Bab 16-20 LEGENDA PEDANG API

0
0
Deskripsi

Bab 16 Menuju Hutan Larangan 


 

"Apa sekalian mau bikin perjanjian juga?" tantang Ranu.


 

"Jika aku bisa menjatuhkanmu dalam 5 serangan, kau harus bersujud di kakiku sekalian dengan Sanjaya! Dan jika aku tidak bisa menjatuhkanmu dalam 5 serangan, aku yang akan bersujud di kaki kalian berdua? Bagaimana?"


 

Semua anggota perguruan Elang Hitam bergumam hingga menimbulkan suara berdengung seperti lebah, ketika Ranubaya mengajukan pertanyaan seperti itu.


 

Salah satu tetua Perguruan Elang Hitam tersebut diam dan berpikir.


 

"Atau kalau dibalik saja, bagaimana bila kau yang menyerangku?" Ranu bertanya lagi.


 

Tetua tersebut tetap diam tak bersuara.


 

"Tetua, keluarlah! Jangan melihat dari jauh saja!"


 

Ucapan Ranubaya membuat semua orang yang berada di dalam perguruan tersebut bingung. Siapakah tetua yang dimaksud?


 

Sesaat setelah Ranubaya bersuara, melesatlah sesosok lelaki tua berbaju hitam dan berhenti tepat di depan Ranubaya.


 

"Maafkan kesalahan anggotaku, Pendekar muda. Mereka telah salah memilih lawan," ucap lelaki tua tersebut dengan tenang.


 

Ketua Perguruan Elang Hitam tersebut dibuat terkejut juga bagaimana bisa pemuda tersebut mengetahui jika dirinya sedang mengamati dari jauh.


 

Bukan hanya ketua perguruan tersebut yang dibuat terkejut, semua anggota Perguruan Elang Hitam juga sama terkejutnya. Mereka tidak menyangka jika ketua perguruan mereka sampai meminta maaf kepada pemuda tersebut.


 

"Aku bukan seorang yang picik seperti mereka berdua, Tetua! Seorang pendekar itu harus memegang kata-katanya. Lisan itu lebih tajam daripada belati. Berkat lisan mereka, nama perguruan ini bisa hancur."


 

Ketua perguruan tersebut kemudian memandang tetua yang tadi sempat menantang Ranubaya, "Wignyo, apakah kau masih berniat melawan pendekar muda ini?"


 

Tetua yang bernama Wignyo tersebut terdiam. Dia dalam posisi dilema, Kalau masih mau melawan dan kalah, dia akan malu. Kalau dia tidak melawan juga akan malu. Akhirnya dia memilih untuk melawan.


 

Aku akan melawannya, Ketua!"


 

Ranubaya tersenyum. "Penawaranku masih tetap sama seperti tadi. Kau pilih yang mana?"


 

"Aku pilih yang kedua. Aku yang akan menyerangmu!"


 

"Baiklah, Silahkan menyerang!" 


 

Wignyo mengalirkan tenaga dalam di kaki dan tangannya untuk mempercepat gerakannya. Dalam satu tarikan napas dia langsung menyerang Ranubaya.


 

Ranubaya menaruh kedua tangannya dibelakang tubuhnya. Secepat apapun Wingnyo menyerang, dia bisa menghindar dengan mudah dan posisi tangannya tetap di belakang.


 

"Enam...!" Sebuah tendangan Ranubaya menghantam telak kening Wignyo hingha membuat salah satu tetua Perguruan Elang Hitam itu terpelanting jatuh.


 

Ketua Perguruan Elang Hitam hanya bisa mengurut keningnya. Hari ini, nama Perguruan Elang Hitam telah jatuh oleh seorang pemuda. 


 

Sanjaya bahkan tidak berani untuk mengangkat wajahnya karena takut dan juga malu.


 

Dengarkan kalian semua yang ada disini! Mempelajari ilmu kanuragan itu bukan untuk gagah-gagahan, bukan pula untuk menindas yang lemah, apalagi meremehkan orang lain!" ucap Ranubaya dengan intonasi sedikit tinggi.


 

"Kalau kalian ingin tahu bagaimana rasanya ditindas dan dipermalukan orang lain, tanyalah mereka berdua. Dulu, Sanjaya ini dengan bantuan teman-temannya selalu ingin menghajarku setiap kami bertemu. Karena saat itu aku masih sangat lemah," Sanjaya yang ditunjuk Ranubaya semakin tertunduk malu.


 

"Begitu juga dengan tetua kalian ini, karena aku dulu divonisnya tidak bisa mempelajari ilmu kanuragan, dia dengan seenaknya meremehkanku. Sekarang buktinya apa? Mereka berdua yang harus merasakan sakit dan malu karena tingkah mereka sendiri,"

tambahnya.


 

Tidak ada yang berani bersuara ketika Ranubaya meluapkan sedikit emosinya. Bahkan ketua perguruan tersebut hanya diam, karena sadar diri kemampuannya masih kalah dibanding pemuda tersebut.


 

Ranubaya kemudian berjalan keluar dari perguruan tersebut. Tujuannya adalah mencari gerombolan perampok Macan Kumbang yang telah memperkosa ibunya dan juga membunuh kedua orang tuanya.


 

Sanjaya, Wignyo, kalian tidak pantas menjadi anggota perguruan ini! Sifat kalian jauh dari sifat pendekar. Mulai hari ini kalian berdua bukan anggota perguruan ini lagi!"


 

Sanjaya langsung berlari dan berlutut di kaki Ketua perguruan tersebut, "Guru, aku tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Kedua orang tuaku telah meninggal dunia. Kalau guru mengusirku, kemana aku harus pergi?"


 

"Sudah tahu begitu kenapa sifatmu tidak berubah? Aku akan memaafkanmu jika pendekar tadi mau memaafkanmu dan mengantarmu kesini. Ajak juga teman-temanmu yang kau ajak menghajar pendekar itu dulu!"


 

Sanjaya mengangguk lalu berlari mengejar Ranubaya yang sudah berada di luar dusun Karangkates. Teman-temannya yang lain pun berlari menyusul Sanjaya. Mereka tentunya juga tidak mau bila harus di usir dari perguruan tersebut.


 

Ranubaya terkejut ketika mendengar suara Sanjaya yang memanggilnya sambil berlari. Pikirannya bertanya-tanya hendak berbuat apa lagi pemuda itu. Dia pun kemudian berhenti.


 

Sanjaya langsung berlutut ketika sudah berada di depan Ranubaya. Teman-temannya pun berbuat serupa seperti yang dilakukan Sanjaya. 


 

"Ranu, aku minta maaf atas perlakuanku dulu.  Aku sadar apa yang telah aku lakukan itu salah. Aku terlalu bangga dengan apa yang kumiliki dan kuraih. Ternyata semua itu tidak ada artinya."


 

"Bangunlah, Sebenarnya aku sudah lama memaafkanmu. Tapi karena kamu tadi mengungkit luka lama, maka aku perlu menyadarkanmu."


 

Sanjaya kemudian bangkit dan berdiri, "Tapi... aku dan teman-temanku ini telah diusir dari perguruan. Kami tidak boleh kembali jika tidak bersamamu."


 

Melihat raut muka Sanjaya yang begitu berharap, Ranubaya pun mengiyakan pernintaan Sanjaya.


 

"Baiklah, ayo kita kesana!" jawab Ranubaya lalu berjalan bersama kelima pemuda tersebut.


 

Sesampainya di Perguruan Elang Hitam, Ranubaya lalu menemui ketua perguruan tersebut dan memintanya untuk tetap menampung Sanjaya dan teman-temannya.


 

"Pendekar, aku hanya ingin mereka sadar dari kesalahan yang telah mereka perbuat. Aku bersyukur dengan kejadian tadi yang akhirnya membuka mataku. Selama ini aku hanya mementingkan pengajaran ilmu kanuragan dan tidak menyelipkan ajaran tentang moralitas."


 

Ranubaya tersenyum simpul.


 

"Apakah pendekar ini juga dari dusun Karangasri seperti Sanjaya dan teman-temannya?"


 

"Benar, Ketua."


 

"Lalu pendekar ini belajar ilmu kanuragan darimana? Di dusun Karangasri kan tidak ada perguruan silat."


 

"Belajar darimana itu tidak penting, Ketua. Yang lebih penting itu, setelah kita belajar ilmu kanuragan, akan kita apakan ilmu yang kita miliki? Aku mau pamit dulu, Ketua. Ada hal yang harus aku lakukan!"


 

"Pendekar mau kemana?"


 

"Ke hutan Larangan!" jawab Ranubaya singkat lalu menunduk sebentar dan kemudian berjalan keluar.


 

"Bukankah hutan Larangan itu markas perampok Macan Kumbang? Kenapa dia kesana?" tanya Ketua perguruan tersebut dalam hati.


 

"Kalian dengar ucapan pendekar tadi!?" Lihatlah dia, Ilmu kanuragan begitu tinggi tapi tetap mempunyai sifat mulia dan budi pekerti yang luhur."


 

Sanjaya dan teman-temannya menunduk ketakutan. 


 

"Jadikan kejadian hari ini sebagai sebuah pelajaran buat kalian, bahwa di atas langit masih ada langit."


 

"Aku sadar dengan kesalahan yang telah aku lakukan selama ini. Aku akan belajar menjadi peribadi yang lebih baik lagi," ucap Sanjaya.


 

Sementara itu, Ranubaya yang sudah berada di luar dusun Karangasri, menunpang sebuah kereta kuda yang menuju dusun berikutnya yang jaraknya lumayan jauh.


 

Bab 17 Kampung Perampok 


 

Sesampainya di dusun berikutnya, Ranubaya turun dari kereta kuda yang ditumpanginya, "Terima kasih, Paman."


 

Ranubaya berjalan menyusuri jalanan yang membelah dusun kecil itu. Mungkin hanya ada sekitar 40 rumah saja yang terdapat di dusun tersebut.


 

Ranubaya meneruskan perjalanannya sambil bersiul riang. Untuk mengusir kebosanannya, dia kemudian mencoba untuk berkomunikasi dengan Geni, "Bangun pemalas, dari tadi kamu tidur saja! Sesekali nyangkul atau nimba air gitu. Tidur saja pekerjaanmu!"


 

"Aku memang pemalas. Malas mendengar suara pendekar gendeng," jawab Geni acuh tak acuh.


 

Ranubaya tertawa kecil mendengar jawaban teman seperjalanannya itu.


 

"Ah, begitu saja kamu marah. Hahaha!"


 

"Ucapanmu itu tidak masuk akal, masa iya aku kau suruh nyangkul atau nimba air. Dasar pendekar gendeng!"


 

"Memangnya kamu punya akal?"


 

"Jangan salah! Meski aku tak berotak, tapi aku masih punya akal. Daripada kaummu, semuanya punya otak dan akal, tapi kadang kelakuannya seperti tak punya otak dan tak punya akal," jawab Geni ketus.


 

"Asem, kamu nyindir aku?"


 

"Kata siapa? Tapi kalau kamu merasa ya syukurlah, hahaha!"


 

Setelah melewati dusun kedua seperti yang orang di kedai makan bilang, Ranubaya mendapati sebuah perempatan jalan. Dia pun kemudian mengambil jalur belok kiri untuk menuju hutan larangan.


 

Dia berjalan terus mengikuti jalanan kecil berbatu tersebut hingga sampai di sebuah hutan yang luas dan lebat. 


 

"Geni, kira-kira dimana markas para perampok itu?"


 

"Mana kutahu? Memangnya aku bapaknya mereka?"


 

Ranubaya tersenyum kecut mendengar jawaban teman seperjalanannya tersebut.


 

"Ah, sudahlah. Lebih baik aku berjalan terus daripada mendengar ocehanmu!"


 

"Bodo amat. Aku mau tidur lagi. Jangan menganggu!"


 

"Dasar kebo, tidur aja pekerjaanmu."


 

"Apa kau bilang!?" tanya Geni dengan sedikit keras.


 

"Aku bilang selamat bobok, Geni!" jawab Ranubaya sambil menahan tawanya.


 

Sesampainya di sebuah pohon besar, Ranubaya meloncat ke dahan yang cukup besar dan kuat untuk menahan beban tubuhnya. Matanya memandang dengan tajam ke setiap bagian hutan Larangan yang terjangkau oleh matanya.


 

Cukup lama dia menunggu hingga rasa bosan menyerangnya. Ranubaya kemudian bersandar di batang pohon tersebut dan kemudian dia pun tertidur sambil duduk hingga malam tiba.


 

Sayup-sayup terdengar pembicaraan tidak jauh dari pohon tempat Ranubaya tidur. Pemuda 17 tahun itupun terbangun dari tidurnya. Dia tergagap karena hari sudah gelap dan tidak ada penerangan sama sekali. Samar-samar Ranubaya melihat dua orang laki-laki berjalan dari dalam hutan menuju ke jalan utama. Satunya bertubuh tinggi dan satunya agak pendek


 

"Kabarnya ketua merencanakan untuk merampok di dusun Pangkatrejo besok. Apa benar berita itu?" tanya lelaki bertubuh jangkung


 

"Sepertinya benar. Teman-teman yang lain juga bilang begitu."


 

"Dusun Pangkatrejo kan dusun kecil, kenapa ketua malah memberi perintah merampok dusun tersebut?"


 

"Entahlah, kita sebagai anggota hanya bisa mengikuti perintah. Kamu tahu sendiri kalau ketua sangat kejam bila ada anggotanya ada yang berani membangkang," jawab lelaki yang bertubuh pendek.


 

Ranubaya mendengarkan pembicaraan dua orang tersebut dengan seksama, "Ternyata mereka anggota perampok tersebut. Mereka berjalan dari sana, berarti markas mereka berada di dalam hutan," batinnya.


 

Dua orang lelaki anggota perampok tersebut berjalan hingga berada di bawah pohon yang diduduki Ranubaya. Mereka berdua lalu berbelok ke arah kanan dan berjalan terus hingga tidak terlihat lagi.


 

Karena masih buta dengan lokasi di dalam hutan tersebut, Ranubaya berinisiatif menunggu dua orang lelaki tersebut. Dia berencana untuk mengikuti kedua orang tersebut dari jauh bila mereka kembali.


 

Hingga menjelang tengah malam, kedua orang tersebut telah kembali dan berjalan masuk ke dalam hutan.


 

Dengan ringan, Ranubaya mengendap-endap mengikuti langkah mereka berdua dari jauh. Sesekali dia bersembunyi di balik pohon ketika dua orang itu merasa diikuti.


 

Semakin jauh mereka berjalan, semakin lebat dan gelap situasi di dalam hutan tersebut. Ranubaya bahkan sampai menggunakan tenaga dalam yang dialirkan ke matanya agar bisa melihat.


 

"Kenapa mereka berdua bisa melihat dengan jelas di situasi segelap ini?" tanyanya dalam hati.


 

"Mereka sudah terbiasa lewat sini, bodoh!"


 

Geni tiba-tiba menyahuti pertanyaan Ranubaya.


 

"Kamu ini bikin kaget saja!"


 

Setelah berjalan cukup lama, mereka berdua sampai di sebuah bangunan atau lebih tepatnya perkampungan, karena saking banyaknya rumah di tempat itu.


 

Kedua orang laki-laki itu pun masuk ke dalam perkampungan tersebut. Ranubaya sengaja tidak mengikuti sampai masuk ke dalam karena ingin melihat situasi terlebih dahulu.


 

Ranubaya kemudian melompat ke sebuah pohon yang tinggi yang terletak tidak jauh dari perkampungan perampok tersebut. Dia memilih pohon yang paling lebat dan mempunyai dahan yang kuat agar bisa bertahan sampai pagi.


 

"Bagaimana menurutmu, Geni. Apakah Kakek Suro pernah mengalami situasi seperti ini?"


 

"Jangankan yang cuma begini, bahkan yang jauh lebih berat juga sering."


 

"Lalu apa yang dilakukan Kakek Suro waktu itu?"


 

"Dasar manusia tak punya akal, bertanya saja bisanya," gerutu Geni.


 

"Katanya kalau malu bertanya sesat di jalan. Daripada aku mati tragis ya mending bertanya padamu, hehehe."


 

"Kamu ini paling pintar membalikkan ucapan orang lain!"


 

"Huahahahaha, sejak kapan kamu jadi orang?"


 

"Sudah, sudah! Lebih baik fokus ke tujuanmu. Saat ini kamu belum punya pengalaman bertarung, kalau kamu memaksakan menyerang mereka, bisa-bisa kamu yang mati sendiri," ucap Geni menerangkan.


 

"Maka dari itu aku bertanya padamu, Tuanku Geni margeni! Lalu aku harus bagaimana?"


 

"Sebentar, biarkan authornya berpikir dulu. Nampaknya dia kebingungan, kikikik!"


 

Ranubaya terus mengamati perkampungan tersebut sambil berbicara dengan Geni di dalam pikirannya. Sesekali dia melihat beberapa orang melintas dari satu rumah ke rumah lain. 


 

"Ranu, apakah kamu berani menyelinap kesana? Maksudku biar lebih aman, kamu lewat atap saja!"


 

"Lewat atap?" Ranubaya mengernyitkan dahinya.


 

"Iya, gunakan ilmu meringankan tubuhmu!"


 

"Baiklah, aku akan mencobanya!"


 

Ranubaya kemudian mempersiapkan dirinya untuk melompat ke atap.


 

"Tapi kalau aku jatuh, bagaimana?"


 

"Kalau jatuh ya ke bawah. Masa jatuh ke atas!"jawab Geni asal-asalan.


 

"Benar juga katamu, dasar siluman gendeng," 


 

Ranubaya lalu melompat ke bawah dan langsung berlari dengan ajian Saipi angin. Dia kemudian dengan bertumpu pada gapura masuk perkampungan tersebut, meloncat tinggi ke atap salah satu rumah.


 

Hampir saja Ranubaya terpeleset ketika mendarat di atas atap. Untungnya dia bisa menyeimbangkan dirinya, sehingga bisa duduk berlutut dengan sempurna.


 

"Carilah rumah yang paling besar. Biasanya pemimpin itu tempatnya paling besar dan mewah!"


 

Ranubaya kemudian melihat atap yang paling tinggi dan menonjol. Dia menduga kalau atapitu adalah atap rumah pemimpin perampok. 


 

Setelah bisa menyeimbangkan tubuhnya di atas atap, Ranubaya berlari dengan begitu ringan. Dia lalu melompat dari atap satu ke atap yang lain hingga sampai di atap rumah paling besar dan mewah.


 

"Hei siapa itu di atas!?"


 

Salah seorang perampok sekilas melihat gerakan Ranubaya yang melompat ke atas atap rumah yang paling besar.



 

Bab 18 Perampok yang Dirampok


 

"Waduh, mati aku! Kita ketahuan, Geni," ucap Ranubaya.


 

"Kok kita? Kan cuma kamu yang kelihatan," sahut Geni.


 

"Oh, Iya. Aku lupa kalau kamu siluman. Lalu kita harus bagaimana?"


 

"Berpikirlah, Ranu. Jangan selalu bertanya padaku! Ini baru masalah kecil yang kau hadapi. Nanti akan banyak masalah besar yang menghadang."


 

Ranubaya kemudian mulai menghitung kemungkinan berapa persen dia akan selamat, jika bertarung secara terbuka. Tapi kalau melarikan diri, pasti mereka akan mengejarnya. Meskipun bisa ajian Saipi Angin, tapi di malam yang gelap seperti ini bisa-bisa dia menabrak pohon.


 

"Kita hadapi mereka, Geni. Aku tidak akan mundur sejengkalpun."


 

"Hei siapa diatas, cepat turun atau kami paksa turun dan kami bunuh!" suara keras salah satu perampok tersebut akhirnya mengundang anggota perampok yang lain.


 

Ranubaya kemudian berdiri.

"Jangan bunuh, Paman. Aku hanya mencari layanganku. Sepertinya tadi jatuh disini."


 

Ranubaya lalu berpura-pura turun dengan pelan dan takut terjatuh, "Paman, bisa tolong ambilkan tangga?"


 

"Enak saja menyuruh orang! Bisa naik ya harus bisa turun sendiri. Meloncatlah!


 

Ranubaya kemudian meloncat dan pura-pura terkilir.


 

"Aduh... sakit! Kakiku terkilir, disini ada dukun pijat urat apa tidak, Paman?"


 

"Tidak ada dukun pijat disini. Yang ada tukang jagal semua! Apa yang kau lakukan di atas?"


 

"Aku mencari layanganku, Paman. Sepertinya tadi jatuhnya disini."


 

"Bohong! Mana mungkin bermain layangan malam-malam. Kau pasti mau memata-matai kami!"


 

"Bersiaplah, Geni. Mereka tidak bisa diajak musyawarah."


 

"Kamu yang bodoh! Bikin alasan nyari layangan malam-malam," sahut Geni.


 

"Kenapa kamu diam? Kamu pasti mata-mata ya? Jawab!"


 

Semakin banyak anggota perampok yang datang mengerumuni Ranubaya. Sambil menenteng berbagai senjata, mereka memandang Ranubaya dengan tatapan membunuh.


 

Ranubaya kembali menghitung kemungkinan untuk lolos. Melawan ratusan orang bukan suatu hal yang gampang buatnya. Apalagi dia baru pertama kali mengalami kejadian seperti ini.


 

Karena Ranubaya tak kunjung menjawab, Salah satu perampok memberi perintah untuk membunuhnya.


 

"Bunuh dia! jangan sampai lolos!"


 

Belasan orang langsung bergerak maju dan mengayunkan senjatanya ke tubuh Ranubaya. 

Karena tidak bisa lari ataupun berkelit dalam keadaan terkepung seperti itu, Ranubaya terpaksa mencabut Pedang Segoro Geni yang tergantung di punggungnya.


 

Dengan gerakan cepat Ranubaya berkelit dan memutar tubuhnya sambil menyabetkan pedangnya.


 

"Geni...!" Ranubaya berteriak dengan keras.


 

Seketika keluarlah semburan api yang panas dan langsung membakar para perampok yang berada di dekatnya. 20 orang lebih langsung terbakar tubuhnya. mereka melolong merasakan sakit dan panas bersamaan.


 

"Hati-hati...! Dia bukan orang sembarangan!"


 

Mereka yang tadinya mengerubungi Ranubaya dalam jarak dekat akhirnya sedikit menjauh. Tentunya tidak ada yang berani mati maju terlebih dahulu, karena takut terbakar seperti teman-teman mereka yang sudah mati tersambar api yang keluar dari pedang pemuda yang sudah menyusup ke markas mereka.


 

Hal itu dimanfaatkan Ranubaya untuk bergerak sedikit demi sedikit mendekati gapura pintu masuk ke markas perampok tersebut.


 

"Bunuh dia atau kalian yang akan ku bunuh!"

Teriak seorang lelaki bertubuh tinggi besar. 


 

Nampaknya lelaki bertubuh tinggi besar itu adalah pemimpin gerombolan perampok tersebut. Itu terbukti ucapannya langsung dituruti oleh para anggotanya.


 

"Setidaknya kurangilah separuh jumlah mereka dulu dengan apiku, Ranu! Setelahnya kau bisa lari atau menyerang mereka."


 

Ranubaya kembali melakukan beberapa kali  putaran sambil menyabetkan pedangnya. Kobaran api yang keluar dari Pedang Segoro Geni menyambar setiap anggota perampok yang berusaha mendekatinya.


 

Sudah lebih dari 40 orang anggota perampok yang terbakar akibat mereka berani mendekati Ranubaya. Suara lengkingan kematian pun terus terdengar.


 

Tubuh orang terbakar yang berlarian membuat anggota perampok yang mengepung Ranubaya menjadi buyar. Hal tersebut langsung dimanfaatkan Ranubaya untuk berlari secepat mungkin keluar dari markas perampok tersebut dan kemudian melesat ke atas pohon yang tinggi untuk bersembunyi.


 

"Selamat... selamat!" batin Ranubaya.


 

"Terus kejar dan cari dia sampai ketemu! Jangan sampai markas kita ketahuan orang lain!" Pemimpin rampok itu terus memberi perintah kepada semua anggotanya untuk menyebar mencari keberadaan pemuda yang telah membuat kacau markas mereka.


 

Tanpa sadar, pemimpin rampok tersebut berada sendirian saja di depan markasnya.. Kesempatan itu tidak di sia-siakan oleh Ranubaya. Dia lalu melompat dari atas pohon dan mendekati pemimpin rampok Macan Kumbang.


 

"Ternyata kau bodoh sekali! Kau beri perintah kepada anak buahmu untuk mencariku, sedangkan kau sendirian disini."


 

"Kau... bagaimana kau masih ada disini?"


 

"Tidak perlu banyak bicara! Aku disini ingin menuntut balas atas kematian kedua orang tuaku yang kalian bunuh tiga tahun lalu."


 

Pemimpin rampok Macan Kumbang celingukan mencari anak buahnya yang mungkin saja masih ada di markasnya.


 

"Mau minta bantuan? Jangan harap kau bisa lolos dari kematianmu dini hari ini!"


 

"Bedebah...! Kau kira aku takut padamu?!"


 

"Mukamu memang tidak menunjukkan ketakutanmu. Tapi lihatlah kakimu yang gemetar seperti orang yang kebelet pipis!"


 

Pemimpin rampok tersebut kemudian mencabut pedangnya, "Mati saja kau!" 


 

"Enak saja nyuruh aku mati, kau yang harus mati saat ini juga!" ucap Ranubaya sambil menghindari tebasan pedang yang mengarah ke lehernya. 


 

Ranubaya tidak ingin berlama-lama menghabisi pemimpin rampok tersebut. Dia sedikit kuatir jika anggota perampok Macan Kumbang sampai datang kembali.


 

Dengan kecepatannya, Ranubaya berhasil membuat lelaki tinggi besar tersebut terdesak meski dia menyerang dengan tangan kosong.


 

Dalam satu gebrakan berikutnya, Ranubaya berhasil menyarangkan tendangannya tepat mengenai kantong menyan lelaki tersebut dengan telak.


 

Pemimpin rampok tersebut berguling-guling di tanah dengan rasa sakit yang luar biasa ketika biji salak yang ada di pangkal pahanya serasa pecah. 


 

"Bagaimana rasanya jika sudah dekat dengan kematian?" tanya Ranubaya sambil duduk jongkok di samping lelaki tersebut.


 

Lelaki tersebut terus mengerang kesakitan sambil memegangi pangkal pahanya.


 

"Karena senjatamu sudah tidak berfungsi lagi, maka percuma saja bila kau tetap hidup!"


 

Ranubaya lalu memegang kepala pemimpin rampok tersebut dengan tangan kanannya dan kemudian mengongkeknya hingga terdengar suara leher yang patah.


 

Lelaki tersebut pun mati mengenaskan dengan mata membelalak lebar sambil tetap tangannya berada di pangkal pahanya.


 

Ranubaya kemudian memandang ke sekeliling. Setelah dirasanya aman, Dia lalu kembali memasuki markas perampok tersebut menuju rumah lelaki yang baru saja dibunuhnya.


 

Sesampainya dia di depan rumah besar tersebut, Ranubaya langsung masuk dan mencari barang berharga yang bisa dibawa.


 

Setelah beberapa saat mencari, dia menemukan dua peti kecil berisi koin emas dan perak yang tersimpan di bawah tempat tidur. Tanpa pikir panjang Ranubaya langsung membawanya keluar meski lumayan berat bebannya. 


 

Sesampainya di luar rumah, Dia celingukan untuk mencari sesuatu. hingga tatapan matanya tertuju kepada sebuah kandang kuda tidak jauh dari tempatnya berdiri.


 

Dengan sedkit berlari kecil, Ranubaya kenudian mengambil seekor kuda dan mengikat dua buah peti yang dibawanya. di atas punggung kuda tersebut. 


 

Bab 19 Perjanjian Darah 


 

"Geni, aku akan membakar rumah-rumah itu agar tidak dijadikan markas mereka lagi," ujar Ranubaya. 


 

Setelah mengikat kudanya di sebuah tonggak kayu yang berada di gapura masuk, pemuda tersebut mencabut pedangnya dan berlari cepat mencapai rumah paling ujung.


 

Berkali-kali dia menyabetkan pedangnya dan membakar rumah-rumah tersebut dengan semburan kobaran api yang keluar dari bilah Pedang Segoro Geni.


 

Kebakaran hebat pun terjadi. Gelapnya malam itu menjadi terang merah membara. Ranubaya yang sudah berada di samping kudanya langsung keluar dari markas para perampok Macan Kumbang.


 

 Ranubaya menuntun kuda tersebut berjalan menembus hutan menuju jalanan tempatnya awal tadi mengintai.


 

"Kenapa kuda itu kau tuntun saja?" tanya Geni di sela-sela perjalanan.


 

"Hehehe... aku lupa kalau tidak bisa naik kuda," jawab Ranubaya sambil terkekeh kecil.


 

"Eladalah... dasar pendekar somplak! Sekarang kau terlihat seperti orang bodoh, membawa kuda tapi hanya dituntun saja tidak dinaiki."


 

Ranubaya terkekeh dalam hati mendengar sebutan baru yang disematkan Geni kepadanya. Sambil terus mengamati sekelilingnya, pemuda itu berjalan terus hingga sampai di jalan utama di luar hutan Larangan.


 

Sementara itu, para perampok yang terbagi menjadi tiga kelompok untuk mencari Ranubaya, dibuat terkejut karena melihat cahaya terang membara yang sumbernya berasal dari markas mereka. 


 

Mereka kemudian berlari secepat yang mereka bisa dan kembali menuju ke markas tempat persembunyian selama ini.


 

Begitu sampai di dekat markas mereka, anggota para perampok Macan Kumbang tersebut langsung lemas melihat markas mereka sudah terbakar dengan hebat.


 

Seseorang terlihat berjalan mendekati sesosok tubuh yang terlentang di depan gapura pintu masuk. Sesaat kemudian orang tersebut pun berteriak, "Pemimpin kita sudah meninggal...! Ketua Jarwo sudah meninggal...!"


 

Mendengar teriakan itu, hampir semua anggota perampok yang berkerumun di luar markas mendekati jasad yang pemimpin perampok yang sudah membujur tak bernyawa tersebut.


 

Antara sedih dan senang tergambar di wajah mereka. Sedih karena tempat tinggal mereka sudah terbakar hebat, dan senang karena ketua mereka yang terkenal kejam kepada anak buah sudah meninggal.


 

Ranubaya terus menuntun kudanya hingga dia sampai di perempatan. Dia lalu belok ke kiri dengan harapan untuk menemukan dusun terdekat. Fisiknya sudah sangat lelah karena konflik yang tadi terjadi. Ingin dia mencari penginapan atau sekedar tempat untuk merebahkan diri agar tubuhnya bisa segar kembali.


 

"Ada yang masih banyak harus kau pelajari lagi, Ranu. Nanti aku akan mengajarimu agar dampak jurus Pedang Segoro Geni lebih hebat lagi," ucap Geni.


 

"Namun , kamu harus melakukan perjanjian darah denganku." lanjutnya.


 

"Perjanjian darah lagi... sudah aku bilang, aku tidak ingin menjadi tuanmu, Geni!" sahut Ranu.


 

"Tujuannya bukan  untuk agar kau menjadi tuanku, tapi agar kau bisa memaksimalkan kekuatanku. Tanpa perjanjian darah, selamanya aku akan menjadi pusaka tingkat rendah jika kau gunakan."


 

"Jadi harus begitu?"


 

"Apa kau ingat yang tuan suro katakan tentang kau harus mengumpulkan 3 pusaka lain? Tidak mudah mendapatkan ketiga pusaka itu jika kemampuanmu masih seperti sekarang. Tenaga dalam Dewa Api juga tidak bisa selalu kau gunakan, karena ibaratnya hanya perlu kau gunakan disaat genting saja. Jurus-jurus dalam kitab yang kau bawa itu juga membutuhkan tenaga dalam yang besar."


 

"Kenapa kakek tidak bilang kepadaku kemarin-kemarin?"


 

"Karena kakekmu tidak mengerti, Ranu. Aku sudah lama mengikuti tuan Dewangga. Jadi aku tahu betul bagaimana beratnya menjadi penerus Pendekar Dewa Api."


 

Ranubaya kemudian berhenti dan kemudian bersandar di bawah sebuah pohon besar setelah mengikat kudanya. Dia berencana untuk beristirahat disitu sampai pagi tiba.


 

"Baiklah, Geni. Kita lakukan perjanjian darah. Apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanya Ranubaya.


 

"Teteskan darahmu di bilah Pedang Segoro Geni dan biarkan bereaksi dulu."


 

Ranubaya mengernyitkan dahinya, ""Bagaimana aku mengeluarkan darahku?"


 

"Buka mulut kudamu dan masukkan jarimu digiginya lalu pukul kepalanya. Kuda itu pasti akan menggigit jarimu!"


 

"Yang ada jariku bakal putus, Geni!!!" 


 

"Masa hal remeh seperti itu saja kau bertanya padaku! Menyesal aku mengikuti pendekar bodoh, gendeng, somplak sepertimu," dengus Geni kesal.


 

"Hehehe... begitu saja kau marah, Geni. Seperti emak-emak lagi dapat saja kau!" 


 

"Bodo amat!"


 

Sambil terkekeh, Ranubaya lalu menggigit ujung jari kelingkingnya sedikit dan meneteskan darah beberapa tetes ke bilah Pedang Segoro Geni.


 

Sesaat kemudian pedang yang dipegang Ranubaya tersebut memunculkan reaksinya. Kobaran api berwarna hitam muncul dari bilahnya dan berkobar hebat. Ranubaya bahkan sampai menjauhkan pedang tersebut dari wajahnya karena merasakan panas yang amat sangat.


 

Tak lama kemudian, Api hitam tersebut melesat masuk ke dalam tubuh Ranubaya dan membuat tubuh pemuda tersebut bergetar hebat. 


 

"Jangan dilawan! Biarkan Api hitam itu mengalir di tubuhmu."


 

Ranubaya kemudian bersila dan memfokuskan pikirannya. Dia merasakan efek yang sama seperti ketika mempelajari tenaga dalam dari kakeknya.


 

Untuk beberapa saat, pemuda itu mengejan hebat dan kemudian jatuh telentang namun tidak pingsan. Dia hanya merasa begitu lelah setelah api hitam itu menyusuri setiap bagian tubuhnya.


 

"Sekarang tidurlah dahulu sambil menunggu pagi! Besok akan kujelaskan apa api hitam itu."


 

***


 

Hampir 3 jam Ranubaya tertidur karena saking lelahnya. Dia kemudian terbangun setelah hangatnya matahari pagi yang terbit menyapa wajahnya. 


 

Ranubaya meregangkan kedua tangannya sambil menguap lebar seperti kudanil yang lagi membuka mulutnya.


 

"Pagi yang sangat cerah," gumamnya pelan. Dia lalu bangkit dan menuju kudanya yang masih terikat di pohon. 


 

Ranubaya berinisiatif untuk belajar menaiki kuda jika sampai di kampung terdekat. Dia beranggapan jika belajar sendiri tanpa tekhnik, bisa-bisa tulang-tulangnya akan patah jika terjatuh dari kuda.


 

Ranubaya kemudian menuntun kudanya untuk meneruskan perjalanannya. 


 

Di sepanjang jalan, orang-orang yang berpapasan dengannya memandangnya dengan heran, namun Ranubaya memasang muka cuek. Dia tak peduli dengan tatapan orang-orang yang menganggapnya aneh.


 

Sesampainya di sebuah dusun yang lumayan besar, Ranubaya membaca tulisan yang berada di gapura masuk dusun tersebut, "Dusun Pringsewu."


 

Ranubaya terkekeh membaca nama dusun tersebut karena dia tidak melihat satu pun pohon bambu yang tumbuh di dusun tersebut.


 

Dia lalu berjalan dan mencari kedai makan untuk mengisi perutnya yang keroncongan karena hampir sehari semalam dia belum makan. Tatapan matanya melihat sebuah kedai makan yang ramai pengunjung keluar masuk. "Pasti makanannya enak sampai sebegitu ramainya.," ucapnya dalam hati.


 

Ranubaya kemudian mengikat tali kudanya setelah sampai dan memasuki kedai makan yang hampir semua mejanya terisi penuh tersebut. 


 

Setelah memesan makanan, dia lalu duduk di sebuah meja disamping dua orang pria dan wanita setengah baya yang memakai baju seperti pendekar. Di punggung kedua orang itu, tergantung sebilah pedang yang mempunyai gagang berbentuk seperti kepala  ular dan berwarna hijau.


 

Bab 20 Tubuh Murni 


 

Pria dan wanita tersebut melirikkan matanya sebentar ketika Ranubaya duduk di sebelah meja mereka. 


 

Ranubaya duduk dengan santainya menunggu makanannya datang sambil bersiul kecil. Tatapan matanya menyapu seluruh bagian dalam kedai tersebut yang begitu ramai. Dia melihat ada belasan orang yang memakai baju pendekar juga seperti sepasang pria dan wanita yang duduk di sebelahnya.


 

Tidak lama kemudian, masuklah seorang lelaki tua dengan anak kecil perempuan berusia sekitar 10 tahun. Lelaki tua tersebut memandang ke sekeliling untuk mencari meja yang kosong.


 

Lelaki tua itu lalu mengajak anak kecil tersebut menuju meja Ranubaya yang masih ada 3 kursi yang belum ditempati.


 

"Permisi, Nak. Bolehkah kami duduk disini?"

ucapnya dengan sopan.


 

"Silahkan, Kek. Kebetulan juga aku sendirian dari tadi. Kursi itu belum ada yang menempati."


 

Lelaki tua itu kemudian mengajak anak kecil tersebut duduk di kursi yang kosong.


 

"Adik ini cucunya Kakek?"


 

"Iya, Nak. Ini cucu kakek. Namanya Dewi," jawab lelaki tua itu.


 

Ranubaya memandang gadis kecil itu sambil tersenyum. 


 

Beberapa saat kemudian, makanan yang dipesan Ranubaya sudah terhidang di meja. Ranubaya tidak langsung makan karena dia menunggu makanan yang dipesan lelaki tua tersebut matang dan mereka bisa makan bersama. 


 

Sambil menunggu datangnya pesanan lelaki tua tersebut, Ranubaya mengajak lelaki tua tersebut mengobrol.


 

"Itu makanannya tidak dimakan, Nak?"


 

"Nanti saja, Kek. Nunggu makanan Kakek datang dulu. Tidak sopan rasanya jika aku makan sendirian. Nanti kita makan bersama-sama."


 

"Jarang sekali ada anak muda yang sepertimu saat ini, Nak," ucap lelaki tua tersebut tersenyum kagum melihat tatakarama yang ditunjukkan Ranubaya.


 

"Kakek warga dusun ini?"


 

Lelaki tua tersebut memandang Ranubaya dengan sedikit curiga. Namun dia tidak melihat ada niat buruk di mata Ranubaya.


 

"Kakek dari jauh, Nak. Mau mengantarkan cucuku ini kepada orang tuanya," jawabnya sambil tersenyum.


 

"Aku juga dari jauh, Kek. Kampungku dirampok dan kedua orang tuaku dibunuh para perampok itu. Tapi sudah lama, sekitar tiga tahun yang lalu," sahut Ranubaya.


 

Tanpa disadari Ranubaya, seluruh pendekar yang berada di kedai makan tersebut sesekali melirik ke arah mejanya. Begitu pula dengan dua orang pria dan wanita yang duduk di sebelah meja yang ditempatinya.


 

Setelah makanan yang dipesan lelaki tersebut berada di meja, mereka bertiga pun makan bersama-sama hingga selesai. 


 

Ranubaya kemudian memanggil pelayan kedai makan tersebut dan membayar semua makanan yang dimakan mereka bertiga.


 

Lelaki tua tersebut sedikit kaget karena makananya dibayari Ranubaya. Dia hendak memberi uang kepada Ranubaya namun ditolak dengan halus oleh pemuda tersebut.


 

Lelaki tua tersebut kemudian pamit untuk melanjutkan perjalanan dan disambut Ranubaya dengan tersenyum mengiyakan, "Silahkan, Kek."


 

Setelah lelaki tua dan cucunya tersebut keluar dari kedai makan, Satu persatu pengunjung kedai makan tersebut menyusul keluar. Sedangkan Ranubaya tetap berada di kedai tersebut untuk beristirahat sejenak. Dia memutuskan tidak jadi belajar berkuda karena dia merasa geraknya akan semakin terhambat jika memakai kuda.


 

Ranubaya kemudian kelaur dari kedai tersebut dan membagikan satu peti koin perak yang dibawanya kepada penduduk dusun tersebut yang hidupnya serba kekurangan. Sedangkan satu peti kecil yang berisi koin emas dia bungkus memakai kain dan menggendongnya di belakang punggungnya.


 

Dia akan membagikan koin-koin emas itu di sepanjang perjalanannya nanti. Pemuda itu tidak berniat menguasai harta yang dibawanya, sebab dia merasa harta tersebut bukan haknya. Dan juga dia mengambilnya dari perampok pula.


 

Ranubaya bisa merasakan penderitaan yang dirasakan kaum fakir miskin tersebut karena dulu dia juga pernah merasakan hal yang sama. Sampai berumur 12 tahun dia dan keluarganya hidup dalam serba kekurangan.


 

Setelah membagikan semua koin perak yang dibawanya, Ranubaya pun kemudian melanjutkan perjalanannya.


 

**


 

Tidak jauh dari dusun Pringsewu. Empat orang lelaki terlihat sedang menghadang lelaki tua tersebut dan cucunya. Dewi terlihat berlindung di belakang kakeknya dengan wajah ketakutan.


 

"Serahkan gadis kecil itu baik-baik, Resi Winara! Jangan sampai kami berbuat kejam!"

Bentak lelaki bertubuh cebol berwajah seram yang memegang tongkat berkepala tengkorak manusia asli. Di belakangnya berdiri 3 orang lelaki yang juga tidak kalah sangar wajahnya. Mereka bertiga adalah pengikut lelaki bertubuh cebol tersebut.


 

"Hahahaha... Enak saja kau bicara, Datuk sesat. Apa hanya kau saja yang menginginkan tubuh murni gadis itu?" Sahut lelaki yang baru datang bersama seorang wanita. Di punggung mereka berdua tergantung pedang bergagang kepala ular berwarna hijau. Lelaki dan perempuan  tersebut adalah yang tadi duduk di samping meja Ranubaya.


 

Tidak lama kemudian, Seorang lelaki bertubuh tinggi besar dan brewok tebal yang memenuhi wajahnya pun juga hadir di tempat tersebut.


 

"Datuk Sesat, Sepasang Ular Beracun, Apa hanya kalian yang menginginkan tubuh murni gadis itu? Aku juga ingin tubuhnya untuk meningkatkan ilmu kanuraganku... Hahaha!"


 

"Hadapi kami dulu kalau kau menginginkan gadis itu, Iblis Hitam! Kalau kau bisa mengalahkan kami, kau boleh membawanya!" bentak Datuk Sesat.


 

"Kalian kira aku takut pada kalian, Datuk sesat! Dalam kamusku tidak ada rasa takut sama sekali. Percuma aku berjuluk Iblis Hitam jika masih mempunyai rasa takut!"


 

Resi Winara memandangi perseteruan diantara mereka semua. Dia berpikir untuk mencari cara menyelamatkan diri, "Jangan takut, Dewi. Kakek akan mencari cara menyelamatkan kita," ucapnya.


 

"Kalian semua, dengarkanlah!" teriak Resi Winara.


 

Semua orang yang menginginkan gadis kecil itu menolehkan pandangannya kepada Resi Winara.


 

 "Aku akan menyerahkan gadis ini kepada salah satu diantara kalian yang mempunyai ilmu kanuragan paling tinggi. Dan itu artinya kalian harus memperebutkannya!"


 

"Bagus, Resi Winara. Aku setuju dengan usulmu. Akan kubunuh mereka, lalu akan kumiliki tubuh murni gadis itu, hahaha!" Iblis Hitam tertawa senang karena dia merasa meiliki ilmu kanuragan paling tinggi diantara mereka.


 

"Kau jangan sombong dulu, Iblis Hitam. Melawan tiga anak buahku ini saja kau belum tentu menang!" sahut Datuk Sesat.


 

"Kalian bertiga serang dia!" perintah Datuk Sesat kepada tiga orang anak buahnya.


 

"Aku akan melawan kalian berdua!' lanjut Datuk Sesat memandang Sepasang Ular Beracun. 


 

"Majulah dan akan kucincang tubuhmu Datuk Cebol!"


 

"Bedebah! Mati kau Woto" teriak Datuk Sesat emosi karena dibilang cebol. Selama ini, orang yang memanggilnya cebol selalu berakhir dengan kematian, karena cebol adalah kata yang paling dibencinya.


 

Datuk Sesat kemudian melesat menyerang Woto, dengan cepat menggunakan tongkat berkepala tengkorak manusia miliknya.


 

"Ayo kita habisi dia Marni!" ucap Woto kepada pasangannya.


 

"Baik, Kakang Woto." sahut Marni.


 

Sepasang Ular Beracun tersebut kemudian meladeni serangan Datuk Sesat. Sedangkan Tiga orang anak buah Datuk Sesat meladeni serangan Iblis hitam.


 

Sementara itu, Ranubaya yang sudah berada di luar dusun Pringsewu terus berjalan sambil melihat pertarungan tersebut. 














 

 





 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Bab 21-25 LEGENDA PEDANG API
1
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan