Penunggu Pohon Keramat

7
0
Deskripsi

Tubuh Mbah Rekso bergetar, semakin lama semakin kuat. Seiring dengan rapalan tidak jelas yang makin cepat dan kencang. Peluh pun perlahan merembes dari pori-porinya, membasahi tubuh dan pakaiannya.

Tubuh wanita itu terus saja menggigil, meski berlembar-lembar kain menutupi tubuhnya. Seolah semua selimut itu tidak berarti dan tidak bisa memberinya kehangatan sedikit pun.  Wajahnya memerah dengan bibir pucat yang sesekali mengerang dan menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. Sementara saat diraba, tubuh itu sangat panas.

Cahaya lampu teplok meliuk tertiup angin, menimbulkan siluet yang bergerak tidak beraturan di permukaan dinding papan. Menambah mencekam suasana ruang tamu sempit yang penuh sesak dengan berkumpulnya keluarga, para tetua adat,  dan beberapa tetangga. Mereka duduk mengelilingi Kayah yang terbaring di lantai, beralas kasur kapuk. Di samping kepala wanita itu,  anak gadisnya sibuk menyelup dan memeras kain lalu diletakkan di dahi berpeluh si ibu.

"Kenapa kita tidak bawa simbok ke puskesmas saja, Pak?" Gadis itu menoleh pada pria berkaus lengan panjang yang duduk di depannya.

"Percuma, Nduk, Simbokmu bukan sakit biasa," sahut Lasmo, sang ayah dengan wajah sendu.

"Benar kata bapakmu, Milah, dokter tidak akan bisa mengobati simbokmu. Lebih baik kita tunggu Mbah Rekso saja." Seorang wanita berkebaya hitam, yang sedang memijit kaki Kayah, menimpali.

"Tapi, sampai berapa lama, Simbok harus menderita begini?" Jamilah mengambil kain di dahi Kayah, mencelupkannya ke dalam mangkuk,  diperas dan kembali diletakkan di dahi ibunya.

"Padahal aku sudah berkali-kali mengingatkannya untuk tidak mendekati apalagi sampai mengambil sesuatu dari sekitar pohon itu." Seorang kakek di belakang wanita berkebaya hitam menimpali.

"Simbok sakit, Pak, bukan karena pohon itu." Jamilah berusaha memberi pengertian pada bapaknya.

"Hus! kamu anak kecil tahu apa? Jangan sampai omonganmu menyinggung penunggu pohon itu, bakal ada bencana di desa kita." Wanita berkebaya hitam mendelik marah pada Jamilah.

Jamilah bungkam, meski ada banyak kata dalam kepalanya. Ia sadar tidak akan pernah menang mendebat mereka.

***

Pohon beringin tua itu berdiri kokoh di tepi sebuah rawa. Akar-akar gantungnya sebagian bahkan menjuntai ke dalam air, menimbulkan bayangan gelap yang mengerikan. Ditambah dengan rimbun daunnya yang menutupi sebagian sudut rawa, membuat suasana mistis semakin terasa.

"Pohon itu berpenunggu, jangan main ke sana."

Seolah ditanamkan dalam pikiran kami, kalimat seperti itu hampir terdengar setiap hari. Terutama ketika anak-anak hendak mandi dan mengambil air di belik--sumur di pinggir rawa--yang berseberangan dengan pohon itu.

Pemilik ladang di mana pohon itu tumbuh juga tidak berani menggarap area sekitar pohon, apalagi sampai membiarkan anak-anak mereka mendekati dan bermain di bawahnya. Sudah menjadi kepercayaan turun temurun jika hal itu tabu, mengganggu ketenangan penunggu pohon sama saja dengan mengundang bencana bagi seluruh desa.

Jamilah meletakkan ember berisi baju-baju yang baru selesai ia cuci. Matanya tidak lepas dari pohon sebesar pelukan dua orang dewasa di depan sana. Seperti ada yang menggerakkan, perlahan langkahnya terayun menyibak rerumputan, menyusuri tepian rawa, mendekat ke ratusan akar yang menjuntai.

Terbayang dalam ingatannya cerita tentang Laras, teman sebayanya yang tiba-tiba pingsan saat bermain di sekitar pohon itu. Saat itu orang tuanya yang sedang menanam ubi di ladang. Laras yang awalnya bermain di saung, melihat kupu-kupu dan mengejarnya sampai ke rawa.

Setelah selesai dengan pekerjaannya, sang ibu sadar jika putrinya tidak berada di saung. Dengan panik ia dan suaminya menyusuri ladang, mencari Laras. Betapa terkejutnya mereka saat menemukan putri kecil itu terbaring tidak berdaya di bawah pohon keramat.

Berhari-hari kemudian Laras sakit. Berbagai ritual pun dilakukan, untuk mengusir hantu penunggu pohon dari tubuh si bocah. Namun, sepertinya makhluk itu terlalu kuat. Tidak ada yang berhasil mengusirnya keluar dari raga Laras.

Bahkan tubuh yang kian mengurus itu suhunya meningkat drastis. Sesekali mulutnya menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. Saat Mbah Rekso menangkupkan jubah berbahan tebal yang sudah dimantrai, otot-otot Laras menegang.

Tidak menyerah begitu saja, Mbah Rekso terus melanjutkan ritualnya. Berselang beberapa waktu kemudian tubuh itu diam. Tidak pernah bergerak lagi, selamanya.

Dengan debar jantung yang tidak beraturan, ia terus mengikis jarak. Angin sore bertiup cukup kencang bersamaan dengan bergulungnya awan hitam. Tangan Jamilah sedikit bergetar, mengeluarkan pisau dari balik baju. Kemudian menebas dan menyambar sesuatu, lalu berlari menjauh.

***

Mulut Kayah masih saja bergumam tidak jelas. Sementara pria berbaju serba hitam di sampingnya juga terus bergumam merapalkan mantra, makin lama makin bertambah kencang. Matanya terpejam dengan kedua tangan tertangkup yang diangkat melebihi kepala.

Di depannya terdapat sebuah tampah bambu berisi kembang tujuh rupa. Bunga-bunga itu disusun melingkar mengelilingi anglo--tungku tempat pembakaran kemenyan--yang mengepulkan asap berbau menyengat.

Tubuh Mbah Rekso bergetar, semakin lama semakin kuat. Seiring dengan rapalan tidak jelas yang makin cepat dan kencang. Peluh pun perlahan merembes dari pori-porinya, membasahi tubuh dan pakaiannya.

Semua yang menyaksikan tidak ada yang bersuara. Semua diam dengan wajah penuh ketegangan. Menanti apa yang akan terjadi setelah ritual itu. Mbah Rekso atau penunggu pohon di tubuh Kayah yang lebih kuat.

Jamilah duduk di sudut ruangan, yang sedikit gelap karena tertutup bayangan orang-orang yang duduk mengelilingi Kayah. Kedua tangannya yang basah saling meremas. Matanya liar memandang ke segala arah, lalu kembali terpaku pada tubuh ibunya.

Sudah tiga malam wanita itu terbaring lemah. Terkadang suhu tubuhnya sedikit menurun, dan gigilnya berhenti. Saat itulah ia bisa makan dan minum, meski dengan sedikit paksaan. Namun, setidaknya masih ada yang masuk ke dalam perutnya.

Jamilah dan Lasmo yang bergantian menjaga, tidak bisa melakukan apa pun. Para tetangga yang menjenguk pun tidak banyak membantu. Mereka hanya selalu menyesalkan keberanian Kayah mengambil rumput di bawah pohon keramat.

"Dia terlalu meremehkan penunggu pohon itu."

"Padahal sudah banyak yang mengingatkan untuk menjauhi pohon itu, tapi dia ngeyel."

Bisik-bisik semacam itu terus saja terdengar. Bukan hanya sekali dua kali, tetapi hampir setiap tetangga yang menjenguk akan membisikkan itu. Baik kepada sesama penjenguk lain, atau langsung ke Lasmo dan Jamilah.

"Bagaimana?" Suara Lasmo mengalihkan perhatian Jamilah.

Tubuh Kayah masih menggigil. Dengan bibir yang terus menggumamkan kata yang tidak jelas. Mungkin karena rahangnya terkatup terlalu rapat, hingga erangan yang bercampur gemeletuk gigi menimbulkan suara aneh.

Di depan sana Mbah Rekso duduk bersila dengan napas sedikit tersengal. Punggung tangannya yang sedikit gemetar menyeka peluh di dahi. Sepertinya tenaga pria itu sudah terkuras habis.

Kepala yang terikat kain hitam itu menggeleng lemah. "Dia terlalu kuat," ujarnya.

"Jadi ...?" Lasmo tidak sanggup melanjutkan kata-katanya.

Menatap tubuh bergetar yang terus menggumam. Berbagai bayangan buruk sudah menguasai hati rapuhnya. Harapan itu pupus. Meluruhkan seluruh keteguhan yang coba dipertahankan.

"Saya harus meditasi dulu, meminta petunjuk dari guru saya. Lusa kita lanjutkan ritualnya." Pria bercelana komprang warna hitam itu beranjak.

Semua mata mengikuti langkah tertatih si dukun yang menghilang di balik pintu.

***

Setelah Jamilah berdebat cukup alot dengan Lasmo, akhirnya mereka sepakat membawa Kayah ke puskesmas. Dengan mengabaikan cibiran dari tetangga serta kemarahan Mbah Rekso, tentunya.

Jamilah yakin jika bukan penunggu pohon yang bersarang di tubuh ibunya, melainkan sebuah penyakit. Hantu penunggu itu tidak ada. Buktinya ia tetap baik-baik saja, tidak mengalami gangguan apa pun, setelah sore itu memotong akar beringin dan membawanya pulang.

Ternyata benar dugaan gadis itu. Dokter mengatakan jika Kayah terserang demam malaria. Setelah diberi obat dan beristirahat beberapa hari, kondisinya berangsur membaik.

 

Merangin, 10 Juli 2021

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Tumbal Kutukan Bab 6
6
0
Sejak memasuki rumah baru, Minah selalu mengalami hal-hal aneh. Bertemu orang-orang baru dengan segala permasalahannya, hingga mengalami berbagai teror mengerikan. Namun, ia tidak pernah tahu jika kedatangannya yang sudah ditunggu justru menguak masa lalu kelam leluhurnya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan