Bab 11-15 LEGENDA PEDANG API

0
0
Deskripsi

Bab 11 Tenaga Dalam Dewa Api


 

Beberapa saat kemudian, mereka berdua sampai di suatu tempat yang berbentuk seperti cekungan namun sangat luas. Di dalam cekungan tersebut, terlihat lava yang membara dan mengeluarkan asap yang mengepul tebal terus menerus.


 

"Kau lihat batu yang berada di sana!" tunjuk Surojoyo.


 

Ranubaya melihat sebuah batu yang berbentuk lingkaran namun tidak besar dan hanya cukup untuk berdiri saja. 


 

"Ada apa dengan batu itu, Kakek?"


 

"Kamu kesana dan makan batu itu!" ucap Surojoyo dengan sedikit kesal.


 

"Baiklah, Kek. Aku akan meloncat kesana dan mengambil batu itu," jawab Ranubaya dengan polos. Dia lalu bersiap untuk meloncat namun langsung dicegah Surojoyo.


 

"Kau ini dibilang bodoh juga tidak. Dibilang pintar tapi bodohnya luar biasa. Apa kau mau gigimu rompal semua karena memakan batu itu?"


 

Ranubaya terkekeh pelan. "Siapa juga yang mau memakan batu itu? Aku hanya mau mengambil batu itu untuk Kakek. Siapa tahu Kakek lagi mengidam."


 

"Oooh... Bocah semprul... Sontoloyo...! Sekarang bukan waktunya bercanda!"


 

"Kan Kakek dulu yang mengajak bercanda, bagaimana sih!" Ranubaya membalas dengan cuek.


 

"Duh Gusti kang moho agung, kenapa Pendekar Dewa Api bisa memilih bocah semprul seperti ini sebagai penerusnya," gumam Surojoyo sambil menepuk jidatnya.


 

Surojoyo sendiri tentunya sangat heran dengan pilihan Pendekar Dewa Api yang memilih Ranubaya sebagai penerusnya. Sebab mereka berdua memiliki dua sifat yang jauh berbeda. Pendekar Dewa Api memiliki sifat yang tenang dan berwibawa. Sedangkan Ranubaya sifatnya konyol dan semaunya sendiri.


 

Ranubaya tertawa kecil sambil menutup mulutnya ketika mendengar Kakeknya menggerutu.


 

"Sudah, waktunya serius! Apakah kamu sudah menghapalkan cara membangkitkan tenaga dalam Dewa Api?"


 

Ranubaya mengangguk pasti.


 

"Meloncatlah dan berdiri di batu itu. Lalu praktekkan apa saja tahapan untuk membangkitkan tenaga dalam Dewa Api."


 

Ranubaya terkejut luar biasa. Dia tidak menyangka jika untuk membangkitkan tenaga dalam Dewa Api saja sampai harus bertaruh nyawa. Dia bergidik membayangkan jika sampai terjatuh ke dalam lava yang mendidih itu.


 

"Kalau aku sampai terjatuh bagaimana, Kek?"


 

"Ya... kau akan menjadi seperti bebek hangus, hehehe." Surojoyo terkekeh melihat ekspresi muka yang ditunjukkan Ranubaya.


 

"Kalau kau tidak berani, berarti kau tidak pantas menjadi penerus pendekar legendaris tersebut," lanjutnya.


 

Merasa tertantang, Ranubaya mengangkat mukanya, "Siapa bilang aku takut! Kalau aku terjatuh ke bawah, arwahku akan menghantui Kakek seumur hidup, hahaha!"


 

Ranubaya kemudian menggunakan ajian Saipi Angin dan meloncat ke atas batu yang dikelilingi lava panas tersebut dengan ringannya.


 

Surojoyo menggelengkan kepalanya. Dia tidak bisa membayangkan kalau sebentar lagi akan ada pendekar besar yang muncul dan mempunyai sifat yang begitu konyol.


 

Ranubaya kemudian menyeimbangkan tubuhnya dan berkonsentrasi dengan penuh.

Sesaat kemudian dia menyingsingkan lengan kanannya dan menyilangkan pergelangan tangan kananya yang bergambar ular merah ke dadanya.


 

Untuk beberapa saat tidak ada perubahan apapun yang terjadi. Namun dalam setengah jam berikutnya, gambar ular merah melingkar yang berada di pergelangan tangan kanan Ranubaya, mengeluarkan sinar yang terang dan kemudian menjadi api yang membara dan seperti membakar seluruh tubuh pemuda tersebut.


 

Surojoyo yang melihat hal tersebut menjadi sedikit ngeri. Dia tidak menyangka proses untuk membangkitkan tenaga dalam Dewa Api akan semengerikan itu. 


 

"Apa bocah itu tidak matang jika dibakar seperti itu?"


 

Tubuh Ranubaya terus terbakar dengan hebat, namun yang dirasakannya seperti tidak terjadi apa-apa karena dia sedang dalam posisi berkonsentrasi penuh.


 

Di dalam konsentrasinya, Ranubaya melihat dirinya berada di sebuah kobaran api yang sangat hebat. Dia berusaha menerobos api tersebut untuk mengambil sebuah pedang yang bercahaya sangat terang. Namun anehnya, meski dalam posisi di dalam kobaran api, tubuh Ranubaya tidak terbakar sama sekali.


 

Sebelum dia mencapai pedang tersebut. Kemudian muncullah sebuah ular besar yang terbentuk dari Api. Ular api tersebut lalu memberikan serangan kepada Ranubaya. Dari mulutnya keluar kobaran api yang menyembur mengarah tubuhnya. Ranubaya berkelit menghindar ke samping, namun ekor ular tersebut menyambar dirinya.


 

Ranubaya terlempar jauh kebelakang namun segera bangkit kembali. Dari sudut bibirnya mulai keluar darah segar. Dia lalu berlari menuju pedang tersebut namun kobaran api kembali menghadangnya.


 

Dengan cepat Ranubaya meloncat tinggi ke atas untuk menghindari semburan tersebut. Lagi-lagi ekor ular api tersebut berhasil menyambar dirinya. Kembali dia terlempar jauh hingga keluar daru kobaran api yang mengelilingi pedang tersebut.


 

Surojoyo yang masih terus memperhatikan proses yang dilakukan Ranubaya sedikit khawatir. Dia melihat tubuh pemuda yang diselimuti api tersebut sedikit oleng dan bergerak gerak.


 

Ranubaya kemudian diam dan berpikir, "Aku tidak boleh kalah dari makhluk sialan itu!"

Dia kembali berlari menembus kobaran api tersebut namun lagi-lagi Ranubaya terlempar jauh.


 

Pemuda tanggung tersebut kemudian duduk lalu menyeka darah yang mengalir keluar dari sudut bibirnya. 


 

"Buang jauh ambisi yang bersarang di pikiranmu. Ambisi itulah yang akan mengganggu perjalananmu!"


 

Ranubaya mendengar suara seorang laki-laki di pikirannya. Dia lalu diam dan mencoba mengartikan arti suara tersebut.


 

Cukup lama Ranubaya memeras otaknya untuk mengerti apa yang dimaksud suara tersebut. Dia kemudian berdiri dan berjalan menuju kobaran api tersebut dengan begitu tenang.


 

Secara ajaib, api yang berkobar seperti tersibak oleh langkah kaki Ranubaya. Ular api besar yang tadi selalu menghadangnya pun kemudian menghilang masuk ke dalam pedang yang masih menancap di sebuah batu.


 

Ranubaya tersenyum tipis ketika sudah sampai di depan pedang tersebut. Dia lalu meraih gagangnya dan kemudian menariknya secara perlahan lalu mengangkatnya ke atas.


 

Tiba-tiba pedang tersebut menjadi butiran cahaya dan kemudian masuk ke dalam tubuhnya hingga membuatnya bergetar dengan hebat


 

Surojoyo terkesima melihat api yang menyelimuti tubuh Ranubaya telah menghilang dan masuk ke dalam tubuh pemuda tersebut. Dia sekarang sudah begitu yakin jika Ranubaya benar-benar menjadi pilihan Pendekar Dewa Api untuk menjadi penerusnya, terlepas dari sifatnya yang konyol.


 

Ranubaya kemudian membuka matanya dan tersenyum puas. Dia lalu meloncat ringam dan mendarat di samping tubuh Surojoyo.


 

Kau sudah berhasil, Ranu. Sekarang ayo kita kembali ke gua. Ada yang mau kakek bicarakan denganmu.


 

Dengan mengerahkan ajian Saipi Angin, mereka berdua melesat dengan kecepatan tinggi hingga sampai di pintu gua.


 

Kau sudah menguasai jurus yang Kakek berikan. Begitu juga dengan tenaga dalam Dewa Api. Sudah saatnya kau menjajal dunia persilatan yang keras di atas sana," ucap Surojoyo. 


 

Ranubaya mengangguk pelan. Sebenarnya dia tidak ingin berpisah dari Kakek angkatnya tersebut.


 

"Namun sebelum kau pergi, Kakek ingin memberimu sebuah pusaka untuk menemanimu berkelana, tapi ada syaratnya!"


 

"Syaratnya apa, Kakek?"


 

"Kau harus bisa menaklukkan makhluk yang menjadi penunggu pusaka tersebut! Apa kau sanggup?


 

Ranubaya mengangguk dengan pasti.


 

Bab 12 Pertarungan Melawan Makhluk Api 


 

"Sekarang beristirahatlah dahulu, kau pasti merasa lelah setelah menguasai Tenaga dalam Dewa Api,"


 

"Baik, Kek. Pertarungan melawan ular api itu benar-benar membuat tubuhku sakit semua."


 

"Ular api?"


 

"Kakek tidak tahu aku bertarung dengan ular api?"


 

"Mana Kakek tahu! Yang Kakek tahu tadi tubuhmu oleng bergerak-gerak seakan mau jatuh ke bawah."


 

"Oh Iya aku belum bercerita prosesnya tadi," Ranubaya terkekeh pelan. 


 

Ranubaya kemudian menceritakan proses bagaimana dia bisa menguasai tenaga dalam Dewa Api.


 

Surojoyo kemudian meraih tangan kanan Ranubaya dan melihat pergelangannya. Kedua mata mereka terbelalak lebar karena tato bergambar ular berwarna merah itu sudah menghilang. 


 

"Kemana menghilangnya, Kek?"


 

"Kok malah tanya Kakek? Yang punya tangan kan kamu!"


 

Ranubaya kembali terkekeh. "Benar juga ya! Kok bisa aku malah tanya Kakek."


 

"Bisa jadi... Karena kamu sudah menguasai tenaga dalam Dewa Api, maka gambar ular merah itu sudah menyatu di dalam tubuhmu."


 

Ranubaya mengangguk memahami ucapan Surojoyo.


 

Berarti, gambar ular merah itu adalah tenaga dalam Dewa Api itu sendiri. Apakah begitu Kek?" 


 

"Mana ku tahu! Kan tadi Kakek bilang, bisa jadi. Bisa jadi benar, bisa jadi salah."


 

Ranubaya mengelengkan kepalanya lalu berdiri meninggalkan Surojoyo yang melihatnya dengan terheran-heran.


 

"Bocah itu kesambet jin mana ya? Main ngelonyor saja tanpa pamit." gumam Surojoyo sambil menggaruk kepalanya.


 

Keesokan harinya. Surojoyo memenuhi janjinya mengajak Ranubaya menuju ke tempat Pedang Segoro Geni berada. 


 

Dengan kecepatan yang mereka berdua miliki, tidak butuh waktu lama mereka telah sampai di tempat dimana Pedang Segoro Geni menancap di sebuah batu.


 

"Itu pusaka yang Kakek maksud, Ranu. Namanya Pedang Segoro Geni. Namanya sesuai dengan nama jurus yang sudah Kakek berikan kepadamu."


 

Ranubaya mengangguk paham.


 

Surojoyo kemudian melompat ke atas batu tersebut dan mencabut Pedang Segoro Geni yang sudah menancap puluhan tahun di batu tersebut.


 

Dia lalu melompat kembali ke bawah dan menunjukkan pedang tersebut kepada Ranubaya.


 

Pemuda 17 tahun itu mengamati dengan seksama pedang tersebut. "Pedang ini kok pendek sekali ya, Kek?"


 

"Pendek gundulmu... ! Belum-belum kau sudah menghinaku, Bocah!"


 

Suara menggelegar tiba-tiba keluar berbarengan dengan munculnya makhluk penunggu pedang tersebut. Makhluk tersebut seperti manusia bertanduk dan  bertubuh tinggi besar namun terbentuk dari api


 

Ranubaya kaget tidak terkira. Dia langsung meloncat ke belakang tubuh Surojoyo yang tingginya hanya sepundaknya.


 

"Tolong, Kek. Ada hantu!"


 

"Hantu ususmu melintir!" Bentak makhluk tersebut.


 

"Lihat, tuan Suro. Apakah bocah gendeng seperti itu yang mau kau jadikan tuanku?!"


 

Surojoyo terkekeh, "Sabar, Geni. Anak Ini namanya Ranu. Dia gendeng hanya waktu-waktu tertentu saja."


 

"Kakek memanggil dia apa tadi? Geni? Jelek sekali namanya. Boleh aku ganti apa tidak Kek, namanya? Arnold, Alex atau Johan, biar keren," berondong Ranubaya.


 

Surojoyo hanya menggeleng sambil menepuk jidatnya. Baru kali ini dia menemui anak manusia yang sekonyol itu.


 

Makhluk yang dipanggil Geni oleh Surojoyo itu kemudian mengeluarkan kobaran api yang sangat besar, hingga membuat pohon disekitarnya langsung layu kepanasan.


 

"Kalo kau bisa mengalahkanku, Kau boleh memanggilku apa saja! Tapi kalau kau kalah, aku akan membakarmu!"


 

Ranubaya yang sudah mempunyai pengalaman sedikit bertarung dengan Ular Api kemudian maju hingga di depan makhluk itu.


 

"Baiklah, Mas Slamet. Aku memenuhi tantanganmu! Tapi kau jangan marah jika aku memanggilmu apa saja jika kau kalah!" mata Ranubaya menatap makhluk api bertanduk tersebut dengan tajam.


 

Surojoyo kembali dibuat menepuk jidatnya karena makhluk tersebut dipanggil Mas Slamet oleh Ranubaya. Dia tidak bisa membayangkan jika Ranubaya menjadi tuannya Geni, bisa-bisa pamor Geni sebagai salah satu diantara empat pusaka terkuat setelah Pedang Api, akan jatuh karena kekonyolan Ranubaya.


 

"Aku berjanji, Bocah gendeng! Tapi sebelum kau bisa mengolokku lagi, aku akan membakarmu terlebih dahulu!"


 

"Kakek mundur dulu... aku akan menggebuk bokong makhluk itu biar tidak gampang emosi!"


 

Surojoyo terkekeh lalu bergerak menjauh.


 

"Bersiaplah, Bocah gendeng! Kau boleh minta maaf sebelum aku membakarmu."


 

"Preeeeet...! Yang ada, aku yang akan menggebuk kepalamu itu biar tidak gampang emosi." 


 

Geni yang sudah kehilangan kesabarannya langsung menyambar Ranubaya dengan tangannya. Namun, serangan awal Geni bisa dihindari Ranubaya dengan mudah. 


 

"Ayo serang aku lagi, Mas Slamet!"


 

Geni semakin dibuat emosi karena serangan awalnya gagal. Dia lalu bergerak dengan begitu cepat sambil menyemburkan api dari tubuhnya. 


 

Ranubaya yang sadar jika api yang menyembur kepadanya itu bisa membakarnya, dia langsung melompat tinggi dan langsung memberikan serangan balik. Pukulan Ranubaya mengenai kepala Geni dengan telak. 


 

Geni hanya tertawa ketika pukulan Ranubaya mengenai kepalanya, "Hahaha, pukulanmu hanya seperti gigitan semut, Bocah gendeng. Serang lagi sepuasmu!"


 

Ranubaya kemudian berkelit ke samping menghindari tendangan Geni yang begitu cepat mengarah perutnya. Namun tanpa diduga, sebuah pukulan Geni mendarat mulus di punggung Ranubaya. 


 

Pemuda tersebut terpental ke depan hingga menabrak sebuah pohon. Untung saja dia masih sempat menahan pohon tersebut dengan tangannya. Jika tidak, maka muka dan dadanya bisa terlebih dahulu beradu dengan pohon besar. "Slamet... slamet... mukaku yang ganteng ini tidak sampai rusak," ucapnya sambil menahan rasa sakit di punggungnya.


 

Ranubaya kemudian membalikkan tubuhnya. Namun sebuah pukulan kembali dilepaskan Geni. Buru-buru dia meloncat ke samping hingga pukulan Geni menabrak pohon tersebut hingga hancur dan terbakar.


 

Surojoyo yang awalnya yakin Ranubaya bisa mengalahkan Geni, menjadi pesimis. Dia kehilangan keyakinannya karena serangan serangan Ranubaya tidak berakibat apapun kepada makhluk api tersebut.


 

Dia kemudian menutup matanya ketika Ranubaya terkena tendangan tepat mengenai dadanya. 


 

Ranubaya kembali mencelat jauh. Dadanya serasa terbakar karena saking panasnya kobaran api yang dilepaskan Geni. Dia kemudian memuntahkan darah segar dari mulutnya.


 

"Apakah kau sudah menyerah, Bocah Gendeng!?"


 

"Menyerah kepada makhluk jelek sepertimu adalah penghinaan terbesar buatku!"


 

"Aseeem..! Jangan salahkan aku jika membakarmu!"


 

Kecepatan Geni semakin bertambah. Dalam sekejap mata dia sudah berada di depan Ranubaya dan mencengkeram lehernya lalu mengangkatnya tinggi.


 

"Apa tadi kau bilang!? Makhluk jelek!?"


 

Ranubaya yang hampir tidak bisa bernapas berusaha meronta. Kakinya berusaha menendang berulang kali ke tubuh Geni namun tidak sampai.


 

"Cepat minta maaf maka kau akan kulepaskan!"


 

Ranubaya kemudian memejamkan matanya lalu tiba-tiba dia berteriak, "Tidak sudiiii!"


 

Berbarengan dengan teriakan Ranubaya, sebuah ledakan keras muncul dari tubuh pemuda 17 tahun tersebut hingga membuat tubuh Geni terpental jauh.


 

"Tidak mungkin...! Mana mungkin bocah semuda itu bisa menguasai tenaga dalam Dewa Api."


 

Ranubaya mengelus-elus lehernya yang terasa panas dengan kedua tangannya. Matanya kemudian menatap tajam ke arah Geni yang terlempar jauh berkat ledakan tenaga dalam Dewa Api yang dikeluarkannya.


 

Dia kemudian melesat dengan cepat dan memberikan serangan susulan kepada Geni.


 

***

Bab 13 Surojoyo Moksa 


 

"Pukulan Dewa Api!"


 

Tubuh Geni kembali terlempar jauh hingga membakar pepohonan. Dia hanya bisa menggeleng tidak percaya dengan yang dialaminya sekarang.


 

"Berdirilah, ayo kita lanjutkan pertarungan ini!"


 

Geni menatap Ranubaya yang sedang memandangnya. Tiba-tiba dia melihat sosok Pendekar Dewa Api di dalam mata Ranubaya. Dia kemudian menunduk, "Aku menyerah. Kau sekarang menjadi tuanku."


 

"Siapa yang ingin jadi tuanmu? Apa aku pernah bilang ingin jadi tuanmu?"


 

Geni menggelengkan kepalanya.


 

"Yang aku inginkan kau bisa menjadi temanku. Kita berkelana sampai kematianku memisahkan kita."


 

Geni hanya bisa menatap Ranubaya dengan rasa tidak percaya. Bahkan Pendekar Dewa Api pun menganggap dia sebagai pembantunya," Dibalik sifatnya yang konyol, memang benar ucapan tuan Suro jika anak ini mempunyai budi pekerti yang luhur," gumam Geni.


 

"Kenapa kau menatapku begitu, Geni?"


 

"Tidak apa-apa, Tuan. Aku hanya merasa kagum dengan Tuan."


 

"Panggil saja aku Ranu. Aku bukan siapa-siapa dan tidak akan menjadi apa-apa."


 

"Baiklah, Ranu. Tapi, biasanya pemilikku selalu menjalin perjanjian darah jika bisa mengalahkanku."


 

"Gunanya buat apa?"


 

"Agar aku selalu patuh kepadamu," sahut Geni.


 

Ranubaya menggeleng "Aku tidak akan mengekang kebebasanmu. Kalau kau mau pergi, silahkan saja! Yang aku butuhkan adalah teman yang akan menemani perjalananku."


 

"Sekarang aku mengerti, Ranu. Aku akan selalu menemani perjalananmu sampai kau tidak membutuhkan aku lagi! Kalau kau ingin berbicara denganku, pakai pikiranmu saja. Jangan bicara seperti saat ini karena kau pasti dikira gila."


 

Ranu tertawa kecil mendengar candaan Geni. Dia tidak menyangka jika makhluk menyeramkan seperti Geni bisa bercanda juga.


 

Surojoyo terlihat mendekati mereka berdua, 

"Bagaimana Geni, apakah pilihanku salah?"


 

Geni menggeleng, "Aku berjanji akan menemani perjalanan Ranu sampai kapanpun, Tuan."


 

Seusai berucap, Geni kemudian menghilang dan kembali ke dalam Pedang Segoro Geni.


 

"Ayo kita kembali, Ranu. Ada yang mau aku bicarakan."


 

"Baik, Kakek."


 

***


 

Sesampainya di dalam gua, Surojoyo mengambil sarung Pedang Segoro Geni yang dia simpan di sebuah rongga batu. Dia kemudian memasukkan bilah pedang tersebut ke sarungnya.


 

"Bawalah pedang ini untuk menemanimu berkelana."


 

Ranubaya meraih pedang tersebut dan menaruh di depannya.


 

"Ranu, di nusantara ini ada tiga pusaka yang sekelas dengan Pedang Segoro Geni milikmu.

Setiap pusaka mewakili satu perubahan unsur. Setiap pusaka juga mewakili empat arah mata angin. 4 pusaka tersebut dibuat oleh Resi Abiyasa dengan tujuan untuk mendamaikan bumi ini," jelas Surojoyo.


 

"Carilah keempat pusaka itu dan satukanlah di tubuhmu! Setelah itu carilah pusaka terkuat diantara pusaka yang ada di dunia ini, Yakni Pedang Api. Setelah empat pusaka itu kau temukan, kamu akan mendapat petunjuk dimana Pedang Api saat ini berada." lanjutnya. 


 

Ranubaya menggelengkan kepalanya. Dia tidak bisa percaya jika perjalannya akan menempuh jalan dan waktu yang sangat panjang. Tapi karena teringat pesan ayahnya, Ranubaya tetap bertekad untuk menjalani petualangannya.


 

"Baiklah, Kakek. Aku akan melaksanakan petuah Kakek."


 

"Ada satu hal lagi, Ranu. Saat ini adalah saat terakhir pertemuan kita. Kakek dulu sudah berjanji kepada Dewata... jika kakek sudah menemukan murid yang bisa meneruskan dan mewarisi semua ilmu yang kakek miliki, Kakek akan meninggalkan dunia ini. Dan saat ini adalah saat yang tepat untuk melaksanakan janjiku."


 

Ranubaya meneteskan air matanya. Dia tidak percaya jika harus kehilangan lagi orang yang disayanginya. Setelah kedua orang tuanya, sekarang kakek angkatnya pun akan meninggalkannya.


 

"Kau jangan bersedih, Ranu! Hidup harus terus berjalan. Jalanilah takdir yang sudah digariskan Dewata kepadamu. Ingatlah jika kebenaran akan selalu berpijak pada tempatnya, meski keburukan setiap saat akan datang menggoda."


 

Ranubaya mengangguk tanpa mengucap sepatah katapun.


 

"Pejamkan matamu, agar kau tidak melihat kepergianku!"


 

Ranubaya lalu memejamkan kedua matanya dengan erat. Dan tak lama kemudian, tubuh Surojoyo menjadi butiran kristal kecil yang bercahaya lalu perlahan menghilang.


 

"Selamat tinggal cucuku, tetaplah berpijak di jalan kebenaran." Suara Surojoyo menggema di dalam gua dan kemudian menghilang.


 

Ranubaya kemudian membuka matanya dan sudah tak terlihat lagi tubuh kakeknya.


 

***


 

Malam yang hening menyapa dasar jurang yang tenang itu. Suara hewan malam terdengar bersahutan berirama menyambut rembulan yang memancarkan sinar indahnya.


 

Ranubaya terdiam sendiri tanpa kata. Bayangan kedua orang tuanya dan juga kakek angkatnya masih begitu membekas di ingatannya. 


 

Dia kemudian menjerit sepuasnya untuk melegakan kesedihan di hatinya. "Aaaaaaaaaaaaaaakh!"


 

Teriakan yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam dikeluarkan Ranubaya hingga terdengar sampai dusun terdekat. 


 

Setelah puas berteriak, Ranubaya lalu membaringkan tubuhnya untuk beristirahat. Dia berencana mulai besok untuk mencari keberadaan perampok yang sudah membunuh kedua orang tuanya.


 

***


 

Keesokan paginya, Ranubaya sudah bersiap untuk meninggalkan gua. Tatapan matanya kemudian tertuju kepada sebuah kantong kecil yang tergeletak di samping tempat tidurnya. 


 

Ranubaya kemudian meraih kantong tersebut dan membukanya. Di dalam kantong tersebut ternyata berisi koin uang yang lumayan banyak. Dia juga melihat gulungan kulit kering kecil di dalam kantong tersebut. Dia lalu mengambil dan membaca tulisan yang ada di kulit kering tersebut.


 

"Ranu, gunakanlah koin uang ini untuk bekalmu di perjalanan. Buatlah kakek bangga dengan perbuatan luhurmu."


 

Ranubaya tersenyum dan mengepal dengan kuat. Dia berjanji akan membuat kedua orang tua dan kakeknya bangga dengan perbuatan yang akan dia lakukan selama menjalani petualangannya.


 

Ranubaya kemudian menggulung kulit kering tersebut dan memasukkannya lagi ke dalam kantong yang berisi koin uang. Dia lalu berjalan keluar hingga sampai di depan pintu goa . Ranubaya kemudian membalikkan badannya dan menatap gua tersebut cukup lama. 


 

Setelah puas memandang, Ranubaya kemudian berjalan menjauhi gua tersebut lalu mendongak ke atas, "Aku lewat mana? Kenapa kemarin tidak bertanya kepada kakek?"


 

Meskipun bisa menggunakan ajian saipi angin dan juga ilmu meringankan tubuh, namun karena tidak akses jalannya untuk ke atas, Ranubaya dibuat kebingungan juga.


 

Akhirnya dia memutuskan untuk berlompatan dari pohon ke batu dan seterusnya sampai dia bisa berdiri di bibir jurang.


 

"Huuuuft!" Ranubaya menghembuskan napas panjang setelah keluar dari dasar jurang yang dihuninya hampir tiga tahun lamanya.


 

Ranubaya kemudian menggunakan Ajian saipi angin untuk segera sampai di dusun Karangkates. Sengaja dia tidak menuju dusun Karangasri, karena tidak ingin mengalami kesedihan lagi.


 

Kecepatan yang ditunjukkan Ranubaya seperti sudah sangat lama menguasai ilmu kanuragan. Siapapun orangnya, jika melihat kecepatan berlari Ranubaya, pasti tidak akan percaya jika pemuda itu berlatih ilmu kanuragan hanya dalam tempo dua tahun saja. 


 

Dusun Karangkates sudah terlihat di matanya. Dia kemudian menghentikan larinya dan berjalan seperti biasa. Buntelan kain  dan Pedang segoro geni terlihat menggantung di pundaknya sebagai pertanda bahwa dia adalah seorang pengelana.



 

Bab 14 Keributan di Perguruan Elang Hitam 


 

Memasuki dusun karangkates, Ranubaya yang sudah hapal seluk beluk dusun tersebut tidak kesulitan untuk mencari kedai makan. Dia sudah sangat kangen dengan nasi jagung dan sambel korek. Ditambah ikan wader goreng sebagai lauknya.


 

"Paman, aku pesan nasi jagung sama wedang pokak ya!"


 

"Ditunggu ya! Silahkan duduk dulu!"


 

Ranubaya kemudian mencari tempat di samping meja yang ditempati 4 orang warga setempat. Ranubaya memasang kupingnya dengan cermat mencuri dengar pembicaraan mereka. 


 

"Dengar-dengar perampok Macan Kumbang kemarin melakukan aksinya lagi di dusun Sukobendu. Hampir semua laki-laki di dusun itu dibunuh dan wanitanya diperkosa," ucap salah satu lelaki bertubuh kekar.


 

"Berarti sama dengan kejadian di dusun Karangasri waktu itu yang juga dilakukan perampok Macan Kumbang," sahut temannya.


 

Ranubaya terkejut sekaligus senang mendengar berita tersebut, Dia terus mendengarkan pembicaraan mereka.


 

"Husst... jangan membicarakan tentang perampok Macan Kumbang. Bisa-bisa dusun kita ini akan diserang mereka," cegah lelaki lainnya.


 

"Kenapa kau harus takut, di dusun kita ini hampir semua warganya adalah pendekar. Dan ada juga Sanjaya yang merupakan salah satu pendekar terbaik Perguruan Elang Hitam."


 

Ranubaya tersenyum kecil mendengar nama Sanjaya. Dia sudah tidak memiliki dendam lagi dengan Sanjaya yang dulu sering menghajarnya.


 

"Maaf, Paman. Apakah Paman tahu dimana markas perampok Macan kumbang?"


 

Sontak keempat lelaki tersebut menoleh kepada Ranubaya. Mereka kaget dengan pertanyaan yang diajukan pemuda yang duduk di samping meja mereka tersebut.


 

"Ada apa kau mau mencari markas perampok kejam itu, Anak muda?" tanya lelaki bertubuh kekar dengan penuh selidik.


 

"Aku bukan mau mencari mereka, Paman. Tapi aku ingin menghindari mereka karena aku seorang pengelana. Jadi jika aku tahu markas mereka dimana, maka aku tidak akan melewati tempat itu," jawab Ranubaya dengan tenang.


 

"Syukurlah kalau begitu. Kabar-kabarnya markas mereka ada di hutan Larangan. Apa kau tahu dimana letaknya hutan Larangan?"


 

Ranubaya menggeleng, "Tidak tahu, Paman?"


 

"Jika kau dari sini, lurus saja ke arah utara. Setelah melewati empat dusun ada sebuah perempatan. Jangan ambil arah ke kiri karena akan melewati hutan Larangan!"


 

"Baiklah, Paman. Terima kasih atas informasinya."


 

"Sama-sama, anak muda."


 

Ranubaya kemudian menikmati nasi jagung pertamanya setelah tiga tahun hidup di dasar jurang.


 

Setelah selesai menghabiskan makanannya, Ranubaya membayar dan keluar dari kedai makan tersebut. Dia berencana untuk langsung menuju hutan Larangan guna mencari markas perampok Macan Kumbang.


 

Ranubaya berjalan dengan santai melewati jalan dusun Karangkates tersebut. Pandangan matanya tertuju kepada lima orang pemuda yang berjalan mengarah kepadanya.


 

"Sanjaya," ucapnya dalam hati. 


 

Dia lalu berjalan menunduk agar tidak dikenali oleh Sanjaya dan teman-temannya. 

Setelah berpapasan, salah seorang teman Sanjaya, Kirno, ternyata sempat melihatnya.


 

"Tetua muda, bukankah itu si pecundang Ranubaya?"


 

Sanjaya langsung menoleh melihat Ranubaya yang berjalan berlawanan arah dengannya, "Ayo kejar dia! sudah lama aku tidak menghajarnya.


 

Sanjaya dan keempat temannya langsung berlari mengejar Ranubaya dan menghadangnya.


 

"Kau mau kemana, pecundang? Tiga tahun ini kau kemana saja?" Sanjaya memandang Ranubaya dengan tatapan meremehkan.


 

"Biarkan aku pergi, Sanjaya. Aku tidak ada urusan denganmu!"


 

"Hahaha... tiga tahun tidak bertemu, sekarang kau sudah berani menatap mataku.! Apa kau sudah bosan hidup!?"


 

"Sudah aku bilang, aku tidak ada urusan denganmu. Biarkan aku pergi!"


 

"Si pecundang ternyata sudah punya mental sekarang! Kau bawa pedang buat apa? Percuma saja karena kau tetap akan jadi pecundang sampai kapanpun!" 


 

"Aku hanya ingin berkelana Sanjaya, pedang ini juga buat berjaga-jaga saja. Siapa tahu ada hewan buas di dalam hutan."


 

"Hahaha, terserah kaulah! Hari ini kau tetap akan kuhajar! Tanganku sudah gatal ingin menghajarmu,' Sanjaya tersenyum sinis. Namun di melihat wajah yang berbeda. Dulu, Ranubaya selalu ketajutan jika melihatnya. Namun kali ini yang dilihatnya adalah sosok Ranubaya yang begitu tenang.


 

Di lain pihak, Ranubaya berpikir tidak ingin mencari keributan dengan Sanjaya. Dia memutuskan untuk berlari ke Perguruan Elang Hitam. Karena dengan begitu, Sanjaya tidak akan berani membuat keributan di perguruannya sendiri.


 

Ranubaya kemudian mempunyai ide cemerlang. Di pura-pura tersenyum melihat di belakang Sanjaya dan teman-temannya.


 

"Hai, Jo. Aku disini!" teriaknya sambil melambaikan tangan.


 

Seketika Sanjaya dan teman-temannya pun menoleh ke belakang dan kesempatan itu dimanfaatkannya untuk berlari biasa menuju Perguruan Elang Hitam.


 

Karena tidak menemukan orang yang dipanggil Ranubaya, Sanjaya menggeram dengan keras dan membalikkan badannya.


 

"Kau...!" tenggorokan Sanjaya tercekat karena dia tidak melihat Ranubaya berdiri di tempat semula tapi sudah lumayan jauh berlari.


 

"Kadal buntung, tikus got, rempeyek kecoa... dia menipu kita! Kejar sampai tertangkap...!"


 

"Siap laksanakan, Tetua muda!"


 

Sanjaya dan empat orang temannya pun berlari dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh mereka yang baru tahap belajar.


 

Sesampainya di depan gerbang Perguruan Elang Hitam, Ranubaya berhenti di depan penjaga sambil berpura-pura terengah-engah, "Tolong, ada orang jahat mau mengganggu saya!"


 

"Siapa yang mau mengganggumu, Anak muda?"


 

Ranubaya menoleh ke belakang dan melihat Sanjaya beserta empat orang temannya sedang berlari menuju ke arahnya.


 

"I...itu mereka!" tunjukknya.


 

Ranubaya langsung berlari masuk ke dalam perguruan Elang Hitam dan menabrak gerbang yang terbuat dari kayu hingga jebol.


 

"Edan...! Apa karena saking takutnya bocah itu sehingga main tabrak saja sampai pintu gerbang jebol ditabraknya?" Tanya penjaga pintu gerbang perguruan yang berumur sekitar 35 tahun.


 

Sesaat kemudian Sanjaya dan empat orang temannya sampai di depan Perguruan Elang hitam. 


 

"Jadi Tetua muda yang tadi mengejar pemuda itu?"


 

"Benar, dimana si pecundang itu?" Sanjaya bertanya dengan memasang wajah sombong.


 

"Dia masuk ke dalam Tetua muda. Lihat, pintu gerbang itu bahkan ditabraknya sampai jebol karena saking takutnya!"


 

Sanjaya semakin tinggi hati karena secara tidak langsung penjaga gerbang tersebut mengira Ranubaya begitu takut dengannya.


 

Di dalam perguruan, Ranubaya terus berlari berputar-putar sambil berteriak keras.


 

"Tolooong... toloooong, ada orang jahat...!


 

Tak pelak, tingkah Ranubaya di dalam perguruan itu menimbulkan kehebohan. Ratusan murid keluar dari asrama dan melihat Ranubaya yang bertingkah seperti orang bingung dan ketakutan.


 

Beberapa orang tetua juga keluar dan berusaha menenangkan Ranubaya.


 

"Berhenti kau pecundang! Kau telah membuat keributan di perguruan ini!" Teriak  Sanjaya dengan keras.


 

Ranubaya berhenti sejenak memandang Sanjaya, Sesaat kemudian dia berlari lagi berputar-putar sambil menunjuk Sanjaya, "Itu dia orang jahatnya...! Itu dia orang jahatnya...!"


 

"Kenapa kau ketakutan seperti itu? Bukankah kau bisa menghajar mereka semua dengan mudah?" Geni bertanya di dalam pikiran Ranubaya. Dia heran dengan tingkah Ranubaya yang menurutnya janggal.


 

"Diam kau, Supri...!" bentak Ranubaya.


 

"Namaku Geni... bukan Supri!" sahut Geni dengan sengit.


 

"Diam dan lihat saja, Warni! Kamu ini ngomel saja kayak emak-emak tidak dikasih uang belanja!" balas Ranubaya.


 

Ranubaya kemudian berhenti dengan nafas ngos-ngosan putus nyambung senin kamis.


 

Bab 15 Memberi Pelajaran Sanjaya


 

"Kamu kenapa, Anak muda? Kenapa membuat keributan di perguruan ini?" tanya salah seorang tetua di perguruan tersebut. 


 

Ranubaya mengenali kalau tetua tersebut yang dulu memvonisnya tidak akan bisa belajar ilmu kanuragan.


 

"Aku... tolong aku, Tetua! Dia mau berbuat jahat kepadaku."


 

"Tetua muda? Kenapa dia mau berbuat jahat kepadamu?"


 

Sanjaya kemudian mendekati mereka.


 

"Sanjaya, kenapa pemuda ini bilang kalau kau mau berbuat jahat kepadanya?"


 

"Pecundang itu seorang pencopet, Tetua. Karena tidak bisa belajar ilmu kanuragan, akhirnya dia menjadi pencopet."


 

"Aku bukan pencopet! Kalau aku pencopet, mana buktinya?" bantah Ranubaya.


 

"Mana ada maling ngaku! Kalau Tetua tidak percaya, bisa tanya mereka!" Sanjaya menunjuk empat temannya.


 

"Benar Tetua, kami memergoki dia hendak mencopet tadi. Setelah kami teriaki, dia berlari menuju kesini," ucap Kirno berusaha meyakinkan.


 

Tetua tersebut kemudian memandang Ranubaya dengan tajam, "Aku ingat, bukankah kau dulu yang pernah ikut seleksi di perguruan ini? Kalau tidak salah, kau tidak mempunyai bakat sama sekali dan tidak akan bisa belajar ilmu kanuragan selamanya."


 

"Benar, Tetua. Tapi apa salahnya jika aku tidak punya bakat?"


 

"Jelas salah! Percuma kau hidup jika tidak punya bakat mempelajari ilmu kanuragan! Selamanya kau akan tetap menjadi pecundang!" bentak tetua tersebut.


 

Ranubaya tersenyum, "Ini saatnya Joni, aku akan memberi mereka pelajaran karena selalu meremehkan orang lain," ucapnya di dalam pikirannya.


 

"Namaku Geni, Ranu! Geni...! Sudahlah, percuma juga meladeni pendekar gendeng sepertimu. aku mau tidur saja," ucap Geni lalu menghilang.


 

Ranubaya terkekeh dalam hatinya. Dia lalu memandang tetua yang tadi meremehkannya, "Meskipun aku tidak punya bakat, tapi aku berani menghadapi kalian semua yang ada di sini!"


 

Tetua tadi tertawa lantang, "Sudahlah, kamu keluar saja dari perguruan ini. Pecundang sepertimu tidak pantas menginjakkan di perguruan ini!"


 

"Bilang saja kalau kalian takut menghadapi pecundang sepertiku!"


 

Merasa mendapat kesempatan untuk menghajar Ranubaya, Sanjaya pun mengajukan diri, "Tetua, ijinkanlah saya yang memberi dia pelajaran!"


 

"Jangan kamu, Sanjaya! Bisa-bisa dalam satu pukulan saja dia bisa kau buat pingsan. Yang lain saja."


 

Sanjaya merasa bangga tetua tersebut memujinya. Dia pun memasang wajah sombongnya, "Kirno, kamu saja yang memberinya pelajaran!"


 

"Siap, Tetua muda," jawab Kirno lalu maju di depan Ranubaya.


 

"Bersiaplah, Pecundang! Aku akan memberimu pelajaran.


 

Kirno lalu bergerak menyerang. Bukannya melawan, Ranubaya malah berlari menjauhi hingga membuat Kirno mengejarnya. Kejar-kejaran pun terjadi dengan singkat setelah Ranubaya tiba-tiba berhenti dan memasang kakinya hingga mengenai perut Kirno dan membuatnya terjengkang ke belakang.


 

Ranubaya memang sengaja mengalirkan tenaga dalam ke kakinya dan membuat Kirno pingsan hanya dalam satu tendangan, atau lebih tepatnya Kirno menabrak kaki Ranubaya.


 

Sanjaya dibuat geram karena anak buahnya langsung pingsan dalam satu gebrakan saja. Namun yang lebih membuatnya geram, Kirno pingsan karena bukan serangan Sanjaya, tapi kecerobohannya sendiri yang tidak mengantisipasi kaki Ranubaya.


 

Melihat Ranubaya tertawa terbahak-bahak sambil melompat-lompat membuat sanjaya semakin geram. Dia kemudian memberi perintah kepada Cokro untuk menyerang Ranubaya.


 

Setali tiga uang dengan Kirno, Cokro pun terkelungkup tidak berdaya setelah kakinya tersandung kaki Ranubaya. Entah apa yang ada di pikiran Ranubaya sehingga membuat malu para tetua Perguruan Elang Hitam.


 

"Ah... Tidak seru permainan kalian. kalau bakat terbaik di sini siapa ya? Berani tidak melawanku yang tidak punya bakat ini?"


 

Sanjaya yang merupakan bakat terbaik di perguruan tersebut pun meloncat dan berhenti tepat di depan Ranubaya. 


 

"Aku bakat terbaik di Perguruan Elang Hitam ini akan menghajarmu!"


 

"Kamu... bakat terbaik? Hahahaha... Yang bisanya cuma meminta bantuan anak buahnya disebut bakat terbaik? Sebenarnya bagaimana kualitas perguruan kalian ini?" Berondong Ranubaya sambil memegangi perutnya yang kaku karena tertawa.


 

"Bedebah...!!! Aku akan menghajarmu!!!"


 

"Eits... sebentar!" cegah Ranubaya ketika melihat Sanjaya akan menyerangnya.


 

"Bagimana kalau kita membuat perjanjian? Kalau kau tidak bisa menyentuhku dalam 20 serangan, kau harus bersujud di depanku dan mengaku kalah! Bagimana, apakah tawaranku kau terima?"


 

"Hahaha, jangankan 20 serangan, dalam 5 serangan saja kau akan bertekuk lutut!" balas Sanjaya dengan Jumawa.


 

"Baiklah, aku terima tawaranmu. Tapi jika aku bisa menyentuhmu, maka aku akan meminta semua anggota perguruan ini untuk menghajarmu! Bagaimana?"


 

"Baiklah aku terima. Kalian semua jadi saksinya!" balas Sanjaya.


 

Sanjaya menurunkan tubuhnya sedikit dan memasang kuda-kudanya. Dalam satu kedipan mata, dia langsung bergerak menyerang.


 

Dalam 5 serangan pertama, Ranubaya dengan mulus menghindari serangan Sanjaya. Dia hanya menghindar dan menghindar tanpa memberikan serangan.


 

"Katamu dalam 5 serangan saja bisa membuatku bertekuk lutut! Ini sudah 10 serangan yang kau lepaskan. Ayo bakat terbaik, keluarkan kemampuan terbaikmu! Hahaha...!" Ranubaya sengaja mengeraskan suaranya agar semua anggota Perguruan Elang Hitam mendengarnya.


 

Merah padam muka Sanjaya mendengar ejekan Ranubaya. Dia semakin mempercepat serangannya. Namun bukannya bisa mendesak, malah kakinya yang harus tersandung kaki Ranubaya hingga membuatnya jatuh terlentang.


 

Semakin keras tawa Ranubaya melihat Sanjaya wajahnya mencium tanah hingga seperti terlihat memakai topeng karena debu yang menempel.


 

"Ayo berdirilah bakat terbaik, jangan bikin malu perguruanmu! Masih ada 3 serangan lagi yang harus kau maksimalkan!" 


 

Sanjaya mendelik geram. Dia lalu bangkit dan kembali menyerang Ranubaya dengan kekuatan terbaiknya. Namun lagi-lagi semua serangannya meleset.


 

Tanpa disadari seorang pun, Sepasang mata mengawasi pertarungan Ranubaya dan Sanjaya, "Siapa pemuda itu?"


 

"Dua puluh satu...!!!" Ranubaya tiba-tiba berteriak dan memberikan satu pukulan yang mengenai dengan telak ulu hati Sanjaya dan membuatnya terpental sejauh 15 langkah ke belakang.


 

"Sayang sekali yang katanya bakat terbaik langsung tumbang dalam satu serangan saja," Ranubaya memandang Sanjaya yang tidak bisa menahan keheranannya, karena pemuda yang dulu selalu dihajarnya sekarang sudah mempermalukannya di depan umum.


 

"Sekarang, laksanakan janji yang sudah kita buat tadi! Bersujudlah di depanku dan akui kekalahanmu!"


 

Sanjaya yang tidak mau malu kedua kalinya karena mengingkari janji, kemudian dengan merangkak hingga di depan Ranubaya


 

Sebelum dia bersujud, tetua yang meremehkan Ranubaya tadi melesat dan berdiri di samping Sanjaya, "Berhenti Sanjaya! Aku tidak bisa melihat Perguruan Elang Hitam ini dilecehkan dan dihina!"


 

Ranubaya tersenyum simpul, "Bukannya kau sendiri yang sudah menghina perguruan ini?" Dengan kau mencegahnya bersujud, itu sama saja mengingkari janji yang sudah dibuat seorang pendekar." 


 

"Apakah seperti itu sifat pendekar yang katanya beraliran putih?" lanjutnya.


 

"Kau jangan menceramahiku! Aku tahu mana yang benar dan mana yang salah!"


 

"Hehehehe... Sudahlah. Percuma bicara dengan orang yang tidak tahu malu seperti kamu. Hari ini sejarah akan mencatat jika Perguruan Elang Hitam telah menjadi perguruan yang suka ingkar janji," Ucap Ranubaya lalu menutup mulutnya.


 

"Bedebah! Aku akan menghajarmu Kunyuk!"






































 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Bab 16-20 LEGENDA PEDANG API
0
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan