan di tangan.

“Menunya masih sama seperti semalam. Apa kau mau memakannya?” tanya Sintha.

Xavier memperhatikan wajah Sintha dan berusaha membaca apa ada nada mengejek di sana. Tapi yang ditemukannya hanya keraguan dari wanita itu. Seperti dia tidak yakin apa Xavier bersedia memakan makanan yang dibawanya atau tidak.  

“Bagaimana? Atau kau ingin menu yang lain? Tapi pasti akan memakan banyak waktu karena aku masih harus memasaknya.” Sintha kembali bertanya karena Xavier tak kunjung menjawab.

“Kemarikan saja makanan itu!” perintah Xavier.

Tanpa membantah Sintha membawa makanan itu ke meja nakas. Dia langsung mengiris-iris steak seperti semalam sebelum menyerahkan piringnya ke tangan Xavier.

Xavier menerima piring itu dengan tangan kiri sedang tangan kanannya langsung menyambar garpu lalu mulai melahap makanannya.

“Hati-hati makannya. Nanti kau tersedak.” Sintha menasihati.

Xavier berdehem. Dia merasa tidak nyaman dengan sikap Sintha sekarang. Wanita itu tampak lebih berbahaya daripada sikap malu-malu maupun sikap jalangnya. Xavier harus lebih berhati-hati agar tidak terkecoh.

Begitu makanan di piring Xavier tandas, Sintha menyerahkan segelas susu lalu mengambil piring Xavier. Setelah segelas susu juga habis, tanpa kata Sintha membawa keluar peratalan bekas makan itu.

Kini perut Xavier sudah tenang. Tanpa menunggu Sintha, dia menggeser tubuhnya agar bisa kembali merebahkan diri. Ketika Sintha kembali memasuki kamar, Xavier sudah memejamkan mata walau belum sepenuhnya terlelap. 

Sintha mengunci pintu kamar lalu melepas jubah kamarnya. Dia melangkah ke ranjang di sebelah Xavier namun tidak langsung berbaring. Dia masih duduk menatap wajah Xavier yang ia kira sudah terlelap.

Dengan lembut, jemari Sintha membelai helaian rambut di kening Xavier. “Jangan khawatirkan apapun lagi. Ada aku yang akan menjadi kaki dan tanganmu di sini.” Bisik Sintha lalu mengecup kening Xavier.

***

Jangan khawatirkan apapun lagi. Ada aku yang akan menjadi kaki dan tanganmu di sini.

Xavier masih mengingat dengan jelas kalimat yang Sintha ucapkan semalam. Atau lebih tepatnya, dini hari tadi.

Kalimat itu membuat Xavier kebingungan. Dia yakin sekali ketika Sintha mengatakannya, wanita itu mengira dirinya sudah tidur. Itu artinya apa yang Sintha ucapkan bukanlah suatu kebohongan dan tulus dari dasar hatinya.

Kalimat itu sangat tidak sesuai dengan kenyataan bahwa Sintha adalah pesuruh keluarga tirinya. Seharusnya mereka berdua musuh. Tapi kalimat itu, membuat Xavier berpikir bahwa Sintha ada di pihaknya.

“Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?”

Xavier baru tersadar bahwa dirinya sekarang sedang duduk di taman bersama Vero untuk membicarakan masalah bisnis. Tadi ketika Vero memintanya membaca sebuah dokumen, pikiran Xavier malah melayang kembali ke kalimat Sintha semalam.

Sesaat Xavier berpikir untuk menceritakan apa yang mengganggu pikirannya pada Vero. Toh selama ini Xavier memang tidak pernah menyembunyikan apapun dari Vero. Tapi mendadak dirinya ragu.

“Tidak ada apa-apa.” Akhirnya Xavier memiilh berbohong. Dia akan melihat dulu sejauh mana kelakuan Sintha sebelum menceritakan semua ini pada Vero.

“Apa terjadi sesuatu pada malam pertamamu hingga kau tidak bisa berkonsentrasi bekerja?” tebak Vero dengan senyum tertahan.

Xavier tahu Vero tidak akan percaya begitu saja dengan kalimat ‘tidak ada apa-apa’. Dia ingin tersenyum ke arah Vero tapi rasanya wajah Xavier akan retak jika ia melakukan hal itu. “Aku merasa terganggu akan sikapnya. Sesaat dia bersikap malu-malu. Tapi saat berikutnya dia bersikap seperti jalang dan dengan tidak tahu malunya mengenakan gaun tidur yang begitu tipis di hadapanku.”

Xavier sama sekali tidak berbohong karena memang itu salah satu yang mengganggu dari malam pertamanya. Tapi dia tidak tertarik untuk menceritakan tentang Sintha yang mencuri ciuman baik di bibir maupun di pipi dan keningnya.

“Tetap berhati-hati padanya. Jangan sampai kau jatuh cinta lalu bersedia melakukan apapun untuk wanita itu.” Vero memberi nasihat.

Xavier mengangguk paham namun tidak melanjutkan pembahasan. Dia menunduk kembali ke arah dokumen yang baru ia baca setengah. Setelahnya kedua lelaki itu mulai tenggelam dalam pembahasan bisnis.

Setengah jam kemudian, mereka sudah selesai. Sambil berbenah, Vero berkata, “Sekali lagi maaf sudah mengganggumu sepagi ini.”

Vero meminta maaf lagi karena telah meminta Xavier memeriksa dokumen pada pukul lima lebih tiga puluh pagi. Orang yang akan melakukan meeting bersama Vero hanya memiliki waktu jam tujuh pagi. Kemarin Vero tidak mau mengganggu hari pernikahan Xavier dengan pekerjaan. Tapi dia butuh Xavier untuk melakukan pemeriksaan akhir karena semua keputusan tetap di tangan Xavier walau sudah satu tahun terakhir Xavier nyaris tidak pernah datang ke perusahaan.

Kondisi kaki Xavier yang semakin buruk membuatnya harus terkurung di rumah. Dia hanya hadir ke perusahaan ketika ada hal penting yang tidak bisa diwakilkan. 

Tentu saja tidak ada yang tahu bahwa kondisi kaki Xavier semakin parah. Bahkan Vero pun tidak. Ketika ditanya, Xavier hanya beralasan bahwa dirinya tidak nyaman pergi keluar dengan kursi roda.

Selain Xavier, yang mengetahui tentang kondisi kaki Xavier hanya dokter yang seminggu sekali rutin memeriksanya. Dokter itu adalah sahabat papanya yang sudah Xavier anggap sebagai paman sendiri.

Menurut Dokter, rasa sakit yang Xavier rasakan merupakan efek lanjutan dari kerusakan saraf pada kakinya. Jika suatu saat rasa sakit itu semakin buruk, maka terpaksa kaki Xavier harus diamputasi.

Sejak saat itu, Xavier tahu bahwa tidak ada lagi harapan untuk sembuh. Setelahnya Xavier menolak kedatangan dokter lagi. Namun karena paksaan dari Vero, akhirnya Xavier bersedia secara rutin mengkonsumsi obat.

“Sudah waktunya sarapan. Aku akan mengantarmu ke ruang makan.” Jelas Vero seraya mendorong kursi roda Xavier.

“Kau tidak ikut sarapan?” tanya Xavier. Walau ekspresi wajahnya tetap dingin dan datar, namun kepedulian tersirat jelas dalam suaranya.

“Aku sekalian sarapan ketika meeting nanti.” Jelas Vero.

Xavier mengangguk. Mereka terdiam hingga sampai di ruang makan. Di sana, sudah ada Sintha serta Kelis dan Ruby.

Xavier berdecak dalam hati. Benar-benar trio ular.

Sebenarnya selain Ruby, Kelis dan papa Xavier masih memiliki dua anak lain. Anak kedua seorang lelaki bernama Mario yang sekarang sudah berusia dua puluh tiga tahun. Dia ini yang paling sering terlibat masalah dengan Xavier karena sifatnya yang tidak bisa menahan emosi. Dia sering kali secara terang-terangan menunjukkan kebencian terhadap Xavier terutama ketika papa mereka menunjukkan kasih sayangnya kepada Xavier.

Sebenarnya Xavier curiga bahwa Mario adalah penyebab kecelakaan yang dirinya alami. Alasannya karena sebelum kejadian mereka bertengkar hebat hanya karena masalah wanita. Setelah Xavier kecelakaan, Mario menghilang. Kelis memberi alasan bahwa Mario melanjutkan studi sekaligus mengurus salah satu perusahaan yang ada di luar kota sampai sekarang. Xavier tahu atas laporan Vero bahwa sesekali Mario pulang. Tapi sepertinya adik tirinya itu sengaja menghindari Xavier.

Anak Kelis dan papa Xavier yang bungsu adalah seorang gadis berusia dua puluh tahun. Namanya Hany. Dia tidak sama seperti keluarganya yang lain. Dia selalu membela Xavier dan sangat senang berada di dekat Xavier. Tapi parahnya, gadis itu pernah secara terang-terangan mengatakan bahwa dirinya mencintai Xavier. Dia bahkan tidak peduli bahwa Xavier adalah kakak yang memiliki darah yang sama dengannya.

Walau Kelis itu siluman ular yang jahat, dia masih cukup waras untuk tidak membiarkan putri bungsunya melanjutkan kegilaannya. Karena itu Kelis sengaja mengirim Hany ke luar Negeri begitu ia lulus SMA.

Di antara ketiga anak Kelis, Ruby yang sudah menikah di usianya yang baru memasuki dua puluh empat tahun. Kira-kira pernikahannya sudah mencapai satu tahun namun ia belum dikaruniai anak. Suami Ruby adalah salah satu direktur di Abraham Group. Dengan sifatnya yang sama-sama tamak, Ruby dan Mahesa—suaminya—terlihat sangat serasi.

Kini anggota keluarga sudah bertambah. Namun Xavier belum bisa memutuskan dia ini lawan apa kawan. Mengingat kedatangan dan tingkah lakunya, Sintha pantas disebut lawan. Tapi semalam, dia berhasil membuat Xavier ragu.

Ah, atau mungkin wanita itu tahu bahwa Xavier belum tidur. Dia pasti sengaja mengucapkan kalimat itu untuk membuat Xavier bingung.

Pemikiran itu membuat kebingungan Xavier perlahan sirna. Wanita itu sungguh tidak bisa diremehkan. Lengah sedikit saja, dia bisa mencuci otak Xavier dan membuat Xavier berpikir sebaliknya.

“Xavier, aku pergi sekarang.” Pamit Vero setelah Xavier menempati sisi meja makan bagian kepala keluarga yang dulu ditempati papanya. Sejak Xavier kecelakaan, sisi meja bagian situ dibiarkan kosong tanpa kursi karena Xavier akan duduk di kursi rodanya.

“Iya, hati-hati di jalan.” Xavier berpesan.

Begitu Vero keluar, Mahesa dan keluarga Sintha yang masih menginap memasuki ruang makan.

Sikap Sintha kembali malu-malu di hadapan Xavier dan seluruh keluarga mereka. Ingin sekali Xavier menepis tangan yang sedang menyendokkan nasi dan lauk ke atas piringnya. Tapi dia memilih diam ketika melihat raut wajah keluarga Sintha. Pastilah mereka tidak tahu bahwa pernikahan ini hanya permainan dengan hadiah setumpuk harta.

Bisa saja Xavier menunjukkan kelakuan Sintha sebenarnya pada keluarganya. Namun Xavier masih penasaran sejauh mana wanita ular satu ini akan bertindak.

“Xavier, kudengar semalam kau tidak sehat. Apa sekarang kau sudah merasa lebih baik?” salah satu keluarga Sintha bertanya.

Xavier sama sekali tidak tahu siapa namanya dan dia tidak ingin tahu. Karena itu Xavier mengabaikan pertanyaan orang itu dan memilih menyibukkan diri dengan makanan di piringnya.

Melihat sikap diam Xavier, seluruh keluarga Sintha menatap tajam ke arah Sintha. Terutama kakak tertuanya yang tadi melontarkan pertanyaan. Akhirnya yang bisa Sintha lakukan hanya menunduk sambil menggigit bibir. 

***

“Kakak tidak akan bertanya ada apa dengan suamimu hingga dia bersikap seperti itu. Yang Kakak ingin tahu, apakah kau bahagia bersamanya?” Romy, kakak tertua Sintha bertanya ketika keluarganya hendak pamit pulang.

“Sintha bahagia, Kak.” Sahut Sintha.

“Dia tidak bersikap buruk padamu, kan?”

Tidak perlu ditanyakan ‘dia’ siapa maksud kakaknya. Sintha sudah tahu karena itu dia langsung mengangguk.

Sebagai seorang kakak, tentu Romy mengkhawatirkan adiknya. Karenanya dia menanyakan semua itu. Tapi melihat kesungguhan di mata sang adik, tidak ada yang bisa Romy lakukan selain menghela nafas lalu menarik tubuh adiknya ke dalam pelukan.

“Kakak tidak peduli bagaimana pun sikapnya terhadap kami. Asalkan dia baik padamu dan bisa membuatmu bahagia, itu sudah cukup.” Ujar Romy sambil membelai rambut panjang adiknya. “Tapi kau tahu kan sifat papa? Kalau suamimu bersikap seperti itu di hadapan papa, dia pasti akan langsung memaksa kalian bercerai.”

“Iya, Sintha tahu.”

Mendengar nada sedih dalam suara Sintha, Romy melepaskan pelukan mereka lalu memandang wajah sang adik dengan penuh kasih sayang. “Jangan terlalu dipikirkan. Kalau dia memang mencintaimu, dia pasti bersedia mengubah sikapnya di hadapan mama dan papa demi bisa mempertahankanmu.”

Sintha tersenyum lalu mengecup pipi kakaknya. “Kakak juga jangan khawatir. Kami pasti baik-baik saja.”

“Bagus sekali.”

Setelah itu, keluarga Sintha pergi meninggalkan kediaman keluarga Abraham. 

Sintha kembali ke dalam rumah lalu menghampiri Kelis dan Ruby yang sedang duduk di ruang tamu. Mahesa sudah berangkat ke kantor dan Kelis juga sudah siap berangkat.

Memang selain Mahesa dan Mario, Kelis juga terlibat secara langsung di perusahaan. Jabatannya juga direktur. Sedangkan Xavier adalah direktur utama dan Vero adalah asisten Xavier.

“Apa kakakmu marah?” tanya Ruby begitu Sintha duduk di hadapan mereka.

“Aku tidak terlalu mengkhawatirkan kakakku. Yang kukhawatirkan adalah papa.” Sahut Sintha lesu.

“Sudah kubilang jangan beritahu keluargamu tentang pernikahan ini.” Ruby berkata lagi.

“Aku pasti akan dikurung di menara yang tinggi jika mereka mengetahui aku menikah tanpa mereka.”

“Seandainya kau memberitahu alasan sebenarnya pernikahan ini, pasti keluargamu tidak akan marah. Malah mereka pasti merasa bersalah karena kau harus mengorbankan diri demi mereka.” Kelis berkata.

“Kau tidak tahu keluargaku. Mereka tidak akan suka dengan alasan itu.”

“Baiklah, terserah kau saja.” Ujar Kelis seraya berdiri. “Aku harus berangkat sekarang. Dan kau, Sintha. Jangan lupakan tugas utamamu. Karena itu kau harus lebih sering bersama Xavier daripada bersama kami.”

Shinta mengangguk paham. Setelahnya Kelis pergi meninggalkan Ruby dan Sintha berdua.

“Kau lihat Xavier pergi kemana?” tanya Sintha karena tadi dia langsung mengantar keluarganya keluar hingga tidak mengetahui kemana Xavier pergi.

“Biasanya jam segini dia ada di perpustakaan.” Jawab Ruby. Ketika dia melihat Sintha hendak bangkit, Ruby menahannya. “Tunggu, Sin. Aku ingin tahu apa yang terjadi semalam.”

“Semalam?” tanya Sintha yang membatalkan niat untuk mendatangi Xavier dan memilih duduk kembali.

“Iya, semalam. Kau melakukan itu dengan Xavier?” tanya Ruby dengan mata berkilat geli. Yah, Ruby memang penasaran apakah si cacat itu bisa berhubungan intim.

Sintha mendengus. “Yang benar saja. Kau pikir aku mau disentuh olehnya?”

Ruby terkekeh karena sudah mengira bahwa Sintha akan mengatakan hal ini. Jika Ruby ada di posisi Sintha, dia juga tidak akan bersedia disentuh orang cacat seperti Xavier, setampan atau sekaya apapun Xavier. Hanya Hany yang terlalu aneh hingga mencintai Xavier. Tapi jika dengan menyentuh Xavier bisa memperlancar rencana mereka, kenapa tidak?

“Lalu apa yang kau lakukan semalam untuk menghindar?”

“Aku tidak perlu melakukan apa-apa karena kau juga tahu sendiri dia membenciku. Jadi yah, tidak ada yang terjadi. Aku bersikap malu-malu seperti biasa dan dia menganggapku tidak ada. Selesai.” 

Setelah mengatakan itu Sintha menoleh karena merasa ada yang memperhatikan. Dia kaget selama beberapa detik tapi berusaha menyembunyikan itu dari Ruby. 

Rupanya beberapa meter di belakang Ruby, Xavier sedang memperhatikan mereka. Sintha bisa melihatnya karena dirinya duduk berhadapan dengan Ruby.

“Semalam kau beruntung bisa menghindar. Bagaimana dengan nanti malam atau malam-malam berikutnya?”

“Mungkin aku butuh obat tidur.” Ujar Sintha sambil menahan senyum. Dia tahu Xavier bisa mendengar dengan jelas.

Ruby terkikik geli seraya menunduk untuk meraih secangkir teh di atas meja. Saat itulah Sintha menatap terang-terangan ke arah Xavier diiringi senyum nakal dan sebuah kedipan mata.


 

Bab 4

 

“Mungkin aku butuh obat tidur.” Ujar Sintha sambil menahan senyum. Dia tahu Xavier bisa mendengar dengan jelas.

Ruby terkikik geli seraya menunduk untuk meraih secangkir teh di atas meja. Saat itulah Sintha menatap terang-terangan ke arah Xavier diiringi senyum nakal dan sebuah kedipan mata.

Perbuatan Sintha membuat Xavier menggerakkan kursi rodanya kembali kedalam rumah. Melihat itu Sintha buru-buru pamit pada Ruby lalu segera pergi menyusul Xavier.

Sintha berhasil mengejar Xavier di ruang tengah menuju perpustakaan. Tanpa kata ia mendorong kursi roda Xavier. Merasa ada yang membantunya, tangan Xavier yang memutar roda di kursi berhenti. Dia langsung tahu siapa orang di belakangnya tanpa menoleh. Mereka jalan dalam diam hingga memasuki perpustakaan.

“Mau baca buku apa? Biar aku carikan.” Sintha berkata.

“Tidak perlu. Aku bisa sendiri. Pergilah!” nada Xavier terdengar lebih dingin dari yang pernah Sintha dengar.

Sintha memutar ke depan kursi roda lalu berlutut di hadapan Xavier. “Sepertinya suamiku sedang marah.” Goda Sintha.

“Menjauh dariku! Bukankah kau sendiri yang bilang tidak mau disentuh olehku?”

Senyum Sintha merekah. “Apa itu artinya kau mau menyentuhku seandainya aku tidak berkata demikian?”

“Bermimpi saja!”

“Berarti ucapanku tidak salah. Toh kau tidak mungkin menyentuhku. Jadi biar aku saja yang menyentuhmu.”

“Dasar ja—”

Cup.

Xavier terdiam dengan bibir terbuka. Matanya mengedip beberapa kali karena kaget. Sementara itu Sintha sudah berdiri lalu mundur menjauh dengan tawa gelinya.

“Berhenti melakukan itu!” geram Xavier.

“Kalau aku tidak mau?” tantang Sintha.

Jemari Xavier mengepal geram. Sintha adalah orang paling bebal yang pernah Xavier temui. “Jangan jadi wanita munafik. Di saat tertentu kau bersikap seolah menyentuhku adalah suatu hal yang menjijikkan. Namun di saat yang lain kau tidak berhenti menyentuhku.”

Tanpa rasa bersalah, Sintha mengangkat bahu. “Dari awal penilaianmu terhadapku sudah buruk. Bagimu aku adalah wanita jalang. Jadi tidak ada pengaruhnya walau kau menambah dengan sebutan munafik.”

Gigi Xavier bergemeletuk saking kesalnya. “Aku akan meminta pelayan untuk mengeluarkan barang-barangmu dari kamarku. Terserah kau mau tidur di mana saja. Dan mulai detik ini, jangan lagi mendekatiku.”

Xavier hendak memundurkan kursi rodanya, namun Sintha sudah lebih dulu berlutut di hadapannya lalu menggenggam kedua tangan Xavier. Kali ini Sintha menatapnya dengan lembut seperti semalam.

“Xavier, aku ingin melayanimu layaknya seorang istri. Apapun yang terjadi di saat kita sedang berdua, orang lain tidak perlu tahu. Kalau kau takut keberadaanku merugikanmu, pastikan saja kau tidak membahas apapun yang menjadi incaran musuhmu denganku.” Sintha terdiam sebelum melanjutkan. “Izinkan aku menjadi istrimu yang sesungguhnya.”

Xavier menatap kedua mata Sintha dengan tajam, seolah berusaha membaca apa yang tersembunyi di balik mata itu. Dia tidak mungkin salah membaca permohonan dalam kalimat terakhir Sintha.

“Bagaimana caraku bisa mempercayaimu?”

“Kau tidak perlu percaya padaku. Karena kalau kau percaya padaku, bisa saja aku mengkhianatimu. Izinkan aku melayanimu layaknya seorang istri. Walau itu hanya ketika kita sedang berdua seperti ini.”

Xavier terdiam. Dia sungguh tidak mengerti wanita di depannya ini. Permainan apa yang sebenarnya dimainkan olehnya.

“Coba pikirkan. Jika aku melayanimu, apa ruginya bagimu?”

Kau berusaha menyerang hatiku.

Tanpa sadar kalimat itu memenuhi benak Xavier. Tapi Sintha juga tidak salah. Jika wanita itu melayani Xavier layaknya seorang istri melayani suami, tentu Xavier yang diuntungkan. Yang dibutuhkan keluarga tirinya adalah tanda tangan. Selama Xavier tidak memberikan tanda tangannya, dia tidak rugi apapun.

Cukup lama mereka terdiam dengan saling memandang tajam hingga akhirnya Xavier menghela nafas. “Baiklah. Tapi itu bukan berarti aku akan bersikap baik padamu. Lakukan saja tugasmu dengan benar, dan aku tidak akan menyakitimu.”

Sintha tersenyum lebar menunjukkan kegembiraannya. Dengan posisi masih berlutut, dia merangkul leher Xavier, memeluk lelaki itu erat. “Terima kasih.”

Jantung Xavier berdebar keras. Sejak dirinya terikat kursi roda, dia tidak pernah sedekat ini dengan siapapun. Rasanya aneh. Di satu sisi dia merasa nyaman namun di sisi lain dirinya gelisah.

“Ehem, sudah cukup pelukannya. Lepaskan aku!” perintah Xavier seraya menjauhkan diri dari Sintha.

Wajah Sintha masih berbinar setelah pelukannya lepas dan mereka saling memandang kembali. “Jadi suamiku, silahkan minta apapun yang kau inginkan.”

Xavier berdehem lalu memalingkan wajah dari Sintha. Entah mengapa dia merasa gugup sekarang.

Xavier memang bukan pemain perempuan walau beberapa kali dia pernah memiliki kekasih. Bisa dibilang dia anak baik. Dulu ketika orang tuanya masih lengkap, Xavier adalah anak yang ceria dan senang berteman. Namun satu-satunya orang yang Xavier anggap sahabat adalah Vero, temannya sejak SMP.

Hidupnya yang penuh kebahagiaan berubah sejak sang mama mengetahui perselingkuhan papanya. Saat itu Xavier menjelang kelulusan SMP.

Ketika Xavier baru saja menikmati awal masuk SMA, mamanya bunuh diri setelah tahu bahwa anak pertama papanya dengan si selingkuhan, hanya selisih empat tahun dari Xavier. Tentu saja Xavier menuntut penjelasan dari papanya. Namun sang papa hanya mengatakan bahwa ia mencintai Kelis sekaligus mama Xavier. Lalu dengan tanpa rasa bersalah, dua bulan setelah pemakaman mamanya, sang papa membawa Kelis serta anak-anaknya ke rumah mereka.

Kekecewaan Xavier membuatnya melarikan diri dari rumah dan tinggal di rumah Vero. Namun sesakit apapun hatinya, itu tidak lantas membuat Xavier menjadi berandalan yang suka bermain wanita dan memakai narkoba. Dia tetap menjadi pribadi yang ramah dan baik walau kian lama kian tertutup.

Hampir empat bulan tinggal di rumah Vero, Xavier mendengar kabar bahwa papanya sakit dan meminta dirinya kembali ke rumah. Walau kekecewaannya belum pudar, rasa sayangnya terhadap sang papa membuat Xavier pulang lalu belajar memaafkan dan menerima bahwa kini dirinya memiliki keluarga baru.

Sebagai manusia yang memiliki perasaan, tentu Xavier tahu kebencian terpendam keluarga tirinya. Terutama ketika Mario terang-terangan menunjukkannya.

Sebaik apapun Xavier, dia bukan lelaki lemah. Ketika dirinya diganggu, dia akan melawan. Begitu pula yang terjadi antara dirinya dan Mario. Ketika Mario mulai bertingkah, seperti menebar kebohongan kepada papanya, dengan tegas Xavier membela diri sekaligus memperingatkan Mario secara langsung. Bahkan tidak jarang perselisihan diantara mereka berakhir dengan perkelahian.

Ketika Xavier kuliah semester lima, papanya yang semakin sering sakit-sakitan membuat surat wasiat yang dibacakan langsung di hadapan Xavier dan keluarga tirinya. Xavier kecewa dengan isi surat wasiat itu karena dirinya hanya mendapat lima persen dari seluruh kekayaan papanya sedangkan keluarga tirinya mendapat sembilan puluh lima persen.

Bukan nilai yang Xavier permasalahkan melainkan rasa sayang papanya. Dengan mewariskan sedikit harta terhadap Xavier, sempat terbersit di hatinya bahwa sang papa tidak menyayanginya. Tapi sekali lagi, Xavier berusaha menerima. Dia tidak suka pertengkaran terutama dengan keluarganya sendiri. Kedua tangannya masih sanggup untuk mencari kekayaan tanpa menunggu warisan.

Tepat satu minggu setelah pembacaan surat wasiat, papanya meninggal dengan cara—yang menurut Xavier—sangat tidak wajar. Dia meninggal dengan tubuh gosong akibat tersetrum di atas ranjangnya. 

Kematian papanya yang sangat mengenaskan membuat Xavier syok dan sangat tertekan. Tiap orang pastilah memiliki batas kesabaran. Begitu pula Xavier. Dia langsung menduga bahwa keluarga tirinya penyebab semua itu. Apalagi tujuannya kalau bukan mendapat warisan secepatnya.

Namun penyelidikan polisi tidak menemukan adanya unsur kesengajaan. Xavier tidak bisa menyalahkan kinerja polisi karena dirinya juga menyewa detektif dari luar untuk menyelidiki. Menurut mereka, kematian papanya karena keteledoran papanya sendiri yang tanpa sengaja menjatuhkan gelas penuh air dari meja nakas ke stop kontak yang digunakan untuk menyalakan alat pijat listrik. Sementara itu semua anggota keluarganya memiliki alibi masing-masing.

Akhirnya tidak ada lagi yang bisa Xavier lakukan selain menerima walau hati kecilnya masih tidak membenarkan. Sejak saat itu, Xavier semakin tertutup dan tidak sanggup tersenyum lagi. Terutama setelah pembacaan surat wasiat untuk kedua kalinya yang menimubulkan kehebohan. Alasannya, surat wasiat yang dibacakan berbeda dengan isi surat wasiat ketika papanya masih hidup.

Bisa dibilang, topeng pura-pura baik keluarga tirinya runtuh saat itu juga. Mereka semua mengamuk dan murka lalu secara terang-terangan menuding Xavier telah melakukan kecurangan. Tapi pengacara menjelaskan bahwa dari awal memang ada dua surat wasiat yang dibuat. Surat wasiat pertama yang dibacakan namun surat wasiat kedua yang sah dan diakui secara hukum. Sang pengacara sendiri mengaku tidak tahu alasannya. Entah dia berkata jujur atau tidak.

Saat itu Xavier menduga, papanya sengaja membacakan surat wasiat yang menguntungkan keluarga tirinya untuk melihat reaksi mereka. Dan rupanya, sang papa meninggal seminggu kemudian. Karena itulah prasangka Xavier semakin besar dan membuatnya menjadi pribadi yang sekarang. Dingin, sinis dan suka melontarkan kata-kata kasar.

Xavier mendesah. Ingatan tentang kehancuran keluarganya selalu membuat hati Xavier begitu sakit. Dia menunduk ketika merasakan jemarinya diremas lalu tersentak kaget. Lamunannya membuat Xavier lupa bahwa dirinya tidak sendirian.

Sintha tersenyum menenangkan melihat keterkejutan di mata Xavier. Dia yakin Xavier sempat melupakan keberadaan dirinya. “Apa yang kau lamunkan sampai melupakan diriku?” tanya Sintha lembut.

“Tidak ada.” Sahut Xavier sambil mengalihkan pandangan dari mata Sintha yang menyelidik. 

Jemari Sintha terulur lalu membelai kening Xavier. “Jangan terlalu sering mengerutkan kening.”

Xavier memundurkan wajahnya untuk memutus sentuhan Sintha. Dia benar-benar merasa tidak nyaman. “Antarkan aku ke kamar. Aku ingin memeriksa beberapa laporan keuangan perusahaan.”

Sintha mengangguk lalu menuruti keinginan Xavier. Sepertinya dia harus lebih bersabar dan membuat Xavier terbiasa dengan sentuhannya. Setidaknya dirinya sudah berhasil maju selangkah karena Xavier tidak lagi mendorongnya menjauh. 

***

Sintha sudah menawarkan diri untuk membantu Xavier membersihkan badan lalu berganti pakaian. Namun lelaki itu menolak. Xavier malah meminta bantuan pelayannya. Bahkan sekarang ketika Xavier hendak pindah ke ranjang. Sintha hanya bisa memperhatikan dengan wajah merengut.

Saat ini pelayannya yang bertubuh sedikit kekar telah membopong Xavier dari kursi ke ranjang. Sintha akui, Xavier lumayan kurus jika dibandingkan dengan foto di meja kerja lelaki itu. Mungkin sejak sakit bobot tubuhnya berkurang. Tapi tetap saja Sintha kesulitan ketika membantu Xavier pindah tempat seperti kemarin malam.

Entah mengapa, Sintha merasa aneh dengan ekspresi wajah Xavier ketika tubuhnya dipindah. Bibirnya terkatup rapat membentuk garis lurus dan rahangnya menegang. Ekspresi wajahnya juga terlihat jauh lebih datar seperti dia sedang berusaha menyembunyikan sesuatu. 

DEG.

Xavier kesakitan.

Dia kesakitan namun berusaha keras untuk menyembunyikannya. Padahal pelayan membopong tubuhnya ketika dipindahkan. Tidak seperti kemarin ketika Sintha yang membantunya pindah. Seharusnya dia tidak merasakan sakit.

Begitu pelayan keluar, buru-buru Sintha mengunci pintu kamar lalu duduk di sebelah Xavier yang hendak membaca buku sambil bersandar di kepala ranjang. Dengan sikap biasa, Sintha menyentuh betis Xavier lalu meremasnya tiba-tiba.

“Ahh, apa yang kau lakukan?” refleks Xavier membentak Sintha seraya menepis tangan wanita itu. Rasa sakit yang tajam mendadak muncul dari tempat Sintha meremas betisnya lalu menjalar keseluruh tubuh. Sepertinya sekejap tadi seluruh darahnya dipenuhi aliran listrik.

“Sakit?” tanya Sintha dengan mata melebar.

Xavier tidak menjawab dan memilih memusatkan perhatian pada buku di tangannya.

Bagi Sintha, sikap diam Xavier berarti iya. Kepanikan tiba-tiba memenuhi otaknya. “Sebenarnya apa yang terjadi? Setahuku anggota tubuh yang lumpuh tidak akan terasa sakit karena sudah mati rasa.”

“Sudah malam. Tidurlah!” perintah Xavier tenang tanpa mengalihkan perhatian dari bukunya.

Dengan kesal Sintha merampas buku Xavier lalu menggenggam kedua tangan lelaki itu, memaksa pandangan mereka bertemu. “Katakan padaku apa yang terjadi. Apa ini artinya masih ada harapan bagimu untuk sembuh? Kalau kau masih bisa merasakan sakit, mungkin kau tidak benar-benar lumpuh.” Tanpa bisa dicegah, air mata Sintha menitik.

Kening Xavier berkerut melihat air mata Sintha. “Kau ini aneh sekali. Aku yang sakit kenapa kau yang menangis?”

Sebenarnya Xavier merasa tidak nyaman dengan perhatian yang Sintha tunjukkan untuknya. Dia masih berpikir bahwa Sintha adalah pesuruh keluarga tirinya. 

“Apa kau sudah memeriksakan diri ke dokter?” Sintha mengabaikan ucapan Xavier sebelumnya.

“Tidak perlu berakting sampai seperti ini. Aku hanya memberimu izin untuk melakukan tugas seorang istri. Aku sama sekali tidak butuh sikap palsumu. Dan kalau kau berniat untuk memberitahukan hal ini pada mereka, silahkan saja. Aku akan berpura-pura tidak tahu.”

Sintha tidak sanggup membalas ucapan Xavier karena air matanya semakin membanjir. Kemudian dia menyelipkan lengannya di pinggang Xavier lalu menangis sesenggukan di dada lelaki itu. Ketika Xavier mencoba melepaskan diri, Sintha makin mempererat pelukannya.

Akhirnya Xavier menyerah. Dia membiarkan Sintha yang masih menangis untuk terus memeluknya, tanpa mencoba membalas pelukan wanita itu.


 

Bab 5

 

Sama seperti kemarin, pagi ini Sintha yang bangun lebih dulu daripada Xavier. Namun kali ini dia tidak langsung beranjak dari ranjang. Dia menggeser tubuhnya mendekati Xavier lalu melingkarkan lengan di pinggang lelaki itu.

Gerakan Sintha mengusik tidur Xavier. Lelaki itu memalingkan kepala ke arah Sintha sementara posisi tubuhnya tetap telentang

Senyum gembira terukir di bibir Sintha. Sekarang dia jadi leluasa mengamati wajah rupawan suaminya dari dekat. Bahkan hanya dengan memajukan wajah sedikit, bibir Sintha bisa menggapai bibir Xavier.

Namun Sintha menahan diri untuk melakukannya. Dia tidak mau mengganggu tidur Xavier. Nanti saja begitu suaminya membuka mata, Sintha akan menciumnya dengan mesra.

Mata Sintha berkilat geli membayangkan wajah kaget Xavier jika dirinya mencium lelaki itu tiba-tiba begitu membuka mata. Dia juga bisa membayangkan wajah Xavier yang memerah dan sikapnya yang mendadak salah tingkah.

Mungkin Xavier tidak menyadari reaksinya sendiri. Namun Sintha bisa melihatnya dengan jelas. Walau Xavier berusaha bersikap kejam dengan melontarkan kata-kata pedas tiap kali Sintha mencuri ciuman, namun reaksi tubuh Xavier sangat berbeda.

Sintha menjelajahi lekukan bibir Xavier dengan tatapannya. Bibir yang indah. Salah satu bagian tubuh Xavier yang paling Sintha sukai. Terasa lembut dan kenyal ketika melekat di bibir Sintha. 

Selain itu, Sintha juga menyukai apa yang terlontar dari bibir Xavier. Walau pedas, kata-kata Xavier selalu membuat rasa penasaran Sintha tergelitik. Seolah kata-kata itu Xavier lontarkan untuk melindungi hatinya yang rapuh.

Dan kata-kata Xavier jugalah yang telah membawa Sintha mencarinya. Dalam pencarian itu Sintha mengetahui bahwa Ruby adalah teman lamanya. Mungkin takdir memang telah merestui pertemuan mereka hingga memberinya jalan yang mudah.

Kening Xavier berkerut dan ia menggerak-gerakkan kepalanya dengan gelisah. Mungkin Xavier bermimpi buruk. 

Jemari Sintha terangkat lalu membelai dengan lembut kening Xavier dengan buku jarinya. “Sudah kubilang jangan mengerutkan kening terus-menerus.” Bisik Sintha pelan.

Entah apa karena sentuhan Sintha atau bisikannya, perlahan kelopak mata Xavier bergerak lalu lelaki itu mengerjap-ngerjapkan matanya sebelum mata hitam pekat itu memaku Sintha.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Xavier dengan suara serak karena bangun tidur.

Bukannya menarik kembali jemarinya yang masih berada di kening Xavier, Sintha malah membelai kening Xavier lembut. “Mencoba menghilangkan kerutan di sini.”

Xavier memalingkan wajah lalu mengubah posisi menjadi duduk. “Tolong panggilkan pelayan. Aku ingin mandi.” Ujar Xavier dingin.

Sintha terkekeh seraya duduk di samping Xavier lalu mengikat rambutnya. “Nada suaramu memang bisa membekukan. Tapi kata ‘tolong’ itu membuatnya langsung cair seketika.”

Xavier terdiam memikirkan kalimat Sintha yang menurutnya aneh. Beberapa detik kemudian sebuah pemahaman merasuk dalam benaknya. Xavier memang ingin bersikap dingin dan ketus. Tapi kata ‘tolong’ membuat kalimatnya terdengar lembut karena dipenuhi permohonan.

Xavier berdehem sejenak sebelum berkata, “Terserah apa katamu. Cepat panggil pelayanku!”

“Tapi bagaimana ini? Tubuhku selalu lemas ketika baru bangun tidur.” Sintha menahan senyumnya dan berpura-pura bersikap lemas. “Aku butuh satu jam untuk memulihkan diri. Atau jika ingin cepat, sebuah morning kiss pasti langsung membuatku segar.” 

Xavier menatap Sintha kesal. “Walau aku tidak bisa jalan, aku masih sanggup mencekikmu.”

Sintha menyeringai lebar. “Kalau begitu pasti tidak susah untuk menciumku.” Tanpa malu, Sintha memonyongkan bibirnya di depan wajah Xavier.

Xavier mencengkeram rahang Sintha untuk menghentikan gerakan wanita itu. “Dalam hitungan ketiga kalau kau tidak juga memanggil pelayanku, aku akan menyuruhmu tidur di lantai mulai nanti malam. Satu...dua...”

“Baiklah, baiklah.” Ujar Sintha kesal sambil melepaskan cengkeraman Xavier di rahangnya. Sama sekali tidak sakit, tapi Sintha benar-benar tidak bisa menggerakkan wajahnya mendekati Xavier. “Seharusnya tadi aku langsung menciummu.”

Xavier menggigit bibir bagian dalamnya untuk menahan senyuman. Gerutuan Sintha terdengar lucu di telinga Xavier.

Baru saja turun dari ranjang, mendadak Sintha kembali duduk di hadapan Xavier. Kini wajah wanita itu tampak begitu antusias.

“Apalagi sekarang?”

“Sebagai ganti morning kiss, izinkan aku membantumu mandi.” Sintha mengatupkan kedua tangan di depan dada.

Tanpa sadar, Xavier menepuk keningnya karena frustasi akan sikap Sintha. Dan ini adalah pertama kalinya Xavier menunjukkan ekspresi selain datar, dingin dan marah setelah sekian lama.

“Apa tidak ada sesuatu selain hal mesum di otakmu itu?”

Sintha merengut dengan jemari saling meremas seperti anak kecil yang merajuk. “Kita masih dalam masa bulan madu tapi aku belum mendapatkan jatah malam pertama. Jadi wajar jika aku ingin melakukan hal mesum denganmu.”

Jawaban Sintha yang blak-blakan membuat wajah Xavier memerah dan hasrat dalam dirinya terbangun. Bagaimanapun Xavier adalah seorang lelaki. Berhadapan dengan wanita yang seolah menyodorkan dirinya, tentu membangkitkan jiwa kelelakiannya.

“Berbicara denganmu membuatku sakit kepala. Cepat keluar dan panggil pelayanku!” Xavier kembali memberi perintah entah untuk yang keberapa kalinya.

“Aku tidak akan beranjak sebelum kau berkata iya.” Sintha melipat lengan di depan dada dengan keras kepala.

“Iya, apa?” tanya Xavier semakin salah tingkah.

“Iya, aku boleh membantumu mandi.”

“Aku tidak semenyedihkan itu hingga tidak sanggup mandi sendiri.”

“Lalu untuk apa meminta bantuan pelayan?”

“Hanya untuk membantuku pindah ke kursi di kamar mandi. Kau pikir pelayanku yang menyabuni seluruh tubuhku?” tanya Xavier ketus.

Sintha nyengir tanpa membantah menunjukkan bahwa dugaan Xavier benar. “Sekarang aku tahu gunanya kursi di kamar mandi itu.”

“Isi otakmu benar-benar menyeramkan.” Komentar Xavier.

“Tapi kan, aku tidak berpikir kalian melakukan sesuatu di kamar mandi.” Sintha masih membela diri.

“Heh! Kenapa bicaramu semakin melantur?” nada suara Xavier meninggi. “Keluar sekarang juga atau aku akan menggigit bibirmu!”

Sintha menyeringai. Xavier pasti tidak sadar dengan kalimatnya. “Karena aku tidak mau keluar, silahkan gigit bibirku.”

Xavier tersentak. Seketika wajahnya memerah karena menyadari kesalahannya. Maksudnya dia ingin membungkam mulut cerewet Sintha. Tapi mengapa dia harus memilih mengatakan itu?   

“Sintha, cepat keluar!” sekarang Xavier berteriak di hadapan Sintha. Bukan karena marah. Melainkan karena malu.

Buru-buru Sintha turun dari ranjang lalu bergegas ke pintu dengan senyum tertahan. Dia menarik nafas panjang untuk meredakan tawanya yang ingin meledak kemudian keluar kamar lalu menutup pintu kembali. Ketika membalikkan badan, Sintha terpaku melihat banyak orang di depan kamar.

“Ada apa ini?” tanya Sintha bingung.

Kelis yang berada di sebelah Ruby mendekati Sintha. “Apa yang terjadi di dalam? Kenapa Xavier kedengarannya berteriak?”

Astaga, apa yang mereka dengar?

Sintha menyembunyikan kekagetannya dengan mencuri pandang ke arah pelayan dan Vero yang juga ada di sana, seolah dia tidak berani mengatakan apapun di hadapan kedua orang itu.

Kelis mengerti arti pandangan Sintha. Segera dia menyuruh pelayan masuk membantu Xavier mandi. Kemudian Kelis beralih pada Vero. “Ver, mulai sekarang, biar Sintha yang membantu Xavier minum obat.” Ujar Kelis.

Vero terdiam selama beberapa saat memperhatikan Sintha, kemudian mengangguk seraya menyerahkan nampan berisi segelas air dan obat-obatan untuk Xavier kepada Sintha. Setelahnya tanpa kata dia pergi meninggalkan Kelis, Ruby dan Sintha di depan kamar Xavier.

“Apa itu? Apa dia berpikir aku akan menukar obat Xavier dengan racun?” tanya Sintha kesal dengan mata masih memandang ke arah Vero pergi.

“Sudahlah, lupakan saja. Vero memang seperti itu. Dia sangat sulit mempercayai orang asing.” Ruby menjelaskan.

Sintha mengangguk paham.

“Jadi, apa yang terjadi di dalam?” tanya Kelis tidak sabar. “Ini pertama kalinya Xavier telat bangun dan kudengar dia berteriak.”

“Kalian hanya mendengar teriakannya?” tanya Sintha memastikan.

“Iya. Ucapannya tidak jelas.” Kelis kembali menjelaskan.

Sintha mendesah. “Seandainya kalian dengar apa ucapannya. Dia sangat jago berkata kasar. Kalau bukan demi keluargaku, aku akan memilih menyerah saja.” Sintha mengusap dadanya. “Aku bahkan tidak yakin hati dan telingaku sanggup mendengar caci dan makiannya lebih lama.”

“Memangnya apa yang kau lakukan hingga Xavier begitu marah?” Ruby ingin tahu.

“Dia marah karena mendapatiku tidur di sebelahnya di atas ranjang. Coba bayangkan saja. Walau aku sudah melapisi lantai dengan selimut tebal, tapi rasa dinginnya tetap menusuk daging. Akhirnya aku naik ke atas ranjang begitu dia terlelap. Lagipula, kalau bukan karena terpaksa, aku juga tidak mungkin mau tidur di sampingnya.” Bibir Sintha menipis marah.

“Ah, iya. Aku lupa menanyakan apakah Xavier mengizinkanmu tidur di ranjang atau tidak.” sahut Ruby dengan bersalah.

Sintha masih menunjukkan wajah kesal. “Kalau di kamar ini ada sofa, aku tidak akan merangkak ke ranjangnya.”  

“Sebelum Xavier kecelakaan, kamarnya ada di lantai dua. Sedangkan kamar ini dulu adalah ruang kerjanya. Tapi karena kondisi fisiknya tidak lagi memungkinkan untuk naik turun tangga, maka kamar Xavier dipindah ke sini.” Jelas Kelis. “Kamarnya yang lama lebih luas dan ada sofanya juga.”

“Oh, begitu.”

“Kau tidak boleh menyerah sekarang. Baru dua hari kalian menikah kau sudah seperti ini. Kami sudah di sini selama bertahun-tahun tapi masih sanggup. Lalu mengapa kau tidak?” Ruby berusaha membangkitkan semangat Sintha.

“Yah, kalian tidak harus terkurung satu ruangan dengannya.” Sindir Sintha.

“Berhenti mengeluh.” Jelas Kelis kesal. “Kalau kita berhasil, kau juga akan mendapat keuntungan. Pikirkan saja mengenai itu.”

Belum sempat Sintha menjawab, pelayan Xavier sudah keluar dari kamar.

“Tuan Xavier meminta Tuan Vero untuk ke kamarnya.” Pelayan itu menjelaskan.

“Baiklah, kau boleh pergi.” Kelis mengusir. Setelah pelayan pergi, dia beralih pada Sintha. “Sekarang berikan obat itu padanya. Sebenci apapun dirimu, perlakukan dia dengan baik. Jangan tunjukkan kebencianmu.”

Sintha mendesah sebal tapi dia mengangguk lalu masuk ke kamar kembali. Setelah mengunci pintu, Sintha bergegas mendekati Xavier yang tampak membaca lembaran kertas di meja kerja.

Xavier mendongak ketika Sintha meletakkan nampan di atas meja kerjanya. “Kenapa kau tersenyum seperti itu?”

Sintha terdiam. Dirinya bahkan tidak sadar telah tersenyum. Memang Sintha sangat ingin tersenyum setelah pembicaraannya dengan Kelis dan Ruby. Tapi dia menahan diri. Mungkin karena kini dia berada di hadapan Xavier, senyum yang ditahannya muncul begitu saja karena tidak harus berpura-pura lagi.

“Aku tersenyum melihat suamiku yang sudah tampan dan wangi.” Akhirnya Sintha memilih jawaban itu. Lalu dengan nakal ia mendekatkan wajah untuk mencium Xavier.

Melihat niat Sintha, Xavier mengambil buku lalu menempelkannya di wajah Sintha. “Dasar mesum! Dimana Vero?”

Sintha mengambil buku di depan wajahnya dengan bibir merengut. “Pasti hari ini akan menjadi hari yang buruk karena aku sama sekali tidak mendapat jatah ciuman.” Desah Sintha dengan gaya dramatis.

Xavier tidak mengerti perasaan aneh yang timbul di hatinya. Dia berusaha mengabaikan keanehan itu lalu berdecak sebal. “Berhenti berbicara omong kosong. Katakan padaku dimana Vero!”

“Mulai sekarang aku yang akan membantumu minum obat.” Jelas Sintha.

Xavier menyipitkan matanya tidak suka. “Siapa yang memberimu kewenangan itu?”

“Aku istrimu.” Nada Sintha merengek.

“Kau ular pesuruh Kelis. Bagaimana kalau kau mengganti obatku dengan racun?”

“Aku tidak sebodoh itu. Kalau kau mati sekarang, aku tidak akan dapat apapun.”

Xavier menyeringai sinis. “Sudah kuduga kau pasti tahu tentang surat wasiat itu.”

“Tentu saja aku tahu. Aku dijanjikan mendapat bagian.” Ujar Sintha santai seraya menyerahkan obat.

Xavier langsung menerima obat itu tanpa ragu. “Kau tidak takut mengatakan hal itu padaku?”

Sintha berpikir sejenak karena tiba-tiba sebuah ide melintas di benaknya. “Tidak. Malah aku berpikir untuk menawarimu pilihan. Kesetiaanku bisa dibeli. Jika kau membayarku lebih mahal dari mereka, aku dengan senang hati mengkhianati mereka dan memihakmu.”

Xavier menelan obatnya lalu meminum air yang disodorkan Sintha. Setelah dia mengembalikan gelas kepada Sintha, Xavier berucap, “Dasar murahan.”

Sintha mengangkat bahu seraya menyingkirkan nampan ke samping. Sebenarnya ada sebuah kursi di seberang Xavier. Mungkin untuk tempat duduk Vero ketika mereka sedang membahas pekerjaan. Namun Sintha lebih memilih berdiri. “Seharusnya itu bukan masalah bagimu. Yang penting aku bisa menguntungkanmu.”

“Baiklah, berapa juta yang kau inginkan?”

“Hhmm, yang kuinginkan tidak bisa dinilai dengan uang.”

Xavier menatap Sintha malas lalu membaca dokumennya kembali. “Biar kutebak. Pasti keinginanmu berhubungan dengan hal mesum, kan?”

“Wah, suamiku mulai mengenalku rupanya.” Sintha memekik girang. 

“Sudahlah, pergi saja.”

Sintha menatap Xavier jengkel. “Kau kan belum tahu apa keinginanku. Seharusnya kau senang karena aku tidak akan menggerogoti hartamu.”

“Nah, berarti aku tidak salah mengatakan dirimu murahan.” Xavier membalas tatapan Sintha.

“Aku tidak peduli sebutanmu untukku. Jadi, kau mau membeli kesetiaanku atau tidak?” tanya Sintha tidak sabar.

Xavier menatap Sintha lama kemudian mengangguk pelan. “Sebutkan keinginanmu!”

Senyum Sintha merekah. “Aku hanya menginginkan malam pertamaku.”

Xavier memang sudah menduga Sintha akan meminta hal itu. Tapi mendengar Sintha mengatakannya dengan jelas membuat sebersit rasa kecewa mencuat di hati Xavier. “Itu keinginan yang berat. Mungkin aku memang tidak bisa membeli kesetiaanmu.”

“Kenapa?”

“Lucu kau masih menanyakannya. Jangankan untuk bercinta, bergeser saja aku kesakitan.”

Sintha tersenyum lalu meletakkan kedua telapak tangannya di meja kerja Xavier—seperti saat wanita itu mencium Xavier untuk pertama kalinya. Dia menunduk dan membuat wajah mereka hanya berjarak satu inchi. 

“Karena itu kau harus sembuh agar bisa membeli kesetiaanku. Jangan khawatir. Aku sabar menunggu.” Lalu tanpa peringatan, Sintha mengecup kening Xavier dengan amat lembut dan lama. Setelahnya dia menjauhkan diri seraya membawa nampan keluar kamar.

Xavier tersentak begitu Sintha menutup pintu kamarnya kembali. Dia bahkan tidak sadar jika dirinya mematung sejak Sintha mengecup keningnya. Tangannya terangkat untuk meremas jantungnya yang berdebar sangat kencang.

Baru dua hari mereka menikah dan Sintha sudah berhasil membuat perasaan Xavier kacau balau seperti sekarang. Dia tidak bisa membayangkan jika pernikahan mereka sudah mencapai sebulan. Apakah mungkin wanita itu berhasil menempati hatinya yang kosong?

♥ Aya Emily ♥

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Bacaan Gratis
Selanjutnya His Lips (Bab 6 - 9)
0
2
Kisah Sintha dan Xavier terus berlanjut…
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan