
Kash, jenius muda pemilik hak paten berbagai teori kontruksi jalan, jembatan, dan bangunan. Teorinya digunakan oleh berbagai negara di benua Asia dan Eropa. Bersama Rash, kakak kembar sekaligus partner kerjanya, mereka menjelma menjadi milyarder muda bersaudara.
Rash adalah pelindungnya. Dari usia sekolah Kash tak pernah mau terpisah dari Kakaknya. Karena itu, meskipun mampu ia tak pernah mengambil kelas penyelarasan. Karena hanya pembawaan Rash yang bijaksana yang bisa mengendalikan sikap seenak...
Bagian 1 Pertemuan dan Ancaman.
***
“Tumbas..” (Beli..)
“Tumbas opo Le..” (Beli apa Nak..)
“Kopi Lek, gangsal ewu..” (Kopi Tante, lima ribu..)
Wanita paruh baya itu cekatan meladeni bocah lelaki yang menyambangi lapak kelontongnya. Di belakangnya duduk wanita berpotongan sama dengan garis usia yang lebih tipis, adiknya.
“Mbak, Ayka jadi tidak menerima lamaran anaknya Kiai Husen?”
“Yaopo maneh Fit, arek’e gak seneng.” (Bagaimana lagi Fit, anaknya tidak cinta.)
“Haduh Mbak, di usia Ayka itu harusnya sudah tidak berpikir cinta-cintaan. Asal ada lelaki baik-baik yang melamar sudah alhamdulillah, apalagi ini anak kiai loh Mbak..”
“Memangnya kenapa dengan usiaku Bulek? Pun kasep nggih? (Sudah telat ya?)” Ayka yang baru keluar rumah segera menyambar ketus ucapan bibinya yang terdengar menindas. Ia geram.
“Setiap wanita itu berhak memilih suami terbaik Bulek.”
“Terus Anak Kiai Husen kurang baik opo Ka? Sampai kamu menolaknya..”
“Lelaki baik atau bukan, tidak bisa diukur dari keturunannya. Ada kok anak kiai yang malah berulah aneh-aneh.”
“Memang anak kiai Husein yang kamu tahu berulah aneh-aneh opo?” Tantang Safitri.
“Dia itu ngelek wonten bapak’e, ketemu pisan nggih mentelengi wae koyok kudu negep aku, serem..” (Dia itu sembunyi di ketiak bapaknya, bertemu sekali ya mendelik saja seperti mau menerkamku, seram..)
“Wuenak loh ditegep Ka hahaha..” (Enak loh diterkam, Ka hahaha..)
Safitri tertawa melihat keponakannya sewot. Gadis itu memang selalu bermusuhan dengan bibinya ketika membahas soal jodoh.
“Wis-wis.. (sudah-sudah..) Sudah berangkat sana Ka.. Kamu sama Bulekmu ini sama saja, sama-sama kaku kalau dibilangi.”
Ayka mengulur tangan untuk berpamitan dan mencium punggung tangan ibu juga bibinya.
“Sore-sore kok ke sekolah Ka?” Tanya Safitri penasaran.
“Ada acara di sekolahku Bulek..”
“Libur-libur begini kok masuk saja, dibayar piro seh awakmu Ka? (dibayar berapa sih kamu Ka?)” Safitri mencibir.
“Bulek ini ah, bukan nilai uangnya, tapi semoga ilmuku bisa jadi bekal surga..”
“Yowes karepmu ae lah.. (Ya sudah terserah kamu sajalah..)” Safitri menyerah.
“Oh iya Bu, nanti aku mampir Mbah dulu, mau kasih uang..”
Nahlah mengangguk. Ayka bersiap memakai sepatunya di teras. Putri sulungnya itu memang kerap berbagi rezeki dengan kakek neneknya. Meskipun nominalnya tak seberapa, ala kadarnya.
“Tidak bawa sepeda Ka?” Tanya Nahlah.
“Mboten, dibarengi teman dari jembatan penyeberangan baru Bu..”
“Jembatan tol yang baru itu? Terus pulangnya bagaimana Nduk?” Nahlah khawatir.
“Nggih sami Bu, turun rumah Mbah terus jalan dari jembatan penyeberangan lagi, kan dekat. Enak lewat situ Bu, seger anginnya..”
“Makanya segera menikah Ka, biar ada yang antar jemput, bonceng ngalor ngidul, sampai kapan mau menjomblo terus kamu itu Ka..”
Safitri berulah lagi. Membuat bibir Ayka gatal jika tak segera menyahuti dengan sinis.
“Siapa bilang aku mau dibonceng? Suamiku nanti setirnya bunder Bulek.”
“AAMIIN...” Safitri menyahuti dengan semangat empat lima.
“Sudah toh Fit, Ka, mbok ojo ribut ae.. (Jangan rebut melulu..)”
“Nggih pun, aku berangkat Bu, Assalamualaikum..”
“Waalaikumsalam.. Main-main ke proyek tol Ka, siapa tahu ada jodohmu di sana, katanya kepengen setir bunder..” Teriak Safitri menjahili, membalas kesinisan keponakannya tadi.
Ayka hanya melirik, mengintimidasi bibinya dari kejauhan sebelum berlalu.
“Huss.. Lambemu Fit!” Nahlah tak suka.
“Loh kan benar Mbak, siapa tahu anak sampean jodoh sama bos proyeknya hahaha... Punya mantu sugih (kaya) masa mau ditolak? Bisa punya setir bunder beneran nanti sampean hehe.. Jangan lupa, Ayka iku ayu Mbak..”
“Wis Fit menengo, nek wes jodohne terus aku kudu piye maneh.. (Sudah Fit diamlah, kalau sudah jodohnya lalu aku harus bagaimana lagi).” Jawab Nahlah asal, meredam adiknya yang berapi-api menjelaskan.
***
“Aku balik dulu nggih Mbah..”
“Kok kesusu Ka.. (Kok buru-buru Ka..) Mendung Nduk, nanti dulu. Belum ketemu Mbah Kakung juga..”
“Nah itu Mbah, mumpung belum hujan. Kulo (Saya) pamit nggih..”
Ayka mengulurkan tangan untuk berpamitan pada neneknya.
“Assalamualaikum..”
“Waalaikumsalam warohmatullah, ati-ati Nduk..”
“Nggih Mbah..”
Bukan perkara mendung, Ayka memang sengaja tak berlama-lama di sana. Setiap kali berkunjung, kedua pasangan tua itu tak akan berhenti menatarnya perihal jodoh. Lebih baik ia menghindar daripada hanya bisa mengangguk-angguk dalam keterpaksaan.
Ayka berjalan agak cepat, sesekali kepalanya mendongak, melihat ke langit yang gelap. Ia mempercepat langkahnya ketika meniti jembatan penyeberangan.
Tik!
Setetes air langit jatuh di hidungnya. Ia terhenti sebentar mengadahkan tangan memeriksa seberapa kerap tetes hujan.
Tik.. Tik tik tik... Byurrrrr..
Tanpa diduga air hujan berlari dengan sangat cepat dari belakang tubuh Ayka. Ia menjauhi tapi kesulitan, telanjur basah seluruh badan. Gamis merah muda berbahan chiffon itu mulai membentuk lekuk tubuhnya.
Ayka terus berlari sampai di tengah jembatan penyeberangan. Memutuskan berhenti sebentar karena terengah-engah, tak kuat. Dadanya sesak kesulitan bernapas, butuh istirahat.
Kilat mulai menyambar-nyambar disertai guruh yang angkuh. Ayka terus menapakkan kaki, meraup wajahnya membersihkan air hujan berulang kali.
Tiba-tiba..
Brummm.. Brummmm..
Ayka terkesiap saat sebuah motor besar berhenti tepat di sampingnya, dekat sekali. Ia bisa melihat perawakan penunggangnya yang besar, bingkai matanya tipis tapi pupilnya tajam membulat, bahkan ia sempat melihat ketampanannya sebelum buru-buru menjaga pandangan.
“Naiklah! Ini deras sekali!” Perintah lelaki itu setengah berteriak di sela guyuran hujan.
Ayka menggeleng cepat. Tidak, bukan muhrim pikirnya. Apa kata orang kampung kalau memergoki dirinya berboncengan dengan lelaki yang tidak diketahui asal usulnya. Orang tuanya sudah cukup digunjing sana-sini karena penolakan lamaran anak Kiai Husen.
“Rumahmu masih jauh kan? Naiklah! Kuantar pulang!”
Memang betul rumahnya masih jauh. Dari mana lelaki ini tahu?
Blaarrrr!!
Suara guruh semakin mengerutkan nyali Ayka, menciutkan lubang telinganya. Ia jadi bimbang, mungkin menerima penawaran lelaki itu menjadi pilihan terbaik saat ini, satu-satunya pula.
“Naiklah cepat!” Kali ini tawarannya sedikit memaksa.
Tanpa pikir panjang lagi Ayka segera meloncat, mengambil tempat paling ujung dari boncengan enggan bersentuhan.
Hujan belum juga reda, bahkan menderas. Lelaki itu berbelok dan memarkir motornya di sebuah halaman rumah, di komplek perumahan yang cukup besar tak jauh dari rumah Ayka jika ditempuh dengan kendaraan.
Dahi Ayka berkerut, mungkin lelaki itu hanya memberinya tumpangan sampai di sini. Tak apa, ia memaklumi, sampai di sini saja sudah alhamdulillah, pikirnya. Ia mungkin bisa meminjam payung untuk melanjutkan perjalanan pulang, meskipun dengan berjalan kaki jarak rumahnya masih cukup lumayan.
“Saya boleh pinjam payungnya? Besok pasti saya kembalikan saat berangkat kerja.”
Lelaki bertubuh atletis itu berbalik, Ayka bisa menebak otot tubuhnya yang kencang dari balik kemeja yang basah. Bagaimanapun ia tetap wanita dewasa, kadang tergoda juga untuk melirik tubuh seksi seorang lelaki.
Lagi-lagi lelaki itu mengunci sorot mata pada wajah Ayka yang berdiri gelisah di teras rumahnya. Ia menemukan aura teduh itu lagi, manic mata yang berulangkali menghindari.
“Masuklah, payungnya ada di dalam.”
Masuk? Ayka tak enak hati. Mengenal lelaki itu saja tidak, mana mungkin tiba-tiba masuk rumahnya. Ini bukan gayanya sama sekali. Biar dia tampan dan baik hati, tapi cara yang begini tetap tak benar. Takut kalau di dalam tidak ada orang.
“Tunggulah di ruang tamu, aku akan berganti pakaian dulu.”
“Emm di sini saja, pakaian saya basah, nanti mengotori rumah.” Ayka beralasan.
Blarrrr!! BLAAARRR!!
“Aaaaa!!!” Pekik Ayka kaget mendengar gelegar guruh.
“Yakin masih menunggu di luar?” Lelaki itu menyunggingkan senyum tipis.
Baiklah, Ayka menyerah. Guntur sepertinya menjadi pemisah jarak mereka, mendekatkan dua insan beda jenis kelamin itu. Sudah dua kali Ayka dibuat takluk pada lelaki itu oleh gelegarnya.
Ia melangkah ragu menuju ruang tamu, sebenarnya sangat tidak nyaman tapi tak ada pilihan. Ngeri juga membayangkan disambar petir yang menggelegar. Gamisnya yang menempel di kulit memamerkan lekuk indah tubuhnya yang sangat memesona. Ia risi dan terus berusaha melonggarkan walau sukar.
“Duduklah..” Tuan rumah mempersilakan sebelum masuk ke dalam.
Lama Ayka duduk diam, menanti payung pinjamannya. Ia mengamati sekitar. Bagian dalam rumah sepertinya lebih gelap. Pertanda tak ada napas manusia lain selain mereka. Ia jadi semakin tak sabar menanti payung pinjamannya.
Sesekali Ayka mengintip keluar membentuk raut cemas, sedikit gelisah menanti hujan yang justru semakin besar mencurah. Muncul keraguan untuk nekat menerobos hujan. Ia hanya bisa berdiri termenung di balik jendela.
Tap.. Tap.. Tap..
Saat mendengar langkah berat mendekat, seketika Ayka menoleh ke belakang. Bahkan kini dekat sekali tanpa disadari, mungkin derasnya hujan yang menutupi.
Ayka gusar, kedekatan ini tak wajar. Lelaki itu semakin meniadakan jarak. Hingga tubuhnya yang berputar tanpa sengaja bisa bersentuhan dengan tubuh tegap itu.
“Eum..” Ayka terkejut.
Ada yang janggal, tak beres. Gelagat lelaki itu mencurigakan.
Ayka yakin ini tidak benar. Ini salah. Dalam degup jantung yang berdendang, ia menyahut tas selempangnya di kursi lalu bersiap undur diri. Ia harus pulang untuk menyelamatkan diri tak peduli apa pun.
Brakk!! Pintu terkunci.
Tidak..
Ayka tercengang. Sosok lelaki yang semula manis menolongnya itu kini berdiri di balik pintu. Bibirnya berseringai, sorotnya menggelap, runcing, menghunus tajam.
Ayka pun baru menyadari bahwa kancing kemeja lelaki itu ternyata tercerai. Memperlihatkan rangkaian otot tubuh yang membuat Ayka reflek memalingkan pandang.
Ini ancaman. Ini mimpi buruk, tapi ini nyata.
Ayka ketakutan.
***
Bagian 2 Iblis Perenggut
***
“Ma.. Mau apa kamu??” Tanya Ayka dalam tubuh bergetar.
Lelaki itu mendekat, langkahnya pasti saat Ayka tertatih mundur dengan degup jantung berlari-lari. Ini situasi yang sangat menyeramkan, yang perawan mana pun tak akan inginkan, buruk dan bisa menciptakan bayangan kelam.
“Aku mau kamu, Ayka..” Jawab lelaki itu tenang tapi sangat menakutkan. Gidik ngeri seketika datang tanpa permisi.
Ayka mendelik, dia tahu di mana rumahku, dia juga tahu namaku, siapa orang ini? Ya Allah lindungi aku..
Bug! Punggung Ayka menabrak dinding, posisinya semakin tidak menguntungkan. Ia kian tersudut.
Ayka terjepit keadaan. Ia bisa melihat dengan jelas bentuk tubuh sempurna lelaki itu saking dekatnya jarak mereka.
Dalam waspada, jantung Ayka memompa darah jauh lebih cepat. Merangsang keringat dingin jatuh berkejaran.
Inikah akhir hidupku? Ya Allah jangaan jadikan hijabku sia-sia.Aku memakainya agar terlindung dari hal-hal seperti ini..
“PERGI!!”
Insting lelaki itu tertantang kala mendengar nada pengusiran. Langkahnya semakin pasti mendekati. Merangsang Ayka untuk berteriak sekeras-kerasnya.
“TOLOOOOONGGG!! TOLOOOONGGGG!!”
Hepp!! Secepat kilat suara Ayka diredam oleh bibir lain, kemudian dibuntu oleh telapak tangan. Tangis dan perlawanan Ayka tak berarti sama sekali saat tubuh kokoh itu mengerat untuk memiliki. Menguasai. Mendominasi.
Seringan kapas, lelaki itu menggotong paksa tubuh Ayka menuju kamarnya. Bertubi gebukan di punggung terasa bak pijatan semata. Ia menjatuhkan Ayka ke ranjang, kemudian kembali membungkam.
Ayka menggigit kuat tangan besar lelaki itu untuk melepaskan diri. Ia harus lari, pergi dari situasi yang mengancam kehormatannya sebagai wanita.
Berhasil!
Lelaki itu kesakitan. Reflek melepas bungkaman juga cengkeraman. Kesempatan besar bagi Ayka untuk bangkit dan lari, tapi..
Tap!
Satu langkahnya dicekal. Dengan sekali tarikan lelaki itu berhasil menyeret tubuhnya hingga terpelanting dan terhempas ke lantai. Bak seorang raksasa, tubuh besar itu kemudian menggagahinya.
Plak!!
Kepala lelaki itu bergerak beberapa derajat saja saat tangan Ayka yang masih bebas berhasil menamparnya. Sayang, hal itu pun tak berarti sama sekali. Tak ada reaksi selain raut birahi.
Ia tampak mengisap kedua pipinya sendiri, mengatasi rasa panas dari tamparan yang berbekas. Anehnya, rautnya tenang, tak ada kemarahan atas perlawanan kasar Ayka.
Kedua pergelangan Ayka dicengkeram kemudian direntang dalam ketidakberdayaan. Lelaki itu leluasa mengamati tiap geliat tubuh di bawahnya dalam kemenangan.
“Tenanglah..”
“Ja.. Jangan.. Hiks.. Siapa pun kamu, kumohon istighfar.. Jangan melakukan ini padaku!! Hiks.. Apa pun salahku kumohon ampuni aku hiks...”
Srekk! Hanya satu tarikan, aurat hitam panjang yang selalu terbungkus itu terurai. Dalam usaha menutup mahkota dan meringkus dada, Ayka hampir mati menggigil ketakutan demi melindungi harga, harta, martabat, dan kehormatannya.
Tubuh yang menjepitnya begitu besar, kuat, kokoh tak berimbang dengan kelembutannya. Ia bisa merasakan hawa panas tepat di telinganya. Udara yang diembus indra penciuman seorang lelaki.
Jijik menyergap bulu kuduk Ayka.
Ya Allah.. Lindungi hambaMu.. Engkau Maha Pemberi pertolongan, Tolong hamba..
“Kamu harum Haura..” Bisik si lelaki serak.
“Aku.. Aku bu.. bukan Haura hiks..” Elaknya bergetar. “Kumohon lepaskan aku.. Bi.. Biarkan aku pergi hikss.. Tolong sadarlah ini dosaaa..”
“Namamu Ayka, tapi bagiku kamu adalah Haura..” Dengan jarinya lelaki itu menjepit kedua pipi bersimbah air mata di bawahnya. “Haura, ingat-ingatlah, namaku Kash, suatu saat kamu mungkin akan mencariku..”
Kash melancarkan aksinya, menggigit leher putih Ayka gemas.
Menjijikkan! Ayka menyesali setiap gigitan Kash dalam pekikan. Ia terus menggeliat merespons indra pengecap seorang lelaki dewasa yang tak henti menelusuri lehernya. Tubuhnya bergidik. Jijik, jijik, hanya jijik!
“Hikss... Hiksss.. Tolooooong... Tolooooonggg..”
Tak berhenti berteriak, Ayka tak kuasa melawan kenyataan saat Kash mulai menjelajahi bagian demi bagian tubuhnya, menikmati setiap gundukan yang ada dari luar pakaian.
Kash membuka kemejanya sendiri hingga bertelanjang dada. Ingin lebih leluasa bekerja.
Berulang kali Ayka meronta, membuang muka ke kanan dan kiri agar sentuhan di tubuhnya enyah. Kakinya menendang kuat tapi nihil hasil, ia justru tertindih lebih kuat oleh pemilik kaki besar itu.
Ayka belum menyerah, terus mencoba melorotkan diri tapi tak juga berfungsi. Menggeliat ke samping pun percuma, hanya membuang tenaga.
Ya Allah.. Jika ini takdir darimu, biarkan kali ini aku melawannya.. Aku takuut.. Aku takuuuut..
“Ya Allah.. Toloongg.. Hiks..” Rintih Ayka terdengar menyayat hati.
Deg.
Seperti ada yang menyentil kalbu Kash saat Ayka menyebut nama Tuhan. Ada keraguan yang memicu desiran darahnya.
Ia menghentikan gerakan. Terpaku pada wajah nelangsa Ayka yang berurai air mata. Ketakutan, penyesalan, kekalutan, semua melebur menjadi satu pada iris mata kecokelatan itu.
Kash menelan ludahnya banyak. Otot lehernya menegang. Bimbang. Dadanya kembang kempis. Baru kali ini otak briliannya tak bisa bekerja, tumpul, sulit mengambil keputusan.
Allah?
“Kasihani aku.. Hiks.. Hiks.. Siapa pun kamu tolong kasihani aku.. Hiks..”
Ayka mengiba belas kasihan menyadari cela yang Kash ciptakan. Tangisan dan ibaan, hanya itu yang tersisa dari benteng pertahanannya. Ia berharap peri kemanusiaan lelaki itu tersedia untuknya.
“Lepaskan aku, biarkan aku pergi, hiks.. Seluruh desa sudah mencibir orang tuaku, keluargaku.. Hiks.. Jangan tambahi beban kami.. Aku tidak mau membuat orang tuaku semakin malu.. Hiks.. Tunjukkan sisi kemanusiaanmu kali ini, kali iniiii saja hiks, kumohon, aku tidak akan melupakan kebaikanmu seumur hidupku...”
Ayka semakin yakin dapat menggugurkan niat Kash. Pasalnya lelaki yang tak dikenalnya itu tak kunjung bergerak, masih terdiam mengamati wajahnya meragu.
“Jangan melakukan perbuatan dosa ini hiks.. Hiks.. Allah akan melaknatmu.. Berikan satu, satu saja belas kasihanmu untukku hiks.. Tolong..” Terus Ayka berusaha dalam getar suaranya.
Kash belum bergerak. Masih dalam posisi mengungkungi, menguasai tubuh Ayka sepenuhnya. Ia berada di ambang batas antara maju atau mundur. Meskipun meragu sama sekali bukan cirinya. Ia lelaki yang selalu diliputi keyakinan.
Hanya selang beberapa detik kemudian, bingkai lancip bola mata Kash yang bulat tampak yakin. Ia sudah berkeputusan.
Kash demikian mantap.
“Cukup ingatlah, namaku Kash..”
Ayka menggeleng-gelengkan kepalanya cepat, mengatup bibirnya rapat menyadari usahanya gagal. Aura kegelapan yang hampir pudar tiba-tiba kembali menyergap, bersumber dari sorot mata Kash yang memekat.
Ayka.. Nasibnya kini bak seekor rusa yang telah diterkam rubah. Lambat laun ia akan mati setelah terlalu banyak dilukai, dikoyak seluruh tubuhnya untuk dimangsa.
“Hiks.. Kasihani aku.. Ampuunn.. Hiks hiks..”
“Sebut namaku..” Bisikan Kash terdengar lembut tapi mematikan seluruh fungsi indra.
Di ujung nasibnya, Ayka membuang muka, hanya bisa menangis seraya terus berdoa dalam batinnya. Menanti sisa-sisa rasa iba yang mungkin masih menjadi haknya.
Sungguh mati Ayka menyesali diri, mengapa begitu bodoh? Mengapa dengan mudah mau diberi tumpangan lelaki itu? Jika saja ia lebih mawas diri, ya Allah..
“Lihat wajahku..”
Kash menjepit pipi Ayka dengan jarinya. Memaksa leher kaku wanita itu agar bergerak menatap wajahnya. Ia ingin menamatkan kecantikan, keteduhan, dan kedamaian dari gurat lembut bidadarinya. Bahkan di sela-sela tangisnya keteduhan itu pun masih hakiki.
Wajah mereka berhadapan, satu berkuasa satu tak berdaya. Tak sedikit pun Ayka mau mengangkat kelopak matanya. Ia tak sudi, masih bertarung dalam ketakutan dan ketidakberdayaan.
“Lihat aku Haura..”
Ayka memejamkan mata kuat. Tak mau. Tak sudi melihat wajah biadab itu. Sampai matipun ia tak akan luluh.
Kash mulai membelai pipi Ayka. Mencari arah pandangnya agar tatapan mereka bertemu. Membuat Ayka merinding, bulu kuduknya berdiri karena risi sekali. Rasa dari belaian jari itu pedih, tak ubahnya sayatan belati.
“Ka.. Kasihani aku.. Hiks..”
Kash tersenyum, entah apa arti senyumnya. Tangisan Ayka sama sekali tak menggugurkan niatnya, menggoyahkannya pun tidak. Ini karakternya, pantang mundur sebelum mencapai tujuan.
Kash menyahut sepotong kain yang ada di dekat mereka, sebuah kerudung merah muda. Mata Ayka terbelalak melihat apa yang akan Kash lakukan dengan kerudungnya. Seperti yang ia duga, kain itu diikat ke belakang kepalanya untuk membungkam mulutnya.
Dalam jeritan tertahan Ayka terus meronta saat Kash memindahkannya ke atas ranjang. Pukulan demi pukulan, tendangan demi tendangan, semua tiada guna. Sia-sia.
Kash terus melancarkan serangan, melorot bagian atas gamis Ayka dengan paksa, juga penutup dalam dadanya. Ia menguasai gundukan pertama dan seterusnya.
Kotor! Kotor! Kotor!
Jika saja bisa, Ayka ingin meneriakkan kata itu. Bagaimana tidak?? Dadanya dikuasai, padahal selama ini jangankan lelaki, seorang wanita pun tak pernah menyenggolnya, tapi sekarang..
Ayka mengumpulkan tenaga untuk memukul, mendorong, mencakar, menyerang sebisanya. Hingga lama-lama Kash jengah karena kegiatan yang menyenangkannya terganggu.
Tak butuh waktu lama, kedua tangan Ayka sudah tertahan di atas kepalanya, terikat oleh sebuah kemeja. Kash berkuasa penuh.
Ayka tak lagi bisa berkutik, yang tersisa hanyalah derai air mata dan guguan tangis. Geraknya terkunci, tak ada ruang untuk melawan lagi.
Kash kembali menyingkap segala yang ada di tubuh Ayka, hingga gamis merah muda yang cantik itu tanggal sudah. Menampilkan ladang bidadari yang indah, belum pernah terjamah. Ia ingin berteriak kegirangan saat menyadari semua yang tampak oleh mata pekatnya sangatlah memesona, tubuh molek seorang wanita yang pasti belum pernah terjamah lelaki mana pun.
Ayka malu, jijik, risi, tapi harus bagaimana? Harus apa? Ia benci karena hanya bisa menangis. Ia benci dirinya sendiri!
Kash memulai kembali, memberdayakan bibirnya kesana kemari. Menyapu lidah di sana sini. Mengisap harga diri Ayka setiap kali meninggalkan warna merah tua. Secara tidak langsung ia telah menebar jijik di seluruh pori kulit wanita itu.
Ayka mengerang, kelelahan karena sedari tadi terus menerus melawan. Giginya mengerat kuat-kuat, sebisa mungkin menahan diri atas sentuhan demi sentuhan Kash yang agresif. Darahnya berdesir muak setiap kali area sensitifnya tak luput dari jamahan dan sapuan bibir biadab itu.
Kash berdiri saat mangsanya menunjukkan gejala melemah.
Telinga Ayka menangkap denting gasper. Tubuhnya memang mulai kehabisan tenaga tapi pikirannya siaga. Ia memberanikan diri membuka mata lalu mencari sumber suara.
Bola mata Ayka hampir loncat dari cangkangnya saat menemukan Kash berdiri dan bersiap diri. Ia semakin bergidik ngeri mendapati organ vital lelaki yang seumur hidup tak pernah ia lihat secara langsung itu siap bertarung.
Tubuh Ayka yang bebas mulai aktif menghindar. Ia mengesot di atas ranjang, menjauhi Kash yang merangkak hampir telanjang.
Sayang.. Tangan kekar itu menyeret kakinya, menelentangkan dan menyiapkan tubuhnya dengan tenaga yang sama sekali bukan bandingannya.
Ayka menjerit dan terus bergerak sekuat tenaga, tapi percuma. Tak ada yang bisa mendengar pekikan suaranya yang tertahan di tenggorokan.
Kash mengambil kemudi, ia memimpin dan mencari tujuannya, terus mencari meskipun sulit sekali. Parahnya, cairan alami itu hampir tak keluar sama sekali, merepotkan, menyusahkan jalan masuknya. Membuat usahanya untuk menembus tak berjalan mulus.
Jeritan Ayka mengandung kepedihan, kesakitan, keterpurukan. Semua sudah ia rasa saat Kash berulangkali mencoba mengisinya.
Sakiiitt... Hentikan.. Ini sakiitt Ya Allah.. Kenapa Kau tak melindungiku.. Huaaa... Aku tak berharga lagi, aku menjijikkan, kotor! Aarhhh.. Ini sakiiit.. Ya Allah..
Kash berhasil mengakses gerbang dengan sempurna, mendorong tubuhnya, menghentak kuat. Dari mimik mukanya tampak sensasi dari perbuatannya luar biasa.
Wajah Ayka pahit, getir dengan seluruh otot wajah berkontraksi. Ia harus menerima kenyataan telah kehilangan kehormatannya. Rasanya seluruh bagian tubuhnya tersengat. Nyeri bukan kepalang.
Nyatanya tubuh mereka kini telah bertaut, menyatu. Erangannya mulai memenuhi ruangan. Bagi Ayka, puja dan puji yang sedari tadi lelaki itu gumamkan lebih mirip jarum pentul yang menusuki gendang telinganya.
Ayka tak lagi bisa menolak, tenaganya habis terkuras oleh perlawanan dan rasa sakit yang mendera organ intimnya. Matanya tak berani membuka. Tangannya mengepal menahan segala derita. Ia pasrah tubuhnya menjadi pelampiasan perbuatan bejat lelaki yang tak dikenalnya.
Ibu.. Toloong.. Maafkan aku Bu.. Ini sakiiiitt.. Sakiiit sekali.. Tolong aku Bu.. Aku menjijikkan.. Tubuh anakmu najis Bu.. Kotor.. Aku tidak suci lagi! Hiks.. Hiks..
Wajah Ayka bersembunyi di bahu kanannya. Semua terasa hampa, isi pikirannya mati tak sanggup menerima beban ini. Dalam kepasrahan, ia bisa merasakan udara dingin penyejuk ruang menerpa, menggesek kulitnya setiap kali tubuhnya bergerak. Pertanda miris bahwa ia masih tak berbusana.
Selaput itu pecah, cairan merahnya mengalir cukup banyak di sela-sela. Kash bukan tak melihat, ia justru bersemangat, bangga menemukan aliran darah sebagai pertanda bahwa ia adalah yang pertama.
Lemah, tubuh Ayka mencapai batas kemampuan, setelah satu jam lamanya terdorong-dorong oleh tubuh besar yang terus bergerak di atasnya, di depannya, di belakangnya, di mana pun sesuka hatinya. Lemah lalu kasar, lembut lalu brutal, Ayka merasa bagai sebuah mainan rusak yang dihancurkan seenaknya, seonggok kain kumal yang diinjak-injak biadab anak manusia.
Aku mendapatkanmu Haura! Aku yang pertama bagimu!
Sebuah erangan panas menyergap tengkuk Ayka, tanda kepuasan yang mengudara tanpa beban dari pita suara Kash. Wanita yang baru kehilangan kesucian itu bisa merasakan tangan besar meremas dadanya kuat, sakitnya jangan ditanya. Bersamaan dengan itu, ia juga merasakan sesuatu yang hangat mengalir di punggungnya.
Di ambang batas kesadaran, Ayka meratapi nasib.
Ya Gusti, apa salahku?? Hiks.. Apa dosa hamba hingga Kau hukum hamba seberat ini?? Hiks.. Hamba tidak mampu.. Hiks..Beri iblis ini hukuman yang setimpal! Hiks, pastikan dia tenggelam di neraka jahanam!!
“Terima kasih, Haura, kamu sungguh indah.. Ketahuilah aku yang merenggutnya.. Aku lelaki pertama itu..”
Iblis terkutuk!!
***
Bagian 3 Rash
***
Najis. Satu kata itu cukup mewakili diriku saat ini. Dalam kedip pelan aku masih tersadar, mungkin setengah sadar.
Aku bisa merasakan hawa panas tubuh lain di belakangku. Hawa neraka dari tubuh iblis itu. Iblis dari jahanam yang merenggut segalanya dariku.
Tanganku masih terikat, bibirku pun terbungkam. Air mata? Ya Allah, mungkin aku kekeringan.
Aku ingin mengajukan protes padaNya. Apa salahku? Hingga nasib buruk menimpaku sehina ini. Hiks..
Aku hina, kotor, hadats, najis, tubuhku menjijikkan. Aku bukan lagi seorang perawan. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, julukan perawan tua jauh lebih bisa kuterima daripada bekas perawan tanpa ikatan sah pernikahan.
Ya Allah.. Aku telah diperkosa, tak tahu oleh siapa..
Segala cerita pemerkosaan dari novel yang telah kubaca itu bohong! Palsu! Mereka tak tahu betapa sakit hal itu, hiks.. Tak seujung kuku pun ilustrasi mereka mewakili kesakitanku.
Kain yang jatuh ke kubangan lumpur lalu bercampur kotoran hewan, tak akan menandingi betapa menjijikkannya diriku sekarang. Aku dikotori dan tak bisa suci lagi, hiks..
Aku merasakan sebuah gerakan dari tubuh di belakangku. Tubuh iblis jahanam itu kembali menjamahku.
Aku diperkosa lagi, oleh seseorang bernama.. Kash..
***
Kash melangkahkan kaki memasuki kamar kembali. Shirtless bercelana, terpampang sudah perut six pack nya. Ia termangu ke atas ranjang. Menarik ujung kanan bibirnya berseringai.
Rasanya puas sekali melihat pemandangan di depannya. Hauranya itu lelap dalam posisi miring, dengan kaki terikat dan bibir tersumpal. Ia sangat puas melihat tubuh yang selalu tertutup utuh itu kini tak berbusana. Gamis merah muda yang berhias banyak noda darah hanya menutupi sebagian dada hingga bawah pantatnya. Selebihnya semua terumbar dan Kash sangat puas menamatkannya.
Kash mendekat ke ranjang. Duduk di dekat Ayka yang masih terpejam. Sesekali aslinya bertarung, seakan dalam mimpinya ia pun sedang ketakutan.
Kash membelai pipi mulus putih bersih itu. Menikmati setiap mili wajah teduh yang sedari tadi ia puji.
Kash melepas sumpalan kain yang membekap bibir wanita itu. Kemudian membelai rambutnya yang hitam menjuntai dari siku leher ke dada. Warna hitamnya menawan, kontras dengan putih susu kulitnya. Kash yakin, baru ia lelaki yang pernah melihatnya tak berpenutup kepala, juga menamatkan seluruh anggota tubuhnya, Hauranya.
Kash mengamati wajah Ayka dengan seksama. Wajahnya kini hanya beberapa centi dari muka. Ia kembali menggulirkan senyum tipis. Puas. Lalu menempelkan bibir dan bibir begitu saja.
Alis Ayka beradu sesekali merasakan berbagai sentuhan mulai menyerang area wajahnya.
“Buka matamu Haura, bagikan cahaya keteduhanmu itu..” Bisik Kash serak.
Ayka tersentak mendengar betapa dekat warna suara yang mulai familiar di telinganya. Ia memaksakan diri menggerakkan otot mata agar segera terbuka. Hingga pening terasa saat dirinya terhenyak, mendapati wajah seorang iblis tepat di hadapannya.
Bibirnya menganga seraya terus berusaha menggeser tubuh, tapi..
“Aakkk..”
Ayka menggigit bibir bawahnya saat memaksakan diri untuk menghindar. Pusat tubuhnya sakit bukan kepalang. Nyeri, perih sekali. Ia tak sanggup menggerakkan kaki lagi.
“Ssstt.. sakit Haura?”
Suara itu, lagi-lagi suara berat itu menghantui pikirannya. Ayka ingin menutup kedua telinganya tapi tak bisa, tangannya masih terikat kuat.
Kash menaiki ranjang. Memosisikan tubuhnya begitu dekat bak suami yang mengiringi tidur istrinya.
“Masih ingat namaku, Haura?”
Ayka membuang muka sambil mengeratkan giginya. Ia berusaha menunjukkan sisi emosi yang teraisa dan Kash tidak suka. Segera ia jepit kedua rahang wanita itu agar menatapnya.
“Aku akan melepas ikatan tanganmu jika kamu tidak memberontak lagi.”
Lama Ayka terdiam, seakan mengiyakan apa yang Kash tawarkan.
Sesuai janji, Kash kemudian membuka ikatan tangannya. Ayka bebas sekarang tapi tubuhnya belum bisa banyak bergerak. Rasa sakit di kewanitaan tak mengizinkannya.
“Sakit?”
Ayka menangis tapi menahan suaranya. Guguannya tertahan di tenggorokan. Ia mengharap iba yang tak kunjung tiba.
“Mari melakukannya lagi..”
Ayka tak mengerti. Melakukan lagi? Melakukan apa?
Kash mulai mengambil ancang-ancang. Ia kembali menindih untuk bersiap diri.
“Jang..ngaan..” Ayka terisak saat Kash mulai mencengkeram lengannya. “Hiks... Apa salahku padamu? Hiks..”
Kash terdiam mengamati.
Apa salahmu? Aku juga tidak tahu Haura..
“Biarkan aku pergi. Hiks.. Jangan.. la..kukan ini lagiii..”
Ayka menggeleng. Ia bisa merasakan gerakan dada telanjang itu semakin menjepit badannya. Pertanda bahwa ibaannya angin lalu belaka.
“Toloong...” Ayka lirih bersuara. Ia sudah tak punya daya untuk berteriak tapi Kash kembali menguasainya.
Gamis yang menutupi sebagian tubuhnya kembali dibuang. Tangannya kembali direntang. Ia kembali diperlakukan bak seorang jalang.
“Too..looong..” Ayka berusaha lebih keras.
“Tenang.. Jangan bersuara selain menyebut namaku.. Kamu pasti tidak ingin seluruh desa tahu apa yang sudah terjadi padamu bukan?”
Ayka sadar ini ancaman, sebuah ancaman yang benar. Bagaimana jika seluruh desa tahu ia diperkosa? Perawan tua yang pilih-pilih itu menuai sialnya.
Situasi sangat menyeramkan bagi Ayka. Ia kembali mendengar denting gasper. Sebuah sirine yang secara otomatis terekam di kepalanya. Ini situasi darurat yang menyesakkan dada. Seakan rongga dadanya menyempit, kecil sekali.
Kash bersiap menautkan diri untuk yang kesekian kalinya malam ini. Tubuh telentang tak berdaya di bawahnya tak banyak bergerak, bukan pasrah tapi karena memang tak punya daya. Ia hanya beberapa kali menggeliat seraya mencengkeram bed cover, melapiaskan rasa sakit itu.
“Sakiiiiitt... Jangaaann... Hiks..” Pekik Ayka.
Kash tak peduli, yang ia tahu kini hanya menuntaskan birahi. Memuaskan diri. Bergerak dengan ritmenya sendiri tanpa peduli lahan itu siap menerimanya atau tidak.
Sesekali darah segar tampak mengalir di area pertautan. Kash bukan tak menemukan, tapi lagi-lagi ia tak peduli. Lagi-lagi ia tuli seberapa banyak Ayka merintih.
Hampir satu jam. Rasanya Ayka hampir pingsan. Sendi-sendinya seakan lumpuh karena lelaki itu hanya membiarkannya istirahat walaupun sebentar. Selebihnya, tubuhnya terus menerus dikoyak tak berharga.
Ayka merasa ada di antara batas hidup dan mati. Ia ingin melawan, memberontak, dan pergi tapi melawan rasa sakit di tubuhnya bukanlah perkara ingin atau tidak ingin lagi.
Tubuh Ayka hampir lena tapi Kash tak mau tahu. Lelaki itu terus menggerakkannya, sesuai gaya dan inginnya. Ayka yang masih dipaksa mengikuti permainannya mencengkeram, mencakar pundaknya, menahan gesekan yang menambah luka, pedih lahir batin.
Ayka sadar tak sadar, lalu tersentak sadar lagi saat Kash bergerak dengan kasar. Ia tak mau Ayka hilang kesadaran.
“Saahh..kiiit.. Hiksss..”
Membuka mata pun Ayka tak bisa, meskipun ia kembali merasakan tubuh Kash menindihnya, menjamah semua dengan tangan juga pagutan yang menyumpal suara. Ia jijik dan dalam lemah terus berusaha mendorong wajah Kash meskipun tak ada hasilnya.
Hingga beberapa saat kemudian, erangan keras kembali mengisi ruang, cairan hangat yang pekat kembali Ayka rasakan di perutnya.
Tubuh Kash ambruk lalu bergulir ke samping. Dadanya naik turun puas. Napasnya tersengal-sengal. Ia menyahut kotak tisu di nakas lalu membersihkan tubuh Ayka perlahan.
Darah itu masih keluar meskipun tak banyak.
“Darahmu banyak Haura..”
Ayka tak banyak merespons saking lemahnya. Ia hanya meringis saat Kash membersihkan area bawahnya yang masih mengeluarkan darah.
***
Hancur. Harapan untuk hidup itu sudah melebur. Binasa. Raib entah ke mana.
Keperawanan, mahkota tertinggi seorang wanita tak lagi ia punya. Kesuciannya direnggut paksa. Ia hanyalah gadis yang diperkosa, kotor dan menjijikan, semua orang akan menganggapnya demikian.
Linangan air mata Ayka tak bisa berhenti. Tubuhnya meringkuk tak berdaya di balik selimut. Bibirnya kering, perih karena pecah oleh bekas gigitan, sedang dari kemarin tak ada air yang menyusuri kerongkongan.
Tak ada secuilpun makanan yang ditelan. Lelaki itu terlalu sibuk menuntaskan nafsunya, tak terhitung berapa kali dari kemarin sore hingga pagi ini.
Ya, pagi telah menyapa dari sepotong warna langit di sela-sela jendela kaca. Ayka ingin bergerak, berharap pagi ini memeberinya harapan untuk lari. Jika harus loncat dari jendela itu pun ia mau, asal bisa membuang bayangan lelaki itu jauh-jauh.
Biar sekalian ia mati dan tak mengenal derita hidup ini lagi. Baginya, untuk apa hidup jika hanya menambah beban keluarga. Mempermalukan orang tua dengan kondisinya.
Ayka menggerakkan kakinya perlahan, sakit memang tapi niatnya untuk pergi tak bisa ditawar-tawar. Bau lelaki itu tak lagi ada di kamar. Hanya tersisa aroma tembakau bakar yang mengendap di kulit tubuhnya.
Ya Allah.. Biarkan hamba pergi.. Beri hamba kekuatan untuk lari..
Pelan-pelan, Ayka berhasil duduk. Ia menyeret selimut agar memenuhi tubuh polosnya. Melihat sekeliling, mencari gamis dan kerudungnya yang ternyata bergumul jadi satu dengan kemeja lelaki itu.
Dibuangnya kemeja Kash dengan kebencian yang merajalela. Aroma parfumnya tiba-tiba membuat Ayka menutup kedua telinga, seakan erangan lelaki itu masih nyaring di pendengarannya.
“Pergi! Pergilah!! Pergi!!” Jerit Ayka tertahan.
Segores warna merah menyadarkan Ayka. Tidak! Bukan segores. Selimut, gamis, sprei, ia menemukan banyak noda darah. Darah. Darah. Darah..
Darahku?
Darahmu banyak Haura..
Aku lelaki pertama itu..
Ayka menghubungkan ingatan. Bibirnya bergetar. Ia membuka selimut dan melihat area pahanya. Sontak tangisnya kembali pecah. Lebih banyak darah kering di sepanjang kakinya.
Ayka, kamu bukan lagi perawan suci.. Kamu kotor.. Kamulah aib yang akan membebani keluargamu..
Apa salahku? Siapa lelaki itu?
Tiba-tiba kelebat bayangan wajah garang Kash mengisi pikirannya. Ia berteriak seraya menjambak rambutnya sendiri seakan Kash di sana dan hendak memangsanya.
Ayka sudah seperti wanita gila. Lama-lama tubuhnya lelah, menggigil lalu mengkerut takut. Seakan puluhan Kash sedang mengelilinginya.
Brakk!
Ayka tersentak. Seluruh tubuhnya bergetar melihat sosok yang berdiri di pintu.
Laki-laki, karena yang masuk seorang lelaki, Ayka semakin ketakutan.
“Pergi.. Pergi..” Gumam Ayka dalam terdengar begitu kosong.
Yang ia tahu hidupnya sedang terancam karena ada seorang lelaki yang bergerak menghampiri. Masih menahan sakit, Ayka beringsut mundur di atas kasur setiap kali lelaki itu menambah langkah.
“PERGI! PERGIIIII!!”
Lelaki itu tercengang. Ia curiga, mulai menarik benang merah dari situasi ini.
Jadi ini alasanmu pulang dan tidur lebih awal Kash? Ini jawaban dari suara rintihan yang kudengar pagi ini? Ini.. Ini perbuatanmu Adikku?
Lelaki itu memandang nanar tubuh Ayka yang meringkuk ketakutan tak berhenti mengusirnya. Tangannya menutup rambut sebisa mungkin seolah tak mau orang lain melihatnya.
Lelaki itu tahu, sangat tahu apa yang terjadi pada wanita dengan pakaian rusak di beberapa bagian, tubuh yang acak-acakan, dan banyak noda darah di sana sini. Dari getar tubuhnya, jelas sekali wanita ini korban pemerkosaan.
Kamu gila Kash! Untuk pertama kalinya kamu melakukan tindakan gila tanpa sepengetahuanku. Ini tidak seperti dirimu Adikku, tapi siapa lagi yang melakukan hal ini di kamarmu jika bukan kamu??
Rash mendekati Ayka yang semakin keras berteriak. Tubuhnya bergerak panik kesana kemari saat Rash berangsur mendekati.
Rash berhasil menyentuh wajah Ayka.
Cantik.. Wanita ini cantik..
Rash menelan ludah. Ia juga lelaki. Ia juga seorang yang punya hasrat birahi. Ia ingin..
***
Bagian 4 Keluarga
***
Tidak! Jangan berpikiran bodoh Rash!
Rash terus melawan pikiran berdosanya. Ia tak boleh terpikat pada wajah cantik penuh luka di hadapannya. Wanita itu sangat butuh pertolongan. Ia yakin betul bahwa Kash telah memerkosa wanita yang menggigil setengah mati di depannya. Meskipun masih tak habis pikir adiknya itu telah begitu tega. Setelah sekian lama, baru kali ini Kash kembali bertindak sesukanya.
“Siapa namamu?”
Ayka merapatkan selimut, semakin cepat menggigil. Rambutnya terus berusaha ditutupi. Bibirnya tak henti bergumam rendah dengan bola mata kosong berlarian.
“Pergi, pergi, pergi, jangan, jangan, pergi, pergi..”
“Di mana rumahmu?” Rash kembali menyelidiki.
Ayka terus menangis dan tak berhenti menggumam kalimat yang sama. Pikirannya kosong dan hanya berisi ingatan tentang wajah lelaki itu, perlakuan lelaki itu, aroma tubuh lelaki itu.
Leher Rash tegang. Ia seperti melihat seseorang yang hilang akal di hadapannya. Wanita itu jelas terpukul kuat, hingga kewarasannya jauh terpental. Bagaimanapun caranya ia harus menolong..
“Pakailah bajumu..” Perintah Rash setelah menemukan pakaian luar dan dalam wanita berserakan di atas ranjang. “Aku akan keluar, cepat pakai bajumu dan pergilah sebelum adikku datang.”
Ayka melirik Rash sebentar. Kesadarannya pulih. Ia menemukan wajah lain dari lelaki semalam. Wajah yang lebih lembut dan bersinar.
“Segera lakukan.. Dia tidak akan membiarkanmu lari. Aku kenal adikku Kash..”
Tubuh Ayka kembali bergidik mendengar nama itu disebut. Ia menutup kedua telinganya lalu meringkukkan tubuh ketakutan. Napasnya tersengal-sengal. Tangisannya kembali terisak-isak menyayat hati.
Entah sejak kapan Rash pergi, tiba-tiba Ayka tak menemukan sosoknya lagi. Ia terlalu sibuk menepis setiap bayangan kelam saat nama ‘Kash’ terdengar.
Dengan sisa tenaga, Ayka segera memakai gamisnya. Semua terasa susah, ia terus mengingat ucapan lelaki yang baru saja menyambanginya agar bertindak cepat sebelum adiknya datang. Ia terus menangis melihat berbagai noda merah dan darah menghiasinya.
Ayka berusaha kuat. Ini bukan saatnya manja pada rasa sakit. Meskipun perih itu nyata sekali.
Ayka membuka pintu kamar itu.
Klek! Terbuka. Ia segera melangkah ragu seraya menahan sakit di sekujur tubuhnya. Tak ada siapa-siapa.
Aku harus pergi.. Aku harus pergi..
Tanpa alas kaki Ayka terus berjalan, tertatih-tatih tanpa berani mengangkat kepala. Tubuhnya masih gemetar. Ia takut. Malu. Rasa sakit pertemuan kulit kakinya dengan tanah tak ia hiraukan. Ada sakit yang lebih besar, yang bagi Ayka tak akan bisa disembuhkan.
Ia tak peduli apa pun saat ini. Fokusnya hanya pada rumah, tak ada tujuan lain selain rumahnya untuk kembali pulang.
Ayka!
Iku Ayka kan? (Itu Ayka kan?)
Ka! Arep nang endi? (Ka! Mau ke mana?)
Klambine Ayka kok abang-abang? (Bajunya Ayka kok merah-merah?)
Ayka!
Semua yang melihat menangkap ketidakwajaran pada sikap Ayka yang demikian. Bajunya kotor, banyak noda darah. Diperkuat dengan sikap Ayka yang tak menoleh ke kanan kiri untuk menyapa dengan riang seperti biasanya.
Panggilan demi panggilan justru semakin mempercepat langkah Ayka. Ia takut menoleh. Takut semua orang tahu keadaannya. Tak mau semakin mempermalukan keluarganya.
Aku adalah aib, aib, aib, kotor, menjijikkan!
Beberapa orang mengikuti langkahnya jauh di belakang. Seakan penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Ayka tak tahu karena yang ada di pikirannya hanyalah rumahnya. Ia ingin masuk dan seumur hidup tak akan keluar lagi, sungguh.
Ayka mempercepat langkah setelah menemukan rumah dengan halaman luas berpagar bambu itu. Semakin cepat masuk hingga sepasang suami istri itu tercengang melihat keadaan putrinya.
“Ayka..” Nahlah tercengang.
“Ibu.. Hiks..”
Ya Allah.. Ini benar putriku.. Ini Ayka.. Ya Allah.. Apa yang terjadi pada putriku..
Ayka ambruk di ruang tengah rumahnya, di kaki Nahlah ibunya. Seakan dunia ini runtuh bersamaan dengan tubuhnya.
Nahlah menepis semua anggapan. Meskipun kondisi Ayka yang tampak sangat terguncang terus menggiringnya pada suatu kenyataan. Bahkan bajunya yang terlihat rusak di beberapa bagian mempertegas apa yang sebenarnya terjadi.
Nahlah menemukan kaki Ayka yang kotor, banyak luka, berdarah tapi tak dirasa. Pertanda nyata bahwa luka fisik di tubuhnya bukan apa-apa jika dibandingkan dengan luka batinnya.
Nahlah terus memaksa putrinya berbicara. Ia mengguncang kedua bahu Ayka dengan putus asa.
“Apa yang terjadi Nduk? Jawab ada apa ini??” Suara Nahlah bergetar hebat.
Mata Ayka berhujan tangis. Ia tak bisa menjawab pertanyaan. Ia tak bisa menjelaskan apa pun. Hanya ingin bersimpuh pada wanita yang melahirkannya.
Tiba-tiba gadis itu bangkit. Ia merangkak, berdiri dan berjalan ke belakang sambil menahan rasa sakit. Membuat orang tuanya kebingungan dan semakin curiga.
Ayka masuk ke kamar mandi. Mengguyur tubuhnya yang masih berpakaian dengan air berulang kali. Terus menerus tanpa henti bersama dengan emosi.
Dari luar kamar mandi, Nahlah dan suaminya Firman, hanya bisa tercengang menyaksikan perilaku tak wajar anaknya. Bahkan saat melihat Ayka membuka kerudungnya, menggosoki kuat-kuat leher, dada, kaki, hampir sekujur tubuhnya, Nahlah tercekat seraya menutup bibirnya dengan telapak tangan. Ia seorang wanita, juga seorang ibu. Ia tahu meskipun berharap dugaannya palsu. Namun melihat tingkah laku Ayka menyakiti tubuhnya sendiri, seolah tubuh itu dibaluri kotoran yang harus dibasuh berulangkali, rasanya Nahlah putus asa.
***
Tubuh Nahlah meluruh di depan pintu kamar Ayka, setelah baru saja selesai membantu Ayka membersihkan tubuhnya. Menenangkan lalu menidurkan setelah berulangkali Ayka memberontak ketakutan. Putrinya itu terus menerus ingin mandi, menyucikan diri.
Segera kedua putra putri Nahlah menyerbu. Demikian pula dengan suaminya. Namun mata Nahlah begitu kosong. Napasnya sesak. Perlahan air matanya tumpah.
“Ceritakan Bu.. Ayka kenapa?” Firman bertanya pada istrinya tak sabar. Sedari tadi istrinya melarang sang suami mendekat karena Ayka terus memberontak setiap kali didekati laki-laki.
Kedua putra-putrinya yang menyangga lengan di kanan kiri pun mengangguk-angguk cepat, mengiyakan pertanyaan Firman. Mereka sama tak sabarnya. Meskipun semua telah menduga-duga.
“Kenapa harus pada Ayka? Hiks..” Nahlah terisak berat. Ia berhenti sejenak untuk melonggarkan napasnya.
“Kenapa Ayka? Hiks.. Salah apa putriku?? Ya Allah.. Kenapa harus putriku..” Nahlah terus mengajukan protes. Entah pada siapa. Ia adalah seorang ibu yang tak terima putrinya dilukai separah ini.
“Kenapa Mbak Ayka Bu?” Alya tak sabar menerka. Matanya pun berkaca-kaca.
“Sepertinya.. Mbakmu.. Diperkosa.. Hiks.. Hiks..”
Sesak dada Nahlah mengatakannya. Semua yang menanti jawabannya pun turut tersentak. Ini bencana.
“Bu, Mbak Ayka..” Alya tak kuasa melanjutkan ucapannya. Ia pun turut diserang rasa tidak percaya. “Memangnya apa yang Mbak Ayka bilang Bu?”
Nahlah kembali menata napasnya sembari mengusapi dadanya yang terasa sesak sekali. Sesekali ia meremasi pahanya melampiaskan kegeraman.
“Mbakmu tidak bilang apa-apa, hiks.. Mbakmu tidak bisa bicara.. Ibu melihat semua saat Ayka mandi, ibu melihat bukti-bukti itu.. Hiks..”
“Astgahfirullah.. Ya Allah..” Haidar, adik bungsu Ayka, terduduk lemas.
“SIAPA?? SIAPA YANG MELAKUKAN INI PADA AYKA??”
“Ayah, jangan! Jangan Yah..” Nahlah buru-buru berdiri mencegah suaminya yang naik pitam berusaha memasuki kamar Ayka. Ia kembali melantai sembari merangkul kaki kiri suaminya. “Jangan Yah.. Jangan!! Ayka.. Hiks.. Ayka.. Ndak akan jawab opo-opo (tidak akan menjawab apa pun). Dia tidak menjawab satu pun pertanyaan ibu. Dia hanya diam dan melamun lalu menangis. Dia terus memeluk tubuhnya sendiri ketakutan. Baru memeluk ibu saat sadar.”
“Jangan Yah.. Jangan temui Ayka dan bertanya macam-macam. Dia tidak sedang dalam keadaan bisa diajak bicara. Pikirannya kosong.. Hiks..”
Firman menyusul istrinya, luruh di lantai menyesali semua. Demikian pula Alya dan Haidar. Semuanya menangis. Semua menyesali keadaan. Semua turut merasakan penderitaan.
***
Kash baru memasuki rumah setelah mengatasi masalah proyek di pagi buta. Ia segera menuju kamar dan melewati kakaknya begitu saja. Seakan Rash dianggap tidak ada. Seakan di dalam kamarnya ada magnet yang lebih utama. Kuat menarik.
Tak lama kemudian..
Brakk!
Dari dalam kamar Kash membanting pintunya. Dengan langkah membabi buta, ia menuju ke arah Rash yang sedang sarapan. Dadanya kembang kempis diliputi amarah.
Bugg!
Bunyi benturan punggung Rash di dinding cukup mewakili betapa keras dorongan Kash yang merenggut kemejanya. Dengan mata nyalang yang membulat gelap, Kash menghunus tajam sorot matanya. Mengadu mata dengan mata sembari terus memperkuat renggutan di dada kakaknya.
“Di mana dia??”
“Dia siapa maksudmu?” Rash berpura-pura.
“Jangan belagak bodoh! DI MANA DIA HAH??”
Rash tetap membalas tajamnya mata Kash dengan kelembutan. Ia kenal adiknya. Meskipun Ia tak pernah melihat adiknya semarah ini setelah beberapa tahun silam.
“Kash.. Apa yang sudah kamu lakukan padanya?” Rash menyerah dan merendah.
“Bukan urusanmu!!” Kash membentak. Tak surut emosinya karena merasa terusik. “Katakan di mana dia??”
“Aku menyuruhnya pulang.”
Bug! Satu kepalan tangan menyapa pipi kanan Rash. Ia memejamkan mata meredam emosinya sendiri, menerima perlakuan adiknya dengan rela. Selalu mengingat apa yang dipesankan ibunya, Asya.
“Apa kamu sudah gila melakukan hal ini pada penduduk lokal?? Apa kamu lupa? Kita hanya tamu di sini Kash! Bisa-bisanya kamu bertindak kriminal?”
“BUKAN URUSANMU!!”
“Urusanmu adalah urusanku Dik..” Rash meremas pundak adiknya. Tindakan yang selalu ia lakukan untuk mengontrol emosi Kash. “Bagaimana nasibmu kalau sampai wanita itu lapor polisi? Bagaimana kalau proyek kita dicabut? Bagaimana kalau kamu dipenjara?”
“Dia tidak akan lapor polisi. Aku menjaminnya!” Kash mantap dan yakin.
“Darimana kenyakinanmu itu datang?” Rash menghela napas di balik ancaman. Tutur katanya tetap lembut meskipun dalam keadaan melawan adiknya. “Kash.. Apa wanita itu sangat menarik perhatianmu hingga kamu begitu menginginkannya?”
Kash menurunkan tangannya. Napasnya berangsur stabil tapi lehernya masih tegang, tampak dari jakunnya yang naik turun.
“Kamu bisa mendapatkan wanita mana pun di ranjangmu, tapi tidak dengan cara ini, tidak di sini. Ini Indonesia Kash, ini negara timur, seks bebas saja tidak diperkenankan di sini, apalagi pemerkosaan..”
Kash berbalik, memunggungi Rash dengan malas. Ia tak suka diceramahi seperti itu. Kali ini Kakaknya tak bisa menebak isi pikirannya. Tak juga mengubah pendiriannya.
***
Jakarta. Seminggu kemudian.
“Kash, besok kita kembali ke Pasuruan. Ini momen yang tepat untukmu mencari wanita itu dan bertanggungjawab.. Kita harus mencarinya sebelum polisi menangkapmu.”
Rash berdiri dekat ranjang, kemudian duduk setelah sarannya tak digubris sama sekali. Kash lebih tertarik pada game di ponselnya.
“Kash?!” Bentak Rash emosi.
“Hm..”
“Apa game itu sekarang jauh lebih penting daripada nasib seorang wanita?”
Kash masih belum bergeming. Tangan dan matanya aktif menatap layar ponsel untuk beberapa saat. Baru kemudian ia meletakkannya dengan santai.
“Kakak jangan sok tahu, aku bosan menang main game itu, hanya saja aku ingin terlihat seperti manusia normal. Dan.. Aku juga bosan Kakak terus membahas masalah wanita itu. Berapa kali harus ku bilang itu bukan urusanmu..”
Kash bangkit dari tidurnya. Ia berdiri seraya menatap keluar jendela.
“Dia tidak akan berani macam-macam.” Kash tersenyum licik.
“Kash! Tindakanmu itu tidak manusiawi!” Rash mulai geram menyaksikan sikap tak acuh adiknya. “Dia wanita Kash! Sepintas kulihat dia seorang yang taat agama. Dia..”
“Lalu?” Kash membalik tubuh dan mengangkat kedua alisnya santai. Merasa tak berdosa.
“KAMU MEMERKOSANYA KASH!!” Rash mendelik seraya merenggut dada adiknya yang masih saja tampak santai dengan kedua tangan terselip di saku celana. Ia benar-benar marah kali ini.
Terjadi ketegangan antara dua anak manusia itu. Hingga seseorang yang sedari tadi menguping pembicaraan mereka pun masuk dan menyingkap tabir gelap.
“Memerkosa siapa? Siapa yang memerkosa??”
Baik Rash maupun Kash melongo menyaksikan siapa yang baru masuk ke kamarnya. Membawa pertanyaan dan luka atas sebuah kenyataan oleh putra mereka.
“Sial!” Umpat Kash lirih.
“Ma..ma..” Rash tercengang.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰