Diusir dari Rumah Mertua Setelah Suami Tiada (Bab 1 - 10)

0
0
Deskripsi

Berawal, Nisa seorang istri yang kehilangan suaminya ketika berlayar. Konflik di rumah mertua memaksanya harus meninggalkan rumah itu.

Keahlian memasaknyalah yang membuat mereka bertahan dan berkembang. Melanjutkan hidup untuk bahagia selalu.

Bagaimana perjuangan Nisa bersama kedua anaknya, dan akhirnya bisa membuka hati kembali.

Bonus resep memasak di kaki cerita, saat Nisa sudah memulai usahanya.

Bab 1

Kapan Kau Pulang?

Cerita ini bukan menceritakan tentang wanita lemah, tetapi tentang perjuangan seorang Nisa bersama kedua anaknya.

Selamat membaca.

-------------------------------------

"Kapan kamu pulang ke rumahmu?"

'Deg!'

Spontan gerakan tanganku mengelap piring berhenti. Pertanyaannya langsung menorehkan luka di hati ini yang masih basah. Apa tidak bisa bersabar menunggu sedihku usai?

"Tadi malam sudah empat puluh harinya Ridwan. Kalau kamu membutuhkan uang untuk pulang, kasih tahu saya," ucap Mbak Rini memperjelas maksudnya.

"Saya hanya bisa bantu kasih uang transport saja. Lap piringnya yang cepat. Orang RT akan segera mengambilnya! Tidak enak membiarkan mereka menunggu!" perintahnya dengan menaruh keranjang kosong di sebelahku kemudian ke luar dari ruangan ini. 

Tak terasa air mata yang aku tahan sedari tadi lolos membasahi pipi ini. Mas Ridwan suamiku dinyatakan hilang saat berlayar. Jasad kedua temannya sudah dikebumikan, tetapi jasad Mas Ridwan sampai batas waktu akhir pencarian belum diketemukan. Kemungkinan besar terseret arus atau dimakan ikan besar, itu kata mereka. Kemungkinan selamat sangat kecil dan itu mustahil. 

Hatiku ngilu membayangkannya. 

"Sabar ya, Nduk. Ajal seseorang sudah ditentukan Gusti Allah. Kita hanya bisa menjalani saja. Doakan Ridwan ya,  Nduk," hibur Emak, mertuaku saat aku sadar dari pingsanku saat menerima kabar kalau pencarian dihentikan.

"Emak, Nisa selalu mendoakan Mas Ridwan, tetapi Nisa tidak bisa menerima kalau Mas Ridwan dinyatakan meninggal sebelum melihat jasadnya."

"Nisa! Kamu harus menerima kenyataan ini. Jangan keras kepala! Bagaimana diketemukan jasadnya, kalau sudah dimakan ikan!" celetuk Rini, kakak Mas Ridwan.

"Husss! Rini, kalau ngomong dijaga! Nisa ini masih berduka!" teriak Emak sambil mempererat memelukku.

"Memang kenyataannya begitu, kok!" ucapnya sambil berlalu meninggalkan kami.

"Sabar ya, Nduk. Rini memang begitu sifatnya," hiburnya.

Aku melepaskan pelukannya, menegakkan tubuhku untuk terlihat lebih kuat. Aku tidak mau terlihat berduka, suamiku belum meninggal, dia hanya belum pulang. 

Aku yakin itu.

"Ibuk ... adek nangis!" teriak Alif, anak pertamaku menyadarkanku. Walaupun masih berumur delapan tahun, dia bisa diandalkan menjaga adiknya. Dwi, anak perempuanku yang baru berusia enam bulan.

BERSAMBUNG

******

 

Bab 2

Jangan Pergi

-------------------------------------

"Ibuk ... adek nangis!" teriak Alif, anak pertamaku menyadarkanku. Walaupun masih berumur delapan tahun, dia bisa diandalkan menjaga adiknya. Dwi, anak perempuanku yang baru berusia enam bulan.

Segera aku selesaikan pekerjaanku. Piring dimasukkan di keranjang dan aku siapkan di dekat pintu. Semua harus beres, aku berusaha tidak membuat celah Mbak Rini untuk melontarkan kata-kata pedasnya.

Iya, dari segi umur memang Mbak Rini lebih tua dari pada aku, sekitar lima tahunan. Tetapi sikap dan pemikirannya tidak mencerminkan kedewasaannya. Sering aku protes ke Mas Ridwan tentang hal ini.

"Mbak Rini kok tidak tahu, ya. Kalau tempe setengah matang, kalau disimpan di kulkas proses penjamurannya bisa terhenti. Ini kok malah marah ke Nisa. Katanya Nisa tidak becus belanja! Padahal Nisa sengaja beli itu karena akan di masak sekarang!" keluhku kesal.

"Dek Nisa, yang sabar ya. Kita harus memaklumi Mbak Rini. Secara kepintaran memang dia segitu kemampuannya. Walaupun dijelaskan, dia tidak bisa mengerti. Dia tidak tahu apa itu fermentasi. Biarkan saja, lama-lama dia mengerti," hibur Mas Ridwan.

Mbak Rini secara akademik memang tidak beruntung. Dia tidak bisa meneruskan sekolah dasar. Bapak dan Emak sudah berusaha mendorong dia sekolah, tetapi melihat dia tersiksa akhirnya mereka menyerah.

Berbeda dengan Mas Ridwan. Akademiknya begitu cemerlang, selalu di peringkat tiga besar. Kemampuan dia inilah yang mengantarkan dia mendapatkan beasiswa dan menjadi seorang sarjana. Keinginannya ingin memajukan pendidikan di kampung asalnya ini.

"Tetapi Mas, kalaupun dia tidak mengerti seharusnya bisa bertanya atau minta maaf kalau salah. Ini malah marah-marah!" Omelanku masih berlanjut mendinginkn hati yang masih terasa panas.

"Dimaklumi sajalah. Mungkin dia lagi banyak pikiran. Kamu tahu kan, kalau baru selesai proses cerai tingkat kestresan meningkat?" jelasnya lagi.

Aku masih kesal, mulutku cemberut belum menerima penjelasan Mas Ridwan. Tidak pintar, stres atau apalah, bukan alasan yang tepat untuk marah dengan orang lain. 

Mas Ridwan langsung mendekat ke arahku, dia duduk di sampingku. Diusap punggungku dengan lembut dan sesekali merapikan anak-anak rambutku. 

Begitu perlakukan suamiku untuk meredakan kesalku, tetapi sekarang, tidak ada suara yang menenangkan, tidak ada lagi tepukan lembutnya. Hanya kenangan akan dirimulah yang membuatku bertahan.

Mas Ridwan, kamu kapan pulang. Aku merindukan dirimu. 

"Ibuk ... Ibuk nangis lagi?" Suara Alif menyadarkanku. Tangan kecilnya memegang lenganku, terasa hangat seperti  ada Mas Ridwan di sini. 

"Eh, Kakak. Tidak, Ibuk hanya kena debu matanya," ucapku dengan tersenyum sambil mengusap pipi yang sudah basah dengan air mata. 

"Nisa! Anakmu nangis itu, lo! Gara-gara anakmu, Hasan yang sudah tidur bangun lagi. Bikin rumah berisik saja!" teriak Mbak Rini dari kamar sebelah. Hasan anak tunggalnya dari pernikahan yang baru gagal ini, dia masih balita juga berumur tiga tahun.

Aku langsung beranjak ke kamar diikuti Alif, Dwi anakku yang masih bayi menangis karena bangun dari tidurnya. Aku ambil dan aku susui supaya tidak lagi menangis. Alif yang duduk di sebelahku mengusap-usap kaki adiknya. 

Aku tersenyum melihat mereka. 

Merekalah yang aku punya sekarang, merekalah yang menjadi semangat dan menguatkanku sekarang. Merekalah yng menjadi alasanku untuk terus hidup dan maju.

***

"Nisa, kau makan dulu, Nak. Dwi dan Alif sudah tidur, kan?" ucap Emak ketika masuk ke kamarku. 

Dia duduk disebelah Alif yang tertidur, diusapnya kepalanya dengan pelan, matanya terlihat berkaca-kaca. Aku sangat mengerti, tidak hanya aku yang bersedih, Emak juga sangat kehilangan Mas Ridwan, anak kesayangan dan kebanggaannya.

"Le, kamu ini masih kecil kok sudah kehilangan bapak. Kasihan kamu ini, Le," gumannya lirih. Terlihat dia mengusap matamya kemudian mendongak ke menatapku. 

"Emak mendengar apa yang diucapkan Rini. Tidak usah di dengar, dia tidak mengerti apa yang diucapkan. Biar bapak saja yang menjelaskan kepadanya. Kamu temani Emak di sini, ya. Jangan pisahkan Emak dengan cucu-cucu Emak ini. Mereka gantinya Ridwan," ucapnya dengan terbata-bata dan berakhir dengan air mata yang lolos dengan sendirinya. 

Ditariknya diriku ke dalam pelukannya, kami menangis bersama, melepas sesak karena rasa rindu kepada Mas Ridwan yang membuncak.

"Tetapi Emak, Mbak Rini menyakini kalau kami tidak ada hak untuk tinggal di sini."

Emak mengurai pelukannya dan memegang kedua lenganku. Dia tidak bisa berkata-kata, hanya gelengan kepala dan air mata yang semakin deras meluncur di pipi keriputnya.

BERSAMBUNG

******

 

Bab 3

Janji Seorang Istri

-------------------------------------

Emak adalah istri kedua Bapak Mertua, dari istri pertamalah Mbak Rini lahir. Ibu Mbak Rini sudah menikah lagi dan berpindah di kampung yang berbeda. Awalnya. dia ikut bersama Ibunya, tetapi karena sering mendapatkan kekerasan verbal, dia tertekan dan di rawat Emak yang dia adalah ibu tirinya.

Walaupun Mbak Rini bukan anak kandung, Emak sangat menyayanginya. Apapun kebutuhannya dipenuhi, walaupun Mbak Rini seperti menutup diri karena trauma di masa kecilnya itu. Dorongan Emak untuk meneruskan sekolah tidak digubrisnya. Dia lebih suka berdagang, walaupun berulang kali gagal karena ketidak pintarannya. 

Emak Sayuti, dia begitu cantik dan lincah dalam berdagang. Kesehariannya di pasar, sedangkan Bapak menjadi juru tulis desa. Praktisnya secara keuangan, Emak mempunyai peran yang begitu besar. 

Keinginan mempunyai anak sendiri belum terkabulkan walaupun segala cara sudah di coba. Ketika Mbak Rini berumur sembilan tahun, Emak Sayuti dan Bapak mengangkat bayi laki-laki yang di beri nama Ridwan Santoso. Mbak Rini pun sangat menyayangi adik barunya. Dia sangat senang mempunyai teman di keluarga ini.

"Nisa, kamu jangan kawatir akan hak kamu di sini. Emak sudah memikirkan itu. Walaupun Ridwan tidak lahir dari rahim Emak, dia sudah menjadi bagian nyawa Emak. Ini surat dari pengadilan pengangkatan anak. Bapak sudah mengurusnya dari awal kami memilikinya," jelas Emak. 

Dia memberikan kertas yang sudah berwarna kekuningan. Di sana tertulis jelas bahwa Ridwan Santoso diangkat anak oleh pasangan Ny Sayuti dan Tn Sardi. Ini bukti legal bahwa Mas Ridwan adalah anak angkat yang sah. Aku sudah tahu dari awal sebelum kami menikah, kalau Mas Ridwan anak angkat, tetapi tidak pernah terbersitpun kejadian akan seperti ini.

"Jadi, kalian jangan pergi. Jangan tinggalkan kami. Apapun yang terjadi. Atau, kamu sudah bosan dengan kami yang sudah renta ini?"

"Emak! Jangan berkata seperti itu! Emak sudah seperti ibuku sendiri!" teriakku dengan menggenggam tangannya. 

"Kamu janji, ya."

"Ya, Mak," ucapku dengan menganggukkan kepala dengan yakin.

***

Malam ini, Emak memaksa Alif untuk tidur dengannya. Dia seperti ketakutan ketika dibangun tidurnya dia tidak lagi melihat kami lagi. 

Aku pandang dinding kamar ini, ada foto kami bertiga, aku, Mas Ridwan dan Alif. Saat itu ulang tahun ke lima Alif, aku memaksanya untuk foto bersama. 

Sayang, kami belum sempat foto berempat bersama Dwi kecil. Hanya ada foto Mas Ridwan sedang menggendong Dwi dengan senyum sumringahnya. Itupun masih tersimpan di ponselku ini, belum sempat aku cetak. 

'Mas Ridwan, tidakkah kau rindu anak gadismu ini. Dia sudah bisa tersenyum, persis  seperti senyumanmu yang bisa menenangkanku. Dwi, anak gadis yang kau tunggu kehadirannya selama tujuh tahun dan sekarang sudah hadir, tetapi kau tinggalkan,' bisikku dalam hati. Semoga kau mendengarnya, Mas. Cepatlah pulang.

Aku layangkan pandanganku di pigura sebelahnya. Ijazah Sarjana Mas Ridwan. Setelah menyelesaikan kuliahnya, dia menyuntingku dan memboyongnya ke sini. Saat itu, Mbak Rini masih hidup terpisah dengan suaminya. Kami disini dengan tujuan merawat Emak dan Bapak. Saat itu, hanya kamilah harapan mereka untuk menemani diusia senjanya.

Mas Ridwan menjadi guru honorer di kampung ini. Pembawaannya yang pintar dan gampang bergaul membuat dia cepat dikenal bahkan sampai di Kecamatan. Tugas yang diembannya selalu diselesaikan dengan cepat, bahkan Mas Ridwan beberapa kali menyumbangkan ide untuk perbaikan pendidikan di kampung ini. Karena itulah, atasannya merekomendasikan dia untuk diangkat sebagai pegawai negeri. 

Setelah melewati beberapa test, dinyatakan Mas Ridwan lulus dan masih menunggu surat keputusan dari pusat.

Lahirnya anak kedua kami, menyadarkan bahwa kebutuhan kami semakin membengkak. Tidak mungkin, kami menyandarkan kepada Emak yang sudah mulai tidak aktif ke pasar. Mas Ridwan ikut berlayar setiap akhir minggu.

"Mas, tidakkah kamu capek? Berlayar itu pekerjaan berat," ucapku saat itu dengan menyusap tangan suamiku yang mulai kasar.

"Dek Nisa, ini tanggung jawab Mas. Kamu fokus mengurus Alif dan gadis kecilku yang cantik ini," jawabnya dengan menghujani ciuman ke pipi gembul Dwi kecil.

"Mas! Jangan terlalu keras! Nanti dia bangun," ingatku kepadanya. 

Mas Ridwan beralih mencium pipi Alif yang tertidur di samping Dwi. Begitu lama dan seperti membisikkan sesuatu, entah apa.

"Dek Nisa. Aku berangkat, ya. Jaga anak-anak, Emak dan Bapak," bisiknya ketika menarikku ke dalam pelukannya. Diciumnya pucuk kepalaku. Terasa hangat.

"Mas Ridwan, apa ditunda saja berlayarnya. Kamu terlihat capek," ucapku merajuk di dalam pelukannya.

"Tidak enak dengan teman-teman, Dek. Mereka sudah menunggu. Ingat, yang Mas katakan tadi. Jaga anak-anak, Emak dan Bapak. Doakan, Mas, ya?" ucapnya dengan mengurai pelukannya dan merapikan anak-anak rambutku.

Malam itu, aku mengantarnya sampai pintu, menatapnya sampai bayangan punggungnya menghilang di kegelapan malam.

*

Kalau aku tahu itu ciuman terakhirmu untuk Dwi dan Alif, tidak akan aku mengingatkanmu. Pasti aku biarkan kau terpuaskan walaupun dia kan terbangun.

Kalau aku tahu itu adalah bencana buatmu, pasti tidak akan kuijinkan kau pergi berlayar. 

Kalau aku tahu itu pelukan terakhirmu, aku pasti tidak akan melepaskanmu, Mas.

Ya, Allah lindungi Suamiku. Apabila dia masih hidup, selamatkanlah dia. Apabila dia sudah meninggal, tempatkanlah dia di tempat yang terbaik.

Mataku mulai mengabur. Air mataku sudah tidak terbendung lagi. 

Ya Allah, hanya kepada-Mu aku sandarkan diriku. Kuatkan diriku untuk menjalani hidup ini. Menjaga anak-anak, Emak dan Bapak.

******

 

Bab 4

Tamu Penghasut

-------------------------------------

"Nisa ...! Bangun!" 

Suara teriakan terdengar di depan pintu kamarku. Mataku yang masih berat untuk kubuka, begitu juga kesadaranku. Masih jam empat pagi, sebentar lagi Subuh. 

"Bangun! Bangun!"

Teriakan lagi dan sekarang ditambah dengan gedoran pintu. Aku segera bangun, dengan langkah diseret aku membuka pintu kamar. Biasanya, Mas Ridwan membangunkan aku dengan mencium pipi ini, karena dia tahu benar, kepalaku akan sakit kalau terbangun karena kaget.

"Nisa bangun! Kamu harus beres-beres rumah terus ke pasar!" perintah Mbak Rini yang sekarang berdiri di depanku.

"Ya, Mbak. Saya salat Subuh dulu," ucapku lirih menahan sakit kepala sambil menutup pintu. 

"Numpang hidup di rumah orang yang rajin, jangan malas. Dasar tidak tahu malu!" gumannya dan berlalu.

'Deg!'

Hatiku seperti tertusuk belati, sakit. Sakit kepalaku langsung lenyap terganti dengan sakitnya hati ini. Aku menatap Mbak Ririn yang berlalu di depanku.

'Mbak begitu bencinya dan tidak adakah sisa sayangmu kepada kami? Bukankah selama ini hanya kami yang kau punya?'

Aku labuhkan deritaku di sujud salatku. 

Ya Allah, ringankanlah sakitku ini sehingga aku mampu mengemban janji kepada suamiku.

***

"Nisa, aku turut berduka cita, yang sabar, ya," ucap Mbak Fatimah merengkuhku. Dia sahabatku di desa ini, aku berlangganan belanja di tokonya. 

"Terima kasih, Mbak. Aku kuat!" ucapku dengan yakin. Ucapanku berbanding terbalik dengan mataku yang dengan sendirinya merebak. 

"Sudah, ayo masuk ke dalam dulu," ajaknya dengan lembut. Aku ditariknya ke dalam rumah yang berada di belakang toko.

Mbak Fatimah ini juga guru ngaji, Alif menjadi muridnya karena itulah aku sering berbincang banyak hal dengannya.

"Ini diminum dulu," ucapnya dengan menyodorkan satu gelas air putih dingin. 

"Mbak Fatimah, apa yang harus aku lakukan?  Mbak Rini bersikeras supaya aku pulang. Aku harus bagaimana? Sedangkan di sana sudah ada keluarga kakak dan adik. Tidak mungkin aku menambah beban orang tuaku. Sedangkan aku ...." ucapku terputus, tidak mampu aku berucap lagi. Mbak Fatimah menyodorkan satu kotak tisue kepadaku sambil tersenyum.

"Menangislah sampai kau lega. Jangan ditahan." 

Punggungku di usapnya pelan. Aku menangis sesenggukan melepas sesak di dada ini. Setelah beberapa saat, hatiku mulai lega. Aku menata nafasku dan menatapnya dengan nanar. 

"Mbak ...."

"Kalau ada yang bisa saya bantu, ngomong, ya. Jangan dipendam sendirian, nomor hapeku masih disimpan, kan?" 

"Ya, Mbak. Sebenarnya, aku masih ingin cerita, tetapi aku harus pulang sekarang. Mbak Rini pasti mencariku," ucapku sambil membereskan tissu yang aku pakai tadi.

***

"Nisa! Kamu ketiduran di pasar? Ditunggu dari tadi, tidak pulang-pulang! Semua yang di sini sudah lapar, eh malah enak-enakan! Sana cepet masak!" teriakan Mbak Rini menyambutku. 

Aku langsung masuk ke dapur tanpa menghiraukan ucapannya. Menanggapi apa yang dia katakan sama saja menambah luka di hati ini. Emak yang menggendong Dwi menepuk pundakku pelan sambil tersenyum menguatkanku.

Entah apa yang terjadi pada dia, semenjak Mas Ridwan tiada, dia berubah kasar yang terkesan jahat. Memang kesehariannya dia tidak bersikap lembut. Namun, sikapnya itu berdasar karena ketidaktahuannya bukan karena niat yang tidak baik. 

Sekarang setiap perkataan, memperjelas niatnya untuk mengusir kami dari rumah ini. Entah, apa yang membuat dia berfikir seperti itu. Padahal, Mas Ridwan sangat sayang kepadanya.

***

"Ibuk ...." 

Alif menghampiriku yang menyuapi Dwi dengan bubur. Dia menggelendot di lenganku. 

"Makan dengan Uti, ya? Ibuk masih nyuapi adik."

"Uti dan Kakung keluar, Buk. Alif makannya nunggu Ibuk saja," ucapnya dengan memainkan jari-jari tangannya. Biasanya kalau dia seperti ini, pasti ada yang diminta. Kebiasaannya kalau merajuk ke Mas Ridwan dulu.

"Kenapa? Alif minta jajan?" tanyaku.

Dia diam, hanya gelengan kepala dengan tertunduk. 

"Mau mainan?" tanyaku lagi

Dia menggeleng lagi, kemudian wajahnya mendongak ke arahku.

"Ibuk, kata Bude Rini kita akan pindah, ya? Ke mana?" tanyanya dengan mata masih menatapku meminta jawab.

Aku menghentikan suapanku ke Dwi. Menatap balik Alif anakku ini. Niat Mbak Rini ternyata tidak main-main, bosan menerorku ternyata beralih ke Alif. Ini artinya, tekadnya sudah bulat untuk menyuruh kami pergi.

"Alif sayang. Ibuk belum tahu kita akan pindah ke mana. Yang penting, kita akan tetap bersama," jawabku.

"Bude sekarang galak, Buk. Tadi saja, Alif dilempar sapu. Kemarin juga dicubit, padahal Alif cuma numpahin air sedikit," ucapnya lirih.

'Deg!'

Aku langsung memeluk erat tubuh kecilnya. Terornya tidak hanya ucapan pedas saja, dia sudah berani main tangan ke anakku.

Saya akan kuat menahan sakitku, saat ucapan pedasnya. Namun kalau sudah mengganggu anak, ibu siapa yang tidak akan terusik. Aku

harus bicara dengannya!

Aku langsung berdiri ingin menghampirinya, akan aku buat dia sadar! Tetapi dengan apa? Dengan perkataan? Mana dia mengerti, pikirannya sudah dibutakan dengan apa yang dia yakini. Sama saja aku bicara dengan tembok, hanya membuat ribut tanpa ada penyelesaian.

Percuma!

Aku terduduk kembali dan menyebut nama-Mu. Menghilangkan amarah yang menguasai hati ini.

***

"Rini .... Pokoknya, kamu harus kuat. Jangan sampai dikalahkan Nisa. Dia itu pinter ambil hati, bisa jadi Hasan anakmu tidak mendapat warisan karena dikuasai dia." 

Suara bisik-bisik tetapi masih terdengar jelas dari kamarku. Dari suaranya seperti Bu Rusmini, adik dari ibu Mbak Rini. Dia memang dekat dengannya. Aku mendekatkan telingaku di lubang pintu, memperjelas pembicaraan mereka.

"Apalagi anaknya Alif, itu laki-laki. Bisa jadi kamu yang ditendang dari sini. Terus kamu mau ke mana? Ke rumah Ibumu? Mau tinggal dengan Bapak Tirimu yang jahat itu?" ucapnya lagi. 

"Tidaklah," suara Mbak Rini dengan keras.

"Bagaimanapun anaknya Sardi hanya kamu saja. Ridwan itu anak angkat, apalagi sekarang dia sudah mati. Iya, kan? Yang kasihan itu kamu, selama ini di buat bodo. Tidak disekolahkan. Akhirnya gini, kamu dimanfaatkan saja!" ucapnya memanasi Mbak Rini. 

Aku intip, Mbak Rini terlihat mengangguk-angguk saja. 

Dia memang pendek pemikirannya, tetapi kenapa tidak ada sisa ingatan bahwa kami menyayanginya? Kenapa malah lebih percaya kepada orang yang tidak pernah ada untuknya? Kalau Bu Rusmini sayang dengannya, kenapa dari kecil tidak merawatnya. Malah Emak Sayuti yang membuat dia bisa bangkit.

"Aku sudah berusaha menyuruhnya pulang, tapi Nisa tetap tidak mendengarkan. Entah, apa yang harus aku lakukan," jawab Mbak Rini.

"Ssstt ... Rin, Bulik Rus kasih tahu. Bagaimana kalau  ke orang pinter. Tinggal ditiup, beres."

"Bisa cepet?"

"Bisalah. Nanti Bulik bantu. Biayanya cuma lima ratus ribu. Murah itu, dibandingkan warisan yang akan kamu dapatkan."

"Mau aku. Tetapi uangnya belum ada, minggu depan Bulik ke sini, ya. Aku siapkan uangnya dulu," ucap Mbak Rini. 

"Siplah. Jangan lama-lama. Keburu warisannya dia keruk habis! Eh, dia di mana? Omongan kita tidak dia dengar, kan. Aku tidak enak, nanti dipikirnya aku ngompori kamu. Padahal, bantu ponakan tersayangku ini saja."

"Dia tidur. Seharian kerjaannya gitu. Seperti benalu saja!" jawab Mbak Rini.

"Wes, aku pulang, ya. Ingat, minggu depan siapkan uangnya," ucapnya dan beberapa saat kemudian terdengar pintu depan tertutup. 

Aku terduduk lemas dibelakang pintu kamar. Percakapan mereka membuatku ngeri. Ternyata yang dipermasalahkan warisan. Aku saja tidak pernah berpikir tetang hal ini, apalagi berniat menguasai rumah ini. Entah apa yang akan terjadi kalau dia meluluskan niatnya. Bisa jadi tidak hanya kami dibuatnya pergi, lebih ngeri lagi kemungkinan nyawa taruhannya seperti cerita-cerita yang sering beredar. 

Kegigihannya sampai berniat meminta bantuan orang pintar, membulatkan niatku untuk meninggalkan rumah ini. Keselamatan kami yang harus aku utamakan, entah bagaimana caranya kami hidup. 

Namun, untuk kembali ke kampung halamanku terasa berat. Bisa jadi keluar dari masalah di sini dan membuat masalah baru. 

Aku yakin, ini jalan yang terbaik untuk semuanya. Aku teringat ucapan Mbak Fatimah saat pengajian,

وَمَا مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا

“Dan tidak satu pun makhluk bergerak di bumi melainkan dijamin Allah rezekinya.”

Allah telah menjamin rejeki semua makhluk di muka bumi ini. 

Hatiku sudah mantap, sekarang tinggal bicara dengan Emak dan Bapak untuk meminta ijinnya.

BERSAMBUNG

********

 

Bab 5

Penolakan Halus

-------------------------------------

"Dek Nisa, kamu yang sabar, ya," ucap Mas Wawan Kakak kandungku. Dia mengucapkan bela sungkawa untuk kedua kalinya. Pertama, saat musibah yang terjadi dan ke dua sekarang ini.

"Mas Wawan, mohon doanya, di sini posisiku sulit. Mbak Rini mulai menyindirku terus. Aku harus bagaimana, Mas?" Aku berkeluh kesah meminta dukungannya.

"Kamu harus bertahan demi anak-anakmu. Bagaimanapun rumah mereka di sana, kan. Jangan di ambil hati lah. Perempuan memang sering ngomong pedes. Sabar, ya," ucapnya menghiburku.

"Ya, Mas. Aku mengerti. Tetapi dia itu ngeyel, Mas."

"Dengar, ya. Rumah yang kamu tempati itu rumah Pak Sardi dan Bu Sayuti, Ridwan kan anak tunggal mereka walaupun anak angkat. Ya itu haknya kalian. Haknya Alif dan Dwi. Apalagi ada surat pengesahan dari pengadilan. Secara hukun, yang numpang itu malah si Rini itu! Diakan anak bawaaan Pak Sardi! Sedangkan rumah itu ada karena perkawinan kedua," jelasnya dengan berapi-api.

"Iya Mas. Aku tahu benar itu. Tetapi Mas, kemarin Mbak Rini ...."

"Sudahlah Nisa. Walaupun Ridwan sudah tidak ada, kamu dan kedua anakmu itu tanggung jawab keluarga suamimu. Iya, to? Mas akan bilang ke Simbok, kalau kamu baik-baik saja. Jangan sampai jantungnya kumat.  Sek, ya. Mas Wawan berangkat kerja dulu, kalau telat gajiku dipotong. Bagaimana makannya anak-anak, ditambah Wiwin dan anaknya. Wes yo, yang sabar," ucapnya langsung menutup telponku.

Huuft .... 

Aku terduduk lemas disamping Dwi yang tertidur pulas. Dari pembicaraan Mas Wawan, aku tahu benar, dia menolakku untuk pulang ke rumah walaupun secara halus. Aku mengerti, bukan karena dia tidak mau, tetapi karena ketidakmampuannya yang memaksa bersikap seperti itu.

Aku pandangi wajah pulas putriku ini. Dalam tidurnya ada senyum tersirat di sana. Mungkin dia bermimpi indah bertemu dengan Mas Ridwan. Aku tundukkan wajahku mencium pipi gembulnya, menyusuri jejak ciuman Mas Ridwan.

***

"Bagaimana Nisa? Kamu jadi pulang ke kampungmu, kan?" tanya Mbak Rini mengulang pertanyaan yang sama seperti kemarin-kemarin.

"Mbak Rini ingin sekali kami pergi, ya?" tanyaku dengan suara bergetar menahan rasa kesalku.

"Ya iya, lah. Coba kamu pikir. Kalau di sini, siapa yang akan memenuhi kebutuhanmu? Emak? Bapak? Mereka sudah tua. Apalagi ada aku di sini. Kamu tega melihat mereka harus kerja keras menghidupi kalian. Bisa jadi, satu persatu perabotan di rumah ini dijual untuk kasih makan kalian?" ucapnya dengan ketus.

"Mbak Rini, kita bisa kerja bersama. Membantu usaha Emak di pasar. Atau membuat usaha sendiri. Kita bisa bekerja sama," ucapku berusaha melunakkan hatinya.

"Ah, alasan! Kamu pinter, ya. Nanti kita kerja bareng, terus kamu suruh ini dan itu. Perintah sana sini, dan uangnya kami pegang! Iya, kan? Dasar licik! Dari dulu aku dipinteri saja. Aku tidak mau! Pokoknya kalian harus pergi!"

"Mbak Rini, dengar penjelasan saya."

"Enggak! Aku tidak mau kamu manfaatkan. Nanti aku akan kamu singkirkan. Terus Hasan akan terlantar. Huuh, tidak akan!"

"Mbak ...!"

"Tidak!"

Brak!

Dia menutup pintu dengan keras sampai-sampai Dwi terbangun dari tidurnya dan menangis.

***

[Mas Wawan apa kabar]

Aku baca pesan yang kemarin aku kirim lewat ponsel kepada Mas Wawan. Belum ada balasan, tanda dibacapun belum.

[Dek Wiwin, Simbok sehat?]

Pesanku kepada adik perempuanku, ini sudah dua hari tidak ada balasan juga.

Aku menghela nafas, kepada siapa aku bisa berkeluh kesah? Kedua saudara kandungku saja tidak membalas pesanku. Mungkin mereka sibuk dengan pekerjaannya. Atau mungkin, mereka takut aku mintai tolong? Aku gelengkan kepala menghilangkan rasa curigaku.

Walaupun mereka membalas pesanku, untuk meminta tolong kepada mereka sepertinya tidak mungkin. Mereka tinggal di rumah Simbok. Mas Wawan dan istri beserta kedua anaknya, begitu juga Dik Wiwin yang sudah menjadi janda bersama satu anaknya. Apalagi Simbok sudah renta, aku tidak mungkin tega menambah masalahku di sana. 

Hanya satu jalan, aku harus berdiri dikakiku sendiri. Kepada Allah, aku bisa bersandar.

Aku menggelar sajadah, salat malam untuk memasrahkan diri kepadanya. Ini yang aku lakukan. Dengan menengadahkan tanganku, aku memohon pertolongannya. Terurai air mata ini, melepas rasa sesakku. 

Tring!

Bunyi ponselku. Aku segera mengambilnya, pasti pesan dari Mas Wawan atau Dik Wiwin. Akhirnya saudaraku ada untukku.

Aku buka ponselku, bukan nama yang kuharapkan, tetapi ini pasti jawaban doaku. 

[Ibuku di Surabaya membutuhkan teman. Ada rumah kecil di belakang rumah kami. Kalau kamu mau, itu bisa digunakan]

Alhamdulillah. 

Pesan diponselku itu dari Mbak Fatimah. 

Kemarin sepulang dari pasar, aku mampir ke tokonya. Aku sampaikan bahwa tekadku sudah bulat untuk mandiri, tetapi tidak di daerah sini. Aku ingin melindungi anak-anakku dari kesalahpahaman dengan Mbak Rini. 

Mbak Fatimah menawarkan untuk ke Surabaya, tempat asalnya. Di sana peluang kerja besar, jadi aku bisa mencoba berusaha. Untuk sementara mungkin kami tinggal di rumah ibunya, tetapi menunggu persetujuan beliau dulu. 

Alhamdulillah, jawabannya, Ya.

***

"Nisa ... Niatmu bisa dibatalkan, kan? Bagaimana Emak bisa hidup kalau kalian pergi," ucap Emak memegang lenganku. Menghentikanku yang sedari tadi berkemas.

"Emak, Nisa akan berjuang di sana. Setelah kuat, Nisa akan jemput Emak. Emak yang sabar, ya," ucapku dengan melepas tangannya dari lenganku.

"A- atau, Alif kamu tinggal saja?"

"Tidak! Anak-anak harus ikut, Mak," jawabku tegas. Aku pergi dari rumah ini karena keselamatan anakku, mana mungkin aku akan meninggalkan Alif di sini. Sedangkan Mbak Rini menganggap anakku ini sebagai saingan pewaris.

"Emak nanti bagaimana, Nisa. Emak sayang dengan kalian. Kalau Emak kangen bagaimana?" ucapnya lirih. Dia mengelus lembut rambut Alif yang tertidur. Aku lihat sekilas, buliran air mata sudah membasahi pipinya. Tidak tega aku melihatnya. Aku harus kuat dan tega, demi anak-anakku. 

"Kalau begitu, terimalah ini," ucap Emak lirih, membuka buntalan kain dari lipatan bajunya. 

"Ini tidak banyak, setidaknya bisa membuat kalian bertahan. Surat-suratnya lengkap di sana," ucapnya dengan menyerahkan buntalan itu kepadaku.

"Tapi, Mak?"

"Huuss, ini tabungan Emak sendiri. Sembunyikan di sela-sela baju. Supaya aman. Terima ya," ucapnya. Ditangkupnya tangannya ke tanganku, sambil tersenyum disela tangisnya itu. 

"Dan ini, uang untuk perjalanan," ucapnya lagi. 

"Te-terima kasih, Mak," ucapku tanpa bisa membendung lagi air mata ini.

"Ada yang Emak minta."

"Apa, Mak?" ucapku seraya menghapus air mata ini.

"Jangan kamu bawa foto-foto itu," ucapnya dengan menunjuk foto Mas Ridwan dan foto kami bertiga itu. 

"Juga, jangan bawa baju kalian semua, sisakan beberapa di sini. Sampai kapanpun, kamar ini adalah kamar kalian. Emak tidak akan ijinkan siapapun untuk memakainya," ucapnya sambil menangis lagi.

"Emak akan tidur disini ketika merindukan kalian. Emak masih merasa Ridwan di sini. Emak ...." Ucapnya tidak diteruskannya, hanya isakan tangis yang terdengar. 

"Emak!" teriakku sambil memeluknya. Kami terisak bersama untuk kesekian kalinya.

"Nisa, boleh Emak tidur di sini bersama kalian malam ini?" bisiknya lirih. 

Aku tidak mampu menjawab dengan kata-kata, hanya anggukan yang aku mampu. 

BERSAMBUNG

********

 

Bab 6

Sandiwara Kakak Ipar

-------------------------------------

"Bapak, Emak, Mbak Rini, kami pamit. Mohon maaf kalau kami ada salah. Selama ini, kami merepotkan," ucapku setelah travel pesananku memberi kabar kalau sudah diperjalanan menjemputku.

"Jangan berkata seperti itu!" teriak Emak langsung memelukku dan mencium pipi Dwi dan Alif.

"Kalian anugrah dan kebahagiaan kami," ucapnya seraya mengusap air mata di pipinya.

"Nisa, sampai kapanpun kamu menantu kami. Alif dan Dwi, selamanya cucu kami kami," tambah Bapak Mertuaku. 

"Terima kasih," ucapku mencium tangan Emah dan Bapak, kemudian berakhir dengan Mbak Rini yang memberikan tangannya sedikit.

"Mbak Rini, saya pamit," ucapku.

"Kamu membawa barangmu saja, kan. Tidak bawa sesuatu yang kau ambil tanpa ijin?" tanyanya dengan sinis.

"Rini! Jaga bicaramu! Bapak selama ini diam, karena menganggap kamu sudah dewasa! Tapi ternyata kamu tidak berubah. Tetap bodoh!" teriak Bapak dengan keras. 

Tidak pernah sekalipun aku mendengar bapak teriak seperti ini. Beliau memang tidak banyak bicara, apalagi sampai teriak keras seperti saat ini.

"Ayo! Minta maaf kepada Nisa!" teriaknya sambil menunjuk ke arah Mbak Rini. Kami semua kaget dan takut, terutama Mbak Rini. Wajahnya terlihat pucat pasi. Emak langsung berlari menghampiri Bapak dan menepuk lengannya untuk meredakan amarah yang sudah pecah ini.

"Ni-Nisa, aku minta maaf," ucapnya dengan mata merebak merah. Aku menerima uluran tangannya, mungkin dengan ini dia bisa sadar. Dia menarikku dan merangkulku. 

"Kamu senangnya Bapak membentakku? Awas kamu, ya" bisiknya lirih.

Ucapannya mengagetkanku, aku kira dia sadar ternyata tidak. Ucapanya seperti ancaman. Spontan aku melepas rangkulan dan menatap matanya yang berkaca-kaca.

"Nisa .... Maafkan aku. Aku salah. Maukah kamu mengurungkan niatmu untuk pergi?" ucapnya sambil menangis, airmatanya meluncur deras di pipinya. 

Aku terhenyak melihat apa yang di depanku. Mbak Rini dengan lihainya memainkan sandiwara. Berlawanan dengan apa yang dibisikkan, dengan yang aku lihat sekarang. Aku menghela napas mengurai keterkejutanku, dan tersenyum melihat tingkahnya. Segitu usahanya dia untuk membohongi Bapak dan Emak.

Akhirnya keputusanku benar-benar bulat, aku harus meninggalkan rumah ini. Fokusku sekarang adalah anak-anak.

"Nisa, bagaimana? Tidak usah pergi, ya. Rini sudah setuju kalian di sini," ucap Emak langsung menghampiriku. 

"Emak, terima kasih. Nanti pasti Nisa akan kasih kabar semuanya," ucapku mantap.

"Nis ...." ucap Emak dengan mata memohon.

"Maaf Emak," ucapku tersenyum. 

"Beneran, ya. Kalian jangan lupakan Emak. Alif, Dwi, jangan sampai mereka melupakan kami di sini, ya."

Aku mengangguk yakin.

Tin .... Tin ....

Mobil travel datang dan berhenti di depan rumah.

"Kami pamit," ucapku.

Aku yang menggendong Dwi mengikuti Alif yang sudah masuk ke mobil terlebih dahulu.

Bapak membantu membawakan tas pakaianku naik ke mobil. 

Dari jendela mobil, aku pandang wajah Emak yang terus dibasahi air mata dengan Bapak yang merangkulnya mencoba menenangkan. Mereka melambaikan tangan dan sekilas aku lihat senyum lega Mbak Rini.

Mobil berjalan pelan meninggalkan rumah kenanganku bersama Mas Ridwan. Suamiku, maaf aku tidak bisa memenuhi janjiku untuk menjaga Emak dan Bapak. Aku yakin, Mas Ridwan mengerti akan keputusanku ini.

Dari kaca belakang mobil, terlihat Emak berjalan cepat diikuti Bapak di belakangnya. Mobil semakin cepat, dan sosok mereka mengecil dan menghilang.

"Ibuk, jangan menangis lagi," ucap Alif sambil memeluk lenganku. Aku mengusap air mata yang membasahi di pipi. Alif, walaupun masih kecil, dia seperti tahu dengan apa yang terjadi. Dia selalu berusaha menghiburku.

"Tidak, Nak. Ibuk tidak akan menangis lagi. Kan ada Alif yang menjaga Ibuk," ucapku dengan merangkulnya dan mengecup kepalanya.

Ya Allah, tolong jaga kami.

BERSAMBUNG

*****

 

Bab 7

Menuju Kota Harapan

-------------------------------------

Mobil semakin cepat jalannya, kami langsung berangkat ke tujuan karena kami penumpang terakhir yang dijemput.

Rumah-rumah seperti berlarian ke belakang dengan kecepatan yang sebanding dengan cepatnya laju mobil. Awalnya aku menyibukkan diri membaca tulisan-tulisan di pinggir jalan, lambat laun tulisan itu mengabur terhalang titik hujan yang membasahi kaca jendela.

Buliran air menetes sedikit demi sedikit, kemudian membentuk aliran-aliran air yang semakin deras. Hujan mengguyur bumi mengantarkan kepergian kami. 

Dwi, bayi kecilku tertidur pulas di pangkuanku. Wajahnya begitu damai dan sesekali ada senyum yang tersungging di sana. Aku menoleh ke sampingku, Alif juga sudah tertidur. Begitu nyenyak, kepalanya sedikit menengadah dengan mulut yang terbuka terdengar deru halus nafasnya yang teratur. Aku usap rambutnya, dia beringsut dan menyandarkan kepalanya di lenganku.

Mas Ridwan, lihatlah kami bertiga yang merindukanmu. Sampai kapanpun di hati kami, namamu tetap bertahta. 

Aliran air semakin deras, tidak ada lagi aliran kecil, hujan seperti tertumpahkan. Begitu juga hatiku, rinduku semakin menganak. Rasa ini semakin sesak mendesak hati ini. Mas Ridwan, aku merindukanmu.

Aku sandarkan kepala, memandang jendela, berusaha melepas rasa sesak di dada. Namun rasa itu semakin mengarak seiring lagu mengalun yang diperdengarkan di mobil ini.

Aku masih ada di sini

Masih dengan perasaanku yang dahulu

Tak berubah dan tak pernah berbeda

Aku masih yakin nanti milikmu

Aku masih di tempat ini

Masih dengan setia menunggu kabarmu

Masih ingin mendengar suaramu

Cinta membuatku kuat begini

Aku merindu ... ku yakin kau tau

Tanpa batas waktu ... ku terpaku

Aku meminta walau tanpa kata

Cinta berupaya

Engkau jauh di mata tapi dekat di doa

Aku merindukanmu ...

Pandanganku memudar. Dengan sendirinya tetes air mata membasahi pipi ini. Sesekali aku mengusapnya, tetapi tidak bisa membendung derasnya air mata ini seiring derasnya hujan. Aku tak kuasa lagi.

Mas Ridwan, aku sangat merindukanmu.

***

"Bu ... Bu. Waktunya turun untuk makan."

Suara terdengar samar dan tepukan pelan di lenganku. Aku langsung terjaga, seorang ibu tersenyum kepadaku.

"Sudah sampai di perhentian. Kita bisa ke toilet dan sudah disiapkan makan. Ini kuponnya, tadi pak sopir menitipkan ke saya. Ucapnya dengan menyodorkan dua kertas kecil berstempel.

"Terima kasih, Bu," jawabku dengan tersenyum dan mengangguk. Mataku terasa lengket akibat tangisanku. Alif di sebelahku menggeliat, meregangkan tubuhnya. Tidur dengan posisi duduk pasti membuat tubuhnya terasa kaku. Dwi masih tertidur pulas.

"Ibuk, sudah sampai, ya?" tanyanya dengan berusaha melebarkan matanya. 

"Kok, masih gelap?" tanyanya kembali setelah mengintip keluar lewat jendela.

"Belum sampai, Kak. Ini kita berhenti istirahat dulu. Kakak, pipis dulu kemudian makan. Ayo turun," jelasku dan dijawab dengan anggukan.

Aku antar Alif ke toilet, setelah dia selesai, kami menuju tempat makan. Aku pilih tempat duduk yang berisi dua orang dan terletak di sudut ruangan. 

"Kak, Adek dipangku dulu, ya. Ibuk ke toilet sebentar. Tahu apa pesan Ibuk?" tanyaku dengan meletakkan Dwi yang tertidur di pangkuan Alif.

"Tidak boleh percaya dan banyak bicara dengan orang asing. Apalagi diajak pergi," jawab Alif dengan menatapku. 

"Pinter anak Ibuk!" ucapku dan langsung bergegas ke toilet. 

Aku berusaha mengajarkan Alif untuk mandiri dan menjaga diri. Apalagi, nanti di kota besar tujuan kami ini.

Setelah dari toilet, aku menukar kupon dengan dua piring rawon dan dua gelas teh hangat. Makanan ini pasti bisa menghangatkan dan menguatkan tubuh kami.

"Kakak sekarang makan, ya," ucapku seraya mengambil Dwi dari pangkuannya. Dengan lahap dia habiskan makanan di depannya.

"Ibuk, Surabaya itu yang pernah aku dan Ayah pernah ke sana, ya?" tanya Alif meneguk teh hangat. Aku yang masih makan, mengangguk untuk menjawabnya.

"Asik! Di sana rame lo, Buk. Mobilnya banyak, ada gedung tinggi-tinggi. Kata Ayah, nanti aku akan sekolah di sana," ceritanya dengan semangat.

Satu bulan sebelum peristiwa naas itu, Mas Ridwan diutus Dinas untuk mengurus keperluan kantor. Alif diajaknya juga.

"Biarlah, Dek. Alif anak laki-laki harus tahu dunia luar. Sebagai anak pertama dia bertanggung jawab menjagamu dan adeknya. Jadi dari kecil, kita harus gembleng dia," jelas Mas Ridwan saat aku keberatan dia mengajak serta Alif.

Mas Ridwan, dirimu benar. 

Saat ini, Alif anak kita sudah bersikap dewasa dibandingkan anak seusianya. Dia seakan tahu tanggung jawabnya. Aku tersenyum sambil memandang Alif, bersyukur mempunyai anak yang luar biasa ini.

Setelah beberapa saat, dari pihak travel memberitahukan kalau perjalanan akan dilanjutkan. Kami para penumpang, bergegas masuk ke mobil.

"Ibuk, Alif bobok, ya. Masih ngantuk," ucapnya setelah menguap. 

"Tidurlah. Sini, bersandar di Ibuk." Gelengan kepala jawabannya.

"Ibuk nanti capek. Alif tidurnya gini aja," jawabnya. Tubuh kecilnya bersandar di jendela dan matanya mulai terpejam menyambut mimpi.

Anakku, Ayah pasti bangga kepadamu.

***

Sebersit sinar matahari menyilaukan mataku. Gerakan Dwi dipangkuanku membuatku terjaga. Aku ngerjapkan mata dan berlahan kubuka mata ini. 

Gedung-gedung besar menjadi pemandangan. Kendaraan bermotor dengan berbagai jenis terlihat lalu lalang. Sesekali aku melihat sepeda motor saling berebut untuk mendahului. Semuanya bergerak aktif, seperti tidak mau ketinggalan akan waktu. 

Inilah kota tujuan kami menggantungkan harap. Memperjuangkan hidup untuk mengantar anak-anak ke masa depan yang lebih cerah.

Alif yang sudah bangun terlihat menikmati pemandangan ini, dia menoleh setelah menyadari aku sudah terbangun. Dwi pun mengerjapkan mata sambil menggoyang-goyangkan kaki dan tangannya. 

"Adek! Ci luuuk, ba!" 

Candaan Alif disambut tawa terkekeh Dwi. Aku dudukkan Dwi di antara kami, mereka meneruskan bercanda dengan riang. Tubuhku aku regangkan, mengurai penat dan pegal ini.

Aku melihat sekeliling, hanya tinggal beberapa penumpang saja. Berarti tujuanku akan segera sampai. Kemarin, aku sudah titipkan alamat ke sopir dan dia mengerti. Mbak Fatimah juga sudah menjelaskan lokasinya di mana. Dia juga memberikan foto Umi Inayah dan foto rumah dari depan.

Foto di ponsel ini aku pindai ke ingatanku. Umi Inayah, wajah orang Jawa terlihat ayu walaupun sudah di usia senja. Sorot matanya terlihat teduh, menenangkan walau hanya memandangnya saja.

"Umi ini orang Jogja. Kalau Abah, ada keturunan Arab makanya hasilnya seperti aku ini," terang Mbak Fatimah saat melihatku terheran saat menerima foto Ibunya kala itu.

"Ibu sendirian hanya temani Mbok Iyah. Tetapi ada Bowo sepupuku yang sesekali melihat keadaan Ibu," terangnya lagi.

"Benar, kami tidak akan merepotkan? Saya sebenarnya ingin mencari kost saja, Mbak. Kawatir anak-anak di sana merepotkankan," ucapku dengan mengelus kepala Alif.

"Semua terserah kamu. Awalnya, kamu tinggal di sana dulu. Tidak aman di kota besar, perempuan sendirian membawa dua anak," ucapnya dengan tersenyum. 

"Ibu Nisa! Bersiap! Sudah akan sampai!" teriak Pak Sopir menyadarkan ingatanku. Aku langsung merapikan rambut dan bajuku, begitu juga Alif. Dwi langsung aku gendong.

Mobil travel berhenti tepat di rumah berwarna putih dan lempengan batu tipis berwarna hitam di bagian bawahnya. Pagar besi bersilang, setinggi satu setengah meter, sama persis dengan foto di ponselku ini. Nomor dua puluh enam terlihat jelas di tembok depan.

Benar.

Ini rumah Umi Inayah.

"Ayo, Kak. Kita turun. Sudah sampai," ucapku bergegas turun dari mobil. Pak Sopir membantu Alif untuk turun dan mengeluarkan tas besarku dari bagasi belakang. 

Kami berdiri di depan pagar. Aku menggendong Dwi dan menjinjing tas pakaian dengan Alif memegang ujung bajuku.

Bismillah ...

Aku mencari bel di balik tembok tiang pagar. 

Tidak aku temukan. Aku longokkan kepalaku ke dalam, sepi. Tidak ada seorangpun terlihat di luar. 

"Cari siapa, Mbak?"

Suara berat dari belakang membuatku terkejut. Aku langsung membalikkan badan, ada sosok menjulang di depanku. Dia menggunakan jaket kulit hitam, terlihat seram seperti di cerita di sinetron. Di kepalanya masih mengenakan helm dengan kaca sudah dibuka. 

"E ... e. Saya mencari rumah Ibu Inayah. Betul ini rumahnya?"

"Mencari Umi?" tanyanya kembali sambil mengernyitkan dahi dan memandang kami bergantian. 

"Sa-saya mendapat alamat ini dari Mbak Fatimah. Beliau sudah ...."

"Nisa, ya?!"

Ucapanku terpotong dengan teriakan dari dalam rumah. Bersamaan kami menoleh ke arah suara itu. Seorang wanita tua berdiri di depan pintu yang terbuka. Persis dengan foto di ponselku. Beliau, Umi Inayah.

Alhamdulillah ....

BERSAMBUNG

*****

 

Bab 8

Masakanmu Enak

-------------------------------------

"Nisa, ya?!"

Ucapanku terpotong dengan teriakan dari dalam rumah. Bersamaan kami menoleh ke arah suara itu. Seorang wanita tua berdiri di depan pintu yang terbuka. Persis dengan foto di ponselku. Beliau, Umi Inayah.

Alhamdulillah ....

***

"Wik! Bantu cepat, bawakan tasnya ke dalam. Pasti berat, ya?" teriak Umi Inayah menghampiriku.

Laki-laki di sebelahku ini terdiam sesaat, memandang aku dan Umi bergantian,  kemudian mengambil tas pakaian yang berada di sampingku. Dia tersenyum sekilas dan tanpa berkata-kata, masuk membawakan tas besar itu.

Aku langsung menghampiri Umi dan mencium tangannya diikuti Alif. 

"Saya Nisa, Umi Inayah."

"Panggil saya Umi saja," ucapnya sambil tersenyum hangat.

"Ini, pasti Dwi! Dan, ini Alif, ya!" 

Umi mengelus Dwi  kemudian mengirimku orang-orang baik yang menolongku. Mereka bukan saudara tetapi rela untuk menolongku, ini karena kehendak-Nya.

"Ini Mbok Sarimem panggil saja Mbok Sari. Sebelumnya ada Mbok Iyah juga, tetapi sekarang ikut anaknya. Nah dia ini saja yang menemani di rumah segede ini. Kalau ada kalian, Umi tidak akan kesepian lagi," terangnya sambil mengajakku ke kamar yang akan kami tempati

"Ini kamar kalian. Lumayan cukup untuk kalian, kan?" 

"Ini sungguh terlalu bagus untuk kami, Umi," ucapku sambil mengedarkan mata ke sekeliling. Ada tempat tidur besar, cukup luas untuk kami bertiga. Almari besar dan meja kecil, jendela tinggi terbuka dengan taman di depannya. Rumah Umi Ina, ruman kuno yang memiliki pintu dan jendela yang tinggi.

"Tetapi Umi, saya sudah mengatakan kepada Mbak Fatimah. Saya di sini sementara dan akan mencari kost. Maaf sudah merepotkan," ucapku dengan menunduk hormat.

"Sini duduk," ucapnya menarikku ke tempat tidur. Kami duduk berdampingan, Umi menghadap ke arahku.

"Sudah, tidak usah dipikir dulu. Kamu di sini bukan beban buat, Umi. Fatimah sudah menceritakan semuanya tentang kamu. Sabar, ya. Anggap, Umi ini ibumu. Sekarang bersih-bersih badan, setelah itu kita bisa berbincang," ucapnya dengan menepuk bahuku dengan tersenyum menenangkan kemudian  keluar dari ruangan.

*

Alif dan Dwi sudah mandi dan berganti pakaian, begitu juga aku. Setelah menyusui sebentar, aku ke luar kamar. Umi yang duduk di ruang tengah langsung menyambutku. 

"Alif, sini nonton TV. Nisa, biarkan Dwi dengan Umi. Kamu bisa menata pakaian kalian," ucapnya seraya mengambil Dwi dari tanganku.

"Baik, Umi. Terima kasih." 

Aku segera menyelesaikan merapikan kamar, memasukkan barang kami yang sedikit ke dalam almari baju.

"Masak apa, Bik?" tanyaku melihat Bik Sari memotong-motong wortel.

"Ini, Mbak Nisa. Umi menyuruh saya masak Asem-Asem Daging, tetepi saya tidak yakin yang saya buay enak. Biasanya yang masak Bik Iyah, saya cuma bantu potong-potong," ucapnya sambil mengambil sepotong daging dari kulkas. 

"Boleh saya bantu, Bik?" tanyaku. Aku mendekat, sayur wortel, buncis dan kentang sudah dipotong dadu. Sudah disiapkan bumbu-bumbunya, seperti bawang merah, bawah putih, dan lainnya, spesialnya ada belimbing wuluh. Sudah lengkap!

"Sini saya bantu potong dagingnya. Biarkan saya masak, mungkin Bik Sari masih ada perkerjaan," ucapku sambil meminta daging yang di bawanya.

"Beneran Mbak Nisa? Kalau begitu, saya tinggal jemur pakaian, ya!" ucapnya girang. Aku tersenyum dan mengangguk.

Pekerjaan memasak memang kesukaanku. Dulu di kampung dan terakhir di rumah mertua, tugasku memasak. Entah, siapa sekarang yang memasak di sana, setahuku Mbak Rini tidak telaten kalau melakukan pekerjaan ini.

Aku potong dadu senada dengan potongan sayur. Selain rasa, aku juga memperhatikan bentuk makanan, harus semenarik mungkin jngan sampai terkesan berantakan. Makanan pertama yang menarik mata, setelah itu baru dengan rasa.

Seharusnya, Bik Sari memotong daging dulu langsung di rebus, setelah itu baru memotong sayur sambil menunggu daging empuk.

Memasak juga memerlukan pengaturan waktu, kalau terbalik bisa acara masak memakan waktu lama. 

Tumis bumbu ditambah lengkuas, daun salam  dan potongan cabe besar hijau dan merah, kemudian ditambah rebusan daging beserta kaldunya. Setelah mendidih dimasukkan sayuran potong tadi. 

Siap, rasa asam dari belimbing wuluh terasa segar. Setelah di angkat, baru potongan tomat di masukkan, jadi tomat masih terasa segar.

"Lo, kamu yang masak, Nisa? Bibik mana?" tanya Umi mengagetkanku. Umi menggendong Dwi yang sudah tertidur pulas. 

"Iya Umi. Bik Sari jemur pakaian. Ini sudah selesai, kok," ucapku sambil mencuci tangan dan melepas celemek. Aku mengambil bayiku itu untuk ditidurkan ke kamar. 

"Hhhmm, enak! Kamu ternyata pinter masak, ya. Fatimah juga sempat cerita ke Umi. Kamu juga pintar buat jajanan," ucap Umi. Dia menyendok masakanku ke mangkok kecil dan menikmatinya. 

"Iya Umi, saya permisi menidurkan Dwi dulu," ucapku membungkuk dan melangkah ke kamar.

Dwi menggeliatkan tubuhnya, tangannya menggapai biasanya dia minta ditemani sebentar. Aku baringkan tubuhku disampingnya dan mengusap-usap punggungnya sampai dia tertidur pulas.

Biasanya, Mas Ridwan akan menggodaku dengan ikut berbaring di belakangku. Dia mencium kepalaku, bahkan tak jarang membuatku geli karena ulahnya. Kalau sudah seperti itu, kami akan berakhir dengan saling membalas walaupun tanpa suara.

Tak jarang, Mas Ridwan membisikkan kata sayang dan terima kasih sudah mengurus anak-anak. Baginya, anak adalah anugrah, karena itulah dia bertekad memberikan kehidupan yang lebih baik, dengan apapun caranya termasuk pergi ke laut untuk menambah penghasilan.

"Terima kasih, Dek Nisa"

Deg!

Suara itu, suara Mas Ridwan. 

Terasa jelas di telingaku. Aku langsung beranjak duduk dan mengedarkan ke sekeliling. Hanya ada aku sendiri bersama Dwi. Tidak ada sosok Mas Ridwan. 

Rinduku akan dia membuatku berhalusinasi.

Aku helakan nafas dengan mata terpejam.

Mas Ridwan, aku yakin kamu masih hidup walaupun entah di belahan dunia mana.

Aku merindukanmu.

***

"Wah, enak masakanmu, Nisa. Benar kata Fatimah, kamu pintar memasak. Sekarang terbukti!" teriak Umi setelah selesai makan.

Aku tersenyum dan mengangguk ke arah Umi. Alif juga makan dengan lahap, dia sampai minta tambah lagi. 

"Kalau kamu tidak keberatan, tolong setiap hari masak buat Umi, ya. Tetapi, maaf ya. Umi bukan berarti menganggapmu sebagai ...."

"Iya Umi. Saya siap! Bukankah kalau saya dianggap keluarga berarti juga mempunyai tanggung jawab di sini," ucapku memotong perkataan Umi. Aku tahu Umi kawatir membuatku tersinggung.

"Baiklah. Fatimah juga cerita, kamu akan membuka usaha makanan. Kamu bisa pakai dapur sesukamu. Silahkan! Umi senang, kalau rumah ini terasa  hidup," jelasnya.

"Terima kasih. Terima kasih, Umi!" ucapku sambil meraih tangan dan menciumnya.

Alhamdulillah, aku merasa lega sudah di terima seperti keluarga di sini. Alhamdulillah, Allah sudah memberi jalan untukku.

Alhamdulillah.

***

"Nisa, asem-asemnya masih banyak. Tolong bungkus di rantang. Akan ada ojek online yang akan ambil. Alamatnya di kartu nama yang nempel di pintu kulkas!" ucap Umi. Dia sudah menggunakan mukenah bersiap untuk salat Duhur.

Aku mencari kartu nama itu. Ada beberapa, mana yang dimaksud?

"Mbak Nisa di suruh Umi bungkus makanan?" tanya Bik Sari dari belakang. Dia membawa belanjaan dari minimarket.

"Iya Bik. Alamatnya di kartu nama yang mana, ya?" tanyaku sambil menunjuk beberapa kartu nama di sana.

"Maksud Umi pasti kirim ke Mas Bowo, Mbak. Ini kartu namanya. Dia keponakannya Umi," ucapnya sambil menunjuk kartu nama yang dimaksud. Bik Sari juga memberikan rantang untuk tempat makanannya.

Wibowo Santoso, nama yang tertera di sana. Ada alamat kantor dan nomor ponsel. Kalau dia sudah bekerja, berarti orangnya sudah dewasa. 

"Pakai nasi, Bik?" tanyaku memastikan.

"Iya, Mbak. Lengkap!"

Aku bungkus Asam-Asam Daging menggunakan kantong plastik. Makanan aku tata dengan nasi di cetak dengan atasnya diberi bawang goreng sedikit, dan launya di sampingnya. Sendok garpu, aku bungkus menggunakan tissue dan di masukkan di tas kain yang Bik Sari berikan.

"Mbak Nisa, sudah selesai bungkusnya?" ucap Bik Sari tergopoh-gopoh. 

"Pak Ojeknya sudah di depan!" teriaknya.

"Ini, Bik. Sudah selesai, lengkap termasuk sendok dan garpu," ucapku sambil menyerahkan buntalan ini. Bik Sari langsung ke depan.

*

"Nisa, sudah di ambil bekalnya?" tanya Umi. Wajahnya bergitu bersinar, memang aura setalah salat itu berbeda. Terasa menenangkan.

"Sudah Umi. Sudah saya sertakan nasi termasuk peralatan makannya," jelasku. 

"Selain pinter masak, ternyata kamu juga teliti, ya?" sanjung Umi.

"Kebiasaan, Umi. Dulu, Mas Ridwan kalau pergi dinas juga sering membawa bekal," terangku sambil melanjutkan mencuci peralatan masak.

"Mas Ridwan?" tanya Umi.

Deg!

Tanganku langsung berhenti.

Tak tersadar, aku menyebut namanya kembali. Mulutku seakan menghianati hati yang ingin segera menerima kehilangan ini. 

"Dia suami saya," jawabku sambil menunduk menyembunyikan mata yang mulai merebak.

BERSAMBUNG

********

-------------

Extra Resep


 

Asem-Asem Daging

Bahan-bahan:


 

500 gram daging (potong dadu)

2 ruas lengkuas (geprek)

1 ruas jahe (geprek)

6 buah belimbing wuluh (potong masing-masing menjadi 3 bagian)

3 buah tomat merah kecil (potong masing masing menjadi 4 bagian)

2 lembar daun salam

2 lembar daun jeruk

8 siung bawang merah (iris tipis)

4 siung bawang putih (iris tipis)

3 buah cabai besar (potong satu cm dan buang isinya)

Wortel, buncis dan kentang (potong dadu) sesuai selera)


 

Garam, gula, dan penyedap rasa (secukupnya)

Air (secukupnya)

Minyak untuk menumis (secukupnya)


 

Cara membuat:


 

Rebus daging terlebih dahulu dengan air dan garam kurang lebih selama 1 jam.

Kemudian, tumis bawang merah, bawang putih, daun salam, lengkuas, jahe, daun jeruk, dan irisan cabai besar hingga harum.

Selanjutnya, masukkan daging dan sedikit air dari rebusan daging pertama tadi (sebagai kaldu).

Masukkan sedikit air lagi, kemudian tambahkan sayuran. 

Masukkan irisan tomat dan belimbing wuluh. Setelah itu, tambahkan juga gula, garam, dan penyedap rasa secukupnya.


 

Pastikan semua sudah empuk.


 

Sajikan setelah matang.

“Semua bisa memasak”

 

Bab 9

Embak Membuatku Kenyang

-------------------------------------

Sudah dua minggu kami di sini. 

Umi Inayah sangat menyayangi kami. Alif dan Dwi dianggapnya cucunya sendiri, bahkan sering kali Dwi di curinya dari pelukankan untuk menemani tidurnya. 

Melihat itu, aku jadi teringat Emak Sayuti, Ibu Mertuaku. 

Bagaimana kabarnya?

Kata Mbak Fatimah, Emak baik-baik saja, walaupun terlihat agak kurusan. Emak sering mampir ke warungnya untuk membeli keperluan rumah tangga. Sering kali dia mencurahkan isi hatinya yang kesepian di rumah.

Tugasku di sini bertanggung jawab di dapur. Umi Ina menitipkan uang belanja setiap minggunya. Semua belanjakan aku catat rapi di buku termasuk perincian belanja dan sisa uang yang ada. Walaupun ini, Umi tidak menginginkan, aku tetap mencatatnya demi ketenangan hatiku. Aku tidak mau, hubungan baik nantinya ternoda dengan masalah uang.

Menu juga aku yang mengatur, kecuali Umi menginginkan menu lainnya. Hanya pesan Umi, setiap hari harus tersedia sayuran dan buah.

Kami di sini ditanggung semuanya oleh Umi. Pernah aku dimarahi, gara-gara belanja bahan makanan terpisah. Sebenarnya aku tidak nyaman, bagaimanapun biaya hidup kami adalah tanggung jawabku. Aku tidak mau menjadi bebannya.

"Saya mengerti maksud kamu, Nisa. Kalau kamu ingin mencoba berusaha, kamu bisa memulai sedikit demi sedikit. Dapur kotor di belakang bisa kamu gunakan. Ada peralaran bisa kamu cek fungsinya. Kamu ingin usaha apa?" tanya Umi. 

"Saya belum tahu produknya apa, Umi. Yang pasti, keahlian saya hanya memasak. Inginnya jualan makanan, tetapi makanan apa? Saya belum tahu kebutuhan di sini," jelasku.

"Ya silahkan saja. Kamu usaha apapun silahkan. Tetapi, tetap kalian tinggal di sini menemani Umi. Anak-anak sudah Umi anggap cucu sendiri. Kamu boleh keluar dari rumah ini kalau kamu akan menikah lagi," tandas Umi dengan menatapku tajam. Aku tersenyum mendengar perkataan yang terakhir.

"Umi, saya tidak ada kepikiran sampai sana. Bagi saya, Mas Ridwan masih hidup. Dia hanya belum pulang saja," ucapku sambil tersenyum.

***

Hari ini, aku membuat Sayur Bayam dan Nugget Ayam. Kemarin Umi bilang, ingin makan ayam tetapi yang gampang mengunyahnya. 

Aku membuat agak banyak dengan beberapa variasi, original yang berisi daging ayam saja, nugget ayam wortel dan nugget ayam brokoli. Sebagian aku akan simpan di frezzer, jadi sewaktu-waktu bisa langsung di goreng.

"Mbak Nisa apa-apa bisa, ya. Hasilnya seperti di supermarket!" celetuk Bik Sari. 

"Aku foto boleh, tak pamerin temen-temenku," tambahnya. 

"Sekalian tawarin saja, siapa tahu laku. Nanti aku hitung harganya," ucapku dengan yakin.

Bik Sari menunjukkan kedua jempolnya. 

Dia memang mempunyai Whatsapp Grup untuk asisten rumah tangga di komplek ini. Memang isinya sering kali tentang curhatan mereka, tetapi siapa tahu tawaran pertamaku laku. 

"Nisa, kamu beli di mana ini? Enak. Bumbunya terasa, ayamnya segar. Ini ada wortelnya?" tanya Umi saat mencicipi nugget buatanku.

"Buat sendiri, Umi. Itu ada tiga rasa, original, wortel dan brokoli," terangku sambil mengambil tiga nugget dengan berbeda rasa dan aku sodorkan piring kecil ke Umi.

"Wak, enak ini. Kamu kreatif! Ini bagus untuk anak-anak. Apalagi yang susah makan sayur," ucap Umi sambil melanjutkan makan. 

"Ini bagus buat Bowo, dia juga tidak mau wortel," gumannya pelan.

"Mbak ... Mbak Nisa! Penting!" teriak Mbak Sari dari belakang. 

Setengah berlari dia menghampiri kami. Wajahnya terlihat sumringah sambil perlahan dia diam mengatur nafasnya. Aku dan Umi memperhatikan dengan apa yang akan dikatakannya. 

"Ini, temen-temenku, bosnya order nugget. Ini!" ucapnya sambil menunjukkan layar ponselnya.

"Alhamdulillah," ucapku dengan tersenyum lebar.

"Umi, tadi kami iseng menawarkan di grup," jelasku dengan senyum masih tercetak di wajahku. "Maaf Umi, saya belum minta ijin," ucapku lagi.

"Alhamdulillah! Ini namanya, Allah memberi jalan kepadamu. Bukankah kamu sudah mempunyai niat untuk menjual makanan? Inilah jawabannya. Umi doakan, kamu cepat sukses," kata Umi dengan menepuk bahuku. Aku mengangguk senang karena Umi mendukungku.

"Tetapi, sisakan Umi yang ada wortel dan brokolinya, ya. Bowo akan ke sini nanti malam," ucapnya lagi. Aku menatapnya sambil mengernyitkan dahi.

"Dia yang menolong membawa tas kamu itu, lo. Dan, yang pernah dikirim asem-asem dulu. Ingat?" jelas Umi.

"O, Pak Wibowo Santoso," ucapku memastikan. Aku ingat sosok seramnya, laki-laki yang menjulang dengan jaket kulit berwarna hitam.

"Iya. Dia keponakan Umi. Memang tinggalnya di apartemen, tetapi sering ke sini menjenguk Umi. Cuma tumben lama tidak ke sini, katanya sibuk dengan pekerjaannya," terangnya lagi. 

***

Hari ini aku sibuk sekali menyiapkan pesanan.  Aku harus memberikan yang terbaik, jangan sampai pelanggan pertamaku kecewa.

Ada lima pack, original tiga, wortel dan brokoli masing-masing satu. Nanti Bik Sari yang akan mengirimnya. 

"Bik, nanti ada sedikit buat Bibik," ucapku setelah terima kasih sudah membantuku.

"Sudahlah Mbak Nisa. Bibik sekedar membantu. Tetapi, kalau ada juga boleh. Bisa buat beli lipstik," ucapnya girang.

***

Setelah makan malam, aku menemani Alif dan Dwi di kamar. Setelah makan, Dwi biasanya mengantuk. Dia masih berceloteh walaupun matanya sudah terlihat tebal.

Sedangkan Alif masih di meja belajar mengerjakan pekerjaan rumah. Dia sudah mulai sekolah satu minggu ini. Setelah mencari sekolah yang tepat, akhirnya pilihanku jatuh ke sekolah yang tidak jauh dari rumah ini. Membutuhkan waktu lima belas menit dari sini.

Dia termasuk anak yang pintar. Awalnya dia mengeluh, karena pelajaran di kota dan di desa ternyata berbeda. Dia harus mengejar ketertinggalannya. Beruntung, guru di sana memberikan pelajaran extra untuk itu.

"Mbak Nisa ... Mbak." Suara Bik Sari dari balik pintu. Aku bergegas bangun, meletakkan kaki Dwi pelan yang menimpa perutku. Dia sudah tertidur pulas.

"Ada apa, Bik? Ada pesanan lagi?" tanyaku setelah membuka pintu.

"Ada, tapi dari Umi. Kata Umi, nuggetnya digoreng, campur. Sama, Mas Bowo minta dibuatkan mie instan rebus pakai telor," ucap Bik Sari.

"O, keponakan Umi sudah sampai?" 

"Sudah, itu di tunggu di teras. Umi sekarang ke mushola sebentar," tambahnya.

"Baiklah," ucapku langsung ke dapur.

Dua kompor langsung aku nyalakan. Satu untuk menggoreng nugget, satu untuk membuat mie. 

Air aku didihkan, sawi putih dua helai kecil aku rebus sebentar, ambil disiapkan di mangkok. 

Mie instan dimasukkan,  tambah telor ayam dengan putih telur diacak sedikit dan kuning telur dibiarkan utuh. Setelah itu, taruh di mangkok dengan potongan bawang pre beserta cabe di iris tipis. 

Semua aku tata di nampan, mangkok berisi mie rebus, mangkok kecil nasi putih dan satu piring sedang nugget ditambah satu gelas air putih.

"Bik, Bik Sari! Mienya sudah jadi!" 

Tidak ada jawaban, aku ke belakang. Kamar mandi tertutup ada ada bunyi air. Berarti dia di dalam kamar mandi. Terpaksa aku yang mengantarnya ke luar. 

Aku ke teras depan. Di sana keponakan Umi duduk sambil asik memegang ponsel. Jaman sekarang, dunia seperti berada di genggaman.  Tinggal klik, sudah melihat apa saja yang kita mau.

"Malam, Pak! Ini mienya," ucapku sambil menyodorkan nampan di meja di hadapannya. Dia terdiam, menatap nampan di depannya dan kemudian beralih ke arahku. 

"Terima kasih, Mbak," ucapnya dengan tersenyum. Sosok menyeramkan yang ada diingatanku sekejap lenyah. Dia terlihat ramah, dengan kaos panjang berwarna biru cerah dan celana jeans biru. Aku tersenyum membalasnya dan permisi kembali ke dalam.

***

Keponakan Umi terlihat sudah berusia matang. Perkiraanku tidak jauh umurnya denganku. 

Aku ke dapur merapikan bekas memasakku tadi. Sekalian memindahkan piring-piring yang aku cuci tadi sore untuk di simpan di lemari. Aku penyuka kebersihan dan kerapian. Kompor tidak aku biarkan berminyak, apalagi kotor. Prinsipku dapur harus bersih, karena di sinilah, masakan berasal.

"Mbak!" 

Suara berat itu mengagetkanku, aku langsung membalikkan badan. Aku tidak biasa mendengar suara laki-laki di rumah ini.

Keponakan Umi.

Ditangannya, nampan dengan mangkok dan kosong. Aku langsung menghampirinya dan mengambil nampan itu.

"Bisa saya di buatkan kopi dengan gula sedikit? Buat teman camilan nuget," pintanya.

Aku tersenyum sedikit dan mengangguk dan bersiap menyiapkan yang di minta.

"Mbak!" panggilnya lagi. Aku menoleh ke arahnya, apalagi yang dia minta. Lama-lama ngeselin juga.

"Terima kasih. Embak membuatku kenyang."

Spontan aku mengernyitkan dahi mendengar yang diucapkan barusan.

"Maaf, maksud saya. Mie buatan Embak!" 

Dia kemudian berlalu dengan wajah tersenyum aneh.

BERSAMBUNG

********

-------------

Extra Resep

NUGGET AYAM

Bahan :

300 g daging dada ayam

2 sdm tepung terigu

1 butir telur ayam

2 siung bawang putih, parut

2 sdm bawang merah goreng, tumbuk halus

50 g wortel, serut halus, peras hingga kering, bisa diganti brokoli atau di skip, tergantung kesukaan.

1 sdm kaldu ayam/jamur bubuk

1/2 sdt merica bubuk

1 sdt garam

Lapisan:

2 putih telur ayam

2 sdm tepung terigu

200 g tepung panir putih/kuning

minyak goreng

Cara Membuat :

Cincang halus daging ayam dengan pisau tajam atau food processor.

Campur daging ayam cincang dengan tepung terigu, telur, wortel, bawang putih, bawnag merah halus, merica, kaldu ayam dan garam.

Aduk-aduk dengan tangan hingga benar-benar menyatu.

Siapkan wadah tahan panas, olesi minyak sayur. Ratakan adonan ayam dalam wadah hingga rata.

Kukus dalam kukusan panas selama 30 menit hingga matang.

Angkat dan dinginkan.

Potong-potong adonan ukuran 2x3x1 cm atau ukuran lain sesuai selera.

Lapisi potongan adonan tipis-tipis dengan tepung terigu.

Celupkan dalam putih telur kocok lalu lapisi dengan tepung panir hingga rata. Diamkan beberapa saat hingga agak kering.

Goreng dalam minyak panas dan banyak hingga kuning keemasan.

Angkat dan tiriskan.

Tips:

• Untuk daging ayam selain bagian dada bisa dipakai daging paha atas ayam. Hanya saja daging paha lebih berlemak.

• Jika punya foodprocessor, masukkan semua bahan dalam wadah foodprocessor dan proses hingga halus.

• Untuk tepung roti bisa dipakai tepung roti halus, tepung panir kasar yang putih atau yang kuning.

• Jika ingin disimpan sebagai stok, setelah dilapisi tepung panir, susun dalam wadah bertutup dan simpan dalam freezer.

• Saat menggoreng pastikan menggunakan minyak panas dan banyak hingga nugget terendam minyak. Tak perlu dibalik-balik hingga kuning keemasan

"Semua bisa memasak"

 

***********

Bab 10

Kini Giliranku

-------------------------------------

"Mbak Nisa! Tadi malam di cariin Mas Bowo. Katanya terima kasih kopinya enak, camilannya juga enak," kata Bik Sari. 

Aku baru pulang kembali dari mengantar Alif sekolah dan langsung belanja ke pasar. Bik Sari yang selesai menyapu halaman mengikutiku dari belakang.

"Tadi malam, maunya saya ketok kamar Mbak Nisa, tetapi kok lampunya mati. Aku bilang saja Mbak Nisa sudah tidur," jelas Bik Sari.

"Pak Bowo masih ada di sini, Bik?" tanyaku sambil mengeluarkan belanjaan dari pasar. Sayur, buah dan ikan segar.  Empon-empon juga habis, aku membeli untuk stok.

"Mbak Nisa ingin nemui Mas Bowo?"

Aku menghentikan kegiatanku dan menoleh ke arahnya.

"Endak, lah. Untuk apa?" tanyaku balik.

Bik Sari hanya mengangkat kedua bahunya sambil tersenyum.

"Ya, mungkin mau ngobrol," celetuknya. Aku jawab dengan senyuman saja.

Tadi malam, setelah membuat kopi, aku langsung mengantar ke teras depan. Aku lihat dia memakan nugget sebagai camilannya. 

"Terima kasih, ya!" ucapnya dengan tersenyum dan mengangguk ke arahku. Kopi aku letakkan di depannya dan langsung permisi ke belakang. 

Setelah Mas Ridwan tiada, dengan sendirinya aku merasa jengah apabila bersama laki-laki berdua saja. Seperti malam itu, Bik Sari belum keluar kamar mandi dan Umi belum pulang dari mushola. Karenanya aku bergegas masuk ke kamar dan mengajak Alif untuk segera tidur, walaupun aku mendengar Bik Sari mencariku.

"Mbak Nisa! Ikannya ini akan di masak sekarang? Aki cuci, ya?" tanya Bik Sari menyadarkaku. Dia menunjukkan potongan ikan kakap yang baru aku beli. 

"Iya, Bik. Tolong dicuci. Saya buat bumbunya," jawabku. Aku menghaluskan bumbu dan menyiapkan perlengkapan yang lain termasuk belimbing wuluh.

"Bumbunya banyak banget, Mbak? Mau dimasak apa?" tanyanya sambil menyerahkan ikan yang sudah bersih.

"Saya masak kuah, Mbak. Biar tidak bosan, Umi sukanya Asem-Asem Daging, kan. Kalau daging terus, kurang bagus untuk seusia Umi. Makanya diselingi Pindang Ikan Kakap. Semoga Umi suka, ya," jelasku sambil menjerang panci berisi air di atas kompor. 

Setelah air mendidih, aku masukkan semua bumbu dan ikan. Tunggu sebentar sampai matang. Terakhir taburi daun kemangi. 

Hhmmm ... baunya sedap sekali. 

"Masak apa, Mbak? Baunya enak!" 

Suara berat itu mengagetkanku. Aku menoleh ke belakang. Pak Bowo sambil mengeringkan rambut basah dengan handuk,  berdiri tidak jauh dariku. Aroma segarnya menguar di indra penciumanku. Sejenak aku menatapnya dan kemudian berbalik mengalihkan pandangan darinya. Ternyata dia masih di sini, berarti tadi malam tidur di rumah ini.

"Kaget ya, Mbak?" tanyanya lagi.

"Ya kaget lah, Pak. Datang tiba-tiba langsung bersuara lagi. Seperti geledek," gerutuku. 

"Mbak Nisa. Jangan panggil Pak, dong. Aku merasa tua!" celetuknya

"Panggilnya apa? Mas Bowo, gitu?" 

"Iya, Mas Bowo. Kedengaran enak di kuping."

Dia malah masuk ke dapur, menengok apa yang aku kerjakan. 

"Ikan?" tanyanya.

"Iya, sup ikan. Namanya Pindang Ikan Kakap," jelasku.

"Iiih, tidak amis? Enak?" tanyanya meragukan hasil masakanku. Wajahnya nyengir aneh.

Orang ini ngeselin juga, tadi bilang baunya enak eh, sekarang tanpa mencicipi langsung bilang amis. Tambah kesal, ekspresinya wajah seperti jijik gitu. 

Aku ambil mangkok kecil dan mengambil sup sedikit dan meletakkan di hadapannya.

"Dicoba dulu saja sedikit, baru komentar!" ucapku kemudian aku tinggal sibuk membersihkan peralatan masak yang baru aku gunakan. Terserah dia nyicipi atau tidak! 

.

.

.

"Wik! Kamu di sini?"

Suara Umi mengagetkan kami. Aku langsung menoleh ke arah pintu. Umi berdiri sambil menggendong Dwi. Aku lirik ke arah Mas Bowo, dia melihat ke Umi sebentar kemudian melanjutkan makan sup yang aku kasih tadi.

"Kamu ngapain di dapur?" tanya Umi lagi.

"Ini ngicipi Mbak Nisa!" jawabnya sambil masih menikmati sup di tangannya.

Huuuffttt!

Orang ini salah ngomong terus! 

Kurang minum air putih, ya!

***

Kemudian kami makan bersama. Sambil memangku Dwi, aku menyuapinya dengan nasi tim yang aku campur dengan daging ikan ini. Umi memuji masakanku, dia bilang supnya menyegarkan. 

"Tumben kamu mau makan ikan, Wik?" tanya Umi. 

Dia memang sering memanggil Wik daripada Bowo. Katanya dulu ketika kecil dia tidak bisa menyebut nama lengkap, Wibowo, jadinya panggilan kecilnya Wik. 

"Enak!" katanya sambil menambahkan nasi untuk kedua kalinya. 

"Makanya, cepet cari istri. Biar ada yang masakin!" celetuk Umi. 

Uhuk ...!

Mas Bowo terbatuk mendengar ucapan Umi. Dia langsung meneguk air putih di sebelahnya.

"Mesti begitu kalau ditanya Umi. Mamamu itu lo, ngejar-ngejar Umi untuk nyarikan istri kamu. Sampe bingung jawabnya!" 

"Ya, cuekin aja, Mi."

"Pacarmu yang bulan kemarin itu aja. Cepet dilamar."

"Sudah putus. Ah, Umi bikin nafsu makanku hilang," jawab Mas Bowo

"Nafsu makan ilang opo! Sudah dua piring gitu!" sanggah Umi disambut tertawa Mas Bowo.

Aku tersenyum melihat mereka. Walaupun hanya keponakan, tetapi mereka seperti ibu dan anak.

"Mbak Nisa, camilan yang tadi malam masih ada? Boleh minta untuk di bawa pulang?" tanyanya sambil melihat ke arahku

"Camilan apa, Nis?" tanya Umi.

"Nugget yang disuruh Umi goreng tadi malam," jawabku.

"Yang tadi malam kamu habiskan?" tanya Umi dengan wajah heran.

"Iya. Habis. Enak, sih. Memang kenapa?" 

"Alhamdulillah, akhirnya ada wortel yang masuk di perutmu!" ucap Umi sambil menangkupkan kedua telapak tangan di wajahnya.

"Wortel!" teriak keponakan Umi itu dengan mata yang membulat sempurna.

***

"Dia itu manja sekali dengan Umi. Dulu ketika kecil pernah dititip ke Umi selama satu tahun. Untunglah ada Wibowo yang sering nengok Umi. Kalau anak-anak tinggalnya jauh, bisa ngumpulnya hanya pas hari raya saja," terang Umi.

Mengetahui nugget yang dihabiskan berisi wortel, akhirnya Mas Bowo tidak mau nugget wortel. Untung aku ada persediaan yang original, akhirnya itulah yang di bawa dia kembali ke apartemennya.

"Nisa, Umi bingung nanti malam ada acara di mushola. Umi dapat jatah membaca camilan. Camilan apa, ya?"  tanya Umi dengan menyodorkan daftar konsumsi. Dalam satu bulan, konsumsi di bagi sesuai jadwal. Dan, sekarang giliran Umi yang paling terakhir.

"Diusahakan jangan sama, ya. Gak enak kalau sama, nanti dibandingin rasa," jelas Umi.

Aku lihat daftar ditanganku ini, mayoritas jajanan umum sudah ada. Donat saja ada tiga yang sama, hanya beda variasi, donat meses, bomboloni, donat abon. Lemper, nogosari, lapis, cucur, dan banyak lagi. Semua jajanan sudah ada yang setor.

"Kalau buat Kolong Ketan, bagaimana? Bahannya ada, membuatnya juga tidak ribet," jelasku. Aku ingat, di lemari ada tepung ketan dan aku tadi beli kelapa utuh. Ya, bahannya itu saja.

"Seperti Kolong Ketela?" tanya Umi. 

"Bentuknya mirip seperti itu. Rasanya beda, mirip seperti ketan goreng," jelasku.

"Ya, kalau begitu. Buat itu saja. Apa nama tadi?"

"Kolong Ketan, Umi," jawabku lagi.

"Mbak Nisa, pesanan nugget aku kirim sekarang, ya. Sekalian jemput Alif?" tanya Bik Sari sekalian minta ijin ke Umi.

"Ada pesanan lagi?"  tanya Umi sambil melihatku.

"Iya, Umi. Alhamdulillah," ucapku dengan mengangguk.

"Kalau begitu, hidupkan frezer di belakang. Kami penuhi untuk stok. Pasarkan, siapa tahu ini rejekinya anak-anak," terang Umi.

Iya Umi. Saya permisi dulu. Menyiapkan Bik Sari sekalian membuat kolong ketan," ucapku.

"Sini, Dwi dengan Umi. Akan Umi ajak tidur!" ucapnya sambil mengambil Dwi dan dibawanya ke kamar.

***

Setelah menyiapkan pesanan dan sudah dibawa Bik Sari, aku segera menyiapkan membuat Kolong Ketan.

Dulu, aku pernah menjual ketika di kampung. Aku titipkan di warung-warung. Mas Ridwan sangat menyukainya, katanya gurih dan enak, cocok untuk teman minum kopi.

Kelapa aku buang kulit ari, kemudian diparut. Aku campur dengan tepung ketan dan diberi air sedikit demi sedikit. Setelah bisa dibentuk, buat seperti cincin kemudian proses masak.

Ini yang spesial. 

Harus dua tahap, minyak dingin kemudian minyak panas.

Tring!

Tanda pesan masuk di ponselku, dari Bik Sari.

[Mbak Nisa, bisa buat nasi kuning untuk ulang tahun anak-anak? Untuk besuk sore, lima puluh lima kotak]

[Bisa. Lauknya ayam suwir, ya]

Aku jawab pesannya. Aku jelaskan isiannya apa saja dan harganya berapa. Aku tawarkan nasi tumpeng juga. Budaya potong tumpeng mulai tergeser dengan potong kue. Padahal itu adalah warisan leluhur kita.

Tring!

[Mbak, sekalian order tumpeng yang biasa. untuk dipotong]

[Siap]

Alhamdulillah rejekinya anak-anak.

Senyumku mengembang dengan sendirinya.

Mas Ridwad, lihat, aku sudah bisa mulai usaha. Aku akan lakukan apapun demi masa depan anak-anak, sepertimu. Kini giliranku, Mas.

Ingatku akan dirimulah yang membuatku kuat. Akan aku ceritakan semuanya saat kita bertemu nanti.

BERSAMBUNG

********

-------------

Extra Resep

PINDANG IKAN KAKAP

Bahan:

 1 ekor (700 g) ikan kakap

 1 liter air

 Potong panjang satu cm:

  2 buah cabe hijau, 2 buah cabe merah, 8 buah belimbing sayur.

 2 lembar daun salam

 2 cm lengkuas, memarkan

 2 lembar daun jeruk

 1 batang serai, memarkan

 8 buah cabe rawit merah

 2 buah jeruk nipis, ambil airnya

    daun kemangi secukupnya

Bumbu, haluskan:

5 butir bawang merah, 3 siung bawang putih, 3 cm kunyit, 1 cm jahe, 1 sdt gula pasir, 1/2 sdt merica butiran

garam secukupnya

Cara membuat:

- Bersihkan sisik dan isi perut ikan. Lalu potong ikan menjadi 4 bagian. Cuci bersih dan tiriskan.

- Haluskan bumbu

- Didihkan air dalam panci bersama daun salam, daun jeruk, lengkuas dan serai.

- Tambahkan Bumbu halus dan didihkan kembali.

- Masukkan ikan, cabe, belimbing sayur dan air jeruk nipis. Didihkan hingga ikan matang. Angkat.

Sajikan dengan taburan daun kemangi.

JANGAN LUPA PASTIKAN NASI SUDAH SIAP (jangan sampai magic jar lupa di ON 😀)

"Semua pasti bisa memasak"

-------

KOLONG KETAN

Bahan:

- Tepung ketan rose brand - 500gram 

- Kelapa parut kupas kulitnya - 1/2 butir

- Air secukupnya 

- Garam halus secukupnya

- Minyak goreng untuk menggoreng

Cara Membuat:

- Campur tepung ketan, kelapa parut dan garam.

- Kemudian tambahkan air sedikit demi sedikit sambil diuleni sebentar pakai tangan. Sampai adonan bisa di bentuk seperti cincin/kolong berdiameter setikar 4 cm.

- Siapkan dua wajan yang berisi minyak. Wajan A minyak dingin dan wajan B minyak panas.

- Masukkan kolong ke wajan A setelah itu masuk ke wajan B.

- Balik-balik sampai coklat keemasan.

Kolong ketan siap disajikan.

Note: cara wajan.A dan B adalah WAJIB. Apabila tidak, adonan bisa meletus.

--------- sumbangan resep adek yang tercantik.

"Semua bisa memasak"

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Diusir dari Rumah Mertua Setelah Suami Tiada (BAB 11 - 20)
0
0
Ini adalah jawaban dari doaku untuk di dekatkan orang yang mendukung usahaku. Benar, apapun yang terjadi, Allah adalah tempat yang tepat untuk bersandar.Alhamdulillah.Umi,  terima kasih, ucapku sambil meraih dan mencium tangannya. Air mata haru menerobos dengan sendirinya. Umi yang bukan saudara menjadi penolongku. Inilah rejeki dari-Mu.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan