Bab 1-10 PENDEKAR RAMBUT PERAK

0
0
Deskripsi

Danandra Soka Witjaksana. Dia hanyalah seorang pemuda biasa yang tidak mempunyai kemampuan ilmu kanuragan sedikitpun. Nasibnya yang begitu tragis sepeninggal kedua orang tuanya, tidak membuatnya menjadi sosok yang lemah. Hinaan dan hajaran dari orang-orang yang tidak menyukainya, dihadapinya tanpa keluhan sedikitpun. 

Dengan segala keterbatasannya tiba-tiba saja sebuah anugerah besar datang kepadanya. Ilmu kanuragan yang mungkin hanya ada dalam angan-angannya bisa dia miliki dengan bantuan seorang...

Bab 1 Tuduhan

Seorang pemuda tampan berkulit kuning Langsat dan berhidung mancung  yang sedari tadi berjalan menunduk, tiba-tiba dikagetkan dengan suara bentakan kepadanya.

"Minggir kau, Pecundang!" bentak seorang pemuda bertubuh tinggi besar.

Dia adalah Jaya, anak kepala desa yang juga pemilik sebuah perguruan silat. Di samping kanan dan kirinya, 3 orang pemuda seumuran dengan Jaya, terlihat tersenyum menyeringai melihat apa yang dilakukan temannya.

Bugh!

Brak!

Tiba-tiba saja sebuah tendangan keras yang dilepaskan Jaya dengan telak mengenai perut si pemuda tampan.

Pemuda bernama Danandra Soka Witjaksana yang terkena tendangan di perutnya  langsung terdorong beberapa langkah ke belakang, hingga menabrak sebuah lapak milik seorang pedagang yang sudah tutup. Lapak yang terbuat dari kayu itu langsung berantakan akibat tertimpa tubuh pemuda tersebut. Beberapa bagian lapak yang terbuat dari kayu  rusak berat tidak kuat menahan luncuran tubuh Danandra.

"Angkat tubuh pecundang itu! Aku belum puas menghajarnya!" teriak Jaya dengan nada memerintah.

Ketiga teman Jaya segera berlari dan mengangkat tubuh Danandra yang masih tergeletak di tanah. Pemuda tampan itu meringkuk memegangi perutnya yang terasa nyeri akibat terkena tendangan tepat mengenai ulu hatinya.

Kedua tangan Danandra masing-masing dipegangi seorang pemuda. Dan seorang lagi memegangi kepalanya hingga tidak bisa berkutik lagi.

"Danandra Soka Witjaksana ... Nama yang terlalu bagus untuk seorang gembel sepertimu!" Jaya mencibir hingga satu sudut bibirnya terangkat naik. "Sudah kubilang berkali-kali kepadamu, pecundang sepertimu jangan lagi berkeliaran di sini. Kau hanya membuat kotor desa ini!"

Bugh!

Sebuah hajaran keras kembali mendarat di perut Danandra. Karena kedua tangannya dalam keadaan terpegang erat, Danandra tidak bisa berbuat banyak. Dia harus merelakan perutnya untuk kedua kalinya terkena hajaran dari Jaya.

"Apa salahku padamu, Jaya? Setiap kali bertemu denganku kau selalu ingin menghajarku." Danandra bersuara lirih. Dia bisa merasakan rasa asin darah yang meleleh keluar dari sudut bibirnya.

"Hahahaha ... dasar pecundang! Kau ini hanyalah sampah masyarakat. Sudah berapa kali aku bilang, jika kau tidak ingin tubuhmu itu menjadi sasaran empuk tangan dan kakiku, pergilah dari desa ini!" bentak Jaya.

Kembali pukulan Jaya mendarat dengan telak. Dan kali ini paras rupawan Danandra yang menjadi sasarannya, hingga membuat bibir pemuda yang memiliki ketampanan di atas rata-rata tersebut robek dan mengeluarkan darah.

Tidak terdengar suara mengaduh sedikitpun keluar dari bibir Danandra meski dia merasakan sakit yang teramat sangat di wajahnya. Dia sudah biasa merasakan rasa sakit semenjak ditinggal kedua orang tuanya yang sudah meninggal dunia.

Danandra mengangkat wajahnya yang sudah berlumuran darah seolah memberi tantangan kepada Jaya.

Apa yang dilakukannya tentu saja membuat Jaya meradang. Emosinya semakin meningkat hingga ke puncak.

"Kau berani menatapku seperti itu, apa kau sudah lupa aku siapa?"

Tanpa merasa takut, Danandra tertawa lepas mendengar pertanyaan Jaya. "Siapapun di desa ini pasti tahu tentang anak kepala desa yang terkenal sombong dan tidak punya tata krama sepertimu!" jawabnya tegas.

"Bajingan! kalian bertiga, hajar dia sampai tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau perlu, buat dia mampus sekalian!" teriak Jaya memberi perintah.

"Sampai mati?" tanya seorang teman Jaya.

"Kalian jangan takut. Ayahku adalah kepala desa di sini. Jika dia mati, tidak akan ada yang berani menuntut kalian. Apalagi dia hanyalah pecundang yang bisanya hanya mengotori desa ini!"

Serasa mendapat angin segar, seketika  ketiga teman Jaya melepaskan pegangan mereka ke tubuh Danandra dan menghajarnya. Pukulan serta tendangan mereka lepaskan bertubi-tubi sampai pemuda yang memiliki rahang kokoh itu tidak bisa bergerak sama sekali.

Ketika seorang temannya mengambil sebuah bangku dan hendak memukulkannya ke arah kepala Danandra yang sudah pingsan, tiba-tiba saja Jaya menghentikannya. Dia berubah pikiran dan tidak jadi untuk membunuh Danandra yang sudah tergeletak pingsan.

"Sudah ... sudah! Jika dia mati, kita tidak akan mempunyai sasaran yang bisa kita hajar lagi. Jika pemilik lapak ini tahu kalau lapaknya sudah hancur berantakan, dia pasti akan menduga jika pecundang ini yang menghancurkannya dan pasti akan menghajarnya. Sekarang ayo kita pergi sebelum ada yang melihat!"

Keempat pemuda itupun pergi meninggalkan tubuh Danandra yang tergeletak pingsan dengan tawa lepas. Mereka sepertinya puas telah berhasil membuat Danandra menderita untuk kesekian kali.

Keesokan paginya, Danandra tersadar dari pingsan setelah mukanya tersiram air dalam jumlah tidak sedikit. Sesaat berikutnya, dia merasakan sebuah tendangan yang tiba-tiba saja menghajar telak perutnya.

Bugh!

Tubuh Danandra menekuk menahan nyeri di perutnya. Dia tidak menyangka deritanya akan kembali berlanjut setelah dihajar Jaya dan teman-temannya.

Dengan sedikit menolehkan kepala, dia melihat pemilik lapak yang hancur sedang berkacak pinggang dan memandangnya dengan tatapan marah.

"Pasti kau yang sudah membuat lapakku hancur? Atau jangan-jangan kau hendak membobol lapak daganganku ini?" bentak lelaki bertubuh kekar yang juga pemilik lapak.

"Bukan aku pelakunya, Paman, tapi Jaya dan teman-temannya yang melakukannya," bantah Danandra dengan suara lirih menahan nyeri di sekujur tubuh.

"Kau berani memfitnah anak kepala desa? Yang aku lihat di sini hanya kau, dasar anak maling!" Lelaki itu terus mencecar Danandra dengan bentakannya. Padahal sejatinya dia tahu jika Jaya dan teman-temannya yang sudah menghajar Danandra hingga membuat lapak dagangannya hancur. Namun pastinya dia butuh tersangka untuk bisa meluapkan emosinya.

"Siapa yang anak maling, Paman?"

"Siapa lagi kalau bukan kau! Perlu kau ketahui, kedua orang tuamu dihukum mati oleh penduduk desa karena terbukti kuat menjadi pelaku pencurian yang menggasak harta benda penduduk desa ini. Dan yang pasti, buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya. Seorang maling pasti akan melahirkan maling juga!"

Danandra tertegun mendengar ucapan lelaki itu. Pertanyaan demi pertanyaan pun akhirnya muncul di pikirannya. "Kenapa orang tuaku dituduh sebagai maling? Apa benar aku anak maling seperti yang dituduhkannya?"

Dengan tenaganya yang tersisa, Danandra bangkit berdiri dan menatap tajam lelaki itu. "Orang tuaku bukan maling!" teriaknya membantah.

"Kau tahu apa tentang kedua orang tuamu, Anak maling? Saat itu kau masih kecil dan tidak tahu apa-apa. Dan sekarang aku akan menghajarmu karena kau hendak mencuri barang daganganku!"

Tiba-tiba saja kepalan tangan lelaki itu mengayun dengan kuat ke arah kepala Danandra. Namun pemuda tampan itu seolah mendapatkan kekuatan baru dan berhasil menangkap kepala tangan yang mengincar kepalanya.

Mata lelaki itu membelalak lebar. Emosinya bertambah tinggi karena Danandra bisa menahan pukulannya. Dia merasa dipermalukan dengan amat sangat oleh pemuda itu. Terlebih lagi ada beberapa penduduk desa melihat kepalan tangannya bisa ditangkap dengan mudah oleh Danandra.

Dengan kekuatan fisik yang lebih besar, lelaki itu berhasil melepaskan tangannya dan kembali melepaskan pukulan.

Kali ini pukulannya berhasil mengenai dada Danandra dan membuat pemuda itu memuntahkan darah segar. Belum hilang rasa sakit akibat dihajar Jaya dan teman-temannya, kali ini ditambah pula pukulan yang dengan telak mengenai dadanya. Lengkap sudah deritanya.

Lelaki itu tertawa lebar melihat pukulannya berhasil membuat Danandra sampai memuntahkan darah.

Melihat ada kesempatan untuk meloloskan diri dari hajaran si pemilik lapak, Danandra langsung berlari kencang tanpa menoleh ke belakang.

Namun apa yang dilakukannya justru membuat lelaki tersebut semakin geram. Dia langsung berteriak berulang-ulang sekuat tenaga sambil berlari mengejar Danandra.

"Maling! Tangkap maling itu!"

Beberapa penduduk yang terprovokasi teriakan itu ikut berlari mengejar Danandra. Mereka juga ikut berteriak hingga memancing perhatian penduduk yang lain. 
Lebih dari 20 orang berlari mengejar Danandra dengan semangat membara karena ingin menghajar pemuda yang dituduh sebagai maling tersebut.

Pada akhirnya, pemuda itupun tersudut karena salah memasuki jalan buntu.

"Sial! Mati aku!"

Tak ayal tubuhnya pun menjadi sansak hidup kemarahan penduduk desa. Pukulan dan tendangan berulang kali mendera tanpa jeda. Tubuh Danandra yang sudah penuh dengan luka dan mengeluarkan darah membuatnya pasrah akan nasib. Dia hanya bisa yakin jika nyawanya pasti tidak akan bisa selamat hari itu.

Namun tanpa disadari siapapun, tiba-tiba saja sesosok bayangan putih melesat dengan cepat dan menyambar tubuh Danadra yang sudah tidak berdaya, membawanya pergi dari tempat itu. 
 

Bab 2 Fitnah Keji

Tak pelak orang-orang yang menghajar Danandra pun celingukan mencari keberadaan pemuda tampan tersebut.

"Siapa yang sudah menyelamatkan maling itu? Ayo kita cari dia di seluruh penjuru desa ini!" kata lelaki pemilik lapak dengan suara keras .

20 orang lebih penduduk desa itupun akhirnya bergerak menyebar menyisir desa untuk mencari keberadaan Danandra dan sosok yang menyelamatkannya.

Di suatu tempat, sosok yang telah menyelamatkan Danandra ternyata membawa pemuda itu ke sebuah gubuk yang terletak di dalam hutan, tidak jauh dari desa.

Danandra hanya bisa termenung memandang seorang lelaki tua berbaju putih dan berambut panjang putih yang menyelamatkannya. Dia tidak menyangka jika masih ada yang peduli dengan nyawanya.

"Kau tunggulah di sini sebentar!" ucap lelaki tua itu dengan senyum yang menghangatkan.

Tanpa menunggu jawaban keluar dari mulut Danandra, lelaki tua itu bergegas keluar dari gubuk kecil tersebut.

Danandra memandang kepergian lelaki tua tersebut dengan menahan rasa ngilu di sekujur tubuhnya.

Pikiran pemuda itu kembali melayang kepada ucapan pemilik lapak yang menuduh kedua orang tuanya sebagai pencuri.

"Benarkah orang tuaku adalah pencuri?" Danandra membatin tak percaya.

Dia sadar, sewaktu kedua orang tuanya meninggal karena dihukum mati oleh penduduk desa, saat itu masih berumur 5 tahun, dan dia belum bisa mengerti betul tentang kebenaran tuduhan yang dialamatkan kepada kedua orang tuanya.

"Aku harus mencari jawabannya," ucapnya geram.

"Jawaban apa yang hendak kau cari, Danandra Soka Witjaksana?" tanya lelaki tua yang berdiri di bawah pintu gubuk.

Danandra menolehkan pandangannya ke arah pintu, dan melihat lelaki tua itu masuk ke dalam. Dia terkejut karena lelaki tua itu mengetahui namanya.

"Terima kasih karena Kakek telah menyelamatkanku. Tapi bagaimana Kakek bisa mengetahui namaku?" tanya Danandra pelan.

Lelaki tua itu tersenyum ramah kepada Danandra.

"Nanti aku akan menjelaskannya padamu bagaimana aku bisa mengetahui tentangmu. Sekarang katakan padaku, jawaban apa yang hendak kau cari?"

"Apakah benar kedua orang tuaku adalah pencuri, Kek?"

Lelaki tua itu menghela nafas panjang. Dia memejamkan matanya cukup lama sebelum kembali bertanya kepada Danandra. "Apa kau percaya dengan tuduhan itu?"

Danandra menggeleng pelan. Dia tidak bisa menjawab tuduhan itu benar atau salah. Tapi yang dia ingat, kedua orang tuanya hidup sangat sederhana, bahkan bisa dibilang sangat miskin. Seringkali mereka makan hanya sekali dalam sehari saking tidak adanya yang dimakan. Kalau tuduhan itu benar, tidak mungkin mereka hidup serba kekurangan.

"Yakinkan pikiranmu dan jawablah pertanyaanku, apa kau percaya dengan tuduhan itu?" tanya lelaki tua itu lagi.

"Aku tidak percaya, Kek," jawab Danandra tegas.

Lelaki tua itu kembali tersenyum, "Sekarang kau makanlah buah pisang ini lalu beristirahatlah. Aku akan menyiapkan ramuan untuk menyembuhkan luka-luka yang kau alami."

Danandra menerima buah pisang yang diberikan lelaki tua itu kepadanya. Kebetulan sekali dia sangat lapar karena hampir dua hari perutnya tidak terisi makanan. Dengan lahap dia memakan beberapa sisir buah pisang lalu merebahkan tubuhnya.

Tak berapa lama, lelaki tua itu memberikan ramuan yang terdapat dalam sebuah cangkir kecil kepada Danandra

Danandra. "Minumlah ramuan ini, setelah itu beristirahatlah agar ramuan itu bisa bekerja dengan maksimal."
Danadra menerima cangkir kecil berisi ramuan itu dengan sedikit rasa ragu. Cukup lama dia memandangi ramuan itu dan tidak segera meminumnya.

"Danandra, jika tuduhan terhadap orang tuamu itu tidak benar, apa kau ingin membersihkan nama mereka? Atau mungkin kau ingin membalas dendam?" tanya lelaki tua itu lagi.

Danandra memandang lelaki tua di depannya itu dengan perasaan heran. Bagaimana mungkin dia membalas dendam, sedang dia tidak memiliki daya dan kekuatan untuk melakukannya.

"Keinginan itu selalu ada, Kek. Tapi aku sadar diri dengan keadaanku. Apalagi jika mereka tahu aku kembali ke sana lagi, mereka pasti akan langsung mencincangku," jawab Danandra lemah. Rasa nyeri di sekujur tubuhnya terasa  semakin kuat menderanya. Namun tidak sedikitpun terdengar dia mengaduh kesakitan, karena rasa sakit adalah bagian dari hidupnya.

"Kalau tentang itu kau tenang saja. Aku akan memberimu sedikit pelatihan ilmu kanuragan. Meskipun kepala desa memiliki sebuah perguruan, aku yakin kau bisa mengatasinya." Lelaki tua itu mencoba meyakinkan Danandra.

Pemuda berumur 20 tahun itu terlihat semringah dengan jawaban lelaki tua itu. Tapi dia juga dibuat bertanya-tanya, bagaimana bisa lelaki tua itu mengerti tentang kehidupannya. Dia menduga kalau lelaki tua di depannya itu mengetahui rahasia tentang tuduhan yang diberikan penduduk desa kepada orang tuanya.

Melihat adanya keraguan di mata Danandra, lelaki tua tersebut kembali menyunggingkan senyumannya, "Ada beberapa hal yang ingin aku ceritakan kepadamu, Danandra. Tapi sekarang kau minum dulu ramuan itu. Beberapa organ dalammu mengalami kerusakan akibat seringnya kau dihajar, dan itu akan menyulitkanmu untuk menerima pelatihan yang nanti aku berikan."

Danandra mengangguk dan langsung menenggak ramuan di dalam cangkir kecil tersebut sampai habis. Setelah itu dia merebahkan tubuhnya untuk beristirahat dan membiarkan ramuan itu bekerja mengobati luka-lukanya.

Beberapa saat setelah ramuan itu memasuki lambungnya, dia merasakan sensasi hangat menyebar ke seluruh bagian dalam tubuhnya.

Tak berapa lama, rasa hangat tersebut secara perlahan berubah menjadi begitu panas dan membuat tubuh pemuda itu menggeliat hebat. Peluh bercucuran keluar dari setiap pori-pori di sekujur kulitnya hingga membuat pakaiannya basah kuyup. Pemuda itu kemudian pingsan setelah tidak kuat dengan rasa panas yang seolah membakar tubuhnya.

Waktu berlalu dengan begitu cepat. Keesokan paginya, pemuda itupun siuman dari pingsannya. Hal pertama yang dirasakannya adalah rasa ngilu di sekujur tubuhnya sudah benar-benar menghilang. Dia juga merasakan pernafasannya begitu longgar dan keseluruhan tubuhnya terasa ringan. Rasa takjub dan kagum akan khasiat ramuan yang sudah dia minum pun terlintas di pikirannya.

"Ternyata kau sudah siuman," kata lelaki tua yang baru saja memasuki gubuk. Dia memegang sebuah pakaian dan diberikannya kepada pemuda tersebut.

"Sekarang mandi dan bersihkan tubuhmu! Ada sebuah sungai kecil di belakang gubuk ini. Sesuai janjiku, nanti ada yang yang ingin aku ceritakan padamu," lanjutnya.

Danandra melangkah keluar dari gubuk setelah menerima pakaian pemberian lelaki tua tersebut.

Tak berapa lama dia pun sudah kembali ke dalam gubuk setelah membersihkan tubuhnya yang penuh debu dan darah.

"Duduklah di sini!"

Danandra mengangguk dan duduk di lantai yang beralas sebuah tikar pandan. Di depannya, sebuah ubi jalar yang masih mengepulkan uap terlihat sudah siap untuk disantap.

"Sambil menikmati makanan ini, ada yang ingin aku ceritakan padamu," kata lelaki tua itu memulai pembicaraan.

"Siapa Kakek sebenarnya? Dan kenapa Kakek kemarin menolongku?"

"Namaku Arisuta, Danandra. Dan kenapa aku kemarin menolongmu adalah karena aku sebenarnya adalah guru dari ayahmu Arga Lesmana."

Danandra terkejut dengan ucapan Arisuta. Dia tidak menyangka jika lelaki tua di depannya itu adalah guru dari ayahnya. Tapi kemudian pertanyaan demi pertanyaan pun segera muncul di pikirannya.

"Kalau ayahku adalah murid Kakek, kenapa ayah tidak melawan ketika penduduk desa menghukum mati ayah dan ibuku?"

"Itu karena demi menyelamatkanmu, Danandra. Arga tidak ingin kau dibawa-bawa dalam masalah yang sebenarnya tidak dia lakukan."

Dahi Danandra terlihat berkerut tebal. "Jadi ayah dan ibuku bukan pencuri?"

Arisuta menggeleng sambil tersenyum kecil. "Aku tahu betul sifat ayah dan ibumu itu seperti apa. Keduanya tidak akan pernah melakukan hal memalukan seperti itu. Lebih baik hidup melarat dari pada menjadi pencuri," jawabnya.

Danandra mengepalkan kedua tangannya. Rasa geram dan ingin balas dendam atas kematian kedua orang tuanya langsung terpatri kuat di dalam pikirannya.

"Ada yang memfitnah kedua orang tuamu hingga membuat mereka dihukum mati," lanjut Arisuta.

"Siapa orang itu, Kek? Aku harus membersihkan nama kedua orang tuaku. Siapapun yang terlibat dalam fitnah keji itu akan aku bunuh!"

Arisuta tersenyum melihat tekad kuat yang dimiliki pemuda itu. Dia bisa melihat jika sifat Danandra yang keras, bertolak belakang dengan sifat Jaka Lesmana yang kalem.

Bab 3 Kembali ke Desa

"Aku akan mengatakannya nanti setelah kau selesai berlatih dan kau siap untuk membersihkan nama baik kedua orang tuamu," kata Arisuta.

Meskipun ada rasa kecewa dalam hatinya karena belum mengetahui siapa orang yang telah memfitnah orang tuanya, Tapi Danandra tidak mempermasalahkannya. Dia berpikir ada sisi positif dan negatifnya jika mengetahui nanti dari pada sekarang.

"Baiklah, Kek. Aku siap untuk berlatih sekarang. Masalah itu lebih baik aku tidak mengetahuinya sekarang, karena bisa mengganggu masa pelatihanku," ucap pemuda itu tenang.

Arisuta sedikit terkejut melihat perubahan besar dalam sikap Danandra. Pemuda yang awalnya meledak-ledak itu tiba-tiba saja berubah begitu tenang.

"Pemuda ini mempunyai dua sisi sifat yang bertolak belakang. Dia akan begitu menakutkan jika tidak bisa mengontrol dirinya sendiri," ucapnya dalam hati.

"Kakek kenapa?"

Arisuta tersenyum dan sedikit menggeleng. "Danandra ... sebelum aku menurunkan sedikit ilmu kanuragan padamu, ada baiknya kau dengarkan ucapanku terlebih dahulu," ucapnya sebelum menarik napas panjang.

*Apapun yang akan kau lakukan, gunakanlah akal sehatmu sebagai pedomanmu untuk mengambil keputusan. Jika kau menggunakan emosi untuk mengambil keputusan, maka hasilnya akan tidak baik untukmu," sambungnya.

Danadra diam mencerna kata-kata yang diucapkan Arisuta. Dia sadar jika masih sering sembrono dan mengedepankan emosinya dalam mengambil keputusan. Seringkali dia bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu, dan itu merugikan sendiri buatnya.

Terakhir kali keputusan yang diambilnya tanpa berpikir adalah, ketika dia berani melawan pemilik lapak dagangan yang membuatnya hampir mati dikeroyok penduduk desa.

Pemuda berumur 20 tahun, berkulit kuning Langsat, mancung dan memiliki rahang kokoh itupun menganggukkan kepalanya.

"Aku paham apa yang Kakek maksudkan. Aku berjanji kepada diriku sendiri dan alam semesta ini, kisah tragis yang terjadi pada kedua orang tuaku akan aku jadikan pedoman untuk selalu menegakkan kebenaran di muka bumi ini."

"Kau memiliki sifat kedua orang tuamu, Danandra. Lebih tepatnya kau perpaduan dari mereka berdua. Sejak awal aku memiliki keyakinan jika kau memiliki jiwa suci seperti halnya kedua orang tuamu. Sekarang habiskan dulu ubi jalar ini, setelah itu aku akan mengajarimu ilmu kanuragan," ucap Arisuta senang. Senyumnya terkembang lebar menghiasi bibirnya.

Setelah merasa kenyang, Arisuta mengambil sebuah cangkul dan mengajak Danandra menuju bagian belakang gubuk kecil mereka, lebih tepatnya sungai kecil dangkal tempat Danandra membersihkan tubuhnya tadi.

"Hal pertama yang harus kau lakukan adalah membentuk otot dan tulangmu agar nanti bisa untuk menyimpan tenaga dalam. Jadi untuk beberapa hari ke depan, aku akan melatih fisikmu agar lebih berisi," kata Arisuta sedikit menjelaskan.

"Baik, Kakek. Apapun yang Kakek perintahkan, aku akan menurutinya," sahut Danandra tegas tanpa berpikir panjang. Dia sudah tidak sabar untuk menjalani pelatihan di bawah bimbingan Arisuta.

Latihan pertama yang harus Danandra lakukan untuk membentuk otot dan tulangnya adalah membuat sebuah kolam kecil, sebagai tempat menampung aliran air sungai kecil yang dangkal namun jernih itu. Dan dia harus melakukannya hanya dalam waktu 7 hari saja.

Tanpa membantah dan mengeluh sedikitpun, Danandra melaksanakan perintah Arisuta setelah lelaki tua itu memberinya sebuah cangkul yang dibawanya.

Hari demi hari dilalui Danandra dengan penuh semangat. Peluh yang bercucuran membasahi pakaian dan rasa lelah yang mendera tubuhnya, tidak membuat semangat pemuda itu mengendur. Justru dia merasa tercambuk untuk mempercepat penyelesaian pembuatan kolam kecil tersebut.

Tanpa terasa, pembuatan kolam yang diperintahkan Arisuta telah diselesaikan Danandra sehari lebih cepat dari waktu yang ditentukan.

Arisuta yang melihat betapa kuatnya semangat pemuda itu lalu tersenyum kecil.  Penyelesaian kolam yang seharusnya bisa memakan waktu 14 hari bagi orang biasa, bisa diselesaikan Danandra dalam waktu 6 hari. Padahal dia memberi tenggat waktu kepada pemuda tersebut hanya 7 hari saja. Kini dia sepenuhnya yakin Danandra akan bisa melahap ilmu kanuragan yang akan di diberikannya lebih singkat dari pada semestinya.

Lelaki tua itu lalu memberikan waktu istirahat bagi Danandra selama 2 hari lamanya. Setelah itu dia akan melatih beberapa jurus yang dimilikinya, termasuk ilmu meringankan tubuh.

Dua hari berikutnya, Arisuta dan Danandra sudah berada di tanah lapang di sekitar gubuk.  Posisi mereka saling berhadapan dan memandang satu sama lain.

"Danandra, ada dua jurus pertarungan tangan kosong dan dua jurus pedang yang akan aku berikan kepadamu. Kedua jurus jurus pedang itu akan sangat berfungsi untuk menyerang, baik serangan jarak jauh maupun jarak dekat, dan juga bisa untuk melawan lawan dalam jumlah banyak."

Lelaki tua itu kemudian menjelaskan satu persatu jurus yang akan diberikannya Danandra.

* Jurus Pukulan Tapak Naga Suci
* Cakar Naga Membelah Bumi
* Pedang Cahaya Pembasmi Iblis
* Pedang Seribu Cahaya Suci

Danandra yang belum memiliki dasar sama sekali tentang ilmu kanuragan, awalnya dibuat kesulitan dengan pelatihan yang diberikan Arisuta. Gerakannya masih begitu kaku karena belum terbiasa. Namun seiring berjalannya hari, pemuda itu sudah bisa menyesuaikan diri dengan pelatihan yang dilakukannya. Perkembangannya pun terlihat pesat setelah memasuki bulan kedua pelatihan.

Tanpa terasa sudah lebih dari setahun Danandra berlatih di bawah bimbingan Arisuta. Dia pun sudah menguasai sepenuhnya empat jurus yang diberikan Arisuta.

"Perkembanganmu lebih cepat dari perkiraanku, Danandra. Namun untuk lebih menyempurnakan lagi 4 jurus yang sudah kau kuasai itu, kau harus berlatih tenaga dalam. Dan itu tidak bisa dilakukan di sini," ujar Arisuta. Dia lalu mengajak Danandra menuju sebuah pohon paling besar yang ada di hutan tersebut.

"Bagi seorang pendekar, gerakan jurus dan tenaga dalam itu sangat erat kaitannya. Selain bisa digunakan untuk menyerang, tenaga dalam juga sangat berfungsi untuk bertahan." Arisuta terus menjelaskan dengan detil setiap langkah yang harus dilakukan Danandra untuk menguasai tenaga dalam.

Setelah itu, Danandra memanjat pohon besar tersebut sampai ke atas dan kemudian duduk bersila di atas sebuah dahan yang besar. Dia memusatkan konsentrasinya untuk menarik unsur alam yang nantinya akan digabungkannya dengan unsur murni di dalam tubuhnya.

Hari sudah bergerak menuju sore hari. Butuh waktu satu minggu lamanya bagi Danandra bermeditasi di atas pohon besar tersebut untuk menyempurnakan pelatihan tenaga dalamnya. Setelah itu dia membuka matanya dan melompat turun dari atas pohon dan kembali menuju gubuk.

Sesampainya di dalam gubuk, terlihat Arisuta sudah menunggunya. "Akhirnya kau sudah menyelesaikannya. Aku merasakan tenaga dalammu meningkat pesat, dan itu suatu hal yang sangat positif untukmu."

Arisuta mengambil sebuah bungkusan kain yang terlihat panjang dan memberikannya kepada Danandra.

"Bukalah!" perintahnya.

Danandra membelalakkan matanya setelah membuka bungkusan kain panjang yang ternyata berisi sebuah pedang. "Bukankah ini pedang ayahku?"

"Kau benar. Kakek mengambilnya dari rumahmu setelah tahu kedua orang tuamu sudah meninggal. Sekarang pergilah dan selesaikan apa yang harus kau lakukan. Setelah itu, kembalilah ke sini! Ada sesuatu hal yang ingin aku sampaikan padamu sebelum kita harus benar-benar berpisah."

Danandra termenung mendengar ucapan Arisuta. Sesungguhnya dia tidak ingin berpisah dengan lelaki tua itu, tapi pasti ada sesuatu yang penting yang akan disampaikan gurunya tersebut sehingga mereka harus berpisah.

"Temuilah Ki Anom jika kau sudah sampai di desa. Dia akan memberitahumu siapa yang telah memfitnah kedua orang tuamu."

"Tapi, Kek ... apa beliau tidak akan melaporkan keberadaanku kepada penduduk desa?"

"Kenapa kau harus takut? Bukankah kau sudah memiliki kemampuan sekarang? Bilang saja kepada Ki Sapto jika aku yang menyuruhmu menemuinya," jawab Arisuta.

Danandra menganggukkan kepalanya. Setelah itu dia keluar dari gubuk kecil tersebut dan kemudian berlari menuju desa.

Beberapa saat lamanya, ketika malam sudah menggantikan siang, Danandra yang sudah sampai di desa, langsung bergerak mengendap-endap menuju rumah Ki Anom. Tidak butuh waktu lama baginya untuk sampai di rumah lelaki tua yang juga sesepuh desa itu.

Setelah itu dia mengetuk pintu tersebut secara perlahan. Sesaat kemudian, pintu itupun terbuka lebar dan terlihat seorang lelaki tua berdiri di bawah pintu tersebut.

"Masuklah! Aku sudah lama menunggumu." kata lelaki tua tersebut.

Danandra mengernyitkan dahinya sejenak sebelum memasuki rumah tersebut. Dia tentu saja dibuat heran, bagaimana bisa lelaki tua itu sudah menunggunya, padahal baru kali itu dia berinteraksi dengannya.

Bab 4 Pembalasan Dendam 

"Duduklah!" ucap lelaki tua itu setelah menutup pintu rumahnya.

"Bagaimana Kakek sudah menungguku? Padahal kita kan baru kali ini ..." Belum juga pemuda itu menyelesaikan ucapannya, lelaki tua yang bernama Ki Anom itu menyahutinya.

"Aku tahu maksud pertanyaanmu, Danandra. Tetua Arisuta sudah menjelaskannya kepadaku tempo hari saat kau sedang bermeditasi. Beliau banyak bercerita tentangmu dan juga kedua orang tuamu. Dan aku juga sebetulnya sudah sangat mengenal kedua orang tuamu, terutama ayahmu. Meski mereka berdua pendatang di desa ini, tapi berkat Tetua Arisuta, aku mengetahui siapa jati diri kedua orang tuamu."

"Jadi orang tuaku pendatang di desa ini?"

Ki Anom menganggukkan kepalanya. Matanya menatap tajam Danandra yang terlihat kebingungan dengan ucapannya.

"Lalu kedua orang tuaku berasal dari mana?"

"Aku sulit untuk mengatakannya, Danadra. Biar nanti Tetua Arisuta saja yang mengatakannya kepadamu. Beliau yang punya kapasitas untuk mengatakan kepadamu tentang jati dirimu sebenarnya."

"Apa mungkin tentang jati diriku yang nanti hendak disampaikan kakek kepadaku?" tanya Danandra dalam hati. Segera dia mengalihkan pikirannya, karena tujuannya kembali ke desa ini adalah untuk membersihkan nama baik kedua orang tuanya. Sekaligus juga untuk memberi hukuman kepada orang-orang yang telah memfitnah keduanya. Dia tidak peduli jati dirinya siapa, toh dia hanya anak dari sepasang suami yang miskin, pikirnya.

"Kakek Arisuta tadi mengatakan jika Kakek Anom mengetahui siapa yang memfitnah kedua orang tuaku. Tolong katakan kepadaku siapa pelakunya, Kek?"

Ki Anom tersenyum hangat kepada pemuda itu. "Setelah kau mengetahuinya, apa yang akan kau lakukan padanya?"

"Pertama, aku akan membersihkan nama kedua orang tuaku. Lalu aku akan menghukum siapapun yang telah membuat orang tuaku sampai meninggal dunia!" jawab Danandra geram.

"Apa kau sudah yakin dengan kemampuan yang kau miliki?"

"Alam telah menempaku untuk tidak menjadi pribadi yang lemah, Kakek. Kalaupun nasibku nanti akan sama dengan yang dialami kedua orang tuaku, aku tidak akan menyesalinya."

"Baiklah ..." Ki Anom menghela nafas panjang.

"Apa kau kenal juragan Pratama?"

Danandra mengangkat kedua alisnya ke atas seperti sedang berpikir. Sesaat kemudian dia mengangguk pelan. "Apa dia orang yang memfitnah kedua orang tuaku?"

"Dia bukan pelaku utama. Tapi juragan Pratama punya andil besar sehingga orang tuamu sampai difitnah Kepala Desa Subrada," jawab Arisuta.

"Sebentar, Kakek ... Apa kaitannya juragan Pratama dengan Kepala Desa Subrada?" tanya Danandra lagi kebingungan.

"Jadi begini, Danandra. Sebelum kedua orang tuamu meninggal, ada serentetan kejadian pencurian yang sangat sering terjadi di desa ini. Pada puncaknya, rumah Kepala Desa yang disatroni pencuri, dan dia akhirnya memberitahu kepada seluruh penduduk desa agar setiap rumah di geledah untuk mencari barang bukti patung emas." Ki Anom mengambil nafas panjang beberapa kali sebelum melanjutkan ucapannya.

"Setelah seluruh rumah di desa ini digeledah, barang bukti yang dicari ditemukan di belakang rumahmu dan dipendam di dalam tanah," sambungnya.

Danandra tidak bisa menahan keterkejutannya. Mulutnya terbuka lebar saking tidak percayanya.

"Aku tahu kau tidak percaya dengan kejadian itu, aku pun juga. Setelah kejadian kedua orang tuamu dihukum mati oleh penduduk desa, aku mengutus orang kepercayaanku untuk mencari tahu kebenarannya."

"Lalu bagaimana hasilnya, Kek?" tanya Danandra tidak sabar.

"Setelah beberapa hari lamanya orang kepercayaanku itu mencari, sebuah berita mencengangkan aku dapat darinya. Ternyata kedua orang tuamu difitnah oleh Kepala Desa Subrada. Dan ternyata semua kejadian pencurian itu diprakarsai olehnya."

Danandra seketika mengepalkan kedua tangannya dengan kuat. Dia tidak bisa menerima kenyataan yang baru saja didengarnya. "Lalu  andil juragan Pratama apa, Kek?"

"Juragan Pratama ternyata menyukai ibumu, Danandra. Dia ingin menjadikan ibumu sebagai istrinya yang kesekian dan juga menyuruh ibumu untuk bercerai dengan ayahmu. Tapi ibumu menolaknya mentah-mentah hingga membuat juragan Pratama sakit hati. Nah, atas dasar itulah juragan Pratama yang juga teman baik Kepala Desa Subrada, meminta bantuan temannya itu untuk memberi pelajaran kepada kedua orang tuamu, hingga kejadian itupun terjadi."

"Mereka harus menebus kematian kedua orang tuaku!" Danandra bangkit berdiri namun langsung dicegah Ki Anom.

"Jangan memakai emosimu, Danandra. Kau tidak bisa langsung menghakimi mereka tanpa bukti yang kuat. Tunggulah sampai besok di sini! Aku akan memanggil orang kepercayaanku itu ke sini untuk memberitahumu informasi itu didapatnya dari siapa. Namanya Purbaya."

Danandra kembali duduk di kursinya. Dia teringat ucapan Arisuta yang memberinya wejangan agar tidak menggunakan emosinya dalam mengambil setiap keputusan.

"Maafkan aku, Kek. Aku terbawa emosi," ucap Danandra sambil menundukkan kepalanya.

Sesaat kemudian, sesepuh desa itu masuk ke bagian dalam rumahnya. Tak berapa lama dia kembali keluar. Kali ini Ki Anom bersama seorang gadis cantik yang membawa makanan di tangannya.

"Kenalkan cucuku ini, Danandra. Namanya Sinta."

Danandra memandang gadis cantik itu sambil tersenyum lalu kembali menundukkan kepalanya.

Sinta terlihat salah tingkah dengan senyuman yang dilontarkan Danandra kepadanya.

"Sekarang makanlah dulu. Setelah itu beristirahatlah di kamar yang akan disiapkan Sinta!"

Danandra mengangguk dan kemudian memakan makanan yang ada di meja itu dengan lahap. Dia baru ingat jika sudah seminggu perutnya tidak terisi makanan setelah bermeditasi di atas pohon.

Keesokan paginya, seorang lelaki setengah baya memasuki rumah bersama Sinta. Danandra dan Ki Anom yang sedang berbincang di ruang tamu, melihat kedatangan mereka berdua dan menyambutnya dengan senyuman.

Lelaki itu kemudian duduk di sebuah kursi. Sedangkan Sinta sendiri berjalan masuk ke dalam rumah. Matanya sempat melirik ke arah Danandra yang juga sedang meliriknya, hingga kedua mata mereka berdua bertemu. Alhasil, Kedua pipi gadis itu bersemu merah karena malu.

"Danandra, Inilah dia orang yang aku suruh untuk mencari tahu kebenaran fitnah yang dialamatkan kepada kedua orang tuamu."

Danandra menyapa lelaki bernama Purbaya itu dengan anggukan kepalanya. Mereka bertiga akhirnya terlibat pembicaraan panjang terkait rencana apa yang harus Danandra lakukan.

Beberapa lama kemudian, Danandra dan Purbaya keluar dari rumah Ki Anom. Pemuda itu memakai caping bambu untuk menutupi wajahnya. Tujuan mereka adalah rumah seorang lelaki bernama Jaka, yang dulu pernah bekerja di rumah Kepala Desa Subrada. Jaka sendiri kebetulan adalah saudara misan Purbaya. sehingga tidak sulit bagi Purbaya untuk mengorek keterangan dari Jaka.

Sepanjang perjalanan, pemuda itu menundukkan kepalanya agar wajahnya tidak terlihat oleh penduduk desa.

Tak berapa lama, mereka akhirnya sudah sampai di rumah yang dituju. Seorang lelaki yang seumuran dengan Purbaya, mempersilahkan keduanya masuk ke dalam rumahnya.

Setelah menjelaskan tentang siapa Danandra kepada Jaka, Purbaya menyuruh saudaranya itu untuk menceritakan kejadian yang didengarnya, ketika Pratama dan Purbaya merencanakan fitnah untuk memfitnah kedua orang tua Danandra.

Setelah mendengar cerita dari Jaka, Danandra  langsung membuat rencana untuk mendatangi rumah Pratama terlebih dahulu. Dia berpikir untuk mengeksekusi juragan kaya itu untuk yang pertama, karena Pratama-lah sumber utama masalah tersebut.

Ketiganya akhirnya keluar dari rumah Jaka dan berjalan menuju rumah Pratama yang tidak jauh dari rumah Jaka.

Tidak butuh waktu lama bagi ketiganya untuk sampai di rumah Pratama yang besar dan terlihat mewah, untuk ukuran desa itu.

Empat orang berwajah bengis terlihat berjaga di depan pintu rumah besar itu. Di pinggang mereka tergantung pedang yang siap digunakan sewaktu-waktu jika dibutuhkan. Tatapan keempat penjaga itu begitu tajam setelah Purbaya menanyakan keberadaan Pratama.

"Ada keperluan apa kalian mencari juragan Pratama?!" bentak seorang penjaga.

"Ada sesuatu yang harus dia pertanggung jawabkan!" sahut Danandra  cepat sambil membuka caping bambu yang dipakainya . Dia sudah tidak sabar dan tidak ingin bertele-tele lagi.

"Kau ...! Bukankah kau anak dari  si pencuri itu?" penjaga tersebut sepertinya sudah mengetahui tentang Danandra sebelumnya.

"Jaga bicaramu jika tidak ingin nyawamu melayang! Orang tuaku bukan pencuri!" bentak Danandra, hingga terdengar oleh Pratama yang berada di dalam rumahnya.

Lelaki setengah baya itu buru-buru keluar untuk melihat apa yang terjadi.

Bab 5 Korban Pertama 

"Hahahaha ... teman-teman, anak ingusan ini berani mengancam akan membunuh kita? Apa mungkin karena dihajar penduduk desa setahun yang lalu sudah membuat otaknya bergeser dari tempatnya?" ejek penjaga tadi yang langsung disambut tawa teman-temannya.

"Kencing saja masih belum lurus, sudah berani berlagak di depan kita! Dasar anak pencuri!" sahut temannya.

"Ternyata kalian tidak bisa diberi hati!" teriak Danandra sebelum melesat cepat sambil melepaskan salah satu jurusnya, Pukulan Tapak Naga Suci, ke salah satu penjaga dan mengena dengan telak di dadanya.

Tanpa diduga siapapun yang ada di tempat itu, penjaga yang terkena serangan telapak tangan Danandra langsung terhempas ke belakang hingga menabrak pintu rumah. Tubuhnya menggeliat hebat sebelum kematian menjemputnya.

"Kau ... Berani sekali kau membunuh temanku! seorang penjaga berteriak keras seraya memandang Danandra dengan tatapan tajam, tapi terbersit juga sedikit ketakutan di hatinya. Sebab seorang temannya mati hanya dalam satu serangan.

Tubuh pemuda tersebut sedikit bergetar setelah serangannya yang tak terduga mengenai sasaran. Dia merasakan sensasi aneh setelah melakukan pembunuhan pertamanya. Ada rasa takut sekaligus puas karena telah membunuh orang yang berani menghina orang tuanya.

"Kau juga akan merasakan kematian yang sama karena telah berani menghina orang tuaku!" Setelah melakukan pembunuhan pertamanya, sifat buas Danandra  semakin meluap-luap.

Benar kata Arisuta, pemuda itu akan sangat menakutkan jika tidak bisa mengontrol dirinya sendiri.

Seusai berucap, Danandra langsung bergerak menyerang penjaga satunya yang sudah menghina orang tuanya. Penjaga tersebut langsung meladeni serangan yang dilepaskan pemuda itu. Namun karena kemampuan Danandra yang jauh di atasnya, dalam waktu singkat penjaga tersebut langsung menggelepar di tanah lalu meregang nyawa mati. Dada dan perut penjaga tersebut robek setelah terkena sambaran cakar Danandra .

Dua penjaga lainnya yang melihat kedua temannya sudah tewas, hanya bisa mematung ketakutan. Tidak sedikitpun mereka berani untuk bergerak karena lebih sayang nyawanya.

Pratama yang baru saja keluar dari dalam rumahnya, dibuat terkejut dengan tergeletaknya dua orang penjaga di tanah. Dia bisa melihat jika tubuh keduanya sudah tidak bergerak lagi dan dipastikan tidak bernyawa.

"Kenapa kau membuat kekacauan di rumahku!? Aku akan melaporkanmu kepada Kepala Desa!" Kemarahan jelas terlihat di mata lelaki bertubuh tinggi besar, dan kumis melintang tebal di atas bibirnya itu.

Danandra melihat ke arah Pratama dengan mata terbuka lebar. Di hadapannya kini sudah berdiri sosok yang sudah membuat kedua orang tuanya mendapat fitnah keji dan akhirnya dihukum mati.

"Kau tidak perlu repot-repot untuk mengadu kepada kepala desa biadab itu. Setelah nyawamu tercabut dari tubuhmu, giliran dia yang akan kuberi hukuman mati! Sudah waktunya bagi kalian untuk menebus kesalahan besar yang sudah kalian lakukan kepada orang tuaku!" bentak Danandra. Dia semakin sulit untuk mengontrol emosinya sendiri.

Pratama memandang  Danandra dengan seksama. Sekilas dia melihat wajah Arga dan Gayatri di wajah pemuda itu.

"Kau ... Bukankah kau sudah tewas dihajar penduduk desa setahun yang lalu?" Pratama teringat dengan ucapan Subadra tempo hari yang mengatakan jika anak dari Arga dan Gayatri itu 
sudah tewas dihajar penduduk desa.

"Apa kau sudah buta? Yang kau lihat sekarang ini bukan hantu, tapi malaikat yang akan mencabut nyawamu!"

Pratama jelas tidak menduga jika anak dari dua orang yang sudah difitnahnya hingga berakibat kematian, akan datang untuk membalas dendam.

"Apa alasanmu hendak membunuhku? Aku tidak pernah melakukan apapun terhadap kedua orang tuamu."

"Hhhh ... Kau ini seperti para pimpinan di atas sana yang begitu pandai memutar balikkan fakta. Apa kau berlagak lupa telah memfitnah kedua orang tuaku yang berujung kematian mereka berdua di tangan penduduk desa?" cibir Danandra.

"Aku adalah seorang lelaki yang bermartabat. Aku tidak mungkin melakukan hal sekotor itu kepada kedua orang tuamu," bantah Pratama.  

Danandra  menoleh kepada Jaka dan Purbaya yang berada di belakangnya, dan memberi mereka berdua kode untuk maju ke sampingnya.

"Paman Purbaya adalah saksi kuncinya. Apa kau sudah lupa dengannya? Dia dulu bekerja di rumah kepala desa Subadra." Danandra mengalihkan pandangannya ke arah Subadra.

Pratama berpura-pura mengingat sesuatu. Tapi itu hanya alasannya untuk mengulur waktu mencari jalan keluar lepas dari masalahnya saat ini. "Aku tidak paham apa yang kamu maksudkan?" ucapnya pelan beralasan.

"Hahahaha ... sudah aku duga kau akan berpura-pura bodoh. Orang sepertimu sudah pasti takut akan kematian. Paman Jaka ini adalah saksi kunci yang mendengar pembicaraanmu dengan kepala desa Subadra, tentang rencana memfitnah kedua orang tuaku."

Tanpa terasa, peluh dan keringat dingin mulai keluar dari tubuh Pratama. Melihat pemuda itu bisa membunuh kedua penjaga rumahnya dengan begitu mudah, dia yakin akan terbunuh juga dengan mudah. Satu-satunya jalan untuk selamat adalah melarikan diri.

Pratama lalu menoleh kepada dua orang penjaga yang masih berdiri mematung. "Kalian berdua jangan diam saja seperti patung, cepat bunuh dia!"

Kedua penjaga itu langsung menundukkan wajahnya begitu Danandra memandang mereka serasa tersenyum lebar. Bagi mereka berdua, senyuman itu seperti anak panah yang siap menghujam jantung mereka. Senyuman itu juga seolah menjadi penanda, agar mereka lebih memikirkan nyawa mereka sendiri daripada nyawa Pratama.

"Maaf, Juragan. Kami tidak tahu menahu tentang masalah ini. Kami berdua juga baru satu tahun ini ikut bekerja pada Juragan. Jadi masalah ini murni juragan sendiri yang harus menyelesaikannya," kata seorang penjaga yang langsung berlari menyelamatkan diri seusai berucap. Temannya juga ikut menyusul berlari meninggalkan rumah besar itu. Mereka tentu tidak mau nyawa mereka terlepas dari raga.

"Pengecuuut ...!" teriak Pratama kepada dua penjaga yang sudah berlari meninggalkannya.

"Apa kau juga bukan seorang pengecut yang hanya berani memakai tangan orang lain untuk memuluskan tindakan burukmu?" .

Pratama menelan ludahnya ketakutan. Dia langsung berlari masuk ke dalam rumahnya dan mengambil sebuah pedang yang tergantung di dinding. Setelah itu dia kembali keluar dan langsung menyerang Danandra.

Belum sempat serangannya mendekati sasaran, Danandra  sudah melesat dan memberikannya pukulan tepat di ulu hatinya. Pratama terjengkang ke belakang dan langsung memuntahkan darah segar. Nafasnya tersengal-sengal seolah ada beban yang begitu berat menekan paru-parunya.

Pemuda itu sengaja tidak langsung membunuh Pratama dan hanya membuatnya terluka berat. Dia mempunyai rencana untuk membawanya menuju rumah kepala desa Subadra.

Sebuah tendangan dilepaskan Danandra ke arah perut Pratama yang bahkan belum bangkit berdiri. Lelaki itu mengeluh kesakitan dengan begitu kerasnya seraya memohon ampun kepada Danandra .

"Ampuni aku ... Aku akan memberikan semua apapun yang kau inginkan jika kau membiarkanku hidup." Pratama lirih memohon.

Danandra mengambil pedang Pratama yang tergeletak di depannya.

"Memaafkanmu akan menjadi dosa terbesarku kepada kedua orang tuaku. Tapi kau tenang saja, aku tidak akan membunuhmu sekarang. Sekarang berdirilah atau aku akan membunuhmu!"

Pratama sedikit bernafas lega. Setidaknya jika dia tidak dibunuh sekarang, masih ada kemungkinan untuknya hidup lebih lama. Dia lalu berdiri sambil tetap memegangi perut dan dadanya yang terasa begitu nyeri.

"Sekarang kita akan menuju rumah kepala desa! Jika kau berani melarikan diri, aku pastikan pedangmu ini akan memenggal kepalamu!"

"Sebelum sampai di rumah kepala desa, Paman berdua pergilah. Biar aku sendiri yang menyelesaikannya. Tapi sebelumnya aku minta tolong agar Paman mengatakan kepada penduduk desa tentang kebohongan yang dilakukan mereka berdua kepada orang tuaku," ucap Danandra kepada Jaka dan Purbaya. Bilah pedang yang dipegangnya sudah menempel di leher Pratama.

Selama di perjalanan menuju rumah kepala desa Subadra, puluhan penduduk melihat apa yang dilakukan Danandra  kepada Pratama. Mereka hendak membantu Pratama dari kematian yang akan menimpanya, tapi Jaka dan Purbaya langsung bereaksi dengan mengatakan kebenaran yang harus mereka sampaikan.

Sesampainya di depan rumah kepala desa Subadra yang juga sebuah perguruan, 6 orang penjaga pintu gerbang langsung mencabut pedangnya begitu tahu Pratama datang dengan seorang pemuda yang sudah siap untuk mencabut nyawa juragan kaya tersebut. Mereka tahu, Pratama adalah sahabat karib dari Subadra yang juga guru mereka. Dan mereka merasa sudah menjadi kewajiban bagi mereka untuk membantu Pratama.

"Lepaskan Juragan Pratama jika tidak ingin kami memenggal kepalamu!" bentak seorang dari mereka.

Danandra tersenyum sinis melihat para penjaga pintu gerbang berkemampuan rendah yang sudah berani mengancamnya.

Bab 6 Fakta yang Terungkap 

"Aku akan melepaskan lelaki ini jika kalian memanggilkan kepala desa biadab itu kemari!"

"Jaga ucapanmu, Bangsat! Guru tidak pantas untuk bertemu denganmu!" sahut penjaga tadi.

"Memang benar... manusia hina itu tidak pantas untuk bertemu denganku. Dia terlalu busuk hati dan kelakuannya."

Para penjaga pintu gerbang itu tidak bisa menerima hinaan yang dilakukan Danandra. Mereka pun langsung bergerak maju. Namun Danandra langsung menekan bilah pedang yang dipegangnya ke leher Pratama. Darah menetes dari leher juragan kaya tersebut hingga meringis kesakitan. "Selangkah lagi kalian maju, aku akan memenggal kepala juragan bajingan ini!"

Seketika langkah 6 penjaga itu itupun terhenti. Mereka tidak berani mengambil resiko nyawa Pratama tercabut dari tubuhnya.

Seorang penjaga akhirnya berlari memasuki kompleks bangunan rumah yang juga berfungsi sebagai perguruan itu.

Selang beberapa saat, Subadra dengan tergesa-gesa keluar dari pintu gerbang setelah mendapat informasi dari anggotanya.   Raut mukanya terlihat marah begitu melihat Pratama nyawanya dalam kondisi terancam.

Di belakang kepala desa yang juga ketua sebuah perguruan silat itu, lebih dari 20 orang muridnya berdiri berjajar dengan tangan sudah memegang gagang pedangnya masing-masing.

Melihat kemunculan Subadra, Pratama bisa bernafas lega. Dia yakin kali ini nyawanya bisa diselamatkan," Tetua, tolong aku!" ucapnya pelan.

"Lepaskan Pratama, maka aku akan membiarkanmu pergi dari sini hidup-hidup!" bentak Subadra. Wajah lelaki itu terlihat memerah karena Danandra sudah mengancam nyawa sahabat karibnya tersebut.

"Apa kau sudah kehilangan kewarasanmu, kepala desa biadab! Aku datang kemari untuk membuat perhitungan denganmu, dan kau malah menyuruhku pergi?"

Emosi Subadra seketika memuncak. Selama ini tidak ada yang berani menghinanya dengan sebegitu rupa. Tapi kali ini ada seorang pemuda ingusan yang secara terang-terangan berani menghinanya.

Di saat bersamaan, Jaya juga terlihat keluar dari pintu gerbang menyusul ayahnya. Matanya membelalak lebar ketika melihat Danandra kembali muncul di desa tersebut.

"Ternyata kau yang sudah berani membuat keributan di tempat ini, Pecundang. Kemana saja kau selama ini bersembunyi dari tangan dan kakiku ini?"

Danandra terkekeh pelan. Dia tidak sedikitpun terpancing emosinya oleh ucapan Jaya. Bahkan dia mencibir balik terhadap anak kesayangan Subadra itu.

"Akhirnya anak ayah ikut keluar juga. Kau juga harus diberi pelajaran agar kau sadar, kekuasaan ayahmu tidak akan bisa menyelamatkan hidupmu!"

"Kau mengenalnya, Jaya?" tanya Subadra kepada anaknya yang terlihat geram dengan hinaan Danandra.

Jaya mengangguk, "Dia ini hanya pecundang yang mengotori desa kita ini, Ayah. Lebih dari setahun yang lalu dia dihajar penduduk desa karena hendak membobol sebuah lapak pedagang."

Subadra sedikit terkejut dengan ucapan anak kesayangannya itu. Dia masih ingat dengan informasi yang dia dapatkan setahun lalu tentang penduduk yang menyisir desa untuk mencari seorang pencuri. Subadra juga tahu jika pencuri yang dimaksud itu adalah anak dari Dirga dan Gayatri.

"Jadi kau anak dari sepasang pencuri yang sudah dihukum mati penduduk desa 15 tahun lalu itu?"

"Syukurlah jika kau tahu. Jadi aku tidak perlu mengenalkan diriku padamu lagi. Sudah saatnya kau menebus kesalahan fatal karena  sudah memfitnah kedua orang tuaku saat itu!"

Subarda tiba-tiba saja tertawa terbahak-bahak. Dia menganggap ucapan Danandra adalah lelucon terbesar yang pernah dia dengarkan selama ini.

"Anak tidak tahu diuntung! Seharusnya kau tahu bagaimana permintaan ayahmu sebelum hukuman mati itu dilakukan. Saat itu ayahmu meminta agar kau tidak diikut-ikutkan dalam permasalahan yang dia hadapi. Dan anehnya, sekarang kau datang kemari untuk menyerahkan nyawamu begitu saja."

Danandra menanggapi sikap arogan Subadra dengan senyuman simpul di bibirnya. "Setidaknya tuduhan palsu terhadap kedua orang tuaku hanya kebohongan semata. Dan kau adalah pelaku yang telah memfitnah mereka berdua!" Danandra kembali menekan bilah pedang yang dipegangnya ke leher Pratama. Juragan kaya itu sedikit berontak karena Subadra tidak kunjung menyelamatkan nyawanya.

"Jaga ucapanmu, Bocah! Aku adalah seorang kepala desa sekaligus ketua perguruan, mana mungkin aku melakukan perbuatan hina seperti kau tuduhkan?" bentak Subadra. Dia tentu tidak ingin aib yang disimpannya rapat-rapat selama 15 tahun terakhir, akhirnya terbongkar.

"Ternyata kau tidak sayang dengan nyawa temanmu ini! Kau boleh saja mungkir dengan kelakuan busukmu saat itu, tapi aku punya saksi kunci yang mengetahui ketika kau dan temanmu merencanakan fitnah terhadap kedua orang tuaku." Tiba-tiba saja Danandra langsung memukul perut Pratama, hingga membuat juragan kaya bertubuh tinggi besar itu berlutut kesakitan.

Danandra kembali menempelkan bilah pedang yang tajam di tangannya ke leher Pratama dan menekannya sedikit kuat.

Leher Pratama kembali mengeluarkan darah segar dan membuatnya mengaduh kesakitan. Matanya menatap sayu ke arah Subadra yang seolah tidak mempedulikannya.

"Tetua, tolong aku," ucap Pratama lirih.

"Kenapa aku harus menolongmu? Kau yang harus bertanggung jawab karena nafsumu terhadap Gayatri yang tidak bisa kau kendalikan!"

Bagaikan terpukul palu godam, Pratama membelalak tidak percaya dengan ucapan Subadra. Lelaki tua yang juga sahabatnya itu ternyata tidak peduli dengan nasibnya.

"Kau yang merencanakan fitnah kepada Arga dan Gayatri, tapi kau tidak mau ikut bertanggung jawab. Sahabat macam apa kau ini?" bentak Pratama.

"Kau jangan ikut-ikut memfitnahku juga, Pratama! Aku hanya memberimu saran saat itu."

"Cuma saran? Apa kau lupa siapa yang mengubur patung emas milikmu di belakang rumah Dirga? Apa kau sudah pikun sekarang, Subarda?" ejek Pratama. Dia sudah tidak berpikir untuk menjalin persahabatan lagi dengan lelaki tua itu.

Danandra hanya mendengarkan dan membiarkan kedua orang itu beradu argumen. Semakin mereka bertengkar hebat, maka kebenaran akan semakin terbuka lebar.

"Di mana Atmaja sekarang? Panggil ke sini orang yang sudah kau suruh mengubur patung emasmu di belakang rumah Dirga malam itu!" Suara Pratama begitu keras, hingga membuat para penduduk yang sudah berdatangan di rumah Subarda mendengar dengan jelas.

Tanpa diketahui Pratama, Atmaja sudah dibunuh oleh Subarda. Kepala desa itu takut orang yang disuruhnya untuk mengubur patung emas di belakang rumah Dirga tersebut, akan membocorkan kepada orang lain tentang fitnah yang dilakukannya.

"Apa kau lupa Atmaja sudah mati, Pratama?"

"Aku tidak lupa, Subarda! Dan aku juga tahu jika kau menyuruh orang-orangmu untuk membunuhnya di dalam hutan," sahut Pratama cepat.

Para penduduk desa yang mendengar perdebatan di antara Pratama dan Subarda, akhirnya percaya dengan informasi yang mereka dengar dari Jaka dan Purbaya terkait fitnah yang dialamatkan kepada kedua orang tua Danandra tersebut.

Rasa penyesalan langsung muncul di pikiran mereka, terutama yang ikut dalam hukuman mati 15 tahun lalu. Hanya karena fitnah yang dilakukan Subarda dan Pratama, Arga dan Gayatri yang sebenarnya sangat santun di mata mereka, menjadi korban kebejatan rencana itu.

"Saudara sekalian, kebenaran akhirnya terungkap hari ini. Nama baik kedua orang tuaku sudah kembali lagi seperti semula. Meskipun begitu, tapi bukan berarti hukuman terhadap kedua pelaku utama ini aku hentikan. Hari ini juga, aku akan memberi hukuman mati kepada mereka!"

Subarda semakin geram karena kedok busuknya sudah terungkap. Dia merasa sudah kepalang basah dan akan melanjutkan perbuatan kotornya. Pratama dan Danandra adalah target yang harus dibunuhnya. Jika mereka berdua mati, maka penduduk desa tidak akan berani mengungkit kesalahannya.

"Kalian berdua harus mati!" bentaknya kepada Danandra dan Pratama.

Subarda langsung mencabut pedangnya dan bergerak menyerang Danandra. Namun pemuda itu langsung melompat jauh ke belakang, hingga serangan Subadra langsung mengenai leher Pratama.
 

Bab 7 Melawan Subadra

Juragan kaya di desa tersebut pun akhirnya tewas di tempat setelah kepalanya terlepas dari badannya.

Melihat Danandra  bisa menghindari serangan ayahnya dengan cukup mudah, Jaya langsung menyerang pemuda tampan itu dengan pedang yang sudah tergenggam di tangannya. Meskipun sudah tidak bertemu Danandra selama setahun lebih, tapi Jaya masih menganggap pemuda yang dulu bias dihajarnya itu bisa dengan mudah dikalahkannya.

Tapi keyakinannya ternyata berbanding terbalik dengan kenyataan. Serangannya bahkan tidak sekalipun mengenai tubuh Danandra.

"Ada yang perlu kau tahu, Jaya. Kau hanyalah sosok lemah yang hanya bisa mengandalkan kekuasaan ayahmu. Namun hari ini, aku akan membuat ayahmu menderita dengan melihatmu terbunuh!" Danandra menangkis serangan Jaya dengan kuat, hingga pedang di tangan anak kepala desa itu terlepas.

Jaya memekik keras. Tangan kirinya memegang dengan kuat pergelangan tangan kanannya yang terasa ngilu. Bahkan setelah pedangnya terlepas dari tangannya, getarannya masih begitu terasa. Dia benar-benar tidak menyangka, satu tahun tidak bertemu, Danandra yang dulu menjadi sansak hidup untuknya melatih pukulan dan tendangannya, kini sudah sangat jauh berbeda.

"Tapi aku tidak akan langsung membunuhmu. Kau akan aku buat menderita dulu!" Lanjut Danandra seraya melepaskan pukulannya ke arah ulu hati Jaya.

Meski berstatus anak dari seorang ketua perguruan silat di desanya, nyatanya Jaya tidak memiliki kemampuan yang mumpuni. Hanya sesekali dia berlatih, itupun karena disuruh ayahnya. Hari-harinya selalu dihabiskannya dengan bermain bersama tiga anak buahnya.

Pukulan Danandra mendarat dengan telak dan membuat Jaya langsung terjatuh ke tanah. Dia meringkuk memegangi ulu hatinya yang begitu nyeri terasa. Darah segar langsung terlontar keluar dari mulutnya.

Sebuah tendangan pun dilayangkan Danandra ke arah perut Jaya dan kembali mengena dengan telak. Tubuh putra Subarda tersebut bahkan sampai terdorong ke belakang beberapa langkah.

Jaya tak kuasa menahan rasa sakit yang dideritanya. Dia berteriak dengan keras,  hingga mengundang perhatian Subarda. Ketua perguruan Pedang Sakti itu masih termenung memandang tubuh Pratama yang sudah tidak bernyawa di tangannya.

"Anakku!" teriak Subarda sambil melesat ke arah Jaya. Dia langsung menangkis tendangan Danandra yang sudah melayang ke arah perut Jaya.

Pemuda tampan itu melompat mundur beberapa langkah. Dia merasa sedikit nyeri tepat di tulang rawan kakinya karena berbenturan dengan kaki Subarda. Danandra sedikit menyesal hanya mengeluarkan sebagian kecil tenaga dalamnya saat menyerang Jaya. Andai dia tahu Subarda menangkis serangannya, dia pasti mengeluarkan tenaga dalamnya lebih kuat lagi.

"Jangan cengeng, Jaya! Kau adalah anakku dan akan menjadi penerusku!" ucap Subarda menghibur anaknya yang sudah menitikkan air mata.

Pandangannya kemudian teralih kepada puluhan murid dan anggotanya yang hanya berdiri melihat semua kejadian barusan.

"Kenapa kalian cuma berdiri saja di situ seperti patung! cepat bunuh pemuda sialan itu!" bentaknya memberi perintah.

Puluhan murid anggota Subarda hanya saling memandang tanpa bergeser sedikitpun. Mereka nampaknya dibuat kecewa dengan gurunya yang sudah melakukan perbuatan tercela.

"Serang dia atau aku akan membunuh kalian semua?!"kembali bentakan Subarda terdengar begitu keras. Dia geram karena tidak ada satupun muridnya yang bergerak untuk menyerang Danandra.

"Apa kau takut padaku sehingga kau menyuruh anggotamu untuk menyerangku?" ejek Danandra.

"Aku tidak takut siapapun, apalagi pemuda ingusan sepertimu!" sahut Subarda cepat. Tanpa menunggu lagi, lelaki tua itu langsung bergerak menyerang.

Pukulannya melesat dan terarah menuju kepala Danandra dengan begitu kuat. Tanpa menghindar, Danandra langsung memberi tangkisan yang tak kalah kuat. Selepas itu dia langsung melesakkan cakarnya ke arah rusuk  Subarda yang terbuka lebar setelah menyerang.

Dengan mudah lelaki tua itu menarik tubuhnya ke samping, sambil melepaskan pukulan dengan cepat.

Danandra sedikit terkejut dengan pukulan yang dilepaskan lelaki tua itu. Dia tidak menyangka jika Subarda bisa menyerang sambil menghindari serangannya. Namun berbekal latihan yang dilakukannya bersama Arisuta, pemuda itu bisa menguasai keterkejutannya dan menarik tubuhnya ke bawah dengan begitu cepat. Pukulan Subarda pun melintas mulus di atas kepala Danandra dan hanya menerpa ruang kosong.

Serangan Arisuta tadi bukan tanpa resiko. Dia membuka celah pertahanannya sendiri dengan begitu lebar. Dan kesempatan bagus itupun tidak disia-siakan Danandra. Dia langsung melepaskan jurus Pukulan Tapak Naga Suci dan mengena dengan telak di perut lelaki tua itu.

Subarda memekik pelan. Beruntung dia memiliki tenaga dalam yang cukup untuk membuat dirinya tidak mengalami luka yang lebih parah. Ketua Perguruan Pedang Sakti tersebut langsung mengalirkan tenaga dalamnya untuk sedikit memulihkan luka dalamnya.

"Ternyata hanya sampai di situ saja kemampuanmu, Manusia biadab," ejek Danandra. Senyuman menghina tercipta dengan jelas di bibirnya. "Kemampuanmu ternyata tidak sebesar ucapanmu!" tambahnya.

Subarda mengeram marah. Harga dirinya sebagai kepala desa sekaligus ketua perguruan Pedang Sakti benar-benar terkoyak parah. Dia benar-benar dipermalukan dengan amat sangat oleh pemuda itu di depan penduduk desa dan juga semua muridnya.

Lelaki tua itu langsung mencabut pedangnya lalu mengarahkan ujungnya kepada Danandra, "Aku pastikan nyawamu tercabut saat ini juga!"

"Kau terlalu banyak berkoar, Manusia busuk. Buktikan ucapanmu kalau kau mampu melakukannya!" Danandra mencabut pedang yang tergantung di pundaknya. Sekilas dia memandang bilah pedang yang mengeluarkan bias cahaya berwarna warni tersebut. Bayangan wajah kedua orang tuanya langsung terlintas di pikirannya.

"Ayah, Ibu ... aku akan membunuh orang yang telah memfitnah kalian berdua. Setelah ini kalian bisa hidup tenang di sana," ucap Danandra dalam hati.

Dia lalu memandang Subadra yang sudah bergerak menyerang ke arahnya. Pemuda itu tidak tinggal diam, dia pun ikut maju untuk memapak serangan yang dilepaskan Subadra .

Pertarungan cepat pun tersaji di depan ratusan pasang mata. Para penduduk dan puluhan murid Subadra bergerak menjauh, karena tidak ingin terkena dampak pertarungan mereka berdua.

Subadra tanpa henti melepaskan serangan dengan jurus-jurus terbaiknya. Kecepatan dan keahliannya memainkan pedang, membuat Danandra untuk sementara hanya bisa bertahan saja tanpa melakukan serangan balik. Dia masih mencari peluang yang bagus untuk balik menekan

Kecepatan Subadra secara perlahan semakin meningkat. Puluhan kali melakukan serangan tanpa hasil membuat lelaki tua itu mempercepat gerakan serangannya. Danandra semakin tersudut, tapi belum ada satupun serangan pedang Subadra yang berhasil menggores tubuhnya.

Untuk bisa mengimbangi serangan lawannya, Danandra menggunakan ilmu meringankan tubuh  yang dimilikinya untuk bergerak. Dia sadar, jika melakukan pertarungan dengan cara biasa, tubuhnya akan bisa dikoyak pedang lawannya suatu saat.

Kecepatan Danandra yang meningkat pesat membuat Subadra terkejut. Bahkan pemuda itu bisa membalikkan keadaan dari tertekan menjadi menekan dalam waktu singkat. Lelaki tua itu dipaksa untuk bertahan cukup lama, sebelum tiba-tiba melompat mundur cukup jauh.

Danandra tidak berusaha mengejar Subadra. Dia menunggu apa yang akan dilakukan lelaki itu sambil menyiapkan jurus Pedang Seribu Cahaya Suci.

Subadra menarik nafas panjang beberapa kali sebelum mengalirkan tenaga dalamnya terpusat di bilah pedangnya. Secara tiba-tiba, energi besar langsung keluar dari bilah pedang yang dipegang lelaki tua itu. Suara yang mendengung lumayan keras,  keluar dari bilah pedang Subadra bagai suara ribuan kumbang.

Sedetik berikutnya, dia kembali melompat maju sambil melepaskan jurus andalan perguruannya.

Bab 8 Terbalaskan

"Pedang Raja Kumbang!" teriak Subadra sambil menebaskan pedangnya.

Danandra pun menebaskan pedangnya dengan kemampuan penuhnya. Dia sadar jika energi tenaga dalam yang dilepaskan Subadra tidak bisa dilawannya setengah-setengah.

Benturan kedua pedang tersebut berkali-kali terjadi. Tekanan yang terjadi di antara keduanya sampai menimbulkan ledakan yang terus bersahutan. Asap tebal pun tercipta seketika karena saking seringnya ledakan itu terjadi.

Semua orang yang berada di tempat itu bergerak semakin menjauh. Mereka tidak berani mengambil keputusan untuk mendekat karena dampaknya pasti tidak baik untuk mereka. Apalagi yang mereka lihat hanya asap tebal yang menutupi kedua orang yang sedang bertarung itu.

Cukup lama pertarungan itu terjadi, Subadra terlihat semakin terdesak. Tenaga dalamnya terkuras begitu banyak hingga membuat pertahanannya semakin melemah.

Tiba-tiba saja tubuh lelaki itu terlempar keluar dari asap tebal yang menyelimuti tempat pertarungan mereka berdua. Danandra berhasil memanfaatkan kesempatan baik itu seiring melemahnya fisik Subadra. Dia berhasil menebaskan pedangnya ke arah lengan kanan lelaki tua itu hingga buntung.

Setelahnya, sebuah tendangan keras pun dilepaskannya ke arah dada Subarda hingga lelaki itu terlempar belasan langkah jauhnya.

Subarda memejamkan matanya menahan sakit yang dideritanya. Selain rasa sakit, dia tidak bisa menahan rasa malunya karena bisa dikalahkan seorang pemuda ingusan yang seumuran dengan anaknya.

Rasa terkejut juga dirasakan semua pasang mata yang melihat pertarungan itu. Mereka seolah dibuat tidak percaya jika Subadra bisa dikalahkan seorang pemuda yang sangat sering mereka hina.

Di antara ratusan pasang mata itu, terlihat Ki Anom dan Sinta juga berada di tempat itu. Gadis cantik yang mulai menaruh hati kepada Danandra itu dibuat cemas selama jalannya pertarungan. Dia tidak berhenti menggigit bibirnya saking cemasnya.

Berbeda dengan Sinta, Ki Anom terlihat begitu tenang. Ucapan Arisuta yang mengatakan Danandra bisa mengalahkan Subarda, membuat sesepuh desa itu tidak merasakan cemas sama sekali di pikirannya.

Danandra berjalan mendekati Subadra yang sedang dalam keadaan berlutut. Senyum puas terlihat di wajah pemuda itu, meski dia belum menuntaskan dendamnya. "Aku memang bukan Dewa, tapi aku punya kuasa untuk mencabut nyawamu," ucapnya pelan yang disertai seringai lebar di bibirnya.

"Kau boleh membunuhku, tapi tolong jangan bunuh Jaya. Masa depannya masih panjang."

"Kau bicara masa depan anakmu yang tidak berguna itu? Hahaha lucu sekali ...! Apa kau tahu apa yang dulu dilakukan anakmu itu setiap kali bertemu denganku? Bukan hanya sekali dua kali tangan dan kakinya mendarat di tubuhku ini. Hinaan dan cacian juga selalu diucapkan mulutnya yang kotor itu kepadaku. Dan kau sekarang memohon aku untuk memaafkannya? Jangan harap aku akan melakukannya!" desis Danandra menahan kegeramannya.

"Kau boleh memiliki semua hartaku, tapi tolong lepaskan Jaya," lirih Subadra memohon kepada Danandra.

"Harta ... kalau aku membunuhmu dan anakmu itu, hartamu tetap akan menjadi milikku. Sudah cukup derita yang aku alami selama ini, dan itu karena ulahmu serta anak kesayanganmu itu!"

Danandra melangkah pelan mendekati Jaya yang masih tergeletak di tanah. Putra kesayangan Subadra itu merasakan ketakutan yang amat sangat ketika pemuda berparas tampan itu berjalan mendekatinya.

"A-ampun, Danandra. Tolong jangan kau bunuh aku," ucap Jaya mengiba. Air matanya menetes deras membasahi pipinya.

"Ternyata kau lelaki yang sangat cengeng, Jaya. Mana sikap arogan yang selalu kau tunjukkan padaku selama ini. Yang perlu kau tahu, kau sangat berbeda denganku, Jaya. Selama kau menghajarku, tidak sekalipun aku mengaduh kesakitan, apalagi sampai meneteskan air mata. Sekarang berdirilah Jagoan kampung!"

"Ampuni aku, Danandra. Aku berjanji akan merubah sikapku yang buruk itu." Wajahnya menunduk dan tak berani sedikitpun menatap mata Danandra setelah bangkit berdiri.

Danandra tidak menjawab permintaan Jaya. Dia malah mendorong tubuh Jaya dengan kasar mendekati Subadra.

"Angkat wajahmu dan lihat anakmu ini! Apa kau tidak malu memiliki seorang anak yang pengecut seperti dia?"

Subadra mengangkat wajahnya. Matanya nanar melihat wajah putranya yang sangat takut akan kematian.

"Tolong ampuni Jaya ... Kau boleh membunuhku untuk membalaskan dendammu," pinta Subarda lirih.

"Kemana sifat angkuh dan arogan kalian tadi?  Dan perlu kau tahu, tanpa kau suruh pun aku akan tetap membunuhmu! Sedangkan anakmu ini, dia akan kubiarkan hidup. Tapi akan aku pastikan hidupnya akan menderita karena dikucilkan penduduk desa ini." Seusai berucap, Danandra langsung menebas leher Subarda tanpa ampun hingga terlepas dari tubuhnya.

Jaya memejamkan matanya tak kuasa melihat keadaan ayahnya yang sudah tidak bernyawa. Ada rasa marah di hatinya, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Danandra terlalu kuat untuknya. Dan jika ingin balas dendam, tentu dia membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk berlatih ilmu kanuragan.

Semua orang yang melihat Danandra memenggal kepala Subarda dengan keji, merasa tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sungguh mereka tidak menyangka jika pemuda yang dulu sering mereka hina,  ternyata bisa sekeji dan setega itu. Bahkan mereka juga bisa melihat jika Danandra masih bisa tersenyum setelah membunuh Subarda, seolah-olah pemuda itu sudah terbiasa melakukan pembunuhan.

"Apa kau masih ingin hidup?" tanya Danandra. Di tangannya masih tertenteng bilah pedang yang berlumuran darah Subarda.

"Iya, Danandra. Tolong lepaskanlah aku," pinta Jaya dengan suara lirih ketakutan.

"Baiklah. Aku akan tetap membiarkanmu hidup, tapi kau tidak boleh menempati rumahmu lagi dan tidak boleh membawa sedikitpun harta ayahmu. Kalau kau melanggarnya, aku pastikan nasibmu akan sama dengan ayahmu!"

"Tapi aku mana bisa bertahan hidup jika tidak membawa harta sama sekali?"

"Kau lelaki bukan? Kau punya fisik yang kuat, bekerjalah jika kau ingin bisa hidup. Tapi setelah belang ayahmu terbuka, aku yakin penduduk desa ini tidak akan ada yang mau memberimu pekerjaan." sahut Danandra sinis.

Jaya hanya bisa mengangguk. Soal harta, dia masih bisa mencarinya. Tapi jika nyawa yang hilang, tentu dia sudah tidak bisa apa-apa.

"Pergilah! Terserah kemana kau akan pergi, asal jangan tetap berada di desa ini!"

Jaya melangkahkan kakinya sambil menunduk. Dia merasa malu dengan tatapan semua penduduk desa yang terarah kepadanya. Di dalam hati kecilnya, ada sebuah dendam kepada Danandra yang telah merenggut kehidupannya.

Selepas kepergian Jaya, Ki Anom dan Sinta mendekati Danandra yang masih berdiri tertegun di tempatnya. "Ayo kembali ke rumah!"

Pemuda itu memandang Ki Anom Sinta sejenak, sebelum menganggukkan kepalanya. Ada rasa puas yang begitu besar di dalam hatinya setelah berhasil membunuh orang yang telah memfitnah kedua orang tuanya.

Sesampainya di rumah Ki Anom, Sinta langsung masuk ke dalam. Tak lama kemudian gadis cantik itu kembali keluar sambil membawa sehelai pakaian, dan memberikannya kepada Danandra.

Segera mandi dan bersihkan darah di tubuhmu itu, Danandra," kata Sinta. Senyum manis tersungging di bibir merahnya.

Danandra membalas senyuman Sinta. Pemuda itu kemudian berdiri dan berjalan mengikuti langkah gadis cantik itu menuju kamar mandi.

Bab 9 Sebuah Rahasia Besar

Setelah selesai membersihkan tubuhnya dan mengganti pakaiannya. Danandra keluar menuju ruang tamu.

Di atas meja, sudah terhidang makanan yang masih hangat dan mengepulkan uap. Hanya terlihat Sinta saja yang sudah menunggunya.

"Di mana kakek?" tanya Danandra seusai pandanganya menyapu ruangan mencari keberadaan Ki Anom.

Sinta memandang Danandra tanpa berkedip. Ketampanan pemuda itu benar-benar sudah membuatnya terpikat. Danandra yang dulu sering dilihatnya di pasar dan berpenampilan layaknya seorang gelandangan, ternyata memiliki wajah yang sangat tampan.

Cukup lama gadis cantik itu menikmati ketampanan Danandra sampai suara pemuda itu mengagetkannya, "Ada yang salah denganku? Apa wajahku ini membuatmu teringat seseorang?"

"Anu ... Ah, tidak. Ayo kita makan selagi hangat," balas Sinta mengalihkan pertanyaan Danandra. Gadis cantik itu merasa malu karena tanpa sadar telah memandang wajah pemuda tampan itu begitu lama.

Setelah makan, mereka terlibat pembicaraan panjang  sambil menunggu kedatangan Ki Anom yang sedang keluar.

Hingga menjelang malam hari, sesepuh desa tersebut sudah kembali ke rumah. Dia menjelaskan bahwa baru saja menyelesaikan persoalan desa setelah meninggalnya Subarda. Ki Anom juga menyampaikan  permintaan maaf penduduk desa karena telah terpengaruh oleh Subarda yang telah memfitnah kedua orang tua Danandra hingga mengakibatkan kematian mereka berdua.

Tak lupa pula dia juga memberitahu Danandra bahwa rumah dan harta Subarda berhak untuk dia miliki. Namun Danandra dengan tegas menolaknya. Pemuda itu malah meminta kepada Ki Anom untuk membagi harta Subarda dan memberikannya kepada penduduk desa yang hidupnya kekurangan.

Keesokan paginya, Danandra berpamitan kepada Ki Anom dan Sinta untuk kembali ke gubuk Arisuta.

"Kakek, Sinta, aku harus kembali menemui Kakek Arisuta. Beliau menyuruhku segera kembali setelah menyelesaikan masalahku."

"Apa kau tidak akan kembali ke sini?" tanya Sinta. Matanya terlihat mulai berkaca-kaca karena akan segera berpisah dengan pemuda yang yang sudah menarik rasa simpatinya.

"Aku nanti akan kembali ke sini setelah menemui kakek Arisuta," jawab Danandra. Senyum hangatnya mengembang di bibir, dan itu membuat gadis cantik tersebut semakin sulit untuk berpisah dengannya.

"Kakek, Sinta, aku berangkat sekarang!" Danandra melangkah keluar dari rumah Ki Anom. Sepanjang jalan desa, setiap penduduk yang berpapasan dengannya selalu menundukkan kepalanya. Rasa bersalah mereka terlihat begitu besar kepada pemuda tampan itu.

Beberapa lama kemudian, Danandra sudah sampai di gubuk kecil Arisuta. Dia langsung masuk ke dalam gubuk itu untuk mencari gurunya tersebut. Namun Arisuta sudah tidak terlihat lagi di tempat itu.

Danandra menduga, lelaki tua yang mengajarinya ilmu kanuragan itu sedang ada urusan di luar. Dia pun berinisiatif untuk menunggu kedatangan Arisuta.

Namun sampai keesokan harinya, Arisuta tidak kelihatan batang hidungnya sama sekali. Danandra terlihat mulai gelisah. Dia berjalan mondar mandir di dalam gubuk kecil berulang kali.

Tanpa sengaja, matanya melihat sebuah gulungan kain yang berada di atas sebuah meja. Merasa penasaran, pemuda itupun mengambilnya dan membukanya.

Pemuda itu terkejut begitu tahu bahwa gulungan kain itu adalah sebuah surat dari Arisuta yang ditujukan kepadanya.

'Cucuku Danandra, saat kau membaca surat ini, mungkin aku sudah berada di tempat yang jauh. Kakek minta maaf tidak bisa berpamitan langsung kepadamu. Mungkin cara seperti ini saja yang bisa membuat kakek tidak terlalu menderita harus berpisah denganmu.

Danandra, ada sebuah rahasia besar yang harus kau ketahui. Sebenarnya sudah sejak kedua orang tuamu meninggal, kakek mengikuti kehidupanmu. Kau mungkin tidak tahu, tapi Kakek setiap hari mengamati perkembanganmu, hingga akhirnya kakek menyelamatkanmu'

Pemuda tampan itu berhenti membaca surat yang dipegangnya. Pikirannya kembali kepada saat-saat dia hidup sendiri sepeninggal kedua orang tuanya. Sebagai anak dari pasangan yang dituduh pencuri, tidak ada satupun penduduk desa yang bersimpati kepadanya. Hampir setiap hari dia menerima cacian dan hinaan dari penduduk yang masih menaruh rasa benci kepada kedua orang tuanya.

Danandra kemudian melanjutkan membaca surat itu.

'Mengenai rahasia besar yang kakek maksud di atas,  menurut kakek, sudah saatnya kau mengetahui jati dirimu yang sebenarnya. Kakek sudah bisa menilai jika kau yang sekarang sudah mengalami perkembangan pesat. Mulai dari tingkah, sifat, dan cara berpikirmu.

Danandra, sebenarnya ibumu adalah putri satu-satunya dari seorang raja di sebuah kerajaan besar yang bernama kerajaan Sanggawana. Kakekmu bernama Raja Dharmawangsa, dan kau sebenarnya adalah pewaris tahta kerajaan Sanggawana.

Untuk lebih jelasnya mengenai kedua orang tuamu, kau bisa bertanya kepada Ki Anom. Kakek sudah menceritakan semua kepada dia.

Yang terakhir, ambillah sebuah benda di dalam kotak yang kakek letakkan di bawah ranjang tidurmu. Benda itu adalah milik ibumu dan satu-satunya tanda bahwa kau benar cucu dari Raja Dharmawangsa.

Berangkatlah menuju kerajaan Sanggawana dan tunjukkan benda itu kepada Raja Dharmawangsa. Sudah saatnya kau kembali kepada kehidupanmu yang sebenarnya.

Kakek berdoa, semoga suatu saat Dewata memberi kakek umur panjang sehingga bisa bertemu kembali denganmu.

Arisuta

Danandra terkejut setelah membaca surat dari Arisuta. Dia tertegun dan tidak percaya jika ibunya adalah anak dari seorang raja. Sebuah pertanyaan besar pun muncul di pikirannya, jika benar ibunya adalah seorang putri, kenapa kehidupan ibunya jauh dari kemewahan istana?

Cukup lama pemuda tampan itu terhanyut dalam pikirannya. Sampai pada akhirnya dia beranjak menuju kamarnya untuk mengambil benda yang dimaksud Arisuta.

Di bawah ranjang tidurnya, Danandra mengambil sebuah kotak kecil terbuat dari kayu. Ditatapnya kotak tersebut dan dibersihkannya dari debu-debu yang menempel. Setelah mengambil nafas panjang, dia pun membukanya perlahan.

Pemuda itu tidak bisa untuk tidak membelalakkan matanya. Dia melihat sebuah kalung emas dengan liontin yang cukup besar terdalam kotak tersebut. Dan liontin yang juga terbuat dari emas itu, terdapat sebuah ukiran yang dia tidak pernah melihatnya.

Untuk mengobati rasa penasarannya, Danandra akhirnya memutuskan untuk kembali ke desa. Dia harus tahu yang sejelas-jelasnya tentang ayah dan ibunya dari Ki Anom, sebelum berangkat menuju kerajaan Sanggawana.

Setelah mengemasi barang-barangnya, Danandra keluar dari gubuk kecil tersebut. Namun pemuda itu tidak langsung berjalan, dia membalikkan tubuhnya dan menatap gubuk kecil itu cukup lama. Bagaimanapun juga, pemuda itu merasa gubuk tersebut adalah rumahnya yang sebenarnya. Di gubuk itu pula dia banyak belajar dari Arisuta tentang hakikat kehidupan.

"Kakek, terima kasih atas semua ilmu yang sudah kakek berikan padaku. Aku berjanji, semua pelajaran berharga yang telah kakek berikan, akan aku amalkan dalam kehidupanku," ucapnya dalam hati. Pemuda itu memejamkan matanya cukup lama. Dia merasa sangat berat untuk meninggalkan gubuk kecil itu. Meskipun waktunya singkat, namun banyak kenangan terukir selama dia hidup dengan Arisuta.

Setelah bisa menguasai perasaannya, Danadra berjalan meninggalkan gubuk tersebut dan kembali ke desa.

Cukup jauh dari gubuk kecil itu, sepasang mata mengawasi Danandra dari atas sebuah pohon besar.

Bab 10 Kawin Lari

Sepasang mata yang mengawasi Danandra itu ternyata adalah Arisuta. Sengaja dia hanya memberi surat, karena tidak ingin pemuda itu enggan meninggalkannya jika dirinya bicara secara langsung. Selain itu, Arisuta juga merasa pemuda itu harus mencari kehidupannya sendiri, kehidupan sebagai pangeran di kerajaan Sanggawana.

"Yang Mulia, tidak lama lagi cucumu akan berada di sampingmu. Hamba harap Yang Mulia mau menerimanya dengan tangan terbuka. Bagaimanapun juga, Danandra adalah pewaris tahta kerajaan Sanggawana yang sah. Dan dia pantas untuk mendapatkannya," gumam Arisuta dalam hati.

Lelaki tua itu melompat turun dari atas pohon setelah memastikan Danandra sudah berjalan jauh. Pikirannya benar-benar berkecamuk luar biasa. Ditinggalkan pemuda itu membuat batinnya begitu tersiksa. Karena baginya, Danandra sudah seperti cucunya sendiri.

Setelah memasuki gapura desa, Danandra berhenti di sebuah tempat makan yang ada di ujung desa. Beberapa pengunjung langsung menundukkan kepalanya begitu pemuda tersebut memasuki tempat makan kecil itu.

Suara riuh pembicaraan yang tadinya terdengar, langsung terasa hening. Tidak ada satu suara pun yang terlontar di bibir mereka. Semuanya takut jika Danandra masih menyimpan dendam kepada mereka, yang dulu seringkali menghinanya.

Kemampuan pemuda itu yang bisa mengalahkan Subarda, sudah membuat mereka semua hanyut dalam rasa takut.

Melihat kejanggalan yang terjadi, Danandra kemudian membuka suara dan menyapa semua pengunjung tempat makan itu. "Kenapa kalian semua diam? Apa aku seperti hantu yang begitu menakutkan buat kalian? Masa ada hantu keluar di siang hari dan memiliki wajah setampan aku ini?" berondongnya sambil tersenyum lebar.

Tidak ada satupun dari pengunjung tempat makan itu yang berani menyahuti pertanyaan Danandra. semuanya tetap diam dan tak bersuara sedikitpun meski Danandra bertanya sambil tersenyum. Mereka takut jika senyuman itu hanyalah sebuah pancingan semata yang berujung kepada kematian mereka.

Pada akhirnya, ada seorang pengunjung lelaki setengah baya yang memberanikan untuk mendekati Danandra. Dengan kepala tertunduk, lelaki itu berdiri di depan pemuda tampan itu.

"Danandra, aku minta maaf jika telah berbuat salah kepadamu dan orang tuamu. Sungguh aku tidak tahu jika dalang dari kejadian yang mengakibatkan kedua orang tuamu sampai meninggal adalah Pratama dan Subadra."

Danandra tersenyum dan menepuk bahu lelaki itu,  "Sudah, Paman. Tolong jangan dibahas lagi. Aku juga tahu kalau kalian sudah terprovokasi oleh Subadra dan Pratama. Dan mereka berdua juga sudah mendapat hukumannya, buka Semoga ke depannya tidak ada lagi kejadian yang sama terjadi di desa ini," jawabnya.

Semua pengunjung yang mendengar jawaban Danandra akhirnya bisa bernafas lega. Ketakutan yang mereka rasakan mendadak lenyap seketika. Satu persatu pengunjung akhirnya berdiri dari tempat duduknya dan menyalami Danandra sebagai bentuk permintaan maaf.

Setelah menyelesaikan makannya dan hendak membayar, Danandra dibuat terkejut dengan yang dilakukan orang-orang di sekitarnya. Semua pengunjung tempat makan itu berebutan untuk membayar apa yang sudah dimakan pemuda tersebut.

"Sudah ... sudah! Biar aku membayarnya sendiri. Aku masih memiliki uang untuk membayar makanan yang telah aku makan," ucap Danandra menengahi.

Pemilik tempat makan itu ternyata berpikir lain, dia menggratiskan makanan yang sudah dimakan pemuda tersebut. Hal itu dia lakukan juga sebagai permintaan maafnya kepada Danandra karena dulu pernah menghina pemuda tersebut.

"Terima kasih, Bibi." Danandra lalu melangkah keluar dari tempat makan dan berjalan menuju rumah Ki Anom.

Sesampainya di depan rumah sosok yang dianggap sesepuh desa, Danandra mengetuk pintunya perlahan. Tak lama kemudian pintu tersebutpun terbuka lebar. Terlihatlah Sinta yang berdiri menatapnya tanpa berkedip sama sekali.

"Aku kira kau tidak kembali ke rumah ini?" tanya gadis cantik itu dengan senyum yang mengembang bahagia.

"Tidak mungkin aku mengingkari janjiku untuk kembali ke sini. Apalagi,  ada seorang bidadari cantik yang sudah menungguku di rumah ini," sahut Danandra cepat. Tanpa sadar jari tangannya memencet hidung mancung gadis cantik tersebut.

Pujian yang dilontarkan Danandra kepadanya membuat Sinta seperti terbang ke awang-awang. Pipinya langsung merona merah merasakan kebahagiaan tak terkira.

"Danadra, apa kau ingin membuat cucuku ini matang tanpa dipanggang?" tanya Ki Anom yang tiba-tiba saja muncul di belakang Sinta.

"Apa maksudnya, Kek?" tanya Danandra keheranan.

"Apa kau tidak melihat pipinya yang merah merona seperti kepiting rebus itu? Jika kau terus memujinya seperti itu, bisa-bisa bukan hanya pipinya yang memerah, tapi seluruh tubuhnya juga." Ki Anom menjawab lalu tertawa. Danandra pun tak urung ikut tertawa mendengar jawaban Ki Anom.

"Kakek jangan membuatku malu di depan Danandra seperti itu," sahut Sinta   manja.

"Kenapa harus malu? Apa kau mau menyimpan rahasia yang ada di hatimu itu sampa mati?"

"Kakeeek!" Sinta semakin malu dengan ucapan kakeknya. Dia langsung berlari dan masuk ke dalam kamarnya.

"Ada sesuatu hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu, Danandra. Sebaiknya masuklah dulu ke dalam!"

"Kebetulan aku juga ingin menanyakan sesuatu yang penting kepada Kakek." Pemuda itu melangkahkan kakinya memasuki rumah Ki Anom.

Mereka berdua kemudian duduk berhadapan di ruang tamu rumah sederhana tersebut.

"Sebelum aku meminta sesuatu kepadamu, katakan dulu apa yang hendak kau tanyakan padaku?"

Danandra mengangguk, kemudian mengeluarkan kalung milik ibunya, lalu menunjukkannya kepada Ki Anom.

"Aku mau bertanya tentang kedua orang tuaku, Kek. Kata kakek Arisuta, ibuku adalah putri dari raja kerajaan Sanggawana. Tapi kenapa kedua orang tuaku bisa tinggal di desa ini?"

Ki Anom menghela nafas berat sebelum menjawab pertanyaan Danandra. "Akhirnya Arisuta membuka tentang jati dirimu, Danandra. Memang benar kau adalah anak dari seorang putri raja. Dengan kata lain, kau adalah cucu dari Raja Dharmawangsa."

Sinta yang mendengarkan percakapan kakeknya dan Danandra dari dalam kamar tidak bisa menahan keterkejutannya. Jika benar Danandra adalah seorang pangeran, maka harapannya untuk bersanding dengan pemuda itu pupuslah sudah.

Sinta berpikir Danandra tentu akan lebih memilih tinggal di istana dan juga akan ketemu jodohnya di istana juga. Apalagi dia juga sudah mendengar jika di kalangan istana banyak dihuni wanita-wanita cantik.

"Mengenai kenapa kedua orang tuamu tinggal di desa ini, aku akan menceritakannya  kepadamu," sambung Ki Anom.

Sesepuh desa tersebut kemudian bercerita jika hubungan ayah dan ibunya tidak disetujui oleh Raja Dharmawangsa. Gayatri yang merupakan seorang putri raja, mempunyai hubungan khusus dengan Arga yang hanyalah seorang prajurit kepala di kerajaan Sanggawana. Hal itulah yang mendasari Raja Dharmawangsa untuk tidak menyetujui hubungan putrinya tersebut. Apalagi Raja Dharmawangsa saat itu sudah berpikir untuk menjodohkan Gayatri dengan seorang pangeran dari kerajaan Citraloka.

Karena tidak mendapat persetujuan dari ayahnya, Gayatri akhirnya meminta kepada Arisuta, yang saat itu menjadi guru ilmu kanuragan bagi semua prajurit, untuk melarikan diri dari istana. Dia juga menjelaskan kepada Arisuta tentang hubungannya dengan Arga yang sudah berjalan cukup lama.

Gayatri lebih memilih hidup dengan Arga dan menjadi orang biasa, dari pada di istana yang membuat hidupnya terkekang.

"Seperti itulah ceritanya, Danandra. Akhirnya Arisuta membawa mereka ke desa asalnya ini dan menikah di sini juga," pungkas Ki Anom.

Danandra berusaha mencerna setiap cerita yang disampaikan Ki Anom. Dalam hati, dia sangat mengagumi kesetiaan ibunya kepada ayahnya, meski harus mengorbankan kehidupannya yang penuh kemewahan.

"Jadi kau seorang pangeran?" tanya Sinta, yang tiba-tiba saja keluar dari kamarnya.

Raut muka gadis cantik itu terlihat cemberut, dan kedua bola matanya yang indah mulai berkaca-kaca, seakan hendak menumpahkan air bening yang akan membasahi pipinya.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Bab 11-20 PENDEKAR RAMBUT PERAK
0
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan