Bab 6-10 LEGENDA PEDANG API

0
0
Deskripsi

Bab 6 Penerus Pendekar Dewa Api 


 

Lelaki tua tersebut memandang tato bergambar ular merah di pergelangan tangan kanan pemuda yang diselamatkannya.


 

"Apa mungkin ini yang membuatnya tetap hidup?" 


 

Lelaki tua tersebut kemudian membuka pakaian Ranubaya, dia dikejutkan lagi dengan jatuhnya kitab kuno yang disimpan Ranubaya di balik bajunya. Tangannya meraih kitab yang jatuh di lantai gua tersebut.


 

"Jurus Dewa Api," bacanya pelan. Lelaki tua itu mengernyitkan dahinya membayangkan sesuatu.


 

Tiba-tiba, jari tangan Ranubaya bergerak-gerak dan kemudian mata pemuda itu pun terbuka. "Ayah... Ibu..." hanya dua kata itu yang terlintas di pikiran Ranubaya.


 

"Kau sudah sadar anak muda."


 

Ranubaya menoleh pelan, tubuhnya terasa sangat sulit digerakkan karena terlalu lama diam tak bergerak. Dilihatnya, lelaki tua sedang duduk di sampingnya tersenyum padanya.


 

"Aku dimana?"


 

"Kau sekarang di tempatku, anak muda," jawab lelaki tua.


 

"Kakek siapa?" 


 

"Aku Surojoyo. Panggil saja kakek Joyo."


 

"Aku Ranubaya, Kek."


 

Ranubaya kemudian berusaha bangkit. Namun langsung dicegah Surojoyo. "Perlahan saja, Ranu! Tulangmu banyak yang patah." Surojoyo kemudian memeriksa tulang Ranubaya. Namun dia tidak merasakan satupun ada tulang Ranubaya yang patah seperti pertama kali dia menemukannya.


 

"Aneh sekali!" Surojoyo mengernyitkan dahinya keheranan. Dia kemudian membantu Ranubaya duduk.


 

"Tunggu sebentar disini! Kakek ambilkan makanan untukmu."


 

Ranubaya lalu mengingat kejadian yang dialaminya sebelum terjatuh ke dalam jurang. Dia teringat punggungnya terluka parah terkena tebasan pedang. Tangannya kemudian meraba punggungnya, Namun tidak dirasakannya bekas luka apapun, Punggungnya mulus seperti sedia kala.


 

Beberapa saat kemudian, Surojoyo sudah masuk ke dalam gua tersebut sambil membawa buah-buahan di tangannya.


 

"Makanlah ini dulu untuk mengisi perutmu!"


 

"Terima kasih, Kakek."


 

Ranubaya meraih pisang di depannya lalu memakannya. 


 

Selesai Ranubaya mengisi perutnya, Surojoyo kemudian mengajaknya berbicara.


 

"Kenapa kau bisa terjatuh ke dalam jurang ini?"


 

Ranubaya memandang langit-langit gua sambil menerawang mengingat kejadian sebelum dia terjatuh ke dalam jurang.

Tak lama kemudian, dia lalu mulai bercerita.


 

"Saat itu terjadi perampokan besar-besaran di kampungku, Kek. Ratusan perampok berbaju hitam dan memakai ikat kepala hitam datang dan menyatroni setiap rumah penduduk." 


 

Ranubaya kemudian diam, matanya mulai berkaca-kaca. Surojoyo melihat kesedihan di mata pemuda yang diselamatkannya tersebut. Dia membiarkan saja dan tidak berusaha untuk bertanya terlebih dahulu. 


 

Pemuda tanggung itu pun kemudian meneruskan ceritanya panjang lebar sampai saat dia sebelum terjatuh ke dalam jurang.


 

"Tragis sekali ceritamu, Ranu," ucap Surojoyo. 


 

"Apa kau ingin membalas dendam atas kematian kedua orang tuamu dan juga seluruh penduduk kampungmu?"


 

"Aku ingin sekali, Kek. Tapi apa daya, aku sudah dicap tidak bisa mempelajari ilmu kanuragan. Pernah seorang tetua di Perguruan Elang Hitam memeriksa tubuhku. Katanya, aku tidak punya bakat sama sekali. Dan tubuhku ini tidak bisa menyimpan tenaga dalam."


 

"Dan kau percaya ucapan orang itu?" 


 

Ranubaya mengangguk, "Tetua itu bagian menyeleksi setiap calon murid yang hendak berlatih di perguruan itu, Kek."


 

Surojoyo tersenyum, "Mana tangan kirimu, Kakek mau lihat!"


 

Ranu kemudian menyodorkan tangan kirinya kepada Surojoyo. Tangan keriput Surojoyo kemudian meraih tangan Ranubaya lalu membaliknya dengan telapak tangan menghadap ke atas.


 

Surojoyo kemudian memeriksa nadi Ranubaya kemudian tersenyum tipis. "Nadimu tidak beraturan sehingga aliran darahmu tidak mengalir lancar. Ini yang membuat kamu tidak bisa menyimpan tenaga dalam di tubuhmu."


 

"Berarti aku benar-benar tidak bisa berlatih tenaga dalam, Kek?"


 

"Hahahaha... itu kata mereka yang tidak bisa menata kembali nadimu. Buat kakek itu hal yang mudah!'


 

Mata Ranubaya berbinar-binar. Harapannya untuk mempelajari Jurus Dewa Api kembali mengembang. "Benarkah Kakek bisa membantuku!?"


 

Surojoyo mengangguk sambil tersenyum. "Nanti Kakek akan menata semua titik nadimu. Tapi sekarang ayo kita keluar dari gua ini dulu! Ada yang mau kakek tunjukkan kepadamu."


 

"Apapun perintah Kakek akan aku lakukan,   asal tidak melakukan kejahatan."


 

Surojoyo tersenyum bahagia. Dia yang selama puluhan tahun menyendiri di dalam jurang tersebut kini mempunyai teman bicara. 


 

Ingatan Surojoyo kemudian melayang jauh ke masa, dimana dia masih berusia sekitar 28 tahun. Dia menyepikan diri di dalam jurang tersebut dari dunia luar, karena suatu masalah yang membuatnya terluka.


 

"Kakek, katanya mau menunjukkan sesuatu padaku, kok malah melamun?"


 

Surojoyo tergagap dari lamunannya, "Eh... iya Ranu, ayo kita keluar sekarang!"


 

Mereka berdua pun kemudian berjalan keluar dari gua. Sesampainya di luar gua, Ranubaya dibuat terkesima dengan pemandangan yang ada di dasar jurang tersebut. Dia tidak menyangka jika di tempat yang dikatakan angker oleh warga dusun Karangasri ternyata menyimpan panorama yang indah.


 

Ranubaya melihat banyak sekali berbagai macam pohon buah-buahan tumbuh subur. Ada juga sungai kecil yang mengalir tidak jauh dari gua tersebut. Beningnya air sungai tersebut membuat Ranubaya ingin segera menceburkan tubuhnya. 


 

Surojoyo kemudian mengajak Ranubaya berjalan menyusuri sungai tersebut hingga sampai di sebuah kolam yang lumayan besar. Anehnya, air di kolam tersebut mengeluarkan uap panas seperti air yang dimasak. 


 

Di tengah kolam tersebut, Ada sebuah batu gunung besar namun berbentuk datar bagian atasnya. "Kau lihat batu besar itu Ranu! Di situlah nanti aku akan menata semua titik nadimu yang tidak beraturan."


 

Ranubaya menatap batu tersebut dan seolah ada daya tarik yang membuatnya ingin berada di atas batu itu. 


 

"Sudah, mari kita kembali ke gua. Ada beberapa hal yang ingin kusampaikan kepadamu," kata Surojoyo. 


 

"Baik, Kek," 


 

Sambil berjalan kembali menuju gua, pikiran Ranubaya teringat kembali dengan kedua orang tuanya yang telah mati terbunuh. Tekadnya untuk belajar ilmu kanuragan semakin menebal. Dia bersumpah akan membalas kematian kedua orang tuanya.


 

Sesampainya di dalam gua, mereka berdua kemudian duduk di atas lempengan batu yang lumayan lebar.


 

"Ranu, ada yang ingin kakek tanyakan. Kakek harap kau berkata dengan jujur."


 

"Selama hidupku ini, aku tidak pernah berbohong, Kek," jawab Ranubaya.


 

"Darimana kau dapatkan kitab ini?" tanya Surojoyo sambil mengeluarkan kitab Jurus Dewa Api dari balik bajunya.


 

Ranubaya lalu meraba perutnya dan tak menemukan kitab yang disimpannya di balik bajunya.


 

"Aku menemukan kitab tersebut di bawah sebuah lantai kayu di reruntuhan kuil kuno, Kek." jawab Ranubaya.


 

"Memangnya ada apa, Kek?" Ranubaya bertanya balik.


 

Surojoyo berpikir sejenak. Dia bingung bagaimana menjelaskannya kepada pemuda 15 tahun di hadapannya tersebut.


 

"Hampir seratus tahun yang lalu, kitab ini pernah menggegerkan dunia persilatan, Ranu. Banyak pendekar baik dari aliran hitam maupun aliran putih saling membunuh demi memperebutkan kitab ini. Mereka tidak memandang nyawa sebagai hal yang berharga demi ambisi menguasai kitab ini."


 

"Lalu istimewanya kitab ini apa, Kek?"


 

"Coba tunjukkan gambar di pergelangan tangan kananmu!"


 

Ranubaya kemudian menyingsingkan baju yang menutupi lengan kanannya dan menunjukkan tato bergambar ular berwarna merah.


 

"Itu tandanya kau dipilih menjadi penerus Pendekar Dewa Api, Ranu. Kau yang terpilih menjadi penerus seorang pendekar terkuat yang pernah ada di bumi ini."


 

Ranubaya terperangah tidak percaya. Mengapa bisa dia yang selalu menjadi bahan olok-olok para pemuda di kampungnya, dan menjadi incaran Sanjaya untuk dihajar, bisa terpilih menjadi penerus Pendekar Dewa Api.


 

Bab 7 Proses Awal 


 

Melihat Ranubaya tidak percaya dengan ucapannya, Surojoyo hanya tersenyum kecil.


 

"Kau boleh tidak percaya dengan ucapan Kakek, Ranu. Namun setelah kakek menata detak nadi dan aliran darahmu, kau akan bisa  membuktikan ucapan kakek ini benar atau salah." kata Surojoyo.


 

Ranubaya tidak membalas perkataan Surojoyo. Dia hanya merenung dan memandang ke bawah. 


 

"Apa kau pernah mempelajari gerakan di kitab ini?" tanya Surojoyo.


 

Ranubaya mengangguk, "Aku mempelajari gerakan Pukulan Dewa Api, Kek."


 

"Apakah kamu sudah hapal semua gerakannya?"


 

Ranubaya kembali mengangguk, " Sudah, Kek. Namun anehnya, ketika jurus itu aku gunakan melawan Sanjaya dan teman-temannya, gerakanku malah terasa kaku."


 

Surojoyo tertawa lebar, "Jelas saja, Ranu. Itu karena kau belum menguasai tenaga dalam Dewa Api yang ada dan diajarkan dalam kitab ini. Meskipun Kakek yang menggunakannya, jurus itu tidak akan bisa keluar, karena kakek tidak memiliki dasar tenaga dalam yang sama." 


 

"Pukulan Dewa Api itu mempunyai unsur tenaga dalam juga Ranu. Jurus itu akan muncul aslinya jika dipadukan dengan tenaga dalam Dewa Api." lanjut Surojoyo.


 

"Jadi begitu ya...! kenapa bisa seribet itu, Kek?"


 

"Kau ini masih sangat lugu, Ranu! Inilah istimewanya jurus-jurus yang ada dalam kitab ini. Karena hanya orang terpilih yang bisa menguasai jurus Dewa Api ini dan akan menjadi Pendekar Dewa Api berikutnya." jawab Surojoyo.


 

"Jadi, para pendekar yang memperebutkan kitab ini bisa dibilang mereka bodoh, karena berebut yang tidak mungkin bisa mereka pelajari. Kalaupun mereka berhasil mendapatkan dan mempelajari jurus-jurus di dalam kitab ini dengan menggunakan tenaga dalam yang mereka miliki, yang ada malah tenaga dalam mereka akan rusak." tambahnya.


 

"Berarti tenaga dalamku sudah rusak ya, Kek? Kan aku sudah mempelajari jurus Pukulan Dewa Api."


 

Surojoyo menepuk jidatnya. Ingin dia menjerit dengan keras melihat kebodohan yang ditunjukkan Ranubaya.


 

"Kamu kan belum punya tenaga dalam, Ranu. Dan juga kau yang dipilih untuk menjadi penerus Pendekar Dewa Api!" jawab Surojoyo dengan sedikit geram.


 

Ranubaya menggaruk kepalanya yang gatal karena sudah 10 bulan tidak mandi sambil meringis kecil.


 

"Maaf, Kek. Aku lupa."


 

Surojoyo menggelengkan kepalanya, "Ternyata ada yang lebih parah daripada aku dulu," gumamnya pelan.


 

"Apanya yang parah, Kek?"


 

"Kamu ini...! Ketika dijelaskan tidak nyambung. Tapi suara yang sangat pelan malah terdengar jelas, aneh," gerutu Surojoyo.


 

Ranubaya terkekeh mendengar Surojoyo menggerutu seperti tawon yang lagi haus kasih sayang.


 

"Sudah, Jangan tertawa saja! Cepat mandi sana! Baumu sudah seperti mayat hidup yang ngompol di celana."


 

"Baik, Kek. Tapi aku tidak punya pakaian lagi. Kalau pakaian ini aku cuci, aku memakai pakaian apa?"


 

"Itu ada daun pisang buat menutupi belalai gajahmu," jawab Surojoyo sambil menahan tawanya.


 

Ranubaya berjalan lunglai menuju sungai kecil yang tidak jauh dari gua. Dia tidak pernah menyangka akan menggunakan daun pisang untuk menutupi tubuhnya.


 

Setelah Ranubaya keluar dari gua, Surojoyo juga menyelinap keluar untuk mencarikan pakaian buat pemuda yang sudah membuat hidupnya kembali ceria. 


 

Sambil bersiul kecil, Ranubaya menggosok seluruh tubuhnya dengan batu kali hingga kotoran dan bekas darah yang menempel di tubuhnya hilang. Tak lupa juga dia mencuci rambutnya yang sudah seperti sapu ijuk karena saking kakunya.


 

Setelah merasa tubuhnya sudah bersih, Ranubaya kemudian mengambil daun pisang yang tadi sudah diambilnya sebelum mandi, dan melilitkan daun pisang tersebut ke tubuhnya.


 

Ranubaya kemudian beranjak menuju gua setelah menjemur pakaian yang tadi di cucinya.


 

Di dalam gua, Surojoyo yang sudah kembali langsung tertawa ngakak melihat Ranubaya hanya memakai daun pisang untuk menutupi tubuhnya. Dia tidak menyangka ucapannya yang hanya bercanda ternyata dianggap serius oleh Ranubaya.


 

"Kenapa Kakek tertawa?" tanya Ranubaya tanpa rasa bersalah.


 

Surojoyo kemudian melemparkan pakaian kepada Ranubaya. "Pakai itu! Aku tidak mau satu ruangan dengan manusia aneh," 


 

Ranubaya menangkap pakaian yang dilemparkan Surojoyo sambil menggerutu pelan. "Kan Kakek sendiri yang nyuruh aku pakai daun pisang. Kenapa dibilang aku manusia aneh?"


 

Setelah Ranubaya memakai pakaian, Surojoyo menyuruhnya untuk memakan buah-buahan, karena setelahnya dia akan memulai proses awal menata detak nadi dan aliran darah Ranubaya yang tidak beraturan.


 

"Apa Kakek setiap hari makan buah-buahan?"


 

Surojoyo menggeleng, "Kadang Kakek naik ke dusunmu untuk meminta makanan."


 

Ranubaya menautkan kedua alisnya dan menatap lekat-lekat wajah Surojoyo.


 

"Tapi aku tidak pernah melihat Kakek di dusunku?"


 

"Apa Kakek harus meminta ijin dulu padamu sebelum meminta makanan di dusunmu!"

jawab Surojoyo sengit.


 

Ranubaya tertawa kecil, "Benar juga ya?" ucapnya sambil menggaruk kepalanya. 


 

"Berarti Kakek tadi naik ke dusunku dan mengambil pakaian ini?"


 

Surojoyo mengangguk.


 

"Bagaimana keadaan dusunku, Kek?"


 

"Dusunmu sudah tidak berpenghuni, Ranu. Nampaknya penduduk yang selamat sidah trauma dan tidak mau kembali ke dusun Karangasri lagi."


 

"Berarti percuma nanti aku kembali kesana. Aku mau tinggal disini saja dengan Kakek. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Hanya Kakek satu-satunya orang yang peduli denganku." Mata Ranubaya berkaca-kaca. Ingin sekali dia menumpahkan tangisnya, namun rasa malu membuatnya urung menangis.


 

"Sampai kau siap berkelana nanti, kau boleh tinggal disini. Kau harus gunakan ilmu kanuragan yang nanti kau miliki untuk menebar kebaikan."


 

"Itu berarti aku harus meninggalkan Kakek?"


 

"Kau jangan cengeng, Ranu! Kau ini lelaki yang harus siap menempuh perjalanan demi mencapai cita-citamu."


 

Ucapan Surojoyo seperti palu godam yang menghantam dada Ranubaya. Pemuda 15 tahun itu sadar, bahwa dia mempunyai cita-cita besar seperti ucapan ayahnya yang harus diwujudkan.


 

Selesai mengisi perutnya, Ranubaya diajak Surojoyo menuju kolam yang airnya mendidih dan mengeluarkan asap tebal.


 

Surojoyo merangkul Ranubaya lalu meloncat dengan ringan ke atas batu besar yang berada di tengah-tengah kolam yang lumayan luas tersebut.


 

Ranubaya terkesima dengan apa yang dilakukan Surojoyo. Dia merasa kagum dengan kemampuan ilmu meringankan tubuh yang ditunjukkan kakek angkatnya itu.


 

Surojoyo kemudian menyuruh Ranubaya duduk bersila, "Buka bajumu!"


 

Ranubaya menuruti ucapan Surojoyo. Dia membuka bajunya dan hanya memakai celana saja.


 

Surojoyo kemudian duduk bersila di belakang Ranubaya. Dia terdiam sebentar lalu menempelkan telapak tangannya ke punggung Ranubaya.


 

"Jika kau merasa ada yang masuk ke dalam tubuhmu, jangan dilawan! Biarkan saja mengalir ke setiap bagian tubuhmu. Kalau kau melawannya, akan bisa mengakibatkan kelumpuhan. Apa kau sudah paham?"


 

Ranubaya menganggukkan kepalanya.


 

"Kakek akan memulainya sekarang! Apa kau sudah siap?"


 

"Aku sudah siap, Kek."


 

"Tahanlah, proses masuknya akan sedikit sakit. Setelah itu tidak akan terasa sakit lagi."


 

Surojoyo kemudian mengumpulkan tenaga dalamnya menjadi satu dan mengalirkannya ke dalam tubuh Ranubaya melalui telapak tangannya.


 

Rasa sakit dan panas langsung terasa di pungung Ranubaya. Dia merasa seperti ada bara api yang panas menghujam punggungnya dan berusaha untuk masuk.


 

Bab 8 Ledakan Energi 


 

Pemuda tanggung itu menggigit giginya dengan kuat untuk menahan rasa yang menyiksa di punggungnya. Tanpa terasa keringat pun sudah mengucur dengan deras dari setiap pori-porinya. 


 

Uap panas yang keluar dari air yang mendidih juga menambah deritanya. Dia tidak menyangka proses untuk menata detak nadi dan aliran darahnya yang kacau harus seberat itu. Ingin dia menyerah saja, namun ucapan ayahnya tiba-tiba muncul dan  terngiang-ngiang di telinganya. 


 

"Aku harus kuat! Aku harus bisa mewujudkan keinginan ayah!" tekad kuat meluap-luap di pikiran Ranubaya.


 

Surojoyo kemudian melepaskan telapak tangannya dari punggung Ranubaya setelah tenaga dalamnya masuk sepenuhny ke dalam  tubuh Ranubaya, "Sekarang rasakan detak nadi dan aliran darahmu yang mulai tertata perlahan. Kau nanti akan merasa sangat ringan tubuhmu."


 

"Bukan sekali ini aku menata detak nadi dan aliran darah yang tak beraturan. Tapi baru kali ini yang benar-benar menguras tenaga dalamku." ucap Sorojoyo dalam hati.


 

Ranubaya memejamkan matanya dan mengikuti intruksi yang diberikan Surojoyo. Dia merasakan seperti ada desiran angin dingin menyusuri setiap bagian tubuhnya. 


 

"Biarkan sampai semua selesai tertata, Ranu. Jangan sekali-kali melawannya!"


 

Surojoyo melompat dengan ringan dan mendarat di bibir kolam. Langkah kakinya berjalan dengan sedikit gontai karena baru saja mengeluarkan tenaga dalam yang sangat besar. Ingin dia segera beristirahat dan merebahkan tubuhnya untuk mengembalikan tenaga dalamnya.


 

"Pendekar Dewa Api, setelah 140 tahun kau menghilang dan kitabmu menjadi rebutan dunia persilatan, akhirnya kau memilih seorang anak untuk menjadi penerusmu," batin Surojoyo sambil rebahan berbantal lengannya.


 

Surojoyo kemudian tertidur lelap karena benar-benar merasakan kelelahan yang luar biasa. 


 

Sementara itu, tanpa disadari Ranubaya, Uap yang keluar dari air mendidih semakin tebal dan menutupi tubuhnya. Dia sedang mengalami proses penempaan alam yang sangat jarang terjadi kepada seorang pendekar. Dia yang sedang berkonsentrasi merasakan nadi dan aliran darahnya yang ditata, tidak merasakan panasnya uap yang menyelimuti tubuhnya.


 

Sudah berjam-jam Ranubaya mengalami proses tersebut. Tubuhnya menjadi semakin ringan dan bahkan sedikit demi sedikit terangkat ke atas namun balik lagi. 


 

Hingga proses penataan tersebut selesai, tiba-tiba meledaklah gelombang energi yang berasal dari tubuh Ranubaya. Meskipun tidak bersuara, namun gelombang energi tersebut membuat pepohonon di dasar jurang tersebut meranggas dan menggugurkan daunnya.


 

Batu gunung besar yang didudukinya sampai retak. Bahkan, gua tempatnya tinggal selama hidup di dasar jurang tersebut menjadi bergetar hebat. Uap panas dari air mendidih yang menyelimutinya, tiba-tiba terhisap masuk ke dalam tubuhnya melalui seluruh pori-porinya.


 

Surojoyo bangkit berlari karena mengira terjadi sebuah gempa. Dia sedikit takut bila gua yang ditempatinya tidur akan runtuh.


 

Sesampainya di luar gua, matanya melotot dibuat terheran-heran karena pepohonan yang berada di dasar jurang mayoritas gundul dan menggugurkan daunnya.


 

"Kalau semua pohon gundul begini, besok dan seterusnya aku makan apa?" pikirnya dalam hati.

( beberapa pohon pisang yang masih berdiri dengan tegak dan buahnya juga masih utuh tergantung di batangnya, "Lumayanlah daripada tidak sama sekali."


 

Surojoyo masih belum menyadari jika pohon-pohon yang meranggas itu akibat ledakan energi dari tubuh Ranubaya.


 

Lelaki tua bertubuh pendek tersebut kemudian berjalan untuk melihat keadaan Ranubaya. Dari jauh dilihatnya posisi Ranubaya masih tetap seperti semula. Namun begitu dia sudah sampai di bibir kolam, Surojoyo tidak bisa menahan keterkejutannya.


 

"Apa yang terjadi dengan batu itu? Kenapa bisa retak merata seperti seperti habis terkena ledakan?"


 

Surojoyo kemudian menganalisa kejadian yang dilihatnya. Jika terjadi gempa, tidak mungkin pepohonan sampai menggugurkan daunnya dan batu besar yang diduduki Ranubaya sampai retak. Namun kalau terjadi ledakan, kenapa tidak ada suaranya?


 

Dia lalu memandang dengan seksama ke arah tubuh Ranubaya. Surojoyo bahkan sampai menyipitkan matanya, karena merasa melihat uap panas yang keluar dari air mendidih di dalam kolam, terhisap masuk ke dalam tubuh Ranubaya.


 

Surojoyo sempat tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Namun setelah mengucek matanya berkali-kali, dia baru percaya dengan apa yang dilihatnya.


 

Setelah menunggu beberapa saat, Surojoyo melihat Ranubaya membuka matanya. "Sepertinya Ranubaya sudah berhasil menyelesaikan prosesnya," gumamnya.


 

Sebelum Surojoyo hendak meloncat ke atas batu yang di duduki Ranubaya, ternyata Ranubaya sudah terlebih dahulu meloncat ke bibir kolam. Gerakannya tak kalah ringan dengan yang dilakukan Surojoyo.


 

Tiba-tiba, batu yang tadi menjadi tempat duduk Ranubaya hancur berkeping-keping dan tenggelam ke dalam kolam. Surojoyo dan Ranubaya yang kaget bahkan sampai meloncat menjauh.


 

"Eladalah... kok bisa sampai seperti itu? Kau apakan batu itu, Ranu?"


 

Ranubaya yang tidak paham dengan yang dimaksud Surojoyo hanya menggaruk kepalanya sambil menggeleng, "Aku hanya melakukan apa yang Kakek perintahkan."


 

Surojoyo tak habis pikir dengan berbagai kejadian yang dialaminya hari ini. Dia sudah tidak bisa berpikir secara logika, karena memang kejadiannya sulit untuk dipahami dengan nalar sehat.


 

"Sudahlah, ayo kembali ke dalam gua!" ajaknya.


 

Ranubaya mengekor di belakang Surojoyo yang berjalan terlebih dahulu dengan tergesa-gesa.


 

Sesampainya di dalam gua, Surojoyo meraih pergelangan tangan Ranubaya dan memeriksanya. Senyumnya mengembang lebar seperti sedang menemukan emas permata.


 

"Detak nadi dan aliran darahmu sudah normal, Ranu. Sekarang kau sudah bisa menyimpan tenaga dalam di tubuhmu."


 

"Benarkah, Kek?"


 

Surojoyo mengangguk, "Hari sudah menjelang malam, sekarang istirahatlah dulu! Besok pagi Kakek akan mengajarimu mengolah tenaga dalam dan bagaimana memfungsikannya"


 

"Apakah lama proses mempelajarinya, Kek?"


 

"Tergantung kemampuanmu untuk menyerap apa yang Kakek ajarkan. Setelah nanti kau bisa menggunakan tenaga dalam yang Kakek ajarkan, kau masih harus belajar mengeluarkan potensi tenaga dalam Dewa Api di dalam tubuhmu," jawab Surojoyo.


 

Ranubaya mengangguk meski tidak terlalu paham. Dia takut kakek angkatnya akan memarahinya lagi seperti siang tadi.


 

Malam Gelap datang menyapa, cahaya obor kecil sedikit menerangi ruangan dalam gua. Ranubaya yang masih belum tidur mengingat kembali semua gerakan jurus Pukulan Dewa Api yang sudah dihapalnya mulai awal sampai akhir.


 

Secara perlahan, matanya terasa semakin berat dan akhirnya dia pun tertidur dengan pulasnya. 


 

Di dalam mimpinya, kejadian perampokan dan pembantaian yang terjadi di kampungnya, muncul dengan begitu jelas. terlihat juga pembantaian yang membuat kedua orang tua kandungnya mati dengan begitu tragis. 


 

Ranubaya menyimpan erat wajah para pemerkosa dan pembunuh kedua orang tua dalam memori otaknya. Dia berjanji suatu saat dia akan menuntut balas.


 

Ranubaya terbangun dari mimpinya, nafasnya tersengal sengal bagai habis berlari jarak jauh. "Ayah, Ibu, aku berjanji aka  membalaskan dendam kematian kalian dan membuat kalian bangga mempunyai anak sepertiku." gumamnya dalam hati. 


 

Pandangan mata Ranubaya tertuju kepada obor kecil yang menyala redup tertiup hembusan angin yang berasal dari luar gua.


 

Bab 9 Pedang Segoro Geni 


 

Semakin lama Ranubaya memandang obor kecil itu, nyala apinya semakin membesar. Dia lalu menghentikan pandangannya dan kembali merebahkan tidurnya.


 

Seberkas sinar matahari pagi yang tidak terlalu terang memasuki dalam gua  tersebut. Ranubaya bangun dari tidurnya dan menggeliatkan badannya untuk melemaskan urat-uratnya. Dia menguap lebar lalu berjalan keluar dari gua menuju sungai.


 

Sambil bersiul kecil, Ranubaya berendam di dalam sungai yang tidak terlalu dalam tersebut cukup lama. "Sayang sekali tidak ada ikan yang hidup di sungai ini," batinnya.


 

Selesai mandi, Ranubaya bergegas mengambil buah pisang yang sudah masak di pohonnya. Dia lalu membawanya ke dalam gua dan menaruhnya di lantai. 


 

Sambil menunggu Surojoyo bangun dari tidurnya, Ranubaya membuka kitab Jurus Dewa Api dan membuka bab tentang pengendalian tenaga dalam Dewa Api.


 

Mata Ranubaya mengawasi dengan seksama setiap kalimat yang tertulis di halaman tersebut. Dia membacanya berulangkali dan berusaha menghapalkannya agar dalam prakteknya nanti bisa lebih lancar.


 

"Ternyata harus melalui beberapa tahapan agar bisa menguasainya dengan sempurna," ucapnya pelan.


 

"Hoaaaam!"


 

Surojoyo menguap lebar seperti buaya yang lagi berjemur. Lelaki tua bertubuh pendek tersebut kemudian mengucek matanya dan melihat Ranubaya yang sedang fokus membaca kitab Jurus Dewa Api.


 

"Kau sudah bangun, Ranu! Kenapa tidak membangunkan Kakek?"


 

"Ah, kakek sudah bangun ternyata! Aku lihat kakek tertidur dengan pulas. Kuatirnya  kalau aku bangunkan dan kakek sedang bermimpi indah, bisa-bisa aku kena marah lagi."


 

"Bocah semprul, pagi-pagi sudah ngajak bercanda!" Surojoyo menggelengkan kepalanya.


 

"Kakek,.kalau mau naik ke atas lewat mana?"

tanya Ranubaya.


 

"Kamu kenapa mau ke atas?"


 

"Ah, tidak apa-apa. Cuma mau tanya saja."


 

"Tidak ada jalan untuk ke atas, Ranu."


 

"Lalu Kakek kalau ke atas lewat mana?"


 

"Dengan ilmu meringankan diri. Jadi kalau kamu tidak bisa ilmu tersebut, selamanya kamu tetap disini."


 

"Oooh!"


 

"Sudah, Kakek mau mandi dulu," sergah Surojoyo sebelum Ranubaya bertanya yang lain.


 

Selepas Surojoyo Keluar dari gua, Ranubaya melanjutkan membaca kitab Jurus Dewa Api.

Namun di beberapa bagian, dia merasa ada beberapa hal yang belum dipahaminya. 


 

Ranubaya menutup kitab tersebut dan menaruhnya di balik bajunya sesuai pesan Surojoyo yang menyuruhnya tidak boleh ditaruh sembarangan.


 

Pemuda tanggung tersebut kemudian keluar dari gua sambi membawa beberapa biji buah pisang untuk mengganjal perutnya. 


 

Setelah berada di luar gua, Ranubaya baru menyadari kalau jurang tersebut sangat luas. Dia melihat sekeliling dan terlihat hanya pepohonan besar dan semak belukar yang lebat. Ingin dia menyusuri seisi jurang tersebut namun belum ada keberanian di hatinya. 


 

Sesaat dia merasa ada sebuah energi besar yang seperti menariknya untuk datang ke tempat yang jauh itu.


 

"Kamu melihat apa, Ranu.?" tegur Surojoyo ketika melihat Ranu sedang menatap jauh ke sekitar dasar jurang tersebut.


 

"Disana ada apa, Kek?" tanya Ranubaya sambil menunjuk.


 

"Sama seperti disini. Tidak ada yang istimewa disana."


 

Ranubaya  mengangguk pelan.


 

"Ayo masuk ke dalam. Kakek ajari cara mengolah tenaga dalam."


 

Surojoyo melangkah diikuti Ranubaya di belakangnya.


 

"ikuti semua arahan Kakek!"


 

"Ya, kek," jawab Ranubaya.


 

Dia lalu mengambil posisi duduk bersila dengan mata tertutup agar dapat berkonsentrasi.


 

"Letakkan kedua tanganmu di atas lutut dengan posisi telapak tangan menggenggam rileks atau renggang. Atur posisi punggung tegak dan kepala lurus menghadap ke depan. Tarik atau ambil nafas melalui hidung sambil kedua tangan digerakkan melingkar ke samping tubuh, lalu gerakkan ke atas melewati kepala depan, kemudian gerakkan turun hingga berada di depan dada dengan membentuk kepalan pada tangan kanan, dan tangan kiri menopang kepalan tangan kanan," jelas Surojoyo. 


 

Ranubaya mengikuti semua arahan kakek angkatnya tersebut secara perlahan.


 

"Tarik nafas lalu tahan sejenak!"


 

Di saat Ranubaya menahan nafas, dia merasakan ada desiran angin yang halus dan berputar di dalam tubuhnya.


 

"Hembuskan nafas melalui mulut sambil mengulurkan kedua tangan ke depan, lalu ke samping tubuh, dan kembali ke posisi semula."


 

Ranubaya merasakan tubuhnya terasa  ringan. Dia melakukan tarikan nafas dan menahannya berulang-ulang dengan rileks.


 

"Lakukan terus sampai nanti terasa ada energi yang hendak keluar dari tubuhmu," lanjut Surojoyo.


 

Surojoyo kemudian keluar dari gua dan berjalan jauh hingga sampai di sebuah batu lumayan besar yang tertutupi semak-semak.


 

Dengan perlahan Surojoyo membersihkan semak-semak tersebut hingga bersih. 


 

Terlihat di atas batu tersebut ada sebuah pedang yang tidak terlalu panjang menancap dengan kuat.


 

"Pedang Segoro geni, lama kita tidak berjumpa. Jikalau anak yang bersamaku itu bisa menerima semua ilmuku, ikutlah dengannya. Sudah saatnya kau muncul lagi di dunia persilatan."


 

Seolah mengerti dengan ucapan Surojoyo, pedang tersebut bergetar dengan kuat. Tiba-tiba pedang tersebut mengeluarkan kobaran api yang lumayan besar.


 

Surojoyo tersenyum, "Tenanglah, aku yakin dia mempunyai sifat yang luhur. Dia tidak akan terjebak dengan kepalsuan duniawi. Kau akan memiliki tuan baru yang bakal lebih hebat daripada aku."


 

Api yang berkobar itu kemudian surut dan menghilang. Tiba-tiba saja muncul sesosok makhluk seperti manusia bertanduk tinggi besar namun terbentuk dari api.


 

"Kenapa kau bisa bilang seperti itu, tuan Suro? Siapa anak yang kau maksud itu?"


 

"Akhirnya kau muncul juga, Geni. Ketahuilah, anak itu ditakdirkan menjadi penerus Pendekar Dewa Api. Kau tahu sendiri kalau Pendekar Dewa Api tidak sembarangan memilih orang untuk menjadi penerusnya."


 

"Orang itu lagi. Nanti kalau dia sudah memiliki Pedang Dewa Api, aku bakal diserahkan kepada orang lain seperti dulu ketika dia menyerahkanku padamu."


 

"Hahaha, jangan cemberut begitu, Geni. Pendekar Dewa Api pasti punya alasan khusus memberikanmu padaku," Surojoyo terkekeh pelan.


 

"Anak ini tidak membawa Pedang Dewa Api bersamanya, sudah pasti nanti dia akan mencari pedang tersebut sampai ketemu. Dan itu berarti bisa jadi kau akan bersamanya selamanya."


 

"Baiklah, tapi dengan syarat dia harus bisa mengalahkanku!" 


 

Surojoyo kaget dengan syarat yang diberikan makhluk api yang bersemayam di dalam Pedang Segoro Geni tersebut. Sebab dia dulu tidak diberi syarat seperti itu.


 

"Kenapa kau memberi syarat seperti itu, Geni?"


 

"Dia harus bisa membuktikan bisa menjadi tuanku! Aku tidak mau dimiliki tuan yang lemah!" Suara Geni sedikit meninggi.


 

"Apalagi nanti jika dia mendapatkan Pedang Dewa Api, aku pasti jadi yang kedua. Apa kau tahu rasanya menjadi yang kedua?"


 

Tawa Surojoyo meledak, dia tidak menyangka jika makhluk seperti Geni masih punya perasaan. 


 

"Aku akan berbicara dengannya tentangmu nanti."


 

"Tidak perlu!" sergah Geni.


 

"Biar waktu yang akan menilai sifat anak itu seperti apa!" lanjutnya. 


 

"Baiklah kalau itu maumu, aku akan kembali dan melatihnya dengan keras agar bisa menaklukkanmu," ucap Surojoyo.


 

Geni tiba-tiba menyusut kecil dan menghilang. Surojoyo menarik napas panjang lalu kemudian berjalan kembali menuju gua.


 

Bab 10 Empat Pusaka 


 

Sambil berjalan, Surojoyo tersenyum mengenang disaat Pendekar Dewa Api menyerahkan Pedang Segoro Geni kepadanya hampir 150 tahun yang lalu.


 

"Suro, waktuku tidak lama lagi. Paling lama 15 tahun lagi aku akan menghilang dari dunia ini. Dalam kurun waktu itu, belum tentu aku bisa bertemu lagi denganmu," ucap Dewangga alias Pendekar Dewa Api.


 

"Tuan mau kemana?"


 

"Aku tidak tahu harus melangkah kemana? Biarlah hati ini yang menuntun kemana aku harus melangkahkan kakiku."


 

"Tapi Tuan..."


 

"Kau tidak perlu bersedih, Suro. Sudah waktunya kau harus mengarungi dunia ini sendiri. Bawalah dia bersamamu!" Pendekar Dewa Api menyerahkan sebuah pedang pendek kepada Surojoyo.


 

"Pedang ini bernama Segoro Geni. Meskipun tidak sekuat Pedang Dewa Api, pedang itu sudah sangat mumpuni di dunia persilatan. Hanya ada sedikit pusaka yang bisa mengimbangi kekuatannya. Tombak Bayu Sutro, Golok Tirta Aji dan Pedang Sabdo Bumi. Keempat pusaka itu diciptakan Resi Abiyasa dari empat unsur alam. dan masing-masing pusaka itu mewakili satu unsur." lanjutnya.


 

Surojoyo hanya bisa terdiam tanpa bicara.


 

"Kalau kau mau, kau bisa mencari ketiga pusaka itu dan menyatukannya. Aku yakin kau akan menjadi pendekar terkuat di dunia persilatan."


 

"Aku tidak punya keinginan menjadi yang terkuat, Tuan." jawab Surojoyo.


 

"Baiklah, Suro. Cukup sampai di sini perjumpaan kita. Kau harus bisa melangkahkan kakimu di jalan kebenaran. Berhati-hatilah dengan godaan dunia. Sekali kau salah melangkah, kau akan terjebak di dalamnya." ucap Dewangga sambil tersenyum lalu menghilang.


 

Tanpa sadar langkah kaki Surojoyo sudah mendekati Gua tempatnya berdiam selama puluhan tahun menjauhi dunia persilatan. Dia kemudian duduk di sebuah batu di depan pintu gua.


 

***


 

Sudah hampir tujuh hari Ranubaya melakukan proses pengolahan tenaga dalam. Selama itu pula Surojoyo meninggalkan dirinya sendirian di dalam gua.


 

Di suatu siang, Ranubaya merasakan dorongan energi yang kuat dari dalam tubuhnya. Energi tersebut seperti hendak menerobos keluar melalui seluruh pori-porinya. Ranubaya yang masih dalam keadaan terpejam kemudian melepaskan dorongan energi tersebut memancar keluar dari tubuhnya.


 

Suasana di luar gua tiba-tiba tenang. Tidak ada suara burung ataupun hewan lainnya yang biasanya membuat semarak di dasar jurang tersebut. Angin yang berhembus pun tiba-tiba berhenti seolah ada sesuatu yang membuatnya diam.


 

Suasana tenang tersebut hanya terjadi beberapa saat sampai tiba-tiba angin seperti terhisap ke dalam gua dan kemudian memasuki tubuh Ranubaya.


 

Pemuda tanggung tersebut tetap diam dan merasakan semua proses pengolahan yang dialaminya. 


 

Beberapa saat kemudian Ranubaya membuka matanya karena proses pengolahan tenaga dalamnya telah selesai. Dia kemudian menarik napas panjang dan menatap sekeliling. Dahinya mengkerut karena tidak menemukan kakeknya berada di dalam gua tersebut.


 

Sementara itu Surojoyo sudah berada di dusun Karangkembang. Dia sedang mencari informasi tentang perampokan yang terjadi hampir 11 purnama lalu di dusun KarangAsri.


 

"Semua korban meninggal sudah dikuburkan, Kang. Sedangkan yang selamat tidak mau kembali ke dusun itu" ucap salah seorang lelaki yang juga warga dusun setempat.


 

"Namun ada satu anak laki-laki yang menghilang dan sampai hari ini tidak kembali. Entah dibawa mereka atau pergi kemana. Yang pasti kedua orang tuanya sudah meninggal." tambahnya.


 

"Itu pasti Ranubaya," pikir Surojoyo.


 

"Lalu kisanak apakah tahu siapa pelaku perampokan tersebut?" 


 

Lelaki yang ditanya Surojoyo terdiam sesaat, "Maaf Kang, kami sudah sepakat untuk tidak menyebut nama itu lagi."


 

"Baiklah, Kisanak. Terima kasih atas makanan yang Kisanak berikan ini." Surojoyo kemudian berpamitan dan berjalan menjauhi lelaki tersebut.


 

Lelaki yang diajak ngobrol Surojoyo tadi menatap kepergiannya hingga keluar dari dusun.


 

Surojoyo kemudian kembali ke jurang untuk melihat perkembangan murid satu-satunya yang sedang mengolah tenaga dalamnya.


 

Sesampainya di bibir jurang, Surojoyo melompat dengan ringan hingga mencapai dasar jurang. Dilihatnya, Ranubaya sedang berada di luar gua sambil meregangkan kedua tangannya.


 

Surojoyo kemudian melangkahkan kakinya mendekati Ranubaya, "Kamu kenapa di luar gua? Bukankah seharusnya kamu berlatih mengolah tenaga dalammu?"


 

Ranubaya terkekeh melihat Surojoyo yang sedikit marah kepadanya.


 

"Kalau sudah selesai, masa iya harus diteruskan, Kek?"


 

Surojoyo mengernyitkan dahinya, "Sudah selesai?" Tanya Surojoyo.


 

Ranubaya mengangguk, "Seperti yang Kakek ucapkan kemarin."


 

Surojoyo tidak percaya dengan ucapan Ranubaya. Dia lalu memeriksa pergelangan tangan kiri pemuda tersebut.


 

Kedua alis Surojoyo menyatu karena kaget dan juga keheranan. Bagaimana mungkin proses pengolahan tenaga dalam yang biasanya memakan waktu berbulan-bulan bisa diselesaikan dalam waktu satu minggu. Bahkan, yang dia rasakan bukan hanya tenaga dalam saja yang bisa diolah Ranubaya, melainkan ada unsur alam juga yang ada pada diri pemuda tersebut.


 

"Kita duduk disini dan coba ceritakan bagaimana proses yang kamu alami."


 

Ranubaya lalu duduk di samping Surojoyo dan mulai bercerita panjang lebar.


 

"Proses terakhir itu seperti ada dorongan angin yang sangat kuat memasuki tubuhku, Kek. Setelah itu, Angin tersebut seperti bergerak dengan lembut ke seluruh bagian tubuhku."


 

"Kau sudah memiliki tenaga dan dan juga sudah menguasai perubahan unsur angin, Ranu. Untuk sementara jangan berlatih Pukulan Dewa Api terlebih dahulu agar tenaga dalammu tidak rusak," balas Surojoyo.


 

"Lalu aku berlatih jurus apa, Kek?"


 

"Tenang, Ranu. Kakek punya banyak jurus yang bisa kau pelajari," jawab Surojoyo sambil tersenyum. Dia yakin dalam waktu singkat pemuda yang sudah dianggapnya cucunya sendiri itu akan bisa dengan cepat menguasai jurus-jurus yang dimilikinya.


 

Hari demi hari dilalui Ranubaya hanya dengan berlatih dan berlatih. Surojoyo dengan telaten memberi pengarahan kepada cucu angkatnya itu agar bisa dengan cepat menghapal dan menguasai semua gerak jurus yang diajarkannya.


 

Sebulan, dua bulan hingga tak terasa sudah berganti tahun. Fisik Ranubaya semakin tinggi dan mempunyai tubuh yang tegap berisi. Wajahnya juga sedikit lebih tegas dengan rahang yang kokoh. 


 

Dua tahun lamanya Ranubaya berlatih dibawah bimbingan Surojoyo. Sudah ada 5 jurus dan ajian saipi angin yang dikuasainya.

Dua diantara jurus tersebut adalah jurus andalan Surojoyo selama mengarungi dunia persilatan, yakni jurus Pedang Segoro geni dan jurus Pukulan tanpo Wujud. Sedangkan ajian saipi angin adalah ajian meringankan tubuh.


 

"Ranu, Sekarang sudah saatnya kau mempelajari jurus yang ada di dalam kitab Jurus Dewa Api. Namun Sebelumnya kau harus bisa menguasai tenaga dalam Dewa Api."


 

Ranubaya mengangguk pelan.


 

"Kakek hanya akan mengajari cara mempelajari cara memaksimalkan tenaga dalam Dewa Api. Setelah kau bisa menguasainya, kau harus belajar sendiri jurus-jurus yang ada di dalam kitab itu."


 

"Kenapa harus belajar sendiri? Bukankah kakek bisa mengajariku?" 


 

"Apa kau ingin semua ilmu kanuragan yang kakek miliki musnah?"


 

"Oh, iya... maafkan Ranu, Kek. Aku baru ingat kalau jurus yang ada di dalam kitab itu tidak bisa dikuasai sembarang orang," jawab Ranubaya sambil terkekeh


 

Surojoyo kemudian mengajak Ranubaya ke suatu tempat yang cukup jauh dari gua tempat mereka berdiam


















 

 












 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Bab 11-15 LEGENDA PEDANG API
0
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan