Bab 1-5 LEGENDA PEDANG API

1
0
Deskripsi

Ranubaya, dia adalah seorang anak terlahir tanpa bakat sama sekali di dunia yang keras, di mana kekuatan dan kemampuan ilmu kanuragan menjadi tolak ukurnya.

Siapa sangka takdir berbicara lain, dia menemukan sebuah kitab kuno dan bertemu dengan gurunya ketika terjatuh ke dalam sebuah jurang yang dalam dan terkenal angker di saat dia meninggalkan desanya yang sedang terjadi perampokan dan membuat kedua orang tuanya terbunuh.

Sebelum Moksa, sang guru memberinya tugas untuk mengumpulkan 4 pusaka dan juga...


 

Bab 1 Ranubaya


 

Di suatu siang yang terik di Dusun Karangasri, terlihat 5 orang anak lelaki berumur sekitar 12 tahun yang sedang bersantai di sebuah pohon besar yang berdaun lebat.


 

Salah seorang diantara mereka terlihat menunjuk kepada seorang anak lelaki yang seumuran sebaya dengan mereka bertiga.


 

"Sanjaya, Lihat... itu ada si pecundang lewat!"


 

"Wah.. Kebetulan sekali dia lewat sini. Kemarin dia bisa lolos, namun sekarang aku pastikan dia akan menerima pukulan dariku!" 

ucap Seorang anak berbadan paling besar diantara sekumpulan anak tersebut.


 

Namanya adalah Sanjaya, anak seorang saudagar kaya di kampung tersebut. Bakat ilmu kanuragannya juga paling tinggi di antara teman sebayanya, bahkan yang secara umur sedikit di atasnya. Sudah lima tahun dia dikirim ayahnya untuk berlatih ilmu kanuragan di Perguruan Elang Hitam.


 

"Cepat cegat dia dari belakang dan depan! Pastikan dia tertangkap atau kalian yang akan kuhajar!"


 

Empat orang anak lelaki tersebut langsung berlari ke depan dan di belakang anak yang ditunjuk tadi masing-masing dua orang.


 

Tanpa perlawanan, mereka berempat bisa dengan mudah meringkus anak tersebut.


 

Sanjaya dengan membusungkan dadanya mendekati mereka berlima, "Pegangi dia!" 

Sebuah pukulan langsung dilepaskan Sanjaya dan secara telak mengenai perut anak tersebut.


 

Buuuugh!


 

Bruaaaak!!!


 

"Dasar pecundang kau, Ranu! Buat apa kau hidup jika kau tidak mempunyai bakat sama sekali. Lebih baik kau mati saja!"


 

Seringai tawa mengejek terdengar dari lima orang anak lelaki tersebut yang menertawakan teman sepermainan, atau lebih tepatnya korban kejahilan mereka setiap hari, yang baru saja jatuh menimpa sebuah tumpukan kayu. 


 

Ranubaya, korban kejahilan sekumpulan anak-anak tersebut hanya diam meringis menahan rasa sakit di pingang dan punggungnya. Entah, kali ini sudah yang ke berapa kalinya dia harus menahan sakit akibat kejahilan teman-temannya. Dia sudah lelah untuk menghitungnya karena saking seringnya dia dibuat celaka.


 

Ingin rasanya dia mengadu kepada orang tuanya tentang perlakuan mereka. Tapi apa daya, orang tuanya hanya sepasang suami istri miskin yang tidak bisa berbuat apa-apa. Sudah miskin, tidak punya ilmu kanuragan pula. 


 

Dia teringat pernah suatu hari selepas dia dikerjai oleh Sanjaya dan teman-temannya, Ranubaya mengadu kepada ayahya. Namun jawaban yang keluar dari mulut ayahnya tersebut tidak sesuai yang diharapkannya. Seorang ayah yang dia harapkan bisa menolongnya ternyata tidak bisa berbuat apa-apa.


 

"Ranu anakku, ayah hanya bisa bilang sabar kepadamu, Nak. Kita ini orang miskin dan tidak punya kemampuan apa-apa untuk melawan mereka. Kalau kau ingin melawan mereka, kau harus menjadi lebih kuat entah apapun cara yang akan kau lakukan."


 

Ranubaya diam menunduk mendengar ucapan ayahnya. Dia tahu kehidupannya keluarganya tidak seberuntung keluarga yang lainnya di kampung tersebut. Oleh sebab itu dia berjanji tidak akan pernah mengeluh dan mengadu lagi kepada orang tuanya, "Aku harus lebih kuat!" ucapnya bertekad dalam hati.


 

Ranubaya menatap wajah ayahnya lekat-lekat. Dia melihat sosok yang teduh dan bertanggung jawab kepada keluarga. Meskipun hidup dalam kesusahan, dia tidak pernah melihat kedua orang tuanya mengeluh atas kehidupan yang mereka alami. Senyum selalu tersungging di bibir orang tuanya, meski penderitaan tiap waktu bisa saja datang menghampiri.


 

"Cokro, Kirno, angkat dia!" perintah Sanjaya.


 

Dua orang teman atau bisa dibilang sudah seperti anak buah Sanjaya, langsung bergerak mengangkat kedua lengan Ranubaya.


 

Ranubaya hanya bisa diam ketika sebuah pukulan mendarat di perutnya berulang kali. Meski dia sudah mengeraskan perutnya dengan menahan napasnya, namun masih saja terasa nyeri ketika pukulan Sanjaya bersarang di perutnya.


 

Bugh! Bugh!


 

Ranubaya jatuh tersungkur ketika dua pukulan tepat mengenai ulu hatinya dan membuatnya sulit bernapas. Tanpa mengaduh sedikitpun, bocah malang itu memegangi ulu hatinya yang nyeri.


 

"Hahahaha... inilah akibatnya jika kau tidak punya bakat ilmu kanuragan. Kau hanya akan terus menjadi pecundang!"


 

Mendengar ucapan Sanjaya, emosi Ranubaya tersulut, "Aku bukan pecundang!" ucapnya lirih.


 

"Pecundang tetap pecundang. Meski kamu berlatih seratus tahun sekalipun, kamu tidak akan bisa menjadi sekuat aku!" sahut Sanjaya dengan sombongnya.


 

"Ayo kita tinggalkan pecundang ini disini!"


 

Sanjaya melangkah pergi dengan puas diikuti empat orang teman yang juga abdi setianya. 


 

Ranubaya dan kedua orang tuanya adalah salah satu penduduk Dusun Karangasri. Dia dan sebagian besar penduduk dusun tersebut bisa dibilang tidak beruntung, karena tidak bisa mempelajari ilmu kanuragan. Faktor ekonomi berperan sangat besar terhadap ketidakmampuan mereka belajar ilmu kanuragan.


 

Hal itu disebabkan, karena mayoritas penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan, dan juga karena jarak yang lumayan jauh untuk mencapai Perguruan Elang Hitam dan juga Perguruan Teratai Putih yang berada di dusun lain.


 

 Hanya ada beberapa saja penduduk di dusun tersebut yang baru sekitar lima tahun ke belakang mempelajari ilmu kanuragan, itupun karena mereka memiliki kekayaan yang cukup untuk membayar biaya masuk dan biaya hidup selama berlatih di perguruan.


 

Sudah jamak diketahui, bahwa untuk masuk dan berlatih di sebuah perguruan silat, setiap orang harus membayar sejumlah biaya yang nominalnya tidak sedikit. Dan bagi penduduk di Dusun Karangasri yang mayoritas kehidupannya di bawah garis kemiskinan, tentunya itu menjadi hal yang berat


 

Khusus Ranubaya, bukan hanya faktor ekonomi yang hanya menjadi penghambatnya, namun juga ucapan salah satu tetua Perguruan Elang Hitam yang mengatakan bahwa, dirinya tidak akan pernah bisa mempelajari ilmu kanuragan sampai kapanpun juga. 


 

Hal itu dikarenakan dia memiliki detak nadi dan juga aliran darahnya yang tidak beraturan. Sehingga dirinya tidak akan bisa menyimpan tenaga dalam di tubuhnya. Berbagai jenis ramuan ataupun bentuk terapi, tidak akan berguna untuk menyembuhkan 'penyakit' yang aneh tersebut.


 

Bagi mereka yang ingin menjadi seorang pendekar, detak nadi dan aliran darah yang tidak beraturan adalah mimpi paling buruk diantara yang terburuk. Jika faktor ekonomi masih bisa dicari solusinya, tapi yang dialami 

Ranubaya tidak akan ada obatnya.


 

Ranubaya kemudian berusaha bangkit dan berjalan sambil tertatih-tatih menuju rumahnya. Matanya nanar dan berkunang-kunang akibat hajaran tadi. Dia kemudian meraih sebuah ranting kayu lumayan panjang dan memiliki ukuran sebesar jempol kaki untuk menopang tubuhnya.


 

Di tengah perjalanan, dia melewati sebuah kompleks reruntuhan kuil kuno kecil yang sudah tidak terawat lagi. Karena merasa ulu hatinya masih terasa perih akibat pukulan Sanjaya tadi, dia pun kemudian memasuki kompleks reruntuhan kuil kuno tersebut dan duduk di sebuah bangunan kecil yang masih tersisa. 


 

Sambil terus memegangi ulu hatinya, matanya memandang ke sekeliling untuk melihat bekas reruntuhan kuil kuno tersebut. 


 

Tatapan matanya tiba-tiba terhenti ketika melihat sebuah lantai kayu yang sedikit terbuka. Samar-samar dia melihat di bawah lantai kayu itu, ada sebuah kitab yang sepertinya sengaja disembunyikan di bawahnya.


 

***


 

Bab 2 Kitab Kuno 


 

Kitab tersebut mempunyai sampul berwarna kuning kemerahan dan sedikit tebal. Ranubaya yang merasa penasaran dengan keberadaan kitab tersebut kemudian berdiri dan membuka lantai kayu dengan perlahan.


 

Tangannya bergerak mengambil kitab tersebut namun tiba-tiba dia merasakan rasa sakit dan panas seperti tergigit sesuatu hewan atau semacamnya. 


 

Meski rasa sakit tersebut masih terasa, dia nekat untuk membongkar lantai kayu tersebut, karena penasaran apa yang membuat tangannya terasa sakit dan panas.


 

Matanya sedikit membeliak lebar karena melihat seekor ular kecil seukuran jari kelingking dan memiliki panjang hanya sekitar dua jengkal jari serta berwarna merah menyala, nampak sedang melingkar di samping kitab tersebut.


 

Ranubaya yang hendak mengusir ular tersebut kemudian meraih ranting kayu di dekatnya. Dia lalu balik memandang ke tempat ular yang melingkar tadi. Namun, kembali dia dibuat terkejut karena sudah tidak melihat lagi ular tersebut di tempatnya.


 

Pemuda berbadan sedang dan memiliki wajah pas-pasan itu kemudian memandang ke sekeliling untuk mencari keberadaan ular tersebut. 


 

Namun setelah beberapa saat mencari, keberadaan ular tersebut tak juga dia temukan. Dia kemudian mengambil kitab tersebut dan membersihkannya dari debu yang menempel.


 

Bersamaan dengan hilangnya ular tersebut, rasa sakit dan panas yang dirasakan di tangannya juga turut menghilang. Ranubaya menyadari hal tersebut, namun dia beranggapan mungkin karena efek yang dikeluarkan bisa ular tersebut tidak terlalu besar, sehingga hanya sekejap saja sudah menghilang.


 

Ranubaya lalu memandang kitab bersampul kuning kemerahan tersebut dengan seksama dan membaca judul yang terdapat di sampulnya.


 

 "Jurus Dewa Api!" sedikit terkejut pemuda tersebut membacanya. Namun dia tidak berpikir untuk membacanya sekarang dan akan membacanya nanti ketika di rumah. Ranu lalu memasukkan kitab kuno tersebut dan memasukkannya ke dalam balik bajunya.


 

Dia lalu bangkit berdiri dan berjalan keluar dari kompleks reruntuhan kuil kuno tersebut. Sebelum keluar, dia menengok ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tidak ada Sanjaya dan teman-temannya berada di sekitar tempat itu. 


 

Setelah dirasanya aman, Ranu kemudian berlari secepat dia mampu untuk menuju rumahnya. Dengan nafas terengah-engah, Ranu langsung masuk ke dalam rumahnya dan mengambil segelas air lalu diminumnya.


 

Setelah itu dia masuk ke dalam kamarnya dan mengambil kitab yang tadi ditemukannya, dari balik bajunya.


 

Ranu menimang-nimang kitab kuno sebentar lalu kembali membaca tulisan yang terdapat di sampul kitab kuno tersebut, "Jurus Dewa Api."


 

Sebelum membuka kitab tersebut, pikiran Ranubaya menerawang jauh, dia tersenyum membayangkan dirinya berada di tingkat puncak kependekaran. "Pasti Ayah dan ibu akan bangga kepadaku," gumamnya dalam hati.


 

Setelah mengambil napas panjang, dengan perlahan Ranu membuka sampul kitab tersebut. Di halaman pertama, dia langsung dibuat kaget karena melihat gambar ular melingkar yang berwarna merah. Dia lalu teringat dengan ular yang tadi mematuknya yang sama persis warna dan bentuknya dengan gambar ular yang berada di halaman pertama tersebut.


 

Ranubaya yang masih polos dalam ilmu kanuragan, tidak bisa mengartikan maksud dan hubungan gambar ular berwarna merah tersebut dengan ular yang mematuknya tadi.


 

Dia lalu membuka halaman berikutnya. Di halaman tersebut, terdapat tulisan yang hampir memenuhi seisi halaman. 


 

Karena ingin melihat lebih jauh, Ranu lalu membuka halaman berikutnya. Dia melihat semacam daftar isi berbagai jurus yang terdapat di kitab kuno tersebut.


 

Matanya dengan teliti membaca satu persatu daftar isi kitab kuno Jurus Dewa Api yang dipegangnya itu.


 

1. Jurus Pukulan Dewa Api

2. Jurus Langkah Dewa Api

3. Jurus Tarian Pedang Dewa Api

4. Jurus Pedang Api Dewa Perang


 

Ranubaya mengernyitkan dahinya ketika melihat penjelasan dibawah tulisan beberapa jurus tersebut. Di tulisan itu menyebutkan bahwa, pengguna Jurus Dewa Api harus mempelajari terlebih dahulu tekhnik dasar yang harus dilakukan agar bisa menguasai tahap demi tahap berbagai jurus yang terdapat di kitab tersebut.


 

Karena hasrat ingin belajar ilmu kanuragan yang begitu besar. Ranubaya lalu membuka halaman berikutnya. Di halaman tersebut dijelaskan bagaimana mempelajari tekhnik dasar untuk penguatan tulang dan otot.


 

Ranubaya mempelajari dengan seksama. Kata-demi kata, bait demi bait dia baca berulang-ulang sampai dia hapal di luar kepala.


 

Setelah itu dia pun mulai mempraktekan Latihan awal pembentukan otot dan tulang. latihan tersebut dia lakukan di dalam kamarnya, karena dia tidak ingin orang lain tahu.


 

Hari demi hari dilalui Ranubaya dengan latihan dan latihan. Dari angkat beban sampai berlari keliling dusunnya dia lakukan tanpa merasa lelah. 


 

Sudah berbulan-bulan Ranubaya melakukan latihan tersebut hingga membuat orang tuanya curiga karena fisik anaknya tersebut semakin berotot dan kekar.


 

"Ranu, kesini nak!"


 

Ranubaya yang sedang berlatih angkat beban lalu keluar dari dalam kamarnya.


 

"Ya Ayah, ada apa?"


 

"Duduklah dulu, ada yang mau ayah bicarakan denganmu!"


 

Ranubaya menarik kebelakang sebuah kursi lalu duduk di atasnya.


 

"Ayah lihat fisik kamu semakin kekar, Nak. Apa kamu sedang berlatih ilmu kanuragan?"


 

Ranubaya yang tidak terbiasa berbohong kemudian menganggukkan kepalanya. "Sebenarnya aku baru berlatih tahap dasar saja, Ayah. Pembentukan tulang dan otot."


 

"Kamu belajar dari siapa?"


 

"Tidak dari siapa-siapa, Ayah. Aku belajar dari kitab yang aku temukan di reruntuhan kuil kuno," jawab Ranubaya sambil menunduk. Dia takut ayahnya marah dan melarangnya berlatih ilmu kanuragan.


 

"Ayah tidak melarangmu belajar ilmu kanuragan, Ranu. Tapi bolehkah ayah tahu apa alasanmu belajar ilmu kanuragan?"


 

"Aku ingin membuat Ayah dan Ibu bangga. Aku tidak ingin selalu menjadi bahan ejekan Sanjaya dan teman-temannya. Aku ingin membalas atas apa yang dilakukannya kepadaku selama ini."


 

"Ranu, anakku... keluarga kita memang keluarga miskin. Tapi kita bukan keluarga pendendam. Belajarlah ilmu kanuragan untuk kebaikan, untuk menolong yang lemah dan untuk memberantas kejahatan di muka bumi ini!"


 

Ranubaya diam mendengarkan petuah ayahnya yang sangat dihormatinya tersebut.

Dia lalu menganggukkan kepalanya, "Baik Ayah."


 

***


 

Setelah dirasa fisiknya sudah berotot dan tulangnya sudah kuat, Ranubaya mulai belajar gerakan-gerakan yang digambarkan di dalam kitab kuno tersebut. 


 

Awalnya gerakan Ranubaya sangat kaku, karena memang secara umur dia sudah terlambat untuk belajar. Jika pada umumnya anak yang pertama kali belajar ilmu kanuragan kisaran umur 5-7 tahun, dia mulai berlatih di umur 12 tahun. 


 

Tapi bukan Ranubaya namanya jika dia kalah sama umur dan kondisi. Dia sudah bertekad untuk menguasai setiap gerakan yang ada pada kitab kuno tersebut.


 

Hari demi hari dilalui Ranubaya dengan mempelajari gerakan jurus Pukulan Dewa Api karena memang hanya jurus itu yang paling mudah dipelajari, menurut Ranubaya. 

Sedangkan jurus lainnya lebih menekankan tentang kecepatan dan tenaga dalam yang dipadu dengan kelihaian serta kelenturan gerak tubuh.


 

Di suatu malam, tiba-tiba saja tubuh Ranubaya terasa sangat panas, rasa sakit mendera di sekujur tubuhnya. Ingin dia berteriak memanggil orang tuanya, namun lidahnya kelu dan tak bisa mengucapkan sepatah katapun.


 

Cukup lama Ranubaya menahan rasa panas dan sakit di tubuhnya. Keringat terus menerus keluar dari tubuhnya, hingga membuat pakaian yang dikenakannya basah kuyup. 


 

Pemuda itu pun jatuh pingsan dan baru siuman keesokan paginya. Namun anehnya, setelah merasakan penderitaan hebat semalaman, pagi ini dia merasa tubuhnya sangat bugar.


 

Dia lalu beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang terasa lengket bekas keringat yang keluar tadi malam.

Setelah meloloskan semua pakaiannya, Ranubaya dibuat terkejut setengah mati.


 

Bab 3 Tato Ular Merah 


 

Di pergelangan tangan kanannya, tepat diatas telapak tangannya, terdapat sebuah gambar ular yang melingkar berwarna merah kekuningan. 


 

Pucat pasi wajah Ranubaya dibuat takut tidak karuan, dia takut orang tuanya tahu jika terdapat gambar ular tersebut. Dia lalu mencoba menggosok dengan keras, berharap gambar ular tersebut menghilang. Namun semakin digosoknya, yang keluar malah rasa panas menyentak seluruh tubuhnya. 


 

Ranubaya akhirnya pasrah dan membiarkan gambar ular tersebut menempel di pergelangan tangan kanannya. Dia lalu melanjutkan mandi lalu keluar dan menuju kamarnya.


 

Setelah berpakaian, Ranubaya mencoba membuka kembali kitab Jurus Dewa Api mulai halaman pertama. Dia kembali dibuat terkejut, karena gambar ular merah melingkar yang terdapat di halaman pertama tersebut sudah tidak ada lagi. 


 

Seperti merasa sedang bermimpi, Ranubaya menggosok kedua matanya lalu memandang halaman pertama kitab kuno Jurus Dewa Api yang sedang dipegangnya. "Ternyata memang sudah tidak ada. Apakah gambar ular itu berpindah ke tanganku? Bagaimana bisa?" tanyanya dalam hati.


 

Karena tidak mau berspekulasi macam-mavam, Ranubaya pun membebat tangannya pergelangan tangannya tersebut dengan sehelai kain. Dia sudah menyiapkan jawaban jika ada yang bertanya mengapa tangannya dibebat, meski jawabannya adalah berbohong.


 

Ranubaya kemudian membuka halaman yang berisi gambar gerakan Jurus Pukulan Dewa Api. Satu persatu gambar gerakan tersebut kembali dipraktekannya dengan sedikit lancar. 


 

Ranubaya terus mengulangi setiap gambar gerakan yang yang terdapat di kitab kuno tersebut hingga berbulan-bulan lamanya sampai lancar semua gerakannya. Dia tidak akan membuka jurus yang lain sebelum jurus yang pertama dia kuasai..


 

Sekitar dua tahun lamanya Ranubaya mempelajari jurus Pukulan Dewa Api yang begitu rumit gerakannya tersebut. Selama itu pula dia sangat jarang keluar rumah kecuali disuruh orang tuanya.


 

Di suatu siang, ayah Ranubaya pulang dari bekerja dengan wajah pucat. Dia lalu memanggil anaknya yang sedang berada di dalam kamar.


 

"Ranu, keluarlah sebentar, Nak."


 

Ranubaya langsung keluar dari kamarnya setelah mendengar ayahnya memanggil, " Ada apa, Ayah? tanyanya dengan sedikit was-was karena melihat wajah ayahnya yang pucat.


 

"Ayah sakit?"


 

"Iya, Ranu. Ayah tadi meminta ijin kepada juragan untuk pulang. Juragan memberi ijin tapi dengan syarat kau harus menggantikan pekerjaan Ayah menyabit rumput untuk ternak juragan Mahendra!" jawab ayahnya.


 

Baik, Ayah. Ranu berangkat sekarang!"


 

Ranubaya kemudian memgambil sabit yang terselip di dinding rumahnya yang terbuat dari anyaman bambu. Dia kemudian berjalan santai menuju suatu tempat yang terdapat banyak rumput segar.


 

Tidak seberapa lama, dia telah sampai di pinggir hutan. Dilihatnya rumput menghijau dengan segarnya. Tanpa pikir panjang dia segera menyabit rerumputan dengan telaten dan mengumpulkannya.


 

Setelah dirasanya cukup, dia lalu mengikat rumput yang sudah dikumpulkannya tersebut dengan tali yang terbuat dari kulit ranting pohon.


 

"Akhirnya selesai juga," gumamnya pelan.


 

Belum sempat dia mengangkat ikatan rumput tersebut, terdengar suara yang sangat dikenalnya dari belakang, "Ternyata kau disini pecundang! Sudah sangat lama aku mencarimu untuk mencoba jurus baruku, hahaha!"


 

Sanjaya tertawa lepas ketika melihat Ranubaya yang sudah sekitar dua tahun tidak ditemuinya. 


 

Ranubaya kemudian membalikkan badannya dan melihat Sanjaya beserta empat orang temannya.


 

"Kau mau apa, Sanjaya? Aku sedang mencari rumput untuk makan ternak juragan Mahendra."


 

"Aku tidak peduli kau sedang apa sekarang. Yang pasti kau harus merasakan jurus yang baru kupelajari! Sudah cukup kau bersembunyi dua tahun ini... Hahahaha!"


 

"Kau jangan macam-macam Sanjaya, Aku akan melaporkan perbuatanmu ini kepada juragan Mahendra!"


 

"Laporkan Saja! Aku tidak takut. Juragan Mahendra tidak akan mungkin berani berurusan dengan ayahku demi membantumu!" tantang Sanjaya dengan sombongnya. 


 

"Kalian berdua, tangkap dia!" perintah Sanjaya.


 

Dua orang teman sanjaya langsung bergerak ke arah Ranubaya dan berusaha meringkusnya. Namun, Ranubaya bisa berkelit dan memelintir lengan mereka berdua hingga berteriak kesakitan.


 

"Oooh... ternyata kau sekarang sudah berani melawan rupanya! Ringkus dan hajar dia."


 

Dua orang teman Sanjaya yang lain langsung maju dan menyerang Ranubaya. Meski sudah belajar dari gambar yang terdapat pada kitab kuno Jurus Dewa Api, ternyata Ranubaya belum bisa memptaktekannya dalam pertarungan sesungguhnya. 


 

Sebuah pukulan telak di perutnya membuatnya terhuyung ke belakang. Belum sempat berdiri tegak, tendangan dari Sanjaya hampir saja mendarat di kepalanya andai dia tak menangkis dengan tangannya.


 

Praaaaak!


 

Ranubaya langsung terdorong ke belakang namun dia masih berusaha berdiri dengan tegap. Hasil dari latihan fisiknya selama ini, bisa sedikit membantunya, karena dia melihat sanjaya sedikit meringis ketika tulang keringnya beradu dengan tangannya.


 

"Lebih baik aku adu fisik saja dengan mereka daripada tidak bisa menggunakan jurus yang kupelajari," gumam Ranubaya.


 

Ranubaya yang sudah berdiri tegak kemudian  melepaskan pukulan untuk memapak pukulan yang dilepaskan Kirno. Dua kepalan tangan pun beradu dan menimbulkan suara gemeretak. 


 

Praaak!


 

Kirno berteriak kesakitan sambil memegangi tangannya yang serasa menghantam batu gunung.


 

Ranubaya memandang kepalan tangan kanannya dengan sedikit rasa kagum karena dia tidak merasakan sakit, meski sudah beradu pukulan dengan Kirno.


 

Bedebah...! Kau telah berani melukai temanku. Kau akan kuhajar sekarang juga!!! Teriak sanjaya sambil berlari menyerang Ranubaya.


 

Sebagai bakat terbaik di dusun Karangasri, Seharusnya tidak sulit bagi sanjaya untuk melumpuhkan Ranubaya yang hanya bermodal kekuatan fisik semata. Namun nyatanya, Sanjaya cukup kerepotan juga melumpuhkan Ranubaya. Meski serangannya sudah beberapa kali berhasil mengenai tubuh pemuda tersebut, namun semua itu seperti dianggap bukan suatu masalah. Bahkan ketika pukulan atau tendangan mereka beradu, sanjaya dibuat meringis kesakitan.


 

Tidak mau dibuat malu di depan teman-temannya, Sanjaya pun menggunakan tenaga dalamnya untuk menyerang Ranubaya. Dan hasilnya pun langsung terlihat ketika Ranubaya jatuh terpelanting karena tendangan putar Sanjaya mengenai kepalanya. 


 

Pandangan mata Ranubaya langsung buram dan berkunang kunang. Semua yang dilihatnya terasa berputar-putar dan dia pun akhirnya jatuh pingsan.


 

"Hahahaha... berani macam-macam denganku pasti akan menemui bencana!" teriak Sanjaya dengan begitu sombongnya.


 

Keempat teman Sanjaya juga ikut tertawa lepas begitu tahu kalau Ranubaya telah pingsan. 


 

Tak lama kemudian, Sanjaya kemudian mengajak teman-temannya untuk pergi dari tempat itu meninggalkan Ranubaya yang terkapar pingsan.


 

Tiga jam lamanya Ranubaya pingsan. Akhirnya dia sadar lalu memegangi kepalanya yang benjol terkena tendangan Sanjaya. Sambil menahan nyeri, dia kemudian berdiri dan memandang ikatan rumput yang masih tetap berada di tempatnya..


 

"Syukurlah mereka tidak membuang rumput itu," pikirnya.


 

Ranubaya kemudian mengangkat ikatan rumput tersebut dan menaruhnya di atas kepalanya. 


 

Sambil berjalan, dia terus berpikir kenapa jurus Pukulan Dewa Api yang dia pelajari tidak bisa digunakan? Dimana letak kesalahannya?


 

Beberapa saat kemudian, Ranubaya tiba di rumahnya juragan Mahendra. Dia langsung menuju kandang ternak yang berada di belakang rumah besar tersebut. 


 

"Kau dari mana saja, Ranu!!!"


 

***


 

Bab 4 Putus Asa 


 

Suara berat seorang lelaki terdengar dengan keras. Ranubaya menoleh dan melihat juragan Mahendra berdiri di pintu kandang ternak, sambil berkacak pinggang menatapnya tajam penuh rasa marah.


 

"Maaf juragan, Tadi ada masalah di jalan."


 

Juragan Mahendra mendekati Ranubaya, "Kau jangan banyak alasan Ranu. Aku tahu kau pasti meremehkan pekerjaan ini!"


 

"Tidak, Juragan. Aku tidak mungkin menyepelekan suatu pekerjaan. Aku berani bersumpah tadi ada masalah di jalan."


 

"Baiklah, sekarang aku percaya kepadamu, tapi lain kali jangan diulangi lagi!" ucap juragan Mahendra sambil mengelus kepala Ranubaya.


 

"Auuuh!"


 

Ranubaya menjerit kecil ketika tangan juragan Mahendra mengenai kepalanya yang benjol. 


 

Juragan Mahendra terkejut lalu memeriksa kepala Ranubaya yang terkena tangannya tadi. 


 

"Kepalamu kenapa ini?"


 

"Maaf juragan, ini yang tadi aku maksud masalah di jalan. Aku dihajar Sanjaya dan teman-temannya."


 

"Sanjaya anaknya juragan Mardoto?"


 

Ranubaya mengangguk pelan," Benar, Juragan. Aku sudah berusaha melawan, tapi mereka mengeroyokku."


 

"Apa kau pernah berbuat salah kepada mereka?"


 

Ranubaya menggeleng pelan, "Aku tidak pernah berbuat salah sama siapapun juragan. Ayah selalu menekankan agar aku selalu berbuat baik dan bersikap jujur. Entah kenapa mereka selalu ingin menghajarku?"


 

"Berarti mereka sudah sering menghajarmu?"


 

Ranubaya mengangguk.


 

"Anak dan ayah perangainya sama saja!" ucap Juragan Mahendra geram.


 

"Tidak apa-apa juragan, biarkan saja. suatu saat mereka pasti akan mendapat karmanya."


 

"Ranu, apakah kau pernah belajar ilmu kanuragan?"


 

"Aku pernah mencoba untuk ikut seleksi, Juragan. Tapi kata orang yang mengujiku, aku tidak punya bakat sama sekali. Kalaupun aku belajar sampai mati, aku tetap tidak akan bisa memiliki tenaga dalam. Itu yang menjadi alasan Sanjaya dan teman-temannya untuk menghajarku setiap aku bertemu mereka."


 

Juragan Mahendra merasa trenyuh mendengar cerita Ranubaya. Dia kemudian mengeluarkan beberapa koin perak dati kantongnya dan memberikannya kepada Ranubaya, "Ambillah. Ini adalah hadiah buatmu. Pergunakanlah dengan baik." 


 

Wajah Ranubaya yang tadinya sendu langsung semringah melihat beberapa koin perak sudah berada di tangannya. Bagi dia dan keluarganya yang miskin, pemberian koin perak tersebut sangatlah banyak. Dia tidak pernah menyangka jika Juragan Mahendra merupakan orang yang dermawan, terlepas dari sosoknya yang tinggi besar. 


 

"Terima kasih, Juragan. Pemberian juragan ini sungguh sangat berarti bagi keluargaku. Semoga Dewata selalu memberi Juragan kesehatan dan kelancaran rejeki."


 

Ranunaya lalu berlari dengan perasaan gembira. Rasa sakit yang dirasakannya tadi sudah tidak terasa karena tertutupi hadiah dari juragan Mahendra.


 

Sesampainya di depan rumah, Ranubaya berteriak memanggil ayah dan ibunya dengan keras. Kedua orang tua Ranubaya yang sedang berada di dalam rumah keluar dengan tergopoh gopoh mendengar suara anaknya berteriak. Mereka takut terjadi sesuatu hal dengan anak satu-satunya tersebut.


 

"Ada apa, Nak? Apakah terjadi sesuatu hal padamu?" tanya Murti ibunya Ranubaya.


 

"Kita hari ini bisa makan enak, Bu. Lihat...!" Ranubaya membuka telapak tangannya dan menunjukkan beberapa koin perak yang di dapatnya dari juragan Mahendra.


 

"Kamu dapat ini dari mana, Ranu? Apa kamu mencuri? Ibu dan ayahmu tidak pernah mengajarimu menjadi pencuri?" Murti bertanya dengan penuh selidik.


 

"Aku tidak mencuri, Bu. Aku mendapat koin perak ini dari juragan Mahendra." 


 

"Kamu jangan bohong, Ranu. Tidak mungkin juragan Mahendra memberimu sebanyak ini!" Intonasi suara murti semakin meninggi.


 

"Murti, jangan menuduh Ranu seperti itu. Apakah selama ini Ranu pernah mencuri?" Bela ayah Ranubaya. 


 

"Tapi Kakang, Tidak mungkin juragan Mahendra memberi koin sebanyak ini kepada anak kita!"


 

"Sudah, Kakang akan bertanya kepada juragan Mahendra dulu. Aku yakin Ranu tidak akan berbuat hal yang sekotor itu."


 

"Awas saja kalau kamu mencuri, Ranu! Meski keluarga kita miskin, tapi kita masih punya harga diri."


 

"Ayah, Ibu, aku berani bersumpah kalau tidak mencuri."


 

"Aku akan ke rumah juragan Mahendra untuk menanyakan tentang koin ini. Kalian tunggu di rumah!" ucap ayah Ranubaya.


 

Selepas berbicara, Ayah Ranubaya berjalan menuju rumah juragan Mahendra yang tidak terlalu jauh dari rumah mereka.


 

Beberapa saat kemudian, Ayah Ranubaya sudah sampai di rumah Juragan Mahendra. Segera dia menuju kandang ternak di belakang rumah, karena dia tahu kalau juragan Mahendra suka menghabiskan waktunya di kandang ternaknya tersebut.


 

"Ada apa, Singgih?"


 

"Maaf Juragan, apakah benar tadi juragan memberi koin perak ini kepada anakku, Ranu?"


 

Juragan Mahendra mengangguk, "Benar, kenapa kau bawa lagi kemari?"


 

"Aku hanya memastikan saja Juragan. Aku takut kalau koin perak ini didapatkan anakku dari mencuri," jawab Singgih.


 

"Ranu itu anak yang baik, Singgih. Dia tidak akan melakukan hal itu."


 

"Tapi kenapa juragan memberi anakku sebanyak ini?"


 

"Karena anakmu itu sosok yang bertanggung jawab dengan pekerjaannya."


 

Juragan Mahendra lalu bercerita tentang yang dialami Ranubaya yang sudah dihajar Sanjaya dan teman-temannya.


 

"Kalau anakmu itu bukan sosok yang bertanggung jawab, tidak mungkin dia akan mengantarkan rumput itu setelah dihajar Sanjaya."


 

Singgih mengepalkan tangannya. Selama ini dia diam saja ketika Sanjaya menghajar anaknya. Tapi kali ini dia tidak bisa menahan emosinya. 


 

Juragan Mahendra yang melihat kemarahan di mata Singgih lalu berusaha meredakannya.

"Sudahlah, Singgih. Percuma kau marah. Juragan Mardoto memiliki banyak pengawal. Kalau kau kesana, yang ada kau yang akan dihajar oleh mereka."


 

Singgih menundukkan kepalanya. Dia membenarkan ucapan Juragan Mahendra yang melarangnya menemui Mardoto.


 

"Baiklah, Juragan. Aku akan pulang dulu. Terima kasih atas pemberian juragan ini."


 

Singgih langsung berjalan kembali menuju rumahnya. 


 

Di dalam kamarnya, Ranubaya kembali membuka kitab kuno Pukulan Dewa Api. Dia penasaran kenapa Jurus Pukulan Dewa Api yang sudah dipelajarinya tidak bisa keluar sama sekali ketika digunakan bertarung.


 

Ranubaya kemudian membuka halaman kedua yang belum pernah dibacanya.


 

'Kitab Jurus Dewa Api adalah kitab yang berisi beberapa jurus yang di ciptakan seorang pendekar besar yang berjuluk Pendekar Dewa Api. 


 

Seseorang tidak akan bisa mempelajari jurus yang terdapat di dalam kitab ini, jika dia tidak terpilih untuk menjadi penerusnya, 

meskipun mempunyai tenaga dalam yang besar. 


 

Orang yang terpilih untuk menjadi penerus Pendekar Dewa Api juga harus mempelajari tenaga dalam khusus, yang hanya diajarkan secara khusus di dalam kitab ini, agar bisa mengeluarkan potensi kekuatan dalam setiap jurus ciptaan Pendekar Dewa Api.'


 

Ranubaya tercekat membaca halaman kedua yang baru pertama kali dia baca. "Pantas saja aku tidak bisa mengeluarkan Jurus Pukulan Dewa Api," gumamnya.


 

Ranubaya merenung dalam kesendiriannya. Dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi, karena dirinya sudah dipastikan tidak bisa mempelajari tenaga dalam selama hidupnya.

 

Dia merasa putus asa sekaligus sedih menerima kenyataan yang dialaminya. Harapannya untuk menjadi pendekar dengan mempelajari Jurus Dewa Api menjadi sia-sia. 


 

"Ranu, ayo makan dulu, Nak. Ibu sudah memasak makanan yang enak." terdengar suara murti dari luar kamar.


 

"Iya, Bu." Ranubaya lalu memasukkan kitab tersebut ke dalam bajunya dan keluar dari kamarnya. Dia berencana mengembalikan kitab tersebut ke tempatnya semula karena percuma juga dia mempelajarinya.


 

Dilihatnya ibunya tersenyum kepadanya, "Maafkan Ibu telah menuduhmu, Nak"


 

Ranubaya tersenyum, "Tidak apa-apa, Bu. Bukankah sudah kewajiban Ayah dan Ibu menjaga dan mendidik agar anaknya menjadi manusia yang jujur dan bertanggung jawab?"


 

"Ibu bangga kepadamu, Nak. Sekarang ayo kita makan dulu! Ibu sudah masak makanan kesukaanmu."


 

Mereka kemudian menuju ruang keluarga untuk makan bersama karena ayah Ranubaya sudah menunggu di meja makan. 


 

Bab 5 


 

Ranubaya tersenyum melihat ayah dan ibunya bahagia malam ini. Di meja makan, terdapat makanan yang menurut mereka sudah sangat mewah. Namun menurut orang lain biasa.


 

"Hari ini kita bisa menikmati makanan ini berkat kebaikan Dewata yang sudah memberi rejeki kepada Ranu. Semoga hari ini dan hari yang akan datang, kita selalu diberi keberkahan." Singgih memimpin berdoa sebum mereka memulai makan malam itu.


 

Beberapa saat kemudian. Ratusan sosok berbaju hitam dan berikat kepala hitam bergerak di lebatnya hutan di luar dusun Karangasri. 


 

Sebelum mereka memasuki dusun kecil tersebut, mereka berhenti untuk mengawasi situasi.


 

"Suryo, coba kau lihat situasi disana dulu. segera kembali setelah dapat informasi!"


 

"Baik, Ketua," ucap seorang lelaki bertubuh sedang.


 

Suryo mengendap-endap memasuki dusun tersebut. Setelah di dalam, Suryo melihat suasana dusun tersebut begitu lengang. Hanya cahaya obor yang sedikit memberi penerangan yang terpasang di setiap depan rumah.


 

Mata Suryo menatap sesosok tubuh anak kecil yang berjalan santai lalu berbelok arah menuju reruntuhan kuil kuno.


 

Setelah melihat suasana yang mendukung, Suryo lalu kembali menuju kelompoknya yang  masih menunggunya di bibir hutan yang berjarak 200 meter dari kampung tersebut.


 

"Ketua, kita bisa bergerak sekarang. Kurang lebih ada enam puluh rumah di dusun tersebut."


 

Orang yang dipanggil Ketua oleh Suryo, menganggukkan kepalanya.


 

"Semuanya bergerak! Bawa harta benda sebanyak-banyaknya!"


 

Ratusan orang tersebut langsung bergerak menyebar dengan tenang ke setiap rumah penduduk dusun Karangasri. Dengan kode panah api yang diberikan oleh salah satu anggota gerombolan perampok tersebut, mereka menggebrak setiap pintu hampir secara bersamaan.


 

Jeritan dan tangisan tak ayal langsung terdengar bersahut-sahutan.


 

Ranubaya yang masih berjalan pelan menuju Reruntuhan kuil kuno untuk mengembalikan kitab yang ditemukannya, langsung berhenti dan melihat ke belakang. 


 

Dilihatnya orang-orang di dusunnya berlarian dan berteriak menyelamatkan diri. Tak jarang jeritan kematian terdengar bersambut dengan tawa yang terbahak-bahak.


 

Dia kemudian teringat dengan ayah dan ibunya yang berada di rumah. Ranubaya langsung berlari melewati jalur kompas dengan sekencang mungkin agar sampai segera sampai. 


 

Setelah di depan, dia melihat pintu rumahnya terbuka. Ranu segera masuk dan mencari kedua orang tuanya di kamar. 


 

Matanya terbelalak setelah melihat ayanhnya terikat dalam keadaan berlutut, dan ada seorang lelaki yang menempelkan pedang di leher ayahnya. Di atas ranjang, dua orang sedang memegangi ibunya yang sudah dalam keadaan setengah telanjang bagian bawahnya. Dan satu orang yang sudah tidak memakai celana, memperkosa ibunya dengan buas. 


 

Rintihan kesakitan terdengar dari bibir Murti yang tidak bisa melawan keberingasan empat orang yang bergantian memperkosanya. Sedangkan Singgih sudah tidak berdaya dan hanya bisa menundukkan kepalanya..


 

Empat orang anggota gerombolan perampok berikat kepala hitam tersebut tidak menyadari kehadiran Ranubaya. Mereka terus tertawa puas setelah bergantian menggarap Murti.


 

Murti yang masih dalam keadaan sadar kemudian tahu kalau anaknya sudah berdiri di bawah pintu kamar. "Ranu, pergilah anakku!  Selamatkan dirimu!" ucap Murti Lirih.


 

Keempat orang tersebut lalu menolehkan kepalanya dan melihat seorang bocah yang melihat kelakuan mereka dengan tatapan tajam.


 

"Ternyata ada anak kecil disini! tangkap dia!"


 

Singgih yang melihat salah satu dari gerombolan tersebut hendak menangkap anaknya, langsung berontak. Namun sayang, bilah pedang yang menempel di lehernya tiba-tiba bergerak menggorok lehernya.


 

"Aaaakh!" Singgih jatuh terkelungkup dengan mata melotot lalu meninggal.


 

Murti berterias histeris melihat kematian suaminya. Dia menendang kemaluan orang yang berada di atas tubuhnya hingga berteriak kesakitan.


 

"Bedebah kau wanita jalang!" orang tersebut langsung mengayunkan pedang yang dipegangnya ke arah leher Murti.


 

"Larilah Ranu... Selamatkan dirimu!" teriak Murti sebelum nyawanya lepas dari tubuhnya.


 

Ranubaya yang tersulut emosinya lalu menendang orang yang sudah membunuh ibunya hingga terjerembab menindih tubuh Murti.


 

Seorang anggota perampok lalu menebaskan pedangnya ke punggung Ranubaya.


 

"Aaakh!" Ranubaya menjerit kesakitan lalu berlari keluar dari kamar tersebut dengan sekuat tenaganya.


 

"Goblok...! Cepat kejar bedebah cilik itu!"


 

Dua orang langsung berlari mengejar hingga keluar rumah. Ranubaya terus berlari sambil menahan perih akibat luka sabetan pedang di punggungnya hingga memasuki hutan. Dia tidak memperdulikan keadaan hutan yang gelap karena sudah terbiasa memasukinya. 


 

"Teruslah berlari bocah! kami akan tetap menangkap dan mencincangmu!" teriak mereka berdua.


 

Ranubaya terus berlari masuk hingga jauh ke dalam hutan tersebut untuk menyelamatkan diri. Darah yang mengalir keluar dari luka di punggungnya membuat tubuhnya mulai lemas. Namun dia tidak peduli dan terus berlari hingga tanpa sadar di depannya ada sebuah jurang. 


 

Matanya yang sudah kabur karena kehabisan darah, membuat pandangannya kabur. Dia yang sebenarnya sudah terbiasa melihat dalam keadaan gelap, tidak bisa membedakan mana jurang dan mana tanah yang rata.


 

"Aaaaakh...!"


 

Ranubaya menjerit dan tubuhnya terjun bebas ke dalam jurang yang tidak diketahui kedalamannya. 


 

Bagi penduduk desa Karangasri, jurang tersebut adalah jurang yang sangat angker, karena sudah beberapa kali memakan korban jiwa manusia. 


 

"Bocah itu jatuh ke dalam jurang. Ayo kembali!" ucap salah seorang yang tadi mengejar Ranubaya.


 

"Nampaknya dia sudah pasti mati!" balas orang lainnya.


 

Mereka berdua kemudian berlari menuju dusun Karangasri yang sudah menjadi ajang pembantaian dan pemerkosaan.


 

Tubuh Ranubaya terus melayang turun hingga  mendarat dengan keras di dasar jurang tersebut.


 

Keesokan harinya, seorang lelaki tua bertubuh pendek dan berambut panjang awut-awutan mendekati tubuh Ranubaya yang telentang pingsan. Dari mulut, hidung, mata dan kupingnya keluar darah yang sudah mengering. 


 

Lelaki tua tersebut kemudian memeriksa keadaan Ranubaya dan melihat luka terbuka lebar di punggungnya. Dia lalu memeriksa pergelangan tangan kiri bocah yang ditemukannya tersebut. Dahinya tiba-tiba mengkerut keheranan, "Nadinya sangat lemah sekali, seharusnya bocah ini sudah mati setelah terjatuh dari atas."


 

Lelaki tua bertubuh pendek tersebut kemudian menggangkat tubuh Ranubaya dengan ringan seolah membawa kapas dan membawanya masuk ke dalam sebuah gua lalu membaringkannya.


 

Ranubaya belum juga siuman dari pingsannya hingga hari kelima. Lelaki tua tersebut semakin dibuat keheranan. Karena secara logika, seharusnya bocah yang terbaring di hadapan itu sudah mati. "Sepertinya ada sesuatu yang menghendaki supaya anak ini tetap hidup," ucapnya dalam hati.


 

Lelaki tua tersebut menatap Ranubaya dengan bingung namun juga kagum dengan daya tahan tubuh yang dimilikinya. Dengan hampir seluruh tulang sendinya patah akibat terjatuh dari atas, namun ternyata Dewata masih memberi kehidupan.


 

Sudah berbulan-bulan Ranubaya mengalami mati suri. Selama itu pula, di saat lelaki tua tersebut tidak ada di dalam gua, tato ular merah di pergelangan tangan Ranubaya mengeluarkan sinar merah terang dan melingkupi seluruh tubuhnya.


 

Di suatu hari di bulan kesepuluh Ranubaya mengalami mati suri, lelaki tua tersebut menyeka seluruh tubuh Ranubaya dengan kain yang dibasahi. Dia tiba-tiba dibuat terkejut dengan apa yang dilihatnya.

























 

  





 

       

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Bab 6-10 LEGENDA PEDANG API
0
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan